Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Oleh:
Riky Novriansyah Wibowo
I1A009066
Pembimbing
dr. Agung Ary Wibowo, Sp.B-KBD
DAFTAR ISI
Halaman Judul............................................................................................................ i
Daftar Isi..................................................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................... 5
BAB III. LAPORAN KASUS.................................................................................... 22
BAB IV PEMBAHASAN ......................................................................................... 31
BAB V. PENUTUP ................................................................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Abses hepar adalah bentuk infeksi pada hepar yang disebabkan oleh
infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem
gastrointestinal
yang
ditandai
dengan
adanya
proses
supurasi
dengan
pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel
darah didalam parenkim hati .1
Secara umum, abses hati terbagi 2, yaitu abses hati amebik (AHA) dan
abses hati piogenik (AHP). AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis
ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk
Indonesia. AHP dikenal juga sebagai hepatic abscess, bacterial liver abscess,
bacterial abscess of the liver, bacterial hepatic abscess. AHP ini merupakan
kasus yang relatif jarang, pertama ditemukan oleh Hippocrates (400 SM) dan
dipublikasikan pertama kali oleh Bright pada tahun 1936. 1
Prevalensi yang tinggi sangat erat hubungannya dengan sanitasi yang
jelek, status ekonomi yang rendah serta gizi yang buruk. Meningkatnya arus
urbanisasi menyebabkan bertambahnya kasus abses hati di daerah perkotaan. Di
negara yang sedang berkembang abses hati amuba lebih sering didapatkan secara
endemik dibandingkan dengan abses hati piogenik. Dalam beberapa dekade
terakhir ini telah banyak perubahan mengenai aspek epidemiologis, etiologi,
bakteriologi, cara diagnostik maupun mengenai pengelolaan serta prognosisnya. 2
Kolesistitis akut adalah reaksi inflamasi akut dinding kandung empedu
yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Kolesistitis
akut sering berawal sebagai serangan kolik biliaris yang memburuk secara
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
10
makanan atau minuman yang terkontaminasi atau transmisi langsung pada orang
11
dengan higiene yang buruk. Kasus yang jarang terjadi adalah penularan melalui
seks oral ataupun anal. (10,12)
E.hystolitica dalam 2 bentuk, baik bentuk trofozoit yang menyebabkan
penyakit invasif maupun kista bentuk infektif yang dapat ditemukan pada lumen
usus. Bentuk kista tahan terhadap asam lambung namun dindingnya akan diurai
oleh tripsin dalam usus halus. Kemudian kista pecah dan melepaskan trofozoit
yang kemudian menginvasi lapisan mukosa usus. Amuba ini dapat menjadi
patogen dengan mensekresi enzim cysteine protease, sehingga melisiskan jaringan
maupun eritrosit dan menyebar keseluruh organ secara hematogen dan
perkontinuinatum. Amoeba yang masuk ke submukosa memasuki kapiler darah,
ikut dalam aliran darah melalui vena porta ke hati. Di hati E.hystolitica
mensekresi enzim proteolitik yang melisis jaringan hati, dan membentuk abses. Di
hati terjadi fokus akumulasi neutrofil periportal yang disertai nekrosis dan
infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar, bersatu, dan granuloma diganti dengan
nekrotik. Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis seperti jaringan fibrosa.
Lokasi yang sering adalah di lobus kanan (70% - 90%) karena lobus kanan
menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena portal sedangkan lobus
kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior dan aliran limfatik. Dinding
abses bervariasi tebalnya,bergantung pada lamanya penyakit. Secara klasik, cairan
abses menyerupai achovy paste dan berwarna coklat kemerahan, sebagai akibat
jaringan hepar serta sel darah merah yang dicerna. (2,10,13,14)
2
di Amerika, didapatkan 13% abses hati dari 48% abses viseral. Abses hati dapat
12
berbentuk soliter maupun multipel. Hal ini dapat terjadi dari penyebaran
hematogen maupun secara langsung dari tempat terjadinya infeksi di dalam
rongga peritoneum. Hati menerima darah secara sistemik maupun melalui
sirkulasi vena portal, hal ini memungkinkan terinfeksinya hati oleh karena
paparan bakteri yang berulang, tetapi dengan adanya sel Kuppfer yang membatasi
sinusoid hati akan menghindari terinfeksinya hati oleh bakteri tersebut. Bakteri
piogenik dapat memperoleh akses ke hati dengan ekstensi langsung dari organorgan yang berdekatan atau melalui vena portal atau arteri hepatika. Adanya
penyakit sistem biliaris sehingga terjadi obstruksi aliran empedu akan
menyebabkan terjadinya proliferasi bakteri. Adanya tekanan dan distensi
kanalikuli akan melibatkan cabang-cabang dari vena portal dan limfatik sehingga
akan terbentuk formasi abses fileflebitis. Mikroabses yang terbentuk akan
menyebar secara hematogen sehingga terjadi bakteremia sistemik. Penetrasi akibat
trauma tusuk akan menyebabkan inokulasi bakteri pada parenkim hati sehingga
terjadi AHP. Penetrasi akibat trauma tumpul menyebabkan nekrosis hati,
perdarahan intrahepatik dan terjadinya kebocoran saluran empedu sehingga terjadi
kerusakan dari kanalikuli. Kerusakan kanalikuli menyebabkan masuknya bakteri
ke hati dan terjadi pembentukan pus. Lobus kanan hati lebih sering terjadi AHP
dibanding lobus kiri, kal ini berdasarkan anatomi hati, yaitu lobus kanan
menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena portal sedangkan lobus
kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior dan aliran limfatik. (1,15)
13
E. PATOGENESIS KOLESISTITIS
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah stasis
cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab
utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) sedangkan sebagian
kecil kasus (10%) timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis akut akalkulus)
16.
14
trauma atau luka bakar yang serius, dengan periode pascapersalinan yang
menyertai persalinan yang memanjang dan dengan operasi pembedahan besar
nonbiliaris lainnya dalam periode pascaoperatif. Faktor lain yang mempercepat
termasuk vaskulitis, adenokarsinoma kandung empedu yang mengobstruksi,
diabetes mellitus, torsi kandung empedu, infeksi bakteri kandung empedu
(misalnya Leptospira, Streptococcus, Salmonella atau Vibrio cholera) dan infeksi
parasit kandung empedu. Kolesistitis akalkulus mungkin juga tampak bersama
dengan berbagai penyakit sistemik lainnya (sarkoidosis, penyakit kardiovaskuler,
sifilis, tuberkulosis, aktinomises).10
Selain itu, dapat timbul juga pada pasien yang dirawat cukup lama yang
mendapat nutrisi secara parenteral. Hal ini dapat terjadi karena kandung empedu
tidak mendapatkan stimulus dari kolesistokinin (CCK) yang berfungsi untuk
mengosongkan kantong empedu, sehingga terjadi statis dari cairan empedu.11
F. GAMBARAN KLINIS
F.1 Abses Hepar Amebik (2,13,14,20)
Gejala :
a. Demam internitten ( 38-40 oC)
b. Nyeri perut kanan atas, kadang nyeri epigastrium dan dapat menjalar
hingga bahu kanan dan daerah skapula
c. Anoreksia
d. Nausea
e. Vomitus
f. Keringat malam
g. Berat badan menurun
h. Batuk
i. Pembengkakan perut kanan atas
j. Ikterus
15
17
kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila konsentrasi
bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatik.
Pada pasien pasien yang sudah tua dan dengan diabetes mellitus, tanda dan
gejala yang ada tidak terlalu spesifik dan kadang hanya berupa mual saja4.
Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan
dengan kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien
dengan keadaan inflamasi kandung empedu akut yang sudah parah walaupun
sebelumnya tidak terdapat tanda tanda kolik kandung empedu. Biasanya pasien
sudah jatuh ke dalam kondisi sepsis tanpa terdapat tanda tanda kolesistitis akut
yang jelas sebelumnya 10.
G. DIAGNOSIS
G.1 Abses hati amebik (2,20)
Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi hati untuk menemukan
trofozoit amuba. Diagnosis abses hati amebik di daerah endemik dapat
dipertimbangkan
jika
terdapat
demam,
nyeri
perut
kanan
atas,
hepatomegali yang juga ada nyeri tekan. Disamping itu bila didapatkan
leukositosis, fosfatase alkali meninggi disertai letak diafragma yang tinggi
dan perlu dipastikan dengan pemeriksaan USG juga dibantu oleh tes
serologi. Untuk diagnosis abses hati amebik juga dapat menggunakan
kriteria Sherlock (1969), kriteria Ramachandran (1973), atau kriteria
Lamont dan Pooler.
a. Kriteria Sherlock (1969)
1. Hepatomegali yang nyeri tekan
2. Respon baik terhadap obat amebisid
18
3. Leukositosis
4. Peninggian diafragma kanan dan pergerakan yang kurang.
5. Aspirasi pus
6. Pada USG didapatkan rongga dalam hati
7. Tes hemaglutinasi positif
b. Kriteria Ramachandran (1973)
Bila didapatkan 3 atau lebih dari:
1. Hepatomegali yang nyeri
2. Riwayat disentri
3. Leukositosis
4. Kelainan radiologis
5. Respons terhadap terapi amebisid
c. Kriteria Lamont Dan Pooler
Bila didapatkan 3 atau lebih dari:
1. Hepatomegali yang nyeri
2. Kelainan hematologis
3. Kelainan radiologis
4. Pus amebik
5. Tes serologi positif
6. Kelainan sidikan hati
7. Respons terhadap terapi amebisid
G.2 Abses hati piogenik
Menegakkan diagnosis AHP berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis
dan laboratoris serta pemeriksaan penunjang. Diagnosis AHP kadang-kadang
19
sulit ditegakkan sebab gejala dan tanda klinis sering tidak spesifik. Diagnosis
dapat ditegakkan bukan hanya dengan CT-Scan saja, meskipun pada akhirnya
dengan CT-Scan mempunyai nilai prediksi yang tinggi untuk diagnosis AHP,
demikian juga dengan tes serologi yang dilakukan. Tes serologi yang negatif
menyingkirkan diagnosis AHA, meskipun terdapat pada sedikit kasus, tes ini
menjadi positif beberapa hari kemudian. Diagnosis berdasarkan penyebab
adalah dengan menemukan bakteri penyebab pada pemeriksaan kultur hasil
aspirasi, ini merupakan standar emas untuk diagnosis. (1)
Diagnosis kolesistitis akut biasanya dibuat beradasarkan riwayat yang khas
dan pemeriksaan fisis. Trias yang terdiri dari nyeri akut kuadran kanan atas,
demam dan leukositosis sangat sugestif. Biasanya terjadi leukositosis yang
berkisar antara 10.000 sampai dengan 15.000 sel per mikroliter dengan pergeseran
ke kiri pada hitung jenis. Bilirubin serum sedikit meningkat [kurang dari 85,5
mol/L (5mg/dl)] pada 45 % pasien, sementara 25 % pasien mengalami
peningkatan aminotransferase serum (biasanya kurang dari lima kali lipat).
Pemeriksaan alkali phospatase biasanya meningkat pada 25 % pasien dengan
kolesistitis.
Pemeriksaan
enzim
amilase
dan
lipase
diperlukan
untuk
20
(radiopak)
oleh
karena
mengandung
kalsium
cukup
banyak
21
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama Penderita
: Tn. S
Jenis kelamin
: Laki-laki
Umur
: 43 tahun
Agama
: Islam
Suku/Bangsa
: Banjar/Indonesia
Alamat
: Rantau
RMK
: 1103840
MRS tanggal
: 22 April 2014
II. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Nyeri perut kanan atas
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien mengeluh nyeri perut sejak 22 hari SMRS. Nyeri berawal dari
perut kanan atas seperti ditusuk-tusuk, hilang timbul, tembus kebelakang
dan menjalar ke daerah ulu hati. Rasa sakit bertambah bila penderita
beraktivitas dan berkurang dengan posisi membungkuk. Sakit kepala (-),
pusing (-), demam (-), mual (+), muntah (-), nafsu makan menurun, batuk
(-), sesak (-), riwayat demam (+) 26 hari SMRS turun dengan obat
penurun panas, menggigil (-), nyeri dada (-). Pasien sempat dirawat di RS
Rantau tetapi keluhan tidak menghilang. Pasien kemudian dirujuk ke
RSUD Ulin Banjarmasin.
22
Kesadaran
Tanda vital
TD
120/ 80 mmHg
Nadi
84 kali/ menit(reguler)
Respirasi
20 kali/ menit
Suhu
36,8oC
Kepala/ Leher
Kepala : Rambut warna hitam, tipis, distribusi merata, bergelombang,
bentuk kepala normal, oedem tidak ada.
Mata : Palpebrae tidak oedem, alis dan bulu mata tidak mudah dicabut,
sklera tidak ikterik, konjungtiva tidak anemis, refleks cahaya (+/+), pupil
isokor.
Telinga : Bentuk normal, simetris, serumen minimal, sekret tidak ada.
Hidung : Bentuk normal, simetris, epistaksis tidak ada.
Mulut : Mukosa bibir kering, lidah normal dan simetris.
Leher : Kelenjar getah bening dan tiroid tidak membesar, tekanan vena
jugularis tidak meningkat, kaku kuduk tidak ada.
Pemeriksaan umum thoraks
Bentuk : Tampak datar, simetris
Pemeriksaan paru :
Inspeksi : Bentuk dan gerak dada simetris, tidak ada retraksi.
Palpasi : Fremitus vokal dan raba simetris, tidak ada nyeri tekan
Perkusi : Sonor di kedua paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler, tidak ada ronkhi dan wheezing.
Pemeriksaan jantung :
Inspeksi : Tidak tampak iktus cordis
Palpasi : Iktus cordis dan thrill tak teraba
23
Perkusi : Batas kanan ICS II-IV LPS kanan, batas kiri ICS V LMK kiri
Auskultasi : S1 dan S2 tunggal, bising jantung tidak ada
Pemeriksaan Abdomen :
Inspeksi : Permukaan datar,tidak tampak spider nevi pada abdomen
Palpasi : Nyeri tekan perut kanan atas (+), nyeri lepas tekan (+), hepar
teraba 3 jari di bawah arcus costa ( konsistensi kenyal, permukaan rata, tepi
tumpul )
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ascites : (-)
Ekstremitas
Superior : Hangat, edema (-), refleks fisiologis positif, refleks patologis
negatif, tidak ada parese, tak tampak palmar eritema pada kedua telapak
tangan.
Inferior : Hangat, edema (-), refleks fisiologis positif, refleks patologis
negatif, tidak ada parese
Tulang Belakang
Tidak ada deformitas, kifosis, lordosis, dan skoliosis
Parameter
Hemoglobin
Lekosit
Eritrosit
Hematokrit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
RDW-CV
Gran
LABORATORIUM
HEMATOLOGI
22 APRIL 2014
10,9
8,3
4,00
34,1
237
85,4
27,2
31,9
14,0
HITUNG JENIS
%
46,4
#
3,9
24
Nilai Normal
(Satuan)
12,0-16,0 g/dl
4,0-10,5 ribu/ul
4,5-6 juta/ul
42-52 vol %
150-450 ribu/ul
80-97 fl
27-32 pg
32-38 %
11,5-14,7 %
Limfosit
40,5
3,4
PROTHROMBIN TIME
PT
12,6
Kontrol normal PT
11,4
APTT
25,3
Kontrol normal
26,1
APTT
INR
1,10
GDS
SGOT
SGPT
GULA DARAH
59
HATI
45
20
<200 mg/dl
0-46 U/l
0-45 U/l
Bilirubin total
1,47
0,20-1,20 mg/dl
Bilirubin direk
0,97
0,00-0,40 mg/dl
Bilirubin indirek
0,51
0,20-0,60 mg/dl
7
0,7
10-50 mg/dl
0,6-1,2 mg/dl
135,5
3,4
97,8
135-146 mmol/l
3,4-5,4 mmol/l
95-100 mmol/l
GINJAL
Ureum
Kreatinin
ELEKTROLIT
Na
K
Cl
Parameter
Hemoglobin
Lekosit
Eritrosit
Hematokrit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
RDW-CV
Gran
Limfosit
LABORATORIUM
HEMATOLOGI
13 Mei 2014
13,1
16,4
4,64
39,4
288
85,9
28,2
32,9
16,0
HITUNG JENIS
%
74,9
14,5
#
12,28
2,4
25
Nilai Normal
(Satuan)
12,0-16,0 g/dl
4,0-10,5 ribu/ul
4,5-6 juta/ul
42-52 vol %
150-450 ribu/ul
80-97 fl
27-32 pg
32-38 %
11,5-14,7 %
Kolelitiasis ukuran 9 mm
26
Follow Up
Pemeriksaan
Hari Perawatan
I
II
III
IV
VI
VII
VIII
IX
Subyektif
Nyeri perut
Mual/Muntah
+/-
+/-
+/-
-/-
-/-
+/-
-/-
-/-
-/-
-/-
Obyektif
TD (mmHg)
120/80
120/70
120/80
120/80
120/80
120/70
110/80
110/60
120/80
120/80
N (x/menit)
84
86
84
87
80
80
80
82
84
83
RR (x/menit)
23
22
24
26
20
20
20
20
22
24
T (Celcius)
36,8
36,9
36,8
36,6
36,5
36,7
36,6
36,7
36,8
37,1
GCS
4-5-6
4-5-6
4-5-6
4-5-6
4-5-6
4-5-6
4-5-6
4-5-6
4-5-6
4-5-6
Drain
NGT
DC
Assesment
Abses hepar dengan kolesistitis
Planning
Inj. Metronidazole
3x500 mg
IVFD NaCl 0,9%
30 tpm
Inj. Ceftriaxone 2 x
1 gr
Inj. Metamizole Na
2 x 50mg
Asam
mefenamat
3x500 mg
PO. Curcuma 1x1
tab
Inj. Ranitidin
2 x 1 amp
27
Pemeriksaan
Hari Perawatan
XI
XII
XIII
XIV
XV
XVI
XVII
XVIII
XIX
XX
Subyektif
Nyeri perut
Mual/Muntah
-/-
-/-
-/-
-/-
-/-
-/-
-/-
-/-
-/-
-/-
Obyektif
TD (mmHg)
120/80
110/70
120/80
120/80
120/80
120/70
110/80
110/70
120/80
120/80
N (x/menit)
82
86
85
87
80
85
85
82
83
83
RR (x/menit)
23
22
24
26
20
22
22
20
22
24
T (Celcius)
36,8
36,8
36,7
36,6
36,5
36,7
36,6
36,7
36,8
36,5
GCS
4-5-6
4-5-6
4-5-6
4-5-6
4-5-6
4-5-6
4-5-6
4-5-6
4-5-6
4-5-6
Drain
NGT
DC
Assesment
Abses hepar dengan kolesistitis
Planning
Inj. Metronidazole
3x500 mg
IVFD NaCl 0,9%
30 tpm
Inj. Ceftriaxone 2
x 1 gr
Inj.
Metamizole
Na 2 x 50mg
Asam mefenamat
3x500 mg
PO. Curcuma 1x1
tab
Inj. Ranitidin
2 x 1 amp
28
Pemeriksaan
Hari Perawatan
XXI
XXII
XXIII
XXIV
XXV
XXVI
POD I
POD II
POD III
POD IV
POD V
Pasien BLPL
Subyektif
Nyeri perut
Mual/Muntah
-/-
-/-
-/-
-/-
-/-
-/-
Obyektif
TD (mmHg)
120/80
120/70
120/80
120/80
120/80
120/70
N (x/menit)
84
86
84
87
80
80
RR (x/menit)
23
22
24
26
20
20
T (Celcius)
36,8
36,9
36,8
36,6
36,5
36,7
GCS
4-5-6
4-5-6
4-5-6
4-5-6
4-5-6
4-5-6
Drain
Lepas
drain
NGT
DC
Lepas
DC
Assesment
Post laparatomi + drainage abses + kolesistektomi a/i absees hepar dengan kolesistitis
Planning
Inj. Metronidazole
3x500 mg
IVFD NaCl 0,9%
30 tpm
Inj. Ceftriaxone 2 x
1 gr
29
Inj. Metamizole Na
D5
Minum sedikit-
Diet cair
Diet
Diet
Diet
sedikit
30 cc/jam
lunak
lunak
lunak
2 x 50mg
Asam
mefenamat
3x500 mg
PO. Curcuma 1x1
tab
Inj. Ranitidin
2 x 1 amp
IVFD
RL:
2000cc/ 24 jam
mg
Diet
30
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien masuk dengan keluhan utama nyeri di perut bagian kanan atas.
Banyak penyakit yang dapat menimbulkan nyeri perut kanan atas, antara lain
abses hepar, hepatoma, kolesistitis, dan lain lain. Pada kasus ini, diketahui
bahwa pasien mengalami nyeri perut kanan atas seperti tertusuk-tusuk, tembus ke
belakang dan bertambah berat saat beraktivitas atau ditekan. Nyeri dirasa
berkurang pada posisi membungkuk. Pasien juga mengalami demam 26 hari
sebelum masuk rumah sakit yang hilang timbul, menggigil (-) dan turun dengan
obat penurun panas. Semenjak sakit, nafsu makan pasien berkurang. Dari
pemeriksaan fisis didapatkan tanda vital: TD = 120/80 mmHg, nadi: 84x/menit,
pernapasan: 23x/menit, suhu: 36,8 0C. Pada pemeriksaan abdomen, didapatkan
kesan perut datar, NT (+) di regio hipokondrium dextra, hepar teraba 3 jari di
bawah arcus costa ( konsistensi kenyal, permukaan rata, tepi tumpul ), dan
peristaltik (+) kesan normal.
Dari pemeriksaan USG Abdomen didapatkan hasil : ukuran hepar membesar,
tampak area hipoechoic dengan internal echo didalamnya (Volume 443 cc), di
lobus kanan hepar. Tampak penebalan gallbladder dengan kesan abses hepar
dengan kolesistitis. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan
bilirubin total dan bilirubin direk, SGOT dan SGPT dalam batas normal. Dari
hasil anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan
radiologi, pasien kini lebih diarahkan dengan diagnosis abses hepar dengan
kolesistitis.
31
Abses hepar adalah bentuk infeksi pada hepar yang disebabkan oleh karena
infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem
gastrointestinal
yang
ditandai
dengan
adanya
proses
supurasi
dengan
pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel
darah didalam parenkim hati . Secara umum, abses hati terbagi 2, yaitu abses hati
amebik (AHA) dan abses hati piogenik (AHP). Abses hati amebik disebabkan
oleh Entamoeba histolytica sedangkan organisme yang paling sering ditemukan
sebagai penyebab abses hati piogenik adalah E.Coli, Klebsiella pneumoniae,
Proteus vulgaris, Enterobacter aerogenes dan spesies dari bakteri anaerob (
contohnya Streptococcus Milleri ).1,2,21
Penatalaksaan abses hepar berupa medikamentosa seperti antiamoeba
(khususnya pada abses hepar amebik) dan antibiotik (khususnya pada abses hepar
piogenik), aspirasi, maupun drainase perkutan atau drainase bedah. Antiamoeba
dapat diberikan berupa metronidazole, DHE, maupun chloroquin, sedangkan
untuk antibiotik dapat diberikan penisilin atau sefalosporin ( untuk coccus gram
(+) dan gram (-) yang sensitif), aminoglikosida, klindamisin, dan kloramfenikol (
untuk bakteri anaerob), maupun ampicilin-sulbaktam.(2).
Pasien diberikan terapi berupa Po curcuma 1x1, IVFD NaCl 0,9% sebanyak
30 tpm karena pasien dalam keadaan lemah dan intake kurang sehingga
kemungkinan elektrolit kurang, inj. Metronidazole 3x500 mg, inj. Ceftriaxone 2x1
gr, inj. Metamizole Na 2x500 mg inj. Ranitidin 2x50 mg. Setelah diberikan terapi
ini selama 3 hari nyeri perut kanan atas dan rasa mual dirasakan mulai berkurang
pada hari ke IV perawatan.
32
untuk
mengeluarkan
abses
dan
kolesistektomi.
Drainase
bedah
diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil membaik dengan cara
yang lebih konservatif, kemudian secara teknis susah dicapai dengan aspirasi
biasa. Selain itu, drainase bedah diindikasikan juga untuk perdarahan yang jarang
terjadi tetapi mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa adanya ruptur abses.
Penderita dengan septikemia karena abses amuba yang mengalami infeksi
sekunder juga dicalonkan untuk tindakan bedah, khususnya bila usaha dekompresi
perkutan tidak berhasil. (1,2)
Pada pasien ini juga dilakukan kolesistektomi. Kolesistektomi merupakan
terapi pilihan bagi sebagian besar pasien kolesistitis. Di sebagian besar sentra
kesehatan, angka mortalitas untuk kolesistektomi darurat mendekati 3 %,
sementara resiko mortalitas untuk kolesistektomi elektif mendekati 0,5 % pada
33
pasien berusia kurang dari 60 tahun. Tentu saja, resiko operasi meningkat seiring
dengan adanya penyakit pada organ lain akibat usia dan dengan adanya
komplikasi jangka pendek atau jangka panjang penyakit kandung empedu. Pada
pasien kolesistitis yang sakit berat atau keadaan umumnya lemah dapat dilakukan
kolesistektomi dan drainase selang terhadap kandung empedu. Kolesistektomi
elektif kemudian dapat dilakukan pada lain waktu.24
Walaupun intervensi bedah tetap merupakan terapi utama untuk kolestasis
akut dan komplikasinya, mungkin diperlukan periode stabilisasi di rumah sakit
sebelum kolesistektomi. Pengobatan umum termasuk istirahat total, perbaiki
status hidrasi pasien, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, koreksi elektrolit,
obat penghilang rasa nyeri. Pemberian antibiotik pada fase awal sangat penting
untuk mencegah komplikasi seperti peritonitis, kolangitis dan septisemia.
Golongan ampisilin, sefalosporin dan metronidazol cukup memadai untuk
mematikan kuman kuman yang umum terdapat pada kolesistitis akut seperti E.
Coli, Strep. faecalis dan Klebsiela, namun pada pasien diabetes dan pada pasien
yang memperlihatkan tanda sepsis gram negatif, lebih dianjurkan pemberian
antibiotik kombinasi. 10
Berdasarkan hasil laboratorium yang ditemukan pada pasien tidak terdapat
peningkatan enzim enzim hati (SGOT dan SGPT) yang menunjukkan tidak
terjadinya gangguan fungsi hepar.. Pada pemeriksaan fisis, didapatkan nyeri pada
regio hipokondrium dextra, hal ini disebabkan oleh peregangan kapsula Glison
pada hepar sebagai akibat adanya abses. Selanjutnya, pemeriksaan yang menjadi
standar emas untuk penegakan diagnosis abses hepar adalah melalui kultur darah
yang memperlihatkan bakteri penyebab. Pada pemeriksaan pus, bakteri penyebab
34
35
BAB V
PENUTUP
Telah dilaporkan pasien atas nama Tn. S yang datang ke IGD pada tanggal 22
april 2014 dengan keluhan nyeri perut kanan atas 22 hari SMRS. Nyeri berawal
dari perut kanan atas seperti ditusuk-tusuk, hilang timbul, tembus kebelakang dan
menjalar ke daerah ulu hati. Rasa sakit bertambah bila penderita beraktivitas dan
berkurang dengan posisi membungkuk. Sakit kepala (-), pusing (-), demam (-),
mual (+), muntah (-), nafsu makan menurun, batuk (-), sesak (-), riwayat demam
(+) 26 hari SMRS turun dengan obat penurun panas, menggigil (-), nyeri dada (). Pasien sempat dirawat di RS Rantau tetapi keluhan tidak menghilang. Pasien
kemudian dirujuk ke RSUD Ulin Banjarmasin. Dari hasil pemeriksaan fisik dan
penunjang ditentukan diagnosisnya abses hepar dengan kolesistitis. Pada pasien
dilakukan laparatomi eksplorasi, drainage abses, dan kolesistektomi. Pasien
membaik dan diperbolehkan pulang pada hari perawatan ke 5 setelah operasi
dengan diagnosis Post laparatomi + drainage abses + kolesistektomi a/i abses
hepar dengan kolesistitis.
36
DAFTAR PUSTAKA
1. Wenas,Nelly Tendean. Waleleng,B.J. Abses hati piogenik. Dalam :
Sudoyo,Aru W. Setiyohadi,Bambang. Alwi,Idrus. Simadibrata,Marcellus.
Setiati,Siti. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I edisi IV. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007. Hal 460-461.
2. Sofwanhadi, Rio. Widjaja, Patricia. Koan, Tan Siaw. Julius. Zubir, Nasrul.
Anatomi hati. Gambar tomografi dikomputerisasi (CT SCAN). Magnetic
resonance imaging (MRI) hati. Abses hati. Penyakit hati parasit. Dalam :
Sulaiman, Ali. Akbar, Nurul. Lesmana, Laurentius A. Noer, Sjaifoellah M.
Buku ajar ilmu penyakit hati edisi pertama. Jakarta : Jayabadi. 2007. Hal
1, 80-83, 93-94, 487-491, 513-514.
3. McPhee SJ, Papadakis MA, Tierney LM, Current Medical Diagnosis &
Treatment. McGraw Hill: Lange. 2009.
4. Sudoyo W. Aru, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I Edisi IV. EGC. Jakarta. 2009.
5. Guyton, Arthur C. Hall, John E. Hati sebagai suatu organ. Dalam : Buku
ajar fisiologi kedokteran edisi 11. Jakarta : EGC. 2008. Hal 902-906.
6. Lindseth, Glenda N. Gangguan hati, kandung empedu, dan pankreas.
Dalam : Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. Patofisiologi konsep klinis
proses-proses penyakit vol.1 edisi 6. Jakarta : EGC. 2006. Hal 472-476.
7. Sherwood, Lauralee. Sistem pencernaan. Dalam : Fisiologi manusia dari
sel ke sistem edisi 2. Jakarta : EGC. 2001. Hal 565.
8. Keshav, Satish. Structure and function. In : The gastrointestinal system at
a glance. United Kingdom : Ashford Colour Press, Gosport. 2004. Chapter
27-28.
9. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Dasar Dasar
Penyakit. EGC. Jakarta. 2006.
10. Isselbacher, KJ, Braunwald E, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL. Harrison:
Prinsip Harrison. Prinsip Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Editor
BahasaIndonesia: Prof. Dr. H. Ahmad H. Asdie. Edisi 13. EGC. Jakarta.
2009.
37
JM.
Physical
and
metabolic
factors
in
gallstone
38
22. Towfigh S, McFadden DW, Cortina GR, et al. Porcelain gallbladder is not
associated with gallbladder carcinoma. Am Surg. Jan 2010;67(1):7-10.
23. European Medicine Agency. Assessment report on Curcuma xanthorrhiza
Roxb. (C. xanthorrhiza D. Dietrich)., rhizoma. European Medicines
Agency 2013; 14(5): 122-35
24. Mutignani M, Iacopini F, Perri V, et al. Endoscopic gallbladder drainage
for acute cholecystitis: technical and clinical results. Endoscopy. Jun
2009;41(6):539-46.
39