Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Disusun oleh:
Nama
: Muhammad Syakir
NIM
: 24121537-2
Mata Kuliah
: Tasawuf
Pembimbing
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Yang Maha Kuasa, kesejahteraan dan keselamatan semoga
senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad saw, beserta keluarga dan para
sahabatnya.
Mata kuliah Tasawuf Islam merupakan salah satu objek mata kuliah yang
diajarkan di Pasca Sarjana dan wajib diambil oleh seluruh mahasiswa Pasca Sarjana
dengan konsentrasi Pemikiran Dalam Islam. Maka oleh karena itu penulis menyusun
makalah ini dengan tujuan memenuhi tugas mata kuliah tersebut.
Dengan berbagai keterbatasan akhirnya makalah ini dapat diselesaikan. Meskipun
demikian penulis sadar bahwa karya in masih sangat jauh dari harapan, maka sangat
diharapkan kritik dan masukan yang kiranya dapat melengkapi kekurangan dari makalah
ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. T. Safir Iskandar Wijaya, MA.,
sebagai Dosen pembimbing makalah ini. Tak lupa juga kepada teman-teman dan pihakpihak yang turut serta membantu mewujudkan makalah ini.
Akhirnya hanya Allah jualah yang menyempurnakan segala sesuatu.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
ii
A. BAB I
Pendahuluan
10
f. Tasawuf abad V
13
14
h. Tasawuf Abad ke VI
19
21
25
C. PENUTUP
Kesimpulan
28
Daftar Pustaka
29
ii
BAB I
SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF DALAM ISLAM
ZAMAN KLASIK, PERTENGAHAN DAN MODERN
a. Pendahuluan
Ajaran islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad mengandung beberapa inti
penting dan akhlak merupakan salah satunya. Nabi diutus kepada manusia untuk
memperbaiki akhlak manusia yang merosot, dekadensi moral serta ketimpangan sosial
yang berkembang pada saat itu.
Akhlak yang merupakan salah satu ajaran fundamental dalam Islam bertujuan untuk
memperbaiki hubungan manusia secara vertikal (hubungan manusia dengan Penciptanya)
dan horizontal (hubungan manusia dengan sesame manusia), bahkan lebih dalam lagi,
Islam dengan pendidikan akhlaknya mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri,
atau hak dan kewajiban yang harus dipenuhi untuk dirinya sendiri.
Dalam perkembangan sejarah Islam, tasawuf memberikan andil yang besar dalam
perkembangan dan penyebaran akhlak Islam. Tasawuf juga memiliki pengaruh yang cukup
kuat di dalam disiplin ilmu Islam lainnya. Ia juga memiliki peranan yang cukup besar dalam
mengungkapkan makna-makna yang terkandung dalam al Quran dan as Sunnah.
Tasawauf telah berhasil menyumbangkan andilnya yang tidak sedikit dalam sejarah
perluasan syiar agama Islam. Ia ikut menaklukan kegarangan bangsa-bangsa yang yang
selama ini masih belum tersentuh Islam atau belum dapat dibangunnya sentral dakwah di
tengah-tengah mereka. Lambat laun kaum sufi berhasil menembus jantung Afrika, dataran
Asia dan hampir merata di kepulauan teduh. Merekalah yang berhasil menempatkan Islam
di hati umat manusia, dengan kelemah lembutan dan kasih sayang yang mereka kedepankan
kepadanya. Merekalah yang berdiri di hadapan umat, mengobati kebobrokan mental, dan
meringankan bencana hidup, serta menyelamatkan anak manusia dari jurang kesesatan dan
kebimbangan. Mereka berani menghadapi para khalifah, juga para pejabat pemerintah,
guna menegakkan keadilan di antara para pemimpin tersebut.
Maka makalah ini disusun dengan tujuan untuk memahami awal kemunculan dan
perkembangan tasawuf sejak zaman klasik, pertengahan dan modern.
1
b. Definisi Tasawuf
Dari hari ke hari, perhatian berbagai lapisan masyarakat terhadap tasawuf semakin
berkembang. Tasawuf yang semula merupakan bentuk pemaknaan terhadap hadits
Rasulullah tentang al Ihsan, dalam perkembangan selanjutnya mengalamai perluasan
penafsiran. Hal ini lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi
perspektif penafsiran dan beberapa indikasi yang paling menonjol dalam praktikpraktiknya.
Ada beberapa pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli mengenai asal kata
tasawuf. Ada yang berpendapat bahwa tasawufberasal dari kata ahl al-suffah, yaitu orangorang yang ikut pindah dengan Nabi dari Mekkah ke Medinah, kehilangan harta benda dan
dalam keadaan miskin, mereka tinggal di mesjid dan tidur di atas batu dengan memakai
pelana sebagai bantal. Pelana ini disebut suffah. Meskipun miskin, ahli suffah berhati
mulia, tidak mementingkan keduniaan, itu merupakan sifat-sifat kaum sufi.1
Dalam kenyataanya, tasawuf sering dipahami sebagai praktik zuhud, yaitu sikap
hidup asketis. Hal ini memang tidak dipungkiri bahwa seorang sufi. Sebab, zuhud hanya
merupakan wasilah atau bentuk upaya penjernihan jiwa dari godaan dunia sehingga mampu
melakukan musyahadah kepada Allah. Dengan demikian, orang yang berpakaian
sederhana, makan sederhana, atau bertempat tinggal di rumah sederhana tidaklah selalu
membuktikan dirinya seorang sufi karena masih ada indicator-indikator lain yang lebih
kompleks.2
Ada yang bependapat bahwa tasawuf berasal dari kata shaf pertama dalam shalat.
Sebagaimana halnya orang yang shalat di shaf pertama akan mendapat kemuliaan dan
pahala, maka demikian juga kaum sufi dimuliakan Allah dan diberi pahala. Dan ada yang
berpendapat bahwa tasawuf berasal dari kata al-Shafayang berarti suci. Seorang sufi
adalah orang yang mensucikan dirinya melalui latihan-latihan yang lama.3
Sophos kata Yunani yang berarti hikmah merupakan asal kata tasawuf. Di dalam
transliterisasi huruf s yang terdapat di dalam kata sophoske dalam Bahasa Arab menjadi
Harun Nasution, Falsafat Islam dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h.57
`2 Sokhi Huda, Tasawuf kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah, Cet. 1, (LKiS Yogyakarta: 2008)
h.21-22
3
Tim Penyusun, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Medan: Proyek PPTA Sumut, 1982), h.9
(sin) dan bukan (shad), sebagaimana halnya kata falsafat dari kata philosophia.
Dengan demikian kata sufi ditulis dengan ( sufi) dan bukan ( shufi).4
Selain itu ada yang menisbahkannya kepada kata shuf ( )yang berarti wol
kasar. Kain yang terbuat dari wol kasar merupakan simbol kesederhanaan dan kemiskinan.
walaupun hidup penuh kesederhanaan dan miskin, mereka berhati suci, tekun beribadah.5
Sayyed hossein Nasr, salah seorang cendikiawan muslim Iran, mengatakan:
Tasawuf seupa dengan nafas yang memberikan hidup. Ia telah memberikan semangatnya
pada struktur Islam, baik dalam perwujudan sosial maupun intelektual. Sedangkan Ibrahim
Madkour mendudukkan tasawuf dalam perimbangan hubungan antara kecenderungan
duniawi dan ukhrawi. Menurutnya, Islam tidak melapangkan dada bagi kependetaan
Masehi dan kesederhanaan Hindu. Islam selalu mengajak berkarya demi meraih dunia dan
menikmati segala kenikmatan hidup yang memang diperbolehkan.
Di tempat lain, Abul Wafa at-Taftazani berpendapat bahwa tasawuf merupakan
usaha mempersenjatai diri dengan nilai-nilai ruhaniah dan sekaligus menegakkannya pada
saat menghadapi kehidupan materialis. Selain itu, tasawuf juga dimaksudkan untuk
merealisasikan keseimbangan jiwa sehingga mampu menghadapi berbagai kesulitan
ataupun masalah hidup lainnya. Sementara Ibrahim Basyuni, menyatakan telah memilih
empat puluh definisi tentang tasawuf yang diambil dari rumusan-rumusan ahli sufi yang
hidup pada abad III (200-334 H.). meskipun definisi tersebut demikian banyak, belum
didapati sebuah definisi yang mencakup pengertian tasawuf secara menyeluruh. Hal ini,
kata Basuni, disebabkan oleh karena para ahli tasawuf itda ada yang memberikan definisi
tentang ilmunya sebagaimana para filsuf. Ahli tasawuf hanya menggambarkan tentang
suatu keadaan yang dialami dalam kehidupan ruhaninya pada waktu tertentu. Menurutnya,
untuk bisa mendapatkan suatu definisi yang universal haruslah bertolak dari definisi yang
banyak itu sehingga terdapat pengertian yang saling melengkapi. Menurut Basyuni,
definisi-definisi yang ada dapat dikelompokkan menjadi tiga tahap.
Pertama, tahap al-bidayah, yaitu definisi yang membicarakan tentang pengalaman
pada tahap awal. Manusia merasakan dengan fitrahnya bahwa yang wujud tidak terbatas
hanya pada yang dilihat, tetapi di balik itu masih ada wujud yang lebih sempurna dan itu
akan selalu dirindukan oleh nurani manusia, dan hatinya akan mendapt ketenangan sesudha
4
5
mengenal-Nya. Ia berusaha untuk mendekatkan diri dan ingat kepada-Nya. Dalam waktu
yang bersamaan, ia merasakan adanya tabir yang memisahkan anatara dirinya dengan
wujud yang sempurna itu. Tabir pemisah itu sedikit demi sedikit akan hilang setiap ia tekun
berpikir mendalami dirinya dan mengurangi keinginan memenuhi nafsu jasmaniahnya.
Pada saat itu, penuhlah hatinya dengan limpahan cahaya yang membangkitkan perasaan
dan kesungguhan serta membawanya pada ketenangan jiwa yang sempurna.
Kedua, tahap al mujahadah, yaitu definisi yang membicarakan tentang pengalaman
ruhani yang menyangkut kesungguhan dan kegiata. Hal ini dilihat dari segi amaliah yang
dilaksanakan ahli sufi, yang dimulai dengan menghiasi diri dengan suatu perbuatan yang
diajarkan agama dan akhlak yang mulia.
Ketiga, tahap al-mazaqah, yaitu definisi yang membicarakan pengalaman dari segi
perasaan. Dalam melaksanakan kehidupan beragama sebagaimana biasa, hubungan
seseorang dengan Tuhan-nya tidak lebih dari hubungan seorang hamba yang menyembah
dengan dengan Tuhan yang disembah, seorang hamba harus tunduk dan taat kepada
perintah dan larangan Tuhan yang diyakininya sebagai Pencipta. Dalam kehidupan
tasawuf, segala kemauan dilebur untuk larut dalam kehendak Tuhan. Umur, kegiatan dan
seluruh perhatian dikerahkan sehingga hubungan itu lebih kuat dan murni.
Maka pada akhirnya, menurut Basyuni dapatlah diambil suatu pengertian bahwa
tasawuf ialah kesadaran murni yang mengarahkan jiwa secara benar kepada amal dan
kegiatan yang sungguh-sungguh, menjauhkan diri dari kehidupan duniawi dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah untuk mendapatkan perasaan berhubungan erat denganNya.6
Tasawuf oleh kaum orientalis disebut dengan sufisme. Sufisme dipakai untuk
mistisisme Islam dan tidak dipakai untuk mistisisme agama-agama lain. Orang yang
pertama kali memakai kata sufi adalah Abu Hasyim al-kufi di Irak (150 H).7
Menurut Harun Nasution8 ada beberapa pendapat yang menyatakan asal usul ajaran
tasawuf, di antaranya berasal dari ajaran Budha dengan paham nirwananya, bahwa untuk
mencapai nirwana seseorang terlebih dahulu harus meninggalkan dunia dan memasuki
hidup kontemplasi. Paham fanyang terdapat dalam sufisme hampir sama dengan paham
nirwana. Dan pendapat yang mengatakan bahwa itu berasal dari ajaran Hindunisme, yang
juga mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan untuk mencapai
persatuan Atman dan Brahman.
Ignaz Goldziher orientalis dari Austria, Asin Palacios orientalis dari Spanyol,
Alfred Von Kremer dari Jerman dan R.A. Nicholson orientalis dari Inggris memandang
bahwa tasawuf Islam berasal dari asketisme Kristen, karena kependetaan Kristen cukup
dikenal oleh orang-orang Arab di sepanjang gurun Suriah dan Sinai. Para pendeta Kristen
yang berdiam di gurun-gurn itu sedikit banyaknya telah memberikan inspirasi kepada
sejumlah zahid9 muslim generasi pertama. Di samping itu kegemaran kaum sufi dalam
menghayati kehidupan kesunyian menampakkan adanya pengaruh mistisisme Kristen. 10
Orientalis lain berpendapat bahwa tasawuf merupakan suatu bagian yang asing
dalam Islam dan berkemungkinan berasal dari pendeta-pendeta di Syam, atau dari ajaran
Plato, dari ajaran Zoroaster di Persia, dari ajaran Weda dalam agama Hindu. Namun tidak
semua orientalis ini yang konsisten dengan pendapat mereka. Ada di antara mereka yang
kemudian mengubah pendapat mereka, seperti yang dilakukan Nicholson Selama ini
timbulnya tasawuf Islam telah dibahas dengan cara yang salah, akibatnya banyak peneliti
yang mengatakan bahwa hidup dan kekuatannya berasal dari semua bangsa dan golongan
lebih menggugah hati Rasul untuk merasakan kebesaran dan keagungan Allah. Tahanuts
ini merupakan cahaya pertama dan utama bagi tasawuf atau benih pertama bagi kehidupan
rohaniyah yang disebut dengan ilham atau renungan rohaniyah.
Segala pola tingkah laku, amal perbuatan dan sifat-sifat Rasul sebelum diangkat
menjadi Rasul merupakan manisfestasi dari kebersihan hati dan kesucian jiwanya yang
sudah menjadi pembawaan sejak kecil.14Prilaku kehidupanan Rasul tersebut merupakan
pola dasar dan gambaran lengkap bagi para sufi dalam pengamalan ajaran tasawuf. Ayatayat dan hadis yang menjadi sumber ajaran tasawuf dan sebagai pendorong untuk
mengikatkan dan mendekatkan diri kepada Allah Swt.
14
Zuhud merupakan salah satu maqam yang sangat penting dalam tasawuf.
Pentingnya posisi zuhud dalam tasawuf ialah karena melalui maqam zuhud seorang sufi
akan dapat membawa dirinya pada kondisi pengosongan kalbu dari selain Allah SWT, dan
terpenuhinya kalbu dengan dzikir. Oleh karena itu, al-Quran dan Hadist menganjurkannya,
dan para pemuka agama menunjukkan kemuliaannya.
Para pembesar sufi telah menerapkan zuhud dan meniti tingkatan-tingkatannya
sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Ujaibah dalam perkataannya, zuhud orang awam
adalah meninggalkan apa-apa yang menyibukkan diri dari mendekatkan diri kepada Allah
dalam semua keadaan. Dan zuhud orang khawwashul khawwash adalah menjauhi
pandangan kepada selain Allah disetiap waktu. Zuhud merupakan sebab untuk sampai
kepada Allah, karena hati tidak akan sampai kepada-Nya apabila masih bergantung pada
sesuatu selain yang dicintai Allah.18
Menurut R.A. Nicholson, sebagian asketis generasi abad pertama dan kedua
hijriyah lebih dekat dengan tasawuf, namun mereka tetap tidak keluar dari ruang lingkup
asketisisme. Sebab pada masa itu, tidak seorang pun bisa membedakan asketisisme dengan
tasawuf atau memisahkan keduanya. Tokoh-tokoh asketis yang sering diriwayatkan dalam
kitab-kitab mengenai tasawuf adalah Hasan al-Basri, Al-Harits bin Al-Muhasibi, Zun Nun
Al-Mishri, Ibrahim ibn Adham, al-Fudhail ibn Iyadh, dan salah seorang tokoh asketis lain
yang lebih dekat pada tasawuf akhir abad kedua Hijriyah adalah Rabiah al-Adawiyyah.
18
Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, Cetakan ke-12, (Jakarta : IKAPI, 2010), hlm. 250-251
Ekstrimitas pemikiran zuhud Hasan al-Basri dapat dilihat pada ucapannya: Jika
Allah menghendaki seseorang itu baik, maka Dia mematikan keluarganya sehingga dia
dapat leluasa dalam beribadah.19
Beberapa butir hikmat ajaran beliau tertulis demikian:
a. Perasaan takutmu sehingga bertemu dengan hati tentram, lebih baik daripada
perasaan tentrammu, yang kemudian menimbulkan takut.
b. Dunia ialah negeri tempat beramal. Barangsiapa yang bertemu dengan dunia
dalam rasa benci kepadanya dan zuhud, akan berbahagialah dia dan beroleh faedah dalam
persahabatan itu. Tetapi barangsiapa yang tinggal dalam dunia, lalu hatinya rindu dan
perasaan tersangkut kepadanya akhirnya dia akan sengsara. Dia akan terbawa kepada suatu
masa yang tidak dapat dideritanya.
c. Tentang duka cita beliau berkata : Patutlah orang insaf bahwa mati sedang
mengancamnya, dan kiamat menagih janjinya, dan dia mesti berdiri di hadapan Allah akan
dihitung.
d. Banyak duka cita di dunia memperteguh semangat amal shaleh.20
2. Rabiah al-Adawiyah
Menurut Ibn Khallikan, nama lengkap Rabiah al-Adawiyah adalah Ummul Khair
Rabiah binti Ismail al-Adawiyah al-Qisiyyah. Beliau adalah seorang Zahid perempuan
yang amat besar. Dia lahir di Basrah.
Di antara ucapannya yang terkenal tentang asketisisme ialah sebagaimana
diriwayatkan dalam Kasyf al-mahjub karya al-Hujwiri: Suatu ketika aku membaca cerita
bahwa seorang hartawan berkata kepada Rabiah: Mintalah kepadaku segala kebutuhanmu!
Jawab Rabiah: Aku ini malu meminta hal-hal duniawi kepada Yang Pemiliknya, maka
bagaimana bisa aku meminta hal itu kepada yang bukan pemiliknya?21
Banyak ajaran yang diriwayatkan dari Rabiah, yang seterusnya menjadi bahan
perbincangan para sufi setelahnya. Antara lain ajarannya tentang berendah diri, tidak
19
menunjukkan amal-amal yang baik, melarang mencari-cari kelemahan orang lain dan
masih banyak lagi.
Menurut sebagian orientalis yang mengkaji tasawuf, yang membedakan Rabiah
dengan para sufi-sufi sebelumnya adalah dikarenakan dia menandai asketisisme Islam
dengan corak lain dari asketisisme Hasan al-Bashri yang coraknya adalah rasa takut.
Rabiaah melengkapinya dengan unsur lain yaitu cinta, yang menjadi sarana bagi manusia
untuk merenungkan keindahan Allah yang abadi.
Cinta murni kepada Tuhan itulah puncak tasawuf Rabiah. Pantun-pantun kecintaan
kepada Ilahi, yang kemudian banyak keluar dari ucapan sufi yang besar seperti Fariduddin
Al-Athar, Ibhnul Faridh, Al-Hallaj, Jalaluddin Rumi dan lain-lain, telah dimulai dahulu
oleh Rabiah. Arti dari salah satu syairnya adalah seperti berikut:
Aku cinta kepada-Mu dua macam cinta, cinta rindu
Dan cinta, karena engkau berhak menerima cintaku
Adapun cinta, karena Engkau,
Hanya Engkau yang aku kenang tiada lain.
Adapun cinta, karena Engkau berhak menerimanya.
Agar Engkau bukakan hijab, supaya aku dapat melihat Engkau
Pujian atas kedua perkara itu bukanlah bagiku
Pujian atas kedua perkara itu adalah bagi-Mu sendiri.
Karena itu dalam kenyataannya Rabiah al-Adawiyyah mewakili titik-pusat
peralihan asketisisme dalam Islam, yang meluruskan jalan kemunculan para sufi ataupun
tasawuf. Dari sinilah asal-usul kemasyhuran dan ketenarannya, sebagaimana kata ibn
Khallikan: Rabiah adalah tokoh pada masanya, yang kelurusan dan ibadahnya begitu
terkenal.
10
akhlak, dan ilmu metafisika. Bersifat metafisika karena terkandung ajaran yang melukiskan
hakikat.22
Tasawuf pada abad 3 H dan 4H sudah mempunyai corak yang berbeda sekali
dengan abad sebelumnya.Pada abad ini bercorak ke fanaan (ekstase) yang menjurus ke
persatuan hamba dan khalik. Pada abad 3H dan 4H terdapat dua aliran.aliran tasawuf
sunnah yaitu bentuk tasawuf yanng membantengi dirinya dengan Alquran dan al Hadist.
Tasawuf semi falsafi cenderung menuju pada pernyataan tentang terjadinya penyatuan
(ittihad atau hulul)
Dengan datangnya abad ketiga Hijriyah ini, para sufi mulai menaruh perhatiannya
terhadap hal-hal yang berkenaan dengan jiwa dan tingkah laku. Perkembangan faham dan
akhlaq sufi ditandai dengan upaya menegakkan akhlaq di tengah terjadinya dekadensi
moral yang sedang berkembang di masa itu, sehingga di tangan para sufi tasawuf pun
berkembang menjadi ilmu akhlaq. Pemberian contoh dalam kehidupan sehari-hari para
sufi, akhirnya dapat mendorong kemajuan perubahan pada pola tingkah masyarakat dari
yang lebih cenderung mengejar keduniaan yang membuat masyarakat di masa itu lupa pada
Allah berubah menjadi masyarakat berakhlaqul karimah. Ajaran akhlaq para sufi ini
menjadikan tasawuf terlihat sebagai amalan yang sangat sederhana dan mudah
dipraktekkan oleh semua orang. Kesederhanaan para sufi dapat dilihat dari kesederhanaan
alur pemikiran. Tasawuf pada jalur kesederhaan ini banyak ditampilkan oleh 'ulama sufi
salafi di masa itu. Perhatian para sufi di masa itu lebih tertuju kepada realitas pengalaman
ke Islaman yang dipraktekkan dalam kehidupan serhari-hari yang disebut dengan akhlaqul
karimah. Mereka menampilkan ajaran tasawuf lewat akhlaq terpuji dengan maksud
memahami kandungan batiniah ajaran Islam yang mereka nilai mengandung banyak
anjuran untuk beraklak mulia
Kondisi ini mulai berkembang di tengah kehidupan lahiriyah yang sangat formal
dan cenderung kurang diterima oleh mereka yang mendambakan konsistensi pangamalan
ajaran Islam sampai pada aspek terdalam. Oleh karena itu, ketika para sufi menyaksikan
ketidakberesan akhlaq di sekitarnya, mereka menemukan kembali akhlaq mulia, pada masa
ini tasawuf lebih identik dengan akhlaq. Pada abad ketiga ini terlihat perkembangan
22
Sholikin dan Anwar Rosihon. Ilmu tasawuf: Untuk Mata Kuliah Ilmu Tasawuf di Seluruh Jurusan
PTAIN dan PTAIS, (Bandung: CV.Pustaka Setia, 2008), hal. 62-64
11
tasawuf sangat pesat, ditandai dengan adanya segolongan sufi yang mendalami inti ajaran
tasawuf, sehingga didapati ada 3 inti ajaran tasawuf, yaitu:
1. Tasawuf yang berintikan ilmu jiwa, yaitu ajaran tasawuf yang berisi suatu
metode yang lengkap tentang pengobatan jiwa. Ajaran ini mengkonsentrasikan
kejiwaan manusia kepada Allah, sehingga ketegangan kejiwaan akibat
pengaruh keduniaan dapat teratasi dengan sebaik-baiknya. Inti ajaran tasawuf
yang satu ini menjadi dasar teori para psikiater zaman sekarang ini dalam
mengobati pasiennya.
2. Tasawuf yang berintikan ilmu akhlaq, yaitu di dalamnya terkandung petunjuk
tentang cara berbuat baik dan cara menghindari keburukan. Ajaran ini lengkap
dengan riwayat dari kasus-kasus yang pernah dialami oleh para sahabat Nabi.
Dari ajaran inilah munculnya ilmu akhlaq.
3. Tasawuf yang berintikan metafisika, yaitu ajaran tasawuf yang berintikan
hakikat Tuhan. Dari ajaran inilah munculnya ilmu tauhid, ilmu aqidah, ilmu
qalam dan ilmu filsafat.
Tokoh-tokoh sufi tersebut antara lain seperti Haris al-Muhasibi (Basrah, 165 HBaghdad, 243 H) ia banyak mengkaji dan mengajarkan disiplin diri (Muhasabah).
Pembicaraannyayang lebih rinci tentang itu tertuang dalam karyanya ar-Riayat li Huquqi
Allah (Menjaga Hak Allah) yang banyak mempengaruhi al-Ghazali dalam menyusun
karyanya, Ihya Ulumuddin (Menghidupkan Ilmu Agama).
Dikalangan sufi filsafat, terdapat Zunun al-Misri (180-246 H). Ia adalah seorang
sufi yang juga ahli Kimia, mengetahui tulisan hieroglif Mesir kuno dan akrab dengan
pengetahuan hermetis (kedap udara). Dalam buku-buku biografi para sufi, ia sering
disebuts ebagai tokoh legendaries. Dalam tasawuf ia dikenal sebagai Bapak Teori Marifat.
Menurutnya, pengetahuan tentang Tuhan mempunyai tiga tingkatan, yaitu;
1. Pengetahuan awam, yaitu pengetahuan tentang Tuhan dengan perantara
ucapansyahadat;
2. Pengetahuan ulama, yaitu pengetahuan tentang Tuhan dengan alat logika dan
akal;
3. Pengetahuan sufi (arif), yaitu pengetahuan tentang Tuhan dengan hati sanubari.
Sedangkan pada abad keempat hijriyah, kemajuan ilmu tasawuf ditandai dengan
perkembangan tasawuf yang lebih pesat dari sebelumnya, karena upaya maksimal dari
12
f. Tasawuf abad V
Tasawuf yang berkembang pada abad V yang disebut juga dengan tasawuf Sunni
atau tasawuf Ahlaqi. Tasawuf akhlaqi memiliki corak dan karakteristik sebagai berikut:
1. Melandaskan diri pada Al-Quran dan As-Sunnah. Tasawuf jenis ini, dalam
mengembangkan ajaran-ajarannya, cenderung memakai landasan Qurani dan
Hadis sebagai kerangka pendekatannya. Mereka tidak mau menerjunkan pahamnya
dalam konteks yang berada di luar pembahasan Al-Quran danHadis. Al-Quran
dan Hadis yang mereka pahami, kalaupun harus ada penafsiran. Maka penafsiran
itu sifatnya hanya sekedarnya dan tidak begitu mendalam.
2. Tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada
ungkapan-ungkapan syahadat.
23
http://nizaralkhuri.blogspot.com/2012/10/perkembangan-tasawuf-pada-abad-34-5-h.html
13
3. Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara Tuhan dan manusia.
Dualisme yang dimaksutkan di sini adalah ajaran yang mengakui bahwa meskipun
manusia dapat berhubungan dengan Tuhan, hubungannya tetap dalam kerangka
yang berada diantara keduanya, dalam hal esensinya. Sedekat apapun manusia
dengan Tuhannya tidak lantas membuat manusia dapat menyatu dengan Tuhan.
4. Kesinambungan antara hakikat dengan syariat. Dalam pengertian lebih khusus,
keterkaitan antara tasawuf sebagai aspek batiniyah dengan fiqh sebagai aspek
lahirnya. Kaum sufi dari kalangan Sunni tetap memandang penting persoalanpersoalan lahiriah-formal, seperti aturan-aturan yang dianut fuqaha. Aturan-aturan
itu bahkan sering dianggap sebagai jembatan untuk berhubungan dengan Tuhan.
5.
Tasawuf Al-Qusyairi
Nama lengkap Al-Qusyairi adalah Abdul Karim bin Hawazin, lahir tahun 376 H.
Di Istiwa, kawasan Nishafur, salah atu pusat ilmu pengetahuan pada masanya. Di sinilah ia
24
25
salafi.html
14
bertemu dengan gurunya Abu Ali Ad-Daqqaq, seorang sufi terkenal. Al-Qusyairi selalu
menghadiri majelis gurunya, dan dari gurunya itulah Al-Qusyairi menempuh jalan tasawuf.
Sang guru pertama-tama mempelajari syariat. Oleh karena itu, Al-Qusyairi lalu
mempelajari fiqh dari seorang faqih, Abu Bakr Muhammad bin Abu Bakr Ath-Thusi, dan
mempelajari ilmu kalam serta ushul fiqh pada Abu Bakr Al-Farauk. Menurut Ibnu
Khallikan, Al-Qusyairi adalah seorang yang mampu mengompromikan syariat dengan
hakikat.26
Ajaran-ajaran Tasawufnya
1. Mengembalikan tasawuf ke landasan Ahlussunnah
Seandainya karya Al-Qusairi, Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah, dikaji secara mendalam
akan tampak al-Qusyairi cenderung mengembalikan tasawuf ke atas landasan doktrin
Ahlus Sunnah, sebagaimana pernyataan, Ketahuilah! Para tokoh aliran ini (sufi) membina
prinsip-prinsip tasawuf atas landasan tauhid yang benar, sehingga terpeliharalah mereka
dari penyimpangan. Selain itu mereka lebih dekat dengan tauhid kaum salaf maupun ahlu
sunnah, yang tidak tertandingi serta tidak kenal macet. Merekapun tahu hak yang lama dan
bisa mewujudkan sifat sesuatu yang diadakan dari ketiadaannya. Karena itu tokoh aliran
ini al-Junaid, berkata; Tauhid adalah pemisah hal yang lama dari hal yang baru. Landasan
doktrin mereka didasarkan pada dalil dan bukti yang kuat serta gamblang. Dan ini seperti
dikatakan Abu Muhammad al-Jariri: Barang siapa tidak mendasarkan ilmu tauhid pada
salah satu pengokohnya, niscaya membuat tergelincirnya kaki yang tertipu ke dalam jurang
kehancurannya.27
Ungkapan Al-Qusyairi yang mengkritik para sufi syathahi, yang mengucapkan
ungkapan-ungkapan penuh kesan terjadinya perpaduan antara sifat-sifat ketuhanan dengan
sifat-sifat kemanusian dengan kritikan pedas yaitu Mereka mengatakan bahwa mereka
telah bebas dari perbudakan berbagai belenggu dan berhasil mencapai realitas-realitas rasa
penyatuan dengan Tuhan (wushul) lebih jauh lagi mereka tegak bersama yang Maha Besar,
yang hukum-hukumnya berlaku atas diri sendiri, sedang mereka dalam keadaan fana. Allah
pun menurut mereka tidak mencela dan melarang apa yang mereka nyatakan ataupun yang
26
27
15
mereka lakukan. Dan kepadaku mereka disingkapkan rahasia ke-Esaan dan setelah fana
merekapun tetap memperoleh cahaya Ketuhanan, tempat bergantung segala sesuatu.28
2. Kesehatan Batin
Selain itu Al-Qusyairi menekankan bahwa kesehatan bathin dengan berpegang
teguh pada Al-Qur'an dan As sunnah sebagai mana perkataannya:
Duhai saudaraku! Janganlah kamu terpesona oleh pakaian lahiriah maupun
sebutan yang kau lihat (pada sufi sejamannya) sebab ketika reutas itu tersingkapkan,
niscaya tampak keburukan para sufi yang mengada-ada dalam berpakaian Setiap
tasawuf yang tidak dibarengi dengan kebersihan maupun sikap menjauhkan diri dari
maksiat adalah tasawuf palsu serta memberatkan diri dan setiap bathin yang
bertentangan dengan lahir adalah keliru dan bukannya yang bathin, dan setiap
tauhid yang dibenarkan Al-Qur'an maupun as-sunnah adalah pengingkaran
terhadap Tuhan dan bukan tauhid; dan setiap pengenalan terhadap Allah yang tidak
dibarengi kerendahan maupun ketulusan jiwa adalah palsu dan bukan pengenalan
terhadap Allah.29
3. Penyimpangan Para Sufi
Dalam hal yang berbeda, Al-Qusyairi mengemukakan suatu penyimpangan lain dari
para sufi abad ke lima hijriyah dengan ungkapan yang pedas.
Kebanyakan para sufi yang menempuh jalan kebenaran dari kelompok tersebut telah tiada.
Dalam bekas mereka, tidak ada yang tinggal di kelompok tersebut kecuali bekas-bekas
mereka kemah dan hanya serupa kemah mereka, kaum wanitanya itu, kulihat bukan
mereka. Zaman telah berakhir bagi jalan ini. Tidak, bahkan jalan ini telah menyimpang dari
hakikat realitas. Telah lewat zaman para guru yang menjadi panutan mereka, tidak banyak
lagi generasi muda yang mau mengikuti perjalanan dan kehidupan mereka. Sirnalah kini
kerendahatian dan punahlah kesederhanaan hidup. Ketamakan semakin menggelora dan
ikatannya semakin membelit. Hilanglah sudah kehormatan agama dari kalbu. Betapa
sedikit orang yang berpegang teguh pada agama. Banyak orang yang menolak
membedakan masalah halal haram. Mereka cenderung meninggalkan sikap menghormati
orang lain dan membuang jauh rasa malu. Bahkan mereka menganggap remeh pelaksanaan
ibadah, melecehkan puasa dan sholat, dan terbuai dalam medan kemabukan dan jatuh
dalam pelukan nafsu syahwat dan tidak peduli melakukan hal-hal yang tidak
diperbolehkan....30
28
16
17
33
18
Oleh karena itu, Al-Ghazali mempunyai jasa besar dalam dunia Islam. Dialah orang
yang mampu memadukan diantara ketiga kubu keilmuan Islam, takni tasawuf, fiqh, dan
ilmu kalam yang sebelumnya terjadi ketegangan diantara ketiganya.36
Menurut Al-Ghazali, marifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui
peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada, alat untuk memperoleh marifat
bersandar pada sirr, qolb dan roh. Pada saat sirr, qalb dan roh yang telah suci dan kosong
itu dilimpahi cahaya Tuhan dan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, kelak keduanya
akan mengalami iluminasi (kasyf) dari Allah dengan menurunkan cahayanya kepada sang
sufi sehingga yang dilihatnya hanyalah Allah, di sini sampailah ia ke tingkat marifat. 37
b) As-Saadah
Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat
Allah (ruyatullah) di dalam kitab Kimiya As-Saadah, ia menjelaskan bahwa As-Saadah
(kebahagiaan) itu sesuai dengan watak (tabiat). Sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan
ciptaannya; nikmatnya mata terletak pada ketika melihat gambar yang bagus dan indah,
nikmatnya telinga terletak ketika mendengar suara merdu. Demikian juga seluruh anggota
tubuh, masing-masing mempunyai kenikmatan tersendiri.
Kenikmatan qalb sebagai alat memperoleh marifat terletak ketika melihat Allah.
Melihat Allah merupakan kenikmatan paling agung yang tiada taranya karena marifat itu
sendiri agung dan mulia. Kelezatan dan kenikmatan dunia bergantung pada nafsu dan akan
hilang setelah manusia mati. Sedangkan kelezatan dan kenikmatan melihat Tuhan
bergantung pada qalb dan tidak akan hilang walaupun manusia sudah mati. Sebab qalb
tidak ikut mati, malah kenikmatannya bertambah karena dapat keluar dari kegelapan
menuju cahaya terang.38
h. Tasawuf Abad ke VI
Fase ini ditandai dengan munculnya tasawuf falsafi yakni tasawuf yang memadukan
antara rasa (dzauq) dan rasio (akal), tasawuf bercampur dengan filsafat terutama filsafat
Yunani. Pengalamanpengalaman yang diklaim sebagai persatuan antara Tuhan dan hamba
36
19
kemudian diteorisasikan dalam bentuk pemikiran seperti konsep wahdah al-wujud yakni
bahwa wujud yang sebenarnya adalah Allah sedangkan selain Allah hanya gambar yang
bisa hilang dan sekedar sangkaan dan khayali.39
Tokoh tokoh pada fase ini adalah Muhyiddin Ibn Arabi atau yang lebih dikenal
dengan Ibnu Arabi ( 560 638 H.) dengan konsep wahdah al-Wujudnya. Ibnu Arabi yang
dilahirkan pada tahun 560 H. dikenal dengan sebutan as-Syaikh al-Akbar (Syekh Besar).
Di masa mudanya, ia pernah menjadi sekretaris hakim tingkat wilayah. Sakit keras yang
pernah dialami mengubah sikap hidup yang sangat drastis. Dia menjadi seorang zahid dan
abid. Dia menghabiskan waktunya di beberapa kota di Andalusia dan di Afrika Utara untuk
bertemu para guru shufi. Umur tiga puluh tahun pindah ke Tunis kemudia ke Fas. Disini,
Ibnu Arabi menulis buku berjudul al-Isra Ila Maqam al-Asra () .
Kemudian pergi ke Kairo dan al-Quds yang kemudian diteruskan ke Makkah untuk
menunaikan ibadah haji. Ibnu Arabi beberapa tahun tinggal di Mekkah dan disinilah ia
menyusun kitab Taj al-Rasail ( ) dan Ruh al-Quds ( ) dan pada tahun 598
H. Mulai menulis kitab yang sangat terkenal al-Futuhat al-Makkiyyah () .
Ahirnya Ibnu Arabi tinggal di Damaskus dan menulis kitab Fushush al-Hikam (
) . Ibnu Arabi meninggal pada tahun 638 H.
Tokoh lainnya adalah al-Syuhrawardi (549 587 H.) dengan konsep Isyraqiyahnya.
Ia dihukum bunuh dengan tuduhan telah melakukan kekufuran dan kezindikan pada masa
pemerintahan Shalahuddin al-Ayubi. Diantara kitabnya adalah Hikmat al-Israq. Tokoh
berikutnya adalah Ibnu Sabin (667 H.) dan Ibn al-Faridl (632 H.)
Pada abad VI juga ditandai dengan munculnya tariqat yakni madrasah shufi yang
bertujuan membimbing calon shufi menuju pengalaman ilahi melalui teknik dzikir tertentu.
Oleh sebagian orang dikatakan bahwa munculnya taiqat adalah untuk membantu orangorang awam agar ikut mencicipi tasawuf karena selama ini pengalaman tasawuf hanya
dialami oleh orang-orang tertentu saja ( khawash). Disamping itu kehadiran thariqat juga
untuk memagari tasawuf agar senantiasa berada dalam koridor syariat. Itulah sebabnya
sistem thariqat sangat ketat.
39
Mani bin Hammad al-Jahni, al-Mausuah al-Muyassarah Fii al-Adyan Wa al-Madzahib Wa alAhzab al-Muashirah, al-Maktabah al-syamilah, Juz 50 bab al-Muqaddimah al-Hammah, Juz 53, h.2
20
40
21
sebab jalan utama disebut syar sedangkan anak jalan disebut tariq. Kata turunan ini
menunjukkan bahwa menurut anggapan para sufi, pendidikan mistik merupakan cabang
dari jalan utama yang terdiri atas hukum Ilahi, tempat berpijak bagi setiap Muslim.
Tidak mungkin ada jalan tanpa adanya jalan utama tempat ia berpangkal;
pengalaman mistik tak mungkin didapat bila perintah syariat yang mengikat itu tidak ditaati
terlebih dahulu secara seksama. Akan tetapi tariq atau jalan itu lebih sempit dan lebih sulit
dijalani serta membawa santri (salik) dalam suluk atau pengembaraannya melalui berbagai
persinggahan (maqam), sampai mungkin cepat atau lambat akhirnya ia mencapai
tujuannya, yaitu tauhid sempurna; yaitu pengakuan berdasarkan pengalaman bahwa Tuhan
adalah satu.45
Sebagai organisasi tasawuf atau metode spiritual yang praktis, tarekat memiliki
metode yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Ada yang menggunakan program
penyucian jiwa, zikir, tafakur, meditasi, mendengar musik dan menari, qiyamul lail dan
lain-lain. Tetapi tujuan mereka semuanya sama yakni untuk mendekatkan diri kepada Allah
semata (taqarrub ila Allah)46
Walaupun sejak jauh sebelumnya organisasi tarekat telah hadir, seperti tarekat
Junaidiyyah yang bersumber pada ajaran Abu Al-Qasim Al-Junaid Al-Baghdadi (w. 297
H) atau tarekat Nuriyyah yang didirikan oleh Abu Hasan ibn Muhammad Nuri (w. 295 H),
namun baru pada abad ketujuh Hijriyah dan sesudahnya inilah tarekat berkembang pesat.47
Di sini akan dipaparkan beberapa sampel tarekat-tarekat besar dan terkenal dalam dunia
Islam, diantaranya:
1) Tarekat Qadiriyyah yang didirikan oleh Abdul Qadir Al-Jilani (w. 561 H). Al-Jilani
mengikuti fikih mazhab Hanbaliyyah dan menguasai tiga belas macam ilmu, seperti
fikih, ushul fikih, tafsir, nahwu, ilmu hadis dan sebagainya.48 Ia mengaitkan tasawuf
dengan Al-Quran maupun Sunnah. Tarekat tersebut tersebar luas sampai ke Yaman,
Syria, Mesir, India, Turki, Afrika, dan tetap berkembang sampai sekarang di Mesir,
Sudan, di bebagai kawasan Asia maupun Afrika.
45
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, Terj. S. Djoko Damono dkk. (Jakarta, Pustaka
Firdaus, 2003), h. 123
46
Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 117
47
Haidar Bagir, Buku Saku Tasawuf, (Bandung: Mizan, 2006), h. 103
48
22
2) Tarekat Rifaiyyah yang didirikan oleh Ahmad Rifai (w. 578 H) di kawasan
Bathaih. Ia seorang yang sangat saleh dan bermazhab Syafii. Ajaran-ajaran
tasawuf Ahmad Rifai banyak diriwayatkan oleh Syarani yang meliputi tentang
zuhud, marifat dan cinta. Tarekat Rifaiyyah pun tersebar luas ke berbagai kawasan
Islam dan sampai sekarang masih berkembang di Mesir maupun dunia Islam
lainnya.
3) Suhrawardiyyah yang didirikan oleh Abu Al-Najib Al-Suhrawardi (w. 563 H) serta
Al-Suhrawardi Al-Baghdadi (w. 632 H). Al-Suhrawardi Al-Baghdadi mengarang
kitab tasawuf terkenal yaitu Awarif al-Maarif, yang berisi aturan-aturan tarekat
tersebut dan dia dipandang sebagai pendiri tarekat tersebut yang sebenarnya.
4) Tarekat Syadziliyyah yang didirikan oleh Abu Al-Hasan Al-Syadzili (w. 656 H)
yang berasal dari Tunisia kemudian mengembara ke Mesir dan menetap di
Iskandariah. Penerus Syadzili yang sangat terkenal adalah Abu Al-Abbas Al-Mursi,
Ibn Athaillah Al-Sakandari dan Ibn Abbad Al-Runda. Di bidang hukum, tarekat ini
mengikuti mazhab Maliki. Tarekat Syadziliyyah merupakan tarekat yang paling
layak disejajarkan dengan tarekat Qadiriyyah dalam hal penyebarannya.49
5) Tarekat Ahmadiyyah yang didirikan oleh Sayyid Ahmad Al-Badawi (w. 675 H),
yang berasal dari Maroko, lalu merantau ke Makkah dan menetap di Mesir. Tareket
ini konsisten dengan Al-Quran dan Sunnah, sebagaimana diungkapkan oleh AlBadawi bahwa tarekatnya dibina oleh Al-Quran, Sunnah, kejujuran, kebeningan
kalbu, loyalitas, penanggungan derita, dan pemeliharaan janji. Tarekat ini
berkembang di Mesir sejak tokoh utamanya masih hidup hingga sekarang.
6) Tarekat Birhamiyyah yang berasal dari putra Mesir yaitu Ibrahim al-Dasuqi alQurysi (w 676 H). Al-Dasuqi, seperti tarekat-tarekat sebelumnya, sangat
menekankan aturan syariat. Baginya, syariat adalah pokok, sementara hakikat
adalah cabang. Jika syariat menghimpun seluruh ilmu yang diwajibkan, maka
hakikat menghimpun seluruh ilmu yang disembunyikan. Tarekatnya tersebar luas
di Mesir, Syria, Hijaz, Yaman dan Hadhramaut.
7) Tarekat Kubrawiyyah yang berasal dari Persia yaitu dari ulama Najmuddin Kubra
(w. 618 H). Pada tarekat inilah Fariduddin Al-Atthar berafiliasi. Sementara itu di
Turkistan muncul tarekat Yasawiyyah yang dinisbahkan kepada Ahmad Al-Yasawi
49
Sri Mulyati (et. al), Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia (Jakarta:
Prenada Media, 2006), hlm. 73
23
(w 562 H) dan di Asia Tengah muncul tarekat Syisytiyyah yang berasal dari
Muinuddin Hasan Al-Syisyti (w 623 H).
8) Pada abad-abad berikutnya bermunculan pula tarekat-tarekat lain yang tersebar luas
ke berbagai kawasan Islam, seperti Naqsyabandiyyah yang didirikan oleh Baha
Naqsyaband Al-Bukhari (w. 791 H), tarekat Bektasyiyyah yang didirikan oleh Haji
Bektasyi (w 738 H), serta tarekat Maulawiyyah yang dinisbatkan kepada Jalaluddin
Rumi (w 1273 H).
Begitulah kemunculan dan tersebar luasnya tarekat-tarekat sufi di dunia Islam, yang
sebagiannya sampai sekarang masih aktif. Dari pelbagai bentuk tarekat di atas, menurut
Abu al-Wafa al-Taftazani, tujuan tertinggi dari seluruh tarekat sufi dari dulu hingga
sekarang adalah tetap bercorak moral, yakni penyesuaian diri, kejujuran, amal, kesabaran,
kekhusyuan, cinta orang lain, tawakkal dan keutamaan-keutamaan lain yang diserukan
Islam.50
Walaupun demikian, dalam pengamatan Fazlur Rahman, mulai abad dua belas
inilah, ketika wacana-wacana tasawuf bermetamorfosa ke dalam pelbagai bentuk ordo sufi,
terjadi pula sejumlah penyimpangan dalam tubuh tasawuf. Sebagian ordo-ordo sufi, yang
disebut Rahman dengan agama populer ini, secara radikal mengubah aspek sufisme
walaupun tidak sama sekali menggantikan citanya.51
Karena tujuan-tujuan praktis masyarakat Islam di mana sufisme tidak murni lagi
sebagai metode self-disiplin moral, peningkatan, dan pencerahan spiritual yang asli,
sufisme justru berubah menjadi teosofi yang menyimpang. Sejak era tersebut, otoritas
mutlak pemimpin sufi, yang disebut syekh atau mursyid, dalam masalah-masalah spiritual
maupun material terhadap murid-muridnya, menjadi prinsip undang-undang pokok
organisasi sufi.
Mayoritas besar masyarakat selalu menegaskan bahwa seorang pembimbing yang
masih hidup walaupun yang relatif tidak sempurna, adalah mutlak perlu. Dengan demikian
sufisme praktis menjadi kusltus atas individu-individu. Istilah orang yang tidak
mempunyai pembimbing menjadi hampir sama artinya dengan orang yang tak bertuhan
50
Abu al-Wafa al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi Utsmani (Bandung:
Pustaka, 2003), h. 235-244
51
Fazlur Rahman, Islam, (Bandung, Pustaka: 1997), Cet. Ke-3, h. 150-166
24
dalam pikiran masyarakat umum. Pijakan pada otoritas mursyid-mursyid sufi ini malah
meningkatkan kepasifan para pengikut mereka.
Sebagian tokoh-tokoh pembaru berusaha melakukan kritik konstruktif dan
berupaya membenahi penyimpangan-penyimpangan sufisme. Walaupun telah ada pelbagai
usaha dari para tokoh-tokoh ilmuwan klasik hingga abad modern, menurut Rahman sebagai
media ekspresi bagi agama rakyat, sufisme telah mendapat tempat yang paling tinggi di
dalam Islam. Padahal sejak berkembangnya agama populer, berbagai penyimpangan dalam
sufisme telah melanda Islam dalam segala penjuru.
Puspa ragam penyimpangan sufisme yang diidentifikasi Rahman secara garis besar
mencakup kemutlakan otoritas syekh-syekh sufi terhadap murid-murid mereka,
pengagungan terhadap manusia-manusia yang dianggap suci, karamah-karamah, makammakam para wali, dan sebagainya.52 Pada dasarnya sufisme mengemukakan kebutuhankebutuhan religius yang penting dalam diri manusia. Pada titik ini, kritik konstruktif
terhadap pelbagai kekeliruan tasawuf dan pembaruan tasawuf harus terus diupayakan
kembali.
52
Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History (Islamabad: The Islamic Research Institute, 1984), h. 115
25
sendiri, bergerak menjauh dari pusat, sementara pemahaman agama yang berdasarkan
wahyu mereka tinggalkan hidap dalam keadaan sekular.53
Dari sanalah kemdian terjadi suatu kekeringan jiwa yang dirasakan oleh masyarakat
modern. Mereka kemudian berlomba-lomba mencari ketenangan batin dan jiwa dari
kekeringan. Dan jalan spiritual lah yang kemudian dapat membawa satu keseimbangan
dalam hidup mereka, sehingga lambat laun tasawuf sebagai salah satu jalan agama yang
dapat membawa kepada Tuhan menjadi salah satu pilihan utama untuk lebih dapat
mendekatkan diri kepada Allah, dengan harapan agar diberikan ketenangan rohani.
Sehingga dapat dikatakan bahwa sufi di zaman modern ialah orang yang mampu
menghadirkan ke dalam dirinya nilai-nilai Ilahiyah yang memancar dalam bentuk perilaku
yang baik dan menyinari kehidupan sesama manusia. Inilah makna hadis Rasulullah Saw.,
khairunnas anfauhum linnas, bahwa sebaik-baik manusia ialah manusia yang bermanfaat
bagi sesama manusia.
Kesan bahwa sufi harus menjauhkan diri dari masyarakat (uzlah) dan sibuk dengan
ibadahnya sendiri, seperti yang digambarkan oleh para pihak, bahwa untuk mengamalkan
praktik kesufian hanyalah dengan penyendirian dengan tujuan menyatu dengan Tuhan,
tampaknya merupakan hal yang kurang relevan dengan modernitas yang mengharuskan
adanya hubungan antar pribadi dan kelompok manusia dalam membangun peradaban
modern yang cirinya adalah pemanfaatan iptek dan pendayagunaan sumberdaya secara
maksimal serta kemakmuran kehidupan.
Untuk itu, diperlukan orientasi baru berupa penghadiran nilai-nilai Ilahi dalam
perilaku keseharian manusia modern, sehingga peran agama yang menghendaki kesucian
moral tetap terasa sangat perlu. Hal ini berarti, pengamalan ajaran agama tidak cukup jika
hanya bersifat rasional dan formal tanpa kesadaran batiniyah yang mendalam, sehingga
setiap muslim dapat merasakan nikmatnya beragama, yang di dalamnya terkandung
kecintaan kepada Tuhan sekaligus kecintaan kepada sesama manusia dan sesama makhluk.
Untuk itu, tasawuf di abad modern tidak lagi berorientasi murni kefanaan untuk
menyatu dengan Tuhan, tetapi juga pemenuhan tanggung jawab manusia sebagai khalifah
Tuhan yang harus memperbaiki dirinya dan sesama makhluk. Dengan kata lain, tasawuf
53
Komarudin Hidayat, Upaya Pembebasan Manusia; Tinjauan Sufistik Terhadap Manusia Modern
menurut Hossein Nasr Dalam M Dawam Rahardjo (ed) Insan Kamil, (Jakarta: Grafiti Press, 1985), h. 184
26
tidak hanya memuat dimensi kefanaan yang bersifat teofani, tetapi juga berdimensi profan
yang di dalamnya terdapat kepentingan sesama manusia yang mendunia.
Inti dari ketertarikan manusia modern kepada dunia spiritual (tasawuf) pada
dasarnya ingin mencari keseimbangan baru dalam hidupnya, dan dalam pandangan yang
agak eksistensialis, ingin kembali kepada kemerdekaan manusia yang telah mengalami
reduksionisasi dalam kehidupan modern. Kehidupan dengan perspektif tersebut dapat
dicapai apabila manusia senantiasa melakukan transendensi terus-menerus.54
54
Syamsul Arifin, Spiritualitas Islam dan Peradaban Masa Depan, (Yogyakarta: Sipress, 1996), h.
9.
27
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari apa yang telah dipaparkan, maka dapat disimpulkan bahwa tasawuf islam telah
melalui banyak fase dan perubahan. Dimulai dari kemunculannya pada abad I, hingga masa
modern sekarang ini.
Para ulama tasawuf, walaupun mereka berselisih pendapat tentang asal usul
tasawuf, baik dari segi penamaannya maupun dasar tasawuf itu berdiri, mereka sepakat
bahwa esensi dari tasawuf itu sendiri adalah menyucikan diri baik jasmani maupun rohani
dari segala perbuatan-perbuatan yang tercela, sehingga dari sana muncul manusia yang
sempurna yang mampu mendekatkan dirinya dengan sang Pencipta, Allah SWT.
Usaha-usaha untuk menghidupkan kembali pemahaman tentang tasawuf terutama
pada abad modern ini terus digalakkan, dengan harapan manusia kembali kepada fitrah
mereka sebagai hamba yang patuh dan taat kepada Allah.
28
Daftar Pustaka
Misriyyah, 1954)
-
Abdul Halim Mahmud, Tasawuf di Dunia Islam, Alih Bahasa Abdullah Zaky al-
Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, Cetakan ke-12, (Jakarta : IKAPI, 2010)
Abu al-Wafa al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi Utsmani
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Vol. 2, (Kairo: Musthafa al-Babi al-
Halabi, 1334 H)
-
Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 2000)
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, Terj. S. Djoko Damono dkk.
Institute, 1984)
-
Harun Nasution, Falsafat Islam dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1973)
-
http://delsajoesafira.blogspot.com/2010/05/ajaran-ajaran-tasawuf-al-ghazali.html
http://makalahkuliahjurusanpai.blogspot.com/2011/06/sejarah-perkembangan-
tasawuf-salafi.html
-
http://nizaralkhuri.blogspot.com/2012/10/perkembangan-tasawuf-pada-abad-34-5-
h.html
-
Manusia Modern menurut Hossein Nasr Dalam M Dawam Rahardjo (ed) Insan Kamil,
(Jakarta: Grafiti Press, 1985)
29
50 bab al-
Muqaddimah al-Hammah
-
1996)
-
Sholikin dan Anwar Rosihon. Ilmu tasawuf: Untuk Mata Kuliah Ilmu Tasawuf di
Yogyakarta: 2008)
-
Sipress, 1996)
-
Tim Penyusun, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Medan: Proyek PPTA Sumut, 1982)
30