Vous êtes sur la page 1sur 9

Hasil

(Terlampir)
Pembahasan

Penjelasan imobilisasi enzim


Imobilisasi enzim merupakan konsep yang cukup baru dan sangat menarik
perhatian pada industri yang menggunakan enzim. Enzim terimobilisasi adalah
suatu enzim yang dilekatkan pada suatu bahan yang inert dan tidak larut seperti sodium
alginate. Dengan sistem ini, enzim dapat lebih tahan terhadap perubahan kondisi
seperti pH atau temperatur. Sistem ini juga membantu enzim berada di tempat tertentu
selama
berlangsungnya reaksi sehingga
memudahkan
proses
pemisahan dan
memungkinkan untuk dipakai lagi di reaksi lain. Sistem ini memiliki keunggulan dalam
hal efisiensi sehingga di industri banyak digunakan dalam reaksi yang dikatalisis oleh
enzim. Immobilisasi enzim merupakan suatu metode pelumpuhan enzim, dimana enzim
dipasangkan pada suatu bahan inert, materi tak larut seperti sodium alginat. Hal ini dapat
meningkatkan ketahanan enzim terhadap perubahan lingkungan seperti perubahan pH
atau perubahan temperatur. Hal ini juga memperbolehkan enzim untuk diletakkan pada
suatu tempat dengan reaksi, dimana nantinya enzim tersebut dapat dipisahkan dengan
mudah dari produk dan dapat digunakan kembali. Penggunaan enzim sebagai industri
biokatalis pada umumnya memerlukan immobilisasi untuk menyederhanakan kendali
dari reaktor, untuk menghindari pencemaran produk, dan sebagian besar untuk
memulihkan dan menggunakan kembali enzim dalam banyak reaksi.
Misalnya, pada industri makanan, enzim dimasukkan bersama dengan substrat dan
reaksi dibiarkan untuk berlangsung. Ketika perubahan yang diinginkan telah tercapai
maka enzim dinonaktifkan dengan cara pemanasan atau merubah pH dalam sistem. Jadi
penggunaan dari enzim adalah sekali pakai, sedangkan pemurnian enzim sangat mahal.
Untuk mengatasi masalah ini maka enzim diikat pada senyawaan yang tidak larut yang
disebut sebagai matrik sehingga enzim dapat mengikuti reaksi dan dapat diambil
kembali setelah selesainya reaksi.Pengikatan enzim pada matriks yang tidak larut dalam
air ini disebut sebagai imobilisasi (Jhonson, 1978).
Suatu enzim yang teramobil adalah yang gerakannya dalam ruang dibatasi secara
sempurna atau hanya dalam daerah yang sangat terbatas. Pada umumnya dalam keadaan
demikian, enzim dibentuk menjadi tidak larut dalam air dengan beberapa tujuan.
Pertama bentuk demikian akan memudahkan untuk memperoleh kembali enzim dari
cairan media yang merupakan faktor penting dalam ekonomi reaktorenzim. Kedua, bagi
seorang ahli kimia sangat berguna sebagai model sistem bagi enzim yang secara normal
berhubungan dengan membrane sel hidup (Yudoamijoyo,1992). Walaupun syarat
mutlak dalam pemilihan matriks untuk imobilisasi adalah ditentukan berdasarkan jenis
enzim dan aplikasi yang diinginkan, jelaslah bahwa material yang digunakan adalah
kompatibel dengan enzim. Proses imobilisasi juga dalam keadaan kamar sehingga tidak
dapat mendenaturasikan enzim selama penyiapan.

Faktor yang mempengaruhi


Banyak faktor yang mempengaruhi proses amobilisasi enzim, misalnya seperti
jumlah enzim yang ditambahkan, waktu amobilisasi, pH, suhu, dan konsentrasi garam.
Informasi mengenai jumlah garam yang ditambahkan sangat penting mengingat struktur
3D enzim lipase dimana pada permukaan struktur terluar bersifat hidrofilik, sedangkan
enzim tersebut akan diamobilkan pada permukaan hidrofobik dan hidrofilik-hidrofobik.
Jumlah garam yang ditambahkan dapat berbeda untuk masing-masing jenis matriks
modifikasi karena pada modifikasi permukaan hidrofilik-hidrofobik, enzim
kemungkinan dapat teramobilkan juga pada permukaan hidrofilik melalui interaksi
ionik. Oleh karena itu perlu dicari kondisi terbaik seberapa banyak garam yang perlu
ditambahkan agar enzim dapat teramobilkan.
Beberapa faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim adalah sebagai berikut.
Faktor pertama yaitu suhu. Enzim mempercepat terjadinya reaksi kimia pada suatu sel
hidup. Dalam batas-batas suhu tertentu, kecepatan reaksi yang dikatalisis enzim akan
naik bila suhunya naik. Reaksi yang paling cepat terjadi pada suhu optimum
(Rodwell,1987). Suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan enzim terdenaturasi
(Poedjiadi, 1994). Pada suhu 0oC enzim tidak aktif (tidak rusak) dan dapat kembali aktif
pada suhu normal (Lay, 1992). Hubungan antara aktivitas enzim dengan suhu
ditunjukkan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Hubungan antara aktivitas enzim dengan suhu (Poedjiadi, 1994).


Faktor yang kedua yaitu pH. Enzim pada umumnya bersifat amfolitik, yang berarti
enzim mempunyai konstanta disosiasi pada gugus asam maupun gugus basanya,
terutama pada gugus residu terminal karboksil dan gugus terminal aminonya,
diperkirakan perubahan kereaktifan enzim akibat perubahan pH lingkungan (Winarno,
1989). Hubungan kecepatan reaksi dengan pH ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Hubungan kecepatan reaksi dengan pH (Page, 1997).


Faktor ketiga yaitu konsentrasi enzim yang teramobilisasi. Semakin tinggi
konsentrasi enzim amobil maka kecepatan reaksi akan semakin meningkat hingga pada
batas konsentrasi tertentu dimana hasil hidrolisis akan konstan dengan naiknya
konsentrasi enzim yang disebabkan penambahan enzim sudah tidak efektif lagi (Reed,
1975). Hubungan antara laju reaksi enzim dengan konsentrasi enzim ditunjukkan dalam
Gambar 3.

Gambar 3. Hubungan antara laju reaksi dengan konsentrasi enzim (Page, 1997).
Faktor keempat yaitu konsentrasi substrat. Kecepatan reaksi enzimatis pada
umumnya tergantung pada konsentrasi substrat. Kecepatan reaksi akan meningkat
apabila konsentrasi substrat meningkat. Peningkatan kecepatan reaksi ini akan semakin
kecil hingga tercapai suatu titik batas yang pada akhirnya penambahan konsentrasi
subtrat hanya akan sedikit meningkatkan kecepatan reaksi (Lehninger, 1982). Faktor
yang terakhir yaitu aktivator dan inhibitor Beberapa enzim memerlukan aktivator dalam
reaksi katalisnya. Aktivator adalah senyawa atau ion yang dapat meningkatkan
kecepatan reaksi enzimatis. Komponen kimia yang membentuk enzim disebut juga
kofaktor. Kofaktor tersebut dapat berupa ion-ion anorganik seperti Zn, Fe, Ca, Mn, Cu
dan Mg atau dapat pula sebagai molekul organik kompleks yang disebut koenzim
(Martoharsono, 1984). Menurut Wirahadikusumah (1997) inhibitor merupakan suatu zat
kimia tertentu yang dapat menghambat aktivitas enzim. Pada umumnya cara kerja
inhibitor adalah dengan menyerang sisi aktif enzim sehingga enzim tidak dapat berikatan
dengan substrat sehingga fungsi katalitiknya terganggu (Winarno, 1989).

Metode imobilisasi
Metode untuk immobilisasi enzim dapat dibagi atas 3 kategori dasar, yaitu metode
carrier-binding, metode ikat silang (cross-linking), metode penjebakan (entrapping),
serta adsorpsi fisik ke dalam suatu pembawa inert. Metode carrier-binding ini dibagi

menjadi tiga berdasarkan cara pengikatan enzimnya, yaitu adsorpsi fisika, pengikatan
ionik dan pengikatan kovalen. Metode adsorpsi fisika berdasarkan pada adsorpsi fisika
dari protein enzim pada permukaan pembawa yang tidak larut dalam air. Kelemahan dari
metode ini dimana enzim yang diserap dapat bocor selama pemakaian karena gaya ikat
antara protein enzim dan pembawa lemah atau kekuatan ikatannya lemah, sedangkan
kelebihannya yaitu dalam kondisi lunak, aktivitas enzim tetap tinggi serta dapat
diregenerasi. Contoh carrier untuk adsorbsi fisik yaiktu karbon aktif, hidroksil apatit,
gelas porous, gel Ca-fosfat, tanah liat, dan pati.
Adsorpsi fisik dari suatu enzim ke dalam suatu padatan merupakan teknik atau cara
yang paling sederhana dalam preparasi immobilisasi enzim. Metode ini bekerja
berdasarkan pada interaksi fisik nonspesifik antara enzim dengan permukaan dari
matriks, yang dapat dilakukan dengan pencampuran suatu larutan enzim dengan
konsentrasi tertentu dengan suatu padatan dengan daya penggerak adalah sifat
hydrophobic dan jembatan garam. Keuntungan utama dari metode adsorpsi ini serupa
dengan metode insolubilisasi enzim, dimana tidak ada reagen yang digunakan dan
memiliki tahapan aktivasi yang sangat sederhana. Metode ini sangat baik digunakan
karena tidak mempengaruhi aktivitas enzim. Adsorpsi dan desorpsi tergantung dari
pertukaran ion (ion exchange). Untuk itu, diperlukan penggunaan pendukung yang
dilapisi dengan polimer kationik sebagai alas dan mengoptimalkan kondisi-kondisi yang
diperlukan untuk immobilisasi.
Adsorpsi dilakukan pada kondisi-kondisi, yaitu : pH rendah dan kekuatan bersifat
ion tinggi. Selain itu, metode ini memerlukan biaya yang murah, karena padatan
penyerapnya tidak terlalu mahal, dan hasil dari metode ini sangat mudah untuk dibawa,
dan enzim pun menjadi lebih terjaga karena tidak bersifat destruktif. Dalam metode ini
juga hanya terjadi ikatan hidrogen, hubungan ikatan garam dan beberapa ikatan Van der
Wall's. Metode ini juga memberikan hasil yang paling serupa dengan keadaan biologis
yang sesungguhnya. Preparasi dalam metode adsorpsi untuk immobilisasi enzim lebih
sederhana dibandingkan dengan metode lainnya dalam immobilisasi enzim. Kekuatan
ikatan ikatan kimia yang terbentuk bervariasi ada yang lemah dan ada yang kuat
sehingga mempermudahkan dalam preparasi metode ini.
Secara umum, metoda ini menjadi yang paling lambat dari metode lainnya. Sebab
adsorpsi bukanlah suatu reaksi kimia, lokasi aktif dari enzim dihentikan dengan
dihalangi oleh matriks yang sangat mengurangi aktivitas dari enzim. Kerusakan pada
enzim juga dapat terjadi karena adanya beberapa jenis ikatan lemah yang ada di dalam
sistem ini. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh perubahan suhu, perubahan pH,
kekuatan ionik, ataupun karena adanya substrat. Hal ini dapat menyebabkan perubahan
pada immobilisasi enzim tersebut, atau apabila substansi penyerap merupakan substrat
bagi enzim, maka jangka waktu immobilisasi enzim ini akan menjadi menurun,
bergantung pada mobilitas permukaan dari enzim dan substrat. Metode adsorpsi ini
sangat diperlukan untuk memfasilitasi reaksi kovalen. Kestabilan enzim yang diadsorpsi
ke dalam suatu matriks diketahui terjadi karena adanya ikatan silang (cross-linking) dari
protein yang mengikuti adsorpsi fisiknya.
Metode kedua yaitu pengikatan ionik. Metode pengikatan ionik berdasarkan
pengikatan ionik dari protein enzim pada pembawa yang tidak larut dalam air yang
mengandung residu penukar ion. Kelemahan metode ini dimana kebocoran dapat terjadi

dimana dalam larutan substrat dengan kekuatan ionik yang tinggi atau pada variasi pH.
Terakhir yaitu metode pengikatan kovalen, pada metode ini terbentuk ikatan kovalen
antara enzim dengan carrier yang tidak larut dalam air sehingga ikatannya kuat dan
tidak mudah rusak. Diperlukan kondisi reaksi yang sulit dan biasanya dilakukan tidak
dalam keadaan kamar. Gugus fungsional enzim yang berperan yaitu atau -amino, ,
, atau -karboksil, sulfuhidril, hidroksil, imidazol, dan fenolik. Dalam beberapa kasus,
ditemukan bahwa ikatan kovalen mengubah bentuk konformasi dan pusat aktif enzim
yang mengakibatkan kehilangan aktivitas atau perubahan spesifitas aktivitas.

(a)

(b)

(c)
Gambar 4. (a) Metode adsorbsi fisik (b) Metode ikatan ionik dan (c) Metode ikatan
kovalen.
Metode kedua yaitu metode ikat silang (cross linking). Metode ini berdasarkan
pembentukan ikatan kimia seperti dalam metode ikat kovalen, namun pembawa yang
tidak larut dalam air tidak digunakan dalam metode ini. Imobilisasi enzim dilakukan
dengan pembentukan ikat silang intermolekuler diantara molekul enzim dengan
penambahan reagent bi- atau multifungsional. Pereaksi umumnya mempunyai 2 gugus
fungsional identik yang bereaksi dengan residu asam amino. Metode ketiga yaitu metode

penjebakan (entrapping). Metode penjebakan ini berdasarkan pengikatan enzim dalam


kisi matriks polimer atau melingkupi enzim dalam membrane semipermeabel dan dibagi
menjadi tipe kisi dan mikrokapsul.
Tipe kisi (lattice type), metode penjebakan tipe kisi meliputi penjebakan enzim
dalam bidang batas (interstitial space) dari suatu ikat silang polimer yang tidak larut
dalam air misalnya gel matriks, sedangkan tipe mikrokapsul penjebakan dengan cara
mikrokapsul melibatkan pelingkupan enzim dengan membran polimer semipermeable.
Prosedur untuk mikroenkapsulasi enzim dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu
polimerisasi interfasial, pengeringan cair (liquid drying), serta pemisahan fase (phase
separation) (Chibata,1978). Metode penjebakan yang umum untuk mikroorganisme
dalam butiran adalah ionotropic gelation dari makromolekul dengan kation
multivalensi.Penjebakan dapat terjadi dengan mencampurkan mikroorganisme dengan
polimer anionik dan kemudian diikat silang larutan tersebut dengan kation
multivalensi sehingga membentuk struktur yang menjebak mikroorganisme tersebut.
Stabilitas dari enzim ditentukan dengan lamanya pemakaian dimana enzim tersebut
masih aktif dan dapat mengkatalisis.Stabilitas dari enzim berdasarkan teknik imobilisasi
yang digunakan (Jhonson, 1978).

(a)

Gambar 5. (a) Metode cross-linking (b) Metode entrapment

Gambar 6. Perbedaan metode adsorpsi, ikatan kovalen, dan entrapment.


Penerapan enzim imobil dalam industri
Imobilisasi enzim sangat penting untuk penggunaan enzim kembali secara
komersil dan memiliki banyak manfaat dari biaya dan proses dari reaksi yang meliputi
dari segi kenyamanan, hemat, dan stabilitas. Kenyamanan karena sejumlah protein yang
amat kecil dipecah di dalam reaksi, maka dapat bekerja lebih mudah. Sehingga ketika
penyelesaian, campuran reaksi yang secara khas hanya berisi bahan pelarut dan reaksi
produk. Hemat enzim yang dihentikan mudah dipindahkan dari reaksi yang membuatnya
mudah untuk mendaur ulang biokatalis. Stabilitas menghentikan aktivitas enzim yang
secara khas mempunyai stabilitas operasional dan yang berkenaan dengan panas lebih
besar dibanding format dapat larut dari enzim.
Contoh penerapan enzim imobil yaitu Pengembangan Teknik Imobilisasi Enzim
Glucose Oxidase pada Membran Komposit Berbasis Kitosan dan Uji Aplikasinya untuk
Pembuatan Biosensor Glukosa. Beberapa teknik immobilisasi untuk menjaga stabilitas
enzim telah dikembangkan yang meliputi metode adsorpsi, penyekatan (encapsulation),
penjebakan (entrapment) dan pengikatan secara kovalen (covalent bonding). Metode
adsorpsi untuk immobilisasi enzim telah diaplikasikan untuk pembuatan biosensor
(Korell et al. 1993 dan Campanella et al., 1995). Lebih lanjut, metode penjebakan dalam
matrik konduktif juga telah diaplikasikan (Adeloju et al.,1994 dan Adeloju et al., 1996).
Immobilisasi enzim GOx diawali dengan mengaktivasi membran kitosan dengan cara
mengontakkan permukaan membran dalam larutan GD 1% (w/v) selama 1 jam. Setelah
itu permukaan membran dikontakkan dengan larutan enzim GOx dengan konsentrasi
tertentu dalam waktu 24 jam. Membran kitosan terbaik dibuat dengan kombinasi EIPS
dan NIPS dimana pelarut yang digunakan adalah asam asetat 1% (v/v), konsentrasi
kitosan 2 % (w/v) dan lama perendaman NaOH 2 hari. Enzim GOx yang diimmobilisasi
pada membran teraktivasi memberikan konsentrasi enzim terikat lebih besar dan
kestabilan yang lebih lama dibandingkan tanpa aktivasi. pH optimum untuk
Immobilisasi GOx didapat pada pH 5. Konsentrasi larutan enzim berpengaruh terhadap
konsentrasi enzim yang terikat. Didapat Km dan Vmaks masingmasing sebesar 0,36 mM
dan 102 mM/menit.
Contoh penerapan selanjutnya yaitu Teknik Imobilisasi Enzim Secara
Entrapment dalam Sintesis Metil Ester Berbahan Minyak Jelantah. Meningkatnya
populasi manusia di dunia tentu akan berbanding lurus dengan peningkatan kebutuhan
komsumsi energi sehingga saat ini terjadilah krisis yang menjadikan harga minyak dunia
terus merangkak naik termasuk di Indonesia. Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan
melakukan kombinasi subtitusi reaktan dan teknik imobilisasi enzim. Methanol bisa
digantikan dengan metil asetat sebagai penyuplai gugus alkil dimana juga mampu

meningkatkan stabilitas enzim lipase selama proses secara signifikan dan produk
samping berupa triasetilgliserol mempunyai nilai jual yang lebih tinggi dibanding
gliserol (Heri, dkk 2009) sedangkan Imobilisasi enzim disini maksudnya adalah
menggabungkan suatu enzim dengan suatu matriks padat (support) sehingga dapat
digunakan secara berulang kali secara kontinyu.

Gambar 7. Tahap imobilisasi enzim di industri.


Sintesis metil ester dapat dilakukan dengan mereaksikan minyak jelantah dan
metil asetat dengan biokatalis terimobilisasi entrapment. Hasil analisa menunjukkan
bahwa kondisi optimal sintesa adalah dengan perbandingan minyak jelantah : metil
asetat sebesar 1:12 dengan komposisi enzim lipase 3 % yang dilakukan pada suhu 37 oC
dengan putaran 150 rpm selama 50 jam yang menghasilkan biodiesel dengan konsentrasi
4,35 mol/lt. peningkatan komposisi enzim diikuti pula oleh peningkatan konsentrasi dan
terlihat bahwa perlakuan b3 yang berarti memakai perbandingan jelantah : metil asetat
sebesar 1: 12 dengan komposisi 3 % enzim menghasilkan biodiesel dengan konsentrasi
tertinggi sebesar 4,35 mol/lt. Hal ini menandakan bahwa enzim bekerja lebih efektif
pada rasio 3 %, sedangkan peningkatan konsentrasi diatas 3 % justru terlihat menurun
yang mengindikasikan bahwakeberadaan enzim lipase dalam pori-pori terlalu lemah dan
mudah terlepas sehingga berkurang kereaktifannya.

DAFTAR PUSTAKA
Adeloju, S.B., Barisci, J.N., Wallace, G.G. (1996). Electroimmobilisation of sulphite
oxidase into a polypyrrole film and its utilisation for flow amperometric
detection of sulphite. Anal. Chim. Acta 332 (2): 145.

Adeloju, S.B., Shaw, S.J., Wallace, G.G.. (1994). Polypyrrole-based amperometric flow
injection biosensor for urea. Electroanalysis 6 (1) : 865.
Chibata, I. 1978. Immobilisasi Enzymes. Kodansha, Tokyo. Page: 6.
Heri, Hermansyah, Arbianti Rita, Marno Sheptian, Surya Utami Tania, Wijanarko
Anondho ., (2009), Sintesis Biodiesel Rute Non-Alkohol Menggunakan Candida
Rugosa Lipase Dalam Bentuk Tersuspensi. Jawa Barat : Universtitas Indonesia
jurnal Teknik Kimia Indonesia Vol. 8 No. 2 Agustus 2009, 38-43.
Johnson. 1978. Effect of Weaning and Slaugtering ages on Rabbit Meat Production. I.
Body weight, feed efficiency and mortality . J.Anim Sci. 3 (46).
Lay, Bibiana W. dan Hastowo, Sugyo. 1992. Mikrobiologi. Jakarta: Rajawali Press.
Lehninger. 1982. Dasar-Dasar Biokimia. Jilid 1. Jakarta : Erlangga.
Martoharsono, S. dkk. 1984. Biokimia. UGM Press. Yogyakarta 91.
Page, D. 1997. Prinsip-Prinsip Biokimia. Jakarta: Erlangga.
Poedjiadi, A. 1994. Dasar-Dasar Biokimia . Jakarta: UI Press.
Reed, Gerald. 1975. Enzymes in Food Processing Second Edition. New York: Academic
Press Inc.
Rodwell, V.W. 1987. Harpers Review of Biochemistry. EGC Kedokteran: Jakarta.
Winarno, F.G. 1989. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Wirahadikusumah , M. 1997. Biokimia: Protein, Enzim, dan Asam Nukleat. ITB Press.
Bandung. 91 halaman.
Yudoamijoyo, M., A. A. Darwis dan E. G. Said. 1992. Teknologi Fermentasi. Penerbit
Rajawali Press dengan Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian
Bogor: Jakarta.

Vous aimerez peut-être aussi