Vous êtes sur la page 1sur 20

Acknowledgement

Tim editor mengucapkan terima kasih kepada


para kontributor, yakni Bapak Oswar
Mungkasa, Bapak Djoko Muljanto, Bapak
Dani Muttaqin, Bapak Dwi Hariyawan, Ibu
Teti Argo, Bapak Rais Kandar, Ibu Listra
Destriyana, Bapak Achmad Zabir, dan pihakpihak lain yang tidak dapat kami sebutkan
satu persatu, yang telah turut serta
memberikan data, masukan, maupun
komentar atas makalah ini.

PLANNING
OUTLOOK 2015
PHOTO COURTESY
http://static.panoramio.com/photos/large/9
1561769.jpg
http://www.summso.com/wpcontent/uploads/2013/06/city-planning.jpg
https://transcard.les.wordpress.com/2010/
03/rencana-pembangunan-infrastrukturjawa-barat-februari-2010.jpg

Refleksi Masalah &


Masa Depan Perencanaan
Tata Ruang Indonesia

Pengantar B

erdasarkan index kenyamanan kota, Indonesian Most Livable City Index, yang dilansir oleh

Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia, hampir 50% warga kota Indonesia menganggap kota nya
tidak nyaman. Dengan lebih dari 25 kota-kota Indonesia bertumbuh menjadi lebih dari 1 juta
penduduk, kota dan desa di Indonesia mengalami tantangan yang sangat signikan. Perencanaan
Tata Ruang di Indonesia sedang mengalami momentum perubahan lingkungan strategis pada saat
bersamaan dengan pesat nya laju urbanisasi. Produk rencana sering dianggap tidak berpihak kepada
kaum rentan dan berpenghasilan rendah, dan seringkali kontra produktif mengamini pemberian
kekuasaan besar pada pemilik modal dan pemilik hak veto!

anyaknya konik di kota-kota Indonesia yang tak kunjung selesai juga merupakan isu utama.
Konik terletak pada sektor infrastruktur, kehutanan, pertanahan dan kawasan pesisir pantai,
sebanyak 80 persen konik berada di kawasan Jadebotabekpunjur. Proses perencanaan kota
di Indonesia berkembang sesuai dengan dinamika politik pembangunannya. Ada 5.000 lebih RDTR
(Rencana Detail Tata Ruang) dan Kawasan Khusus yang harus disusun di seluruh kota dan
kabupaten, sesuai mandat UU 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

TIM PENYUSUN
PENASIHAT
Bernardus Djonoputro
EDITOR
Aryo Hanggono
Andy Simarmata
Djoko Muljanto
Adriadi Dimastanto

Salam IAP Jaya

DISUSUN OLEH

IKATAN AHLI
PERENCANAAN
INDONESIA
Gedung IAP Lantai 2
Jl Tambak No 21
Pegangsaan - Jakarta Pusat
Tel
Fax
Web

+62 21 3905067
+62 21 31903240
www.iap.or.id

Kontak Kami:
Livable City
Keanggotaan
Young Planners
Kerjasama
Luar Negeri

alau Indonesia akan menata ruang masa depan menuju ruang yang layak hidup, maka
efektitas seluruh sendi pemerintahan dan proses perencanaan yang menyeluruh sangat
penting untuk keberhasilan kita. Saya mengharapkan Planning Outlook yang akan dilakukan
berkala setiap tahun, akan menjadi kontribusi dan obligasi moral para perencana, yang bersama
semua pemangku kepentingan berjuang agar kota tumbuh memenuhi kebutuhan ruang layak hidup
seluruh warga secara by design untuk mencegah pembangunan sporadis development by chance.

: Elkana Catur
(elkana,catur@gmail.com)
: Adriadi Dimastanto
(adriadidimas@gmail.com)
: Meyriana Kesuma
(meyrianakesuma@gmail.com)
: Dani Muttaqin
(dani.muttaqin@gmail.com)
: Andy Simarmata
(andybanjar@yahoo.com)

Dilarang menyalin/memperbanyak sebagian


ataupun seluruh isi publikasi ini dalam bentuk
apapun tanpa mendapatkan izin dari IAP. Untuk
mengunduh publikasi ini, kunjungi website
www.iap.or.id

Bernardus Djonoputro,
Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia

Refleksi
Perencanaan Tata Ruang di Indonesia
Pasca UU No 26 Tahun 2007
Tentang Penataan Ruang

takeholder pembangunan semakin


menyadari pentingnya produk rencana
tata ruang (RTR) sebagai acuan ruang
dalam pembangunan karena adanya sanksi
dan ancaman pidana apabila melanggar
peraturan tentang rencana tata ruang tersebut.
Penguatan aspek hukum di dalam penataan
ruang diapresiasi oleh banyak pihak, namun
dalam prakteknya masih ada beberapa
pertanyaan yang perlu dijawab, yaitu pada
basis apa, aspek legal tersebut dikenakan?
Mengapa hal tersebut menjadi penting?
Karena produk rencana sangat terkait dengan
ketidakpastian masa depan (uncertainty)
sehingga memberikan sanksi atas rencana
yang dibuat menjadi dilematis, khususnya bagi
penyusun rencana tersebut.
Dalam hal kualitas produk rencana tata ruang,
keterbatasan biaya perencanaan

1 IAP - PLANNING OUTLOOK 2015

menyebabkan pengadaan data perencanaan


menjadi lebih bersifat asal ada, sehingga
menimbulkan banyak masalah ketika
diimplementasikan. Selain itu penting untuk
disadari bahwa penyediaan data tersebut tidak
dapat dikerjakan selama proses perencanaan.
Menurut peraturan perundang-undangan,
proses penyusunan RTR dibagi ke dalam 3
(tiga) tahapan, yaitu teknoratis, partisipatif,
dan legislatif. Namun belum ada aturan
bagaimana jika produk hasil teknoratis
mengalami perubahan ketika proses
partisipatif dan legislatif. Distorsi tersebut
harus diatur sedemikian rupa untuk
mewujudkan proses yang transparan dan
akuntabel. Oleh karena itu, instansi pemerintah
yang memiliki tanggung jawab dalam
penyediaan peta dan data tersebut perlu
mendukung penyediaan peta dan data
perencanaan.

Saat ini, setidaknya sudah ada 30-an produk


RTRW yang sudah perda dan siap
diimplementasikan. Tentunya tidak mudah
untuk bisa dilaksanakan dengan lancar
mengingat dalam prosesnya terjadi upaya
percepatan untuk memenuhi waktu transisi
sebagaimana diamanatkan UUPR. Dan setelah
itu menunggu ribuan produk rencana detail
yang belum dilaksanakan. Beban kerja ini perlu
dikelola dengan baik oleh pemerintah, dengan
dukungan dari asosiasi profesi perencana.
Panjangnya proses perijinan pembangunan
kawasan apabila mengikuti sistem
perencanaan dan pertanahan saat ini. Bisa
dibayangkan dari lamanya proses tersebut,
dari perencanaan makro sampai ke sik
pembangunan (RTRW RDTR RTBL Rencana
Tapak FS/DED - Amdal ) yang membutuhkan
waktu 5-6 tahun apabila dikerjakan secara
berturut-turut. Selain tidak esien, juga

menghasilkan biaya yang sangat mahal hanya


untuk mendapakan ijin membangun. Diperlukan
suatu terobosan dalam upaya percepatan
(shortcut) proses perencanaan yang terkait
dengan aspek keruangan (tanah) sampai
kepada level tapak (lot-based planning).

IAP - PLANNING OUTLOOK 2015 2

ersoalan data yang dibutuhkan dalam


perencanaan tata ruang menjadi
kendala utama dalam hal kualitas
produk rencana tata ruang. Keterbatasan biaya
perencanaan menyebabkan pengadaan data
perencanaan menjadi lebih bersifat asal ada,
sehingga menimbulkan banyak masalah ketika
diimplementasikan.

etersediaan data regional/ wilayah


dalam lingkup kabupaten baik data
umum maupun data sektoral sebagai
materi sinkronisasi pengembangan terhadap
sektor yang memiliki rencana induk/
masterplan.

K
P

ualitas Peta, teknologinya dan


ketersediaan Citra Satelit Resolusi
Besar (SPOT, Alos, Aster, dst) untuk
pembuatan peta skala 1:1.000

1-Data:
Ketersediaan dan Integritas
Persoalan data yang dibutuhkan
dalam perencanaan tata ruang
menjadi kendala utama.

roses pembuatan peta dasar masuk ke


dalam proses penyusunan rencana,
sehingga apabila pendanaan dan
sumberdaya (biaya & personil) tersedia tidak/
kurang mencukupi maka langlah pararel untuk
produksi/pembuatan peta ini akan menjadi
kendala besar dalam proses penyusunan.

eta dasar kabupaten dibuat


berdasarkan citra resolusi rendah
(Landsat) dan peta rupa bumi (RBI) dari
Bakosuratanal (dulu, sekarang BIG) sehingga
menyulitkan proses perencanaan.

eberapa Pemda telah memiliki citra


satelit resolusi tinggi (Quickbird,
Geoeye, Worldview, Pleiades, Ikonos,
dll), meskipun dilaksanakan bersamaan
bersamaan penyusunan materi teknis bahkan
didalam paket penyusunan. Sisanya proses
pembuatan peta masih dilakukan dengan
resolusi menengah dan survey lapangan.
Pembuatan Peta Dasar dan Peta Tematik Skala
1:5.000 untuk RDTR ini memerlukan waktu
yang cukup lama 2-4 bulan, karena proses
pengadaan citra masuk ke dalam waktu
penyusunan (dalam kontrak yang rata-rata
hanya 6 bulan), tentu saja akhirnya ditempuh
banyak cara dan modikasi terhadap hasilnya.
Terkadang batas ekspose laporan antara sudah
masuk, namun survey lapangan baru saja
selesai dan data belum diolah, karena faktor
pengadaan citra. Kondisi terbaru bahwa citra
satelit dan peta yang dibuat dalam RDTR harus
melalui proses persetujuan peta di BIG (untuk
dilakukan pemeriksanaan peta dasar, tematik,
rencana), dimana penjelasannya cukup
terlambat atau dibelakang, sehingga
terkadang/ banyak proses yang diulang;
pengukuran ground control point (GCP), koreksi
geometris dan orthorektikasi citra, dan
digitasi menjadi peta garis. Penggunaan Foto
Udara dan Drone yang merupakan teknologi
yang masih sangat mahal, masih belum dapat
dijangkau bagi sebagain besar Pemda,
meskipun ada Pemda yang telah memiliki.

IAP - PLANNING OUTLOOK 2015 4

enilaian terhadap kondisi


wilayah/kawasan perencanaan dan
keberadaan data pendukung yang tidak
dilakukan pada tahap pra penyusunan RTR
menyebabkan target minimum output,
kebutuhan waktu penyusunan produk RTR dan
standar biaya minimum penyusunan RTR tidak
dapat dirumuskan secara akurat; Banyak
produk RTR disusun dengan dukungan data
dan analisis yang tidak standar.

roses penyusunan yang tidak


melibatkan pemangku kepentingan
secara proporsional dan transparan
akan menjadikan produk RTR tidak peka
terhadap aspirasi para pemangku kepentingan.

P
B

roses transfer localities kurang

maksimal dikarenakan pemahaman


pemangku kepentingan yang terbatas
terhadap produk RTR.

2-Proses
Perencanaan yang Lemah
Pelibatan stakeholders belum proporsional
dan representatif. Belum ada aturan
bagaimana jika produk hasil teknoratis
mengalami perubahan ketika proses
partisipatif dan legislatif.

anyak ditemui pemimpin wilayah yang


memaksakan untuk melakukan revisi
terhadap produk RTR di wilayahnya
padahal baru 1 tahun bahkan belum ada 1
tahun perda RTR ditetapkan oleh Dewan.

A
P

kibat dari proses penyusunan RTR


yang kurang baik menyebabkan
berbagai peluang investasi tidak dapat
diakomodir oleh RTR.
rosedur penyusunan RTR dibagi ke
dalam 3 (tiga) tahapan, yaitu teknoratis,
partisipatif, dan legislatif. Namun belum
ada aturan bagaimana jika produk hasil
teknoratis mengalami perubahan ketika proses
partisipatif dan legislatif. Distorsi tersebut
harus diatur sedemikian rupa untuk
mewujudkan proses yang transparan dan
akuntabel.

turan mengenai vertikal ruang, yaitu


atas dan bawah tanah belum eksplisit
dipertimbangkan dalam proses
penyusunan rencana. Padahal, hal ini sangat
dibutuhkan untuk mengantisipasi kemajuan
zaman, seperti penyediaan instrastrukur
bawah tanah (Pipa gas, kabel, jalur MRT, dll)
dan udara, seperti BTS, menara, dll)

ormat tampilan produk rencana belum

berbentuk tiga dimensi (3D), hanya dua


dimensi sehingga informasi yang tersaji
hanya permukaan tanah saja (land surface),
padahal ruang bukan hanya di tataran surface
tapi juga menyangkut dalam dan atas tanah.
Proses perencanaan menjadikan para
penyusun RTR umumnya bekerja secara
normatif, padahal perencanaan membutuhkan
kreatitas dan inovasi mengingat setiap
daerah atau kawasan memiliki keunikan
tersendiri yang perlu diakomodir dan
ditransformasikan menjadi keunggulan daerah
tersebut.

ijumpai produk dokumen RTR tidak


memiliki kualitas yang baik yang
digunakan di dalam pelaksanaan
pembangunan. Denisi tidak baik ini dapat
diartikan sebagai produk hukum yang dibuat
secara asal-asalan, tidak menggunakan
metodologi analisa yang tepat dari data dan
informasi yang dihimpun, mengasumsikan
sendiri tanpa asumsi yang dapat
dipertanggungjawabkan sehingga produk RTR
yang seharusnya dapat mengguide para
pemangku kepentingan di dalam melaksanakan
pemanfaatannya menjadi produk yang mudah
diselewengkan dilapangan.

IAP - PLANNING OUTLOOK 2015 6

ebagai negara kepulauan, ruang wilayah Indonesia terbentuk dari suatu kondisi khas dan
strategis yang belum dipertimbangkan dalam metode perencanaan wilayah dan kota.
Kekhasan kepulauan tropis-nya memberikan makna akan pentingnya kondisi ruang waktu
dan kebudayaan yang berakar dari ruang waktu tersebut. Perubahan zaman yang sangat cepat,
dari perubahan iklim global, globalisasi ekonomi, dan hilangnya makna jarak antar wilayah
dengan kemajuan teknologi transportasi, komunikasi, dan informasi yang pesat harus dapat
diimbangi dengan kemampuan keilmuan perencanaan untuk menghasilkan ruang yang
berkualitas.

3-Mazhab
Perencanaan
Orientasi Kontinen vs
Kepulauan Tropis

eberadaan Kementerian Kelautan dan Perikanan seharusnya bukan dijadikan alasan


untuk kemudian menyusun rencana tata ruang daratan dan lautan menjadi terpisah.
Konsep tanah air adalah kesatuan interaksi antara tanah dan air yang merupakan salah
satu upaya mengintegrasikan hal tersebut, termasuk di dalamnya dengan memfokuskan pada
gugusan pulau-pulau kecil. Perencanaan pulau-pulau kecil tidaklah sebatas pada sebidang tanah
di pulaunya saja, tetapi juga termasuk bawah laut dan sistem ekoregion dari gugusan pulau kecil
tersebut.

leh karena itu, pendekatan perencanaan perlu berorientasi pada kekuatan kelautan kita,
tidak hanya secara geopolitik, tetapi juga sumber daya laut dan konektitas antar
wilayah di Indonesia. Pengembangan perkotaan tidak perlu dibatasi pada batasan
daratan semata, tetapi juga pada aspek perairan lautnya. Selain itu juga persoalan dinamika
pesisir, seperti akresi (tanah timbul), abrasi, dan lain sebagainya perlu dipertimbangkan dalam
perencanaan tata ruang yang berdimensi 20 tahun.

pendekatan perencanaan perlu berorientasi pada


kekuatan kelautan kita, tidak hanya secara
geopolitik, tetapi juga sumber daya laut dan
konektitas antar wilayah di Indonesia.
Pengembangan perkotaan tidak perlu dibatasi
pada batasan daratan semata, tetapi juga pada
aspek perairan lautnya.

IAP - PLANNING OUTLOOK 2015

T
P

idak dikenalnya Urban Regeneration


sebagai produk atau program yang
dihasilkan oleh dan dalam proses
perencanaan tata ruang.

adahal apabila mau mengembangkan


kota-kota masa depan kita, dengan
segala kompleksitas persoalannya,
urban regeneration adalah aspek terpenting
dalam perencanaan untuk menggantikan 'selsel mati' di kota dan menghidupkan kembali
lokomotif pengembangan kawasan tersebut.

4-Produk Rencana
Multi-interpretasi
dan Memicu Konflik

Proses penyusunan, legalisasi, maupun


implementasi dokumen rencana tata ruang
masih ditemui banyak kendala.

endekatan asal-asalan, menyangkut


loso visi dan pandangan jangka
panjang sebuah rencana. Contoh: RTRW
Jakarta, dalam penjabaran Visi Perencanaan
yang mengganti istilah pemangku kepentingan
dari Stakeholder menjadi Shareholder.
Setelah didebat berkali-kali dalam bottom-op
planning sessions dan paparan publik, tetap
tidak diubah, dengan alasan pemilik saham
mempunyai tanggung jawab dan rasa memiliki
lebih tinggi. Padahal, bukankah kepimilikan
saham yang lebih banyak, berarti
mempertinggi bargaining position dan hak veto
pihak tertentu? Satu kata vital, yang
menegaskan keberpihakan perencana dan
pemerintah terhadap kekuatan kapital.

ebagai suatu sistem yang saling terkait,


mulai dari rencana tingkat nasional
hingga ke rencana detail. Proses
penyusunan, legalisasi, maupun implementasi
dokumen rencana tata ruang masih ditemui
banyak kendala yang dihadapi.

erkait dengan pengelolaan kawasan


strategis temuan awal yang terlihat
adalah masih banyaknya rencana
kawasan strategis yang belum dijabarkan ke
dalam program yang jelas dan terukur yang
bisa dilihat kinerjanya. Dalam keberjalanannya
sejak ditetapkan sebagai perda/perpres,
banyak program yang sudah dirumuskan
namun belum dijalankan sehingga secara
umum dapat disimpulkan kawasan strategis
belum dikelola secara sungguh sungguh
terlihat dari kondisi (outcome) yang semakin
menurun kualitasnya.

IAP - PLANNING OUTLOOK 2015 10

Kasus 1:
Revisi RTR KSN Sarbagita

ada tahun 2011 telah dilegalkan Perpres No. 45 tentang RTR KSN Sarbagita
yang telah disusun berdasarkan prosedur yang ditetapkan berdasarkan UU
No. 26 tahun 2007 dan PP No. 26 tahun 2008 tentang RTRWN beserta
turunan pedomannya.
Namun sejalan dengan telah dilegalkannya perpres tersebut, ada usulan untuk
dilakukan peninjauan kembali (PK) dan revisi RTR KSN Sarbagita. Hal ini dilakukan
karena ada kepentingan politik yang mengharuskan PK dan revisi tersebut
diwujudkan. PP No. 15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang telah
menjabarkan proses dilakukannya PK dan revisi RTR, diantaranya:
a. PK RTR meliputi (Pasal 83):
1)
Penetapan pelaksanaan PK RTR
2)
Pelaksanaan PK RTR
3)
Perumusan rekomendasi tindak lanjut hasil PK RTR
b. Untuk PK terhadap RTR KSN ditetapkan dengan Keputusan Menteri (Pasal 84)
c. PK RTR dilaksanakan oleh Tim (terdiri atas unsur Pemerintah, Pemda, Perguruan
Tinggi dan Lembaga Penelitian) yang dibentuk oleh Menteri (Pasal 85)
d. Proses PK RTR meliputi kegiatan (Pasal 86):
1)
Pengkajian
2)
Evaluasi
3)
Penilaian terhadap RTR dan penerapannya
e. Perumusan rekomendasi tindak lanjut hasil PK RTR (Pasal 87-88):
1)
Rekomendasi TIDAK PERLU dilakukan revisi
2)
Rekomendasi PERLU dilakukan revisi, apabila:
- terjadi perubahan kebijakan nasional yang mempengaruhi penataan ruang
wilayah nasional; dan/atau
- terdapat dinamika pembangunan nasional yang menuntut perlunya PK dan
revisi RTR.

11 IAP - PLANNING OUTLOOK 2015

Perubahan pola ruang yang sebelumnya ditetapkan di dalam Perpres


No. 45 tahun 2011 sbg Kawasan Cagar Budaya (L3) berubah menjadi
Kawasan Penyangga (P) di dalam Perpres No. 51 tahun 2014
Pada pelaksanaannya di dalam proses PK dan revisi Perpres No. 45 tahun 2011:
PK belum dilakukan dan penyelenggaraan revisi didasarkan pada persetujuan 6 Menteri
terhadap kesepakatan Rapat Koordinasi BKPRN tanggal 13 januari 2014;
Mengingat PK tidak dilakukan maka prosedur PK dengan sendirinya tidak dilakukan
Di dalam penyusunan Materi Teknis (persiapan penyusunan, pengumpulan data,
pengolahan data dan analisis, perumusan konsepsi) belum dibahas di dalam rapat Tim
BKPRN yang lengkap
Konsultasi publik hanya dilakukan 1 kali dari 2 kali yang disyaratkan di dalam peraturan
perundng-undangan bidang penataan ruang
Belum dilakukan penetapan revisi perpres melalui proses harmonisasi di Kementerian
Hukum dan HAM.
Dapat disimpulkan bahwa PK dan revisi RTR KSN Sarbagita tidak dilakukan berdasarkan
peraturan perundangan yang berlaku, namun revisi tetap dilakukan sampai terbitnya
perpres baru yaitu Perpres No. 51 tahun 2014 tentang RTR KSN Sarbagita.

IAP - PLANNING OUTLOOK 2015 12

5-SDM
Sebagai Kunci
Prinsip the right man in the right place
harus diterapkan di daerah, khususnya di
bidang tata ruang.

ebagai salah satu contoh di dalam


penyusunan RDTR salah satu daerah di
Provinsi Jawa Barat, yang saat ini
sedang marak dilaksanakan sebagai turunan
dari RTRW Kab/Kota, di kawasan konservasi
(lindung) dengan jumlah penduduk yang sedikit
(skala kecamatan) dan berdasarkan data
memiliki kecenderungan/proyeksi jumlah
penduduk yang menurun yang dapat
diakibatkan oleh terjadinya migrasi dari daerah
tersebut, namun oleh pihak penyusun proyeksi
penduduk yang digunakan di dalam
merencanakan pembangunan ke depan di
kawasan tersebut adalah jumlah penduduk
skala kabupaten. Hal ini tentu berakibat pada
menjadi sangat besarnya proyeksi penduduk di
kecamatan tersebut sehingga dari analisa
proyeksi penduduk, penyusun membuat suatu
analisa kebutuhan ruang untuk skala ekonomi
yang besar yang direncanakan ada di kawasan
konservasi tersebut yang seharusnya dijaga
kelestariannya.

ampaknya apabila dokumen RDTR

tersebut dilegalkan ke depannya akan


terjadi in-esiensi pembangunan dan
kerusakan lingkungan. Dampak negatif yang
cukup besar pada aspek ekonomi,
sik/lingkungan dan sosial yang menyebabkan
pembangunan berkelanjutan menjadi tidak
tercapai, cenderung pada kebencanaan.

asih sangat banyak persoalan


penempatan pejabat yang tidak
sesuai dengan kemampuannya di
bidang tata ruang. Pejabat di bidang tata ruang
tentu sangat mentukan baik atau tidaknya
dokumen RTR yang disusun. Sebagai pemilik
ruang di daerah dengan kewenangannya untuk
menyetujui isi dokumen RTR tentu harus
memiliki penilaian analisa yang baik di dalam
mempelajari isi dari dokumen RTR tersebut
sebelum ditandatangani oleh Kepala Daerah.

ejabat bidang tata ruang tentu harus

menguasai persoalan dan kebutuhan


ruang di daerahnya sehingga tidak
semata-mata terpedaya oleh penyusun
dokumen RTR yang dilakukan oleh pihak
ketiga.

leh karena itu prinsip the right man in


the right place harus diterapkan di
daerah, khususnya di bidang tata
ruang karena tata ruang harus dapat menjamin
ruang itu menjadi produktif, aman, nyaman dan
berkelanjutan.

IAP - PLANNING OUTLOOK 2015 14

Bagaimana kualitas RTR yang disusun mampu


menjamin terwujudnya ruang hidup berkualitas
setidaknya pencapaian 20 th waktu perencanaan?
Apakah produk RTR dapat digunakan sebagai acuan
peningkatan Nilai Ruang pada jangka panjang yang
antisipatif terhadap minat investasi, bukan sebaliknya
dikendalikan oleh minat investasi?

Apakah proses yg dilakukan dalam penyusunan RTR


telah menggunakan standarisasi data dan analisa
yang cukup, telah mempertimbangkan kebutuhan
stakeholders sehingga RTR betul menjadi produk
kesepakatan yang siap diimplementasikan? Informasi
terkait status lahan merupakan informasi strategis
yang harus dikelola secara bijak dalam rangka
merumuskan arahan fungsi ruang.

Bagaimana kualitas pemahaman stakeholders


terhadap produk RTR yang telah disusun dan
disepakati dalam mendorong pengembangan
wilayah/kawasan dan dalam rangka perijinan
pemanfaatan ruang?

Bagaimana upaya yg harus dilakukan


agar stakeholders mematuhi RTR
yang telah disepakati bersama?
Bagaimana keakurasian RTR yang
dapat digunakan sebagai dasar sanksi
atas pelanggaran RTR, apakah RTRW
1:10.000 1:25.000 1:50.000
1:250.000 atau Rencana Rinci
1:5.000 atau bahkan sampai dengan
RTBL 1:1.000 atau berbasis pada LotBased skala 1:500?

Bagaimana kelembagaan penataan


ruang mampu mengerakkan semua
potensi stakeholders, menjadi tempat
akses perwujudan pembangunan
ruang yang dinamis, dan menjadi
faktor penting dalam
memaduserasikan prioritas program
K/L, pemerintah daerah swasta dan
masyarakat untuk meningkatkan
kemampuan pembangunan
wilayah/kawasan secara
berkelanjutan?

Bagaimana Masa Depan


Perencanaan Tata Ruang
di Indonesia?

RUANG
PERBAIKAN

alah satu output RTR sebagaimana


diamanatkan dalam UU 26/2007 adalah
arahan pemanfaatan ruang berupa
indikasi program utama pembangunan. Sesuai
Ps. 20, 23, 26, dan 28, Rencana Tata Ruang
Wilayah memuat arahan pemanfaatan ruang
wilayah yang berisi indikasi program utama
jangka menengah lima tahunan;

1-Penjabaran RTR
Dalam Rencana Pembangunan
Perencana memahami struktur ruang sebagai
simpul dan jaringan pembentuk ruang,
sedangkan pola ruang dipahami sebagai
kawasan lindung beserta turunannya dan
kawasan budidaya beserta turunannya.
Indikasi program utama pengembangan
wilayah/kawasan dituliskan dalam dokumen
RTR sebagai program perwujudan struktur
ruang dan perwujudan pola ruang.

ampai saat ini belum ada mekanisme


sinkronisasi antara RTR (arahan
pemanfaatan ruang sebagai acuan
tahapan pengembangan kawasan) dengan
rencana pembangunan. Draft Pedoman RPI2JM
maupun Permendagri 72/2013, belum
menjamin tercapainya perwujudan
wilayah/kawasan sebagaimana yang tertuang
dalam RTR. Arahan pemanfaatan ruang sulit
menjadi acuan sektor (K/L) maupun daerah
yang harus menyusun RPJP/RPJM, rencana
strategis, maupun renja & RKA. Lebih ironis lagi
K/L maupun daerah selalu sulit membaca
arahan pemanfaatan ruang. Rencana Spasial
tidak sinkron dengan Rencana Pembangunan,
bahkan banyak Rencana Pembangunan di
Daerah tidak menjadikan Rencana Spasial
sebagai pijakan yang konkrit. Sampai-sampai di
tingkat nasional Bappenas harus melakukan
eort ekstra untuk memaduserasikan antara
RTRWN dan Rencana Pembangunan yang
tertuang dalam Buku III RPJMN.

eberapa pertanyaan muncul;

Bagaimana struktur ruang dan pola


ruang dapat diwujudkan jika RTR tidak
memuat tahapan pengembangan
wilayah/kawasan secara konkrit? Apakah
substansi tujuan, kebijakan, strategi dan
rencana struktur/pola ruang mencukupi untuk
digunakan sebagai dasar perwujudan
struktur/pola ruang?

TR sebagai acuan fungsi, lokasi


investasi serta RPJP/RPJM. Dari output
yang dimaksudkan masih terdapat
kekosongan pada saat stakeholder akan
menentukan kapan RTR (dibaca struktur/pola
ruang) ini harus diwujudkan, sehingga
selanjutnya dapat dirumuskan Rencana
Pembangunan yang berbasis Rencana Spasial.
Intepretasi selama ini terkait arahan
pemanfaatan ruang sebagai upaya
perwujudan struktur dan pola ruang ternyata
tidak efektif mewadahi ketercapaian
perwujudan RTR.

alau demikian bagaimana intepretasi

terhadap arahan pemanfaatan ruang


yang dapat dilanjutkan sebagai dasar
penyusunan Rencana Pembangunan. Kalau
tetap diinterpretasikan sebagai perwujudan
struktur/pola ruang dan pada kenyataannya
sulit atau bahkan tidak bisa digunakan sebagai
acuan sektor (K/L) maupun daerah, apakah
output arahan pemanfaatan ruang
sebagaimana yang diamanatkan dalam UUPR
26/2007 sebaiknya dikeluarkan saja dari
substansi RTR? Atau output apa dalam RTR
yang berfungsi sebagai interfase yang dapat
digunakan untuk penyusunan program
pembangunan dalam rangka perwujudan RTR?
Apakah fungsi dari tabel Arahan Pemanfaatan
Ruang dapat digantikan dengan menambahkan
output sasaran yang lebih spesik sebagai
acuan pentahapan penyelesaian masalahmasalah pengembangan wilayah/kawasan,
seperti penyelesaian masalah banjir,
pemenuhan kebutuhan penyediaan sarana dan
prasarana umum, masalah kawasan kumuh,
masalah kebutuhan pengembangan kawasan
ekonomi, perlindungan kawasan konservasi
dan lain-lain.

IAP - PLANNING OUTLOOK 2015 20

Kasus 2:
Provinsi Jawa Barat
Ps.4, Perda No. 22 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa
Barat Tahun 2009-2029, menyebutkan: Sasaran penataan ruang di Daerah adalah:
(1) tercapainya ruang untuk kawasan lindung seluas 45% dari wilayah Jawa Barat
dan tersedianya ruang untuk ketahanan pangan; (2) terwujudnya ruang investasi
melalui dukungan infrastruktur strategis; (3) terwujudnya ruang untuk kawasan
perkotaan dan perdesaan dalam sistem wilayah yang terintegrasi; dan (4)
terlaksananya prinsip mitigasi bencana dalam penataan ruang
------ terkait proses penyusunan -----Pada kenyataannya Arahan Pemanfaatan Ruang pada dokumen RTR disusun oleh
tim dengan menggunakan waktu tersisa kira-kira 10% dari keseluruhan jangka
waktu penyusunan RTR atau sekitar 3-4 minggu dari jangka waktu perencanaan
antara 7-8 bulan. Dalam waktu yang sangat terbatas, penyusunan Arahan
Pemanfaatan Ruang sebagai salah satu output dalam RTR diragukan kesahihannya,
perwujudan struktur maupun pola ruang sangat tergantung pada proses
kesepakatan dengan sektor dan proses ini membutuhkan waktu yang relatif lama
dan pendokumentasian yang baik. Hal ini juga sudah menjadi kecemasan
Kementerian PU waktu itu yang pada akhirnya diusulkan RPI2JM (saat ini masih
draft). Dengan demikian dokumen RTR sebagai produk hukum yang didalamnya
memuat arahan pemanfaatan ruang menjadi sangat rawan, karena mengandung
ketidakpastian yang sangat lebar.
----- terkait rencana perbaikan -----Arahan Pemanfaatan Ruang sebaiknya didenisikan sebagai tahapan
pengembangan wilayah/kawasan yang berorientasi pada pencapaian (target)
penyelesaian permasalahan utama wilayah/kawasan. Memuat informasi lokasi
obyek perencanaan dan target pencapaian.
Produk RTR sebaiknya fokus pada tujuan, sasaran, kebijakan, strategi, rencana
struktur/pola ruang, tahapan pengembangan wilayah/kawasan, dan arahan
pengendalian. Dengan demikian, sektor yang akan menentukan program
mewujudkan struktur dan pola ruang berpedoman pada produk RTR yang didasarkan
pada tahapan pengembangan wilayah/kawasan.

21 IAP - PLANNING OUTLOOK 2015

IAP - PLANNING OUTLOOK 2015 22

roses penyusunan RTR dari tahapan


persiapan, pengumpulan data, analisis
data, dan konsepsi RTR akan menemui
kondisi yang berbeda pada setiap wilayah
perencanaan. Penetapan keseragaman waktu
penyusunan RTR (umumnya antara 6-8 bulan)
akan menjadi kendala pada wilayah
perencanaan yang memiliki jangkauan yang
relatif sulit dicapai, aspek siogras yang
kompleks, dan keterbatasan data penunjang,
khususnya keberadaan peta dasar dan peta
tematik. Kelanjutan dari keragaman kondisi tiap
wilayah perencanaan harus dilakukan
penyesuaian terhadap standar waktu dan
harga penyusunan rencana.

iperlukan pra-assesment dalam setiap

proses pekerjaan penyusunan RTR


agar target output pekerjaan dapat
ditetapkan secara akurat dengan skenario
pembiayaan dan kebutuhan waktu yang
sesuai. Dengan demikian Produk RTR yang
disusun dengan proses benar memiliki peluang
dapat diimplementasikan karena telah
mempertimbangkan kebutuhan wilayah
perencanaan sebagaimana telah diinisiasi pada
tahapan pra-assesment.

2-Implementasi

Pedoman Penyusunan RTR


Pedoman penyusunan RTR harus mampu
menjadi acuan produk RTR yang menjawab
permasalahan wilayah secara lugas dan dapat
dipahami stakeholder terkait.

okus pengaturan dan output RTR


disesuaikan dengan kondisi spesik
setiap wilayah termasuk keberadaan
data pendukung berbasis spasial.
Pertimbangan penting untuk diperhatikan
dalam menyusun RTR, yaitu prinsip-prinsip
yang digunakan (proses, substansi, dan
keadilan), serta lingkungan strategis dari
wilayah yang direncanakan (aspek siogras,
sosial, ekonomi, politik, budaya, pertahanan,
keamanan, kualitas SDM,
keuangan/pembiayaan pembangunan daerah,
ketersediaan data, dan faktor lainnya di dalam
wilayah bersangkutan). Pedoman Penyusunan

RTR sebagai acuan kualitas output RTR, harus


dipahami sebagai alat pendukung perencana
yang digunakan dengan mempertimbangkan
kondisi lingkungan strategis dan data
pendukung, sehingga pemanfaatan pedoman
seharusnya disepakati terhadap lingkup
output, proses dan prosedur, serta data
pendukung. Wilayah Indonesia yang luas
dengan keragaman kondisi sikogeogras,
sosial, ekonomi dan budaya, serta kondisi
dukungan menuntut perencana untuk
mengintepretasikan pedoman penyusunan RTR
secara efektif.
Berikut ini alternatif pemikiran dalam
pemanfaatan pedoman:
1) pedoman adalah petunjuk praktis, bersifat
umum untuk menemukenali isu strategis
(pokok pertimbangan perencanaan spesik
masing-masing wilayah), menjadi acuan produk
RTR yang menjawab permasalahan wilayah
secara lugas dan dapat dipahami stakeholder
terkait.
2) perlu dirumuskan indikator keluaran dalam
KAK/TOR yang tidak bersifat umum, tetapi
berisi uraian pencapaian keluaran yang
mempertimbangkan ketersediaan data dan
dukungan sumber daya pada setiap wilayah
yang direncanakan.
3) Pemerintah diharapkan memberikan standar
minimum harga acuan penyusunan RTR yang
menjamin kualitas output RTR.
4) proses penyediaan data dapat dilakukan
secara terpisah (proyek/kegiatan lain), sesuai
tugas dan fungsi masing-masing
Kementerian/Lembaga penyedia data untuk
menjamin keakurasian data dan tepat waktu
penyediaan data. Kebijakan One Map terkait
kebutuhan penyusunan RTR menjadi tuntutan
penting untuk direalisasikan.

IAP - PLANNING OUTLOOK 2015 24

agaimana kualitas RTR yang disusun


mampu menjamin terwujudnya ruang
hidup berkualitas, setidaknya
pencapaian 20 tahun waktu perencanaan?
Apakah produk RTR dapat digunakan sebagai
acuan peningkatan Nilai Ruang pada jangka
panjang yang antisipatif terhadap minat
investasi, bukan sebaliknya dikendalikan oleh
minat investasi?

ota menjadi tujuan untuk tinggal. Saat


ini lebih dari 50 persen masyarakat
Indonesia tinggal di perkotaan dengan
laju pertumbuhan 2,75 persen tiap tahun (ratarata nasional 1,17 persen per tahun). Tahun
2025 diperkirakan 68% akan tinggal di Kota
dan Tahun 2045 diperkirakan 82 % Penduduk
Indonesia tinggal di kawasan perkotaan.
Pesatnya pertumbuhan ekonomi dan
berkembangnya kesempatan kerja di berbagai
kegiatan di kota, Pembangunan sarana dan
prasarana yang pesat, Kurangnya lapangan
pekerjaan di desa, dan Terbatasnya sarana dan
prasarana di desa mendorong pertumbuhan
masyarakat tinggal di kota.

3-Penajaman

Produk Rencana Tata Ruang


Bagaimana perencanaan kota kita
menumbuhkembangkan nilai unggul budaya
masyarakat yang ada, sehingga kota kita akan
tumbuh dengan karakter budaya yang kuat dan
pada akhirnya masyarakat kota kita mencintai
kotanya?

ota kita semakin tidak terpenuhi


standar pelayanan minimumnya,
tingginya angka kemiskinan di
perkotaan, rendahnya daya saing kota dan
rendahnya ketahanan sosial, ekonomi dan
lingkungan kota secara berkelanjutan,
kehancuran aset-aset pusaka kota, rendahnya
kapasitas mitigasi bencana alam dan adaptasi
terhadap perubahan iklim.

pakah produk RTR kota kita mampu


memenuhi kebutuhan ruang untuk
pertumbuhan penduduk kota dan
menjawab tantangan berat di atas???
Seberapa inovatif produk-produk perencanaan
kota kita mengantisipasi sekaligus
mengarahkan gairah investasi agar terbentuk
ruang kota yg berkualitas??? Bagaimana
perencanaan kota kita menumbuhkembangkan
nilai unggul budaya masyarakat yang ada,

sehingga kota kita akan tumbuh dengan


karakter budaya yang kuat dan pada akhirnya
masyarakat kota kita mencintai kotanya?

asih sangat sedikit, bahkan boleh

dibilang tidak ada, produk RTRW


kota kita yang menerapkan secara
konkrit strategi meningkatkan kapasitas
adaptif sekaligus menurunkan sensitivitas
kota, sebagai upaya menurunkan kerentanan
kota terhadap perubahan iklim; pembangunan
kota berkelanjutan seperti pembangunan RTH
sesuai jumlah penduduk yang tinggal di kota,
infrastruktur transportasi hijau, infrastruktur
energi hijau, infrastruktur air limbah,
infrastruktur bangunan hijau, infrastruktur air
bersih, dan lain-lain. Inisiatif swasta lebih
menonjol bahkan mampu mengatur arah
perkembangan kota walaupun terkadang tidak
sesuai dengan RTRW (contoh arah
perkembangan Jakarta dan sekitarnya yang
memberikan tekanan ke arah selatan Jakarta
padahal semestinya diarahkan ke barat dan
timur).

erkembangan area terbangun kota


harus terukur. Batas kawasan
terbangun dan kawasan tidak
terbangun harus tegas dan dipatuhi. Perlu
dikembangkan inovasi pembangunan vertikal
ke atas dan ke bawah untuk menyediakan
kebutuhan ruang perkotaan sekaligus untuk
meremajakan daerah-daerah kumuh;
meningkatkan optimasi penggunaan sumber
daya tanah perkotaan; mendorong
pembangunan permukiman berkepadatan
tinggi. (Lahan terbangun jabodetabekpunjur
2420.06 Km2 (34.32%), lahan tidak terbangun
4630.62 Km2, kepadatan 4.336 jiwa/km2,
penduduk 2010 28.114.260 jiwa), jangkau
pelebaran kota yang tidak dibatasi memiliki
implikasi berupa kerugian ekonomi akibat
inesiensi sistem transportasi (Rp. 5,6 triliun
per tahun) dan akibat kualitas udara buruk (Rp.
2,8 per tahun).
IAP - PLANNING OUTLOOK 2015 26

erencanaan ruang bukanlah suatu


proses teknis semata yang dapat
bekerja sendiri tanpa didukung
infrastruktur legal yang sistematis. Memahami
ruang secara kesatuan (tanah-air-udara)
semestinya diikuti dengan pengaturan yang
utuh agar mencegah ketidakseimbangan
maupun ketidakharmonisasn dalam
pemanfaatan ruang. Rejim pemerintahan
sekarang ini, yang membagi kewenangan
pengaturan ruang ke dalam 3 (tiga)
kementerian, yaitu Kementerian ATR/BPN
untuk tanah dalam status area penggunaan
lain (APL), kementerian kehutanan untuk
kawasan hutan, dan kementerian Kelautan dan
Perikanan untuk kawasan perairan laut/pesisir,
ditambah kementerian perhubungan untuk
kawasan perhubungan udara sedikit
banyaknya akan mempengaruhi upaya agar
perencanaan dapat implementatif. Begitu juga
halnya dengan perencanaan yang memiliki
pedoman yang berbeda-beda walaupun dalam
ruang yang sama akan menyulitkan integrasi
produk ataupun proses perencanaan itu
sendiri.

4-Harmonisasi

Aspek Legal Penataan Ruang


Diperlukan kepaduserasian antar regulasi
terkait penataan ruang dan tanah. Selain itu
juga dibutuhkan suatu standar yang membantu
menjaga kualitas setiap proses perencanaan.

armonisasi pengaturan ruang dan


perencanaan kemudian menjadi
kebutuhan mendesak untuk
memberikan kepastian kepada pelaksanaan
kegiatan pembangunan. Rencana mana yang
diacu dan ruang seperti apa yang akan
direncanakan adalah informasi yang tidak
boleh terpisah agar tahapan pembangunannya
menjadi jelas. Saat ini, terlalu banyak produk
rencana yang disusun dan ruang yang
direncanakan terkadang tumpang tindih atau
malah tidak terkait sama sekali dan belum
diatur secara utuh, khususnya ruang bawah
tanah dan udara. Maka, sebaiknya proses

harmonisasi aspek legal penataan ruang harus


dilakukan dengan paduserasi.

alam tataran normatif, setidaknya ada


UUPR 26/2007, UUPA 5/60,
UU32/2014, dan UU41/1999 yang
perlu dipaduserasikan untuk memperkuat
operasionalisasi dari proses perencanaan dan
implementasi produk rencana. Karena sifatnya
lintas sektor, maka tak jarang antar satu
peraturan dengan peraturan yang lain memiliki
perbedaan atau bahkan saling bertabrakan. Hal
ini tentu saja menyulitkan pada saat
memberikan keputusan atas penggunaan
terhadap ruang. Oleh karena itu diperlukan
kepaduserasian antar regulasi terkait penataan
ruang dan tanah. Selain itu juga dibutuhkan
suatu standar yang membantu menjaga
kualitas setiap proses perencanaan.

alam tataran praktis, stakeholder


pembangunan yang semakin
menyadari pentingnya produk rencana
tata ruang (RTR) sebagai acuan ruang dalam
pembangunan memandang sanksi dan
ancaman pidana apabila melanggar peraturan
tentang rencana tata ruang masih
menimbulkan kekhawatiran. Penguatan aspek
hukum di dalam penataan ruang diapresiasi
oleh banyak pihak, namun dalam prakteknya
masih ada beberapa pertanyaan yang perlu
dijawab, yaitu pada basis apa, aspek legal
tersebut dikenakan? Mengapa hal tersebut
menjadi penting? Karena produk rencana
sangat terkait dengan ketidakpastian masa
depan (uncertainty) sehingga memberikan
sanksi atas rencana yang dibuat menjadi
dilematis, khususnya bagi penyusun rencana
tersebut.

IAP - PLANNING OUTLOOK 2015 28

RUANG
KKP
UU 32/2014
UU 27/2007

ATR?
UUPA 5/1960
UUPR 26/2007

APL
Area Penggunaan Lain

RUANG
KKP
UU 32/2014
UU 27/2007

LAUT

LAUT

Pesisir

Pesisir

KLHK
UU 41/1999
UU 19/2004

Kawasan Hutan

ATR?
UUPA 5/1960
UUPR 26/2007

APL
Area Penggunaan Lain

KLHK
UU 41/1999
UU 19/2004

Kawasan
Hutan

Sumber: Simarmata, 2015

29 IAP - PLANNING OUTLOOK 2015

IAP - PLANNING OUTLOOK 2015 30

ingkat kompetensi seorang perencana

tidak dapat dilepaskan dari transformasi


keilmuan perencanaan itu sendiri. Di era
1980an, ilmu perencanaan lebih bersifat
perencanaan sik, namun sekarang juga harus
mampu mengintegrasikan aspek ekonomi dan
sosial budaya, serta tantangan baru lainnya
seperti kebencanaan (resiliency), perubahan
iklim (green planning), dll. Oleh karena itu, para
perencana dituntut untuk terus meng-update
pengetahuan dan ketrampilannya agar dapat
terus adaptif dengan kemajuan perkembangan
keilmuan. Namun juga perlu diperhatikan
adalah pola pikir (mind-set) yang harus berpikir
besar (visionary-planning) dan kepercayaan
diri (condentiality) terhadap sistem birokrasi
yang ada. Perencana dituntut untuk dapat
menjadi 'penjahit' dari semua kepentingan
yang sifatnya lintas sektor.

5-Penguatan

Kompetensi Perencana

emampuan 'penjahit' disini tentunya


membutuhkan dukungan peraturan
terhadap ruang gerak para perencana.
Institusi penataan ruang dan pertanahan di
daerah menjadi kunci untuk melancarkan

proses pembangunan, khususnya dalam


membuka bottle-neck perijinan yang terkait
dengan tanah dan keruangan. Oleh karena itu,
perlu model institusi yang segera diujicobakan,
termasuk didalamnya membentuk komisi
perencanaan yang berisikan tidak hanya
pemerintah daerah, tetapi juga professional
planners, akademisi, dan tokoh masyarakat,
untuk menjamin inklusitas dan akuntabiitas
perijinan yang selama ini disangsikan oleh
masyarakat proses pengeluran ijinnya.

eningkatan kapasitas kelembagaan di


pusat, terutama untuk teknis
perencanaan perlu ditingkatkan
sebagaimana kemeterian ATR ditugaskan
sebagai instansi Pembina untuk urusan
penataan ruang dan pertanahan. Diperlukan
suatu unit kerja yang dapat mempercepat
proses tersebut secara simultan. Kementerian
ATR bisa menjadi solusi institutional terhadap
tumpulnya Rencana Tata Ruang sebagai
Panglima Pembangunan melalui integrasi
urusan pertanahan/agraria dan tata ruang.

Para perencana dituntut untuk terus mengupdate pengetahuan dan ketrampilannya agar
dapat terus adaptif dengan kemajuan
perkembangan keilmuan.

IAP - PLANNING OUTLOOK 2015 32

FOKUS PADA DATA

Proses perencanaan yang berkualitas hanya dapat dilaksanakan apabila persyaratan


data keruangan dengan tingkat ketelitian tertentu sudah berhasil diperoleh. Karena
bersifat lintas sektor dan tanggung jawab penyediaan data tersebar di beberapa
instansi, misalnya peta dasar dan rupabumi (BIG), peta citra satelit (LAPAN), peta
status tanah (BPN), dll, maka diperlukan suatu pengintegrasian dalam tahapan
pengumpulan data ini. Selain juga diperlukan pengambilan data sendiri yang mungkin
tidak dilaksanakan sebelumnya, seperti peta kontur/ketinggian, peta kemampuan
tanah/geologi, peta batimetri (apabila letaknya di pesisir), dll. Dalam hal ini, maka
tingkat akurasi data benar-benar harus dijamin dengan baik sesuai dengan tingkat
kebutuhan suatu produk perencanaan.

PENINGKATAN KOMPETENSI PERENCANA

Tingkat kompetensi seorang perencana tidak dapat dilepaskan dari transformasi


keilmuan perencanaan itu sendiri. Di era 1980an, ilmu perencanaan lebih bersifat
perencanaan sik, namun sekarang juga harus mampu mengintegrasikan aspek
ekonomi dan sosial budaya, serta tantangan baru lainnya seperti kebencanaan
(resiliency), perubahan iklim (green planning), dll. Oleh karena itu, para perencana
dituntut untuk terus meng-update pengetahuan dan ketrampilannya agar dapat terus
adaptif dengan kemajuan perkembangan keilmuan. Namun juga perlu diperhatikan
adalah pola pikir (mind-set) yang harus berpikir besar (visionary-planning) dan
kepercayaan diri (condentiality) terhadap sistem birokrasi yang ada. Perencana
dituntut untuk dapat menjadi 'penjahit' dari semua kepentingan yang sifatnya lintas
sektor.

REZIM REGULASI YANG PADU SERASI

Karena sifatnya lintas sektor, maka tak jarang antar satu peraturan dengan peraturan
yang lain memiliki perbedaan atau bahkan saling bertabrakan. Hal ini tentu saja
menyulitkan pada saat memberikan keputusan atas penggunaan terhadap ruang.
Oleh karena itu diperlukan kepaduserasian antar regulasi terkait penataan ruang dan
tanah. Selain itu juga dibutuhkan suatu standar yang membantu menjaga kualitas
setiap proses perencanaan.

TEKNOLOGI TEPAT GUNA


Kemajuan teknologi penginderaan jauh maupun teknologi keruangan lainnya akan
sangat membantu mempercepat proses perencanaan. Ketepatan pemilihan teknologi
akan memudahkan para perencana untuk bisa mengeskplorasi lebih jauh potensi dan
permasalahan keruangan sehingga dalam rekomendasi perencanaannya dapat lebih
akurat.

Ke Depan, Apa yang Dibutuhkan


untuk Menghasilkan RTR
yang Berkualitas?
Pembenahan sistem penataan ruang perlu
dilakukan untuk meminimalisasi proses
penyusunan rencana tata ruang seperti biasanya
(business as usual). Dalam jangka pendek,
berbagai terobosan dan inovasi perlu dilakukan
untuk mendukung nawa cita pembangunan, dan
dalam jangka panjang membentuk sistem
perencanaan yang lebih humanis.

Fungsi dan manfaat Rencana Tata Ruang haruslah


mampu menjadi instrument perencanaan sik
(physical planning), rekayasa sosial (social
engineering), pengembangan ekonomi (economic
development), keberlanjutan pembangunan
(sustainable development), sinergisitas antar wilayah
(mutualism), harmoni antar sektor (cross-sector), dan
dokumen publik (public consencus).
Re-format Instrumentasi kebijakan, baik peraturan
yang bersifat normatif dan teknis terkait dengan
penyelenggaraan perencanaan tata ruang.
Penguatan komisi perencanaan di daerah yang
mengawal transformasi kelembagaan penataan
ruang dan pertanahan dalam menjamin inklusitas
dan akuntabiitas perijinan yang selama ini
disangsikan oleh masyarakat proses pengeluran
ijinnya.
Optimasi peran Kementerian ATR sebagai instansi
Pembina untuk urusan penataan ruang dan
pertanahan yang menjadikan Rencana Tata Ruang
sebagai panglima pembangunan melalui integrasi
urusan pertanahan/agraria dan tata ruang.
Penguatan peran IAP sebagai wadah pembentukan
karakter dan peningkatan kompetensi perencana
Indonesia untuk mewujudkan sistem penataan ruang
yang berorientasi pada kepentingan masyarakat.

2
3

4
5

REKOMENDASI
AKSI

Vous aimerez peut-être aussi