Vous êtes sur la page 1sur 12

Persiapan Perioperatif pada Pasien Dewasa Normal

Gladys Irma Hartono


102011191
gladyshartono@yahoo.com
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara 6, Jakarta Barat

Pendahuluan
Pasien yang akan menjalani operasi harus melewati tahapan preoperatif. Hal ini
merupakan mekanisme standar awal yang digunakan oleh ahli atau bagian anestesi. Kesalahan
atau kegagalan dalam tahapan ini dapat meningkatkan resiko yang ditanggung oleh pasien baik
saat premedikasi maupun saat operasi dilakukan. Dokter spesialis anestesi harus mengumpulkan
data yang berhubungan dengan risiko tindakan anestesi dan operasi agar persiapan dan tindakan
anestesi dapat disesuaikan dengan risiko tersebut.

Persiapan preoperatif
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif maupun darurat harus
dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan anestesi dan pembedahan sangat dipengaruhi oleh
persiapan preoperatif. Kunjungan preoperatif pada bedah elektif umumnya dilakukan 1 2 hari
sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih singkat.
Kunjungan preoperatif bertujuan untuk:
1. Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan melakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
2. Merencanakan dan memilih teknik serta obat obat anestesi, premedikasi, obat atau alat
resusitasi yang sesuai dengan keadaan fisik dan kehendak pasien, sehingga komplikasi
yang mungkin terjadi dapat ditekan seminimal mungkin sehingga mengurangi biaya atau
cost pengobatan.
3. Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik, dalam hal ini dipakai
klasifikasi ASA (America Society of Anesthesiology) sebagai gambaran prognosis pasien
secara umum.
4. Menjelaskan resiko anestesi pada pembedahan dan mengurangi rasa cemas pasien dan
keluarganya.1,2
1

Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau keluarga pasien
(alloanamnesis). Yang harus diperhatikan pada anamnesis antara lain:
1. Identitas pasien (nama, umur, alamat, pekerjaan, berat badan, tinggi badan)
2. Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat menjadi penyulit
dalam anestesi. Tanyakan pada pasien riwayat operasi dan anestesi yang terdahulu,
apakah pasien mengalami komplikasi saat itu seperti kesulitan pulih sadar, perawatan
intensif pasca bedah, penyakit serius yang pernah dialami, juga mengenai riwayat
diabetes mellitus, penyakit hati, hemoglobinopati, penyakit kardiovaskuler atau sistem
pernafasan. Sehubungan dengan keadaan pasien sekarang, perlu juga ditanyakan toleransi
terhadap olahraga, batuk kronik, dan sesak nafas.
3. Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin menimbulkan
interaksi.
4. Riwayat alergi terhadap obat-obatan tertentu terutama obat anestesi pada pasien maupun
keluarganya.
5. Riwayat kebiasaan pasien, seperti merokok, minum alkohol atau mengonsumsi narkotika.
Perlu ditanyakan juga makanan dan minuman yang terakhir dimakan pasien karena dapat
mempengaruhi waktu pengosongan lambung.1,2

Pemeriksaan fisik yang harus dilakukan antara lain pemeriksaan tanda-tanda vital, tinggi
dan berat badan, keadaan umum, dan kesadaran. Perhatikan juga jalan nafas bagian atas dan
pikirkan bagaimana penatalaksanaannya selama anestesi. Apakah jalan nafas mudah tersumbat,
apakah intubasi akan sulit atau mudah, apakah pasien ompong atau memakai gigi palsu atau
mempunyai rahang yang kecil yang akan mempersulit laringoskopi. Apakah ada gangguan
membuka mulut atau kekakuan leher, apakah pembengkakan abnormal pada leher yang menekan
dorong saluran nafas bagian atas.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan harus disesuaikan dengan masalah pada pasien
yang ditemukan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Rontgen thoraks tidak diperlukan jika
tidak ada gejala abnormal pada dada, tapi pemeriksaan Hb dan Ht sebaiknya rutin dilakukan
pada pasien yang akan menjalani anestesi umum.1 Pemeriksaan laboratorium yang dapat
dilakukan antara lain pemeriksaan darah lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal, serum elektrolit, dan

faal hemostasis. Dapat juga dilakukan pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) dan radiologi jika
dibutuhkan.
Berdasarkan

status

fisik

pasien

preanestesia,

ASA

(American

Society

of Anesthesiologist) membuat klasifikasi yang membagi pasien ke dalam 6 kelompok sebagai


berikut:2
Tabel 1: Klasifikasi Status Pasien Preoperatif Menurut American Society of Anesthesiologist2

Kelompok

Keterangan

ASA 1

Pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan


operasi

ASA 2

Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai


sedang baik karena penyakit bedah maupun
penyakit lainnya. Tidak ada keterbatasan
fungsional.

ASA 3

Pasien
sistemik

dengan

gangguan

sedang

atau

hingga

berat

penyakit
yang

menyebabkan keterbatasan fungsi


ASA 4

Pasien dengan penyakit sistemik berat yang


mengancam hidup dan menyebabkan ketidak
mampuan fungsi

ASA 5

Pasien yang tidak dapat bertahan hidup dalam


24 jam dengan atau tanpa operasi

ASA 6

Pasien mati otak yang organ tubuhnya dapat


diambil untuk donor

Setelah anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dilakukan dan telah
diperoleh gambaran tentang keadaan pasien secara umum beserta masalah-masalah yang ada,
selanjutnya dibuat rencana pemberian obat dan teknik anestesi yang digunakan. Dengan
perencanaan anestesi yang tepat, kemungkinan terjadinya komplikasi sewaktu pembedahan dan
pasca bedah dapat dihindari. Rencana anestesi meliputi:

1. Medikasi preanestesi
2. Jenis anestesi
Jika dilakukan anestesi umum, perhatikan manajemen jalan napas (airway), pemberian
obat induksi, rumatan dan pelemas otot. Jika anestesi yang diberikan anestesi regional,
perhatikan teknik dan zat anestesi yang digunakan.
3. Monitoring intraoperasi
Perhatikan kebutuhan cairan, tanda vital, bising usus dan kesadaran pasien.
4. Monitoring pasca operasi
Meliputi pengendalian nyeri dan pengawasan hemodinamik.2

Persiapan pada hari operasi


Persiapan yang pertama dilakukan adalah pengosongan saluran pencernaan. Pengosongan
lambung sebelum anestesi penting untuk mencegah aspirasi isi lambung ke paru karena
regurgitasi dan muntah. Pada pembedahan elektif, pengosongan lambung dilakukan dengan
puasa, pada pasien dewasa puasa 6-9 jam, pada bayi/anak dipuasakan 3-4 jam. Pada pembedahan
darurat, pengosongan lambung dapat dilakukan lebih aktif dengan cara merangsang muntah,
memasang pipa nasogastrik atau memberi obat yang menyebabkan muntah seperti apomorphin.
Cara-cara ini tidak nyaman bagi pasien sehingga jarang sekali dilakukan. Cara lain yang dapat
ditempuh adalah menetralkan asam lambung dengan memberi antasida (magnesium trisilikat)
atau antagonis reseptor H2 (cimetidin, ranitidine atau famotidin). Pemberian obat pencahar
umumnya dilakukan pada laparotomi eksplorasi. Komplikasi penting yang harus dihindari
kerena puasa adalah hipoglikemia atau dehidrasi, terutama pada bayi, anak, dan pasien geriatrik.3
Kedua, benda-benda seperti gigi palsu, bulu mata palsu, cincin, gelang harus ditinggalkan
dan bahan kosmetik seperti lipstick, cat kuku harus dibersihkan agar tidak menggangu
monitoring selama anestesi, misalnya pemeriksaan sianosis.
Ketiga, kandung kemih harus kosong, bila perlu dilakukan kateterisasi.
Keempat, Pasien masuk ke dalam kamar bedah dengan memakai pakaian khusus,
diberikan tanda atau label, terutama untuk bayi. Periksa sekali lagi apakah pasien atau keluarga
sudah memberikan izin pembedahan secara tertulis (informed consent).1.3

Medikasi preanestesi
Dengan kemajuan teknik anestesi sekarang, tujuan utama pemberian medikasi preanestesi
tidak hanya untuk mempermudah induksi dan mengurangi jumlah obat-obat yang digunakan,
akan tetapi terutama untuk menenangkan pasien sebagai persiapan anestesi. Kini obat
premedikasi ringan banyak digunakan, agar masa pemulihan setelah pembedahan singkat. Selain
itu ditekankan agar obat-obat yang digunakan sesuai dengan kebutuhan masing-masing pasien
oleh karena kebutuhan tiap-tiap pasien berbeda.
Manfaat dari pemberian medikasi preanestesi adalah memberikan rasa nyaman pada
pasien dengan efek analgesik dan anestesia, memperlancar induksi, mengurangi jumlah obat
anestesi, menekan reflex yang tidak diinginkan, serta mengurangi timbulnya hipersalivasi,
bradikardi, mual, dan muntah pasca anestesi.1,2,3
Obat yang dapat diberikan sebagai medikasi preanestesi adalah:
1. Analgesik narkotik
Morfin dan pethidin merupakan narkotik yang paling sering digunakan untuk
premedikasi. Keuntungan penggunaan obat ini ialahmemudahkan induksi, mengurangi
kebutuhan obat anestesi, menghasilkan analgesi pra dan pasca bedah, memudahkan
melakukan pemberian pernapasan buatan, dan dapat diantagonisir dengan naloxon.
Narkotik ini dapat menyeabkan vasodilatasi perifer, sehingga dapat menyebaabkan
hipotensi ortostatik. Hal ini akan lebih berat lagi bila digunakan pada pasien dengan
hipovolemia. Berlawanan dengan barbiturate, narkotik ini dapat menyebabkan depresi
pusat pernapasan di medulla yang dapat ditunjukkan dengan turunnya respon terhadap
CO2. Efek mual dan muntah menunjukkan adanya stimulasi narkotik pada pusat muntah
di medulla.2
2. Barbiturate
Keuntungan penggunaan obat ini ialah dpat menimbulkan sedasi, efek terhadap depresi
respirasi minimal (ini dibuktikan dengan tidak berubahnya respon ventilasi terhadap
CO2), depresi sirkulasi minimal dan tidak menimbulkan efek mual dan muntah. Obat ini
efektif bila diberikan peroral. Kerugian penggunaan barbiturate termasuk tidak adanya
efek analgesia, terjadinya disorientasi terutama pada pasien yang kesakitan, serta tidak
ada antagonisnya. Barbiturate merupakan kontraindikasi untuk pasien dengan akut
intermitten porphyria.2,3
5

3. Hipnotik Sedatif
Golongan ini sangat spesifik untuk menghilangkan rasa cemas. Diazepam bekerja pada
menghasilkan efek anti anxiety yang selektif pada dosis yang tidak menimbulkan sedasi
yang berlebihan, depresi napas, mual dan muntah, serta memiliki antagonis yaitu
flumazenil. Kerugian penggunaan diazepam untuk premedikasi ini ialah kadang-kadang
pada orang tertentu dapat menyebabkan sedasi yang berkepanjangan. Selain itu, ada juga
obat golongan benzodiazepine lain yang larut dalam air dan cepat diabsorbsi setelah
pemberian intramuscular, yaitu midazolam. Keuntungan obat ini adalah waktu paruh
yang lebih singkat dibanding diazepam.2,3
4. Neuroleptik
Dapt digunakan droperidol. Keuntungan sangat besar dari penggunaan obat ini ialah efek
anti emetic yang sangat kuat, dan bekerja secara sentral pada pusat muntah di medulla.
Droperidol juga mempunyai efek blockade terhadap dopaminergik reseptor sehingga
dapat menimbulkan gejala extrapiramidal pada psien yang normal. Selain itu juga
mempunyai efek alpha adrenergic antagonis yang ringan, sehingga menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah perifer. Efek ini dapat digunakan pada pasien hipertermi
sebelum diberikan kompres basah seluruh tubuh. Namun perlu di ingat akan terjadinya
relative hipovolemia. Pada pasien dengan riwayat alergi / rhinitis vasomotorika sebaiknya
penggunaan obat ini dihindari.2,3
5. Antikolinergik
Dapat diberikan atropin. Atropin mempunyai efek kompetitif inhibitor terhadap efek
muskarinik dari asetylcholin. Diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah dan
bronkus. Efek samping yang diketahui antara lain hipotensi, bradikardi dan retensi urin.2,3

Induksi anestesi dan rumatan


Pada anestesi, dikenal stadium anestesi umum atau stadium Guedel yang membagi
anestesi umum dengan eter dalam 4 stadium (stadium III dibagi menjadi 4 plana), yaitu:3
1. Stadium I (analgesi), dimulai dari saat pemberian zat anestetik sampai hilangnya
kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesi
(hilangnya rasa sakit). Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi
kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini.
6

2. Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya kesadaran dan refleks


bulu mata sampai pernapasan kembali teratur. Pada stadium ini terlihat adanya eksitasi
dan gerakan yang tidak menurut kehendak, pasien tertawa, berteriak, menangis,
menyanyi, pernapasan tidak teratur, kadang-kadang apne dan hiperpnu, tonus otot rangka
meningkat, inkontinensia urin dan alvi, muntah, midriasis, hipertensi serta takikardia.
stadium ini harus cepat dilewati karena dapat menyebabkan kematian.3
3. Stadium III (pembedahan) dimulai dengan teraturnya pernapasan sampai pernapasan
spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4 plana yaitu:
a. Plana 1: Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi gerakan
bola mata yang involunter, refleks cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks faring
dan muntah tidak ada dan belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna
(tonus otot mulai menurun).
b. Plana 2: Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak menurun,
frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi di tengah, pupil
midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks laring
hilang sehingga dapat dikerjakan intubasi.3,4
c. Plana 3: Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis,
lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring dan peritoneum
tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempurna (tonus otot semakin menurun).
d. Plana 4: Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis total,
pupil sangat midriasis; refleks cahaya hilang, refleks sfingter ani dan kelenjar air
mata tidak ada, relaksasi otot lurik sempurna (tonus otot sangat menurun).3,4
4. Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan melemahnya pernapasan perut
dibanding stadium III plana 4. Pada stadium ini tekanan darah tak dapat diukur, denyut
jantung berhenti, dan akhimya terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan pada stadium
ini tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan.3,

Induksi adalah usaha membawa pasien dari kondisi sadar ke stadium pembedahan atau
stadium Guedel III dan melewati stadium II dalam waktu sesingkat mungkin. Induksi dapat
diberikan secara inhalasi atau intravena.

Anestesi inhalasi memiliki keuntungan yaitu dpaat diberikan dan diserap secara
terkontrol dan cepat karena diserap serta dikeluarkan melalui paru. Faktor utama yang
menentukan kecepatan induksi dan pemulihan adalah kelarutan zat inhalasi dalam darah.
Semakin rendah kelarutannya, semakin cepat masa induksi dan pemulihan.
Konsentrasi alveolar minimal (KAM) atau MAC (Minimum Alveolar Concentration)
ialah kadar minimal zat tersebut dalam alveolus pada tekanan 1 atmosfir yang diperlukan untuk
mencegah gerakan pada 50% pasien yang dilakukan insisi standar. Pada umumnya immobilisasi
tercapai pada 95% pasien, jika kadarnya dinaikkan di atas 30% nilai KAM. Dalam keadaan
seimbang tekanan parsial zat anestetik dalam alveoli sama dengan tekanan zat dalam darah dan
otak tempat kerja obat.3,4
Anestesi inhalasi yang umum digunakan untuk praktek klinik ialah N2O, halotan,
enfluran, isofluran, desfluran, dan sevofluran.
Pemakaian obat anestetik intravena, dilakukan untuk : induksi anesthesia, induksi dan
pemeliharaan anesthesia bedah singkat, suplementasi hypnosis pada anesthesia atau tambahan
pada anelgesia regional dan sedasi pada beberapa tindakan medik atau untuk membantu prosedur
diagnostik misalnya tiopental, ketamin dan propofol. Untuk anestesia intravena total biasanya
menggunakan propofol. Anestesi intravena ideal membutuhkan kriteria yang sulit dicapai oleh
hanya satu macam obat yaitu larut dalam air dan tidak iritasi terhadap jaringan, mula kerja cepat,
lama kerja pendek, cepat menghasilkan efek hypnosis, mempunyai efek analgesia, disertai oleh
amnesia pascaanestesia, dampak yang tidak baik mudah dihilangkan oleh obat antagonisnya,
cepat dieliminasi dari tubuh, tidak atau sedikit mendepresi fungsi respirasi dan kardiovaskuler,
pengaruh farmakokinetik tidak tergantung pada disfungsi organ, tanpa efek samping (mual
muntah), menghasilkan pemulihan yang cepat. Untuk mencapai tujuan di atas, kita dapat
menggunakan kombinasi beberapa obat atau cara anestesi lain. Kombinasi beberapa obat
mungkin akan saling berpotensi atau efek salah satu obat dapat menutupi pengaruh obat yang
lain.4
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah terpasang jalur
vena, karena cepat dan menyenangkan. Obat induksi bolus disuntikan dalam kecepatan 30-60
detik. Selama induksi anesthesia, pernapasan pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan
selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.

Anestesi intravena yang dapat digunakan antara lain golongan barbiturate (tiopenthal,
pentothal), propofol, ketamin, dan golongan benzodiazepine (midazolam).
Relaksasi otot lurik dapat dicapai dengan mendalamkan anesthesia umum inhalasi,
melakukan blockade saraf regional dan memberikan pelumpuh otot. Pendalaman anesthesia
beresiko depresi napas dan depresi jantung, blockade saraf sehingga terbatas penggunaannya.
Oleh karena itu, diberikan obat pelumpuh otot sebagai adjuvant. Ada 2 jenis pelumpuh otot,
yaitu depolarisasi dan non depolarisasi. Pelumpuh otot depolarisasi (nonkompetitif, leptokurare)
bekerjanya seperti asetil-kolin, tetapi di celah saraf otot tak dirusak oleh kolinesterase, sehingga
cukup lama berada di celah sinaptik, sehingga terjadilah depolarisasi ditandai oleh fasikulasi
yang disusul relaksasi otot lurik. Termasuk golongan pelumpuh otot depolarisasi ialah suksinilkolin (diasetil-kolin) dan dekametonium. Efek sampingnya antara lain hiperkalemia, myalgia
pasca operasi, dan malignant hyperthermia.3,5
Pelumpuh otot nondepolarisasi (inhibitor kompetitif, takikurare) berikatan dengan
reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tak menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin tak dapat bekerja. Contohnya adalah pancuronium,
atracurium.3,5
Rumatan anestesi adalah menjaga tingkat kedalaman anestesi dengan cara mengatur
konsentrasi obat anestesi di dalam tubuh pasien. Jika konsentrasi obat tinggi maka akan
dihasilkan anestesi yang dalam, sebaliknya jika konsentrasi obat rendah, maka akan didapat
anestesi yang dangkal. Anestesi yang ideal adalah anestesi yang adekuat. Untuk itu diperlukan
pemantauan secara ketat terhadap indikator-indikator kedalaman anestesi.
Rumatan anesthesia (maintenance) dapat dikerjakan dengan secara intravena (anesthesia
intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi.3,5

Monitoring intraoperasi
Dari skenario diketahui bahwa pasien wanita usia 25 tahun dengan berat badan 50 kg.
Hasil pemeriksaan fisik ditemukan pembesaran tonsil T3-T3, sedangkan pemeriksaan lain
normal. Untuk menentukan kebutuhan cairan yang diperlukan, diperlukan data pasien telah
dipuasakan berapa jam. Cairan yang digunakan adalah kristaloid, seperti NaCl, Ringer Laktat
atau Ringer Asetat. Yang pertama dihitung defisit cairan, misal pasien dipuasakan selama 8 jam
dan cairan maintenance yang dibutuhkan tiap jamnya
9

Defisit cairan dan kebutuhan maintenance selama operasi dapat dihitung dengan rumus di
bawah ini (misal, pasien telah dipuasakan 8 jam):
Defisit cairan = 1,5 ml/kgBB/jam
= 1,5 x 50 x 8
= 600 ml

Maintenance = 1,5 ml/kgBB x 1 jam


= 1,5 ml x 50
= 75 ml

Cairan diberikan dalam 1 jam pertama, dalam 1 jam kedua, dalam 1 jam ketiga,
sisanya diberikan cairan maintenance.1 Jadi pada kasus ini diberikan:

Jam 1: x 600 ml + 75 ml = 375 ml

Jam 2: x 600 ml + 75 ml = 225 ml

Jam 3: x 600 ml + 75 ml = 225 ml

Jam 4 dan seterusnya: 75 ml

Tapi perlu juga dilihat apakah terjadi kehilangan darah pada saat operasi. Perbandingan
darah yang hilang dengan cairan koloid yang digunakan sebagai pengganti adalah 1:3.1
Jika diperlukan, intubasi dilakukan pada saat stadium Guedel II plana 2 karena reflex
laring telah hilang. Sedangkan insisi mulai dilakukan pada stadium II plana 3. Sebisa mungkin
kedalaman anestesi dipertahankan pada stadium tersebut dan jangan mencapai stadium II plana 4
karena dapat terjadi penurunan tekanan darah yang signifikan dan kondisi pasien mudah sekali
masuk ke stadium IV yaitu depresi nafas yang dapat menimbulkan kematian.3
Selain itu, juga perlu dilakukan monitor terhadap hemodinamik pasien yang meliputi
denyut nadi, kualitas denyut, tekanan darah, capillary refill, serta warna dan suhu kulit pasien.1,2
Pertama, periksa secara kontinu jalan nafas pasien. Perhatikan bagaimana pola, suara dan
frekuensi pernafasan. Selanjutnya periksa oksigenasi pasien secara kualitatif dengan
memperhatikan warna mukosa pasien dan memeriksa capillary refill time serta secara kuantitatif
dengan menggunakan pulse oxymetri.

10

Selanjutnya, periksa sirkulasi pasien. Periksa denyut nadi, tekanan darah, dan urine
output secara berkala. Periksa juga suhu tubuh pasien.1,2

Monitoring pasca operasi


Ruang pulih merupakan tempat observasi penderita segera sesudah pembedahan.
Ruangan ini bukanlah tempat untuk rawat inap. Sebaiknya dipilih lokasi yang dekat dengan
kamar bedah sehingga memudahkan dokter anestesi dan dokter bedah keluar masuk untuk
observasi pasien. Setelah pasien tiba di ruang pulih, segera berikan oksigen, bersihkan lendir dari
jalan nafas dan observasi kesadaran, tekanan darah, nadi, output cairan, serta pola dan frekuensi
pernafasan pasien. Pasien boleh keluar dari ruang pulih apabila pasien sadar, tanda vital stabil,
mukosa bibir berwarna merah muda, dan urine output normal. Jika ada masalah yang tidak
teratasi, bawa pasien ke ICU.4,5
Setelah itu lakukan manajemen nyeri dengan pemberian opioid baik secara oral maupun
parenteral. Dosis dapat diatur bergantung pada kebutuhan masing-masing individual. Dapat juga
diberikan obat untuk mengatasi efek dari obat anestesia maupun adjuvantnya yang
berkepanjangan. Untuk mengatasi efek samping opioid dapat diberikan nalokson. Untuk
mengatasi pelumpuh otot dapat diberikan fisostigmin. Untuk mengatasi efek samping
benzodiazepine, terutama pada lansia atau pasien dengan gangguan hati dapat diberikan
flumazenil.3,4,5
Perlu dicek juga keadaan luka bekas operasi dan adanya tanda infeksi seperti demam,
nyeri, eritema, dan munculnya pus. Tiap luka bekas operasi perlu ditutup dengan kasa steril
selama 24 jam. Setelah 24 jam, luka harus diperiksa dua kali sehari. Jika muncul tanda infeksi,
bersihkan luka dan berikan antibiotik sistemik.
Periksa juga urin dan feces output pasien. Retensi urin dan konstipasi dapat terjadi pada
pasien yang mendapat antikolinergik atau opioid. Jika setelah 6-8 jam pasca operasi, masih
terjadi retensi urin dapat dilakukan pemasangan kateter. Untuk mengatasi konstipasi pada pasien
yang bukan merupakan pasien operasi gastrointestinal, dapat diberikan laxative.3,4,5

Penutup
Anestesi secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Obat yang
11

digunakan dalam menimbulkan anesthesia disebut sebagai anestetik, dan kelompok ini
dibedakan dalam anestetik umum dan anestetik lokal. Bergantung pada dalamnya pembiusan,
anestetik umum dapat memberikan efek analgesia yaitu hilangnya sensasi nyeri atau efek
anesthesia yaitu analgesia yang disertai hilangnya kesadaran, sedangkan anestetik lokal hanya
menimbulkan efek analgesia.

Daftar Pustaka
1. Miller DR, Pardo MC. Basics of anesthesia. 6th ed. Philadelphia: Elsevier
Saunders.2011.p.78-81, 319-23.
2. Barash PG, Cullen BF. Clinical anesthesia. 6th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.2009.p.569-72, 670-74.
3. Morgan GE, Mikhail MS. Clinical anesthesiology. New York: Lange Medical
Books.2006.p.117-23, 1001-5.
4. Dobson MB. Penuntun praktis anestesiologi. Jakarta: Penerbit EGC.2004.h.61-7.
5. Boulton TB, Blogg CE. Anestesiologi. Jakarta: Penerbit EGC.2005.h.94-8.

12

Vous aimerez peut-être aussi