Vous êtes sur la page 1sur 43

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah Yang Maha Esa, Karena atas rahmat dan ridhonyalah,
penulis dapat menyelesaikan presentasi kasus ini dengan baik dan sesuai dengan waktunya. Presentasi
kasus ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik Ilmu penyakit dalam di
RSUD Arjawinangun.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Hami Zulkifli Abbas
Sp.PD. MH.Kes, Dr. Sianne A. Wahyudi Sp.PD dan dr. Sunhadi selaku pembimbing dalam penyusunan
presentasi kasus ini, serta berbagai pihak yang telah membantu penulis sehingga tugas presentasi kasus
ini dapat diselesaikan dengan baik
Semoga presentasi kasus ini dapat menambah wawasan kita dalam dunia kesehatan, khususnya
pada topik Leukemia. Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, karena itu penulis
mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun.

Arjawinangun, 22 agustus 2010

Penulis

IHSAN PANJI SANTIKO

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...

DAFTAR ISI..

BAB I .

Identifikasi Kasus
BAB II

13

Pembahasan
DAFTAR PUSTAKA

49

BAB I
IDENTIFIKASI KASUS

I.

IDENTITAS PASIEN

Nama

: Tn A

Jenis Kelamin

: laki-laki

Umur

: 42 tahun

Alamat

: kondangsari

Pendidikan

: SD

Pekerjaan

: buruh tani

Agama

: Islam

Status Perkawinan

: Menikah

Tgl. Masuk RS

: 10 agustus 2010

Tgl. Keluar RS

: 16 agustus 2010

II.

ANAMNESIS

a. Keluhan utama
Perut membesar
b. Keluhan tambahan
mual, muntah, sakit kepala

c. Riwayat penyakit sekarang


Os, laki-laki berusia 42 tahun datang ke IGD RSUD arjawinangun dengan keluhan perut membesar sejak
3 bulan sebelum masuk rumah sakit.

Demam naik turun namun pasien tidak pernah merasakan

demamnya hilang. Demam tidak disertai menggigil. Demam sering disertai berkeringat pada malam hari
sehingga baju pasien terlihat basah pada pagi hari. Pasien juga mengeluhkan sesak napas pada malam hari
sehingga pasien susah tidur. Keluhan batuk disangkal pasien. Pasien mengeluhkan sariawan di mulutnya.
Sariawan tidak terasa nyeri. Selain itu pasien mengeluh merasa lemah, lemas dan lesu serta kurang nafsu
makan. Pasien mengaku berat badannya menurun, berat badan pasien 6 bulan yang lalu sekitar 55 kg.
d. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat

penyakit jantung disangkal

penyakit paru disangkal

penyakit ginjal disangkal

penyakit liver disangkal

penyakit DM disangkal

e. Riwayat penyakit keluarga


Os tidak mengetahui tentang riwayat penyakit keluarganya
f. Riwayat pengobatan
pasien belum berobat ke dokter

III.

STATUS PRESENS

Vital sign
Sensorium

: Compos Mentis

Keadaan umum

: tampak sakit sedang

Tensi

: 140/90 mmHg

Suhu

: 37,5oC

Pulsasi

: 88x/menit

Respirasi

: 24 x / menit

Tinggi Badan

: 163 cm

Berat Badan

: 54 kg

Status gizi:
BMI =

= 20,3 = gizi cukup

IV. PEMERIKSAAN FISIK


Status Generalis
Kepala :
Rambut tidak mudah tercabut
Mata: Palpebra edema -/-; Konjungtiva anemis +/+; Sklera ikterik -/-; Refleks pupil +/+, isokor
Hidung: tidak ada kelainan
Telinga: tidak ada kelainan
Mulut: tremor (--)
Leher :
Trakea berada di tengah
Tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid
Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening (KGB)
JVP tidak meningkat
Toraks :

: Bentuk dada normal dan simetris, tidak terlihat massa dan benjolan

: Kedua hemitoraks teraba simetris, tidak teraba massa atau benjolan, tidak teraba krepitasi

Paru-Paru:
I

: Dinding dada datar, dalam keadaan statis kedua hemitoraks terlihat simetris, dalam keadaan

dinamis gerakan pernapasan kedua hemitoraks terlihat simetris


P

: Fremitus taktil dan vokal simetris

: Sonor seluruh lapang paru

A : Ronkhi --/--, wheezing --/-Jantung:


I : Iktus kordis tidak terlihat
P : Iktus kordis tidak teraba
P : Batas kanan jantung pada SIC 5 linea parasternalis dextra
Batas kiri jantung pada SIC 5 linea midclavicula sinistra
Batas atas jantung pada SIC 3 linea parasternalis sinistra
A : BJ 1 dan 2 reguler, murmur (), gallop ()
Abdomen:
I : Permukaan cembung, tidak simetris, terlihat bulging di regio abdomen superior sinistra dan abdomen
inferior sinistra, tidak terdapat kelainan kulit atau pelebaran pembuluh vena
P : Hepar teraba 3 jari dibawah arcus costae, Lien teraba , Nyeri tekan (--)
P : terdengar bunyi redup pada regio abdomen superior sinistra dan abdomen inferior sinistra, tidak
terdapat nyeri ketuk
A : Bising usus (+) normal reguler
Ekstremitas

: Akral pucat

Genitalia

V.

: Tidak ada kelainan

PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. LABORATORIUM

PEMERIKSAAN DARAH RUTIN (10-08-2010 20:00 WIB )


JENIS

NILAI

SATUAN

KISARAN NORMAL

Sel darah putih

142

103/l

4.0 10.0

Limfosit

16,9

103/l

1- 5

Monosit

16,6

103/l

0,1 10

Granulosit

108,5

103/l

28

Limfosit %

11,9

25 50

Monosit %

11,7

2 10

Granulosit %

76,4

50 80

Sel darah merah

2,65

106/l

4 6,2

Hemoglobin

8,5

g/dl

11 17

Hematokrit

31,7

33 55

MCV

111,2

m3

80 100

MCH

29,8

Pg

26 34

MCHC

26,8

g/dl

31.0 35.5

RDW

12,7

10 16

Trombosit

167

103/l

150 400

MPV

9,8

m3

7.0 11.0

PCT

0,155

0.200 0.500

RDW

12,8

10 18.0

LED

110

mm/jam

PEMERIKSAAN DARAH TEPI (11-08-2010 13:45 WIB)


Eritrosit : Normokrom normositer

Eritroblast ortokromatik

Burr cell

Target cell

Peer-shaped cell

Leukosit : Jumlah Meningkat

Promielosit

Mielosit

Meta-mielosit

Stab

Trombosit : Jumlah Menurun


Retikulosit : 9,7%

PEMERIKSAAN HB ELEKTROFORESIS (12-08-2010)


Pemeriksaan

Hasil

Nilai Rujukan

Satuan

HBA

96,6

96-99

HBA2

3,4

1,5-3,5

HBF

0,0

<2

HBS

0,0

PEMERIKSAAN URINE
NO
1

PEMERIKSAAN
Urine Rutin
Warna
Ph
Berat jenis
Nitrit
Protein
Glukosa
Keton
Bilirubin
Urobilinogen
Darah samar
Sedimen
Leukosit
Eritrosit
Epitel
Kristal
Bakteri
Jamur
Silinder
Sperma

NO

Pemeriksaan

1.

Glukosa

--

(10-08-2010 20:12 WIB)

PEMERIKSAAN KIMIA KLINIK

HASIL

NILAI NORMAL

Kuning keruh
6,0
1.020
Negative
(+) 1
Negative
Negative
Negative
Negative
Negative

Kuning jernih
5,0 8,0
1.005 1.030

Negatif

Negatif

Negative
Negative
Negative
Negative
Negative
Negative
Negative
Negative

(10-08-2010 20:12 WIB)


Hasil

Satuan

Nilai Normal

79

mg/dl

7050

ureum

19

mg/dl

10 50

Kreatinin

1,22

mg/dl

0,61,38

Uric acid

mg/dl

3,347,0

Glukosa sewaktu
2.

--

Fungsi Ginjal

3.

Fungsi Hati
Protein total

gr/dl

7,09,0

Albumin

3,48

gr/dl

3,55,0

Globulin

2,5

gr/dl

1,53,0

SGOT

56

U/I

038

SGPT

27

U/I

041

Natrium

136

mmol/L

136145

Kalium

5,7

mmol/L

3,55,1

Klorida

96

mmol/L

97111

Kalsium

1,16

mmol/L

1,151,29

4.

Elektrolit

B. PEMERIKSAAN SEROLOGI
PEMERIKSAAN HBsAg

(11-08-2010 09:42 WIB)

Pemeriksaan

Hasil

Metode

Nilai normal

HBsAg

0,285

ECL

< 1 N Reac

C. PEMERIKSAAN RADIOLOGI
USG ABDOMEN

10

Kesan :
Hepatosplenomegali non spesifik, perlu diwaspadai kemungkinan adanya hematologic disorder
11

VI. RESUME:
Os, laki-laki berusia 45 tahun, demam (+) 3 bulan . Demam bersifat subfebris (+). Demam menggigil (--).
Demam disertai berkeringat pada malam hari. Paroksismal nokturnal dispnea (+), batuk (--). Kandidiasis
oral (+), lesi tidak nyeri dan gatal. Selain itu pasien mengeluh merasa lemah, lemas dan lesu serta kurang
nafsu makan. Berat Badan pasien menurun (+). Riwayat hubungan seksual dengan PSK (+). Riwayat
penggunaan narkoba lewat suntikan (--), bekas suntikan (--). bekas tato dan tindikan (--). Status Gizi
Pasien: Gizi kurang. Hasil pemeriksaan fisik: Konjunctiva anemis +/+, oral thrush (+), rhonki +/+. Hasil
pemeriksaan laboratorium darah rutin: leukositosis ringan, eritropenia, anemia, trombositosis. . Hasil
pemeriksaan serologik HIV combi (+) dan ELISA 3 reagen (+)

VII. DIAGNOSIS KERJA


Leukemia mielositik akut

VIII. DIAGNOSIS BANDING


myelo

IX. Penatalaksanaan
I.

Infus Normal Saline 20 gtt/menit

II.

Cefotaxime 2 x 1 gr i.v

III.

Ranitidine 3 x 1 amp i.v

IV.

Dexanta 3 x CI

V.
VI.

Transfusi Whole Blood cek Analisa Darah Tepi dahulu


Paracetamol 3 x 250 mg

X. FOLLOW UP

12

Tgl Pemeriksaan
11-08-2010

Hasil Pemeriksaan
S: sakit kepala(+), mual(+), muntah(+), perut membesar bak (+)
O:
KU tampak sakit sedang
Sensorium: compos mentis
T: 140/80 mmHg; P:96 x/menit; R: 28 x/menit; S: 36,5C
Mata: C.A (+/+), S.I (-/-)
A: immunocompromised e.c HIV dengan KP milier dan kandidiasis oral
P:

12-08-2010

S: demam, sesak napas, susah BAB


O:
KU tampak sakit sedang
Sensorium: compos mentis
T: 130/80 mmHg; P: 108 x/menit; R: 32 x/menit; S:38,2C
A: immunocompromised e.c HIV dengan KP milier dan kandidiasis oral
P:

13-08-2010

S: demam, sesak napas, susah BAB


O:
KU tampak sakit sedang
Sensorium: compos mentis
T: 140/80 mmHg; P: 102 x/menit; R: 36 x/menit; S:38,5C
A: immunocompromised e.c HIV dengan KP milier dan kandidiasis oral
P:

14-08-2010

S: demam, sesak napas, susah BAB


O:
KU tampak sakit sedang
Sensorium: compos mentis
T: 130/80 mmHg; P: 104 x/menit; R: 28 x/menit; S:37,5C
A: immunocompromised e.c HIV dengan KP milier dan kandidiasis oral
P:

13

VII.

PROGNOSIS

Dubia ad malam

BAB II
PEMBAHASAN

I.

HEMOPOESIS

A. Batasan
Hemopoesis adalah proses pembuatan darah. Sebagaimana diketahui, darah terbagi atas:

Bagian yang terbentuk (formed elements). Terdiri atas sel-sel darah merah (eritrosit), sel-sel
darah putih (leukosit) dan keping-keping darah (trombosit; platelet) yang bentuknya dapat
dilihat dengan mikroskop

Bagian yang tidak terbentuk. Plasma yang yang terdiri atas mlekul-molekul air, protein-protein,
lemak, karbohidrat, vitamin-vitamin, enzim-enzim dan sebagainya, yang larut dalam plasma.

Yang dibicarakan dalam bab ini hanyalah proses pembentukan sel-sel darah (bagian ke-1 yaitu formed
elements). Akan dibahas 3 komponen (kompartemen) yang berperan penting pada hemopoesis, yaitu:

Kompartemen sel-sel darah

14

Kompartemen lingkungan-mikro

Kompartemen zat-zat pemicu/perangsang (stimulator) hemopoesis

B. Komponen-komponen hemopoesis
Hemopoesis adalah suatu proses yang kompleks yang melibatkan banyak komponen-komponen yang
saling terkait antara lain:
1. Komponen atau kompartemen yang terdiri atas sel-sel darah baik sel-sel induk, sel-sel bakal dan
sel-sel matur
2. Komponen atau kompartemen yang disebut stroma atau lingkungan mikrohemopoetik (LMH)
ata hemopoetic-micro-environment. Komponen 1 dapat dianggap sebagai benih sedangkan
komponen 2 dapat dianggap sebagai tanah dimana benih itu tumbuh. Kedua kompartemen ini
tidak sendiri-sendiri tetapi berbaur.
3. Kompartement ke-3 terdiri atas zat-zat yang dapat menstimulasi sel-sel darah untuk
berproliferasi, berdiferensiasi dan/atau berfungsi sesuai dengan tugas yang sudah direncanakan.
Komponen ini disebut hemopoetic growth factors (HGF) atau faktor pertumbuhan hemopoetik
(FPH)

I. kompartemen sel-sel darah


Kompartemen sel darah terdiri atas:
A. Sel Induk Pluripoten (SIP)
Menurut teori unitarian, sel-sel darah berasal dari satu sel induk pluripoten (pluripotent stem cells). Selsel ini jumlahnya sedikit, namun mempunyai kemampuan besar berproliferasi berkali-kali sesuai
kebutuhan.
Pengenalan SIP ini dipelopori oleh Till dan Mc Culloch pada tahun 1960-an dengan penelitiannya
yang menggunakan teknologi pembiakan in-vivo pada tikus. Mereka menamakan SIP itu sebagai CFU-S
(Colony Forming Unit Spleen). Selanjutnya dexter pada dekade berikutnya mengembangkan suatu media
pembiakan yang baik untuk pembiakan in-vitro dari SIP ini (Dexter-Culture). Media ini mengkaitkan juga

15

pentingnya LMH sedemikian sehingga CFU-S ini dapat hidup lama dan dinamakan Long Term Culture
Initiating Cells (LTC-IC). Dlaam media dexter terdapat sel-sel lingkungan mikro yang menghasilkan
stimulator-stimulator pertumbuhan hemopoesis yang disebut Hemopoetic Growth Factors (HGF) atau
juga Colony Stimulating Factors (CSF) yang dapat menstimulasi koloni-koloni sel-sel bakal darah untuk
terus berproliferasi dan berdiferensiasi sesuai jalur turunannya (lineage)nya. Hal ini akan dibahas berikut
ini.
Dengan majunya ilmu imunologi ditemukan teknologi hibridoma yang memungkinkan kita
membuat antibodi monoklonal (MoAb) dalam jumlah banyak; kemudian dikembangkan penemuanpenemuan petanda-petanda imunologis di permukaan sel-sel darah yang dinamai menurut sistem CD
(cluster of differentiation). Petanda-petanda ini dapat dideteksi dengan MoAb dan dengan teknik
imunohistokimia atau flow cytometry.
SIP mempunyai petanda imunlogis CD-34. Selain itu juga belum didapatkan petanda yang
mengarah ke suatu jalur turunan yang lain. HLA-DR sering masih negatif, sehingga baik sekali untuk
pencangkokan sumsum tulang (PST) yaitu pencangkokan SIP (stem cell transplantation).

B. Sel Bakal Terkait Tugas (SBTT) atau Comitted Progenitor hemopetic Cells
Dengan stimulasi faktor pertumbuhan yang berasal dari LMH yang dinamakan faktor sel induk
(Stem Cell Factor = SCF), SIP dapat berdiferensiasi menjadi sel-sel bakal darah yang terkait tugas (SBTT)
yang terkait pada tugas menurunkan turunan-turunan sel-sel darah, yaitu jalur-jalur turunan mieloid dan
makrofag disebut colony forming unit granulocyte, erythrocyte, megakryocyte, monocyte (CFU-GEMM)
dan jalur turunan limfosit (Lymphoid Progenitor Cells = LPC).
SBTT yang bertugas menurunkan sistem granulosit, eritrosit, monosit/makrofag dan
megakariosit dalam teknologi pembiakan pada tikus disebut CFU-GEMM. CFU-GEMM ini distimulasi oleh
GEMM-CSF untuk berdiferensiasi menjadi CFU-G, CFU-M, CFU-Meg, dan CFU-E. Seterusnya CFU-G
distimulasi G-CSF; GM-CSF dapat menstimulasi CFU-G dan CFU-MK menjadi sel-sel matur
C. Sel-sel Darah Dewasa
Subkompartemen ini terdiri atas golongan granulosit (eosinofil, basofil, neutrofil), golongan-golongan
monosit/makrofag, trombosit, eritrosit dan limfosit B dan T.
16

II.

NEOPLASMA
Secara harafiah neoplasma berarti pertumbuhan baru. Neoplasma didefinisikan sebagai massa

jaringan abnormal dengan pertumbuhan berlebihan dan tidak ada koordinasi dengan pertumbuhan
jaringan normal dan tetap tumbuh dengan cara yang berlebihan setelah stimulus yang menimbulkan
perubahan tersebut berhenti. Pada dasarnya awal semua neoplasma ialah hilangnya tanggapan
terhadap kendali pertumbuhan normal. Selain itu neoplasma memiliki dua ciri yang lain. Neoplasma
tampak berperilaku seperti parasit dan bersaing dengan sel jaringan normal untuk keperluan
metabolismenya. Neoplasma juga memiliki tingkat otonomi tertentu dan tetap bertambah besar, tanpa
memperhatikan lingkungan sekitarnya dan status nutrisi tuan rumah dan selanjutnya merupakan
pertumbuhan yang tidak terkendali.
Neoplasma dalam kedokteran secara umum diartikan sebagai tumor. Dalam arti luas tumor
hanyalah merupakan suatu benjolan atau pembengkakan yang diantaranya dapat disebabkan oleh
edema atau perdarahan dalam jaringan. Dalam onkologi pembagian neoplasma dalam kategori jinak dan
ganas sangat penting. Pembagian ini didasarkan atas perilaku klinik neoplasma.
Suatu tumor dikatakan jinak bila ciri-ciri makroskopik dan sitologinya tergolong relatif tidak
berbahaya, yaitu diantaranya tetap dilokalisasi, tidak menyebar ketempat lain, oleh karena itu, biasanya
mudah diangkat dengan pembedahan lokal dan tidk menyebabkan kematian penderita.
Tumor ganas secara keseluruhan dinyatakan sebagai kanker, sesuai dengan sifatnya yang
melekat pada setiap bagian dan mencengkram erat. Suatu neoplasma dikatakan ganas bila dapat
menembus edan menghancurkan struktur yang berdekatan dan menyebar ketempat yang
jauh(metastasis) dan dapat menyebabkan kematian.

Tata Nama

17

Semua tumor baik jinak maupun ganas mempunyai dua komponen dasar: (1) parenkim,
tersusun oleh sel-sel neoplastik yang berproliferasi, dan (2) stroma penyangga, tersusun oleh jaringan
ikat, pembuluh darah dan mungkin juga pembuluuh limfatik. Parenkim neoplasmalah yang menentukan
perilaku biologi neoplasma dan merupakan komponen dari mana nama tumor berasal.
Sebagian besar sel tumor jinak tersusun oleh sel-sel parenkim yang sangat mirip dengan jaringan
asalnya. Tumor mesenkim dibuat klasifikasinya menurut histogenesisnya. Nama-namanya dibentuk
dengan menambah akhiranoma pada jenis sel darimana sel tersebut berasal misalnya fibroma dan
kondroma. Tumor jinak yang berasal dari epitel dibuat klasifikasinya berdasarkan pola mikroskopiknya
ataupun makroskopiknya, seperti adenoma, istilah untuk neoplasma jinak epitel yang menghasilkan pola
kelenjar dan juga yang berasal dari sel kelenjar.
Tata nama tumor ganas secara langsung mengikuti tata nama tumor jinak dengan tambahan
tertentu. Neoplasma ganas yang berasal dari jaringfan mesenkim atau turunannya disebut sarkoma.
Neoplasma ganas yang berasal dari epitel disebut karsinoma. Sel-sel parenkim dalam suatu neoplasma
baik jinak maupun ganas sedikit banyak memiliki suatu kemiripan seolah-olah berasal dari satu sel
prekursor.

NO
1

Asal Jaringan

jinak

Tumor dari mesenkim


(1) jaringan ikat

ganas
Sarkoma

Fibroma

Fibrosarkoma

Miksoma

Miksosarkoma

Lipoma

Liposarkoma

Kondroma

Kondrosarkoma

Osteoma

Osteosarkoma

Pembuluh darah

Hemangioma

Angiosarkoma

Pembuluh limfatik

Limfangioma

Limfangiosarkoma

(2) endotel

sinovia

Sinovioma

mesotel

Mesotelioma

Selaput otak

Meningioma

Meningioma invasif

18

glomus

Tumor glomus

(3) sel darah


Sel-sel hematopoiesis

Leukemia mielogenik

Jaringan limfoid

Leukemia limfosit

Sel-sel langerhans

Histiositosis x

Monosit-makrofag

Limfoma histiosist

(4) otot

Otot polos

leiomioma

leiomiosarkoma

Otot lurik

rhabdomioma

rhabdomiosarkoma

Tumor dari epitel


(1) berlapis skuamosa

Karsinoma
Papiloma sel skuamosa

(2) sel basal kulit

Karsinoma sel skuamosa


Karsinoma sel basal

(3) kelenjar adneksa kulit


Kelenjar keringat

Adenoma kel.keringat

Karsinoma Kel.keringat

Kelenjar sebasea

Adenoma kel.sebasea

Karsinoma Kel.sebasea

Adenoma

Adenokarsinoma

Papiloma

Karsinoma papilare

adenomapapilare

AdenoKarsinoma papilare

kistadenoma

Kistadenokarsinoma

(4) lapisan epitel


Kelenjar/duktus; kelompok
Diferensiasi baik

Diferensiasi jelek

Karsinoma medulare

(5) saluran respirasi

Karsinoma bronkogenik

(6) neuroektoderm

Nevus

melanokarsinoma

(7) epitel ginjal

Adenoma tubule ginjal

hipernefroma

(8) sel hati

Adenoma sel hati

Karsinoma hepatoselular

(9) saluran empedu

Adenoma sal.empedu

kolangiokarsinoma

(10) epitel traktus urinarius

Papiloma sel transisi

Karsinoma sel skuamosa

Sifat Neoplasma Jinak dan Ganas

19

Ada kriteria yang dapat dipakai untuk pegangan secara umum dalam membedakan tumor jinak
dan ganas, yaitu:
1. diferensiasi dan anaplasi
diferensiasi sel parenkim menyatakan seberapa banyak kemiripannya dengan sel jaringan asal yang
normal, baik dalam hal morfologi maupun fungsinya. Pada umumnya, pada sel-sel khusus yang
berdiferensiasi sempurna, program genetik untuk replikasi mengalami represi; dalam neoplasma
program-program ini akan diaktifkan kembali dan diferensiasi dapat berlangsung tanpa kehilangan
kemampuan replikasi.
Neoplasma jinak tersusun oleh sel-sel yang berdiferensiasi baik, sangat mirip dengan sel-sel normal
pasangannya. Kanker ditandai oleh diferensiasi sel parenkim yang bervariasi luas , dari yang
berdiferensiasi baik sampai yang sama sekali tidak berdiferensiasi. Hal ini menunjukkan hilangnya
diferensiasi struktural dan fungsional sel normal. Neoplasma ganas yang tersusun dari sel-sel yang tidak
berdiferensiasi disebut anaplastik. Anaplasi dapat dipakai sebagai pertanda kanker.

2. kecepatan tumbuh
pada umumnya kecepatan tumbuh kanker berhubungan dengan derajat diferensiasinya, sehingga
ada variasi yang luas. Dari hasil pengamatan dapat kita ketahui sebagian besar kanker berasal dari
monoklonal. Dalam hal neoplasma monoklonal, waktu yang diperlukan untuk satu sel dapat
menimbulkan massa yang secara klinik dapat tampak tergantung pada:
a. sel asal dan waktu kelipatannya
b. fraksi kumpulan sel yang tetap bertahan hidup dan berada dalam kutub replikasinya
c. kecepatan sel terlepas dan menghilang kedalam lesi yang sedang berkembang
hormon mempengaruhi kecepatan tumbuh, khususnya pada kanker yang timbul dalam jaringan
yang responsif terhadap hormon(seperti payudara,uterus,endometrium, ovarium). Jadi kecepatan
tumbuh neoplasma dapat meningkat sesuai dengan waktu karena klon sel yang lebih kuat, yang
memiliki daur sel yang lebih pendek atau jangka waktu hidup lebih panjang sehingga memperoleh
keuntungan selektif.

20

3. pembentukan kapsul lawan invasi


neoplasma jinak tinggal ditempat asalnya tidak ada kemampuan melakukan infiltrasi, invasi atau
metastasis ketempat yang jauh seperti kanker. Neoplasma kebanyakan membentuk simpai fibrosa
disekelilingnya yang memisahkannya dari jaringan tuan rumah.
Kanker tumbuh dengan infiltrasi progresif, invasi destruktif disertai penetrasi jaringan sekitar tanpa
pembentukan simpai. Pemeriksaan mikroskopik mengungkapkan adanya kaki-kaki kecil yang menembus
tepi-tepi dengan mengadakan infiltrasi struktur didekatnya. Cara ini menyebabkan perlunya
menyingkirkan banyak jaringan normal disekitarnya, ketika melakukan eksisi bedah tumor ganas. Ada
tiga langkah yang terlibat dalam invasi:
a. pelekatan sel kanker ke selaput basalis
b. proteolisis lokal oleh protease
c. daya gerak

4. metastasis
metastasis berarti timbulnya implantasi sekunder yang terpisah dari tumor primer, mungkin
pada jaringan yang berjauhan letaknya. Sifat invasi dan metastasis memastikan identifikasi suatu
neoplasma ganas, tidak semua kanker memiliki kemampuan metastasis.
Neoplasma ganas dapat menyebar melalui salah satu dari tiga jalur:
a. menyebar dalam rongga tubuh
Penyebaran kanker terjadi bila neoplasma melakukan invasi pada rongga tubuh alami.
b. penyebaran limfatik
Lebih bersifat khas untuk karsinoma. Pola kelenjar getah bening yang terlibat terutama
tergantung letak neoplasma primer dan jalur pengaliran limfatik secara normal ditempat tersebut.
Pembesaran kelenjar yang berdekatan dengan neoplasma primer dapat bukan merupakan keterlibatan
dalam proses kanker. Produk nekrosis neoplasma dan mungkin antigen tumor seringkali menimbulkan
perubahan reaktif dalam kelenjar sebagai pembesaran dan hiperplasi folikel dan proliferasi sel-sel
retikulum dan sel sinus retikuloendotelial. Jadi pembesaran kelenjat tidak berarti penyebaran kanker.
21

c. penyebaran hematogen
ini merupakan jalur yang disukai sarkoma. Dimulai dengan invasi vena oleh neoplasma
primer(arteri lebih resisten) dengan pembentukan emboli tumor. Hal yang menetukan dalam
pembentukan emboli adalah pelepasan sel kanker, suatu perubahan fungsi permukaan sel dimana
terjadi pengurangan daya kohesi. Emboli kemudian mengalir melalui jalur vena untuk kemudian
berhenti dianyaman kapiler, tempatnya berhasil atau tidak sel kanker menembus dinding pembuluh
darah untuk tumbuh sebagai anak sebar. Sebagian besar sel dihancurkan dalam sirkulasi, apakah sel itu
mati sendiri karena tidak mampu bertahan dalam isolasi atau dihancurkan oleh mekanisme imun. Sifat
yang dimiliki permukaan sel, kemungkinan besar reseptor pada sel kanker ataupun pada sel endotel
tampaknya mendasari penyebaran tersebut.

Tanda-Tanda Sel yang mengalami Transformasi(Kanker)

1.

perubahan sifat pertumbuhan

tampak terlepas dari pengendalian pengaturan

kegagalan maturasi

sel yang mengalami transformasi bersifat immortal

daya transplantasi

2.

perubahan morfologi

3.

perubahan kariotipe

4.

perubahan antigenik

5.

perubahan metabolik

tidak ada tanda biokimia pasti untuk tanda pasti kanker

makin berdiferensiasi, enzimnya makin mirip dengan sel normal asalnya

makain anaplastik dan tidak berdiferensiasi , makin besar penyimpangannya dari sistem
enzim sel normal

22

pada akhirnya semua sel anaplastik primitif mengalami konvergensi penyederhanaan pola
enzim dan metabolik bersama.

6.

perubahan permukaan membran sel

perubahan glikoprotein membran: hilang atau lepasnya fibronektin dan peningkatan


kemampuan aglutinasi lektin

hilangnya daya kohesi dan adhesi: pengurangan fironektin, lektin atau reseptor matrik.

Sintesis dan pelepasan faktor pertumbuhan: stimulasi umpan balik autokrin

Sintesis tipe reseptor permukaan tertentu

Kerusakan komunikasi antar sel

Produksi dan pelepasan enzim degradatif

Produksi dan pelepasan aktivator plasminogen

Produksi dan pelepasan faktor-faktor koagulan

Peningkatan transpor transmembran zat makanan dan metabolit

Table 4c-1 PETANDA GANAS SEROLOGIK

Jenis Petanda Ganas


Antigen onkofetal

Contoh

Penggunaan

CEA

Kanker kolon

AFP

Germ cell tumor


Hepatoma

Cancer related antigen

Differentiation&lineage

PSA

Kanker prostat

CA125

Kanker ovarium

CA15.3

Kanker payudara

MUC-1

Kanker payudara

CA19.9

Kanker pancreas

Antigen sel B dan T

Leukemia &limfoma

Antigen mieloid

Leukemia

associated CD

23

Komponen sel normal

immunoglobulin

B&T cell gene rearrangement

Hormone

PSA

Kanker prostate

PAP

Limfoma &tumor

LDH

Padat lain

IgG,IgA,IgM,IgD,IgE,

Paraproteinemia

& light chain

Limfoma

TCR gene rearrangement

Leukemia sel T/ limfoma

Ig gene rearrangement

Leukemia sel B/ limfoma

-HCG

Choriocarcinoma
Germ cell tumor

calcitonin

Kanker tiroid

Table 4c-2

JENIS

SKRINING

CEA

DIAGNOSIS

PEMANTAUAN

PROGNOSIS

Kelompok risiko C-cell carcinoma

Kolon,

kolon

tinggi

payudara,paru, Ccell

AFP

Risiko tinggi

CA 19.9

Hepatoma,

Hepatoma, germ- germ-cell tumor

germ-cell tumor

cell tumor

pankreas

pankreas

CA 125

ovarium

CA 15.3

payudara

NSE

SCLC

SCLC,
neuroblastoma

SCC

Kanker
serviks,kanker THT
esophagus

CYFRA 21.1

NSCLC

kandung

kemih
HCG

Risiko tinggi

Germcell tumor germ-cell

tumor germ-cell tumor


24

PSA

Pria > 50 tahun

trofoblas

trofoblas

Kanker prostat

prostat

trofoblas

PENGOBATAN NEOPLASMA

Asas pengobatan penyakit neoplasi dan neoplasma ialah menghentikan pertumbuhannya,


sekaligus penghapusannya dari dalam tubuh penderitanya. Bila satu kali penderita penyakit neoplasi dan
neoplasma telah dibuat diagnosanya dengan pemeriksaan yang dilakukan, pengobatan atau terapi
kuratifnya sebagai berikut:

Membebaskan penderita dari penderitaan oleh komplikasi yang terjadi dan timbul karena
penyakit tersebut, sebagai terapi simptomatik yang meniadakan keluhan sakit dan nyeri secara
fisik maupun keluhan kejiwaan penderita,terapi suportif dengan perbaikan keadaan umum dan
giji yang menunjang daya tahan tubuhnya.

Eliminasi penyakitnya sendiri dengan diusahakan dapat secara total atau radikal sebagai terapi
khas atau spesifik dengan tetap mempertahankan kemungkinan timbulnya efek samping oleh
tindakan terapinya itu sendiri.

Terapi korektif atau rehabilitatif fisik dan kejiwaan penderita sesuai terapi khas dilakukan, untuk
menghilangkan kemungkinan penderitaan baru maupun rasa invalid yanmg dapat timbul,
sebagai akibat tindak terapi khas tersebut

Pengikutan jejak hasil pengobatan yang dilakukan dengan pemeriksaan kontrol secara teratur
dan terjadwal, sehingga dapat dipastikan keberhasilan terapi yang telah diusahakan dan
diberikan kepadanya

Neoplasma jinak, terapinya tidak menimbulkan banyak masalah, seperti sifat neoplasma jinak itu
pun demikian. Tentu saja ada pengecualian yang perlu perhatian khusus. Neoplasma ganas, bila telah
ada pertumbuhannya dalam tubuh penderita, terapi yang sesungguhnya paling tepat ialah terapi kuratif
spesifik dengan usaha meniadakan massa jaringan neoplasma tersebut dari pertumbuhannya maupun

25

akar-akar dan metastasisnya. Sehingga sekali lagi penemuan dini pertumbuhan penyakit keganasan
memberi harapan sangat besar bagi kesembuhan secara sempurna benar pada penderitanya.
Terapi simptomatik paliatif memiliki dua maksud dan tujuannya, yaitu sebagai penunjang tidak khas
atau non spesifik berupa analgesik untuk menghilangkan rasa nyeri dan penderitaan sakit, obat-obatan
penenang untuk mengurangi agitasi maupun obat-obat stimulan untuk melawan depresi kejiwaan, serta
perbaikan keadaan umum dan gizi penderita yang bertujuan peningkatan mekanisme pertahanan tubuh
pribadinya; sedangkan yang kedua bersifat menghambat pertumbuhan massa jaringan neoplasmanya
sendiri, walaupun tidak menghapuskannya sama sekali.
Untuk terapi kuratif spesifik neoplasma ganas dikenal modalitas terapi bedah, radiasu dan
kimiawi. Terapi bedah umumnya bersifat kuratif spesifik dengan pengangkatan ekstirpasi total massa
jaringan neoplasma sebanyak mungkin, khususnya yang pertumbuhannya lokal, sehingga tidak dapat
dilakukan terhadap neoplasma hematologik.
Terapi radiasi bersifat kuratif spesifik tertuju kepada pertumbuhan neoplasma lokal maupun
penyebaran metastasisnya; atau paliatif spesifik dengan menghambat pertumbuhan perkembangan
massa jaringan neoplasma.
Terapi kimiawi kuratif spesifik selalu ditujukan kepada kelainan sistemik, meskipun
pertumbuhan lokal yang sudah dikenal pasti ada respon terhadap terapi cara ini, dapat juga diusahakan.
Yang bersifat paliatif tidak khas atau nonspesifik berupa analgesik, penenang, stimulan dan atau suportif
tertuju kepada kondisi umum dan gizi penderita; sedangkan terapi paliatif spesifik bertindak
menghambat pertumbuhan perkembangan massa jaringan neoplasmanya.
Terapi bedah yang bertujuan pengangkatan total atau radikal pertumbuhan massa jaringan
neoplasma. Penentuan radikalitas pembedahan dilakukan dengan pemeriksaan anatomi histologik
keatas massa jaringan neoplasma sebagai hasil pembedahan tersebut. Dapat juga disusuli terapi
modalitas lain, radiasi dan atau kimiawi; untuk mendapatkan kepastian penghapusan pertumbuhan
massa jaringan neoplasma ganas telah didapat dengan sempurna benar.
Terapi radiasi dapat menggunakan kemampuan tembus sinar X, sinar gamma atau partikel
radioaktif tertentu; dilakukan secara superfisial pada permukaan atau tembus lebih dalam dengan
satuan kekuatan tertentu dan seri waktu tertentu pula.

26

BAHAN KIMIA OBAT ANTI KANKER

1. Mekanisme Kerja

Hubungan kerja antikanker dengan siklus sel kanker.


Sel tumor dapat berupa dalam 3 keadaan: (1) yang sedang membelah (siklus proliferatif);
(2) yang dalam keadaan istirahat (tidak membelah,G0); (3) yang secara permanen tidak
membelah. Sel tumor yang sedang membelah terdapat dalam beberapa fase yaitu fase mitosis
(M), pascamitosis(M1), fase sintesis DNA (fase S), fase pramitosis (G2). Pada akhir fase G1 terjadi
peningkatan RNA disusul dengan fase S yang merupakan saat terjadinya replikasi DNA. Setelah
fase S berakhir sel masuk dalam fase pramitosis (G2) dengan ciri: sel berbentuk tetraploid,
mengandung DNA dua kali lebih banyak daripada sel fase lain dan masih berlangsungnya sintesis
RNA dan protein. Sewaktu mitosis berlangsung (fase M) sintesis protein dan RNA berkurang
secara tiba-tiba dan terjadi pembelahan menjadi 2 sel. Setelah itu sel dapat memasuki interfase
untuk kembali memasuki fase G1, saat sel berproliferasi atau memasuki fase istirahat G0. sel
dalam fase G0 yang masih potensial untuk berproliferasi disebut sel klonogenik atau sel induk
(stem cell). Jadi yang menambah jumlah sel kanker ialah sel yang dalam siklus proliferasi dan
dalam fase G0.
Ditinjau dari siklus sel, obat dapat digolongkan dalam 2 golongan. Yang pertama ialah
yang memperlihatkan toksisitas selektif terhadap fase-fase tertentu dari siklus sel dan disebut
zat cell cycle-specific(CSS), misalnya vinkristi , vinblastin, merkaptopurin, hidroksiurea,
metrotreksat dan asparaginase. Zatt CSS ini terbukti efektif terhadap kanker yang berproliferasi
tinggi misalnya kanker sel darah. Golongan kedua ialah zat cell cycle-nonspecific (CCNS) misalnya
zat alkilator, antibiotik kanker, sisplatin, prokarbazin, dan nitrosourea. Perbedaan kerja tersebut
lebih bersifat relatif daripada absolut karena banyak zat yang tergolong CCNS lebih efektif
terhadap sel yang berproliferasi dan terhadap sel-sel yang sedang dalam fase tertentu siklusnya.
Kerja Antikanker Pada Proses Dalam Sel
Pada umumnya, kerja antikanker berdasarkan atas gangguan pada salah satu proses sel
yang esensial. Karena tidak ada perbedaan kualitatif antara sel kanker dengan sel normal maka
27

semua antikanker bersifat mengganggu sel normal, bersifat sitotoksik dan bukan kankerosid
atau kankerotoksik yang selektif.
Alkilator. Cara kerja yaitu melalui pembentukan ion karbonium atau kompleks lain yang
sangat reaktif. Ikatan kovalens(alkilasi) akan terjadi dengan berbagai nukleofilik penting dalam
tubuh misalnya fosfat, amino, sulfuhidril, hidroksil, karboksil atau gugus imidazol. Efek sitostatik
maupun efek sampingnya berhubungan langsung dengan terjadinya alkilasi DNA ini. Alkilator
yang bifungsional misalnya mustar nitrogen dapat berikatan kovalen dengan 2 gugus asam
nukleat pada rantai yang berbeda membentuk cross-linking sehingga terjadi kerusakan pada
fungsi DNA. Hal ini dapat menerangkan sifat sitotoksik dan mutagenik dari alkilator.
Antimetabolit. Antipirin dan antipirimidin mengambil tempat purin dan pirimidin dalam
pembentukan nukleosida sehingga mengganggu berbagai reaksi penting didalam tubuh.
Penggunaannya sebagai obat antikanker didasarkan atas kenyataan bahwa metabolisme purin
dan pirimidin lebih tinggi pada sel kanker dari sel normal. Dengan demikian penghambatan
sintesis DNA sel kanker lebih dari terhadap sel normal.
Antagonis pirimidin. Misalnya 5-fluorourasil, dalam tubuh diubah menjadi 5-fluoro-2deoksiuridin 5-monofosfat yang menghambat timidilat sintetase dengan akibat hambatan
sintesis DNA. Fluorourasil juga diubah menjadi fluorouridin monofosfat yang langsung
mengganggu sintensis RNA. Sitarabin diubah menjadi nuikleosida yang berkompetisi dengan
metabolit normal untuk dinkorporasikan kedalam DNA. Obat ini bersifat cell-cycle specific untuk
fase S dan tidak berefek terhadap sel yang tidak berproliferasi.
Antagonis purin misalnya merkaptopurin merupakan antagonis kompetitif dari enzim
yang menggunakan senyawa purin sebagai substrat. Suatu alternatif lain dari mekanisme
kerjanya ialah pembentukan 6-metil merkaptopurin yang menghambat biosintesis purin,
akibatnya sintesis RNA,CoA,ATP dan DNA dihambat.
Antagonis folat. Misalnya metrotreksat menghambat dihidrofolat reduktase dengan
kuat dan berlangsung lama. Dihidrofolat reduktase ialah enzim yang mengkatalisis dihidrofolat
menjadi tetrahidrofolat. Tetrahidrofolat merupakan metabolit aktif dari asam folat yang
berperan sebagai kofaktor penting dalam berbagai reaksi transfer satu atom karbon pada
sintesis protein dan asam nukleat. Efek penghambatan ini tidak dapat diatasi dengan leukovorin
yang tersedia sebagai calcium leukovorin. Antagonis folat membasmi sel dalam fase S terutama
28

pada fase pertumbuhan yang pesat. Namun dengan efek penghambatan terhadap sintesis RNA
dan protein, metrotreksat menghambat sel memasuki fase S, sehingga bersifat swabatas
terhadap efek sitotoksiknya.
Alkaloid vinka. Zat ini berikatan secara spesifik dengan tubulin, komponen protein
mikrotubulus, spindle mitotik dan memblok polimerisasinya. Akibatnya terjadi disolusi
mikrotubulus, sehingga sel terhenti dalam metafase.
Antibiotik. Antrasiklin. berinterkalasi dengan DNA sehingga fungsi DNA sebagai template
dan pertukaran sisters chromatid terganggu dan pita DNA putus. Antrasiklin juga bereaksi
dengan sitokrom P450 reduktase yang dengan adanya MADPH membentuk zat perantara, yang
kemudian bereaksi dengan oksigen menghasilkan radikal bebas yang menghancurkan sel.
Pembentukan radikal bebas ini dirangsang oleh adanya Fe.
Aktinomisin memblok polimerase RNA yang dependen terhadap DNA, karena
terbentuknya kompleks antara obat dengan DNA. Selain itu aktinomisin juga menyebabkan
putusnya rantai tunggal DNA mungkin berdasarkan terbentuknya radikal bebas atau akibat kerja
topoisomerase II.
Bleomisin bersifat sitotoksik berdasarkan daya memecahkan DNA. In vitro, bleomisin
menyebabkan akumulasi sel pada fase G2 dan banyak sel memperlihatkan abrasi kromosom
termasuk pecahnya, fragmentasi dan translokasi kromatid.
Asparaginase. Obat ini adalah suatu enzim katalisator yang berperan dalam hidrolisis
asparagin menjadi asam aspartat dan amonia. Dengan demikian sel kanker kekurangan
asparagin yang berakibat kematian sel ini.

Tabel 47-1 pilahan antikanker

Golongan

Sub Golongan

Obat

Alkilator

Mustar nitrogen

Mekloretamin, siklofosfamid, melfalan


Mustar urasil, klorambusil

29

Anti Metabolit

Produk alami

Derivat etilenamin

Trietilen-melamin, trietilen-tiofosforamid

Alkil sulfonat

Busulfan

nitrosourea

Karmustin,lomustin,semustin

Analog pirimidin

5-fluorourasil, sitarabin, 6-azauridin, floksuridin

Analog purin

6-merkaptopurin, 6-tioguanid

Antagonis folat

metrotreksat

Alkaloid vinca

Vinblastin, Vinkristin

Antibiotik

Daktinomisin, mitomisin, mitramisin,bleomisin


Antrasiklin: daunorubisin, doksorubisin

Hormon

Enzim

L-asparaginase

Adrenokortikosteroid

prednison

Progestin

Hidroksiprogesteron kaproat
Hidroksiprogesteron asetat
Megestrol asetat

Isotop

Estrogen

Dietilstilbestrol, Etinil Estradiol

Androgen

Testosteron propionat, fluoksimesteron

Fosfor

Natrium fosfat

Yodium

Natrium yodida

Substitusi urea

Hidroksiurea

Derivat metilhidrazin

prokarbazin

radioaktif

Lain-lain

LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT

Leukemia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan transformasi neoplastik
dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari seri mieloid. Bila tidak diobati, penyakit ini akan
mengakibatkan kematian secara cepat dalam waktu beberapa minggu sampai bulan sesudah diagnosis.
30

Sebelum tahun 1960-an pengobatan LMA terutama bersifat paliatif. Tetapi sejak sekitar 40 tahun yang
lalu pengobatan penyakit ini berkembang secara cepat dan dewasa ini banyak pasien LMA yang dapat
disembuhkan dari penyakitnya.kemajuan pengobatan LMA ini dicapai dengan regimen kemoterapi yang
lebih baik, kemoterapi dosis tinggi dengan dukungan cangkok sumsum tulang dan terapi suportif yang
lebih baik seperti antibiotik generasi baru dan transfusi komponen darah untuk mengatasi efek samping
pengobatan. Selain itu sejak sekitar 2 dekade tahun yang lalu juga telah dikembangkan teknik diagnostik
leukemia dengan cara immunophenotyping dan analisis sitogenetik yang menghasilkan diagnosis yang
lebih akurat.
Insidensi
Dinegara maju seperti amerika serikat, LMA merupakan 32% dari seluruh kasus leukemia. Penyakit ini
lebih sering ditemukan pada dewasa (85%) dari pada anak (15%). Insidens LMA umumnya tidak berbeda
dari masa anak-anak hingga masa dewasa muda. Sesudah usia 30 tahun insidensi LMA meningkat secara
eksponensial sejalan dengan meningkatnya usia, insidens LMA pada orang yang berusia 30 tahun adalah
0,8%, pada orang yang berusia 50 tahun 2,7%, sedang pada orang yang berusia diatas 65 tahun adalah
sebesar 13,7%. Secara umum tidak didapatkan adanya variasi antar etnik tentang insidensi LMA,
meskipun pernah dilaporkan adanya insidensi LMA tipe M3 yang 2,9 hingga 5,8 kali lebih besar pada ras
hispanik yang tinggal di amerika serikat dibandingkan dengan ras kaukasia.
Etiologi
Pada sebagian besar kasus, etiologi dari LMA tidak diketahui. Meskipun demikian ada beberapa faktor
yang diketahui dapat menyebabkan atau setidaknya menjadi faktor predisposisi LMA pada populasi
tertentu. Benzene, suatu senyawa kimia yang banyak digunakan pada industri penyamakan kulit di
negara sedang berkembang, diketahui merupakan zat leukomogenik untuk LMA. Selain itu radiasi ionik
juga diketahui dapat menyebabkan LMA. Ini diketahui dari penelitian tentang tingginya insidensi kasus
leukemia, termasuk LMA, pada orang-orang yang selamat dari serangan bom atom di hiroshima dan
nagasaki pada tahun 1945. Efek leukomogenik dari paparan ion radiasi tersebut mulai tampak sejak 1,5
tahun sesudah pengeboman dan mencapai puncaknya 6 atau 7 tahun sesudah pengeboman. Faktor lain
yang diketahui merupakan predisposisi untuk LMA adalah trisomi kromosom 21 yang dijumpai pada
penyakit herediter sindrom down. Pasien sindrom down dengan trisomi kromosom 21 mempunyai risiko
10 hingga 18 kali lebih tinggi untuk menderita leukemia, khususnya LMA tipe M7. Selain itu pasien

31

beberapa sindrom genetik seperti sindrom bloom dan anemia fanconi juga diketahui mempunyai risiko
yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi normal untuk menderita LMA.
Faktor lain yang dapat memicu terjadinya LMA adalah pengobatan dengan kemoterapi sitotoksik
pada pasien tumor padat. LMA akibat terapi adalah komplikasi jangka panjang yang serius dari
pengobatan limfoma, mieloma multipel, kanker payudara, kanker ovarium dan kanker testis. Jenis
kemoterapi yang paling sering memicu timbulnya LMA adalah golongan alkylating agent dan
topoisomerase II inhibitor. LMA akibat terapi mempunyai prognosis yang lebih buruk dibandingkan LMA
de novo sehingga didalam klasifikasi leukemia versi World Health Organization (WHO) dikelompokkan
tersendiri.
Patogenesis
Patogenesis utama LMA adalah adanya blokade maturitas yang menyebabkan proses diferensiasi sel-sel
seri mieloid terhenti pada sel-sel muda (blast) dengan akibat terjadi akumulasi blast di sumsum tulang.
Akumulasi blast di dalam sumsum tulang akan menyebabkan gangguan hematopoesis normal dan pada
gilirannya akan mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum tulang (bone marrow failure syndrome)
yang ditandai dengan adanya sitopenia (anemia, leukopenia dan trombositopenia). Adanya anemia akan
menyebabkan pasien mudah lelah dan pada kasus yang lebih berat sesak napas, adanya
trombositopenia akan menyebabkan tanda-tanda perdarahan, sedang adanya leukopenia akan
menyebabkan pasien rentan terhadap infeksi, termasuk infeksi oportunis dari flora bakteri normal yang
ada didalam tubuh manusia. Selain itu sel-sel blast yang terbentuk juga punya kemampuan untuk
migrasi keluar sumsum tulang dan berinfiltrasi ke organ-organ lain seperti kulit, tulang, jaringan lunak
dan sistem syaraf pusat dan merusak organ-organ tersebut dengan segala akibatnya.
Tanda dan Gejala
Berbeda dengan anggapan umum selama ini, pada pasien LMA tidak selalu dijumpai leukositosis.
Leukositosis terjadi pada sekitar 50% kasus LMA, sedang 15% pasien mempunyai angka leukosit yang
normal dan sekitar 35% pasien mengalami netropenia. Meskipun demikian, sel-sel blast dalam jumlah
yang signifikan di darah tepi akan ditemukan pada 85% kasus LMA. Oleh karena itu sangat penting untuk
memeriksa rincian jenis sel-sel leukosit didarah tepi sebagai pemeriksaan awal, untuk menghindari
kesalahan diagnosis pada orang yang diduga menderita LMA.

32

Tanda dan gejala utama LMA adalah adanya rasa lelah, perdarahan dan infeksi yang disebabkan
oleh sindrom kegagalan sumsum tulang sebagaimana disebutkan diatas. Perdarahan biasanya terjadi
dalam bentuk purpura atau petekia yang sering dijumpai di ekstremitas bawah atau berupa epistaksis,
perdarahan gusi dan retina. Perdarahan yang lebih berat jarang terjadi kecuali pada kasus yang disertai
dengan DIC. Kasus DIC ini paling sering dijumpai pada kasus LMA tipe M3. Infeksi yang sering terjadi di
tenggorokan, paru-paru, kulit dan daerah peri rektal, sehingga oragan-oragan tersebut harus diperiksa
secara teliti pada pasien LMA dengan demam.
Pada pasien dengan angka leukosit yang sangat tinggi (lebih dari 100 ribu/mm 3), sering terjadi
leukostasis yaitu terjadinya gumpalan leukosit yang menyumbat aliran pembuluh darah vena maupun
arteri. Gejala yang sering dijumpai adalah gangguan kesadaran, sesak napas, nyeri dada dan priapismus.
Angka leukosit yang sangat tinggi juga sering menimbulkan gangguan metabolisme berupa
hiperurisemia dan hipoglikemia. Hiperurisemia terjadi akibat sel-sel leukosit yang berproliferasi secara
cepat dalam jumlah yang besar. Hipoglikemia terjadi karena konsumsi gula in vitro dari sampel darah
yang akan diperiksa, sehingga akan dijumpai hipoglikemia yang asimptomatik karena hipoglikemia
tersebut hanya terjadi in vitro tetapi tidak in vivo pada tubuh pasien.
Infiltrasi sel-sel blast akan menyebabkan tanda/gejala yang bervariasi tergantung organ yang
diinfiltrasi. Infiltrasi sel-sel blast di kulit akan menyebabkan leukemia kutis yaitu berupa benjolan yang
tidak berpigmen dan tanpa rasa sakit, sedang infiltrasi sel-sel blast di jaringan lunak akan menyebabkan
nodul dibawah kulit (kloroma). Infiltrasi sel-sel blast didalam tulang akan menimbulkan nyeri tulang yang
spontan atau dengan stimulasi ringan. Pembengkakan gusi sering dijumpai sebagai manifestasi infiltrasi
sel-sel blast kedalam gusi. Meskipun jarang, pada LMA juga dapat dijumpai infiltrasi sel-sel blast
kedaerah menings dan untuk penegakan diagnosis diperlukan pemeriksaan sitologi dari cairan
serebrospinal yang diambil melalui prosedur pungsi lumbal.
Diagnosis
Secara klasik diagnosis LMA ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik, morfologi sel dan pengecatan
sitokimia. Seperti sudah disebutkan, sejak sekitar dua dekade tahun yang lalu berkembang 2 teknik
pemeriksaan terbaru: immunophenotyping dan analisis sitogenetik. Berdasarkan pemeriksaan morfologi
sel dan pengecatan sitokimia, gabungan ahli hematologi amerika, perancis dan inggris pada tahun 1976
menetapkan klasifikasi LMA yang terdiri dari 8 subtipe (M0 sampai dengan M7), tabel 2). Klasifikasi ini
dikenal dengan nama klasifikasi FAB (french american british). Klasifikasi FAB hingga saat ini masih
33

menjadi diagnosis dasar LMA. Pengecatan sitokimia yang penting untuk pasien LMA adalah sudan black
B (SBB) dan mieloperoksidase (MPO). Kedua pengecatan sitokimia tersebut akam memberikan hasil
positif pada pasien LMA tipe M1, M2, M3, M4 dan M6.
Pemeriksaan penentuan imunofenotip adalah suatu teknik pengecatan modern yang
dikembangkan berdasarkan reaksi antigen dan antibodi. Diketahui bahwa permukaan membran sel-sel
darah mengekspresikan antigen yang berbeda-beda tergantung dari jenis dan tingkat diferensiasi sel-sel
darah tersebut. Sebagai contoh sel limfosit mengekspresikan antigen yang berbeda dengan sel
granulosit maupun sel trombosit dan eritrosit. Demikian pula limfosit B mempunyai ekspresi antigen
yang berbeda dengan limfosit T. selain itu sel-sel blast mengekspresikan antigen yang berbeda dengan
sel-sel leukosit yang lebih matur seperti promielosit dan mielosit. Bila antigen yang terdapat
dipermukaan membran sel tersebut dapat diidentifikasi dengan antibodi yang spesifik, maka akan dapat
dilakukan identifikasi jenis sel dan tingkat maturitasnya yang lebih akurat. Identifikasi sel dengan teknik
immunophenotyping biasanya diberi label CD (cluster of differentiation). Saat ini terdapat lebih dari 200
CD yang menjadi penanda berbagai jenis dan tingkat maturitas sel-sel darah. Selain berfungsi sebagai
alat diagnosis, teknik immunophenotyping juga mempunyai nilai prognostik dan terapi. Sebagai contoh,
pasien LMA yang mengekspresikan CD7 mempunyai prognosis yang jelek sedang pasien LMA yang
mengekspresikan CD2 mempunyai prognosis yang lebih baik. Saat ini juga sedang dikembangkan terapi
antibodi yang secara spesifik mempunyai target terapi CD33, gemtuzumab osagamicin, yang di
indikasikan bagi pasien LMA usia lanjut yang mengekspresikan CD33.
Analisis sitogenetik pada keganasan hematologi telah dimulai sejak awal 1960 dan berkembang
lebih pesat sejak awal 1980-an. Terdapat 2 kelainan dasar sitogenetik pada LMA: kelainan yang
menyebabkan hilang atau bertambahnya materi kromosom dan kelainan menyebabkan perubahan yang
seimbang tanpa menyebabkan hilang atau bertambahnya materi kromosom. Kelainan pertama dapat
berupa kehilangan sebagian dari materi kromosom (delesi/del) atau hilangnya satu materi kromosom
secara utuh (monosomi). Penambahan materi kromosom juga dapat bersifat sebagian (duplikasi/d) atau
bertambahnya satu atau lebih materi kromosom secara utuh (trisomo, tetrasomi). Kelainan kedua
berupa perubahan kromosom seimbang dalam bentuk perubahan resiprokal antara dua atau lebih
kromosom (translokasi/t) atau perubahan pada berbagai bagian dalam satu kromosom (inversi/inv).
Kelainan sitogenetik t (8;21), t (15;17), inv (16)/t dan translkasi 11q23 merupakan kelainan
sitogenetik yang dijumpaipada 21-28% pasien LMA dewasa. Kelainan sitogenetik lain yang dijumpai
dalam jumlah cukup signifikan pada pasien LMA adalah trisomi, delesi dan kelainan karyotipe yang
34

kompleks (mempunyai kelainan sitogenetik 3 atau lebih). Kelainan sitogenetik pada psien LMA
mempunyai nilai prognostic. Pasien dengan kelainan sitogenetik: t (15;17), inv (16), t (16;16) atau del
(16q) dan t (8;21) yang tidak disertai del (9q) atau kelainan karyotipe yang kompleks mempunyai
prognosis yang baik (favourable); pasien dengan kelainan sitogenetik +8, -Y, +6, del (12p) atau karyotipe
yang normal mempunyai prognosis yang sedang (intermediate); sedangkan pasien dengan kelainan
sitogenetik -5 atau del (5q), -7 atau del (7q), inv (3q), del (9q), t (9;22) dan karyotype yang kompleks
mempunyai prognosis yang buruk (unfavourable). Profil kelainan sitogenetik pada psien LMA juga
mempunyai implikasi terhadap terapi sebab dewasa ini, meskipun masih kontrversial, telah
dikembangkan strategi terapi pada pasien LMA berdasarkan profil sitogenetik pasien.
Berdasarkan profil kelainan sitogenetik pasien, WHO mengajukan usulan perubahan klasifikasi
LMA, yang telah diadopsi di banyak Negara (table1). Pada table 2 dapat dilihat kesepadanan diagnosis
LMA berdasarkan klasifikasi FAB dan analisis sitogenetik.
Tabel 1. Klasifikasi WHO untuk LMA
I

LMA dengan translokasi sitogenetik rekuren


LMA dengan t (8;21)(q22;q22), AML1 (CBF)ETO
APL dengan t (15;17)(q22;q11-12) dan varian-variannya, PML/RAR
LMA dengan eosinofil sumsum tulang abnormal dengan inv (16)(p13q22) atau t (16;16)(p13;q11),
CBF/MHY11)
LMA dengan abnormalitas 11q23 (MLL)

II

III

IV

LMA dengan multilineage dysplasia

Dengan sindrom myelodisplasia

Tanpa sindrom myelodisplasia

LMA dan sindrom myelodisplastik yang berkaitan dengan terapi

Akibat obat alkilasi

Akibat epipodofilotoksin (beberapa merupakan kelainan limfoid) tipe lain

LMA yang tidak terspesifikasi


LMA diferensiasi minimal
LMA tanpa maturasi
LMA dengan maturasi
LMA dengan diferensiasi monositik

35

Leukemia monositik akut


Leukemia eritroid akut
Leukemia megakariositik akut
Leukemia basofilik akut
Panmielosis akut dengan mielofibrosis

Tabel 2.
Subtipe

Nama

Myeloper

Sudan

Esterase

Translokasi dan Gen yang

FAB

Umum

Oksidase

Black

non-

penyusunan

spesifik

kembali

terlibat
(%

kasus)
M0

Leukemia Mieloblastik

Akut dg diferensiasi

Inv(3q26) dan

EV11

t(3;3)(1%)

minimal (3%)
M1

Leukemia mieloblastik

tanpa maturasi
(15-20%)
M2

Leukemia mieloblastik
dengan maturasi

T(8;21)(40%)

AML1-

t(6;9)(1%)

ETO, DEK-

(25-30%)
M3

Leukemia

CAN
+

T(15;17)(98%)

PML-RAR

promielositik akut

t(11;17)(1%)

PLZF-

(5-10%)

t(5;17)(1%)

RAR
NPMRAR

M4

M4Eo

Leukemia

11q23(20%)

MLL, DEC-

mielomonositik akut

Inv(3q26) &

KAN,

(20)

t(3;3)(3%),

EV11,

inv(16),

CBF-

t(16;16)(80%)

MYH11

Leukemia

+
36

mielomonositik akut
dengan eosinofil
abnormal (5-10%)
M5

Leukemia monositik

akut (2-9%)
M6

Eritroleukemia

11q23(20%)

MLL

t(8;16)(2%)
+

(3-5%)
M7

Leukemia
megakariositik akut

T(1,22)(5%)

Tidak
diketahui

(3-12%)

TERAPI
Tujuan pengobatan pada pasien LMA adalah untuk mengeradikasi sel-sel klonal leukemik dan untuk
memulihkan hematopoesis normal didalam sumsum tulang. Survival jangka panjang hanya didapatkan
pada pasien yang mencapai remisi komplit. Dosis kemoterapi tidak perlu diturunkan karena alasan
adanya sitopenia, karena dosis yang diturunkan ini tetap akan menimbulkan efek samping berat berupa
supresi sumsum tulang, tanpa punya efek yang cukup untuk mengeradikasi sel-sel leukemik maupun
untuk mengembalikan fungsi sumsum tulang.
Untuk mencapai eradikasi sel-sel leukemik yang maksimal, diperlukan strategi pengobatan yang
baik. Umumnya regimen kemoterapi untuk pasien LMA terdiri dari beberapa fase: fase induksi dan fase
konsolidasi. Kemoterapi fase induksi adalah regimen kemoterapi yang intensif yang bertujuan untuk
mengeradikasi sel-sel leukemik secara maksimal sehingga tercapai remisi komplit. Istilah remisi komplit
digunakan bila jumlah sel-sel darah di peredaran darah tepi kembali normal serta pulihnya populasi sel
di susmsum tulang termasuk tercapainya jumlah sel-sel blast <5%. Perlu ditekankan disini, meskipun
terjadi remisi komplit tidak berarti bahwa sel-sel klonal leukemik telah tereradikasi seluruhnya, karena
sel-sel leukemik akan terdeteksi secara klinik bila jumlahnya lebih dari 109 log sel. Jadi pada kasus remisi
komplit, masih tersisa sejumlah signifikan sel-sel leukemik didalam tubuh pasien tetapi tidak dapat
dideteksi. Bila dibiarkan, sel-sel ini berptensi menyebabkan kekambuhan di masa-masa yang akan
datang. Oleh karena itu, meskipun pasien telah mencapai remisi komplit perlu ditindaklajuti dengan
37

pengobatan selanjutnya yaitu kemoterapi konsolidasi. Kemoterapi konsolidasi biasanya terdiri dari
beberapa siklus kemoterapi dan menggunakan obat dengan jenis dan dosis yang sama atau lebih besar
dari dosis yang digunakan pada fase induksi.
Seperti yang sudah disebutkan di atas, tujuan utama pengobatan LMA adalah untuk
mengeradikasi sel-sel leukemik didalam sumsum tulang. Tindakan ini juga akan mengeradikasi sisa-sisa
sel hematopoesis normal yang ada didalam sumsum tulang, sehingga pasien LMA akan mengalami
periode aplasia pasca terapi induksi. Pada saat tersebut pasien sangat rentan terhadap infeksi dan
perdarahan. Pada kasus yang berat kedua komplikasi ini dapat berakibat fatal. Oleh karena itu terapi
suportif berupa penggunaan antibiotika dan transfusi komponen darah (khususnya sel darah merah dan
trombosit) sangat penting untuk menunjang keberhasilan terapi LMA.
Terapi pada LMA dibedakan menjadi 2 yaitu terapi untuk LMA pada umumnya dan terapi khusus
untuk leukemia promielositik akut (LPA).

Tabel 3.Pilihan Terapi LMA non-LPA


Sitogenetik Awal

Favorable

Kemoterapi Induksi

Standar 7+3

Terapi Post Remisi

Terapi Post Remisi

Donor HLA sesuai

Tidak ada Donor

HDACx 3-4 siklus atau 2- HDACx 3-4 siklus atau 23 siklus diikuti HSCT 3 siklus diikuti HSCT
otolog

Intermediate

Standar 7+3

otolog

HSCT alogenik sesegera HDACx 2-4 siklus + HSCT


mungkin atau HDACx 2- otolog
4 siklus

Unfavourable

Standar 7+3

HSCT alogenik sesegera HDACx 2-4 siklus HSCT


mungkin

otolog

Terapi LMA pada umumnya (Tabel 3)

38

Terapi standar 7+3 adalah kemoterapi induksi dengan regimen sitarabin dan daunorubisin dengan
protocol sitarabin 100 mg/m2 diberikan secara infusive kontinyu selama 7 hari dan daunorubisin 45-60
mg/m2/hari iv selama 3 hari. Sekitar 30-40% pasien mengalami remisi komplit dengan terapi sitarabin
dan daunorubisin yang diberikan sebagai obat tunggal, sedang bila diberikan sebagai kombinasi remisi
komplit dicapai oleh lebih dari 60% pasien. Bila terdapat residual disease pada hari ke-28 perlu
dipertimbangkan adanya gagal terapi primer dan perlu dimulai terapi alternative dengan regimen lain.
Pada pasien dengan gangguan fungsi jantung pemakaian antrasiklin merupakan kontraindikasi
terutama bila terdapat riwayat miokard infark dan fraksi ejeksi kurang dari 50%. Pilihan terapi pada
kondisi ini adalah High dose cytarabine (ara-C)/HDAC. Regimen terapi yang dipakai pada HDAC adalah
sitarabin 2-3 g/m2 infus iv selama 1-2 jam tiap 12 jam selama 12 dosis atau sitarabin 2-3 g/m2 selama 2
jam setiap 12 jam pada hari 1,3 dan 5.
Pilihan untuk terapi post remisi dapat berupa kemoterapi konsolidasi, transplantasi sel stem
hematopoetik (hematopoetic stem cell transplantation/HSCT) otology, atau HSCY alogenik. Jenis terapi
pada pasca remisi ditentukan berdasarkan usia dan factor prognostic, terutama profil sitogenetik.
Sebagian besar pada pasien usia muda memberikan respons yang lebih baik dibanding pasien usia tua.
Bila terjadi relaps dapat diberikan lagi kemoterapi intensif dan/atau HSCT untuk mencapai
remisi komplit kedua atau hanya diberikan perawatan suportif. Pencapaian remisi komplit kedua tidak
begitu dipengaruhi karakter sitogenetik, namun lebih dipengaruhi oleh durasi remisi komplit pertama,
usia dan ada tidaknya komorbiditas aktif. Durasi median remisi komplit kedua umumnya kurang dari 6
bulan bila tanpa HSCT dengan disease-free survival kurang dari 10 bulan. Survival meningkat bila
sebelumnya pasien telah menjalani HSCT alogenik, namun donor untuk prosedur tersebut umumnya
terbatas.
Terapi Leukemia Promielositik Akut
Insidensi LPA sebesar 10-15% pasien LMA. Penyakit ini ditandai dengan kelainan sitogenetik berupa t
(15;17) yang dijumpai pada sekitar 90% kasus. Kelainan sitogenetik t (15;17) akan menyebabkan fusi gen
PML dan RAR, menjadi gen PML-RAR. Fusi gen PML-RAR mengakibatkan blockade maturitas pada
seri promielosit sehingga terjadi LPA. Kini dikembangkan suatu obat yang disebut all-trans retinoic acid
(ATRA) yang menjadikan fusi gen PML-RAR sebagai target kerjanya. Pengobatan LPA dengan ATRA
menghasilkan angka kesembuhan lebih dari 70%.

39

LPA merupakan predisposisi untuk terjadinya koagulopati yang dalam hal ini diakibatkan oleh
kombinasi antara DIC dan hiperfibrinolisis primer. Pasien dengan manifestasi koagulopati harus segera
mendapat terapi induksi (ATRA). Pad pasien yang mengalami perdarahan yang tidak terkendali(setelah
terapi transfusi) dapat diberikan e-aminocaproic acid (EACA) dan tranexamide acid.
Terapi induksi LPA terdiri atas kombinasi ATRA plus kemoterapi berbasi antrasiklin. Antrasiklin
dapat menginduksi remisi pada 60-90% pasien bila digunakan sebagai obat tunggal. Sel leukemik pasien
LPA sensitive terhadap antrasiklin karena rendahnya ekspresi Pgp dan petanda resistensi lainnya pada
sel-sel LPA dibanding dengan subtype LMA lainnya. ATRA adalah suatu derivatif vitamin A yang mampu
menginduksi remisi klinis dengan mengaktifkan maturasi sel tanpa menyebabkan hipoplasia sumsum
tulang. Sebagai obat tunggal ATRA menginduksi remisi 72-81% pasien. Umumnya ATRA mulai diberikan
dalam 2-3 hari pertama pada pasien dengan perdarahan berat untuk mengatasi koagulopati pada LPA
sebelum mulai dengan terapi berbasis antrasiklin. Cara ini akan menyebabkan angka leukosit menjadi
tidak terlalu tinggi lagi. Selain itu cara ini menurunkan insidens sindrom asam retinoid (retinoic acid
syndrome/RAS).
Terapi induksi menggunakan ATRA 45 mg/m2/hari per oral yang terbagi dalam 2 dosis setiap hari
sampai remisi komplit plus derivat antrasiklin, daunorubisin 50-60 mg/m2/hari selama 3 hari atau
idarubisin 12 mg/m2/hari selama 4 hari. Terapi induksi dilanjutkan dengan terapi konsolidasi dengan
kemoterapi berbasis antrasiklin dan terapi pemeliharaan dengan menggunakan ATRA.
RAS dapat terjadi pada 10-15% pasien dan umumnya terjadi 7-14 hari setelah terapi ATRA. RAS
jarang terjadi selama penyembuhan akibat aplasia setelah kemoterapi dan selama terapi pemeliharaan.
RAS adalah suatu sindrom kebocoran kapiler dengan manifestasi demam, distress respirasi dan
munculnya infiltrate pada paru. Dapat juga terjadi peningkatan berat badan, efusi pleura atau efusi
perikard dan gagal ginjal. Leukositosis berat merupakan factor prognostic walaupun RAS sering juga
terjadi pada leucopenia. Bila angka leukosit lebih dari 5.000-10.000/L, ATRA dan kemoterapi diberikan
bersama-sama pada saat awal terapi. Bila saat mnoterapi ATRA terjadi leukositosis lebih dari 10.000/L
induksi kemoterapi harus segera dimulai. Tanpa melihat angka leukosit dan kemungkinan sepsis
netropenia, bila terdapat sesak dan infiltrate paru, dengan atau tanpa demam, terapi deksametason
harus segera diberikan (10 mg iv 2 kali sehari). Terapi ATRA dapat dihentikan sampai RAS menunjukkan
perbaikan.

40

Sekitar 20-30% pasien LPA yang mencapai remisi komplit dengan terapi berbasis ATRA akan
mengalami relaps dan umumnya kelompok pasien ini juga resisten terhadap terapi ATRA yang
berikutnya. Arsenic, suatu racun yang sudah digunakan sebagai obat pada pengobatan tradisional cina
sejak beberapa abad yang lalu, saat ini diketahui mempunyai efek pengobatan yang positif pada pasien
ATRA yang relaps atau resisten terhadap terapi ATRA. Salah satu komponen arsen yang sering digunakan
didalam klinik untuk terapi LPA yang relaps atau resisten terhadap ATRA adalah arsenic trioxide (ATO).
Sebagai terapi LPA, ATO mempunyai mekanisme kerja: memacu degradasi fusi protein PML-RAR
(khususnya protein PML, menginduksi apoptosis, memacu diferensiasi sel-sel leukemik serta
memghambat apoptosis. ATO umumnya diberikan dengan dosis 0,15 mg/KgBB melalui infuse 3 jam
hingga tercapai remisi komplit dengan maksimal pemberian 50 hari. Pada pasien LPA relaps, terapi ATO
menghasilkan respon sebesar 70% hingga 100%.
TRANSPLANTASI SUMSUM TULANG
Transplantasi sumsum tulang saat ini merupakan tindakan medis yang banyak dilakukan dalam
penatalaksanaan penyakit-penyakit tertentu, misalnya keganasan hematologik, defisiensi imun dan
kelainan genetik yang melibatkan sistem hemopoetik, maupun dalam penatalaksanaan penderita kanker
yang memperoleh kemoterapi dosis tinggi. Pada transplantasi sumsum tulang kita memindahkan sel-sel
hemopoetik pluripoten dari donor yang mampu membentuk semua unsur selular darah dan sistem imun
kepada resipien yang memerlukannya. Transplantasi sumsum tulang, seperti halnya jaringan
transplantasi yang lain, dapat membangkitkan respons yang berakibat penolakan sumsum tulang yang
ditransplantasikan. Tetapi perbedaan utama antara transplantasi sumsum tulang dengan transplantasi
organ lain adalah bahwa jaringan transplan (sumsum tulang donor) mengandung sel T imunokompeten
yang dapat bereaksi dengan antigen resipien dan menyebabkan reaksi graft versus host (GvH disease).
Relevansi MHC dengan transplantasi sumsum tulang sama dengan relevansinya dengan transplantasi
organ lain, yaitu interaksi antara sel-sel resipien yang imunokompeten dengan sel-sel transplan melalui
MHC yang diekspresikan. Dalam berbagai penelitian terungkap peran CD8+, CD4+ dan subset sel T
TCR+ beserta berbagai mediator yang diproduksinya pada reaksi penolakan transplantasi sumsum
tulang dari donor yang menunjukkan ketidakcocokan antigen MHC maupun antigen H (minor HC, MiHA).
Bahwa ada peran sel t dibuktikan dengan adanya infiltrasi limfosit dengan fenotip TCR+CD3+CD45RO+
dalam jaringan transplantasi.
Inkompatibilitas dalam antigen eritrosit ABO menyebabkan reaksi hemolitik, tetapi tidak terlalu
mempengaruhi keberhasilan transplantasi sumsum tulang, kecuali kalau resipien mempunyai titer anti41

ABO terhadap eritrosit donor yang tinggi. Pada transplantasi sumsum tulang yang dilakukan untuk
mengatasi keganasan hematologik, misalnya leukemia, sejak beberapa tahun terakhir dikenal istilah
graft versus leukemia (GvL) yang merupakan reaksi yang menguntungkan pada terapi leukemia. Sumsum
tulang alogenik diduga mampu menyingkirkan sel-sel leukemik yang tidak dieliminasi dengan
conditioning theraphy. Dalam hal ini mekanisme imunologik mempunyai peran penting dalam eradikasi
leukemia setelah transplantasi sumsum tulang.
MASA DEPAN MANAJEMEN LMA
Di masa depan perkembangan ilmu di bidang biologi molecular akan sangat berpengaruh pada
penatalaksanaan LMA. Informasi biologi molekuler akan sangat berguna untuk menentukan prognosis
dan strategi terapi yang lebih baik pada pasien LMA. Sebagai contoh, ekspresi protein yang berperan
pada proses angiogenesis kini diketahui merupakan factor prognostic yang independen pada pasien
LMA. Selain itu saat ini sedang dikembangkan strategi pengobatan dengan sasaran yang spesifik
(targeted theraphy). Obat-obat ini didisain untuk mentarget protein-protein tertentu yang mempunyai
peran pada proses leukomogenesis. Oleh karena sifatnya yang spesifik, obat-obat ini umumnya
mempunyai profil efek samping yang lebih ringan dibandingkan kemoterapi, sehingga diharapkan dapat
digunakan secara aman pada pasien LMA yang tidak mampu menghadapi terapi yang agresif, seperti
pasien LMA usia geriatric. Salah satu obat yang sedang dikembangkan saat ini adalah anti-FLT3, suatu
protein trans membrane yang berfungsi sebagai enzym tirosine kinase dan diekspresikan pada lebih dari
90 kasus LMA. Pada pasien LMA, sekitar 30% protein FLT3 mengalami mutasi dan mutasi tersebut
menyebabkan proliferasi yang tidak terkendali. Selain itu diketahui pasien LMA dengan ekspresi LFT3
mutan mempunyai prognosis yang lebih jelek. Pada penelitian pendahuluan terapi anti-FLT3
menghasilkan respons sebesar 18-25% dengan efek samping yang ringan. Penggunaan targeted
theraphy pada klinik praktis masih menunggu hasil penelitian-penelitian dengan desain yang lebih baik
dan berskala besar.

42

43

Vous aimerez peut-être aussi