Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Disusun Oleh:
Kelompok 4 Kelas B
Nor Zaidah Asyariyah
Ema Kharismawati
Woro Mustika Weni
Rosidatus Salimah
Annisa Nur Aini
Muhamad Ihlasul Amal
Rahma Erdha Yunita
Yudisa Diaz Lutfi Sandi
131011080
131011088
131011095
131011103
131011112
131011123
131011131
131011140
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberi
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Penelusuran
Masalah/Topik Penelitian.
Makalah ini disusun khusus untuk memenuhi tugas mata kuliah
Metodologi Riset Keperawatan. Pada kesempatan ini kami menyampaikan rasa
hormat dan ucapan terima kasih kepada:
1. Ibu Erna Dwi Wahyuni S.Kep.Ns., M.Kep. selaku fasilitator kelompok 4
kelas B Keperawatan Kritis 2.
2. Kedua orang tua yang telah memberikan dukungan spiritual maupun
material.
3. Teman-teman yang telah membantu dalam proses penyusunan makalah
ini.
4. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satupersatu.
Kami berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Segala kritik,
koreksi, dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi
perbaikan di masa mendatang. Terima kasih.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
ii
iii
1
2
2
3
5
5
6
9
12
13
16
17
19
22
30
31
31
32
31
31
34
34
34
35
36
37
50
51
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cedera medula spinalis adalah cedera yang mengenai servikalis
vertebralis dan lumbalis akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang
belakang. Cedera medula spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang
mempengaruhi 150.000 sampai 500.000 orang di Amerika Serikat, dengan
perkiraan 20.000 cedera baru yang terjadi setiap tahun. Insiden tahunan spinal
cord injury termasuk kematian pra-rumah sakit telah diperkirakan 43-77 per
juta penduduk di Amerika Serikat yang setara dengan sekitar 20.000 pasien
setiap tahun. (Bernhard et al, 2005)
Sekitar 20% dari pasien ini meninggal sebelum mereka diterima di rumah
sakit. Kejadian spinal cord injury dikaitkan dengan prevalensi sekitar 200.000
pasien di Amerika Serikat. Dari pasien SCI ini 50-70% adalah antara 15 dan 35
tahun usia, sedangkan 4-14% berusia 15 tahun atau lebih muda. Rasio kejadian
pada pria dan wanita adalah 4:1. Estimasi biaya untuk perawatan Spinal cord
injury di Amerika Serikat adalah sekitar US $ 4 miliar per tahun. Oleh karena
itu, Spinal cord injury merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas
pada orang muda dan sebagai hasilnya memiliki besar dampak pada
masyarakat secara keseluruhan (Bernhard et al, 2005).
Penyebab paling sering Spinal cord injury pada orang dewasa adalah
kecelakaan kendaraan bermotor (40%), jatuh (21%), tindak kekerasan (15%),
dan cedera yang berhubungan dengan olahraga (13%). Pada anak-anak, spinal
cord injury sebagian besar disebabkan karena olahraga (24%) dan kegiatan
rekreasi air (13%). Dalam tampilan grafik retrospektif dari 331 pasien, pada
penelitian yang dilakukan Domeier et al (2005), menggambarkan distribusi
lokasi cidera spinal cord injury 29% terjadi pada servikal, 24% pada torakal,
37% pada lumbal, dan 10% pada sakral. Penilaian pada pasien trauma (Trauma
Life Support) dilakukan pemeriksaan neurologis menyeluruh untuk
mengidentifikasi cedera tulang belakang serta transfer pasien pada petugas
kesehatan yang berkompeten. Kolaborasi tim kesehatan yang berasal dari
multidisplin ilmu dapat mengelola penatalaksanaan pasien spinal cord injury.
Medical and surgical tim serta nursing expertise bersama-sama memanajemen
pasien mulai dari penanganan pertama yang tepat, fase hospitalisasi,
pencegahan komplikasi seperti menghindari ulserasi dekubitus dan komplikasi
lain dari cedera tulang belakang hingga fase rehabilitasi seperti rehabilitasi
medik; dan psikososial. (White & Thumbikat, 2012).
Pada kasus trauma ini, peran perawat sangat diperlukan untuk dapat
membantu dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan spinal
cord injury baik saat prehospital management, fase hospital, maupun
rehabilitatif, sehingga masalah yang dihadapi oleh klien dapat teratasi dan
terhindar dari komplikasi yang lebih lanjut.
1.2 Rumusan Masalah
1.
2.
3.
4.
5.
6.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
10
5. Berdasarkan level
Gambar 2.4 Level Kerusakan Spinal Cord, fungsi, dan aktivitas yang
memungkinkan
6. Berdasarkan klasifikasi lain (Hanafiah, 2007)
Metode Klasifikasi Dennis
Metode ini dipakai untuk menilai fraktur didaerah torakolumbal dan
daerah cervical.
11
12
13
14
15
injuries atau soft tissue injuries lain maupun pathology. MRI digunakan
untuk mengevaluasi soft tissue lesions, seperti extradural spinal
haematoma, abscess atau tumour, spinal cord haemorrhage, contusion
and/or oedema. Neurological kerusakan biasanya disebabkan karena
secondary injury, resulting in oedema and/or haemorrhage. MRI adalah
gambar diagnostik terbaik untuk menggambarkan perubahan ini. (Tidy,
2014)
2.8 Penatalaksanaan
Didalam penatalaksanaan trauma spinal ada dua hal yang sangat penting
yaitu, Instabilitas dari Kolumna Vertebralis (Spinal Instability) dan Kerusakan
jaringan saraf, baik yang terancam maupun yang sudah terjadi (actual and
potential neurologic injury) (Hanafiah, 2007). Yang dimaksud dengan instabilitas
kolumna vertebralis (spinal instability) ialah hilangnya hubungan normal antara
strukturstruktur anatomi dari kolumna vertebralis sehingga terjadi perubahan dari
fungsi alaminya. Kolumna vertebralis tidak lagi mampu menahan beban normal.
Deformitas yang permanen dari kolumna vertebralis dapat menyebabkan rasa
nyeri; keadaan ini juga merupakan ancaman untuk terjadinya kerusakan jaringan
saraf yang berat (catastrophic neurologic injury). Instabilitas dapat terjadi karena
fraktur dari korpus vertebralis, lamina dan atau pedikel. Kerusakan dari jaringan
lunak juga dapat menyebabkan dislokasi dari komponen komponen anatomi yang
pada akhirnya menyebabkan instabilitas. Fraktur dan dislokasi dapat terjadi secara
bersamaan.
Terdapat lima prinsip-prinsip utama penatalaksanaan trauma spinal yaitu:
immobilisasi, stabilisasi medis, mempertahankan posisi normal vertebrae,
dokempresi dan stabilisasi spinal, serta rehabilitasi. (Hanafiah, 2007)
1. Immobilisasi
Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempat
kejadian/kecelakaan sampai ke unit gawat darurat.. Yang pertama ialah
immobilisasi dan stabilkan leher dalam posisi normal; dengan
menggunakan cervical collar. Cegah agar leher tidak terputar (rotation).
Baringkan penderita dalam posisi terlentang (supine) pada tempat/alas
yang keras. Pasien diangkat/dibawa dengan cara 4 men lift atau
menggunakan Robinsons orthopaedic stretcher
2. Stabilisasi Medis
Terutama pada penderita tetraparesis/etraplegia.
a. Periksa vital signs
b. Pasang nasogastric tube
c. Pasang kateter urin
d. Segera normalkan vital signs. Pertahankan tekanan darah yang
normal dan perfusi jaringan yang baik. Berikan oksigen, monitor
16
produksi urin, bila perlu monitor BGA (analisa gas darah), dan
periksa apa ada neurogenic shock. Pemberian megadose Methyl
Prednisolone Sodium Succinate dalam kurun waktu 6 jam setaleh
kecelakaan dapat memperbaiki konntusio medula spinalis.
3. Mempertahankan posisi normal vertebra (Spinal Alignment)
Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield
tong atau Gardner- Wells tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi
dislokasi traksi diberikan dengan beban yang lebih ringan, beban ditambah
setiap 15 menit sampai terjadi reduksi.
4. Dekompresi dan Stabilisasi Spinal
Bila terjadi realignment artinya terjadi dekompresi. Bila
realignment dengan cara tertutup ini gagal maka dilakukan open
reduction dan stabilisasi dengan approach anterior atau posterior.
5. Rehabilitasi.
Rehabilitasi fisik harus dikerjakan sedini mungkin. Termasuk
dalam program ini adalah bladder training, bowel training, latihan otot
pernafasan, pencapaian optimal fungsi fungsi neurologik dan program
kursi roda bagi penderita paraparesis/paraplegia.
Hal-hal yang harus diperhatikan pada kasus trauma spinal adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
17
Gambar 2.7 Algoritma Spinal Cord Injury menurut U.S. National Library of
Medicine, National Institute of Health.
i. lakukan pengkajian terhadap faktor risiko adanya spinal cord injury, yaitu
a. terdapat luka tusuk dan tembak
b. terdapat luka terbuka/ langsung pada wajah, leher, atau punggung
(misal karena kecelakaan)
c. kecelakaan saat menyelam
d. sengatan listrik
e. putaran yang ekstrim pada tulang belakang
f. cedera olahraga (mendarat di kepala)
18
ii.
iii.
iv.
v.
g. pukulan yang kuat dan besar pada kepala atau dada (kecelakaan
mobil, jatuh dari ketinggian)
jika tidak: mulailah untuk memberi pendidikan kesehatan
a. Anjurkan untuk melakukan tindakan safety precautions: memakai
helm, seatbelts, menghindari prilaku berisiko.
b. Mencegah faktor risiko: mengindari mabuk saat mengemudi,
penyalagunaan alcohol dan obat-obatan terlarang, bahaya industry,
berenang dikolam dangkal atau sedikit air tanpa diketahui, berada
ditempat tak berpagar.
jika iya: kaji adanya
a. posisi kepala yang tidak seperti biasa (abnormal)
b. mati rasa atau kesemutan yang menjalar ke bawah lengan atau kaki
c. kelemahan
d. kesulitan berjalan
e. paralisis lengan atau kaki
f. tidak ada control baldder dan bowel
g. syok: pucat, kulit lembab, dimgin, bibir dan kuku kebiruan, bertindak
kebingungan, atau setengah sadar
h. tidak sadar
i. kaku leher, sakit kepala, sakit leher
Diagnose ditegakkan, bahwa terdapat spinal cord injury. Buat perencanaan
tindakan mengenai perkembangan dan persyaratan untuk rehabilitasi;
diskusikan mengenai prosedur diagnostic, pemeriksaan radiologis.
Pantau adanya tanda gejala dari komplikasi: autonomic disreflexia,
neurogenic syok. Diskusikan menganai medikasi: steroid, atropine,
vasopressor. Pastikan untuk membuat strategi untuk mencegah terjadinya
komplikasi akibat immobilisasi
Lalu kaji apakah pasien berpotensi unstable. Jika iya, buat rencana
perawatan mengenai potensial komplikasi: nurogenik syok. Autonomic
disreflexia, spinal syok; rencana perawatan untuk hipoventilasi,
pneumonia, sepsis, fraktur, neurogenic bladder, konstipasi, ileus pain,
disuse syndrome.
2.9 Komplikasi
1. Perubahan tekanan darah yang ekstrim (autonomic hyperreflexia)
2. Chronic kidney disease
3. Komplikasi dari immobilisasi:
Deep vein thrombosis
Lung infections
Skin breakdown
Muscle contractures
19
20
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1
Tn. G, usia 28 tahun dibawa oleh polisi ke IRD RSUD Dr. Soetomo
setelah mengalami kecelakaan kerja, Tn. G jatuh dari ketinggian 10 m. Selama
perjalanan menuju rumah sakit Tn. G mengeluh tidak bisa menggerakkan
tangan serta tungkainya, Tn. G terlihat sulit bernapas, napas pendek . RR 29
x/menit, TD 90/60mmHg, Nadi 60x/ menit, GCS: 2-4-1, skala nyeri 9. Dari
hasil pemeriksaan nadi lemah, tekanan darah menurun, kesadaran menurun,
urine keluar menetes, kandung kemih terisi penuh, . Dari hasil CT Scan terjadi
dislokasi C 4.
3.2 Primary Survey
1. Airway
Assessment :
1. Perhatikan patensi airway :Paten
2. Dengar suara napas: vesikuler
Management :
1. Inspeksi orofaring secara cepat dan menyeluruh, bila diduga terjadi
fraktur servikal maka lakukan jaw thrust, hilangkan benda yang
menghalangi jalan napas
2. Immobilisasi stabilkan leher dalam posisi normal kalau ada pasang
collar-neck untuk mencegah parahnya fraktur servikal
3. Mempertahankan posisi normal vertebra (Spinal Alignment)
1. Breathing
Assesment
1. Periksa frekwensi napas : 29x/menit.
2. Perhatikan gerakan respirasi:asimetris dan dada tidak terlalu
mengembang
3. Auskultasi dan dengarkan bunyi napas: bunyi nafas vesikuler
Management:
Lakukan bantuan ventilasi atau pasang ventilator
2. Circulation
Assesment
1. Periksa frekwensi denyut jantung dan denyut nadi: 60x/menit.
2. Periksa tekanan darah: 90/60 mmHg.
3. Pemeriksaan pulse oxymetri
4. Periksa vena leher dan warna kulit (adanya sianosis)
5. Periksa keluaran urine
Management
1. Resusitasi cairan dengan memasang iv lines
21
Analisa Data
Data
Etiologi
Masalah keperawatan
DS:
pasien
mengatakan
kesulitan
bernapas.
Kecelakaan kerja
DO: RR 29
x/mnt,
napas
pendek, cepat
Dislokasi C 4
Disfungsi C4
DS:
paien
mengatakan
tangan
dan
tungkai
tidak
bisa digerakkan
DO: tungkai dan
tangan tidak bisa
digerakkan
Kecelakaan kerja
Dislokasi C4
Disfungsi C 4
DS:
pasien
mengeluh nyeri
pada
belakang
leher
Kecelakaan kerja
Nyeri akut
Dislokasi C 4
23
DO:
pasien
terlihat kesakitan
, skala nyeri 8
Kompresi saraf
Respon nyeri
Nyeri akut
4
DS:
Px
mengatakan
urine
keluar
menetes
DO: nyeri tekan
pada abdomen
bawah
dan
keinginan
kencing
saat
palpasi.
Kecelakaan kerja
Kelumpuhan saraf
perkemihan
3.6
Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan kelemahan otot
diafragma
2. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan fungsi
motorik
3. Nyeri akut yang berhubungan dengan kompresi saraf
4. Perubahan pola eliminasi urine yang berhubungan dengan kelumpuhan
saraf perkemihan
24
3.7
Intervensi Keperawatan
Rasional
Metode ditentukan oleh tingkat cedera, tingkat
insufisiensi respirasi, dan jumlah pemulihan fungsi
otot pernapasan setelah fase syok spinal.
Latih
otot
pernafasan
25
dengan cara pengaturan dari fungsi dan untuk meningkatkan kekuatan otot pernafasan
ventilator yang dipasang atau pasien.
metode weaninguntuk pasien yang
dipasang ventilator.
Rasional
Pendekatan dengan menggunakan relaksasi
dan nonfarmakologi lainnya telah
menunjukkan keefektifan dalam mengurangi
nyeri
Akan melancarkan peredaran darah,
sehingga kebutuhan O2 oleh jaringan akan
terpenuhi, sehingga akan mengurangi
nyerinya.
26
27
infeksi pulmonal.
Kaji dari kemerahan,bengkak/ketegangan
otot jaringan betis.
28
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Cedera medula spinalis adalah cedera yang mengenai servikalis vertebralis
dan lumbali akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang belakang. Trauma
medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan sering
kali oleh kecelakaan lalu lintas. Gejala yang ditimbulkan bervariasi tergantung
pada lokasi cedera. Cedera tulang belakang menyebabkan kelemahan dan
hilangnya rasa (lumpuh) pada lokasi cidera dan pada area bawahnya. Klasifikasi
dari trauma medula spinalis dibedakan menjadi 2 yaitu komplet (kehilangan
sensasi dan fungsi motorik total) dan tidak komplet (kehilangan dari salah satu
fungsi sensori dan fungsi motorik).
4.2 Saran
Setelah anda mengetahui dampak dari trauma medula spinalis maka
penting bagi kita untuk mengetahui cara menangani atau mencegah cedera medula
spinalis agar tidak terjadi trauma yang lebih fatal atau parah lagi. Untuk
kedepannya apabila terdapat korban kecelakaan di jalan maka kita sebagai tenaga
kesehatan harus tahu cara yang benar dalam penanganan gawat darurat sebagai
pencegahan terhadap trauma medula spinalis.
29
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Syok merupakan sindroma gangguan perfusi dan oksigenasi sel secara
menyeluruh sehingga kebutuhan metabolisme jaringan tidak terpenuhi. Syok
bukanlah suatu penyakit dan tidak selalu disertai kegagalan perfusi jaringan. Syok
dapat terjadi setiap waktu pada siapapun dan bukanlah merupakan suatu
diagnosis. Syok digolongkan menjadi 4 bagian yaitu syok kardiogenik, syok
obstruktif, syok oligemik, dan syok distributif. Spinal syok (syok pada medula
spinalis) termasuk syok distributif, terjadi karena volume darah secara abnormal
berpindah tempat pada vaskuler seperti ketika darah berkumpul dalam pembuluh
darah perifer (Moor, 2013).
Penyebab terjadinya spinal syok adalah cedera pada medulla spinalis.
Cedera medulla spinalis dapat terjadi akibat kecelakaan mobil, cedera karena
terjatuh dan cedera olah raga (olah raga kontak fisik dan menyelam merupakan
penyebab utama quadriplegia). Ducker dan Perrot melaporkan 40% spinal cord
injury disebabkan kecelakaan lalu lintas, 20% jatuh, 40% luka tembak, sport,
kecelakaan kerja. Saat kecelakaan 3% penyebab kematian karena trauma langsung
medulla pinalis, 2% karena multiple trauma. Insidensi trauma pada laki- laki 5
kali lebih besar dari perempuan (Japardi, 2012).
Banyaknya angka kejadian cedera medulla spinalis akan berpengaruh pada
peningkatan kejadian syok spinal. Terjadinya syok spinal terdiri dari 4 tahap.
Beberapa manifestasi akan muncul pada pasien syok spinal antara lain paralisis
flaksid di bawah tingkat cedera, hipotensi dan bradikardi, tak adanya aktivitas
refleks di bawah tingkat cedera, ini dapat menyebabkan retensi urine, paralisis
usus dan ileus serta kehilangan kontrol suhu/hipertermi.
Penanganan syok spinal merupakan hal penting untuk menyelamatkan
pasien. Oleh karena itu, perawat sebagai tenaga kesehatan harus mampu
menguasai dan memmahami pengetahuan tentang asuhan keperawatan dan
tindakan-tindakan yang dilakukan pada pasien dengansyok spinal. Sehingga pada
tatanan praktiknya, perawat mampu mengaplikasikan teori dengan baik dan
terampil.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah definisi syok spinal?
2. Apakah etiologi syok spinal?
3. Bagaimana patofisiologi syok spinal?
4. Bagaimana web of caution (WOC) syok spinal?
5. Apakah manifestasi klinis dari syok spinal?
6. Bagaimanakah pemeriksaan diagnostik pada syok spinal?
7. Bagaimanakah penatalaksanaan pada syok spinal?
30
31
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Syok Spinal
Spinal syok (syok pada medula spinalis) termasuk syok distributif, terjadi
karena volume darah secara abnormal berpindah tempat pada vaskuler seperti
ketika darah berkumpul dalam pembuluh darah perifer (Moor, 2013). Spinal syok
/ syok pada medula spinalis adalah suatu keadaan disorganisasi fungsi medula
spinalis yang fisiologis dan berlangsung untuk sementara waktu, keadaan ini
timbul segera setelah cedera dan dapat berlangsung dari beberapa jam hingga
beberapa minggu. Syok spinal juga diketahui sebagai syok neurogenik adalah
akibat dari kehilangan tonus vasomotor yang mengakibatkan dilatasi vena dan
arteriol umum. Syok ini menimbulkan hipotensi, dengan penumpukan darah pada
pembuluh penyimpan atau penampung dan kapiler organ splanknik. Tonus
vasomotor dikendalikan dan dimediasi oleh pusat vasomotor di medulla dan serat
simpatis yang meluas ke medulla spinalis sampai pembuluh darah perifer secara
berurutan. Karenanya kondisi apapun yang menekan fungsi medulla atau
integritas medulla spinalis serta persarafan dapat mencetuskan syok
neurogenik/syok spinal (Tambayong, 2000).
2.2 Etiologi
Neurogenik syok disebabkan oleh beberapa faktor yang menganggu CNS.
Masalah ini terjadi akibat transmisi impuls yang terhambat dan hambatan hantaran
simpatik dari pusat vasomotor pada otak. Dan penyebab utamanya adalah SCI .
Syok neurogenik keliru disebut juga dengan syok tulang belakang. kondisi
berikutnya mengacu pada hilangnya aktivitas neurologis dibawah tingkat cedera
tulang belakang, tetapi tidak melibatkan perfusi jaringan tidak efektif (Linda D.
Urden, 2008).
Tipe syok ini bisa disebabkan oleh banyak faktor yang menstimulasi parasimpatik
atau menghambat stimulasi simpatik dari otot vaskular. Trauma pada syaraf spinal
atau medulla dan kondisi yang mengganggu suplai oksigen atau gulokosa ke
medulla menyebabkan syok neorogenik akibat gangguan aktivitas simpatik. Obat
penenang, anestesi, dan stres hebat beserta nyeri juga merupakan penyebab
lainnya.
2.3 Manifestasi klinis
Hilangnya sensasi,control motorik, dan reflek dibawah cedera. Suhu didalam
tubuh akan menggambarkan suhu yang ada di lingkungan, kemudian tekanan
darah akan menurun. Sedangkan frekuensi denyut nadi sering normal akan tetapi
tetap disertai tekanan darah yang selalu rendah (Corwin, 2009).
32
2.4 Patofisiologi
Terjadinya syok spinal biasanya diawali dengan adanya trauma pada spinal. Syok
spinal merupakan hilangnya reflek pada segmen atas dan bawah lokasi terjadinya
cederapada medulla spinalis. Reflek yang hilang antara lain reflek yang
mengontrol postur, fungsi kandung kemih dan usus, tekanan darah, dan suhu
tubuh. Hal ini terjadi akibat hilangnya muatan tonik secara akut yang seharusnya
disalurkan melalui neuron dari otak untuk mempertahankan fungsi reflek. Ketika
syok spinal terjadi akan mengalami regresi dan hiperrefleksia ditandai dengan
spastisitas otot serta reflex pengosongan kandung kemih dan usus (Corwin, 2009).
Syok spinal akan menimbulkan hipotensi, akibat penumpukan darah pada
pembuluh darah dan kapiler organ splanknik.tonus vasomotor di medulla dan
saraf simpatis yang meluas ke medulla spinalis sampai pembuluh darah perifer
secara berurutan. Kerena itu kondisi yang menekan fungsi medulla atau integritas
medulla spinalis serta persarafan akan mengakibatkan syok neurogenik
(Tambayong, 2000).
2.5 Komplikasi
1. Henti nafas karena kompresi saraf frenikus diantara C3 dan C5 akibat
kerusakan dan pembengkakan pada area cedera.
2. Hiperrefleksia otonom ditandai dengan tekanan darah yang tinggi disertai
bradikardi, serta berkeringat dan kemerahan pada kulit wajah.
3. Cedera yang lebih berat akan mempengaruhi system tubuh, hal ini dapat
mengakibatkan terjadinya infeksi pada ginjal dan saluran kemih,
kerusakan kulit hingga terjadi dekubitus, danterjadi atrofi pada otot.
4. Depresi, stress pada keluarga dan pernikahan, kehilangan pendapatan,
serta biaya medis yang besar sebagai respon dari psikososial (Corwin,
2009).
2.7 Pemeriksaan diagnostic
1. Sinar X spinal: menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur ,
dislokasi), untuk kesejajaran traksi atau operasi
2. Scan CT: menentukan tempat luka/jejas, mengevalkuasi gangguan
structural
3. MRI: mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan
kompresi
4. Mielografi: untuk memperlihatkan kolumna spinalis jika terda[at oklusi
pada subaraknoid medulla spinalis
5. Rongent torak : untuk memperlihatkan keadan paru
33
2.6 Penatalaksanaan
1. Imobilisasi pasien untuk mencegah semakin beratnya cedera medulla
spinalis atau kerusakan tambahan
2. Kolaborasi tindakan pembedahan untuk mengurangi tekanan pada medulla
spinalis akibat terjadinya trauma yang dapat mengurangi disabilitas jangka
panjang.
3. Pemberian steroid dosis tinggi secara cepat (satu jam pertama) untuk
mengurangi pembengkakan dan inflamasi medulla spinalis serta
mengurangi luas kerusakan permanen.
4. Fiksasi kolumna vertebralis melalui tindakan pembedahan untuk
mempercepat dan mendukung proses pemulihan.
5. Terapi fisik diberikan setelah kondisi pasien stabil.
6. Penyuluhan dan konseling mengenai komplikasi jangka panjang seperti
komplikasi pada kulit, system reproduksi, dan system perkemihan dengan
melibatkan anggota keluarga (Corwin, 2009).
Sedangkan menurut Batticaca dan Fransisca B, (2008) penatalaksanaan syok
spinal yaitu :
1. Lakukan konpresi manual untuk mengosongkan kandung kemih secara
teratur agar mencegah terjadinya inkontinensia overfloe dan dribbling
2. Lakukan pengosongan rectum dengan cara tambahkan diet tinggi serat,
laksatif, supposutoria, enema untuk BAB atau pengosomngan secara
teratur tanta terjai inkontinensia.
34
35
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Contoh Kasus
Bapak A, laki-laki usia 45 tahun bekerja sebagai supir masuk ke RS X karena
mengalami kecelakaan mobil dengan keluhan utama kelemahan ekstremitas
bagian bawah sejak 3 hari yang lalu. Bapak A merasa sesak napas dan terjadi
kelemahan anggota gerak bagian bawah yang semakin memberat . tidak ada
keluhan pada makan dan minumnya, pasien menggunakan colar neck. Lima hari
sebelum masuk RS X pasien mengalami kecelakaan mobil. mobil bapak A
menabrak mobil didepannya dan Bapak A tidak mengenakan sabuk pengaman.
Kepala pasien terbentur stir mobil dan jok mobil. saat itu pasien pingsan selama
sekitar 20 menit, perdarahan THT (-), muntah (-), dan pasien masih mengingat
kejadian sebelum kecelakaan. Pasien mengalami kelemahan pada anggota gerak
bagian bawah ,tekanan darah yang rendah, nadi cepat,pasien tampak gelisah,
nyeri hebat di area leher bagian belakang dengan skala nyeri 7,sesak nafas,
pasien pertama mencoba berobat ke pengobatan alternatif, disana pasien didoai
dan ditarik kepalanya. Pasien mengompol saat buang air kecil sehingga
terpasang kateter, pasien juga kesulitan buang air besar. Nyeri terasa ketika
pasien melakukan aktivitas.
3.2 Pengkajian Keperawatan
Primary Survey
1. Airway : Adanya sumbatan jalan nafas/obstruksi/adanya penumpukan
sekret akibat kelemahan reflek batuk.
2. Breathing : sesak nafas (RR : 30x/menit) , nadi cepat (120x/menit)
3. Circulation : Tekanan darah rendah (90/60 mmHg) , CRT>2detik ,
4. Disability : compos mentis , GCS 456 ,
5. Exposure : Suhu 38 C , ada jejas pada pada cervical karena telah terjadi
benturan.
36
Secondary Survey
Beberapa hal penting yang perlu dikaji pada cedera Spinal Cord Injury adalah,
sebagai berikut: tanyakan riwayat trauma yang dialami oleh klien ( apakah karena
KLL, olahraga atau yang lain), kemudian tanyakan apakah ada riwayat penyakit
degeneratif (seperti: osteoporosis, osteoartritis, dll), bagaimana mekanisme
terjadinya trauma pada pasien, kemudian stabilisasi dan monitoring pada pasien,
lakukan pemeriksaan fisik pada pasien: lihat KU pasien, ukur TTV, adakah defisit
neurologis pada pasien, tanyakan bagaimana status kesadaran awal klien saat
kejadian, lakukan tes refleks, motorik, lokalis (look, feel, move) pada pasien,
fokuskan pada deformitas leher, memar pada leher dan bahu, memar pada muka
atau abrasi dangkal pada dahi, lakukan pemeriksaan neurologi penuh.
Data fokus, didapatkan dengan melakukan pengkajian 11 pola Gordon:
1. Aktifitas dan istirahat: kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok
spinal
2. Sirkulasi: berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi,
hipotensi, bradikardia ekstremitas dingin atau pucat.
3. Eliminasi: inkontinensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi
perut, peristaltik usus hilang.
4. Integritas ego: menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut cemas,
gelisah dan menarik diri.
5. Pola makan: mengalami distensi perut, peristaltik usus hilang
6. Pola kebersihan diri: sangat ketergantungan dalam melakukan ADL
7. Neurosensori: kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis
flasid, hilangnya sensai dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek,
perubahan reaksi pupil, ptosis.
8. Nyeri/kenyamanan: nyeri tekan otot, hiperestesi tepat diatas daerah
trauma, dan mengalami deformitas pada derah trauma.
9. Pernapasan: napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosis
10. Keamanan: suhu yang naik turun
37
11. Seksualitas: priapismus (pada laki-laki), haid tidak teratur (pada wanita)
(Doengoes, 1999)
Pemeriksaan Diagnostik
Hasil Laboratorium
Pemeriksaan
Angka normal
Hasil Lab
Hemoglobin
13,2 g/dl
Hematokrit
40 - 50%
36%
4.000 -
16.500/uL
Leukosit
Keterangan
11.000/mm3
Trombosit
150.000
244.000/uL
400.000/mm3
LED
0 10 mm/jam
25 mm
Ureum
10 50 mg/dl
23 mg/dl
Kreatinin darah
GDS
70 - 115 mg/dl
126 mg/dl
Na
105 meq/l
4,2 meq/l
Cl
98-106 mmol/l
73 meq/l
38
SO2 79 %
BE 0,0 mmol/L
Terapi :
O2 rebreathing mask 6lpm
IVFD NaCl 0,9 % per 12 jam
Imobilisasi leher dengan colar neck
Metilprednisolon tab 4x8 mg
Ranitidin 2x1 amp injeksi
NaCl tab 3x500mg
Periksa AGD ulang 6 jam kemudian
Diagnosis kerja : Tetraparesis
Diagnosisi klinis : tetraparesis, inkontinensia urin dan retensi alvi, hiponatremi,
hipoklorida, alkalosis respiratorik, leukositosis
Diagnosa patologis : fraktur, dislokasi
3.3 Asuhan Keperawatan
Pengkajian
Identitas
Nama
: Tn A
Umur
: 45 tahun
Alamat
: Surabaya
Pekerjaan
: Sopir mobil
Keadaan umum
39
Keluhan utama
: mengeluh kelemaha ekstrimitas sejak 3 hari yang lalu
semakin memberat
Riwayat penyakit sekarang : Tn A mengalami kelemahan anggota gerak, nyeri
di area cidera, sesak napas dan muntah
Riwayat penyakit dulu
lalu
Riwayat Alergi
:-
Data
Etiologi
Masalah
keperawatan
Kelumpuhan otot
pernapasan
40
2.
napas
Kelumpuhan otot
pernapasan
3.
(Basa/tdk
Karbondioksida menurun
DO : Nadi teraba lemah
(bradikardi)
TD 100x/ menit
4.
DS : Pasien mengeluh
nyeri hebat, tidak bisa
tidur
DO : Skala nyeri pasien
8, klien gelisah, suhu
tubuh naik turun
N : 80x/menit
5.
S : 38,5 C
DS : pasien mengeluh
reflek BAK hilang
DO : pasien BAK secara
involunter dan terpasan
kateter
Gangguan pertukaran
gas
Syok spinal
Hipotensi dan
bradikardi
Gangguan perfusi
jaringan perifer
Fraktur
Ketidakefektifan
perfusi jaringan
perifer
Gangguan
rasa
nyaman nyeri
Memar, kerusakan
laserasi sumsum
Pelepasan mediator
kimia
Nyeri hebat
Perubahan pola
eliminasi urine
kompresi medula
spinalis
Gangguan fungsi
41
vesika urinaria
Inkontinensia urin
6.
DS : pasien mengeluh
tidak bisa BAB
Gangguan eliminasi
Cidera servikal
Gangguan
eliminasi alvi
Kompresi medula
DO : peristaltik usus
spinalis
klien menurun, abdomen
distensi
Kelumpuhan saraf usus
dan rektum
7.
Ds : Pasien mengalami
kelemahan pada keempat
anggota geraknya.
DO : klien membutuhkan
bantuan
dalam
pemenuhan ADL
Gangguan eliminasi
alvi
Fraktur servikal dan
lumbal
Gangguan
mobilitas fisik
Kompresi medula
spinalis
Gangguan motorik
sensorik
Kelumpuhan
Gangguan mobilitas
BAK
berhubungan
dengan
penurunan
isyarat
42
Intervensi Keperawatan
Kelola oksigen dengan
metode yang sesuai, misal
masker, nasal kanul,
intubasi.
Rasional
Metode ditentukan oleh tingkat cedera,
tingkat insufisiensi respirasi, dan jumlah
pemulihan fungsi otot pernapasan setelah
fase syok spinal.
Intervensi
Rasional
Pantau saturasi O2 dengan oksimeter Dengan memantau O2 perawat
nadi
mengetahui kecukupan pasien akan O2
Pantau hasil gas darah
Indikasi normalnya pertukaran gas di
tubuh yaitu BGA
Pantau kadar elektrolit
Pantau status mental
Status mental menunjukkan status
pertukaran gas
Observasi terhadap sianosis, terutama sianosis
adalah
indikator
mukosa mulut
ketidakadekuatan pertukaran O2 di
darah dan jaringan
Identifikasi kebutuhan pasien akan Jika pasien tidak dapat bernapas normal
insersi jalan napas aktual/potensial
Auskultai bunyi napas, tandai area Mengetahui fungsi paru dalam
penurunan atau hilangnya ventilasi dan
adanya bunyi tambahan
Pantau
status
pernapasan
dan Jika status pernapasan adekuat, status
oksigenasi
pertukaran gas juga adekuat.
44
Rasional
Memudahkan aliran darah turun ke
perifer
Menghindari hipotermi pada pasien
akibat ketidakcukupan sirkulasi perifer
45
Intervensi:
Intervensi
Kaji fungsi-fungsi sensori dan
motorik pasien setiap 4 jam.
Ganti posisi pasien setiap 2 jam
dengan
memperhatikan
kestabilantubuh
dan
kenyamanan pasien.
Beri papan penahan pada kaki
Gunakan otot orthopedhi, edar,
handsplits
Lakukan ROM Pasif setelah 4872 setelah cedera 4-5 kali/hari
Monitor adanya nyeri dan
kelelahan pada pasien.
Kaji fungsi-fungsi sensori dan
motorik pasien setiap 4 jam.
Rasional
Menetapkan
kemampuan
keterbatasan pasien setiap 4 jam.
Mencegah terjadinya dekubitus.
dan
Intervensi
Rasional
Kaji tanda-tanda infeksi saluran Efek dari tidak efektifnya bladder
kemih
adalah adanya infeksi saluran kemih.
Kaji intake dan output cairan
Mengetahui adekuatnya gunsi gnjal dan
efektifnya blodder.
Lakukan pemasangan kateter Efek trauma medulla spinalis adlah
sesuai program
adanya
gangguan
refleks
berkemihsehingga perlu bantuan dalam
pengeluaran urine
Anjurkan pasien untuk minum 2- Mencegah urine lebih pekat yang
3 liter setiap hari
berakibat timbulnya
Cek bladder pasien setiap 2 jam
Mengetahui adanya residu sebagai
46
Rasional
Auskultasi bising usus, catat lokasi Bising usus mungkin tidak ada
dan karakteristiknya
selama syok spinal
Observasi adanya distensi perut
Catat adanya keluhan mual dan Perdarahan gastrointestinal dan
ingin muntah, pasang NGT
lambung mungkin terjadi akibat
trauma dan stress
Berikan diet seimbang TKTP cair
Intervensi Keperawatan
Jelaskan dan bantu klien dengan
tindakan pereda nyeri
nonfarmakologi dan non invasif.
Ajarkan Relaksasi : Tehniktehnik untuk menurunkan
ketegangan otot rangka, yang
Rasional
Pendekatan dengan menggunakan
relaksasi dan nonfarmakologi lainnya
telah menunjukkan keefektifan dalam
mengurangi nyeri
Akan melancarkan peredaran darah,
sehingga kebutuhan O2 oleh jaringan
akan terpenuhi, sehingga akan
47
48
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Spinal syok (syok pada medula spinalis) termasuk syok distributif, terjadi
karena volume darah secara abnormal berpindah tempat pada vaskuler seperti
ketika darah berkumpul dalam pembuluh darah perifer . Neurogenik syok
disebabkan oleh beberapa faktor yang menganggu CNS. Manifestasi klinis
yang ditunjukkan yaitu hilangnya sensasi,control motorik, dan reflek
dibawah cedera. Suhu didalam tubung akan menggambarkan suhu yang ada
di lingkungan, kemudian tekanan darah akan menurun. Sedangkan frekuensi
denyut nadi sering normal akan tetapi tetap disertai tekanan darah yang selalu
rendah.
4.2 Saran
Setelah anda mengetahui dampak dari syok spinal maka penting bagi kita
untuk mengetahui cara menangani atau mencegah syok spinal agar tidak
terjadi trauma yang lebih fatal atau parah lagi. Untuk kedepannya apabila
terdapat korban dengan syok spinal, kita dapat melakukan penanganan gawat
darurat sebagai pencegahan syok spinal.
49
DAFTAR PUSTAKA
50
Tidy, C. 2014. Spinal Cord Injury and Compression. EMIS Egton Medical
Information System
www.patient.co.uk/doctor/spinal-cord-injury-and-compression.
Tambayong, J. 2000. Patofisiologi untuk keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Thumbikat, et al. 2009. Acute spinal cord injury. Orthopaedics II: spine and
pelvis. SURGERY 27:7 282 Elsevier Ltd. All rights reserved.
Urden, Linda D., Mary E. Lough. 2013. Critical Care Nursing - Diagnosis and
Management. Elsevier - Health Sciences Division
White, James P, & Pradeep Thumbikat. 2012. Orthopaedics Ii: Spine And Pelvis.
Surgery 30:7 326 _ 2012 Elsevier Ltd. All Rights Reserved..
51