Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
OLEH :
A.A TRI AYU WIDYAWATHI
(0902105003)
(0902015027)
(0902105036)
I.
LATAR BELAKANG
Kesehatan merupakan salah satu faktor penting dalam pengembangan sumber daya
manusia. Tujuan dalam pengembangan kesehatan yang tercantum dalam fungsi kesehatan
nasional (SKN) adalah tercapainya kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar
dapat mewujudkan derajat kesehatan nasional (Sumarmo, 1998 dalam Putra, Juniartha
Semara.2012).
Struma merupakan penyakit yang diakibatkan oleh kekurangan yodium sebagai
unsure utama dalam pembentukan hormone T3 dan T4 sehingga untuk mengimbangi kekurangan
tersebut, kelenjar thyroid bekerja lebih aktif dalam menimbulkan pembesaran yang mudah
terlihat di kelenjar tiroid (Sintan, Rizka Nurdiani 2013).
Struma dapat diklasifikasikan berdasarkan fisiologis yaitu termasuk didalamnnya
euthyroidisme, hipothyroidisme, dan hiperthyroidisme. Berdasarkan morfologi dibedakan atas
struma hyperplastica difusa, struma koloides difusa dan struma nodular serta berdasarkan klinis
dibedakan atas struma toksik dan struma non toksik. Menurut hasil penelitian Tunbridge, et all di
Inggris tahun 1977 IR (Insiden Rate) penyakit graves yang merupakan struma disfusa toksik
100-200/100.000 penduduk, dan tahun 1995 IR penyakit graves pada perempuan 80/100.000
perempuan tiap tahunnya (Sintan, Rizka Nurdiani 2013).
Struma koloid, difus, nontoksik dan nodular koloid merupakan gangguan yang sangat
sering dijumpai dan menyerang 16% perempuan dan 4% laki-laki yang berusia antara 20-60
tahun seperti yang telah dibuktikan oleh suatu penelitian di Tecumseh, suatu komunitas di
Michigan. Biasanya tidak ada gejala-gejala lain kecuali gangguan kosmetik, tetapi kadang timbul
komplikasi-komplikasi. Struma mungkin membesar secara difus dan atau bernodula Struma
endemic merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia. Hal tersebut disebabkan oleh efisiensi
yodium, disamping faktor-faktor lain misalnya bertambahnya kebutuhan yodium pada masa
pertumbuhan, kehamilan dan laktasi atau pengaruh-pengaruh zat-zat goitrogenik (Putra,
Juniartha Semara. 2012).
Berdasarkan data Depkes tahun 2005, dari 56.890 kasus penyakit metabolic dan
lainnya yang dirawat inap di Rumah sakit seluruh Indonesia sebanyak 913 kasus (1,6%)
thyrotoksikosis dengan CFR (Case Fatality Rate) 7,3% dan 4065 kasus (7,14%) struma lainnya
dengan CFR 3,6%. Hasil Depkes RI tahun 2003 program pencegahan dan penanggulangan
Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) di Indonesia PR struma difusa non toksik
(Gondok) pada anak sekolah dasar di Indonesia sebesar 11,1%. Penelitian aZamris di Rumah
Sakit Perjan Dr. M Jamil Padang pada Mei-November 2004 pada 30 orang penderita struma (25
wanita dan 5 pria) dilakukan pemeriksaan histopatologi ditemukan keganasan struma pada empat
orang (0,13%) (Sintan, Rizka Nurdiani 2013).
Berdasarkan kasus diatas kelompok tertarik untuk mengambil kasus Struma Nodusa
Thyroid untuk dibahas karena dari hasil catatan register di Ruang ICU Badung didapatkan data
bulan april sebanyak 0,08% pasien SNT dirawat di ICU, pada bulan Mei sebanyak 0,05% pasien
dan pada awal Juni dalam rentang satu minggu terdapat tiga pasien post op thyroidectomy dari
sembilan kasus yang masuk di ICU RSUD Badung. Jadi kelompok sangat tertarik mengambil
kasus tersebut mengingat pentingnya observasi pada pasien post op thyroidectomy untuk
mencegah terjadinya pembengkakan pada daerah luka operasi yang dapat menimbulkan
komplikasi lainnya.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Tiroid
Tiroid berarti organ berbentuk perisai segi empat. Kelenjar tiroid merupakan organ yang
bentuknya seperti kupu-kupu dan terletak pada leher bagian bawah di sebelah anterior trakea.
Kelenjar ini merupakan kelenjar endokrin yang paling banyak vaskularisasinya, dibungkus oleh
kapsula yang berasal dari lamina pretracheal fascia profunda. Kapsula ini melekatkan tiroid ke
laring dan trakea. Kelenjar ini terdiri atas dua buah lobus lateral yang dihubungkan oleh suatu
jembatan jaringan isthmus tiroid yang tipis dibawah kartilago krikoidea di leher, dan kadangkadang terdapat lobus piramidalis yang muncul dari isthmus di depan laring.
sternohyoideus setinggi vertebra cervicalis V sampai vertebra thoracica I. Kelenjar ini terdiri dari
lobus dexter dan lobus sinister yang terletak anterolateral terhadap larynx dan trachea. Kedua lobus
dihubungkan oleh isthmus yang biasanya terletak di depan cartilagines tracheales II-III. Sebuah lobus
pyramidalis dapat berasal dari isthmus, biasanya ke sebelah kiri dari bidang median. Glandula
thyroidea terbungkus dalam capsula fibrosa yang tipis dan memancarkan sekat-sekat ke dalam
jaringan kelenjar. Di sebelah luar capsula fibrosa ini terdapat selubung longgar yang berasal dari
fascia pretrachealis fasciae cervicalis profundae. Glandula thytoidea melekat pada cartilago cricoidea
dan cartilagines tracheales atas dengan perantaraan jaringan ikat padat (Harrold, 2006).
vena thyroidea media menyalurkan darah dari bagian tengah kedua lobus, dan vena thyroidea inferior
menyalurkan darah dari kutub bawah. Vena thyroidea superior dan vena thyroidea media bermuara ke
dalam vena jugularis interna, dan vena thyroidea inferior ke dalam vena brachiocephalica.
Saraf-saraf glandula thyroidea berasal dari ganglion cervical superius, ganglion cervical
medium dan ganglion cervical inferius. Saraf-saraf ini mencapai glandula thyroidea melalui nervus
cardiacus, nervus laryngeus superior, dan nervus laryngeus inferior, serta nervus-nervus sepanjang
arteri-arteri tiroid. Beberapa serabut bersifat vasomotoris (Snell,2006).
Pembuluh limfe glandula thyroidea melintas di dalam jaringan ikat antar-lobul, seringkali
mengitari arteri-arteri, dan berhubungan dengan anyaman pembuluh limfe kapsular. Dari sini
pembuluh limfe menuju ke nodi lymphoidei cervicales anteriores profundi pretracheales, dan nodi
lymphoidei cervicales anteriores profundi paratracheales. Di sebelah lateral, pembuluh limfe
mengikuti vena thyroidea superior dan melintas ke nodi lymphoidei cervicales profundi. Beberapa
pembuluh limfe dapat menyalurkan isinya ke dalam nodi lymphoidei brachiocephalici atau ke dalam
ductus thoracicus (Netter,2006).
adalah T4, tetapi T3 secara fisiologis lebih bermakna. Baik T3 maupun T4 dibawa ke sel-sel
sasaran mereka oleh suatu protein plasma.
Pembentukan dan Sekresi Hormon Tiroid ada 7 tahap, yaitu:
1. Trapping
Proses ini terjadi melalui aktivitas pompa iodida yang terdapat pada bagian basal sel
folikel. Dimana dalam keadaan basal, sel tetap berhubungan dengan pompa Na/K tetapi belum
dalam keadaan aktif. Pompa iodida ini bersifat energy dependent dan membutuhkan ATP. Daya
pemekatan konsentrasi iodida oleh pompa ini dapat mencapai 20-100 kali kadar dalam serum
darah. Pompa Na/K yang menjadi perantara dalam transport aktif iodida ini dirangsang oleh
TSH.
2. Oksidasi.
Sebelum iodida dapat digunakan dalam sintesis hormon, iodida tersebut harus dioksidasi
terlebih dahulu menjadi bentuk aktif oleh suatu enzim peroksidase. Bentuk aktif ini adalah
iodium. Iodium ini kemudian akan bergabung dengan residu tirosin membentuk monoiodotirosin
yang telah ada dan terikat pada molekul tiroglobulin (proses iodinasi). Iodinasi tiroglobulin ini
dipengaruhi oleh kadar iodium dalam plasma. Sehingga makin tinggi kadar iodium intrasel maka
akan makin banyak pula iodium yang terikat sebaliknya makin sedikit iodium di intra sel, iodium
yang terikat akan berkurang sehingga pembentukan T3 akan lebih banyak daripada T4.
3. Coupling.
Dalam molekul tiroglobulin, monoiodotirosin (MIT) dan diiodotirosin (DIT) yang
terbentuk dari proses iodinasi akan saling bergandengan (coupling) sehingga akan membentuk
triiodotironin (T3) dan tiroksin (T4). Komponen tiroglobulin beserta tirosin dan iodium ini
disintesis dalam koloid melalui iodinasi dan kondensasi molekul tirosin yang terikat pada ikatan
di dalam tiroglobulin. Tiroglobulin dibentuk oleh sel-sel tiroid dan dikeluarkan ke dalam koloid
melalui proses eksositosis granula.
4. Penimbunan (storage).
Produk yang telah terbentuk melalui proses coupling tersebut kemudian akan disimpan di
dalam koloid. Tiroglobulin (dimana di dalamnya mengandung T3 dan T4), baru akan dikeluarkan
apabila ada stimulasi TSH.
5. Deiodinasi.
Proses coupling yang terjadi juga menyisakan ikatan iodotirosin. Residu ini kemudian
akan mengalami deiodinasi menjadi tiroglobulin dan residu tirosin serta iodida. Deiodinasi ini
dimaksudkan untuk lebih menghemat pemakaian iodium.
6. Proteolisis.
TSH yang diproduksi oleh hipofisis anterior akan merangsang pembentukan vesikel yang
di dalamnya mengandung tiroglobulin. Atas pengaruh TSH, lisosom akan mendekati tetes koloid
dan mengaktifkan enzim protease yang menyebabkan pelepasan T3 dan T4 serta deiodinasi MIT
dan DIT.
7. Pengeluaran hormon dari kelenjar tiroid (releasing).
Proses ini dipengaruhi TSH. Hormon tiroid ini melewati membran basal dan kemudian
ditangkap oleh protein pembawa yang telah tersedia di sirkulasi darah yaitu Thyroid Binding
Protein (TBP) dan Thyroid Binding Pre Albumin (TBPA). Hanya 0,35% dari T4 total dan 0,25%
dari T3 total yang berada dalam keadaan bebas. Ikatan T3 dengan TBP kurang kuat daripada
ikatan T4 dengan TBP. Pada keadaan normal kadar T3 dan T4 total menggambarkan kadar
hormon bebas, namun dalam keadaan tertentu jumlah protein pengikat bisa berubah. Pada
seorang lansia yang mendapatkan kortikosteroid untuk terapi suatu penyakit kronik cenderung
mengalami penurunan kadar T3 dan T4 bebas karena jumlah protein pembawa yang meningkat.
Sebaliknya pada seorang lansia yang menderita pemyakit ginjal dan hati yang kronik maka kadar
protein binding akan berkurang sehingga kadar T3 dan T4 bebas akan meningkat.
Pengaturan Sekresi Hormon Thyroid
Hormon perangsang tiroid (TSH), yang juga dikenal sebagai tirotropin, merupakan salah
satu hormon kelenjar hipofisis anterior. Hormon ini meningkatkan sekresi tiroksin dan
triiodotironin oleh kelenjar tiroid. Sekresi TSH oleh hipofisis anterior diatur oleh satu hormon
hipotalamus, hormon pelepas tirotropon (TRH) yang disekresikan oleh ujung-ujung saraf di
dalam eminensia mediana hipotalamus. Kedua hormon ini berperan dalam mengetur kecepatan
sekresi tiroid melalui mekanisme umpan balik spesifik sebagai berikut:
1. Kadar tiroksin dan triiodotironin dalam darah yang rendah atau laju metabolism yang rendah,
merangsang hipotalamus untuk melepaskan TRH.
Gambar 4. Struma
Secara morfologi pembesaran dari kelenjar tiroid dapat disebabkan oleh:
1. Hipertrofi dan hiperplasia epitel sel folikel.
2. Peningkatan akumulasi koloid dalam folikel.
3. Peradangan proses (infiltrasi inflamasi dan augmentasi jaringan ikat).
4. Proses neoplastik (Tandra,2011).
Pembesaran dapat bersifat difus, yang berarti bahwa seluruh kelenjar tiroid membesar,
atau nodosa, yang berarti bahwa terdapat nodul dalam kelenjar tiroid. Pembesaran nodosa dapat
dibagi lagi menjadi uninodosa, bila hanya terdapat satu nodul, dan multinodosa, bila terdapat
lebih dari satu nodul pada satu lobus atau kedua lobus.
\
Gambar 5. Perbedaan Thyroid normal dan Goiter
D. Patogenesis
Struma terjadi akibat kekurangan yodium yang dapat menghambat pembentukan hormon
tiroid oleh kelenjar tiroid sehingga terjadi pula penghambatan dalam pembentukan TSH oleh
hipofisis anterior. Hal tersebut memungkinkan hipofisis mensekresikan TSH dalam jumlah yang
berlebihan. TSH kemudian menyebabkan sel-sel tiroid mensekresikan tiroglobulin dalam jumlah
yang besar (kolid) ke dalam folikel, dan kelenjar tumbuh makin lama makin bertambah besar.
Akibat kekurangan yodium maka tidak terjadi peningkatan pembentukan T4 dan T3, ukuran
folikel menjadi lebih besar dan kelenjar tiroid dapat bertambah berat sekitar 300-500 gram.
Selain itu struma dapat disebabkan kelainan metabolik kongenital yang menghambat
sintesa hormon tiroid, penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia (goitrogenic agent), proses
peradangan atau gangguan autoimun seperti penyakit Graves. Pembesaran yang didasari oleh
suatu tumor atau neoplasma dan penghambatan sintesa hormon tiroid oleh obat-obatan misalnya
thiocarbamide, sulfonylurea dan litium, gangguan metabolik misalnya struma non toksik (struma
endemic).
Gangguan pada jalur TRH-TSH hormon tiroid ini menyebabkan perubahan dalam
struktur dan fungsi kelenjar tiroid gondok. Rangsangan TSH reseptor tiroid oleh TSH, TSHResepor Antibodi atau TSH reseptor agonis, seperti chorionic gonadotropin, akan menyebabkan
struma diffusa. Jika suatu kelompok kecil sel tiroid, sel inflamasi, atau sel maligna metastase ke
kelenjar tiroid, akan menyebabkan struma nodusa.
Defesiensi dalam sintesis atau uptake hormon tiroid akan menyebabkan peningkatan
produksi TSH. Peningkatan TSH menyebabkan peningkatan jumlah dan hiperplasi sel kelenjar
tyroid untuk menormalisir level hormon tiroid. Jika proses ini terus menerus, akan terbentuk
struma. Penyebab defisiensi hormon tiroid termasuk inborn error sintesis hormon tiroid,
defisiensi iodida dan goitrogen.
Struma mungkin bisa diakibatkan oleh sejumlah reseptor agonis TSH. Yang termasuk
stimulator reseptor TSH adalah reseptor antibodi TSH, kelenjar hipofise yang resisten terhadap
hormon tiroid, adenoma di hipotalamus atau di kelenjar hipofise, dan tumor yang memproduksi
human chorionic gonadotropin (Silbernagl Stefan, Lang Florian. 2006).
E. Klasifikasi
1. Berdasarkan fisiologisnya
a. Eutiroidisme
Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang disebabkan stimulasi
kelenjar tiroid yang berada di bawah normal sedangkan kelenjar hipofisis menghasilkan TSH dalam
jumlah yang meningkat. Goiter atau struma semacm ini biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali
pembesaran pada leher yang jika terjadi secara berlebihan dapat mengakibatkan kompresi trakea.
b. Hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar tiroid sehingga sintesis
dari hormon tiroid menjadi berkurang. Kegagalan dari kelenjar untuk mempertahankan kadar plasma
yang cukup dari hormon. Beberapa pasien hipotiroidisme mempunyai kelenjar yang mengalami
atrofi atau tidak mempunyai kelenjar tiroid akibat pembedahan/ablasi radioisotop atau akibat
destruksi oleh antibodi autoimun yang beredar dalam sirkulasi. Gejala hipotiroidisme adalah
penambahan berat badan, sensitif terhadap udara dingin, dementia, sulit berkonsentrasi, gerakan
lamban, konstipasi, kulit kasar, rambut rontok, mensturasi berlebihan, pendengaran terganggu dan
penurunan kemampuan bicara (Grace Pierce, Borley Neil. 2007).
a. Struma Toksik
Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma diffusa toksik dan struma nodusa toksik.
Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada perubahan bentuk anatomi dimana struma diffusa
toksik akan menyebar luas ke jaringan lain. Jika tidak diberikan tindakan medis sementara nodusa
akan memperlihatkan benjolan yang secara klinik teraba satu atau lebih benjolan (struma
multinoduler toksik).Struma diffusa toksik (tiroktosikosis) merupakan hipermetabolisme karena
jaringan tubuh dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam darah. Penyebab tersering
adalah penyakit Grave (gondok eksoftalmik/exophtalmic goiter), bentuk tiroktosikosis yang paling
banyak ditemukan diantara hipertiroidisme lainnya.
Perjalanan penyakitnya tidak disadari oleh pasien meskipun telah diiidap selama berbulanbulan. Antibodi yang berbentuk reseptor TSH beredar dalam sirkulasi darah, mengaktifkan reseptor
tersebut dan menyebabkan kelenjar tiroid hiperaktif.
Meningkatnya kadar hormon tiroid cenderung menyebabkan peningkatan pembentukan
antibodi sedangkan turunnya konsentrasi hormon tersebut sebagai hasilpengobatan penyakit ini
cenderung untuk menurunkan antibodi tetapi bukan mencegah pembentukyna. 32 Apabila gejala gejala
hipertiroidisme bertambah berat dan mengancam jiwa penderita maka akan terjadi krisis tirotoksik.
Gejala klinik adanya rasa khawatir yang berat, mual, muntah, kulit dingin, pucat, sulit berbicara dan
menelan, koma dan dapat meninggal.
1. Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada difesiensi sedang yodium yang kurang
dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium adalah kurang dari 25 mcg/d dihubungkan
dengan hypothyroidism dan cretinism.
2. Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada preexisting penyakit tiroid
autoimun
3. Goitrogen :
a) Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone, aminoglutethimide, expectorants yang
mengandung yodium
b) Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative dan resorcinol berasal dari
tambang batu dan batubara.
c) Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica ( misalnya, kubis, lobak cina, brussels kecambah),
padi-padian millet, singkong, dan goitrin dalam rumput liar.
d) Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon kelejar tiroid
e) Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa kanak-kanak mengakibatkan
nodul benigna dan maligna.
Penyebab Struma Non Toksik:
1. Defisiensi Iodium.
2. Autoimmun thyroiditis: Hashimoto oatau postpartum thyroiditis.
3. Kelebihan iodium (efek Wolff-Chaikoff) atau ingesti lithium, dengan penurunan pelepasan
hormon tiroid.
4. Stimulasi reseptor TSH oleh TSH dari tumor hipofisis, resistensi hipofisis terhadap hormo
tiroid, gonadotropin, dan/atau tiroid-stimulating immunoglobulin.
5. Inborn errors metabolisme yang menyebabkan kerusakan dalam biosynthesis hormon tiroid.
6. Terpapar radiasi.
7. Penyakit deposisi.
8. Resistensi hormon tiroid.
9. Tiroiditis Subakut (de Quervain thyroiditis).
10. Silent thyroiditis.
11. Agen-agen infeksi.
12. Suppuratif Akut : bacterial.
13. Kronik: mycobacteria, fungal, dan penyakit granulomatosa parasit.
14. Keganasan Tiroid.
Struma non toksik disebut juga dengan gondok endemik, berat ringannya endemisitas dinilai
dari prevalensi dan ekskresi yodium urin. Dalam keadaan seimbang maka yodium yang masuk ke
dalam tubuh hampir sama dengan yang diekskresi lewat urin. Kriteria daerah endemis gondok yang
dipakai Depkes RI adalah endemis ringan prevalensi gondok di atas 10 %-< 20 %, endemik sedang
20 % - 29 % dan endemik berat di atas 30 %.
Penatalaksanaan. Indikasi operasi pada struma nodosa non toksika, ialah keganasan,
penekanan, kosmetik. Tindakan operasi yang dikerjakan tergantung jumlah lobus tiroid yang
terkena. Bila hanya satu sisi saja dilakukan subtotal lobektomi, sedangkan kedua lobus terkena
dilakukan subtotal tiroidektomi. Bila terdapat pembesaran kelenjar getah bening leher maka
dikerjakan juga deseksi kelenjar leher funsional atau deseksi kelenjar leher radikal/modifikasi
tergantung ada tidaknya ekstensi dan luasnya ekstensi di luar kelenjar getah bening.
Radioterapi diberikan pada keganasan tiroid yang inoperabel, kontraindikasi operasi, ada residu
tumor setelah operasi, metastase yang non resektabel. Hormonal terapi dengan ekstrak tiroid
diberikan selain untuk suplemen juga sebagai supresif untuk mencegah terjadinya kekambuhan
pada pasca bedah karsinoma tiroid diferensiasi baik (TSH dependence). Terapai supresif ini juga
ditujukan terhadap metastase jauh yang tidak resektabel dan terapi adjuvan pada karsinoma tiroid
diferensiasi baik yang inoperabel.
F. Pencegahan
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah langkah yang harus dilakukan untuk menghindari diri dari
berbagai faktor resiko. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya
struma adalah :
1) Memberikan edukasi kepada masyarakat dalam hal merubah pola perilaku makan dan
memasyarakatkan pemakaian garam yodium
2) Mengkonsumsi makanan yang merupakan sumber yodium seperti ikan laut
3) Mengkonsumsi yodium dengan cara memberikan garam beryodium setelah dimasak, tidak
dianjurkan memberikan garam sebelum memasak untuk menghindari hilangnya yodium dari
makanan
4) Iodisasi air minum untuk wilayah tertentu dengan resiko tinggi. Cara ini memberikan keuntungan
yang lebih dibandingkan dengan garam karena dapat terjangkau daerah luas dan terpencil.
Iodisasi dilakukan dengan yodida diberikan dalam saluran air dalam pipa, yodida yang diberikan
dalam air yang mengalir, dan penambahan yodida dalam sediaan air minum.
5) Memberikan kapsul minyak beryodium (lipiodol) pada penduduk di daerah endemik berat dan
endemik sedang. Sasaran pemberiannya adalah semua pria berusia 0-20 tahun dan wanita 0-35
tahun, termasuk wanita hamil dan menyusui yang tinggal di daerah endemis berat dan endemis
sedang. Dosis pemberiannya bervariasi sesuai umur dan kelamin.
6) Memberikan suntikan yodium dalam minyak (lipiodol 40%) diberikan 3 tahun sekali dengan
dosis untuk dewasa dan anak-anak di atas 6 tahun 1 cc dan untuk anak kurang dari 6 tahun 0,20,8 cc
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mendeteksi secara dini suatu penyakit, mengupayakan
orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit yang dilakukan melalui
beberapa cara yaitu :
1) Diagnosis
a) Inspeksi
Inspeksi dilakukan oleh pemeriksa yang berada di depan penderita yang berada pada posisi
duduk dengan kepala sedikit fleksi atau leher sedikit terbuka. Jika terdapat pembengkakan atau
nodul, perlu diperhatikan beberapa komponen yaitu lokasi, ukuran, jumlah nodul, bentuk (diffus atau
noduler kecil), gerakan pada saat pasien diminta untuk menelan dan pulpasi pada permukaan
pembengkakan.
b) Palpasi
Pemeriksaan dengan metode palpasi dimana pasien diminta untuk duduk, leher dalam posisi
fleksi. Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan meraba tiroid dengan menggunakan ibu jari kedua
tangan pada tengkuk penderita.
c) Tes Fungsi Hormon
Status fungsional kelenjar tiroid dapat dipastikan dengan perantara tes-tes fungsi tiroid untuk
mendiagnosa penyakit tiroid diantaranya kadar total tiroksin dan triyodotiroin serum diukur dengan
radioligand assay. Tiroksin bebas serum mengukur kadar tiroksin dalam sirkulasi yang secara
metabolik aktif. Kadar TSH plasma dapat diukur dengan assay radioimunometrik.
Kadar TSH plasma sensitif dapat dipercaya sebagai indikator fungsi tiroid. Kadar tinggi pada
pasien hipotiroidisme sebaliknya kadar akan berada di bawah normal pada pasien peningkatan
autoimun (hipertiroidisme). Uji ini dapat digunakan pada awal penilaian pasien yang diduga
memiliki penyakit tiroid. Tes ambilan yodium radioaktif (RAI) digunakan untuk mengukur
kemampuan kelenjar tiroid dalam menangkap dan mengubah yodida.
d) Foto Rontgen Leher
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat struma telah menekan atau menyumbat trakea
(jalan nafas).
e) Ultrasonografi (USG)
Alat ini akan ditempelkan di depan leher dan gambaran gondok akan tampak di layar TV.
USG dapat memperlihatkan ukuran gondok dan kemungkinan adanya kista/nodul yang mungkin
tidak terdeteksi waktu pemeriksaan leher. Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG
antara lain kista, adenoma, dan kemungkinan karsinoma.
f) Sidikan (Scan) Tiroid
Caranya dengan menyuntikan sejumlah substansi radioaktif bernama technetium-99m dan
yodium125/yodium131 ke dalam pembuluh darah. Setengah jam kemudian berbaring di bawah suatu
kamera canggih tertentu selama beberapa menit. Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan
ukuran, bentuk lokasi dan yang utama adalah fungsi bagian-bagian tiroid (Meier DA, et al. 2002)
2) Penatalaksanaan Medis
Ada beberapa macam untuk penatalaksanaan medis jenis-jenis struma antara lain sebagai
berikut :
a) Operasi/Pembedahan
Operasi tiroid (tiroidektomi) merupakan operasi bersih, dan tergolong operasi besar. Berapa
luas kelenjar tiroid yang akan diambil tergantung patologinya serta ada tidaknya penyebaran dari
penyakitnya karsinoma. Ada 6 macam operasi, yaitu :
Tiroidektomi near total, pengangkatan seluruh lobus tiroid patologis berikut sebagian besar lobus
tiroid kontralateralnya.(a+b+c)
Tiroidektomi total + FND (functional neck dissection) atau RND (radial neck dissection).
Kosmetik.
Struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik lain yang belum terkontrol.
Struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit digerakkan yang biasanya
karena karsinoma.
Pembedahan dengan mengangkat sebagian besar kelenjar tiroid, sebelum pembedahan tidak
perlu pengobatan dan sesudah pembedahan akan dirawat sekitar 3 hari. Kemudian diberikan obat
tiroksin karena jaringan tiroid yang tersisa mungkin tidak cukup memproduksi hormon dalam jumlah
yang adekuat dan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan struma dilakukan 3-4 minggu setelah
tindakan pembedahan.
b) Yodium Radioaktif
Yodium radioaktif memberikan radiasi dengan dosis yang tinggi pada kelenjar tiroid sehingga
menghasilkan ablasi jaringan. Pasien yang tidak mau dioperasi maka pemberian yodium radioaktif
dapat mengurangi gondok sekitar 50 %. Yodium radioaktif tersebut berkumpul dalam kelenjar tiroid
sehingga memperkecil penyinaran terhadap jaringan tubuh lainnya. Terapi ini tidak meningkatkan
resiko kanker, leukimia, atau kelainan genetic . Yodium radioaktif diberikan dalam bentuk kapsul atau
cairan yang harus diminum di rumah sakit, obat ini ini biasanya diberikan empat minggu setelah
operasi, sebelum pemberian obat tiroksin.
c) Pemberian Tiroksin dan Obat Anti Tiroid
Tiroksin digunakan untuk menyusutkan ukuran struma, selama ini diyakini bahwa
pertumbuhan sel kanker tiroid dipengaruhi hormon TSH. Oleh karena itu untuk menekan TSH
serendah mungkin diberikan hormon tiroksin (T 4) ini juga diberikan untuk mengatasi hipotiroidisme
yang terjadi sesudah operasi pengangkatan kelenjar tiroid. Obat anti-tiroid (tionamid) yang
digunakan saat ini adalah propiltiourasil (PTU) dan metimasol/karbimasol.
c. Pencegahan Tertier
Pencegahan tersier bertujuan untuk mengembalikan fungsi mental, fisik dan sosial penderita
setelah proses penyakitnya dihentikan. Upaya yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
1) Setelah pengobatan diperlukan kontrol teratur/berkala untuk memastikan dan mendeteksi adanya
kekambuhan atau penyebaran.
2) Menekan munculnya komplikasi dan kecacatan
3) Melakukan rehabilitasi dengan membuat penderita lebih percaya diri, fisik segar dan bugar serta
keluarga dan masyarakat dapat menerima kehadirannya melalui melakukan fisioterapi yaitu
dengan rehabilitasi fisik, psikoterapi yaitu dengan rehabilitasi kejiwaan, sosial terapi yaitu
dengan rehabilitasi sosial dan rehabilitasi aesthesis yaitu yang berhubungan dengan kecantikan.
G. Thyroidektomi
1. Definisi
Tiroidektomi adalah sebuah operasi yang melibatkan operasi pemindahan semua atau
sebagian dari kelenjar tiroid. Klasifikasi dari tiroidektomi adalah total tiroidektomi dan nyaris
total tiroidektomi. Indikasi dilakukan tiroidektomi adalah gondok, kanker tiroid, hipertiroidisme,
gejala obstruksi. Tiroidektomi subtotal atau total merupakan tindakan yang dapat dilaksanakan
sebagai terapi primer terhadap karsinoma tiroid, hipertiroidisme atau hiperparatiroidisme.
Tiroidektomi subtotal yaitu mengangkat sebagian kelenjar tiroid. Lobus kiri atau kanan yang
mengalami pembesaran diangkat dan diharapkan kelenjar yang masih tersisa masih dapat
memenuhi kebutuhan tubuh akan hormone-hormon tiroid sehingga tidak diperlukan terapi
penggantian hormon (Rumahorbo,1999).
Tiroidektomi total yaitu mengangkat seluruh kelenjar tiroid. Klien yang menjalani
tindakan ini harus mendapat terapi hormone pengganti yang besar dosisnya beragam pada setiap
individu dan dapat dipengaruhi oleh usia, pekerjaan, dan aktifitas (Rumahorbo,1999).
2. Klasifikasi
Tiroidektomi terbagi atas :
a. Tiroidektomi total
Tiroidektomi total yaitu mengangkat seluruh kelenjar tiroid. Klien yang menjalani
tindakan ini harus mendapat terapi hormone pengganti yang besar dosisnya beragam pada setiap
individu dan dapat dipengaruhi oleh usia, pekerjaan, dan aktifitas (Rumahorbo,1999).
b. Tiroidektomi sub total
Tiroidektomi subtotal yaitu mengangkat sebagian kelenjar tiroid. Lobus kiri atau kanan
yang mengalami pembesaran diangkat dan diharapkan kelenjar yang masih tersisa masih dapat
memenuhi kebutuhan tubuh akan hormone-hormon tiroid sehingga tidak diperlukan terapi
penggantian hormon (Rumahorbo,1999).
3.
a.
b.
c.
d.
Indikasi
Klien dengan karsinoma tiroid
Klien dengan hipertiroidisme
Klien dengan hiperparatiroidisme
Penderita dengan tirotoksikosis yang tidak responsif dengan terapi medikamentosa atau yang
kambuh (Rumahorbo, 1999)
Pengkajian Preoperasi
Pengkajian Praoperatif di klinik/per telepon
Melakukan pengkajian perioperatif awal
Merencanakan metode penyuluhan yang sesuai dengan kebutuhan pasien
Melibatkan keluarga dalam wawancara
Memastikan kelengkapan pemeriksaan perioperatif
Mengkaji kebutuhan pasien terhadap transportasi dan perawatan pascaoperatif.
Unit Bedah
Melengkapi pengkajian praoperatif
Mengkoordinasi penyuluhan pasien dengan staf keperawatan lain
Menjelaskan fase-fase dalam periode perioperatif dan hal-hal yang diperkirakan terjadi
Membuat rencana asuhan.
Ruang Operatif
Mengkaji tingkat kesadaran pasien
Menelaah lembar observasi pasien
Mengidentifikasi pasien
memastikan daerah pembedahan.
Perencanaan
Menentukan rencana asuhan
Mengkoordinasi pelayanan dan sumber-sumber yang sesuai
Dukungan psikologis
1)
2)
3)
4)
PERAWATAN PRE-OPERASI
1. Sebelum tindakan operasi, kadar hormone tiroid harus diupayakan dalam keadaan noemal
untuk mencegah tirotoksikosis pada saat operasi yang dapat mengancam hidup klien.
2. Pemberian obat antitiiroid masih tetap dipertahankan disamping menurunkan kadar hormone
darah juga dimaksudkan untuk mencegah perdarahan pada saat operasi karena obat ini
mempunyai efek mengurangi vaskularisasi darah ke kelenjar tiroid.
3. Kondisi nutrisi harus optimal oleh karena itu diet tinggi protein dan karbohidrat sangat
dianjurkan.
4. Latih klien batuk secara efektif dan latih nafas dalam.
5. Ajarkan cara mengurangi peregangan pada luka operasi akibat rangsangan batuk dengan
menahan dibawah insisi dengan kedua tangan.
6. Beritahukan klien kemungkinan suara menjadi serak setelah operasi akibat penggunaan ETT
pada saat operasi. Jelaskan bahwa itu adalah hal yang wajar dan dapat kembali seperti
semula. (Rumahorbo, 1999).
PENGKAJIAN POST-OPERASI
1.
a.
b.
c.
d.
e.
2.
a.
3.
a.
b.
c.
d.
e.
4.
operatif
Mengevaluasi produk-produk yang digunakan pada pasien di ruang operasi
Menentukan status psikologis pasien
Membantu dalam perencanaan pemulangan
Di rumah/klinik
a. Gali persepsi pasien tentang pembedahan dalam kaitannya dengan agen anesthesi, dampak
pada citra tubuh, penyimpangan, immobilisasi
b. Tentukan persepsi keluarga tentang pembedahan. (nurseview.com)
PERAWATAN POST-OPERASI
1. Monitor tanda-tanda vital setiap 15 menit sampai stabil dan kemudian setiap 30 menit selama
6 jam.
2. Gunakan bantal pasir atau bantal tambahan untuk menahan posisi kepala tetap ekstensi
sampai klien sadar penuh.
3. Bila klien sudah sadar, berikan posisi semifowler. Apabila memindahkan klien hindarkan
4.
5.
6.
7.
a.
b.
c.
d.
PENDIDIKAN KESEHATAN
Pendidikan kesehatan diberikan baik kepada klien maupun keluarganya mencakup :
1.
2.
3.
4.
III.
PEMBAHASAN
Operasi tiroid bisa menyebabkan komplikasi fatal selama awal fase pasca-operasi
oleh karena itu, penting bagi perawat memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk mendeteksi
tanda dan gejala komplikasi potensial awal dan mengambil tindakan yang tepat. Deteksi dini dan
respon cepat adalah kunci untuk menjaga keselamatan pasien dan meminimalkan komplikasi
(Furtado, 2011).
Setelah dilakukan observasi pada tanggal 13 Juni-13Juli 2014 diperoleh 8 pasien post
operasi tiroidektomy yang sebagian besar (75%) berjenis kelamin perempuan dan 25% berjenis
kelamin laki-laki dengan rentang usia 36-64 tahun. Sebanyak 5 pasien menjalani total
thyroidektomi dan 3 pasien menjalani hemytiroidektomi. Berdasarkan tabel 1 diperoleh beberapa
kesimpulan sebagai berikut.
1. Keluhan utama pasien post operasi tiroidektomi terdiri dari nyeri pada luka bekas operasi,
mual dan muntah. Sebanyak 75% mengeluh nyeri pada luka bekas operasi. Namun, pada
akhirnya semua keluhan tersebut berkurang hingga dirasakan minimal sampai pasien pindah
ruangan.
Keluhan utama adalah keluhan yang paling dirasakan pasien atau yang paling membuat
pasien tidak nyaman. Perawat perlu mengkaji keluhan utama yang dirasakan pasien sehingga
perawat dapat memenuhi kebutuhan pasien dengan memberikan intervensi yang tepat.
Pemberian obat ketorolac dan fentanyl pada pasien post op tiroidektomi memberikan efek
mual sehingga kebanyakan pasien post op tiroidektomi yang dirawat di RSUD Badung
mengeluh mual muntah karena pemberian terapi tersebut.
2. Nyeri yang dirasakan pasien post operasi tiroidektomi bersifat nyeri ringan dengan rentang
skala 1-4. Berdasarkan hasil observasi, semua pasien post operasi tiroidektomi memperoleh
drip analgetik berupa fentanyl dan ketorolac dalam dextrose 5%.
Luka post operasi akan menyebabkan pasien merasa nyeri begitu efek anestesi hilang. Nyeri
yang hebat akan membuat pasien merasa tidak nyaman. Perawat perlu memperhatikan respon
nyeri yang dirasakan pasien terkait dengan keefektivan pemberian analgetik pasca operasi.
Pemberian analgetik mengurangi persepsi nyeri dan mengurangi stress fisik selama masa
post operasi. Untuk meningkatkan kenyamanan, pasien diposisikan semifowler, leher dan
kepala disokong dengan bantal. Pemberian posisi semi-fowler dan sokongan pada leher dan
kepala dengan bantal bertujuan untuk mengurangi tekanan pada jahitan luka.
3. Tanda vital pasien post op thyroidectomy berada pada rentang normal. Tekanan darah sistolik
berkisar anatara 104-131 mmHg diastolic 60-93 mmHg, Nadi 64-100x/menit. Suhu tubuh
pasien berkisar antara 36-37,8o C.
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien post operasi tiroidektomi adalah perdarahan
pasca pembedahan. Biasanya muncul 24-48 jam setelah pembedahan (Furtado, 2011). Oleh
karena itu, sangat penting untuk melakukan pengukuran tanda-tanda vital terutama tekanan
darah dan juga nadi untuk mendeteksi dan meminimalkan kemungkinan terjadinya syok
hipovolemik pasca pembedahan.
4. Tidak ada tanda-tanda pasien mengalami distress napas, frekuensi napas dalam rentang
normal antara 14-24 x/mnt dan saturasi dalam rentang normal yaitu 98-100%, tidak ada yang
mengalami sesak napas.
Distres pernapasan dapat terjadi akibat perdarahan dan edema, yang dapat menekan trakea.
Oleh karena itu, sangat penting melakukan pengkajian adanya tanda-tanda distress
pernapasan seperti respiratory rate, pola, kedalaman dan adanya usaha napas atau
penggunaan otot bantu napas. Saturasi oksigen dalam darah arteri (SaO2) menggambarkan
presentase molekul hemoglobin yang berikatan dengan oksigen. Nilai normal saturasi
oksigen adalah > 95% (Kozier & Erb, 2002). Saturasi oksigen yang cenderung turun atau
<95% menunjukkan adanya gangguan difusi-perfusi oksigen pada saluran napas yang juga
menunjukkan adanya distress pernapasan.
5. Sebanyak 50% pasien post op tiroidektomi mengeluh suara serak pasca operasi namun suara
serak pada akhirnya berangsur-angsur hilang setelah 24 jam post op.
Pembedahan kelenjar tiroid dapat meningkatkan risiko terjadinya kerusakan saraf laryngeal
akibat letak anatomi saraf laryngeal yang berdekatan dengan tiroid. Untuk mengetahui
adanya kerusakan pada saraf laryngeal maka perlu dikaji kemampuan pasien untuk bicara,
kualitas, dan juga nada suara. Suara serak dapat timbul pasca pembedahan kelenjar tiroid
dapat timbul akibat edema atau akibat endotrakeal tube yang digunakan selama pembedahan
dan akan mereda dengan sendirinya. Namun, suara serak yang permanen dan hilangnya
volume suara adalah potensial berbahaya bagi pasien.
6. Tanda-tanda tetany seperti kesemutan pada kaki hanya dirasakan oleh 2dari 8 pasien post op
namun keluhan tersebut hilang.
Tiroidektomi dapat mengenai kelenjar paratoroid yang terletak di dekat kelenjar tiroid.
Apabila melukai kelenjar paratiroid maka dapat menimbulkan hipokalsemia dan juga tetany.
Tetany dapat terjadi 1-7 hari setelah tiroidektomi. Oleh karena itu perawat perlu mengkaji
gejala hipokalsemia dan tetany seperti rasa kesemutan pada jari kaki, jari tangan, bibir, otot
berkedut (muscular twitches).
7. Nilai Hemoglobin pasien post op tiroidektomy rata-rata dalam rentang normal berkisar antara
11,6-14,4 gr/dL.
Pembedahan mengakibatkan pasien kehilangan darah yang berakibat pada menurunnya kadar
hemoglobin. Kadar hemoglobin rendah akan berakibat pada sedikitnya transoprtasi oksigen
dalam tubuh. Oleh karena itu, penting untuk memantau jumlah perdarahan ketika dan pasca
operasi serta kadar hemoglobin pasca operasi
8.
Terdapat perbedaan jumlah drain dengan jenis thyroidektomi yang berbeda. Pada pasien
dengan hemytiroidektomi jumlah drain berkisar 25-75 cc dalam 24 jam, sedangkan pada
pasien dengan total thyroidektomi jumlah drain kurang lebih 100 cc dalam 24 jam.
Produksi drain harus diobservasi untuk mendeteksi adanya perdarahan dan kekurangan cairan
pasca pembedahan.
IV.
KESIMPULAN
1. Keluhan utama pasien post operasi tiroidektomi terdiri dari nyeri pada luka bekas operasi,
mual dan muntah. Sebanyak 75% mengeluh nyeri pada luka bekas operasi. Namun, pada
akhirnya semua keluhan tersebut berkurang hingga dirasakan minimal sampai pasien pindah
ruangan.
2. Nyeri yang dirasakan pasien post operasi tiroidektomi bersifat nyeri ringan dengan rentang
skala 1-4. Berdasarkan hasil observasi, semua pasien post operasi tiroidektomi memperoleh
drip analgetik berupa fentanyl dan ketorolac dalam dextrose 5%.
3. Tanda vital pasien post op thyroidectomy berada pada rentang normal. Tekanan darah sistolik
berkisar anatara 104-131 mmHg diastolic 60-93 mmHg, Nadi 64-100x/menit. Suhu tubuh
pasien berkisar antara 36-37,8o C.
4. Tidak ada tanda-tanda pasien mengalami distress napas, frekuensi napas dalam rentang
normal antara 14-24 x/mnt dan saturasi dalam rentang normal yaitu 98-100%, tidak ada yang
mengalami sesak napas.
5. Sebanyak 50% pasien post op tiroidektomi mengeluh suara serak pasca operasi namun suara
serak pada akhirnya berangsur-angsur hilang setelah 24 jam post op.
6. Tanda-tanda tetany seperti kesemutan pada kaki hanya dirasakan oleh 2dari 8 pasien post op
namun keluhan tersebut hilang.
7. Nilai Hemoglobin pasien post op tiroidektomy rata-rata dalam rentang normal berkisar antara
11,6-14,4 gr/dL.
8. Terdapat perbedaan jumlah drain dengan jenis thyroidektomi yang berbeda. Pada pasien
dengan hemytiroidektomi jumlah drain berkisar 25-75 cc dalam 24 jam, sedangkan pada
pasien dengan total thyroidektomi jumlah drain kurang lebih 100 cc dalam 24 jam.
DAFTAR PUSTAKA
Damjanov,Ivan. 2012. Pathology for The Health Professions Fourth Edition. China: Elsevier
Furtado, Luios. 2011. Thyroidectomy: post-operative care and common complications. Nursing
Standard. Vol. 35. No.34.
http://rcnpublishing.com/doi/full/10.7748/ns2011.04.25.34.43.c8470.
Grace Pierce, Borley Neil. 2007. Struma. At a Glance Ilmu Bedah Edisi ketiga. Jakarta : EMS
Harold, Ellis. 2006. The Head and Neck. Clinical Anatomy applied anatomy for students and
junior doctors. Elevanth edition. Australia : Blackwell
Meier DA, Brill DR, Becker DV, Clarke SEM, Silberstein EB, Royal HD, et al. 2002. Procedure
guideline for therapy of thyroid disease with Iodine-131. J Nucl Med; 43: 856-861.
Moore KL, Agur AMR. 2007. Neck Essential Clicinal Anatomy 3 rd Edition. London : Lippincott
Williams & Wilkins
Netter, Frank H. 2006. Atlas of Human Anatomy edition 4 th. Philadephia: W.B. Saunders
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia Cabang Jakarta. 2008.Penatalaksanaan Penyakitpenyakit Tiroid bagi Dokter. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK UI.
Putra, Juniartha Semara. 2012. Askep Keperawatan Bedah, (Online),
(http://semaraputraadjoezt.com/2012/04/askep-keperatan-bedah.html, diakses pada
tanggal 14 Juli 2014).
Rumahorbo, Hotma.1999. Asuhan
Endokrin. Jakarta : EGC
Keperawatan
Klien
dengan
Gangguan
Sistem
Saladin. 2003. The Endocrin System. Saladin: Anatomy & Physiology: The Unity of Form and Function.
Third Edition. Philadelphia : The McGrawHill
Silbernagl Stefan, Lang Florian. 2006. Penyebab Hipotiroidisme, Hipertiroidisme dan Struma. Teks
dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta : EGC
Sintan, Rizka Nurdiani. 2013. Struma. Makalah diterbitkan. Jakarta: Program Studi S1
Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Pembangunan Nasional Veteran.\
Smeltzer, Suzanne C.2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Jakarta
: EGC.
Snell,Richard. 2006. The Endocrine System. Clinical Anatomy by System. London : Lippincott
Williams & Wilkins Tandra,Hans. 2011. Mencegah dan Mengatasi Penyakit Thyroid.
Jakarta:Gramedia Pustaka Utama