Vous êtes sur la page 1sur 39

Laporan Kasus

ABSES HEPAR DENGAN KOLESISTITIS

Oleh:
Riky Novriansyah Wibowo

I1A009066

Pembimbing
dr. Agung Ary Wibowo, Sp.B-KBD

BAGIAN ILMU BEDAH


FK UNLAM RSUD ULIN
BANJARMASIN
Mei, 2014

DAFTAR ISI
Halaman Judul............................................................................................................ i
Daftar Isi..................................................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................... 5
BAB III. LAPORAN KASUS.................................................................................... 22
BAB IV PEMBAHASAN ......................................................................................... 31
BAB V. PENUTUP ................................................................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
Abses hepar adalah bentuk infeksi pada hepar yang disebabkan oleh
infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem
gastrointestinal

yang

ditandai

dengan

adanya

proses

supurasi

dengan

pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel
darah didalam parenkim hati .1
Secara umum, abses hati terbagi 2, yaitu abses hati amebik (AHA) dan
abses hati piogenik (AHP). AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis
ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk
Indonesia. AHP dikenal juga sebagai hepatic abscess, bacterial liver abscess,
bacterial abscess of the liver, bacterial hepatic abscess. AHP ini merupakan
kasus yang relatif jarang, pertama ditemukan oleh Hippocrates (400 SM) dan
dipublikasikan pertama kali oleh Bright pada tahun 1936. 1
Prevalensi yang tinggi sangat erat hubungannya dengan sanitasi yang
jelek, status ekonomi yang rendah serta gizi yang buruk. Meningkatnya arus
urbanisasi menyebabkan bertambahnya kasus abses hati di daerah perkotaan. Di
negara yang sedang berkembang abses hati amuba lebih sering didapatkan secara
endemik dibandingkan dengan abses hati piogenik. Dalam beberapa dekade
terakhir ini telah banyak perubahan mengenai aspek epidemiologis, etiologi,
bakteriologi, cara diagnostik maupun mengenai pengelolaan serta prognosisnya. 2
Kolesistitis akut adalah reaksi inflamasi akut dinding kandung empedu
yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Kolesistitis
akut sering berawal sebagai serangan kolik biliaris yang memburuk secara

progresif. Sekitar 60 70% pasien melaporkan adanya riwayat serangan yang


sembuh spontan. Namun, seiring dengan makin parahnya serangan, nyeri
kolesistitis akut makin menjadi generalisata di abdomen kanan atas. Seperti kolik
biliaris, nyeri kolesistitis dapat menyebar ke daerah antarskapula, skapula kanan
atau bahu. Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan
penggetaran atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Tidak jarang pula
menjadi kolesistitis rekuren. Kadang kadang kolesistitis akut berkembang secara
cepat menjadi gangren, empiema dan perforasi kandung empedu, fistel, abses hati
atau peritonitis umum pada 10 15% kasus.3,4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI HATI


Hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh, berat rata-rata sekitar 1.500 gr atau
2 % berat badan orang dewasa normal. Letaknya sebagian besar di regio
hipokondria dekstra, epigastrika, dan sebagian kecil di hipokondria sinistra. Hati
memiliki dua lobus utama yaitu kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi menjadi
segmen anterior dan posterior oleh fisura segmentalis kanan. Lobus kiri dibagi
menjadi segmen medial dan lateral oleh ligamentum falsiformis. Di bawah
peritonium terdapat jaringan ikat padat yang disebut kapsula Glisson yang
meliputi seluruh permukaan hati. Setiap lobus hati terbagi menjadi strukturstruktur yang disebut sebagai lobulus, yang merupakan unit mikroskopis dan
fungsional organ yang terdiri atas lempeng-lempeng sel hati dimana diantaranya
terdapat sinusoid. Selain sel-sel hati, sinusoid vena dilapisi oleh sel endotel
khusus dan sel Kupffer yang merupakan makrofag yang melapisi sinusoid dan
mampu memfagositosis bakteri dan benda asing lain dalam darah sinus hepatikus.
Hati memiliki suplai darah dari saluran cerna dan limpa melalui vena porta
hepatika dan dari aorta melalui arteria hepatika. 2,5

Hati mempunyai fungsi yang sangat beraneka ragam. Beberapa di antaranya


yaitu: 5,6,7,8
Pembentukan dan ekskresi empedu
Dalam hal ini terjadi metabolisme pigmen dan garam empedu. Garam empedu
penting untuk pencernaan dan absopsi lemak serta vitamin larut-lemak di
dalam usus.
Pengolahan metabolik kategori nutrien utama (karbohidrat, lemak,
protein) setelah penyerapan dari saluran pencernaan
a. Metabolisme karbohidrat : menyimpan glikogen dalam jumlah besar,
konversi galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa, glukoneogenesis, serta
pembentukan banyak senyawa kimia dari produk antara metabolisme
karbohidrat.

b. Metabolisme lemak : oksidasi asam lemak untuk menyuplai energi bagi


fungsi tubuh yang lain, sintesis kolesterol,fosfolipid,dan sebagian besar
lipoprotein, serta sintesis lemak dari protein dan karbohidrat
c. Metabolisme protein : deaminasi asam amino, pembentukan ureum untuk
mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, pembentukan protein plasma,
serta interkonversi beragam asam amino dan sintesis senyawa lain dari
asam amino.
Penimbunan vitamin dan mineral
Vitamin larut-lemak ( A,D,E,K ) disimpan dalam hati, juga vitamin B12,
tembaga, dan besi dalam bentuk ferritin. Vitamin yang paling banyak
disimpan dalam hati adalah vitamin A, tetapi sejumlah besar vitamin D dan
B12 juga disimpan secara normal.
Hati menyimpan besi dalam bentuk ferritin
Sel hati mengandung sejumlah besar protein yang disebut apoferritin, yang
dapat bergabung dengan besi baik dalam jumlah sedikit maupun banyak. Oleh
karena itu, bila besi banyak tersedia dalam cairan tubuh, maka besi akan
berikatan dengan apoferritin membentuk ferritin dan disimpan dalam bentuk
ini di dalam sel hati sampai diperlukan. Bila besi dalam sirkulasi cairan tubuh
mencapai kadar rendah, maka ferritin akan melepaskan besi.
Hati membentuk zat-zat yang digunakan untuk koagulasi darah dalam
jumlah banyak
Zat-zat yang dibentuk di hati yang digunakan pada proses koagulasi meliputi
fibrinogen, protrombin, globulin akselerator, faktor VII, dan beberapa faktor

koagulasi lainnya. Vitamin K dibutuhkan oleh proses metabolisme hati, untuk


membentuk protrombin dan faktor VII, IX, dan X.
Hati mengeluarkan atau mengekskresikan obat-obatan, hormon, dan zat
lain
Medium kimia yang aktif dari hati dikenal kemampuannya dalam melakukan
detoksifikasi atau ekskresi berbagai obat-obatan meliputi sulfonamid,
penisilin, ampisilin, dan eritromisin ke dalam empedu. Beberapa hormon
yang disekresi oleh kelenjar endokrin diekskresi atau dihambat secara kimia
oleh hati meliputi tiroksin dan terutama semua hormon steroid seperti
estrogen, kortisol, dan aldosteron.

B. ANATOMI DAN FISIOLOGI SALURAN EMPEDU


Empedu yang dibentuk dalam lobulus hati disekresi ke dalam jaringan
kanalikuli yang kompleks, duktulus biliaris yang kecil dan duktus biliaris yang
lebih besar yang mengalir bersama limfatik dan cabang vena porta dan arteri
hepatika dalam traktus porta yang terletak antara lobulus hati. Duktus biliaris
interlobulus ini bergabung membentuk duktus biliaris septum yang lebih besar
yang bergabung untuk membentuk duktus hepatikus kanan dan kiri yang berlanjut
sebagai duktus hepatikus komunis. Bersama dengan duktus sistikus dari kandung
empedu, duktus hepatikus komunis bergabung membentuk duktus koledokus yang
kemudian bergabung dengan duktus pankreatikus mayor lalu memasuki
duodenum melalui ampulla Vater. 9

Empedu hati adalah cairan isotonik berpigmentasi dengan komposisi


elektrolit yang menyerupai plasma darah. Komponen utama cairan empedu
terdiri dari 82% air, 12% asam empedu, 4% lesitin dan fosfolipid lainnya serta
0,7% kolesterol yang tidak diesterifikasi. Unsur lain termasuk bilirubin
terkonjugasi, protein (IgA), elektrolit, mukus, dapat pula obat atau hasil
metabolisme lainnya.

Cairan empedu ditampung dalam kandung empedu

yang memiliki kapasitas 50 ml. Selama empedu berada di dalam kandung


empedu, maka akan terjadi peningkatan konsentrasi empedu oleh karena
terjadinya proses reabsorpsi -2-sebagian besar anion anorganik, klorida dan
bikarbonat, diikuti oleh difusi air sehingga terjadi penurunan pH intrasistik. 1
Asam asam empedu primer (asam kolat & kenodeoksikolat) dibentuk
dari kolesterol di dalam hepatosit, diperbanyak pada struktur cincin
hidroksilasi dan bersifat larut dalam air akibat konjugasi dengan glisin atau
taurin dan diekskresi ke dalam empedu. Sekresi empedu membutuhkan

aktivitas hepatosit (sumber empedu primer) dan kolangiosit yang terletak


sepanjang duktulus empedu. Produksi empedu perhari berkisar 500 600 ml.1
Asam empedu mempunyai kegunaan seperti deterjen dalam mengemulsi
lemak, membantu kerja enzim pankreas dan penyerapan lemak intraluminal.
Asam empedu primer dapat dialirkan ke duodenum akibat stimulus fisiologis
oleh hormon kolesistokinin (CCK) (meskipun terdapat juga peranan
persarafan parasimpatis), dimana kadar hormon ini dapat meningkat sebagai
tanggapan terhadap diet asam amino rantai panjang dan karbohidrat. Adapun
efek -3-kolesistokinin diantaranya (1) kontraksi kandung empedu (2)
penurunan resistensi sfingster Oddi (3) peningkatan sekresi empedu hati (4)
meningkatkan aliran cairan empedu ke duodenum. 10
Asam empedu primer yang telah sekresikan ke duodenum akan
direabsorpsi kembali di ileum terminalis kemudian memasuki aliran darah
portal dan diambil cepat oleh hepatosit, dikonjugasi ulang dan disekresi ulang
ke dalam empedu (sirkulasi enterohepatik). Sekitar 20% empedu intestinal
tidak direabsorpsi di ileum, yang kemudian dikonjugasi oleh bakteri kolon
menjadi asam empedu sekunder yakni deoksikolat dan litokolat dan 50%
akan direabsorpsi kembali 10.
C. EPIDEMIOLOGI
Di negara negara yang sedang berkembang, AHA didapatkan secara
endemik dan jauh lebih sering dibandingkan AHP. AHP ini tersebar di seluruh
dunia, dan terbanyak di daerah tropis dengan kondisi hygiene /sanitasi yang
kurang. Secara epidemiologi, didapatkan 8 15 per 100.000 kasus AHP yang
memerlukan perawatan di RS, dan dari beberapa kepustakaan Barat, didapatkan

10

prevalensi autopsi bervariasi antara 0,29 1,47% sedangkan prevalensi di RS


antara 0,008 0,016%. AHP lebih sering terjadi pada pria dibandingkan
perempuan, dengan rentang usia berkisar lebih dari 40 tahun, dengan insidensi
puncak pada dekade ke 6. (1)
Abses hati piogenik sukar ditetapkan. Dahulu hanya dapat dikenal setelah
otopsi. Sekarang dengan peralatan yang lebih canggih seperti USG, CT Scan dan
MRI lebih mudah untuk membuat diagnosisnya. Prevalensi otopsi berkisar antara
0,29-1,47 % sedangkan insidennya 8-15 kasus/100.000 penderita. (2)
Hampir 10 % penduduk dunia terutama negara berkembang terinfeksi
E.histolytica tetapi hanya 1/10 yang memperlihatkan gejala. Insidens amubiasis
hati di rumah sakit seperti Thailand berkisar 0,17 % sedangkan di berbagai rumah
sakit di Indonesia berkisar antara 5-15% pasien/tahun. Penelitian di Indonesia
menunjukkan perbandingan pria dan wanita berkisar 3:1 sampai 22:1, yang
tersering pada dekade keempat. Penularan umumnya melalui jalur oral-fekal dan
dapat juga oral-anal-fekal. Kebanyakan yang menderita amubiasis hati adalah pria
dengan rasio 3,4-8,5 kali lebih sering dari wanita. Usia yang sering dikenai
berkisar antara 20-50 tahun terutama dewasa muda dan lebih jarang pada anak.
Infeksi E.histolytica memiliki prevalensi yang tinggi di daerah subtropikal dan
tropikal dengan kondisi yang padat penduduk, sanitasi serta gizi yang buruk. (2,11)
D. PATOGENESIS ABSES HEPAR
1.

Abses Hepar Amebik


Cara penularan umumnya fecal-oral yaitu dengan menelan kista, baik melalui

makanan atau minuman yang terkontaminasi atau transmisi langsung pada orang

11

dengan higiene yang buruk. Kasus yang jarang terjadi adalah penularan melalui
seks oral ataupun anal. (10,12)
E.hystolitica dalam 2 bentuk, baik bentuk trofozoit yang menyebabkan
penyakit invasif maupun kista bentuk infektif yang dapat ditemukan pada lumen
usus. Bentuk kista tahan terhadap asam lambung namun dindingnya akan diurai
oleh tripsin dalam usus halus. Kemudian kista pecah dan melepaskan trofozoit
yang kemudian menginvasi lapisan mukosa usus. Amuba ini dapat menjadi
patogen dengan mensekresi enzim cysteine protease, sehingga melisiskan jaringan
maupun eritrosit dan menyebar keseluruh organ secara hematogen dan
perkontinuinatum. Amoeba yang masuk ke submukosa memasuki kapiler darah,
ikut dalam aliran darah melalui vena porta ke hati. Di hati E.hystolitica
mensekresi enzim proteolitik yang melisis jaringan hati, dan membentuk abses. Di
hati terjadi fokus akumulasi neutrofil periportal yang disertai nekrosis dan
infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar, bersatu, dan granuloma diganti dengan
nekrotik. Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis seperti jaringan fibrosa.
Lokasi yang sering adalah di lobus kanan (70% - 90%) karena lobus kanan
menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena portal sedangkan lobus
kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior dan aliran limfatik. Dinding
abses bervariasi tebalnya,bergantung pada lamanya penyakit. Secara klasik, cairan
abses menyerupai achovy paste dan berwarna coklat kemerahan, sebagai akibat
jaringan hepar serta sel darah merah yang dicerna. (2,10,13,14)
2

Abses Hepar Piogenik


Hati adalah organ yang paling sering untuk terjadinya abses. Dari suatu studi

di Amerika, didapatkan 13% abses hati dari 48% abses viseral. Abses hati dapat

12

berbentuk soliter maupun multipel. Hal ini dapat terjadi dari penyebaran
hematogen maupun secara langsung dari tempat terjadinya infeksi di dalam
rongga peritoneum. Hati menerima darah secara sistemik maupun melalui
sirkulasi vena portal, hal ini memungkinkan terinfeksinya hati oleh karena
paparan bakteri yang berulang, tetapi dengan adanya sel Kuppfer yang membatasi
sinusoid hati akan menghindari terinfeksinya hati oleh bakteri tersebut. Bakteri
piogenik dapat memperoleh akses ke hati dengan ekstensi langsung dari organorgan yang berdekatan atau melalui vena portal atau arteri hepatika. Adanya
penyakit sistem biliaris sehingga terjadi obstruksi aliran empedu akan
menyebabkan terjadinya proliferasi bakteri. Adanya tekanan dan distensi
kanalikuli akan melibatkan cabang-cabang dari vena portal dan limfatik sehingga
akan terbentuk formasi abses fileflebitis. Mikroabses yang terbentuk akan
menyebar secara hematogen sehingga terjadi bakteremia sistemik. Penetrasi akibat
trauma tusuk akan menyebabkan inokulasi bakteri pada parenkim hati sehingga
terjadi AHP. Penetrasi akibat trauma tumpul menyebabkan nekrosis hati,
perdarahan intrahepatik dan terjadinya kebocoran saluran empedu sehingga terjadi
kerusakan dari kanalikuli. Kerusakan kanalikuli menyebabkan masuknya bakteri
ke hati dan terjadi pembentukan pus. Lobus kanan hati lebih sering terjadi AHP
dibanding lobus kiri, kal ini berdasarkan anatomi hati, yaitu lobus kanan
menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena portal sedangkan lobus
kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior dan aliran limfatik. (1,15)

13

E. PATOGENESIS KOLESISTITIS
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah stasis
cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab
utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) sedangkan sebagian
kecil kasus (10%) timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis akut akalkulus)
16.

Batu biasanya menyumbat duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan


empedu dan terjadi distensi kandung empedu. Distensi kandung empedu
menyebabkan aliran darah dan limfe menjadi terganggu sehingga terjadi iskemia
dan nekrosis dinding kandung empedu. Meskipun begitu, mekanisme pasti
bagaimana stasis di duktus sistikus dapat menyebabkan kolesistitis akut, sampai
saat ini masih belum jelas. Diperkirakan banyak faktor yang dapat mencetuskan
respon peradangan pada kolesistitis, seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol,
lisolesitin dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung
empedu yang diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi.17
Peradangan yang disebabkan oleh bakteri mungkin berperan pada 50 sampai
85 persen pasien kolesistitis akut. Organisme yang paling sering dibiak dari
kandung empedu para pasien ini adalah E. Coli, spesies Klebsiella, Streptococcus
grup D, spesies Staphylococcus dan spesies Clostridium. Endotoxin yang
dihasilkan oleh organisme organisme tersebut dapat menyebabkan hilangnya
lapisan mukosa, perdarahan, perlekatan fibrin, yang akhirnya menyebabkan
iskemia dan selanjutnya nekrosis dinding kandung empedu 18
Kolesistitis akut akalkulus terdapat pada 10 % kasus. Peningkatan resiko
terhadap perkembangan kolesistitis akalkulus terutama berhubungan dengan

14

trauma atau luka bakar yang serius, dengan periode pascapersalinan yang
menyertai persalinan yang memanjang dan dengan operasi pembedahan besar
nonbiliaris lainnya dalam periode pascaoperatif. Faktor lain yang mempercepat
termasuk vaskulitis, adenokarsinoma kandung empedu yang mengobstruksi,
diabetes mellitus, torsi kandung empedu, infeksi bakteri kandung empedu
(misalnya Leptospira, Streptococcus, Salmonella atau Vibrio cholera) dan infeksi
parasit kandung empedu. Kolesistitis akalkulus mungkin juga tampak bersama
dengan berbagai penyakit sistemik lainnya (sarkoidosis, penyakit kardiovaskuler,
sifilis, tuberkulosis, aktinomises).10
Selain itu, dapat timbul juga pada pasien yang dirawat cukup lama yang
mendapat nutrisi secara parenteral. Hal ini dapat terjadi karena kandung empedu
tidak mendapatkan stimulus dari kolesistokinin (CCK) yang berfungsi untuk
mengosongkan kantong empedu, sehingga terjadi statis dari cairan empedu.11

F. GAMBARAN KLINIS
F.1 Abses Hepar Amebik (2,13,14,20)
Gejala :
a. Demam internitten ( 38-40 oC)
b. Nyeri perut kanan atas, kadang nyeri epigastrium dan dapat menjalar
hingga bahu kanan dan daerah skapula
c. Anoreksia
d. Nausea
e. Vomitus
f. Keringat malam
g. Berat badan menurun
h. Batuk
i. Pembengkakan perut kanan atas
j. Ikterus

15

k. Buang air besar berdarah


l. Kadang ditemukan riwayat diare
m. Kadang terjadi cegukan (hiccup)
Kelainan fisis :
a. Ikterus
b. Temperatur naik
c. Malnutrisi
d. Hepatomegali yang nyeri spontan atau nyeri tekan atau disertai komplikasi
e. Nyeri perut kanan atas
f. Fluktuasi
F.2 Abses hati piogenik (1,2,13,21)
Gambaran klinis abses hati piogenik menunjukkan manifestasi sistemik yang
lebih berat dari abses hati amuba.
Keluhan :
a. Demam yang sifatnya dapat remitten, intermitten atau kontinyu yang
disertai menggigil
b. Nyeri spontan perut kanan atas ditandai dengan jalan membungkuk ke
depan dan kedua tangan diletakkan di atasnya.
c. Mual dan muntah
d. Berkeringat malam
e. Malaise dan kelelahan
f. Berat badan menurun
g. Berkurangnya nafsu makan
h. Anoreksia
Pemeriksaan fisis :
a. Hepatomegali
b. Nyeri tekan perut kanan
c. Ikterus, namun jarang terjadi
d. Kelainan paru dengan gejala batuk, sesak nafas serta nyeri pleura
e. Buang air besar berwarna seperti kapur
16

f. Buang air kecil berwarna gelap


g. Splenomegali pada AHP yang telah menjadi kronik
Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut di
sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan suhu
tubuh. Keluhan tersebut dapat memburuk secara progresif. Kadang kadang rasa
sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60
menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung dari
adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai dengan gangren atau perforasi
kandung empedu. Sekitar 60 70% pasien melaporkan adanya riwayat serangan
yang sembuh spontan 4.
Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan
penggetaran atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien mengalami
anoreksia dan sering mual. Muntah relatif sering terjadi dan dapat menimbulkan
gejala dan tanda deplesi volume vaskuler dan ekstraseluler. Pada pemeriksaan
fisis, kuadran kanan atas abdomen hampir selalu nyeri bila dipalpasi. Pada
seperempat sampai separuh pasien dapat diraba kandung empedu yang tegang dan
membesar. Inspirasi dalam atau batuk sewaktu palpasi subkosta kudaran kanan
atas biasanya menambah nyeri dan menyebabkan inspirasi terhenti (tanda
Murphy) 4.
Ketokan ringan pada daerah subkosta kanan dapat menyebabkan
peningkatan nyeri secara mencolok. Nyeri lepas lokal di kuadran kanan atas
sering ditemukan, juga distensi abdomen dan penurunan bising usus akibat ileus
paralitik, tetapi tanda rangsangan peritoneum generalisata dan rigiditas abdomen
biasanya tidak ditemukan, asalkan tidak ada perforasi. Ikterus dijumpai pada 20%

17

kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila konsentrasi
bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatik.
Pada pasien pasien yang sudah tua dan dengan diabetes mellitus, tanda dan
gejala yang ada tidak terlalu spesifik dan kadang hanya berupa mual saja4.
Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan
dengan kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien
dengan keadaan inflamasi kandung empedu akut yang sudah parah walaupun
sebelumnya tidak terdapat tanda tanda kolik kandung empedu. Biasanya pasien
sudah jatuh ke dalam kondisi sepsis tanpa terdapat tanda tanda kolesistitis akut
yang jelas sebelumnya 10.
G. DIAGNOSIS
G.1 Abses hati amebik (2,20)
Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi hati untuk menemukan
trofozoit amuba. Diagnosis abses hati amebik di daerah endemik dapat
dipertimbangkan

jika

terdapat

demam,

nyeri

perut

kanan

atas,

hepatomegali yang juga ada nyeri tekan. Disamping itu bila didapatkan
leukositosis, fosfatase alkali meninggi disertai letak diafragma yang tinggi
dan perlu dipastikan dengan pemeriksaan USG juga dibantu oleh tes
serologi. Untuk diagnosis abses hati amebik juga dapat menggunakan
kriteria Sherlock (1969), kriteria Ramachandran (1973), atau kriteria
Lamont dan Pooler.
a. Kriteria Sherlock (1969)
1. Hepatomegali yang nyeri tekan
2. Respon baik terhadap obat amebisid

18

3. Leukositosis
4. Peninggian diafragma kanan dan pergerakan yang kurang.
5. Aspirasi pus
6. Pada USG didapatkan rongga dalam hati
7. Tes hemaglutinasi positif
b. Kriteria Ramachandran (1973)
Bila didapatkan 3 atau lebih dari:
1. Hepatomegali yang nyeri
2. Riwayat disentri
3. Leukositosis
4. Kelainan radiologis
5. Respons terhadap terapi amebisid
c. Kriteria Lamont Dan Pooler
Bila didapatkan 3 atau lebih dari:
1. Hepatomegali yang nyeri
2. Kelainan hematologis
3. Kelainan radiologis
4. Pus amebik
5. Tes serologi positif
6. Kelainan sidikan hati
7. Respons terhadap terapi amebisid
G.2 Abses hati piogenik
Menegakkan diagnosis AHP berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis
dan laboratoris serta pemeriksaan penunjang. Diagnosis AHP kadang-kadang

19

sulit ditegakkan sebab gejala dan tanda klinis sering tidak spesifik. Diagnosis
dapat ditegakkan bukan hanya dengan CT-Scan saja, meskipun pada akhirnya
dengan CT-Scan mempunyai nilai prediksi yang tinggi untuk diagnosis AHP,
demikian juga dengan tes serologi yang dilakukan. Tes serologi yang negatif
menyingkirkan diagnosis AHA, meskipun terdapat pada sedikit kasus, tes ini
menjadi positif beberapa hari kemudian. Diagnosis berdasarkan penyebab
adalah dengan menemukan bakteri penyebab pada pemeriksaan kultur hasil
aspirasi, ini merupakan standar emas untuk diagnosis. (1)
Diagnosis kolesistitis akut biasanya dibuat beradasarkan riwayat yang khas
dan pemeriksaan fisis. Trias yang terdiri dari nyeri akut kuadran kanan atas,
demam dan leukositosis sangat sugestif. Biasanya terjadi leukositosis yang
berkisar antara 10.000 sampai dengan 15.000 sel per mikroliter dengan pergeseran
ke kiri pada hitung jenis. Bilirubin serum sedikit meningkat [kurang dari 85,5
mol/L (5mg/dl)] pada 45 % pasien, sementara 25 % pasien mengalami
peningkatan aminotransferase serum (biasanya kurang dari lima kali lipat).
Pemeriksaan alkali phospatase biasanya meningkat pada 25 % pasien dengan
kolesistitis.

Pemeriksaan

enzim

amilase

dan

lipase

diperlukan

untuk

menyingkirkan kemungkinan pankreatitis, namun amilase dapat meningkat pada


kolesistitis. Urinalisis diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan pielonefritis.
Apabila keluhan bertambah berat disertai suhu tinggi dan menggigil serta
leukositosis berat, kemungkinan terjadi empiema dan perforasi kandung empedu
dipertimbangkan 10.

20

Pemindaian saluran empedu dengan radionuklida (mis. HDA) dapat


memberikan konfirmasi bila pada pemeriksaan pencitraan hanya tampak duktus
kandung empedu tanpa visualisasi kandung empedu 10
Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran kolesistitis
akut. Hanya pada 15 % pasien kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus
pandang

(radiopak)

oleh

karena

mengandung

kalsium

cukup

banyak

Kolesistografi oral tidak dapat memperlihatkan gambaran kandung empedu bila


ada obstruksi sehingga pemeriksaan ini tidak bermanfaat untuk kolesistitis akut.
Gambaran adanya kalsifikasi diffus dari kandung empedu (empedu porselain)
menunjukkan adanya keganasan pada kandung empedu 22.

21

BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
Nama Penderita

: Tn. S

Jenis kelamin

: Laki-laki

Umur

: 43 tahun

Agama

: Islam

Suku/Bangsa

: Banjar/Indonesia

Alamat

: Rantau

RMK

: 1103840

MRS tanggal

: 22 April 2014

II. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Nyeri perut kanan atas
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien mengeluh nyeri perut sejak 22 hari SMRS. Nyeri berawal dari
perut kanan atas seperti ditusuk-tusuk, hilang timbul, tembus kebelakang
dan menjalar ke daerah ulu hati. Rasa sakit bertambah bila penderita
beraktivitas dan berkurang dengan posisi membungkuk. Sakit kepala (-),
pusing (-), demam (-), mual (+), muntah (-), nafsu makan menurun, batuk
(-), sesak (-), riwayat demam (+) 26 hari SMRS turun dengan obat
penurun panas, menggigil (-), nyeri dada (-). Pasien sempat dirawat di RS
Rantau tetapi keluhan tidak menghilang. Pasien kemudian dirujuk ke
RSUD Ulin Banjarmasin.

22

3. RPD : DM (-), HT (-)


4. RPK : DM (-), HT (-)
III. PEMERIKSAAN FISIK
Status umum
Keadaan umum

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Kompos mentis, GCS : 4-5-6

Tanda vital

TD

120/ 80 mmHg

Nadi

84 kali/ menit(reguler)

Respirasi

20 kali/ menit

Suhu

36,8oC

Kepala/ Leher
Kepala : Rambut warna hitam, tipis, distribusi merata, bergelombang,
bentuk kepala normal, oedem tidak ada.
Mata : Palpebrae tidak oedem, alis dan bulu mata tidak mudah dicabut,
sklera tidak ikterik, konjungtiva tidak anemis, refleks cahaya (+/+), pupil
isokor.
Telinga : Bentuk normal, simetris, serumen minimal, sekret tidak ada.
Hidung : Bentuk normal, simetris, epistaksis tidak ada.
Mulut : Mukosa bibir kering, lidah normal dan simetris.
Leher : Kelenjar getah bening dan tiroid tidak membesar, tekanan vena
jugularis tidak meningkat, kaku kuduk tidak ada.
Pemeriksaan umum thoraks
Bentuk : Tampak datar, simetris
Pemeriksaan paru :
Inspeksi : Bentuk dan gerak dada simetris, tidak ada retraksi.
Palpasi : Fremitus vokal dan raba simetris, tidak ada nyeri tekan
Perkusi : Sonor di kedua paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler, tidak ada ronkhi dan wheezing.
Pemeriksaan jantung :
Inspeksi : Tidak tampak iktus cordis
Palpasi : Iktus cordis dan thrill tak teraba

23

Perkusi : Batas kanan ICS II-IV LPS kanan, batas kiri ICS V LMK kiri
Auskultasi : S1 dan S2 tunggal, bising jantung tidak ada
Pemeriksaan Abdomen :
Inspeksi : Permukaan datar,tidak tampak spider nevi pada abdomen
Palpasi : Nyeri tekan perut kanan atas (+), nyeri lepas tekan (+), hepar
teraba 3 jari di bawah arcus costa ( konsistensi kenyal, permukaan rata, tepi
tumpul )
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ascites : (-)
Ekstremitas
Superior : Hangat, edema (-), refleks fisiologis positif, refleks patologis
negatif, tidak ada parese, tak tampak palmar eritema pada kedua telapak
tangan.
Inferior : Hangat, edema (-), refleks fisiologis positif, refleks patologis
negatif, tidak ada parese
Tulang Belakang
Tidak ada deformitas, kifosis, lordosis, dan skoliosis

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Laboratorium Darah

Parameter
Hemoglobin
Lekosit
Eritrosit
Hematokrit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
RDW-CV

Gran

LABORATORIUM
HEMATOLOGI
22 APRIL 2014
10,9
8,3
4,00
34,1
237
85,4
27,2
31,9
14,0
HITUNG JENIS
%
46,4

#
3,9

24

Nilai Normal
(Satuan)
12,0-16,0 g/dl
4,0-10,5 ribu/ul
4,5-6 juta/ul
42-52 vol %
150-450 ribu/ul
80-97 fl
27-32 pg
32-38 %
11,5-14,7 %

Limfosit

40,5

3,4

PROTHROMBIN TIME
PT
12,6
Kontrol normal PT
11,4
APTT
25,3
Kontrol normal
26,1
APTT
INR
1,10

GDS
SGOT
SGPT

9,9 13,5 detik


22 ,2 37,0 detik

GULA DARAH
59
HATI
45
20

<200 mg/dl
0-46 U/l
0-45 U/l

Bilirubin total

1,47

0,20-1,20 mg/dl

Bilirubin direk

0,97

0,00-0,40 mg/dl

Bilirubin indirek

0,51

0,20-0,60 mg/dl

7
0,7

10-50 mg/dl
0,6-1,2 mg/dl

135,5
3,4
97,8

135-146 mmol/l
3,4-5,4 mmol/l
95-100 mmol/l

GINJAL
Ureum
Kreatinin
ELEKTROLIT
Na
K
Cl

Laboratorium darah post operasi

Parameter
Hemoglobin
Lekosit
Eritrosit
Hematokrit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
RDW-CV

Gran
Limfosit

LABORATORIUM
HEMATOLOGI
13 Mei 2014
13,1
16,4
4,64
39,4
288
85,9
28,2
32,9
16,0
HITUNG JENIS
%
74,9
14,5

#
12,28
2,4

25

Nilai Normal
(Satuan)
12,0-16,0 g/dl
4,0-10,5 ribu/ul
4,5-6 juta/ul
42-52 vol %
150-450 ribu/ul
80-97 fl
27-32 pg
32-38 %
11,5-14,7 %

2. CT Scan abdomen (28 April 2014)


Kesimpulan :

Abses liver kanan ukuran 11x10 cm

Kolelitiasis ukuran 9 mm

Pneumonia kanan bawah

Ren, lien, pankreas, VU normal

3. USG Abdomen Kepala (20 April 2014)


Kesimpulan :

Tampak area hypoechoic dengan internal echo didalamnya (Vol


443 cc) di lobus kanan liver

Tampak penebalan gallblader

Lien, pancreas, ginjal, buli, prostat normal

Abses hepar dengan cholecystitis


V. DIAGNOSIS KERJA
Abses hepar dengan kolesistitis
VI. PROGNOSIS
Dubia ad bonam
VII. PENATALAKSANAAN SEMENTARA
IVFD NaCl 0,9% 30 tpm
Inj. Metronidazole 3x500 mg
Inj. Ceftriaxone 2x1 gr
Inj. Metamizole Na 2x500 mg
Inj. Ranitidin 2x50 mg

26

Follow Up
Pemeriksaan

Hari Perawatan
I

II

III

IV

VI

VII

VIII

IX

Subyektif
Nyeri perut
Mual/Muntah

+/-

+/-

+/-

-/-

-/-

+/-

-/-

-/-

-/-

-/-

Obyektif
TD (mmHg)

120/80

120/70

120/80

120/80

120/80

120/70

110/80

110/60

120/80

120/80

N (x/menit)

84

86

84

87

80

80

80

82

84

83

RR (x/menit)

23

22

24

26

20

20

20

20

22

24

T (Celcius)

36,8

36,9

36,8

36,6

36,5

36,7

36,6

36,7

36,8

37,1

GCS

4-5-6

4-5-6

4-5-6

4-5-6

4-5-6

4-5-6

4-5-6

4-5-6

4-5-6

4-5-6

Drain

NGT

DC

Assesment
Abses hepar dengan kolesistitis
Planning
Inj. Metronidazole

3x500 mg
IVFD NaCl 0,9%
30 tpm
Inj. Ceftriaxone 2 x
1 gr
Inj. Metamizole Na
2 x 50mg
Asam

mefenamat

3x500 mg
PO. Curcuma 1x1
tab
Inj. Ranitidin
2 x 1 amp

27

Pemeriksaan

Hari Perawatan
XI

XII

XIII

XIV

XV

XVI

XVII

XVIII

XIX

XX

Subyektif
Nyeri perut
Mual/Muntah

-/-

-/-

-/-

-/-

-/-

-/-

-/-

-/-

-/-

-/-

Obyektif
TD (mmHg)

120/80

110/70

120/80

120/80

120/80

120/70

110/80

110/70

120/80

120/80

N (x/menit)

82

86

85

87

80

85

85

82

83

83

RR (x/menit)

23

22

24

26

20

22

22

20

22

24

T (Celcius)

36,8

36,8

36,7

36,6

36,5

36,7

36,6

36,7

36,8

36,5

GCS

4-5-6

4-5-6

4-5-6

4-5-6

4-5-6

4-5-6

4-5-6

4-5-6

4-5-6

4-5-6

Drain

NGT

DC

Assesment
Abses hepar dengan kolesistitis
Planning
Inj. Metronidazole

3x500 mg
IVFD NaCl 0,9%
30 tpm
Inj. Ceftriaxone 2
x 1 gr
Inj.

Metamizole

Na 2 x 50mg
Asam mefenamat
3x500 mg
PO. Curcuma 1x1
tab
Inj. Ranitidin
2 x 1 amp

28

Pemeriksaan

Hari Perawatan
XXI

XXII

XXIII

XXIV

XXV

XXVI

POD I

POD II

POD III

POD IV

POD V
Pasien BLPL

Subyektif
Nyeri perut

Mual/Muntah

-/-

-/-

-/-

-/-

-/-

-/-

Obyektif
TD (mmHg)

120/80

120/70

120/80

120/80

120/80

120/70

N (x/menit)

84

86

84

87

80

80

RR (x/menit)

23

22

24

26

20

20

T (Celcius)

36,8

36,9

36,8

36,6

36,5

36,7

GCS

4-5-6

4-5-6

4-5-6

4-5-6

4-5-6

4-5-6

Drain

Lepas

drain
NGT

DC

Lepas

DC
Assesment
Post laparatomi + drainage abses + kolesistektomi a/i absees hepar dengan kolesistitis
Planning
Inj. Metronidazole

3x500 mg
IVFD NaCl 0,9%
30 tpm
Inj. Ceftriaxone 2 x
1 gr

29

Inj. Metamizole Na

D5

Inj. Ketorolac 3x30

Minum sedikit-

Diet cair

Diet

Diet

Diet

sedikit

30 cc/jam

lunak

lunak

lunak

2 x 50mg
Asam

mefenamat

3x500 mg
PO. Curcuma 1x1
tab
Inj. Ranitidin
2 x 1 amp
IVFD

RL:

2000cc/ 24 jam

mg
Diet

30

BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien masuk dengan keluhan utama nyeri di perut bagian kanan atas.
Banyak penyakit yang dapat menimbulkan nyeri perut kanan atas, antara lain
abses hepar, hepatoma, kolesistitis, dan lain lain. Pada kasus ini, diketahui
bahwa pasien mengalami nyeri perut kanan atas seperti tertusuk-tusuk, tembus ke
belakang dan bertambah berat saat beraktivitas atau ditekan. Nyeri dirasa
berkurang pada posisi membungkuk. Pasien juga mengalami demam 26 hari
sebelum masuk rumah sakit yang hilang timbul, menggigil (-) dan turun dengan
obat penurun panas. Semenjak sakit, nafsu makan pasien berkurang. Dari
pemeriksaan fisis didapatkan tanda vital: TD = 120/80 mmHg, nadi: 84x/menit,
pernapasan: 23x/menit, suhu: 36,8 0C. Pada pemeriksaan abdomen, didapatkan
kesan perut datar, NT (+) di regio hipokondrium dextra, hepar teraba 3 jari di
bawah arcus costa ( konsistensi kenyal, permukaan rata, tepi tumpul ), dan
peristaltik (+) kesan normal.
Dari pemeriksaan USG Abdomen didapatkan hasil : ukuran hepar membesar,
tampak area hipoechoic dengan internal echo didalamnya (Volume 443 cc), di
lobus kanan hepar. Tampak penebalan gallbladder dengan kesan abses hepar
dengan kolesistitis. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan
bilirubin total dan bilirubin direk, SGOT dan SGPT dalam batas normal. Dari
hasil anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan
radiologi, pasien kini lebih diarahkan dengan diagnosis abses hepar dengan
kolesistitis.

31

Abses hepar adalah bentuk infeksi pada hepar yang disebabkan oleh karena
infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem
gastrointestinal

yang

ditandai

dengan

adanya

proses

supurasi

dengan

pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel
darah didalam parenkim hati . Secara umum, abses hati terbagi 2, yaitu abses hati
amebik (AHA) dan abses hati piogenik (AHP). Abses hati amebik disebabkan
oleh Entamoeba histolytica sedangkan organisme yang paling sering ditemukan
sebagai penyebab abses hati piogenik adalah E.Coli, Klebsiella pneumoniae,
Proteus vulgaris, Enterobacter aerogenes dan spesies dari bakteri anaerob (
contohnya Streptococcus Milleri ).1,2,21
Penatalaksaan abses hepar berupa medikamentosa seperti antiamoeba
(khususnya pada abses hepar amebik) dan antibiotik (khususnya pada abses hepar
piogenik), aspirasi, maupun drainase perkutan atau drainase bedah. Antiamoeba
dapat diberikan berupa metronidazole, DHE, maupun chloroquin, sedangkan
untuk antibiotik dapat diberikan penisilin atau sefalosporin ( untuk coccus gram
(+) dan gram (-) yang sensitif), aminoglikosida, klindamisin, dan kloramfenikol (
untuk bakteri anaerob), maupun ampicilin-sulbaktam.(2).
Pasien diberikan terapi berupa Po curcuma 1x1, IVFD NaCl 0,9% sebanyak
30 tpm karena pasien dalam keadaan lemah dan intake kurang sehingga
kemungkinan elektrolit kurang, inj. Metronidazole 3x500 mg, inj. Ceftriaxone 2x1
gr, inj. Metamizole Na 2x500 mg inj. Ranitidin 2x50 mg. Setelah diberikan terapi
ini selama 3 hari nyeri perut kanan atas dan rasa mual dirasakan mulai berkurang
pada hari ke IV perawatan.

32

Pemberian curcuma pada pasien ini bermanfaat sebagai hepatoprotektor.


Studi pada tikus menunjukkan bahwa pemberian oral Curcuma xanthorrhiza ( 100
mg / kgBB ) memiliki efek hepatoprotektif dari berbagai serangan zat
hepatotoksik , termasuk galactosamine dan karbon tetraklorida , dibuktikan oleh
penurunan yang signifikan dari serum transaminase. Efek hepatoprotektif ini
dikonfirmasi dengan pemeriksaan histopatologi : nekrosis dan kongestif vaskular
sedikit didapat dalam hati dari hewan yang dirawat. Selanjutnya peningkatan
hepatosit berinti ganda telah ditemukan pada zona pertengahan, menunjukkan
regenerasi dari sel hepatosit. Efek hepatoprotektif disebabkan terutama akibat dari
sifat antioksidan, serta kemampuannya untuk mengurangi pembentukan sitokin
pro - inflamasi .23
Pada hari perawatan ke 21 pasien dilakukan laparatomi eksplorasi, drainase
bedah

untuk

mengeluarkan

abses

dan

kolesistektomi.

Drainase

bedah

diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil membaik dengan cara
yang lebih konservatif, kemudian secara teknis susah dicapai dengan aspirasi
biasa. Selain itu, drainase bedah diindikasikan juga untuk perdarahan yang jarang
terjadi tetapi mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa adanya ruptur abses.
Penderita dengan septikemia karena abses amuba yang mengalami infeksi
sekunder juga dicalonkan untuk tindakan bedah, khususnya bila usaha dekompresi
perkutan tidak berhasil. (1,2)
Pada pasien ini juga dilakukan kolesistektomi. Kolesistektomi merupakan
terapi pilihan bagi sebagian besar pasien kolesistitis. Di sebagian besar sentra
kesehatan, angka mortalitas untuk kolesistektomi darurat mendekati 3 %,
sementara resiko mortalitas untuk kolesistektomi elektif mendekati 0,5 % pada

33

pasien berusia kurang dari 60 tahun. Tentu saja, resiko operasi meningkat seiring
dengan adanya penyakit pada organ lain akibat usia dan dengan adanya
komplikasi jangka pendek atau jangka panjang penyakit kandung empedu. Pada
pasien kolesistitis yang sakit berat atau keadaan umumnya lemah dapat dilakukan
kolesistektomi dan drainase selang terhadap kandung empedu. Kolesistektomi
elektif kemudian dapat dilakukan pada lain waktu.24
Walaupun intervensi bedah tetap merupakan terapi utama untuk kolestasis
akut dan komplikasinya, mungkin diperlukan periode stabilisasi di rumah sakit
sebelum kolesistektomi. Pengobatan umum termasuk istirahat total, perbaiki
status hidrasi pasien, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, koreksi elektrolit,
obat penghilang rasa nyeri. Pemberian antibiotik pada fase awal sangat penting
untuk mencegah komplikasi seperti peritonitis, kolangitis dan septisemia.
Golongan ampisilin, sefalosporin dan metronidazol cukup memadai untuk
mematikan kuman kuman yang umum terdapat pada kolesistitis akut seperti E.
Coli, Strep. faecalis dan Klebsiela, namun pada pasien diabetes dan pada pasien
yang memperlihatkan tanda sepsis gram negatif, lebih dianjurkan pemberian
antibiotik kombinasi. 10
Berdasarkan hasil laboratorium yang ditemukan pada pasien tidak terdapat
peningkatan enzim enzim hati (SGOT dan SGPT) yang menunjukkan tidak
terjadinya gangguan fungsi hepar.. Pada pemeriksaan fisis, didapatkan nyeri pada
regio hipokondrium dextra, hal ini disebabkan oleh peregangan kapsula Glison
pada hepar sebagai akibat adanya abses. Selanjutnya, pemeriksaan yang menjadi
standar emas untuk penegakan diagnosis abses hepar adalah melalui kultur darah
yang memperlihatkan bakteri penyebab. Pada pemeriksaan pus, bakteri penyebab

34

misalnya bseperti Proteus vulgaris, Pseudomonas aeroginosa bisa ditemukan.


Namun, pemeriksaan ini sulit dilakukan karena pengambilan pus dari hepar akan
sangat menyakitkan bagi pasien. Pemeriksaan analisa feses juga dilakukan untuk
menilai feses baik dari segi warna, konsistensi, ada atau tidaknya darah dan lendir,
leukosit, eritrosit, telur cacing, amoeba, dan lain-lain.1,2

35

BAB V
PENUTUP

Telah dilaporkan pasien atas nama Tn. S yang datang ke IGD pada tanggal 22
april 2014 dengan keluhan nyeri perut kanan atas 22 hari SMRS. Nyeri berawal
dari perut kanan atas seperti ditusuk-tusuk, hilang timbul, tembus kebelakang dan
menjalar ke daerah ulu hati. Rasa sakit bertambah bila penderita beraktivitas dan
berkurang dengan posisi membungkuk. Sakit kepala (-), pusing (-), demam (-),
mual (+), muntah (-), nafsu makan menurun, batuk (-), sesak (-), riwayat demam
(+) 26 hari SMRS turun dengan obat penurun panas, menggigil (-), nyeri dada (). Pasien sempat dirawat di RS Rantau tetapi keluhan tidak menghilang. Pasien
kemudian dirujuk ke RSUD Ulin Banjarmasin. Dari hasil pemeriksaan fisik dan
penunjang ditentukan diagnosisnya abses hepar dengan kolesistitis. Pada pasien
dilakukan laparatomi eksplorasi, drainage abses, dan kolesistektomi. Pasien
membaik dan diperbolehkan pulang pada hari perawatan ke 5 setelah operasi
dengan diagnosis Post laparatomi + drainage abses + kolesistektomi a/i abses
hepar dengan kolesistitis.

36

DAFTAR PUSTAKA
1. Wenas,Nelly Tendean. Waleleng,B.J. Abses hati piogenik. Dalam :
Sudoyo,Aru W. Setiyohadi,Bambang. Alwi,Idrus. Simadibrata,Marcellus.
Setiati,Siti. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I edisi IV. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007. Hal 460-461.
2. Sofwanhadi, Rio. Widjaja, Patricia. Koan, Tan Siaw. Julius. Zubir, Nasrul.
Anatomi hati. Gambar tomografi dikomputerisasi (CT SCAN). Magnetic
resonance imaging (MRI) hati. Abses hati. Penyakit hati parasit. Dalam :
Sulaiman, Ali. Akbar, Nurul. Lesmana, Laurentius A. Noer, Sjaifoellah M.
Buku ajar ilmu penyakit hati edisi pertama. Jakarta : Jayabadi. 2007. Hal
1, 80-83, 93-94, 487-491, 513-514.
3. McPhee SJ, Papadakis MA, Tierney LM, Current Medical Diagnosis &
Treatment. McGraw Hill: Lange. 2009.
4. Sudoyo W. Aru, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I Edisi IV. EGC. Jakarta. 2009.
5. Guyton, Arthur C. Hall, John E. Hati sebagai suatu organ. Dalam : Buku
ajar fisiologi kedokteran edisi 11. Jakarta : EGC. 2008. Hal 902-906.
6. Lindseth, Glenda N. Gangguan hati, kandung empedu, dan pankreas.
Dalam : Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. Patofisiologi konsep klinis
proses-proses penyakit vol.1 edisi 6. Jakarta : EGC. 2006. Hal 472-476.
7. Sherwood, Lauralee. Sistem pencernaan. Dalam : Fisiologi manusia dari
sel ke sistem edisi 2. Jakarta : EGC. 2001. Hal 565.
8. Keshav, Satish. Structure and function. In : The gastrointestinal system at
a glance. United Kingdom : Ashford Colour Press, Gosport. 2004. Chapter
27-28.
9. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Dasar Dasar
Penyakit. EGC. Jakarta. 2006.
10. Isselbacher, KJ, Braunwald E, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL. Harrison:
Prinsip Harrison. Prinsip Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Editor
BahasaIndonesia: Prof. Dr. H. Ahmad H. Asdie. Edisi 13. EGC. Jakarta.
2009.

37

11. Friedman, Lawrence S. Rosenthal, Philip J. Goldsmith, Robert S. Liver,


biliary tract and pancreas. Protozoal and helminthic infections. In :
Papadakis, Maxine A. McPhee, Stephen J. Tierney, Lawrence M. Current
medical diagnosis and treatment 2008 forty-seventh edition. Jakarta : PT.
Soho Industri Pharmasi. 2008. Page 596, 1304-1306.
12. Crawford, James M. Hati dan saluran empedu. Dalam : Kumar. Cotran.
Robbins. Robbins buku ajar patologi vol.2 edisi 7. Jakarta : EGC. 2007.
Hal 684.
13. Krige,J. Beckingham, I.J. Liver abscesses and hydatid disease. In :
Beckingham, I.J. ABC of Liver, Pancreas, and Gall Bladder. Spain :
GraphyCems,Navarra. 2001. Chapter 40-42
14. Brailita, Daniel. Amebic liver abscesses. September 19th, 2008. November
1st, 2011. Available from http://emedicine.medscape.com/article/183920overview#showall.
15. Nickloes, Todd A. Pyogenic liver abcesses. January 23th, 2009. November
1st, 2011. Available from http://emedicine.medscape.com/article/193182overview#showall
16. Huffman JL, Schenker S. Acute acalculous cholecystitis - a review.
ClinGastroenterol Hepatol. 2009.
17. Donovan

JM.

Physical

and

metabolic

factors

in

gallstone

pathogenesis.Gastroenterol Clin North Am. Mar 2009;28(1):75-97.


18. Cullen JJ, Maes EB, Aggrawal S, et al. Effect of endotoxin on opossum
gallbladder motility: a model of acalculous cholecystitis. Ann Surg. Aug
2009;232(2):202-7.
19. Sitzmann JV, Pitt HA, Steinborn PA, et al. Cholecystokinin prevents
parenteral nutrition induced biliary sludge in humans. Surg Gynecol
Obstet. Jan 2008;170(1):25-31.
20. Soedarto. Penyakit protozoa. Dalam : Sinopsis kedokteran tropis.
Surabaya : Airlangga University Press. 2007. Hal 23-24, 27-29.
21. Kliegman. Behrman. Jenson. Stanton. The digestive system. In : Nelson
textbook of pediatric 18th edition. USA. 2007. Chapter 356.

38

22. Towfigh S, McFadden DW, Cortina GR, et al. Porcelain gallbladder is not
associated with gallbladder carcinoma. Am Surg. Jan 2010;67(1):7-10.
23. European Medicine Agency. Assessment report on Curcuma xanthorrhiza
Roxb. (C. xanthorrhiza D. Dietrich)., rhizoma. European Medicines
Agency 2013; 14(5): 122-35
24. Mutignani M, Iacopini F, Perri V, et al. Endoscopic gallbladder drainage
for acute cholecystitis: technical and clinical results. Endoscopy. Jun
2009;41(6):539-46.

39

Vous aimerez peut-être aussi