Vous êtes sur la page 1sur 23

DEMAM REMATIK AKUT

Kelompok A20
Riza Darmayanti
Resha Ardianto
Vihara Dwi M
Asti Preatiwi
Yenny Ardiani
Nasratul ilmi
PEMBIMBING
Dr. Soewarsi Retnowati, Sp.A

SMF ILMU KESEHATAN ANAK RSUD JOMBANG


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Rheumatic fever merupakan suatu hasil reaksi auto imun akibat infeksi bakteri steptococcus
Grup A (GAS) (Mishra :2007)
Etiology
Penyebab dari ARF adalah Grup A Steptococcus (GAS) yang juga dikenal sebagai
steptococcus pyogenes. GAS merupakan bakteri gram positif berbentuk coccus yang tumbuh
membentuk rantai . GAS yang biasa menyebabkan ARF adalah GAS dengan strain
hemolyticus.

GAS mempunyai struktur M protein yang berfungsi sebagai salah satu

mekanisme pertahanan diri terhadap reaksi imun tubuh (Kliegman :2007)


Epidemiology
Menurut Kliegman ARF dapat mengenai segala usia yang tidak mempunyai immune response
spesific terhadap serotype GAS . ARF sangan jarang mengenai neonatus . angka prevalensi
terbanyak mengenai anak usia 3-15 tahun terutama pada usia anak sekolah. Tingkat incidenci
ARF meningkat pada era abad 20-an terutama pada negara berkembang termasuk indonesia
sekitar 50 kasus per 100.000 orang (Jackson:2007). Tingkat prevalensinya selalu meningkat
dari tahun ke tahun sekitar 0,2 hingga 0,5 /100.000 penduduk (TibarzawaMayosi :2008).
Patogenesis
Streptokokus grup A (Streptococcus pyogenes) telah lama berhubungan dengan
perkembangan gejala sisa autoimun terkait dengan demam rematik [Cunningham MW. 2000].
Manifestasi utama dari demam rematik melibatkan jantung, sendi, otak, atau kulit. Karditis
rematik adalah yang paling serius dari semua lima dari gejala sisa streptokokus dan

menyajikan dengan murmur jantung akibat katup deformasi. Sydenham chorea adalah
manifestasi neurologis dari demam rematik [Cunningham MW. 2012] dan dapat hadir sematamata atau dalam hubungannya dengan karditis, atau polymigrating arthritis adalah manifest
yang paling sering ditemukan pada demam rematik umum [Cunningham MW. 2012]. Tandatanda lain dari demam rematik termasuk eritema marginatum dan nodul subcutanteous.
Kriteria Jones mendefinisikan demam rematik diagnosis, dan lima manifestasi utama ini,
salah satu yang mungkin ada, serta dokumentasi dari infeksi streptokokus dengan kultur
mikrobiologis atau titer antibodi antistreptococcal tinggi seperti peningkatan antistreptolysin
O dan anti-DNAse B yang menunjukkan infeksi sebelumnya dengan streptokokus grup A.
(Cunningham MW. 2012).

(Luiza, 2005)
Ket : (A) Infeksi tenggorokan dengan Streptococcus pyogenes hasil dalam presentasi antigen
streptokokus oleh antigen-presenting sel seperti makrofag, dan priming sel B dan sel CD4 + T
untuk menghasilkan respon humoral dan cell-mediated terhadap antigen streptoccal. (B)
Beberapa antibodi mampu cross-reactive protein jantung, memfasilitasi infiltrasi seluler sel
CD4 + T mengenali protein jantung-jaringan dengan mimikri molekuler, memicu lesi jantung
(Guilherme, L. et al. 1995). (C) Dalam jaringan katup, pengendapan antibodi crossreactive
meningkatkan ekspresi VCAM-1, yang berinteraksi dengan VLA-4 diekspresikan pada
permukaan sel T dan memfasilitasi infiltrasi seluler (Galvin, J.E. et al. 2000). Sitokin

inflamasi seperti TNF-a dan IFN-g memediasi perkembangan lesi, dan rendahnya jumlah IL4-sel yang memproduksi berkontribusi pada perkembangan dan pemeliharaan lesi katup
(Roberts, S. et al. 2001). Singkatan: IFN-g, interferon g; IL-4, interleukin 4; MHC, major
histocompatibility complex; TCR, reseptor T-sel; TNF-a, faktor nekrosis tumor; VCAM-1,
molekul adhesi sel vaskular 1; VLA-4, sangat terlambat antigen 4.

Ket : Dua hipotesis inisiasi karditis rematik. Infeksi streptokokus grup A mengarah ke
produksi antigroup A antibodi karbohidrat (sel B) yang crossreacts dengan endotelium katup
dan meregulasi adhesi sel vaskular molekul-1 (VCAM-1) pada endotelium katup pada
Langkah 1. Pada Langkah 2, sel T responsif terhadap streptokokus epitop protein M
mematuhi VCAM-1 pada katup diaktifkan endotelium permukaan dan ekstravasate ke katup.
Diagram menggambarkan dua langkah pertama awal penyakit jantung rematik (Cunningham
MW. 2006).

Ket: Ilustrasi sederhana dari mekanisme patogen potensial di Sydenham chorea. Antibodi
antineuronal (IgG) dapat mengikat reseptor pada sel-sel saraf dan memicu kaskade sinyal dari
CaMKII, tirosin hidroksilase dan pelepasan dopamin yang berpotensi menyebabkan kelebihan
dopamin dan manifestasi dari Sydenham chorea. (Cunningham MW. 2006).

Manifestasi klinis demam rematik


Onset dari Demam reumatik biasanya disertai dengan demam akut 2-4 minggu setelah
faringitis. Diagnosa utamanya klinis dan berdasarkan temuan dari beberapa gejala yang
mulanya ditetapkan didalam kriteria Jones
Kriteria Jones
Manifestasi mayor:
1. Karditis
2. Poliarthritis
3. Korea

4. Eritema marginatum
5. Nodulus subkutan
Manifestasi minor:
a. Artralgia
b. Demam
c. Lab: - ASTO meningkat, LED meningkat dan atau C reactive protein meningkat ditambah
adanya bukti infeksi streptokokus sebelumnnya berupa kultur tenggorok yang positive (WHO,
2009).
Diagnosis berdasarkan criteria jones ditegakkan bila ditemukan 2 kriteria mayor atau 1
kriteria mayor+2 kriteria minor, ditambah dengan bukti infeksi streptokokus Grup A
tenggorok positif+peningkatan titer antibody streptokokus (WHO, 2009).
Diagnosis Demam reumatik ditegakkan berdasarkan kriteria jones dan salah satu
kriteria mayor adalah karditis yang menunjukkan adanya keterlibatan katup jantung dan dapat
diperkirakan secara klinis dengan terdapatnya murmur pada pemeriksaan auskultasi, namun
seringkali klinisi yang berpengalamanpun tidak mendengar adanya murmur padahal sudah
terdapat keterlibatan katup pada pasien tersebut. Keterlibatan katup seperti ini dinamakan
karditis/ valvulitis subklinis.Saat ini, diagnosis Demam reumatik ditegakkan berdasarkan
Kriteria Jones. Namun dalam praktek sehari- hari tidak mudah untuk menerapkankan hal
tersebut (WHO, 2009).
Nyeri tenggorokan :
Hanya 35-60% penderita DRAyang ingat adanya infeksi saluran nafas atas pada
beberapa minggu sebelumnya. Kebanyakan tidak mengobati keluhannya (Turi, 2007).
Polyarthritis :

Risiko artritis adalah 75% pada serangan pertama demam rematik, dan resiko ini semakin
meningkat dengan peningkatan usia. Artritis merupakan manifestasi utama pada 92% usia dewasa.
Artritis pada demam reumatik biasanya simetris dan mengenai sendi utama seperti lutut, siku,
pergelangan tangan, dan pergelangan kaki. Beberapa sendi sekaligus bisa terkena biasanya radang
pada sendi lain akan mulai sebelum radang sendi sebelumnya mereda sehingga timbul gambaran
seolah-olah nyeri sendi berpindah pindah (migratory). Radang biasanya akan mereda dalam
hitungan hari sampai minggu dan umumnya sembuh sempurna (Misra TK, 2007).
Atralgia yang merupakan suatu kriteria minor, juga sering menyebabkan seorang dokter
mendiagnosa sebagai Demam reumatik terutama jika terdapat kriteria minor yang lain, seperti
febris dan bukti adanya infeksi streptokukkus seperti ASTO. Penelitian di RS Hasan sadikin
bandung menunjukkan terdapat 24 kasus dari 113 kasus dengan atralgia dan febris, yang setelah
ditelaah ulang, tidak memenuhi kriteria Jones, hasil ekokardiografi juga tidak menunjukkan
adanya tanda-tanda karditis (Rahayuningsih SE, 2010).

Sydenham chorea
Insidensi sydenham chorea muncul dalam 1-6 bulan setelah infeksi streptokokus,
progresif secara perlahan dan memberat dalam 1-2 bulan.Kelainan neurologis berupa gerakan
involunter yang tidak terkoordinasi (choreiform), pada muka, leher, tangan dan kaki. Disertai
dengan gangguan kontraksi tetanik dimana penderita tidak bisa menggenggam tangan
pemeriksa secara kuat terus menerus (milk sign) (Flyer DC, 2006).
Kelainan lain yang bisa muncul gangguan berbicara, dan gangguan motorik halus.Bila
tidak ada riwayat keluarga berupa huntington chorea maka dengan munculnya chorea
diagnosis Demam reumatik hampir bisa dipastikan. Dan pengamatan melalui pola tulisan
tangan bisa digunakan untuk melihat perbaikan atau perburukan dari gejala ini. Kelainan ini
tidak permanen dan bisa sembuh spontan setelah 3-6 bulan walau gejala bisa timbul lagi

dalam 1 tahun pertama dan pada 20% penderita bisa hilang timbul sampai 2-3 tahun
(Rahayuningsih, 2010).
Erythema marginatum
Muncul dalam 10% serangan pertama Demam reumatik biasanya pada anak anak,
jarang pada dewasa.Lesi berwarna merah, tidak nyeri dan tidak gatal dan biasanya pada
batang tubuh, lesi berupa cincin yang meluas secara sentrifugal sementara bagian tengah
cincin akan kembali normal (Turi, 2007).
Nodul subkutan
Nodul subkutan muncul beberapa minggu setelah onset demam rematik, dan biasanya
tidak disadari penderita karena tidak nyeri. Biasanya berkaitan dengan karditis berat,
lokasinya di permukaan tulang dan tendon, serta menghilang setelah 1-2 minggu
(Rahayuningsih, 2010).
Karditis
Frekuensi karditis 30-60% pada serangan pertama, dan sering pada anak anak. Karditis
adalah satu satunya komplikasi Demam reumatik yang bisa menimbulkan efek jangka
panjang. Kelainannya berupa pankarditis, yaitu mengenai perikardium, epikardium,
miokardium dan endokardium. Pada Demam reumatik sering terjadi pankarditis yang ditandai
dengan perikarditis, myokarditis dan endokarditis (Rahayuningsih, 2010).
Perikarditis ditandai dengan pericardial friction rub. Pada efusi perikard bisa didengar
adanya muffled sound, dan pulsus paradoks ( penurunan tekanan sistolik yang besar di saat
inspirasi). Karakterisitik miokarditis adalah infiltrasi sel mononuklear, vaskulitis dan
perubahan degeneratif pada interstisial conective tissue. Bentuk endokarditis tersering adalah
insufisiensi katub mitral (Turi, 2007).

Katub yang sering terkena adalah katub mitral (65-70%) dan katub aorta (25%). Katub
trikuspid hanya terganggu pada 10% dan hampir selalu berhubungan lesi pada katub mitral
dan aorta. Sedangkan katub pulmonal sangat jarang terlibat.Insufisiensi katub yang berat pada
fase akut dapat menyebabkan gagal jantung dan kematian (pada 1% penderita). Perlengketan
pada jaringan penunjang katub akan menghasilkan stenosis atau kombinasi antara stenosis dan
insufisiensi yang muncul dalam 2-10 tahun setelah episode demam reumatik akut.
Perlengketan bisa terjadi pada tingkatan ujung bilah katub, bilah katub dan chorda atau
kombinasi dari ketiga tingkatan tersebut (Turi, 2007).
Bising jantung yang sering pada demam rematik:
- Bising mitral regurgitasi berupa bising pansistolik, high pitch, yang radiasi ke axilla. Tidak
dipengaruhi oleh posisi dan respirasi. Intensitas 2/6.
- Carey coombs bising : bising diastolik di apeks pada karditis yang aktif dan menyertai mitral
insufisiensi berat. Mekanismenya berupa relatif mitral stenosis
yang diakibatkan dari volume yang besar yang melalui katub mitral saat pengisian
ventrikel.
- Bising aorta regurgitasi : bising awal diastolik yang terdapat dibasal, dan terbaik didengar
pada sisi atas kanan dan kiri sternum saat penderita duduk miring kedepan (Rahayuningsih,
2010).

Pemeriksaan Laboratorium
-

Kultur tenggorokan merupakan gold standard untuk konfirmasi infeksi strptokokus grup A.

Pemeriksaan antigen cepat tidak sesenstif kultur tenggorokan, sehingga apabila hasilnya
negatif tetap perlu dilakukan kultur tenggorokan. Dengan spersifitasnya yang tinggi apabila
hasil pemeriksaan antigennya positif merupakan konfirmasi infeksi streptokokus grup A.

Pemeriksaan titer antibodi menggunakan antistreptolisin O (ASO), antistreptococcal

DNAse B (ADB) dan antistreptococcal hyaluronidase (AH).

i)

ASO untuk mendeteksi antibodi streptokokus terhadap streptokokus lysin O, peningkatan titer
2 kali lipat menunjukkan bukti infeksi terdahulu.

ii)

Pemeriksaan antibodi ini harus berhati hati pada daerah dengan infeksi streptokokus yang
tinggi, karena kadar titer yang tinggi secara umum pada populasi tersebut.
-

Reaktan fase akut : C reactive protein (CRP) dan lanju endap darah akan meningkat pada
demam reumatik, merupakan kriteria minor dari jones.

Kultur darah berguna untuk menyingkirkan infektif endokarditis, bakteremia dan infeksi
gonokokus (Flyer Dc, 2006).
Foto toraks
Pada pasien karditis dan gagal jantung foto thorak akan timbul kardiomegali
(Rahayuningsih, 2010)
Elektrokardiografi
Kelainan yang terpenting adalah PR interval memanjang ( kriteria minor jones) tetapi
bukan bukti adanya karditis. Kelainan lain yang bisa muncul : Blok derajat 2 dan 3. Pada
penderita penyakit jantung rematik kronis bisa ditemukan pembesaran atrium kiri akibat dari
mitral stenosis.
Ekokardiografi

Penelitian yang dilakukan di RS Hasan Sadikin Bandung tentang peranan ekokardiografi


dalam mendiagnosis DRA menunjukkan menunjukkan sensitifitas dan spesifisitas
ekokardiografi ditemukan 89,4% dan 38,7% .Sehingga ekokardiografi dapat disarankan untuk
dimasukkan dalam algoritma Demam reumatik (Marijon E, 2007).

Penatalaksanaan demam rematik akut


Penatalaksanaan penyakit ini hampir seluruhnya terdiri atas cara-cara nonspesifik: tirah
baring, penisilin untuk mengeradikasi streptokokus beta hemolitikus dan aspirin untuk nyeri
artritis. Steroid belum terbukti efektif dalam meminimalkan kerusakan katup, dan steroid ini
tidak boleh digunakan kecuali untuk pasien dengan karditis yang berat yang mengancam jiwa
(Brook, 2010).

Tatalaksana komprehensif pada pasien dengan demam rematik meliputi:

Pengobatan manifestasi akut, pencegahan kekambuhan dan pencegahan endokarditis pada


pasien dengan kelainan katup.

Pemeriksaan ASTO, CRP, LED, tenggorok dan darah tepi lengkap. Ekokardiografi untuk
evaluasi jantung.

Antibiotik: penisilin, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama 10 hari bagi pasien dengan
alergi penisilin (WHO, 2008).
Benzantin penicillin G

Dosis 0,6-1,2 juta U i.m

Juga berfungsi sebagai pencegahan dosis pertama


Jika alergi terhadap benzantin penisilin G

Eritromisin 40mg/kgbb/hari dibagi 2-4 dosis selama 10 hari

Alternatif lain: penisilin V 4 X 250 mg p.o. selama 10 hari (PPM, )

Tirah baring bervariasi tergantung berat ringannya penyakit.

Aktivitas

Artritis

Karditis
minimal
2-4
minggu

Karditis
sedang
4-6 minggu

Tirah
baring

1-2 minggu

Aktivitas
dalam
rumah
Aktivitas
di luar
rumah
Aktivitas
penuh

Karditis berat

1-2 minggu

2-3
minggu

4-6 minggu

2-4 bulan/selama
masih terdapat
gagal jantung
kongestif
2-3 bulan

2 minggu

2-4
minggu

1-3 bulan

2-3 bulan

Setelah 610 minggu

Setelah 610 minggu

Setelah 3-6
bulan

bervariasi

(Pudjiadi, 2011).

Anti inflamasi dimulai setelah diagnosis ditegakkan

Bila hanya ditemukan artritis diberikan asetosal 100 mg/kgBB/hari sampai 2 minggu,
kemudian diturunkan selama 2-3 minggu berikutnya.

Pada karditis ringan-sedang diberikan asetosal 90-100 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4-6 dosis
selama 4-8 minggu bergantung pada respons klinis. Bila ada perbaikan, dosis diturunkan
bertahap selama 4-6 minggu berikutnya.

Pada karditis berat dengan gagal jantung ditambahkan prednison 2 mg/kgBB/hari diberikan
selama 2-6 minggu.

Manifestasi klinis

Tirah baring

Obat

anti

Kegiatan

infllamasi
Artritis

tanpa

Total : 2 minggu

Asetosal

Masuk

sekolah

karditis

100mg/kgbb

setelah 4 minggu,

Mobilisasi

selama 2 minggu

bebas olahraga

bertahap dalam 2

75mg/kgbb

minggu

selama 4 minggu
berikutnya

Artritis + karditis

Total 4 minggu

Asetosal

Masuk

100mg/kgbb

setelah 8 minggu,

Mobilisasi

selama 2 minggu

bebas olahraga

bertahap 4 minggu

75mg/kgbb

tanpa
kardiomegali

sekolah

selama 4 minggu
berikutnya
Artritis

Total 4 minggu

Masuk

sekolah

mg/kgbb selama 2

setelah

12

Mobilissi bertahap

minggu, tapering

minggu,

jangan

4 minggu

off

olahraga

berat

kardiomegali

Prednison

selama

minggu

atau kompetitif

Asetosal
75mg/kgbb mulai
awal minggu ke-3
selama 6 minggu
Artritis

Total

kardiomegali

Dekompensasi

Masuk

sekolah

dekompensaasi

mg/kgbb selama 2

setelah

12

kordis

minggu, tapering

minggu,

off

dekompensasi

kordis

selama

Prednison

selama

Mobilisasi

minggu

teratasi.

bertahap

Asetosal

Dilarang olahraga

75mg/kgbb mulai

2-5 tahun

awal minggu ke-3


selama 6 minggu

Pencegahan
Sesudah pengobatan DRA selama 10 hari dilanjutkan dengan pencegahan sekunder. Cara
pencegahan sekunder yang diajukan oleh The American Heart Association dan WHO, yaitu
mencegah infeksi streptokokus.
a. Pencegahan primer
Penisilin oral untuk eradikasi Streptococcus beta hemolyticus group A selama 10 hari atau
benzathine penicillin G 0.6-1.2 juta unit IM
b. Pencegahan sekunder
Benzantin penisilin G 600.000 U IM untuk berat badan<27 kg (60 pound), 1,2 juta U untuk
berat badan >27 kg (60 pound) setiap 4 minggu/28 hari
Pilihan lain:
-

Penisilin V p.o.125250mg 2 kali sehari Sulfadiazin 1 g p.o. sekali sehari Eritromisin --250
mg p.o. 2 kali sehari Diberikan pada demam reumatik akut, termasuk korea tanpa penyakit
jantung reumatik.

Lama pencegahan adalah sebagai berikut:


Kategori pasien
Demam

rematik

Durasi
tanpa

karditis
Demam

Sedikitnya sampai 5 tahun setelah serangan


terakhir atau hingga usia 18 tahun

rematik

dengan

Sedikitnya sampai 10 tahun setelah serangan

karditis tanpa bukti adanya

terakhir atau hingga usia 25 tahun, dipilih jangka

penyakit

waktu yang terlama

jantung

residual/kelainan katup.
Demam

reumatik

akut

Sedikitnya 10 tahun sejak episode terakhir atau

dengan

karditis

dan

sedikitnya hingga usia 40 tahun, dan kadang-

penyakit jantung residual

kadang seumur hidup

(kelainan katup persisten)


Setelah operasi katup

Seumur hidup

(Pudjiadi, 2011).
Prognosis
Morbiditas demam reumatik akut berhubungan erat dengan derajat keterlibatan jantung.
Mortalitas sebagian besar juga akibat karditis berat, komplikasi yang sekarang sudah jarang
terlihat di negara maju (hampir 0%) namun masih sering ditemukan di negara berkembang (110%). Selain menurunkan mortalitas, perkembangan penisilin juga mempengaruhi
kemungkinan berkembangnya menjadi penyakit valvular kronik setelah serangan demam
reumatik aku. Sebelum penisilin, persentase pasien berkembang menjadi penyakit valvular
yaitu sebesar 60-70% dibandingkan dengan setelah penisilin yaitu hanya sebesar 9-39%
(Pudjiadi, 2011).

BAB II
PEMBAHASAN
Data Pasien (MRS 06-06-2014)
An. Perempuan, 9 tahun, pelajar

Teori
Identitas ini sesuai dengan teori yang
menjelaskan bahwa angka prevalensi
terbanyak pada demam rematik mengenai
anak usia 3-15 tahun terutama pada usia
anak sekolah (Jackson,2007).

Keluhan utama: Nyeri seluruh


tubuh
RPS: Nyeri seluruh tubuh (+) mulai

Manifestasi mayor

selasa pagi, disertai kedua kaki

-Karditis

bengkak (+) 3 hari sebelumnya dan

-Poliartritis

sekarang sudah berkurang, terasa

-Khorea

sakit saat jalan (+) pada hari kamis.

-Eritema marginatum

Selain itu demam(+), sakit kepala

-Nodul subkutan

(+), muncul bercak-bercak merah

Manifestasi minor

(+) di kedua kaki dan bertambah

-Demam

banyak. Nafsu makan dan minum

-Arthralgia

menurun. Kemudian merasa perut

riwayat demam rematik atau penyakit

terasa sakit, perih dan muntah (+)

jantung rematik.

tiap kali makan dan minum. Belum

Pada pasien ini terdapat gejala mayor

BAB selama 4 hari, BAK lancar

seperti poliarthritis (+), eritema marginatum

seperti biasa.

(+), dan kriteria minor seperti demam (+),


sesuai dengan teori yang menjelaskan bahwa
Demam rematik menurut Kriteria jones
ditegakkan bila ditemukan 2 kriteria mayor,
atau 1 kriteria mayor (WHO,2009)
Pada pasien ini juga mengalami edem
kedua tungkai (+), nausea (+), vomiting (+),

cephalgia (+), konstipasi (+), kemungkinan


Streptococcus beta hemoliticus grup A juga
menyerang ke ginjal yang termasuk gejala
dari glomeluronefritis (Noer, 2008)
Gejala mual muntah juga kemungkinan
mengalami gastritis.
RPD: Sering mengalami sakit

Riwayat faringitis sebelumnya ini sesuai

tenggorokan (Faringitis)

dengan teori yang menjelaskan bahwa Onset

Terakhir 1 bulan yang lalu. Sejak

dari Demam reumatik biasanya disertai

kecil sering seperti ini. Kurang

dengan demam akut 2-4 minggu setelah

lebih hampir tiap bulan sering

faringitis (WHO,2009).

summer-summer dan langsung

Penyebab faringitis adalah Sreptococcus

minum obat. Saat summer-summer

beta haemoliticus grup A,yang merupakan

mengeluh tenggorokan sakit. Untuk

penyebab demam reumatik akut.

pengobatan hanya diminum1-2 hari


setelah keluhan hilang.Riw obat:
antibiotik (amoksisilin) dan
penurun panas (parasetamol)
Riw Imunisasi : lengkap
RPK : RPSos : Sering jajan di sekolah dan
minum es.
Selalu ikut kegiatan di sekolah.
Pemeriksaan fisik:

Pada pemeriksaan fisik didapatkan

- Keadaan umum : lemah

eritema marginatum yang termasuk criteria

- Kesadaran : composmentis

mayor dari demam rematik akut.

- Status Gizi :

Eritema marginatum, Muncul dalam 10%

BB : 22 kg

serangan pertama Demam reumatik biasanya

TB : 110 cm

pada anak anak, jarang pada dewasa.Lesi

- Vital sign :

berwarna merah, tidak nyeri dan tidak gatal

TD: 110/60

dan biasanya pada batang tubuh, lesi berupa

HR : 110

cincin yang meluas secara sentrifugal

RR: 28

sementara bagian tengah cincin akan

t: 37,8C

kembali normal (Turi, 2007).

- KEPALA:
A/I/C/D (-/-/-/-), pch (-)
- LEHER : pembesaran KGB (-)
- THORAX:
I: Gerak dinding dada simetris, retraksi
(-)
P: gerak didnding dada simetris stem
fremitus normal
P: sonor
A: suara nafas vesikuler normal, rh -/-,
wh -/-, s1-s2 tunggal reguler murmur
(-), gallop (-)

- ABDOMEN
I: flat, tumor (-)
P: soefel (-), massa (-), nyeri perut (+)
P: timpani, meteorismus (-)
A: BU (+) normal

- EKSTREMITAS
AH +/+, pitting edem +/+ pada
kedua tungkai, terdapat eritema di
ekstremitas inferior.
Pemeriksaan penunjang :
- Darah lengkap:

Pemeriksaan penunjang untuk demam


rematik :

Hb : 12,4

- ASTO

Leukosit : 15.200 ()

- CRP

Hct : 38,3

- LED

Erotrosit : 4,440.000

- Darah tepi lengkap

Trombosit : 399.000

- EKG

LED : 61/82 ()

Pada pemeriksaan laboratorium

- UL

didapatkan leukositosis (+), LED (), CRP

pH: 6,5

(), ASTO () ,Hal ini sesuai dengan teori

Protein: (-)

yang menjelaskan bahwa pada demam

Glukosa: (-)

rematik akut akan didapatkan tanda-tanda

Bilirubin : (-)

peradangan akut berupa terdapatnya C

Urobilin : Normal

reaktiv protein dan leukositosis serta

Sedimen :

meningginya laju endap darah. Titer ASTO

Eritrosit : 2-3

meninggi pada kira-kira 80%.

Leukosit : 1-2

Silinder : (-)

pemeriksaan EKG yang menurut teori Pada

Epitel: (0-1)

pemeriksaan EKG didapatkan PR interval

Kristal: (-)

yang memanjang (Flyer c, 2006)

- Imunologi serologi :

Pada pasien ini belum dilakukan

Disamping itu pemeriksaan ASTO ()

CRP : 13 () (N :< 5)

juga didapatkan pada penyakit

ASTO : 3200 ()

glomeluronefritis akut pasca Streptococcus

- Kimia klinik

grup A (Noer,2008)

SGOT : 16
SGPT : 10
Albumin : 2,49 ()
Kreatinin : 0,50
Ureum : 15,6
- Feses lengkap :
Warna: coklat kehitaman
Makros : lembek, darah (-), lendir
(-)
Mikros : eritrosit (-), leukosit (1-2),
amoeba (-), cacing (-)
Foto USG : tampak gambaran
Gastritis
Terapi yang diberikan:
- Infus D5 NS 250 cc/24 jam

Terapi Ampicilin yang sudah diberikan


sesuai teori yang menjelaskan bahwa

- Inj Ampicilin Sx 3x1,5

Penatalaksanaan penyakit ini hampir

- Inj Gentamicin 1x80 mg

seluruhnya terdiri atas cara-cara nonspesifik:

- Inj Parasetamol 3x25 cc

tirah baring, penisilin untuk mengeradikasi

- Inj Ranitidin 3x amp

streptokokus beta hemolitikus grup A dan

- Antasid syr 3x5cc

aspirin untuk nyeri artritis. (Brook, 2010).

- Albumin 100/6 jam

Tetapi pada pasien belum mendapatkan


terapi aspirin.
Pemberian ranitidine dan antacid cocok
pada pasien ini dikarenakan pasien
mengalami gastritis
Untuk arthritis pasien diharapkan diberi
Asetosal 100mg/kgbb selama 2 minggu
75mg/kgbb selama 4 minggu berikutnya.
Pemberian albumin pda demawm rematik
tidak ada. Tetapi untuk komplikaasi
streptocokus beta hemolitikus bias
menyerang ginjal yang menyeybabkan GNA
maka albumin cocok diberikan pada kasus
ini dikarenakan hasil lab menunjukkan
demikian.

DAFTAR PUSTAKA
Brook Michael M, 2010. Sistem kardiovaskular dalam Nelson Esensi Pediatri Edisi
IV. Jakarta: EGC. Pp 640-641
Cunningham MW. 2000. Pathogenesis of group A streptococcal infections. Clin
Microbiol Rev.;13:470511. [PMC free article] [PubMed]
Cunningham MW. 2012. Streptococcus and rheumatic fever. Curr Opin Rheumatol.
Jul 2012; 24(4): 408416.
Cunningham MW. 2006. Molecular mimicry, autoimmunity and infection in the
pathogenesis of rheumatic fever.. In: Sriprakash KS, editor. Streptococci: new insights into an
old; The Proceedings of the XVIth Lancefield International Symposium on Streptococci and
Streptococcal Diseases; The Netherlands: Elsevier. B.V.;. pp. 1419. International Congress
Series 1289. The Netherlands.
Flyer DC. Rheumatic fever. Dalam: Keane JF, Lock JE, Flyer DC. Nadas pediatric
cardiology. Edisi ke-2. Philadelphia: Elsevier; 2006. h. 387-400.
Guilherme, L. et al. (1995) Human heart-infiltrating T-cell clones from rheumatic
heart disease patients recognize both streptococcal and cardiac proteins. Circulation 92, 415420
Galvin, J.E. et al. (2000) Cytotoxic mAb from rheumatic carditis recognizes heart
valves and laminin. J Clin Invest 106, 217-224
Guilherme, L. et al. (2004) Rheumatic heart disease: proinflammatory cytokines play a
role in the progression and maintenance of valvular lesions. Am J Pathol 165, 1583-1591
Jackson,Catherine. Rheumatic Fever Epidemiology. 2007.Public Health Medicine
Specialist.
TK Mishra. Acute Rheumatic Fever and Rheumatic Heart Disease:Current Scenario .
JIACM 2007; 8(4): 324-30
Kliegman. Nelson Textbook of Pediatrics, 18th ed. Saunders :2007

Luiza Guilherme, Kellen Fa, Sandra E. Oshiro and Jorge Kalil. 2005. Major events
triggering rheumatic heart disease lesions. Expert Reviews in Molecular Medicine
Cambridge University Press.
Marijon E, dkk. Prevalence of rheumatic heart disease detected by echocardiographic
screening. NEJM. 2007;357:470-6.
Mishra TK. Acute rheumatic fever and rheumatic heart disease: current scenario. JIACM.
2007;8(4):324-30.
Pudjiadi AH, Badriul H, Setyo H et all. 2011. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia Edisi II. Pp 41-45.
Roberts, S. et al. (2001) Pathogenic mechanisms in rheumatic carditis: focus on
valvular endothelium. J Infect Dis 183, 507-511
Rahayuningsih SE, Farrah A. Role of echoacardiography in diagnose of acute rhematic
fever Paediatrica Indonesiana Vol 50 no 2 (supplement). March 2010.
Tibazarwa KB, Volmink JA, Mayosi BM. Incidence of acute rheumatic fever in the
world: a systematic review of population-based studies. Heart 2008;94:1534-1540
Turi, B.S.R.Z.G., Rheumatic Fever, in Braunwalds Heart Disease A Textbook of
Cardiovascular Medicine, M.P.L. Eugene Braunwald, MD Robert O. Bonow, MD, Editor.
2007, Saunders Elsevier: Philadelphia
WHO, 2009. Pocket Book of Hospital Care for Children, Guidelines for the
Management of Common Illnesses with Limited Resources. Jakarta: WHO Indonesia

Vous aimerez peut-être aussi