Vous êtes sur la page 1sur 29

PENDAHULUAN

I.

Definisi
Demam berdarah dengue (dengue haemorrhagic fever/DHF) adalah penyakit infeksi

yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti
dan Aedes albopictus dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan nyeri sendi yang
disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik. Penyakit
ini banyak ditemukan didaerah tropis seperti Asia Tenggara, India, Brazil, Amerika termasuk
di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat ketinggian lebih dari 1000 meter di
atas permukaan air laut.1,2
Demam berdarah dengue di Indonesia pertama kali dicurigai terjangkit di Surabaya
pada tahun 1968, tetapi kepastian virologiknya baru diperoleh pada tahun 1970. Demam
berdarah dengue pada orang dewasa dilaporkan pertama kali oleh Swandana (1970) yang
kemudian secara drastis meningkat dan menyebar hampir ke seluruh daerah di Indonesia.
Faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus Demam Berdarah Dengue
sangat kompleks, yaitu:
1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi
2. Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali
3. Tidak ada kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis
4. Peningkatan sarana transportasi.
Di Indonesia, karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka
pola terjadinya penyakit agak berbeda untuk setipa tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi
virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat
pada sekitar bulan April Mei setiap tahun.2

II.

Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang

termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan
diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4 x 106.
Terdapat 4 serotipe virus tipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya
dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue keempat serotype
ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak.3
III.

Cara Penularan
1

Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue,
yaitu manusia, virus dan vektor perantara.Virus dengue ditularkan kepada manusia
melalui nyamuk Aedes aegypti, aedes albopictus, aedes polynesiensis dan beberapa
spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang kurang
berperan. Aedes tersebut mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang
sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada dikelenjar liur berkembang biak
dalam waktu 8 10 hari (extrinsic incubationperiod) sebelum dapat di tularkan kembali
pada manusia pada saat gigitan berikutnya. Sekali virus dapat masuk dan berkembang
biak di dalam tubuh nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya
(infektif). Ditubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4 6 hari (intrinsic
incubation period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada
nyamuk dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia,
yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul.3

IV.

Patogenesis
Virus dengue masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk dan infeksi pertama kali
mungkin memberi gejala seperti DD. Reaksi tubuh merupakan reaksi yang biasa terlihat
pada infeksi oleh virus. Reaksi yang amat berbeda akan tampak bila seseorang mendapat
infeksi berulang dengan tipe virus dengue yang berlainan. Re-infeksi ini akan
menyebabkan suatu reaksi anamnestik antibodi, sehingga menimbulkan konsentrasi
kompleks antigen antibodi (kompleks virus antibodi) yang tinggi.3,4
Terdapatnya komplek virus-antibodi dalam sirkulasi darah mengakibatkan hal sebagai
berikut :1,5
1. Kompleks virus-antibodi akan mengaktivasi sistem komplemen, berakibat
dilepaskannya anafilatoksin C3a dan C5a.C5a menyebabkan meningginya
permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangnya plasma melalui
endotel dinding tersebut, suatu keadaan yang amat berperan dalam terjadinya
renjatan. Pada DSS kadar C3 dan C5 menurun masing-masing sebanyak 33%
dan 89%. Nyata pada DHF pada masa renjatan terdapat penurunan kadar
komplemen dan dibebaskannya anafilatoksin dalam jumlah 8besar, walupun
plasma mengandung inaktivator ampuh terhadap anafilatoksin, C3a Dan c5a
agaknya perannya dalam proses terjadinya renjatan telah mendahului proses
inaktivasi tersebut. Anafilaktoksin C3a dan C5a tidak berdaya untuk

membebaskan histamin dan ini terbukti dengan ditemukannya kadar histamin


yang meningkat dalam air seni 24 jam pada pasien DHF.
2. Timbulnya agregasi trombosit yang melepaskan ADP akan mengalami
metamorfosis. Trombosit yang mengalami kerusakan metamorfosis akan
dimusnahkan oleh sistem retikuloendotel dengan berakibat trombositopenia
hebat dan perdarahan. Pada keadaan agregasi, trombosit akan melepaskan amin
vasoaktif (histamin dan serotonin) yang bersifat meninggikan permeabilitas
kapiler dan melepaskan trombosit faktor III yang merangsang koagulasi
intravaskular.
3. Terjadinya aktivasi faktor Hageman (faktor XII) dengan akibat akhir terjadinya
pembekuan intravaskular yang meluas. Dalam proses aktivasi ini, plasminogen
akan menjadi plasmin yang berperan dalam pembentukan anafilatoksin yang
penghancuran fibrin menjadi fibrin degradation product. Disamping itu aktivasi
akan merangsang sistem kinin yang berperan dalam proses meningginya
permeabilitas dinding pembuluh darah.

V.

Manifestasi Klinik
Infeksi virus dengue mempunyai spectrum klinis yang luas mulai dari
ansimtomatik (silent dengue infection), demam dengue (DD), demam berdarah
dengue ( DBD), dan demam berdarah dengue disertai syok ( dengue syok
sindrom,DSS). 2,3
DD
Demam akut selama 2-7 hari, disertai dua atau lebih manifestasi berikut:

I.

II.

Nyeri kepala, nyeri retroorbita, mialgia, manifestasi perdarahan, dan leukopenia.


Dapat disertai trombositopenia.
Hari ke-3-5 ==> fase pemulihan (saat suhu turun), klinis membaik.
DBD
Demam tinggi mendadak selama 2-7 hari disertai nyeri kepala, nyeri retroorbita,

mialgia dan nyeri perut.


Uji torniquet positif.
Ruam kulit : petekiae, ekimosis, purpura.
Perdarahan mukosa/saluran cerna/saluran kemih : epistaksis, perdarahan gusi,

hematemesis, melena, hematuri.


Hepatomegali.
Perembesan plasma: efusi pleura, efusi perikard, atau perembesan ke rongga

peritoneal.
Trombositopenia.
Hemokonsentrasi.

Hari ke 3-5 ==> fase kritis (saat suhu turun), perjalanan penyakit dapat

berkembang menjadi syok


III.
DSS
Manifestasi klinis seperti DBD, disertai kegagalan sirkulasi (syok).
Gejala syok :

Anak gelisah, hingga terjadi penurunan kesadaran, sianosis.


Nafas cepat, nadi teraba lembut hingga tidak teraba.
Tekanan darah turun, tekanan nadi < 10 mmHg.
Akral dingin, capillary refill turun.
Diuresis turun, hingga anuria

Derajat DBD menurut WHO Tahun 1975 :7


Derajat I : Demam diikuti gejala tidak spesifik. Satu-satunya manifestasi perdarahan adalah
tes torniquet yang positif atau mudah memar.
Derajat II : Gejala yang ada pada tingkat I ditambah dengan perdarahan spontan. Perdarahan
bisa terjadi di kulit atau di tempat lain.
Derajat III: Kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat dan lemah, tekanan
nadi menurun (<20mmHg) atau hipotensi, suhu tubuh rendah, kulit lembab dan penderita
gelisah.
Derajat IV : Syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak
dapat diperiksa.

IV.

Diagnosis

Kriteria Klinis Berdasarkan Kriteria WHO 1975/1986/1987 :7


1. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas seperti anoreksia, lemah, nyeri pada
punggung, tulang, persendian , dan kepala, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari.
2. Terdapat manifestasi perdarahan, termasuk uji tourniquet positif, petekie, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena.
3. Hepatomegali
4. Syok, nadi kecil dan cepat dengan tekanan nadi 20 mmHg, atau hipotensi disertai gelisah
dan akral dingin.
Kriteria laboratoris :
1. Trombositopenia ( 100.000/l)
4

2. Hemokonsentrasi (kadar Ht 20% dari orang normal)


Diangnosis DBD bila terdapat minimal dua gejala klinis ditambah 2 gejala laboratoris.

V. PENATALAKSANAAN
Pengobatan DBD bersifat suportif simptomatik dengan tujuan memperbaiki sirkulasi
dan mencegah timbulnya renjatan dan timbulnya Koagulasi Intravaskuler Diseminata (KID).6
Penatalaksanaan Demam berdarah Dengue
Perbedaan

patofisiologik

utama

antara

Demam

Dengue/Demam

Berdarah

Dengue/Demam Syok sindrom dan penyakit lain, ialah adanya peningkatan permeabilitas
kapiler yang menyebabkan perembesan plasma, dan gangguan hemostasis. Penatalaksanaan
fase demam pada Demam Berdarah Dengue dan Demam Dengue tidak jauh berbeda, bersifat
simptomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Masa kritis
ialah pada atau setelah hari sakit yang ketiga yang memperlihatkan penurunan tajam hitung
trombosit dan peningkatan tajam hematokrit yang menunjukkan adanya kehilangan cairan,
Observasi tanda vital, kadar hematokrit, trombosit dan jumlah urin 6 jam sekali (minimal 12
jam sekali) perlu dilakukan. Kunci keberhasilan pengobatan DBD ialah ketepatan volume
replacement atau penggantian volume, sehingga dapat mencegah syok.6,7
Bila pada syok DBD tidak berhasil diatasi selama 30 menit dengan resusitasi
kristaloid maka cairan koloid harus diberikan (ada 3 jenis ;dekstan, gelatin dan hydroxy ethyl
starch) sebanyak 10-30ml/kgBB/jam.setelah terjadi perbaikan, segera cairan ditukar kembali
dengan kristaloid. Apabila setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid dan koloid syok
masih menetap sedangkan kadar hematokrit turun, diduga telah terjadi perdarahan, maka
dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Setelah keadaan klinis membaik, tetesan cairan
kristaloid dikurangi bertahap sesuai dengan keadaan klinis dan kadar hematokrit. Pemberian
suspensi trombosit umumnya diperlukan dengan pertimbangan bila terjadi perdarahan secara
klinis. Bila diperlukan suspense trombosit maka pemberiannya diikuti dengan pemberian
fresh frozen plasma (FFP) yang masih mengandung faktor-faktor pembekuan untuk
mencegah agregasi trombosit yang lebih hebat. Bila kadar hemoglobin rendah dapat pula
diberikan
packed red cell (PRC).
Setelah fase krisis terlampau, cairan ekstravaskular akan masuk kembali dalam
intravaskular sehingga perlu dihentikan pemberian cairan intravena untuk mencegah

terjadinya edem paru. Pada fase penyembuhan (setelah hari ketujuh) bila terdapat penurunan
kadar hemoglobin, bukan berarti perdarahan tetapi terjadi hemodilusi sehingga kadar
hemoglobin akan kembali ke awal seperti saat anak masih sehat. Pada anak yang awalnya
menderita anemia akan tampak kadar hemoglobin rendah, hati-hati tidak perlu diberikan
transfusi.6,7

Alogaritma penatalaksanaan DBD derajat II 1

Alogaritma penatalaksanaan DBD derajat III1

VI.

Komplikasi
1.

Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok.

Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa


syok,cenderung terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila syok teratasi cairan
diganti dengan cairan yang tidak mengandung HCO3-, dan jumlah cairan harus segera
dikurangi. Larutan laktar ringer dekstrosa segera ditukar dengan larutan Nacl (0,9%) :
glukosa (5%) = 3:1. untuk mengurangi edema otak diberikan kortikosteroid, tetapi
bila terdapat perdarahan saluran cerna sebaliknya kortikosteroid tidak diberikan. Bila
terdapat disfungsi hati, maka diberikan vitamin K intravena 3-10 mg selama 3 hari,
kadar gula darah diusahakan >60 mg/dl, mencegah terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial dengan mengurangi jumlah cairan (bila perlu diberikan diuretik), koreksi
asidosis dan elektrolit. Perawatan jalan nafas dengan pemberiaan oksigen yang
adekuat. Untuk mengurangi produksi amoniak dapat diberikan neomisin dan
laktulosa. Pada DBD ensefalopati mudah terjadi infeksi bakteri sekunder, makaa
untuk mencegah dapat diberikan antibiotik profilaksis (kombinasi ampisilin
8

100mg/kgbb/hari + kloramfenikol 75 mg/kgbb/hari). Usahakan tidak memberikan


obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya antasid, anti muntah) untuk mengurangi
beban detoksifikasi obat dalam hati.6
2. Kelainan Ginjal
Kelainan ginjal akibat syok yang berkepanjangan dapat terjadi gagal ginjal
akut.Dalam keadaan syok harus yakin benar bahwa penggantian volume intravascular
telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum mencukupi
2ml/kgbb/jam, sedangkan cairan yang diberikan sudah sesuai kebutuhan, maka
selanjutnya furosemid 1 mg/kgbb dapat diberikan. Pemantauan tetap dilakukan untuk
jumlah diuresis, kadar ureum, dan kreatinin. Tetapi apabila diuresis tetap belum
mencukupi, pada umumnya syok juga belum dapat dikoreksi dengan baik, maka
pemasangan CVP (central venous pressure) perlu dilakukan untuk pedoman
pemberian cairan selanjutnya.6
3. Edema paru
Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian
cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima sesuai
panduan yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan edema paru oleh karena
perembesan plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari
ruang ekstravaskular, apabila cairan diberikan berlebih (kesalahan terjadi bila hanya
melihat penurunan hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit),
pasien akan mengalami distress pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan
ditunjang dengan gambaran edem paru pada foto roentgen dada. 6

LAPORAN KASUS
IDENTITAS :
NAMA

: An. IA

JENIS KELAMIN

: Laki-Laki
9

TANGGAL LAHIR/UMUR : 01 Agustus 2002/ 12 Tahun


BERAT WAKTU LAHIR

: 2800 gram

PARTUS/OLEH

: Spontan letak belakang kepala/ bidan

KEBANGSAAN

: Indonesia

AGAMA

: Islam

NAMA IBU/UMUR

: Ny. YG/ 30 tahun

PEKERJAAN IBU

: Ibu Rumah Tangga

NAMA AYAH/UMUR

: Tn. BA/ 33 tahun

PEKERJAAN AYAH

: Petani

PENDIDIKAN AYAH

: SMP

DENGAN DIAGNOSA

: DHF Grade III

KELUHAN UTAMA : Panas naik turun

PERKAWINAN I

PERKAWINAN I

sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit,

perdarahan hidung 1 hari SMRS


Panas dialami penderita sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Panas teraba tiba- tiba
tinggi. Penderita lalu minum obat penurun panas, dengan obat penurun panas demam turun
tapi tidak sampai normal, kemudian naik lagi. Panas tidak disertai dengan kejang dan
menggigil. Perdarahan dari hidung 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Batuk bringus
disangkal

10

Mual muntah disangkal


Nafsu makan turun sejak sakit.
ANAMNESIS ANTE NATAL :
ANC di puskemas tidak teratur sebanyak 5 kali
Suntikan TT 2 kali
Selama hamil ibu penderita dalam keadaan sehat

PENYAKIT YANG SUDAH PERNAH DIALAMI :


Morbili

:-

Varicella

:+

Pertussis

:-

Diarrhea

:+

Cacing

:-

Batuk/Pilek

:+

IMUNISASI
DASAR

ULANGAN

II

III

BCG

POLIO

DTP

CAMPAK

+
11

II

III

HEPATITIS

PEMERIKSAAN FISIK
Umur

: 12 tahun

Berat Badan

: 45 kg

Tinggi Badan

: 142 cm

Keadaan umum

: tampak sakit sedang

Gizi

: baik

Sianosis

: (-)

Anemia

: (-)

Ikterus

: (-)

Kejang

: (-)

Keadaan mental

: Kompos Mentis

Vital sign :
Tensi: 80/60 mmHg

N: 128x/menit

RR: 28x/menit

Kulit :
Warna

: sawo matang

Lapisan lemak

: cukup

Turgor

: kembali cepat

Oedema

: (-)

Kepala:

Bentuk

: normocephal

12

SB: 37,6C

Rambut

: hitam, tidak mudah dicabut

Ubun-ubun

: menutup

Mata : Exophtalmus / Enophtalmus -/-,


Tekanan bola mata : normal pada perabaan
Konjungtiva : anemis -/Sklera : ikterik -/Refleks kornea : normal
Pupil : bulat, isokor, refleks cahaya +/+
Lensa : jernih
Fundus : tidak dievaluasi
Visus : tidak dievaluasi
Gerakan : normal
Telinga : sekret -/Hidung : sekret -/Mulut : Bibir : sianosis (-)
Lidah : beslag (-)
Gigi : karies (-)
Mukosa mulut: basah
Gusi : perdarahan (-)
Bau pernapasan : foetor (-)
Tenggorokan : Tonsil : T1 - T1 hiperemis (-)
Faring : hiperemis (-)
Leher : Trakea

: letak ditengah
13

Kelenjar

: pembesaran KGB (-)

Kaku kuduk : (-)


Thorax

:
Paru-paru

: Inspeksi : simetris, retraksi (-)


Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor kanan = kiri

Auskultasi : SP Bronkovesikuler, Rhonki -/- ,Wheezing -/Jantung

: Detik jantung : 128x/menit


Iktus kordis : tidak tampak
Batas kiri : Linea midklavikularis sinistra
Batas kanan : Linea parasternalis dextra
Batas atas : ICS II-III

Bising : (-)
Abdomen

: Bentuk : cembung, lemas, bising usus (+) normal


Lain-lain : nyeri tekan epigastrium (+)
Lien : tidak teraba
Hepar: tidak teraba

Genitalia

: Laki-laki normal

Kelenjar

: pembesaran (-)

Anggota gerak : akral hangat, CRT < 2


Tulang

: deformitas (-)

Refleks

: Refleks fisiologis +/+, Refleks patologis -/14

DIAGNOSIS
Diagnosis

: DHF grade III

TERAPI
- IVFD RL 20cc/kgBB/secepatnya, selanjutnya sesuai protokol
- paracetamol 3x 500mg k/p
- Inj asam traneksamat 3x 1amp iv k/p
- oralit ad lib
- imboost 1x1 tab
- Pcv Trombosit rutin/ 6 jam
- Obs VS /6 jam

RESUME
Anak laki-laki, 12 tahun, BB 45 Kg, TB 142 cm
MRS 30/1/2015
Keluhan: Panas naik turun sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit, perdarahan dari
hidung 1 hari SMRS
KU: tampak sakit sedang
TD: 80/60 mmHg

Kes: Kompos mentis

N: 128x/menit

R: 28x/menit

Kepala: konjuntiva anemis -/-, sklera ikterus -/-, PCH (-),


Thorax: simetris, retraksi (-)
Cor: bising (-)

15

SB: 37,5oC

Pulmo: Sp. Bronkovesikuler, Rh -/-, Wh -/Abdomen: cembung, lemas, BU (+) N, NTE(+)


Hepar: tidak teraba

Lien: tidak teraba

Ekstremitas: akral dingin, CRT 2


- Terapi IVFD RL 20cc/kgBB/secepatnya, selanjutnya sesuai protokol
- paracetamol 3x 500mg k/p
- Inj asam traneksamat 3x 1amp iv k/p
- Oralit ad lib
- Imboost 2x1 tab
- Ranitin 2X1 inj
- Pcv rutin/ 6 jam

Hasil laboratorium:
Hematokrit

: 43,8

Hb

: 15,1

Leukosit

: 1700/mm3

Trombosit

: 68.000/mm3

DDR (-)
WIDAL (-)

FOLLOW UP
30/1/2015

Jam 23.00 WITA

S : Demam (-), Akral dingin (-), Nyeri uluh hati (+)


16

PCV: 46% Trombosit:80.000/mm3


O : KU : Tampak sakit sedang,
TD: 100/70

N: 110x/m

Kes : CM
R: 20x/m

S: 36,80C

Kep : conj.an -/-, scl ict -/-, PCH -/Tho : Simetris, retraksi (-)
Pulmo : Sp. Bronkovesikuler, Rh -/-, Wh-/Abd : Datar, lemas, BU(+) N,NTE(+)
Ext : Akral hangat, CRT<2
A : DHF Grade III
P : - IFVD RL 10 cc/kgBB/jam= 320 cc/jam
-

Terapi lain lanjut

31/1/2015

Jam 06.00 WITA

S : Demam (-), Akral dingin (-), Nyeri uluh hati (+)

PCV: 38,8%
Trombosit:90.000/m3

O : KU : Tampak sakit,
TD: 100/80

N: 92x/m

Kes : CM
R: 18x/m

Kep : conj.an -/-, scl ict -/-, PCH -/Tho : Simetris, retraksi (-)
Pulmo : Sp. Bronkovesikuler, Rh -/-, Wh-/Abd : Datar, lemas, BU(+) N, H: ttb L: ttb
Ext : Akral hangat, CRT<2

17

S: 36,70C

31/1/2015

Jam 12.00 WITA

S : Demam (-), Akral dingin (-), Nyeri uluh hati (+)

PCV: 38,8%
Trombosit:90.000/m3

O : KU : Tampak sakit,
TD: 100/80

Kes : CM

N: 92x/m

R: 18x/m

S: 37,50C

Kep : conj.an -/-, scl ict -/-, PCH -/Tho : Simetris, retraksi (-)
Pulmo : Sp. Bronkovesikuler, Rh -/-, Wh-/Abd : Datar, lemas, BU(+) N ,NTE (+), H: ttb L: ttb
Ext : Akral hangat, CRT<2
P : - IFVD RL 7cc/kgBB/jam= 224 cc/jam= 74-75 gtt/ mnt makro
-

Terapi lain lanjut

31/1/2015

Jam 20.00 WITA

S : Demam (-), Akral dingin (-), Nyeri uluh hati (-)

PCV: 34%
Trombosit : 101.000/mm3

O : KU : Tampak sakit,
TD: 100/60mmHg

Kes : CM
N: 98x/m

R: 24x/m

Kep : conj.an -/-, scl ict -/-, PCH -/Tho : Simetris, retraksi (-)
Pulmo : Sp. Bronkovesikuler, Rh -/-, Wh-/Abd : Datar, lemas, BU(+) N, H: ttb L: ttb
Ext : Akral hangat, CRT<2

18

S: 36,00C

A : DHF Grade III


P : - IFVD RL 5cc/kgBB/jam= 160cc/jam
-

Terapi lain lanjut

1/2/2015

Jam 6.00 WITA

S : Demam (-), Nyeri uluh hati (-)

PCV: 34%

trombosit:101.000/mm3
O : KU : Tampak sakit,
TD: 90/60mmHg

Kes : CM

N: 100x/m

R: 24x/m

S: 36,00C

Kep : conj.an -/-, scl ict -/-, PCH -/Tho : Simetris, retraksi (-)
Pulmo : Sp. Bronkovesikuler, Rh -/-, Wh-/Abd : Datar, lemas, BU(+) N, H: ttb L: ttb
Ext : Akral hangat, CRT<2
A : DHF Grade III
P : - IFVD RL 5cc/kgBB/jam= 160cc/jam
-

Ranitidin stop
Traneksamat inj stop

PEMBAHASAN
Diagnosis pada kasus ini adalah demam berdarah dengue grade III, ditegakan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunujang. Pada pasien ini dari
hasil anamnesis didapatkan panas dialami penderita sejak 5 hari sebelum masuk rumah
sakit. Panas teraba tiba- tiba tinggi, Panas tidak disertai dengan kejang dan menggigil. Panas
tidak turun sampai normal dengan pemberian obat penurun panas. Perdarahan dari hidung
dialami sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit,riwayat trauma atau menggaruk hidung
disangkal pasien, Perdarahan terjadi bersamaan dengan demam, dari pemeriksaan fisik
19

ditemukan nadi teraba cepat yaitu 128x/menit, tekanan darah 80/60 mmHg, dari hasil
laboratorium didapatkan hematoktrit 45% trombosit 68.000mm3,dari hasil anamnesis dan
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan lab dari pasien ini sesuai dengan kriteria diagnosis
deman berdarah dengue berdasarkan kriteria WHO 2009: yaitu:
Kriteria klinis :1
1. Panas mendadak terus menerus 2-7 hari tanpa sebab yang jelas
a. Hari 1-2 : naik
b. Hari 3-4 : turun
c. Hari 5-6 : naik

Gambar 1. Demam bifasik pada DBD6

2.

Manifestasi perdarahan :
a. uji torniket (+)
b. petechie, ekhimosis ataupun purpura
c. perdarahan mukosa traktus gastrointestinal, epistaksis, perdarahan gusi
3. Hepatomegali.
Kriteria Laboratorium:
1. Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/ml).
2. Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit >20% menurut
standar umur dan jenis kelamin.
Pembagian Derajat DBD menurut WHO Tahun 1975 :1
Derajat I : Demam diikuti gejala tidak spesifik. Satu-satunya manifestasi perdarahan adalah
tes torniquet yang positif atau mudah memar.
Derajat II : Gejala yang ada pada tingkat I ditambah dengan perdarahan spontan. Perdarahan
bisa terjadi di kulit atau di tempat lain.
20

Derajat III: Kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat dan lemah, tekanan
nadi menurun (<20mmHg) atau hipotensi, suhu tubuh rendah, kulit lembab dan penderita
gelisah.
Derajat IV : Syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak
dapat diperiksa.
Dua gejala klinis pertama ditambah 2 gejala laboratoris dianggap cukup untuk
menegakkan diagnogsis kerja DBD.

Gambar 2. Patogenesis Dan Spektrum Klinis DBD (WHO, 1997)8

Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan
diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4 x 106.
Terdapat 4 serotipe virus tipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya
dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue keempat serotype
ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak.3,4

Cara Penularan
21

Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue, yaitu
manusia, virus dan vektor perantara.Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui nyamuk
Aedes aegypti, aedes albopictus, aedes polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat
juga menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang kurang berperan. Aedes tersebut
mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia.
Kemudian virus yang berada dikelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8 10 hari
(extrinsic incubationperiod) sebelum dapat di tularkan kembali pada manusia pada saat
gigitan berikutnya. Sekali virus dapat masuk dan berkembang biak di dalam tubuh nyamuk
tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). 5,6 Ditubuh manusia, virus
memerlukan waktu masa tunas 4 6 hari (intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan
penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk dapat terjadi bila nyamuk menggigit
manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah
demam timbul.6

Patogenesis
Virus dengue masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk dan infeksi pertama kali
mungkin memberi gejala seperti DD. Reaksi tubuh merupakan reaksi yang biasa terlihat
pada infeksi oleh virus. Reaksi yang amat berbeda akan tampak bila seseorang mendapat
infeksi berulang dengan tipe virus dengue yang berlainan. Re-infeksi ini akan menyebabkan
suatu reaksi anamnestik antibodi, sehingga menimbulkan konsentrasi kompleks antigen
antibodi (kompleks virus antibodi) yang tinggi.7
Terdapatnya komplek virus-antibodi dalam sirkulasi darah mengakibatkan hal sebagai
berikut :
4. Kompleks virus-antibodi akan mengaktivasi sistem komplemen, berakibat
dilepaskannya anafilatoksin C3a dan C5a.C5a menyebabkan meningginya
permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangnya plasma melalui
endotel dinding tersebut, suatu keadaan yang amat berperan dalam terjadinya
renjatan. Pada DSS kadar C3 dan C5 menurun masing-masing sebanyak 33%
dan 89%. Nyata pada DHF pada masa renjatan terdapat penurunan kadar
komplemen dan dibebaskannya anafilatoksin dalam jumlah 8besar, walupun
plasma mengandung inaktivator ampuh terhadap anafilatoksin, C3a Dan c5a
agaknya perannya dalam proses terjadinya renjatan telah mendahului proses
inaktivasi tersebut. Anafilaktoksin C3a dan C5a tidak berdaya untuk

22

membebaskan histamin dan ini terbukti dengan ditemukannya kadar histamin


yang meningkat dalam air seni 24 jam pada pasien DHF.
5. Timbulnya agregasi trombosit yang melepaskan ADP akan mengalami
metamorfosis. Trombosit yang mengalami kerusakan metamorfosis akan
dimusnahkan oleh sistem retikuloendotel dengan berakibat trombositopenia
hebat dan perdarahan. Pada keadaan agregasi, trombosit akan melepaskan amin
vasoaktif (histamin dan serotonin) yang bersifat meninggikan permeabilitas
kapiler dan melepaskan trombosit faktor III yang merangsang koagulasi
intravaskular.
6. Terjadinya aktivasi faktor Hageman (faktor XII) dengan akibat akhir terjadinya
pembekuan intravaskular yang meluas. Dalam proses aktivasi ini, plasminogen
akan menjadi plasmin yang berperan dalam pembentukan anafilatoksin yang
penghancuran fibrin menjadi fibrin degradation product. Disamping itu aktivasi
akan merangsang sistem kinin yang berperan dalam proses meningginya
permeabilitas dinding pembuluh darah.

Gambar 3. Hipotesis infeksi sekunder 8

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah
trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran
limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia umumnya dijumpai pada hari ke 3-8
sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3 demam.5
Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya gangguan
23

koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau
FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/
kreatinin. Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostic melalui
pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara tiga jenis
uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi virus. Namun, metode
ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih dari 12 minggu),
serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena keterbatasan ini, seringkali yang dipilih adalah
metode diagnosis molekuler dengan deteksi materi genetik virus melalui pemeriksaan reverse
transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR).9
Pemeriksaan RT-PCR memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila
dibandingkan dengan isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah
mengalami kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif semu. Pemeriksaan
yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan mendeteksi IgM
dan IgG-anti dengue. Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat
sampai minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer, IgG mulai
terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2.
Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang adalah pemeriksaan antigen
spesifik virus Dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1 (NS1). Antigen NS1
diekspresikan di permukaan sel yang terinfeksi virus Dengue. Masih terdapat perbedaan
dalam berbagai literatur mengenai berapa lama antigen NS1 dapat terdeteksi dalam darah.
Sebuah kepustakaan mencatat dengan metode ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi dalam
kadar tinggi sejak hari pertama sampai hari ke 12 demam pada infeksi primer Dengue atau
sampai hari ke 5 pada infeksi sekunder Dengue. Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode
ELISA juga dikatakan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%). 9
Oleh karena berbagai keunggulan tersebut, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen
NS1 sebagai uji dini terbaik untuk pelayanan primer. Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA
tegak dan lateral dekubitus kanan) dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura,
terutama pada hemitoraks kanan dan pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat
ditemukan pada kedua hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan USG.

Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan
ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan

24

terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapicairan, hal
terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris.
Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari
ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan
berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada
kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai Apakah
pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya
kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang masif perlu selalu
diwaspadai. 10
Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada trombositopenia yang
berat) dan pemberian makanan dengan kandung-an gizi yang cukup, lunak dan tidak
mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis,
dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi
keluhan dispepsia. Pemberian aspirin ataupun obat anti inflamasi nonsteroid sebaiknya
dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas
(lambung/duodenum).10
Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan DBD dewasa
mengikuti 5 protokol,mengacu pada protokol WHO. Protokol ini terbagi dalam 5 kategori,
sebagai berikut:8
1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok (gambar 4).
2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
(gambar 5).
3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%
(gambar 6).
4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa
5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa. (gambar 7)

Gambar 4. Penanganan tersangka DBD tanpa syok8

25

Gambar 5. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat8

Gambar 6. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20% 8

26

Gambar 7. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa 8


Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya pada
penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis cairan dan kedua adalah
jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah untuk
mengganti kehilangan cairan di ruang intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer
laktat, ringer asetat, cairan salin) maupun koloid dapat diberikan. 11 WHO menganjurkan
terapi kristaloid sebagai cairan standar pada terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid,
kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya
dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama di intravaskular,
27

aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki
efek alergi yang minimal.1-3 Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD
aman dan efektif.Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan
kristaloid adalah edema, asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan hemokonsentrasi.
Kristaloid memiliki waktu bertahan yang singkat di dalam pembuluh darah. Pemberian
larutan RL secara bolus (20 ml/kg BB) akan menyebabkan efek penambahan volume vascular
hanya dalam waktu yang singkat sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial
(ekstravaskular) dengan perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu
satu jam hanya 5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke dalam
ruang interstisial. kebocoran plasma yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut masih
akan berlangsung. Pada kondisi DBD derajat 1 dan 2, cairan diberikan untuk kebutuhan
rumatan (maintenance) dan untuk mengganti cairan akibat kebocoran plasma. Secara praktis,
kebutuhan rumatan pada pasien dewasa dengan berat badan 50 kg, adalah sebanyak kurang
lebih 2000 ml/24 jam; sedangkan pada kebocoran plasma yang terjadi seba-nyak 2,5-5% dari
berat badan sebanyak 1500-3000 ml/24 jam. Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD
dengan hemodinamik yang stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun demikian,
pemantauan kadar hematokrit perlu dilakukan untuk menilai apakah hemokonsentrasi masih
berlangsung dan apakah jumlah cairan awal yang diberikan sudah cukup atau masih perlu
ditambah. 12
Pemantauan lain yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis pasien, stabilitas
hemodinamik serta diuresis. Pada DBD dengan kondisi hemodinamik hemodinamik tidak
stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan secara bolus atau tetesan cepat antara 6-10 mg/kg
berat badan, dan setelah hemodinamik stabil secara bertahap kecepatan cairan dikurangi
hingga kondisi benar-benar stabil (lihat protokol pada gambar 6 dan 7). Pada kondisi di mana
terapi cairan telah diberikan secara adekuat, namun kondisi hemodinamik belum stabil,
pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan untuk menilai kemungkinan
terjadinya perdarahan internal.12

Komplikasi
Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok.
Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok,cenderung terjadi
edema otak dan alkalosis, maka bila syok teratasi cairan diganti dengan cairan yang tidak
mengandung HCO3-, dan jumlah cairan harus segera dikurangi. Larutan laktar ringer

28

dekstrosa segera ditukar dengan larutan Nacl (0,9%) : glukosa (5%) = 3:1. untuk mengurangi
edema otak diberikan kortikosteroid, tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna sebaliknya
kortikosteroid tidak diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka diberikan vitamin K
intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah diusahakan >60 mg/dl, mencegah
terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dengan mengurangi jumlah cairan (bila perlu
diberikan diuretik), koreksi asidosis dan elektrolit. Perawatan jalan nafas dengan pemberiaan
oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi produksi amoniak dapat diberikan neomisin dan
laktulosa. Pada DBD ensefalopati mudah terjadi infeksi bakteri sekunder, makaa untuk
mencegah dapat diberikan antibiotik profilaksis (kombinasi ampisilin 100mg/kgbb/hari +
kloramfenikol 75 mg/kgbb/hari). Usahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak
diperlukan (misalnya antasid, anti muntah) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam
hati.13
4. Kelainan Ginjal
Kelainan ginjal akibat syok yang berkepanjangan dapat terjadi gagal ginjal
akut.Dalam keadaan syok harus yakin benar bahwa penggantian volume intravascular
telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum mencukupi
2ml/kgbb/jam, sedangkan cairan yang diberikan sudah sesuai kebutuhan, maka
selanjutnya furosemid 1 mg/kgbb dapat diberikan. Pemantauan tetap dilakukan untuk
jumlah diuresis, kadar ureum, dan kreatinin. Tetapi apabila diuresis tetap belum
mencukupi, pada umumnya syok juga belum dapat dikoreksi dengan baik, maka
pemasangan CVP (central venous pressure) perlu dilakukan untuk pedoman
pemberian cairan selanjutnya.
5. Edema paru
Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian
cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima sesuai
panduan yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan edema paru oleh karena
perembesan plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari
ruang ekstravaskular, apabila cairan diberikan berlebih (kesalahan terjadi bila hanya
melihat penurunan hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit),
pasien akan mengalami distress pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan
ditunjang dengan gambaran edem paru pada foto roentgen dada.

29

Vous aimerez peut-être aussi