Vous êtes sur la page 1sur 10

HIPERTENSI SEKUNDER

Gol Penyakit SKDI : 3A


ELDA MAHARANI
0907101050036
DEFINISI
Hipertensi atau penyakit darah tinggi sebenarnya adalah suatu gangguan
pada pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa
oleh darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkan. Hipertensi
sering kali disebut sebagai pembunuh gelap (Silent Killer), karena termasuk
penyakit yang mematikan tanpa disertai dengan gejala-gejalanya lebih dahulu
sebagai peringatan bagi korbannya (Jafar, 2010).
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah meningkat
melebihi batas normal. Klasifikasi hipertensi menurut sebabnya dibagi menjadi
dua yaitu sekunder dan primer. Hipertensi sekunder merupakan jenis yang
penyebab spesifiknya dapat diketahui seperti penyakit parenkim ginjal,
renovaskular, penyakit tiroid dan lain-lain (Manampiring, 2008).
Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit
komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah. Pada
kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit
renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering (Direktorat Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006).
INSIDENSI
Sekitar 5%-10% pasien hipertensi diketahui penyebabnya (Hipertensi
Sekunder
Tabel 1. Penyebab Hipertensi Sekunder
Penyebab
Penyakit parenkim ginjal
Penyakit renovaskular

Prevalensi %
5
0,5-5

Aldosteronisme

0,5-1

Penyakit Tiroid

0,5-1

Feokromositoma

<0,2

Sindrom Cushing

<0,2

Obat

0,1-1

Kehamilan

0,1-1

PATOFISIOLOGI
1. Penyakit Parenkim Ginjal
Kelainan pada parenkim ginjal juga dapat menimbulkan hipertensi renal,
misalnya pada pielonefritis kronis. Infeksi kronis akan merusak parenkim dan
akhimya membentuk jaringan parut. Jaringan parut itu akan menarik jaringan
sekitarnya termasuk jaringan vaskular arteri interlobaris yang akan mengganggu
vaskularisasi ginjal yang berakibat timbulnya hipertensi. Tumor pada parenkim
ginjal akan menekan dan mendesak arteri intra renal, menimbulkan iskemi
parenkim aparatus juksta glomerular dan hiperfungsi sel juksta glomerular dalam
memproduksi renin, akibatnya angiotensin II dalam darah meninggi hingga terjadi
hipertensi renal. Ginjal polikistik, dapat menyebabkan hipertensi renal karena
kista yang besar dapat mendesak atau menekan arteri intra renal terutama daerah
korteks sehingga timbul iskemi parenkim dan glomerulus, sehingga sekresi renin
meningkat. Selain itu. terjadi retensi air dan garam yang menyebabkan cairan
ekstra selular bertambah (Nadeak, 2012).
2. Penyakit Renovaskular
Hipertensi renovaskular dibagi menjadi dua model utama berdasarkan
Goldblatt hypertension: 1). model two-kidney, oneclip (2K-1C) dimana satu
arteri renalis konstriksi dan ginjal kontralateralnya utuh, dan 2). model onekidney, one clip (1K-1C) dimana satu arteri renalis konstriksi dan ginjal
kontralateral diangkat.
Kedua model Goldblatt hypertension berkembang melalui fase akut,
fase transisi, dan fase kronik. Pada fase akut, induksi iskemi pada kedua model

baik pada 2K-1C maupun 1K-1C mengakibatkan peningkatan tekanan darah yang
cepat, disertai aktivitas sistem renin-angiotensin. Hal ini dapat ditunjukkan
dengan adanya ketergantungan renin sehingga pemberian segera antagonis
angiotensin II atau penghambat enzim angiotensin-konverting akan menormalkan
tekanan darah. Lebih dari itu, pengangkatan klip arteri renalis atau nefrektomi
unilateral dari stenosis ginjal mengakibatkan pemulihan cepat tekanan darah
menjadi normal.
Fase transisi berakhir selama dua hari atau beberapa minggu, ini
bergantung pada model eksperimen dan spesies. Pada model 2K-1C, ginjal iskemi
meretensi natrium dan air, yang akan meningkatkan volume dan menekan
natriuresis pada ginjal kontralateral. Ginjal kontralateral ini memperlihatkan
buntunya natriuresis, kerusakan autoregulasi aliran darah ginjal dan kecepatan
filtrasi glomerulus. Fungsi-fungsi abnormal ini untuk merefleksikan perfusi ginjal
kontralateral dengan peningkatan angiotensin II yang dilepaskan dari ginjal
iskemi ipsilatera.
Fase kronik hipertensi renovaskular ditandai dengan retensi garam dan air
dan peningkatan volume yang menekan sekresi renin. Pada model 1K-1C, fase
menahun sangat cepat terjadi, biasanya dalam jangka waktu 3-5 hari pada anjing
dan beberapa minggu pada tikus. Namun bila model 1K-1C ini diterapi dengan
preparat diuretik untuk mengkoreksi keseimbangan positif sodium, akan terlihat
peningkatan nilai renin; peningkatan tekanan darah yang menetap, tetapi sekarang
menjadi sensitif terhadap penghambat sistem renin-angiotensin. Sebaliknya,
model 2K-1C menekan natriuresis dari ginjal kontralateral sebagai kompensasi
terhadap penurunan ekskresi sodium pada ginjal iskemi ipsilateral. Lebih dari satu
periode, ginjal kontralateral mengakibatkan kerusakan pembuluh darah yang
mengakibatkan tekanan darah meningkat, yang kemudian menyebabkan
penurunan fungsi ekskretoris dan peningkatan volume. Meskipun derajat sirkulasi
renin-angiotensin II umumnya normal pada fase menahun, namun studi
menunjukkan adanya peningkatan sistem renin-angiotensin jaringan vaskular
yang ikut memberi perubahan vaskular pada model 2K- 1C tikus; namun
demikian, penurunan secara bermakna tekanan darah dapat dicapai dengan

pemberian inhibitor enzim konverting atau antagonis angiotensin II. Perlu juga
dipertimbangkan bahwa peningkatan sistem saraf simpatis baik sentral maupun
perifer dapat menyebabkan hipertensi renovaskular yang menetap selama fase
kronik baik pada model 2K-1C maupun 1K-1C.
Pada stenosis arteri renalis, tekanan transkapiler yang memacu filtrasi
glomerulus dipertahankan oleh peningkatan tahanan arteriol efferen di belakang
glomerulus. Peningkatan tahanan arteriole efferen ini dipertahankan oleh
angiotensin II (yang diproduksi sebagai respons terhadap peningkatan sekresi
renin dari ginjal yang terkena). Angiotensin II juga merangsang sekresi aldosteron
dari korteks adrenal yang berperan terhadap retensi cairan dan natrium. Bila
tingkatan kritis stenosis arteri renalis tercapai (sekitar 60-70% lumen), maka
baroreseptor ginjal akan menyebabkan penurunan tekanan darah pada arteriol
efferen, yang mengakibatkan peningkatan pelepasan renin dari aparatus
juxtaglomerularis. Keadaan ini meningkatkan produksi angiotensin I. Angiotensin
I dibuat di perifer ginjal oleh kerja enzim konverting angiotensin menjadi
angiotensin II. Renin dihasilkan bila terdapat penurunan aliran darah dan
peningkatan tekanan pada parenkim ginjal. Ini memacu selsel jukstaglomerularis
untuk menghasilkan renin yang banyak yang kemudian mempengaruhi produksi
angiotensin. Penggunaan antagonis angiotensin II (seperti kaptopril) telah
diketahui efektif untuk diagnosis dan terapi hipertensi renovaskular. Kaptopril
memiliki toksisitas renal dan dapat menyebabkan trombosis arteri renalis. Oleh
karenanya, kaptopril sebaiknya tidak digunakan sebagai terapi definitif untuk
hipertensi renovaskular. Pada pasien dengan stenosis arteri renalis atau
renovaskular hipertensi pada satu atau dua ginjal, kaptopril dapat memicu
terjadinya kegagalan ginjal akut, tetapi efek ini biasanya hanya sementara
(Samara, 2001).
3. Penyakit / gangguan endokrin.
Feokromositoma merupakan neoplasma yang berasal dari sel kromafin
yang berlokasi di bagian medula kelenjar adrenal. Sekitar 0,5 % dari penyebab
hipertensi sekunder pada anak berasal dari feokromositoma. Selsel kromafin
merupakan tempat untuk mensintesis, menyimpan dan mensekresikan hormon

katekolamin, yaitu suatu neurotransmiter alfa adrenergik yang memegang peranan


dalam patogenesis hipertensi. Gangguan endokrin lain yang dapat menyebabkan
hipertensi adalah sindrom Cushing, sindrom adrenogenital, hiperaldosteronisme
esensial, dan hyperplasia adrenal kongenital (Saing, 2005).
GAMBARAN KLINIS
Bergantung pada tingginya tekanan darah gejala yang timbul dapat
berbeda-beda. Kadang-kadang gejala didominasi penyakit dasarnya dan baru
timbul gejala setelah komplikasi pada organ target seperti ginjal, mata, otak, dan
jantung. Gejala sakit kepala (biasanya oksipital), epistaksis, pusing dan migren.
Berbagai keluhan dengan hipertensi seperti pusing, cepat marah, dan telinga
berdenging merupakan gejala tersering dijumpai, selain gejala lain seperti
mimisan, suka tidur dan sesak napas. Rasa berat di tengkuk, mata berkunangkunang, palpitasi, dan mudah lelah juga banyak di jumpai (Yusuf, 2008).
PEMERIKSAAN PENUNJANG & DIAGNOSIS
Pemeriksaan yang diperlukan adalah urinalisis dengan kultur, serum
kreatinin,

serum

potasium,

aktivitas

plasma

renin,

rontgen

thorax,

elektrokardiografi. Stenosis arteri renalis merupakan penyebab penting pada


hipertensi sekunder, tetapi skrining terhadap stenosis arteri renalis mengalami
berbagai problematik. Test noninvasif seperti urografi intravena dan skan ginjal,
belum secara adequat dapat membedakan hipertensi renovaskular dari hipertensi
esensial.
PENANGANAN
Tujuan terapi utama manajemen hipertensi renovaskular ditujukan untuk:
(i) mencegah komplikasi hipertensi dengan mengontrol tekanan darah, (ii)
mencegah progresifitas stenosis arteri renalis yang dapat menyebabkan kehilangan
fungsi ginjal dan (iii) memulihkan fungsi ginjal dengan mengkoreksi stenosis
arteri renalis yang berat. Terapi medis dengan obat-obat anti-hipertensi dapat
mengontrol hipertensi tetapi tidak berefek pada progresifitas lesi tersebut. Oleh
karena itu, pendekatan konservatif umum dari manajemen medis bukan

merupakan pilihan utama; setiap kasus harus dicari penyebabnya untuk


menentukan tindakan angioplasti atau operasi
1. Terapi medis
Terapi medis untuk hipertensi renovaskular pada tahun 1960-an dengan
menggunakan obat-obat seperti diuretik, hidralasin, guanetidin, dan metildopa.
Kontrol tekanan darah yang baik dilaporkan sebanyak 35-45% pasien. Dengan
munculnya obat beta blocker pada tahun 1970-an, digunakan bersama dengan
diuretik dan vasodilator sebagai triple terapi, frekuensi kesuksesan mencapai 5080%. Kemudian ACE inhibitor diperkenalkan tahun 1980-an, kaptopril (dosis
inisial 25 mg dua kali sehari, dapat ditingkatkan 50 mg dua kali sehari) dan
enalapril (dosis inisial 5 mg/hari, dapat ditingkatkan 40 mg/hari), digunakan
bersama dengan diuretik, kontrol yang sukses terhadap hipertensi dilaporkan
sebanyak 85-95% dari pasien hipertensi renovaskular. Efek terbesar dari ACE
inhibitor adalah hubungannya dengan patofisiologi hipertensi renovaskular.
Respon penekanan cepat dari obat ini adalah berhubungan langsung dengan
penanganan aktivitas plasma renin.
Pada pasien dengan stenosis arteri renalis bilateral yang berat, kontrol
yang efektif terhadap tekanan darah menyebabkan pro-gresifitas yang lamban
pada fungsi ginjal dengan menurunkan tekanan perfusi. Kegagalan ginjal akut
reversibel telah dila-porkan setelah penanganan dengan inhibitor enzim
konverting pada pasien dengan stenosis arteri renalis bilateral, stenosis unilateral
dengan disfungsi ginjal kontralateral, atau ginjal tunggal dengan stenosis arteri
renalis. Kegagalan ginjal dapat terjadi terutama bila tidak ada penurunan tekanan
darah yang bermakna dengan ACE inhibitor. ACE inhibitor menyebabkan dilatasi
arteriola efferen melalui bloking angiotensin II dengan menyebabkan penurunan
tekanan perfusi glomerulus dan filtrasi glomerulus. Penggunaan bersama dengan
antidiuretik, meningkatkan ketergantungan peningkatan angiotensin II dan
mungkin mempengaruhi aliran plasma ginjal, yang memainkan peran utama
terhadap kerusakan fungsi ginjal. Disfungsi renal yang diinduksi oleh ACE
inhibitor merupakan dasar terjadinya stenosis arteri renalis bilateral, tetapi
hubungan ini belum diteliti lebih lanjut.

Dari penelitian terhadap 108 penderita hipertensi dengan resiko tinggi


terhadap stenosis arteri renalis (misal: penyakit vaskular, peningkatan creatinin,
penderita

hipertensi

yang

kurang

respon

memberi

terhadap

terapi

bermacammacam obat), menunjukkan bahwa kreatinin yang stabil selama terapi


dengan ACE inhibitor biasanya mengakibatkan terjadinya resiko stenosis arteri
renalis bilateral yang berat. Namun, peningkatan kreatinin bukan merupakan
faktor yang spesifik untuk stenosis arteri renalis bilateral. Penelitian ini juga
menunjukkan bahwa perlu dilakukan monitor secara cermat terhadap fungsi ginjal
setelah memulai terapi dengan penghambat enzim konverting pada pasien yang
beresiko tinggi terkena penyakit renovaskular. ACE inhibitor mungkin dapat
memperbaiki pasien dengan nefropati iskemi yang berkaitan dengan penyakit
renovaskular bilateral, tetapi penelitian lebih lanjut akan validitas diagnostik ini
belum ada.
Dari penelitian pada 108 penderita dengan resiko aterosklerosis pada
penderita penyakit

renovaskular

yang berat

dan

dibandingkan

dengan

pemeriksaan angiografi, maka ditemukan bahwa tidak terjadi kegagalan ginjal


akut pada penelitian ini dan kreatinin plasma selalu ditemukan kembali setelah
pemakaian penghambat enzim konverting diberhentikan. Oleh karena itu
peningkatan kreatinin plasma yang diinduksi oleh penghambat enzim konverting
merupakan alat yang sangat sensitif terhadap penyakit renovaskular bilateral pada
kelompok yang beresiko tinggi.
2. Tindakan operatif
Pemilihan pasien untuk tindakan pembedahan bergantung dari penentuan
bahwa hipertensi yang terjadi oleh karena sebab langsung dari lesi arteri renalis.
Di samping itu juga perlu dipertimbangkan umur dan keadaan umum pasien,
riwayat penyakit, kemungkinan perbaikan pembuluh darahnya dibandingkan
nefrektomi, perbandingan kontrol hipertensi dengan obat-obat antihipertensi, dan
mortalitas pembedahan. Sebagai contoh, pasien yang telah tua dengan lesi
atherosklerotik memiliki mortalitas pembedahan lebih tinggi. Sebaliknya, pasien
muda dengan lesi fibromaskular sangat ideal untuk dilakukan pembedahan.

Jenis-jenis pembedahan:
1.

Reseksi segmental arteri renalis dengan reanastomosis.

2.

Anastomosis arteri splanika ke arteri renalis (meninggalkan lien in situ


dengan mendapatkan suplai darah dari cbangcabang arteri gastroepiploika
dan gastrika brevis).

3.

Yang jarang dilakukan adalah reimplantasi arteri renalis ke dalam aorta


diikuti dengan eksisi stenosis

4.

Autograf

5.

Enarterektomi

6.

Prostetik arterial graft

7.

Ex vivo rekonstruksi arteri renalis dilakukan untuk kasus-kasus yang rumit.

8.

Renal autotransplatasi dilakukan pada pasien anak-anak karena pembuluh


darahnya terlalu kecil untuk dilakukan anastomosis (bisa menimbulkan
restenosis).

9.

Angioplasti renal transiluminasi per kutaneus


Angioplasti lebih berhasil dilakukan pada pasien:

(1). Displasia fibrosa dibandingkan dengan penyakit atherosklerosis.(2).


Pembuluh pembuluh darah yang hanya dengan satu atau dua stenosis pendek (3).
Pada stenosis komplit di dalam arteri renalis daripada lesi yang melibatkan
dinding aorta atau orifisium arteri renalis.
Meskipun angioplasti transluminal per kutaneus sudah banyak digunakan
untuk penanganan terhadap hipertensi renovaskular, namun belum pernah
dievaluasi secara random. Dari penelitian terhadap 464 pasien dengan
atherosklerosis penyebab hipertensi renovaskular dan 193 dengan hiperplasia
fibromuskular,

ditemukan

bahwa

angioplasti

efektif

untuk

hiperplasia

fibromuskular, tetapi masih merupakan tanda tanya terhadap aterosklerosis.


Parsial nefrektomi atau total nefrektomi merupakan pilihan utama pada
pasien:
(1). Atropi renalis dengan panjang lebihkurang 9 cm

(2). Oklusi arteri renalis utama dengan infark.


(3). Nefrosklerosis arteriola yang berat.
(4). Penyakit parenkim unilateral
(5). Infark renalis unilateral
(6). Hipoplasia renalis segmental (Ask-Upmark kidney).
(7). Penyakit renovaskular yang tidak dapat diperbaiki seperti aneurisma
intrarenalis atau malformasi arteriovena.
Dari Januari 1993 sampai Mei 1996 Rodriguez-Lopez dan kawan-kawan
melakukan penelitian terhadap 108 pasien (64 pria, 44 wanita, rata-rata berumur
72 tahun, rentang umur 37-87 tahun) dilakukan tindakan angioplasti transluminal
per kutaneus dan implantasi stent pada arteri renalis dengan aterosklerosis. Dari
tindakan tersebut ditemukan bahwa sebanyak 73 pasien (68%) mengalami
perbaikan. Analisa retrospektif ini menunjukkan bahwa kombinasi angioplasti
transluminal per kutaneus dengan implantasi stent terhadap pasien hipertensi
renovaskular karena stenosis arteri renalis cukup efekif.
Terapi operasi efektif untuk penyakit oklusi arteri renalis dimaksudkan
untuk mengurangi tekanan darah dalam jangka panjang. Hampir 4550% pasien
dengan hipertensi renovaskular aterosklerosis dapat disembuhkan dengan
tindakan pembedahan revaskularisasi, 2535% dapat diperbaiki, sedangkan 25
35% pasien tersebut sebenarnya tidak terjadi perubahan pada hipertensinya.
Pada pasien dengan displasia fibromuskular, tindakan pembedahan
umumnya berhasil lebih baik dengan tingkat kesembuhan 5070% dan kegagalan
510%. Mortalitas untuk penyakit aterosklerotik berkisar 25% sedangkan
displasia fibromuskular 13 %. Mortalitas untuk keseluruhan berkisar 510%
(Samara, 2001).

KOMPLIKASI
Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak endothel
arteri dan

mempercepat atherosklerosis. Komplikasi dari hipertensi termasuk

rusaknya organ tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan pembuluh darah
besar. Hipertensi

adalah faktor resiko utama untuk penyakit serebrovaskular

(stroke, transient

ischemic attack), penyakit arteri koroner (infark miokard,

angina), gagal ginjal,

dementia, dan atrial fibrilasi. Bila penderita hipertensi

memiliki faktor-faktor

resiko kardiovaskular lain (tabel 3), maka akan

meningkatkan mortalitas dan


tersebut. Menurut Studi

morbiditas akibat gangguan kardiovaskularnya

Framingham, pasien dengan hipertensi mempunyai

peningkatan resiko yang bermakna untuk penyakit koroner, stroke, penyakit arteri
perifer, dan gagal jantung (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006).
REFERENSI
Jafar, N. 2010. Hipertensi. Makassar: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Hasanuddin
Manampiring, A.E. 2008. Hubungan Status Gizi dan Tekanan Darah pada
Penduduk Usia 45 Tahun Ke Atas di Kelurahan Pokowa Kecamatan Wanea
Kota Manado. Manado: Departemen Pendidikan Nasional RI Universitas
Sam Ratulangi.
Nadeak, B. 2012. Hipertensi Sekunder Akibat Perubahan Histologi Ginjal. Sari
Pediatri. 13(5):311-15.
Saing, J.H. 2005. Hipertensi pada Remaja. Sari Pediatri. 6:159-165.
Yusuf, I. 2008. Hipertensi Sekunder. Ilmu penyakit Dalam FKUI/RSCM. Medical
Review. Vol 21.
Samara, D. 2001. Penatalaksanaan Hipertensi Sekunder Akibat Perbedaan
Kelainan Anatomi Renovaskular pada Usia Muda dan Tua. Jurnal
Kedokteran Trisakti. 20 (1):27-41.Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan
Klinik. 2006. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hipertensi. Depkes:
Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.

Vous aimerez peut-être aussi