Vous êtes sur la page 1sur 12

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebelum lahirnya hermeneutika sebagai sebuah ilmu yang umum menjadi bagian dari
ilmu-ilmu humaniora, telah terjadi sebuah krisis epistemologis yang melandasi ilmuilmu sosial. Krisis yang dimaksud bukan berkurangnya pengetahuan, tapi lebih pada
penyempitan pengetahuan akibat reduksi-reduksi metodologis tertentu yang disertai
dengan fragmentasi dan instrumentalisasi pengetahuan. Seperti krisis pengetahuan
yang terjadi sejak proses modernisasi di Barat meruntuhkan tatanan nilai masyarakat
Abad Pertengahan, melalui Renaissance dan memuncak pada Aufklarung dan
akhirnya menemui batas-batasnya sejak permulaan abad ini. Sehingga suatu
weltanchauung yang utuh tidak dapat ditangkap.
Dalam studi-studi ilmu humaniora, dunia-kehidupan ini tidak dapat begitu saja
didekati lewat observasi seperti yang terjadi dalam ilmu-ilmu alam, melainkan
terutama melalui memahami. Apa yang ingin ditemukan dalam dunia sosial itu
bukan terutama kausalitas yang nicaya, malainkan memahami makna. Oleh karena
itu, seorang ilmuan sosial, dengan cara tertentu ia harus masuk ke dalam dunia
kehidupan yang unsure-unsurnya ingin ia jelaskan. Untuk menjelaskan, ia harus
memahaminya. Untuk memahami, ia harus dapat berpartisipasi ke dalam proses
menghasilkan dunia kehidupan itu. Akhirnya, partisipasi itu mengandalkan bahwa ia
sudah termasuk di dalam dunia kehidupan itu.
Dalam sejarah hermeneutic tampil beberapa tokoh yang dirujuk pada masa
hermeneutika romantis yang dicetuskan oleh Schleiermacher dan Dilthey yang dalam
tradisi hermeneutik adalah empu awal lahirnya suatu hermeneutika teorotis bagi ilmuilmu budaya. Gagasan mereka ini kemudian diteruskan oleh Emilio Betti yang juga
satu madzhab di bawah paying teori hermeneutika.
B. Rumusan Masalah

a. Siapakah Emilio Betti dan apa saja karya-karyanya ?


b. Bagaimana pemikiran Emilio Betti ?

C. Tujuan
a. Untuk mengetahui siapa Emilio Betti dan apa saja karya-karyanya.
b. Untuk mengetahui pemikiran Emilio Betti.

BAB II
PEMBAHASAN
Sebelum kita mulai memasuki alam teori hermeneutika Emilio Betti, kita
awali

pembahasan

kita

dengan

periodeisasi

hermeneutika

sesuai

dengan

perkembangannya dari masa ke masa.


Kajian hermeneutik sejak abad 19 (akhir abad 18) telah menemukan
bentuknya yang baru dari wajah hermeneutika sebelumnya. Secara periodik
hermeneutika dapat dibedakan dalam tiga fase; klasik, pertengahan, dan modern.
Hermeneutika klasik lebih bercorak pada bentuk interpretasi teks dan art of
interpretation. Dan istilah ini pertama kali muncul pada abad ke XVII. Tetapi
hermeneutik dalam arti sebagai aktivitas penafsiran telah lahir jauh sebelumnya,
usianya setua dengan eksegesis teks. Hermeneutika pertengahan, dimulai pada,
dianggap berasal dari, penafsiran terhadap Bible yang menggunakan empat level
pemaknaan baik secara literal, allegoris, tropologikal (moral), dan eskatologis. Tetapi
pada masa reformasi protestan, empat pemaknaan itu kemudian disempitkan pada
eksegesis literal atau gramatikal dan eksegesis studi tentang Yahudi dan Yunani. Dan
hermeneutika modern, dapat dibedakan dalam beberapa fase dengan aliran-aliran
yang mengikutinya. Fase awal, mulai pada abad ke-19 dengan merujuk pada tokoh
protestan ternama, Frederich Schleiermacher (1768-1834) dan murid-muridnya
termasuk Emilio Betti, dengan teori hermeneutiknya (hermeneutical theory). Fase
kedua, pada abad ke-20 dengan Martin Heidegger (1889-1976) sebagai tokohnya,
termasuk di sini Hans-George Gadamer dengan aliran filsafat hermeneutik
(philosophical hermeneutic), dan terakhir adalah Jurgen Habermas, dengan
hermeneutik kritiknya (critical hermeneutics).1
Periodeisasi hermeneutik di atas, tidak hanya menjelaskan babakan-babakan sejarah
hermeneutik tapi juga menggambarkan suatu kecenderungan bagi corak dan
karakteristik yang menandai lahirnya hermeneutik.
1

Pembagian hermeneutik modern atau kontemporer ini meminjam pemetaan Josef Bleicher, .......

A. Biografi Emilio Betti


Emilio Betti (Camerino, 20 Agustus 1890
- Camorciano di Camerino, 11 Agustus 1968)
adalah seorang ahli hukum Italia, Hukum Romawi
sarjana, filsuf dan teolog. Ia terkenal karena
kontribusinya pada hermeneutika. Sebagai ahli
teori hukum, Betti mendalami penafsiran.2 Karyakaryanya seperti Die Hermeneutik als allgemeine
Methodik

der

Geisteswissenschaften,

Zur

Grundlegung einer allgemeinen Auslegungslehre


(sebuah manifesto hermeneutika), dan Teoria generale della interpretazione.3
Munculnya Betti ke pentas ke-hermeneutika-an adalah debat terbukanya
dengan beberapa tokoh hermeneutic yang lain seperti Gadamer, Bultmann dan
Ebeling. Sementara Betti berupaya mengusung bagaimana menempatan sebuah
pengalaman manusia secara objektif, dengan menyediakan sebuah teori umum
penafsiran terhadapnya, yang di dasarkan pada asumsi bahwa otonomi objek
interpretasi dan mungkinnya objektivitas historis dalam membuat suatu interpretasi
yang valid. Di sisi yang lain, Gadamer terutama, membawa prsoalan hermenautika
dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang lebih filosofis tentang hakekat
memahami itu sendiri. Bagi Gadamer, berbicara tentang interpretasi objektif yang
valid adalah sesuatu yang naf.4
Dalam merespon kritikan Gadamer, Betti kemudian meluncurkan sebuah
booklet (buku kecil) yang diberinya judul Die Hermeneutik als allgemeine Methodik
der Geisteswissenschaften, dalam booklet ini Betti mengajukan dua kritik terhadap

3
4

http://en.wikipedia.org/wiki/Emilio_Betti, diakses pada 15 Oktober 2014.

Edi Mulyono, Belajar Hermeneutika, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), hal. 41.


Ibid., hal. 42.

Gadamer, pertama, bahwa Gadamer tidak menyajikan sebuah metodologi atau


rencana metodologi untuk human studies. Kedua, apa yang dilakukan oleh Gadamer
membahayakan legitimasi yang menunjuk pada status objektif dari objek-objek
interpretasi dan kemudian membuat pertanyaan-pertanyaan objektivitas interpretasi
itu sendiri.5
Dalam filsafat bahasa, Betti banyak dipengaruhi oleh W. von Humboldt. Betti
termasuk kategori pemikir hermeneutika yang berhaluan idealis-romantis. Pendekatan
ini mengarahkan Betti untuk berargumentasi tentang kemungkinan verstehen sebagai
sebuah bentuk pemahaman yang bisa ditelusuri dan dibenarkan secara metodologis.
Pendekatan ini pula yang membuatnya berseberangan dengan Gadamer dalam hal
menegaskan status epistemologis hermeneutika.6
Sebagai seorang sejarawan hukum, ketertarikan Betti terhadap hermeneutic tidak lahir
dari keinginan filosofis untuk mengungkap kebenaran sebuah karya seni (Gadamer),
atau keinginan untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentang kodrat
yang ada (Heidegger), atau sebuah tekanan untuk menyelamatkan makna ayat Bibel
(Bultmann dan Ebeling). Betti hany bermaksud untuk membedakan anatara cara atau
model beragam interpretasi dalam disiplin manusia dan untuk merumuskan kerangka
fondasional dari prinsip-prinsip yang dapat menafsirkan prilaku dan maksud
manusia.7
Berikut ini adalah sebagian dari karya-karyanya Emilio Betti:8
a. Sulla opposizione dell'exceptio sull'actio e sulla concorrenza tra loro (1913).
b. La vindicatio romana primitiva e il suo svolgimento storico nel diritto privato
e nel processo (1915).

Ibid.
Saidul Abas dan Reynaldy, http://just4th.blogspot.com/2012/05/emilio-betti.html, diakses 13
Oktober 2014.
7
Ibid., hal. 43.
8
http://it.wikipedia.org/wiki/Emilio_Betti, diakses 16 Oktober 2014.
6

c. L'antitesi storica tra iudicare (pronuntiatio) e damnare (condemnatio) nello


svolgimento del processo romano (1915).
d. Studii sulla litis aestimatio del processo civile romano: I Pavia (1915), III
(Camerino, 1919).
e. Sul valore dogmatico della categoria contahere in giuristi proculiani e
sabiniani (1916).
f. La restaurazione sullana e il suo esito (Contributo allo studio della crisi della
costituzione repubblicana in Roma) (1916).
g. La struttura dell'obbligazione romana e il problema della sua genesi (1919).
h. Il Concetto della obbligazione costruito dal punto di vista dell'azione (1920).
i. Trattato dei limiti soggettivi della cosa giudicata in diritto romano (1922).
j. La tradizione nel diritto romano classico e giustinianeo (1924 - 25).
k. Esercitazioni romanistiche su casi pratici: I, anormalit del negozio
giuridico (1930).
l. Diritto romano: parte generale (1935).
m. Teoria generale del negozio giuridico (1943).
n. Interpretazione della legge e degli atti giuridici: teoria generale e
dogmatica (1949).
o. Zur Grundlegung einer allgemeinen Auslegungslehre (1954).
p. Teoria generale delle obbligazioni (1953-1955).
q. Teoria generale della interpretazione (1955).
r. Teoria delle obbligazioni in diritto romano (1956).
s. Die Hermeneutik als allgemeine Methodik der Geisteswissenschaften (1962)
t. Attualit di una teoria generale dell'interpretazione (1967)
u. La crisi della repubblica e la genesi del principato in Roma (tesi di laurea del
1913, pubblicata postuma nel 1982, a cura di G. Crif).
B. Pemikiran Emilio Betti
Dalam pandangan Betti, hermeneutika merupakan teori umum penafsiran
yang

berfungsi

sebagai

metodologi

umum

untuk

ilmu

humaniora

(Geisteswissenschaften). Ini sekaligus menunjukkan hermeneutika Betti sangat


terinspirasi oleh hermeneutika Dilthey. Betti juga mengikuti pendapat Schleiermacher
ketika menyatakan penafsiran memberlakukan kembali fikiran pengarang yang

menggiring kepada pengetahuan kembali apa yang pada asalnya diteliti oleh
pengarang.

Betti

dalam

karyanya

Zur

Grundlegung

einer

algemeinen

Auslegungslehre mengatakan Kita melakukan aktivitas interpretasi setiap kali


berhadapan dengan bentuk-bentuk yang dapat diterima, yang melaluinya sebuah
pikiran pihak lain yang telah mengobjektivasikan dirinya dalam bentuk-bentuk
tersebut, mengarahkan dirinya kepada Pemahaman kita; tujuan interpretasi adalah
untuk memahami makna bentuk-bentuk ini, untuk mengungkapkan pesan yang ingin
mereka sampaikan pada kita. Interpretasi merupakan sebuah aktivitas bertujuan yang
bertugas membawa kepada sebuah pemahaman.9
Betti

memperkenalkan

teori

umum

interpretasinya

dengan

mempertimbangkan relasi problematis antara pikiran yang menerima dengan


objeknya. Kasus interpretasi atas bentuk-bentuk penuh makna diharapkan dapat
menyediakan pandangan-pandangan mendalam atas kemungkinan pemahaman
objektif secara umum.10
Sebagai seorang sejarawan hukum, perhatian Betti tidak muncul dari
keinginan filosofis untuk mengungkap kebenaran karya seni (seperti yang dilakukan
Gadamer), atau keinginan untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentang
hakekat yang ada (Heidegger), atau hasrat untuk menyelamatkan makna ayat Bibel
(Bultmann dan Ebeling). Betti hanya bermaksud untuk membedakan antara cara atau
model beragam interpretasi dalam disiplin manusia dan untuk merumuskan kerangka
fondasional dari prinsip-prinsip yang dapat menafsirkan perilaku dan maksud
manusia. Seandainya distingsi harus dibuat antara momen pemahaman sebuah obyek
dalam term-nya sendiri dan momen itu melihat makna eksistensial dari obyek bagi
kehidupan dan masa depan seseorang, maka dapat dikatakan bahwa yang terakhir ini
merupakan

perhatian

Gadamer,

Bultmann,

dan

Ebeling.

Sementara

memfokuskan perhatian pada hakekat obyektif interpretasi itu sendiri.11

josef
Josef Bleicher
11
Richard e. palmer
10

Betti

Betti tidak bermaksud menghilangkan momen subyektif dari interpretasi, atau


bahkan menolak bahwa hal itu dibutuhkan dalam peristiwa interpretasi manusia.
Namun Betti bermaksud mengafirmasi, apa pun kemungkinan peran subyektif dalam
interpretasi, bahwa obyek tetap menjadi obyek dan sebuah interpretasi valid yang
obyektif dapat layak diusahakan dan diselesaikan. Sebuah obyek berbicara, dan ia
bisa didengar secara benar atau salah sebab di sana terdapat makna yang veriable
obyektif dalam obyek. Jika obyek bukan yang lain ketimbang peneliti itu sendiri, dan
jika ia bukan, dari dirinya, pembicaraan mengapa didengarkan?12
Hermeneutika bagi Betti adalah sebagai Auslegung, yaitu bagaimana
mendapatkan sebuah bentuk penafsiran yang valid dan obyektif bukan Deutung dan
spekularive Deutung.13 Hermeneutik yang dibangun ini, seperti keyakinan Betti,
adalah sebagai an intellectual discipline and educational training which is
fundamental for life. Keyakinan itu, karena sering kali terjadi ketika kita mencoba
menafsir sebuah teks yang ada distansi baik historis maupun kultural, dan kemudian
kita ingin mengetahui apa dan seberapa dalam makna yang dikandung oleh
kedalaman teks itu, apa yang mereka (pengarang) katakan. Dan apa yang
melatarbelakangi lahirnya ide itu? Tentu, persoalan-persoalan ini membutuhkan
sebuah rekonstruksi imajinatif yang dengan simpati dan wawasan, akan dibutuhkan
bagi pemahaman.14
Dalam mencapai sebuah interpretasi yang objektif ini, seperti yang dinyatakan
dalam Die Hermeneutik als allgemeine Methodik der Geisteswissenchaften, Betti
menegaskan bahwa tujuan utamanya adalah mengklarifikasi perbedaan esensial
antara Auslegung (penafsiran objektif) dan Sinngebung (peran penafsir dalam
penyerahan makna terhadap objek).15 Jelas, Betti menyatakan, karena distingsi ini

12

ibid
Auslegung merujuk pada sebuah interpretatif objektif. Sedangkan spekulative Deutung atau
spekulative interpretation adalah istilah untuk membedakan dari interpretasi objektif yaitu untuk
menyebut bentuk pemahaman lain yang secara diametris bertentangan dengan interpretasi
objektif, Oleh Betti dinamakan ketergantungan yang tepat pada intuisi dan koherensi internal pada
sebuah sistem yang dibangun secara aprioris.
14
edi
15
edi
13

dibiarkan maka keseluruhan integritas hasil-hasil valid obyektif dalam ilmu


kemanusiaan (humaniora) ditantang.
Bagaimanapun juga, selain fokus pada interpretasi (objektif) Betti masih tetap
bertahan di atas dasar yang non-objektif. Objektivitas sempurna harus ditinggalkan
karena yang ada hanyalah objektivitas relatif. Bagi Emilio Betti, hal ini disebabkan
adanya relasi dialektis antara aktualitas pemahaman dan objektivasi pikiran.
Subjek, entah ia individual atau entitas kolektif-Betti menggunakan term Hegelian
mengenai roh subjektif dan objektif-dan objek-objektivasi pikiran-dari proses
interpretasi dikunci bersama dalam sebuah hubungan berpasangan; pikiran telah
mengental menjadi bentuk-bentuk permanen dan menempatkan objek sebagai sebuah
yang lain; namun keduanya bergantung satu sama lain karena yang telah ada,
pikiran subjektif yang tertarik memperoleh objektivasi sebagai sarana untuk
membebaskan dirinya melalui pencapaian kesadaran; dan objektivasi-objektivasi
yang terdapat di dalam apa yang diyakini untuk dibawa kepada pemahaman, yakni
untuk diperkenalkan ke dalam ruang pemahaman melalui proses interpretasi.
Bagi Emilio Betti, hermeneutika adalah metode yang diaplikasikan kepada
penafsiran dalam menjamin objektifitas hasilnya. Dengan menggunakan metode yang
benar serta kaidah penafsiran yang benar, seorang penafsir mampu untuk meraih di
luar kondisi historisnya untuk memahami makna sebuah teks sebagaimana yang
dimaksudkan oleh pengarang. Aturan-aturan dan kaidah-kaidah yang mengarahkan
penafsiran dapat diaplikasikan secara universal kepada teks apapun.
Untuk meraih penafsiran objektif, Betti menyusun empat kaidah (kanon).
Empat kanon dikelompokkan menjadi dua kelompok yang masing-masing berisi dua
kanon dimana (a) berkaitan dengan objek interpretasi; sedangkan (b) berkaitan
dengan subjek interpretasi:
a1: kanon mengenai otonomi hermeneutik objek;
a2: kanon mengenai totalitas dan koherensi evaluasi hermeneutik
b1: kanon mengenai aktualitas pemahaman

b2: kanon mengenai harmonisasi korespondensi pemahaman-hermeneutik


dengan pembenarannya.16
Dua kaidah yang terkait dengan objek penafsiran menunjukkan objek
pemahaman merupakan makna yang dimaksudkan oleh pengarang serta koherensi
internalnya. Kedua kaidah tersebut sebagai berikut:
Pertama, kaidah otonomi objek hermeneutis dan standar hermeneutis yang
immanent (the canon of the hermeneutical autonomy of the object and immanence of
the hermeneutical standart). Dengan kaidah ini, Emilio Betti ingin menyatakan
bahwa makna harus didasarkan kepada objek penafsiran, yaitu bentuk-bentuk yang
penuh makna yang harus dianggap sebagai otonomi. Makna yang diafsirkan adalah
makna yang immanent, bukan proyeksi penafsir. Maksudnya, bentuk-bentuk yang
penuh makna harus dianggap sebagai otonomi. Otonomi objek penafsiran harus
dimengerti dengan kesesuaiannya dengan perkembangan logikanya sendiri. Bentukbentuk yang penuh makna harus dinilai dalam kaitannya dengan standart-standart
yang immanent dalam niat orisinal pengarangnya. Kaidah mens dicentis ini dalam
pemahaman hermeneutis, verstehen, mengikuti pola penafsiran bahwa sensus non est
inferendus sed efferendus.
Kedua, kaidah koherensi makna (prinsip totalitas) (the canon of the coherence
of meaning (principle of totality). Dengan kaidah ini, Emilio Betti memaksudkan
bahwa keseluruhan dan sebagian dalam bentuk-bentuk yang penuh makna saling
berhubungan. Makna keseluruhan harus berasal dari unsur-unsur individu. Sama
halnya, sebuah unsure individu harus dimengerti dengan merujuk kepada keseluruhan
yang komprehensif dimana unsur individu tadi merupakan bagiannya.
Sedangkan kaidah-kaidah yang terkait dengan subjek penafsiran, Pertama,
kaidah aktualitas pemahaman (The canon of the actuality of understanding). Dengan
kaidah ini Emilio Betti memaksudkan bahwa tugas penafsir adalah untuk menelusuri
kembali proses kreatif, membangun kembali proses tersebut dalam dirinya,
menerjemahkan kembali pemikiran Yang Lain, bagian dari masa lalu, peristiwa yang
telah diingat, ke dalam akutalitas kehidupannya sendiri. Maksudnya, mengadapsi dan
16

josef

mengintegrasikannya ke dalam wawasan intelektual seseorang dalam framework


pengalamannya sendiri dengan melalui sejenis transformasi dengan didasarkan
kepada sistesis yang sejenis yang memungkinkan rekognisi dan rekonstruksi dari
fikiran tersebut. Tugas penafsir adalah menemukan makna yang dimaksud pengarang.
Bagaimanapun, ini tidak menunjukkan penafsir adalah penerima yang passif tetapi
rekonstruktif secara aktif. Selain itu, kondisi subjek penafsir tidak tepat untuk
disamakan dengan gagasan Gadamer Vorverstndnis (pra-pemahaman).
Kedua, kaidah korespondensi makna hermeneutis (kemantapan-makna dalam
pemahaman). Menurut kaidah ini, penafsir seharusnya berusaha membawa aktualitas
kehidupannya sendiri ke dalam harmoni yang paling erat dengan stimulasi yang ia
terima dari objek sehingga satu dan yang lain meresonansikan dengan cara yang
harmoni. Kaidah ini mensyaratkan penerjemah harus membawa subjektifitasnya ke
dalam harmoni dengan stimulasi-stimulasi objeknya. Betti mengakui fakta bahwa
penerjemah bisa memahami pokok persoalan dalam pengalamannya sendiri, tetapi dia
harus membuat selalu berusaha untuk mengkontrol prejudis-prejudisnya dan
mensubordinasikan pengetahuannya ke dalam objek makna yang disampaikan di
dalam teks.
Di sisi yang lain, Gadamer terutama, membawa persoalan hermeneutika
dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang lebih filosofis tentang hakekat
memahami itu sendiri. Bagi Gadamer, berbicara tentang interpretasi objektif yang
valid adalah sesuatu yang naif.
Beberapa contoh dari proyek hermeneutika Betti dan keberatannya terhadap
posisi Gadamer akan menjelaskan ketetapan hatinya terhadap obyektivitas. Penafsiran
terhadap objek bagi Betti, merupakan sebuah objektivikasi dari semangat manusia
(Geist) yang diekspresikan dalam bentuk pikiran yang sehat. Interpretasi, kemudian
membutuhkan pengakuan dan rekonstruksi makna yang pengarang itu sendiri telah
memasukkannya. Dengan kata lain, bahwa seorang penafsir harus melakukan ziarah

ke dalam subjektivitas asing dan dengan melalui suatu inversi proses kreatif, kembali
lagi pada ide atau interpretasi yang telah dimasukkan ke dalam objek.17

17

edi

Vous aimerez peut-être aussi