Vous êtes sur la page 1sur 14

Makalah

PENYAKIT ASMA BRONCHIAL

Disusun Oleh

RIFKA MAKMUR
510 14 011 263

Fakultas MIPA/Farmasi
UniVersitas Panca Sakti
2013 / 2014

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Bekalang


Angka kejadian penyakit alergi akhir-akhir ini meningkat sejalan dengan perubahan pola
hidup masyarakat modern, polusi baik lingkungan maupun zat-zat yang ada di dalam makanan.
Salah satu penyakit alergi yang banyak terjadi di masyarakat adalah penyakit asma.
Asma adalah satu diantara beberapa penyakit yang tidak bisa disembuhkan secara total.
Kesembuhan dari satu serangan asma tidak menjamin dalam waktu dekat akan terbebas dari
ancaman serangan berikutnya. Apalagi bila karena pekerjaan dan lingkungannya serta faktor
ekonomi, penderita harus selalu berhadapan dengan faktor alergen yang menjadi penyebab
serangan. Biaya pengobatan simptomatik pada waktu serangan mungkin bisa diatasi oleh
penderita atau keluarganya, tetapi pengobatan profilaksis yang memerlukan waktu lebih lama,
sering menjadi problem tersendiri.
Peran dokter dalam mengatasi penyakit asma sangatlah penting. Dokter sebagai pintu
pertama yang akan diketuk oleh penderita dalam menolong penderita asma, harus selalu
meningkatkan pelayanan, salah satunya yang sering diabaikan adalah memberikan edukasi atau
pendidikan kesehatan. Pendidikan kesehatan kepada penderita dan keluarganya akan sangat
berarti bagi penderita, terutama bagaimana sikap dan tindakan yang bisa dikerjakan pada waktu
menghadapi serangan, dan bagaimana caranya mencegah terjadinya serangan asma.
Dalam tiga puluh tahun terakhir terjadi peningkatan prevalensi (kekerapan penyakit)
asma terutama di negara-negara maju. Kenaikan prevalensi asma di Asia seperti Singapura,
Taiwan, Jepang, atau Korea Selatan juga mencolok. Kasus asma meningkat insidennya secara
dramatis selama lebih dari lima belas tahun, baik di negara berkembang maupun di negara maju.
Beban global untuk penyakit ini semakin meningkat. Dampak buruk asma meliputi penurunan
kualitas hidup, produktivitas yang menurun, ketidakhadiran di sekolah, peningkatan biaya
kesehatan, risiko perawatan di rumah sakit dan bahkan kematian. (Muchid dkk,2007)
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal ini
tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi di
Indonesia. Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1986 menunjukkan asma menduduki
urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan

emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian
ke- 4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar
13/1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000. Studi pada anak usia
SLTP di Semarang dengan menggunakan kuesioner International Study of Asthma and Allergies
in Childhood (ISAAC), didapatkan prevalensi asma (gejala asma 12 bulan terakhir/recent
asthma) 6,2 % yang 64 % diantaranya mempunyai gejala klasik.
Maka disini kami akan memaparkan tentang Asma Bronchial yang nantinya akan
dibutuhkan oleh kita. Didalamnya terkandung

Definisi Penyakit Asma Bronchial, Etiologi

Penyakit Asma Bronchial, Patofisiologi Penyakit asma bronkial, Gejala Klinis Penyakit Asma
Bronchial, Diagnosis Penyakit Asma Bronchial dan Pencegahan Penyakit Asma Bronchial.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian yang ada diatas maka dapat di rumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana definisi Asma Bronchial ?
2. Bagaimana etiologi Asma Bronchial ?
3. Bagaimana patofisiologi Asma Bronchial ?
4. Bagaimana gejala klinis Asma Bronchial ?
5. Bagaimana diagnosis Asma Bronchial ?
6. Bagaimana pencegahan Asma Bronchial ?

1.3 Tujuan Masalah


1. Menjelaskan definisi Asma Bronchial
2. Menjelaskan etiologi Asma Bronchial
3. Menjelaskan patofisiologi Asma Bronchial
4. Menjelaskan gejala klinis Asma Bronchial
5. Menjelaskan diagnosis Asma Bronchial
6. Menjelaskan pencegahan Asma Bronchial

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Asma adalah suatu kadaan klinik yang ditandai oleh terjadinya penyempitan bronkus
yang berulang namun reversibel, dan diantara episode penyempitan bronkus tersebut terdapat
keadaan ventilasi yang lebih normal. Keadaan ini pada orang-orang yang rentan terkena asma
mudah ditimbulkan oleh berbagai rangsangan, yang menandakan suatu keadaan hipere aktivitas bronkus
yang khas.Penyakit asma adalah penyakit yang terjadi akibat adanya penyempitan saluran
pernapasan sementara waktu sehingga sulit bernapas. Asma terjadi ketika ada kepekaan yang
meningkat terhadap rangsangan dari lingkungan sebagai pemicunya. Diantaranya adalah dikarenakan
gangguan emosi, kelelahan jasmani,perubahan cuaca, temperatur, debu, asap, bau-bauan yang
merangsang, infeksisaluran napas, faktor makanan dan reaksi alergi.
Penyakit asma bronkial di masyarakat sering disebut sebagai bengek, asma, mengi,
ampek, sasak angok, dan berbagai istilah lokal lainnya. Asma merupakan suatu penyakit
gangguan jalan nafas obstruktif intermiten yang bersifat reversibel, ditandai dengan adanya
periode bronkospasme, peningkatan respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan
yang menyebabkan penyempitan jalan nafas.
Orang yang menderita asma memiliki ketidak mampuan mendasar dalam mencapai angka
aliran udara normal selama pernapasan (terutama pada ekspirasi). Ketidak mampuan ini
tercermin dengan rendahnya volume udara yang dihasilkan sewaktu melakukan usaha eksirasi paksa
pada detik pertama. Karena banyak saluran udara yang menyempit tidak dapat dialiri dan dikosongkan
secara cepat,tidak terjadi aerasi paru dan hilangnya ruang penyesuaian normal antara ventilasidan
aliran darah paru. Turbulensi arus udara dan getaran mukus bronkus mengakibatkan suara mengi
yang terdengar jelas selama serangan asma, namun tanda fisik ini juga terlihat mencolok pada
masalah saluran napas obstruktif.Diantara serangan asma, pasien bebas dari mengi dan gejala,
walaupun reaktivitas bronkus meningkat dan kelainan pada ventilasi tetap berlanjut. Namun,
pada asmakronik, masa tanpa serangan dapat menghilang, sehingga mengakibatkan keadaan asma yang
terus-menenrus yang sering disertai infeksi bakteri sekunder.

2.2 Etiologi
Sampai saat ini etiologi dari asma bronchial belum diketahui. Berbagai teori sudah
diajukan, akan tetapi yang paling disepakati adalah adanya gangguan parasimpatis (hiperaktivitas
saraf kolinergik), gangguan simpatis (blok pada reseptor beta adrenergic dan hiperaktifitas
reseptor alfa adrenergik).
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu :
1. Ekstrinsik (alergik).
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang
spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora
jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap
alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas,
maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik.
2. Intrinsik (non alergik).
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak
spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi
saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan
berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa
pasien akan mengalami asma gabungan.
3. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik
dan non-alergik.
Berdasarkan Keparahan Penyakitnya :
a. Asma intermiten
Gejala muncul < 1 kali dalam 1 minggu, eksaserbasi ringan dalam beberapa jam atau hari,
gejala asma malam hari terjadi < 2 kali dalam 1 bulan, fungsi paru normal dan asimtomatik di
antara waktu serangan, Peak Expiratory Folw (PEF) dan Forced Expiratory Value in 1 second
(PEV1) > 80%

b. Asma ringan
Gejala muncul > 1 kali dalam 1 minggu tetapi < 1 kali dalam 1 hari, eksaserbasi
mengganggu aktifitas atau tidur, gejala asma malam hari terjadi > 2 kali dalam 1 bulan, PEF dan
PEV1 > 80%
c. Asma sedang (moderate)
Gejala muncul tiap hari, eksaserbasi mengganggu aktifitas atau tidur, gejala asma malam
hari terjadi >1 kali dalam 1 minggu, menggunakan inhalasi beta 2 agonis kerja cepat dalam
keseharian, PEF dan PEV1 >60% dan < 80%
d. Asma parah (severe)
Gejala terus menerus terjadi, eksaserbasi sering terjadi, gejala asma malam hari sering
terjadi, aktifitas fisik terganggu oleh gejala asma, PEF dan PEV1 < 60%

Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan asma
bronchial:
1. Faktor predisposisi
a. Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara
penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat
juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena
penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan foktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran
pernafasannya juga bisa diturunkan.
2. Faktor presipitasi
a. Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan
ex: debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi
2. Ingestan, yang masuk melalui mulut
ex: makanan dan obat-obatan
3. Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit
ex: perhiasan, logam dan jam tangan

3. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfir yang
mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan
berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini
berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
4. Stress
Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa
memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera
diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguanemosi perlu diberi nasehat untuk
menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya
belum bisa diobati.
5. Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini berkaitan
dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil,
pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani
atau aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma
karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.
http://doctorology.net/wp-content/uploads/2009/03/tipe-asma.jpg&imgrefurl.htm

2.3 Patofisiologi
Asma ditandai dengan kontraksi spastic dari otot polos bronkhiolus yang menyebabkan
sukar bernapas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhiolus terhadap bendabenda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara
sebagai berikut : seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah
antibody Ig E abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila
reaksi dengan antigen spesifikasinya.
Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial
paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup
alergen maka antibody Ig E orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang

telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat,
diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient), faktor
kemotaktik eosinofilik dan bradikinin. Efek gabungan dari semua factor-faktor ini akan
menghasilkan edema lokal pada dinding bronkhioulus kecil maupun sekresi mucus yang kental
dalam lumen bronkhioulus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan
saluran napas menjadi sangat meningkat.
Pada asma, diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada selama
inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi paksa menekan bagian luar
bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah
akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi. Pada
penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi sekali-kali
melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional dan volume
residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat kesukaran mengeluarkan
udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan barrel chest. (Tanjung, 2003)

Klasifikasi
Derajat

Gejala

Gejala malam

Faal paru

Intermiten

Gejala kurang dari 1x/minggu

Kurang dari 2 kali dalam

APE

Asimtomatik

sebulan

80%

-Gejala lebih dari 1x/minggu tapi kurang dari

Lebih dari 2 kali dalam

APE

1x/hari

sebulan

>80%

Lebih 1 kali dalam seminggu

APE

Mild persistan

>

-Serangan dapat menganggu aktivitas dan tidur


Moderate

-Setiap hari,

persistan

-Serangan 2 kali/seminggu, bisa berahari-hari.

80%

-Menggunakan obat setiap hari


-Aktivitas & tidur terganggu
Severe

- Gejala Kontinyu

persistan

-Aktivitas terbatas
-Sering serangan

Sering

APE
<60%

60-

2.4 Gejala Klinis


Keluhan utama penderita asma ialah sesak napas mendadak, disertai fase inspirasi yang
lebih pendek dibandingkan dengan fase ekspirasi, dan diikuti bunyi mengi (wheezing), batuk
yang disertai serangn napas yang kumat-kumatan. Pada beberapa penderita asma, keluhan
tersebut dapat ringan, sedang atau berat dan sesak napas penderita timbul mendadak, dirasakan
makin lama makin meningkat atau tiba-tiba menjadi lebih berat.
Wheezing terutama terdengar saat ekspirasi. Berat ringannya wheezing tergantung cepat
atau lambatnya aliran udara yang keluar masuk paru. Bila dijumpai obstruksi ringan atau
kelelahan otot pernapasan, wheezing akan terdengar lebih lemah atau tidak terdengar sama
sekali. Batuk hamper selalu ada, bahkan seringkali diikuti dengan dahak putih berbuih. Selain
itu, makin kental dahak, maka keluhan sesak akan semakin berat.
Dalam keadaan sesak napas hebat, penderita lebih menyukai posisi duduk membungkuk
dengan kedua telapak tangan memegang kedua lutut. Posisi ini didapati juga pada pasien dengan
Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD). Tanda lain yang menyertai sesak napas adalah
pernapasan cuping hidung yang sesuai dengan irama pernapasan. Frekuensi pernapasan terlihat
meningkat (takipneu), otot Bantu pernapasan ikut aktif, dan penderita tampak gelisah. Pada fase
permulaan, sesak napas akan diikuti dengan penurunan PaO2 dan PaCO2, tetapi pH normal atau
sedikit naik. Hipoventilasi yang terjadi kemudian akan memperberat sesak napas, karena
menyebabkan penurunan PaO2 dan pH serta meningkatkan PaCO2 darah. Selain itu, terjadi
kenaikan tekanan darah dan denyut nadi sampai 110-130/menit, karena peningkatan konsentrasi
katekolamin dalam darah akibat respons hipoksemia.

2.5 Diagnosis asma bronkial


1. Anamnesa
a.Keluhan sesak nafas, mengi, dada terasa berat atau tertekan, batuk berdahak yang tak kunjung
sembuh, atau batuk malam hari.
b.Semua keluhan biasanya bersifat episodik dan reversible.
c.Mungkin ada riwayat keluarga dengan penyakit yang sama atau penyakit alergi yang lain.

2. Pemeriksaan Fisik
a.Keadaan umum : penderita tampak sesak nafas dan gelisah, penderita lebih nyaman dalam
posisi duduk.
b.Jantung : pekak jantung mengecil, takikardi.
c.Paru :
Inspeksi

: dinding torak tampak mengembang, diafragma terdorong ke bawah.

Auskultasi : terdengar wheezing (mengi), ekspirasi memanjang.


Perkusi

: hipersonor

Palpasi : Vokal Fremitus kanan=kiri

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium meliputi :
a. Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum pada penderita asma akan didapati :
- Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinopil.
- Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang bronkus.
- Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
- Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid dengan viskositas
yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug.
b. Pemeriksaan darah
-

Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia,

hiperkapnia, atau asidosis.


- Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
- Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana menandakan
terdapatnya suatu infeksi.
- Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada waktu serangan dan
menurun pada waktu bebas dari serangan.
c. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukan
gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga

intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan
yang didapat adalah sebagai berikut:
-

Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.

Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin

bertambah.
-

Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru

Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.

Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka dapat

dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.


d. Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan
reaksi yang positif pada asma. Pemeriksaan menggunakan tes tempel.
e. Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3
bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu :
-

Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clockwise

rotation.
-

Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB (Right bundle

branch block).
-

Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan

VES atau terjadinya depresi segmen ST negative.

f. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan napas reversible, cara yang paling cepat dan
sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan
spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator aerosol (inhaler atau
nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20%
menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%.
Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk
menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Banyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan
spirometrinya menunjukkan obstruksi. (Medicafarma,2008)

g. Uji provokasi bronkus untuk membantu diagnosis


Pengobatan profilaksis dianggap merupakan cara pengobatan yang paling rasional,
karena sasaran obat-obat tersebut langsung pada faktor-faktor yang menyebabkan bronkospasme.
Pada umumnya pengobatan profilaksis berlangsung dalam jangka panjang, dengan cara kerja
obat sebagai berikut :
a. Menghambat pelepasan mediator.
b. Menekan hiperaktivitas bronkus.

Hasil yang diharapkan dari pengobatan profilaksis adalah :


a. Bila mungkin bisa menghentikan obat simptomatik.
b. Menghentikan atau mengurangi pemakaian steroid.
c. Mengurangi banyaknya jenis obat dan dosis yang dipakai.
d. Mengurangi tingkat keparahan penyakit, mengurangi frekwensi serangan dan
meringankan beratnya serangan.

Obat profilaksis yang biasanya digunakan adalah :


a. Steroid dalam bentuk aerosol.
b. Disodium Cromolyn.
c. Ketotifen.
d. Tranilast.

2.6 Pencegahan
a. Menjauhi alergen, bila perlu desensitisasi
b. Menghindari kelelahan
c. Menghindari stress psikis
d. Mencegah/mengobati ISPA sedini mungkin
e. Olahraga renang, senam asma.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Asma bronchial adalah suatu penyakit gangguan jalan nafas obstruktif intermiten yang
bersifat reversibel, ditandai dengan adanya periode bronkospasme, peningkatan respon trakea
dan bronkus terhadap berbagai rangsangan yang menyebabkan penyempitan jalan nafas.
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu :
Ekstrinsik (alergik), Intrinsik (non alergik) ,Asma gabungan.
Dan ada beberapa hal yang merupakan faktor penyebab timbulnya serangan asma bronkhial
yaitu : faktor predisposisi (genetic), faktor presipitasi (alergen, perubahan cuaca, stress,
lingkungan kerja, olahraga/aktifitas jasmani yang berat). Pencegahan serangan asma dapat
dilakukan dengan cara menjauhi alergen, bila perlu desensitisasi, menghindari kelelahan,
menghindari stress psikis, mencegah/mengobati ispa sedini mungkin, olahraga renang, senam
asma.

3.2 Saran
Dengan disusunnya makalah ini mengharapkan kepada semua pembaca agar dapat menelaah
dan memahami apa yang telah terulis dalam makalah ini sehingga sedikit banyak bisa menambah
pengetahuan pembaca. Disamping itu saya juga mengharapkan saran dan kritik dari para
pembaca sehinga kami bisa berorientasi lebih baik pada makalah kami selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

http://myhealing.files.wordpress.com/2008/02/asthma.htm. diakses 21 Juni 2012


http://myhealing.files.wordpress.com/2008/02/asthma.htm. diakses 21 Juni 2012
http://doctorology.net/wp-content/uploads/2009/03/tipe asma.htm. diakses 21 Juni 2012
Medicafarma. (2008, Mei 7). Asma Bronkiale. Diakses 22 Juni 2012 dari Medicafarma:
http://medicafarma.blogspot.com/2008/05/asma-bronkiale.html
Muchid, dkk. (2007, September). Pharmaceutical care untuk penyakit asma. Diakses 22 Juni
2012

dari

Direktorat

Bina

Farmasi

Komunitas

Dan

Klinik

Depkes

RI:http://125.160.76.194 /bidang/yanmed/farmasi/Pharmaceutical/ASMA.pdf
Tanjung, D. (2003). Asuhan Keperawatan Asma Bronkial. Diakses 22 Juni 2012 dari USU
digital library:http://library.usu.ac.id/download/fk/keperawatan-dudut2.pdf. diakses 22
Juni 2012
http://www.scribd.com/doc/12896544/Asma-Bronkial. diakses 22 Juni 2012

Vous aimerez peut-être aussi