Vous êtes sur la page 1sur 6

SALMONELLA PARATYPHI - TYPHOID (TYPUS)

Demam Enterik (Tifoid) adalah penyakit sistemik yang


ditandai dengan demam dan nyeri pada abdomen
yang disebabkan oleh penyebaran Salmonella typhi
atau Salmonella paratyphi. Pada awalnya penyakit ini
disebut demam tifoid karena memiliki gejala klinis yang
sama dengan typhus. Namun pada awal tahun 1800-an,
demam typhoid secara jelas didefinisikan sebagai kelainan
patologis berupa suatu penyakit yang berbeda (unik)
dikarenakan dasar penegakan penyakit yang berhubungan
dengan pembesaran Plak Peyeri dan nodus limfatikus
mesenterik. Pada tahun 1869, berdasarkan tempat infeksi,
istilah demam enterik diajukan sebagai istilah alternatif
untuk membedakan demam tifoid dari tifus. Namun pada
saat ini kedua istilah tersebut sering bertukar tempat.
Epidemiologi

Beberapa hal yang mempengaruhi terjadinya penyebaran


demam tifoid di negara sedang berkembang adalah
kepadatan penduduk, sumber air minum, produksi
makanan, strain resisten antibiotik, kesulitan menentukan
identifikasi dan penatalaksanaan karier, keterlambatan
membuat diagnosis pasti, patogenesis dan virulensi yang
belum diketahui sepenuhnya, serta belum adanya vaksin,
efektif aman dan murah.
Bakteri S. typhi dapat bertahan hidup di lingkungan
kering dan beku, peka terhadap proses klorinasi dan
pasteurisasi pada suhu 630 C. Organisme ini mampu

bertahan beberapa minggu di es, debu, sampah


kering, dan pakaian, mampu bertahan di tempat
sampah selama satu minggu dan dapat berkembang
biak dalam susu, daging atau produknya tanpa
merubah warna atau bentuknya.
Salmonella sp. adalah bakteri batang lurus, gram negatif, tidak
berspora, bergerak dengan flagel peritrik, berukuran 2-4 m x 0.50,8 m.
Salmonella sp. tumbuh cepat dalam media yang sederhana (Jawetz,
dkk, 2005), hampir tidak pernah memfermentasi laktosa dan
sukrosa,
membentuk asam dan kadang gas dari glukosa dan manosa,
biasanya
memporoduksi hidrogen sulfide atau H2S, pada biakan agar
koloninya
besar bergaris tengah 2-8milimeter, bulat agak cembung, jernih,
smooth,
pada media BAP tidak menyebabkan hemolisis, pada media Mac
Concey
koloni Salmonella sp. Tidak memfermentasi laktosa (NLF),
konsistensinya smooth (WHO, 2003)
Salmonella sp. tahan hidup dalam air yang dibekukan dalam
waktu yang lama, bakteri ini resisten terhadap bahan kimia tertentu
5
8
(misalnya hijau brillian, sodium tetrathionat, sodium deoxycholate)
yang
menghambat pertumbuhan bakteri enterik lain, tetapi senyawa
tersebut
berguna untuk ditambahkan pada media isolasi Salmonella sp. pada
sampel
feses.
Manusia merupakan satu-satunya sumber penularan
alami melalui kontak langsung maupun tidak
langsung dengan seorang penderita tifoid atau karier
kronis. Transmisi kuman terutama dengan cara menelan
makanan atau air yang tercemar tinja manusia.
Transmisi secara kongenital dapat terjadi dari seorang ibu
yang
mengalami
bakteriemia
kepada
bayi
dalam

kandungan, atau tertular pada saat dilahirkan oleh seorang


ibu merupakan karier tifoid dengan rute fekal oral.
Etiologi
Salmonella Typhi adalah bakteri Gram negatif, mempunyai
flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif
anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari
oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein
dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida.
Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang
membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan
endotoksin. Salmonella typhii juga dapat memperoleh
plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap
multipel antibiotik.
Patogenesis
Jalur Masuknya Bakteri ke Dalam Tubuh
Infeksi didapat dengan cara menelan makanan atau
minuman yang terkontaminasi dan dapat pula dengan
kontak langsung jari tangan yang terkontaminasi tinja, urin,
sekret saluran nafas, atau dengan pus penderita yang
terinfeksi. Agar dapat menimbulkan gejala klinis, diperlukan
S. typhi dalam dosis 106 - 109 . Pada fase awal demam
tifoid biasa ditemukan adanya gejala saluran nafas atas.
Ada kemungkinan sebagian kuman ini masuk ke dalam
peredaran darah melalui jaringan limfoid di faring. Pada
tahap awal ini penderita juga sering mengeluh nyeri telan.
Lidah tampak kotor tertutup selaput berwarna putih
sampai berwarna putih sampai kecoklatan yang
merupakan akibat sel epitel mati oleh bakteri S.
typhi. Bila terjadi infeksi dari nasofaring melalui saluran
tuba eustachi ke telingah tengah dan hal ini dapat terjadi
otitis media.
Di lambung, organisme menemui suasana asam dengan pH
dengan rendah dalam kuman dimusnahkan. Pengosongan
lambung yang bersifat lambat merupakan pelindung
fisiologis.
Setelah
melalui
barier
asam
lambung
mikroorganiusme sampai ke usus halus dan menemui dua
mekanisme pertahanan tubuh, yaitu motilitas dan flora
normal usus. Penurunan motilitas usus karena obat-obatan

atau faktor anatomis meningkatkan derajat beratnya


penyakit dan timbulnya komplikasi, serta memperpanjang
keadaan karier konvalesens.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa apabila kuman yang
masuk sebanyak 103 atau kurang, belum dapat
menimbulkan gejala pada penderita, tetapi jika jumlahnya
lebih dari 105 atau lebih menimbulkan gejala pada 27%
sukarelawan. Semakin tinggi jumlah kuman yang masuk,
semakin besar kemungkinan seseorang terkena deman
typhoid, apalagi apabila kuman tersebut termasuk jenis
yang menghasilkan gen polisakarida kapsul atau Vi.
Selanjutnya kuman akan menembus dinding usus halus,
masuk ke kelenjar mesentrika, lalu ke duktus thoracicus dan
masuk ke dalam peredaran darah, dan menimbulkan
bakteriemi
I.
Kuman-kuman ini kemudian akan ditangkap oleh sel-sel RES
dari limpa hati dan organ-organ lainnya. Setelah beberapa
lama, kuman-kuman tersebut kembali masuk ke peredaran
darah, dan menimbulkan bakteriemi II dan menyebar ke
seluruh tubuh, termasuk melalui kantung empedu dan aliran
empedu, masuk ke lumen usus lalu menembus hingga ke
plaque peyeri.
Manifestasi Klinis
Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari
dengan rata-rata 10 14 hari. Gejala klinis demam tifoid
sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan dan tidak
memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat
sehingga harus dirawat. Variasi gejala ini disebabkan faktor
galur Salmonella, status nutrisi, imunologi dan lama sakit di
rumahnya.
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada
awal penyakit. Pada era pemakaian antibiotik belum seperti
saat ini, penampilan demam pada kasus demam tifoid
mempunyai istilah khusus yaitu step ladder temperature
chart yang ditandai dengan demam timbul insidius,
kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai
titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu
demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam
turun perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus

infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak maka


demam akan menetap. Banyak orang tua pasien demam
tifoid melaporkan bahwa demam lebih tinggi saat sore dan
malam hari dibandingkan denga pagi harinya. Pada saat
demam sudah tinggi, pada kasus demam tifoid dapat
disertai gejala sistem saraf pusat; seperti kesadaran
berkabut atau delirium atau obtundasi, atau penurunan
kesadaran mulai apati sampai koma.
Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam
adalah nyeri kepala, malaise, anoreksia, nausea, mialgia,
nyeri perut, dan radang tenggorokan. Pada kasus yang
berpenampilan klinis berat, pada saat demam tinggi akan
nampak toksik/sakit berat. Bahkan dapat juga ijumpai
penderita demam tifoid yang datang dengan syok
hipovolemik sebagai akibat kurang masukan cairan dan
makanan. Gejala gastrointestinal pada kasus demam tifoid
sangat bervariasi. Pasien dapat mengeluh obstipasi,
obstipasi kemudian disusul episode diare, pada sebagian
pasien lidah tampak kotor dengan putih di tengah
sedang tepi dan ujungnya kemerahan. Banyak dijumpai
gejala meteorismus, berbeda dengan buku bacaan Barat
pada anak Indonesia lebih banyak dijumpai hepatomegali
dibandingkan
splenomegali.
Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah
dengan ukuran 2-4 sering kali dijumpai pada daerah
abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang tua
kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak
Indonesia. Bronkhitis banyak dijumpai pada demam tifoid
sehingga buku ajar lama bahkan menganggap sebagai
bagian dari penyakit demam tifoid. Bradikardi relatif jarang
dijumpai
pada
anak.
Penyulit
(Komplikasi)
Perforasi usus halus dilaporkan dapat terjadi pada 0,5-3 %,
sedangkan perdarahan usus pada 1-10% kasus demam
tifoid anak. Penyulit ini biasanya terjadi pada minggu ke-3
sakit, walau pernah dilaporkan terjadi pada minggu
pertama. Komplikasi didahului dengan penurunan suhu,
tekanan darah dan peningkatan frekuensi nadi. Pada
perforasi usus halus ditandai oleh nyeri abdomen lokal pada

kuadran kanan bawah akan tetapi dilaporkan juga nyeri


yang menyelubung. Kemudian akan diikuti muntah, nyeri
pada perabaan abdomen, dan hilangnya keredupan hepar.
Pada
komplikasi
neuropsikiatri
sebagian
besar
bermanifestasi gangguan kesadaran, disorientasi, delirium,
obtudansi, stupor bahkan koma. Hepatitis tifosa asimtomatik
dapat dijumpai pada kasus demam tifoid dengan ditandai
peningkatan kadar transaminase yang tidak mencolok.
Ikterus dengan atau tanpa disertai kenaikan kadar
transaminase, maupun kolesistitis akut juga dapat dijumpai,
sedang kolesistitis kronik yang terjadi pada penderita
setelah mengalami demam tifoid dapat dikaitkan dengan
adanya batu empedu dan fenomena pembawa kuman
(karier).
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri
Salmonella typhi melalui urin pada saat sakit maupun
setelah sembuh. Sistitis bahkan pielonefritis dapat juga
merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien
sering dijumpai, sedangkan glomerunefritis yang dapat
bermani9festasi sebagai gagal ginjal maupun sindrom
nefrotik
mempunyai
prognosis
yang
buruk.
Relaps yang didapat pada 5-10% kasus demam tifoid saat
era pre antibiotik, sekarang lebih jarang ditemukan. Apabila
terjadi relaps, demam timbul kembali seminggu setelah
penghentian antibiotik. Pada umumnya relaps lebih ringan
dibandingkan
gejala
demam
tifoid
sebelumnya.
Gambaran
Darah
Tepi
Anemia normokrom normositik terjadi sebagai akibat
perdarahan usus atau supresi pada sumsum tulang. Jumlah
leukosit rendah, namun jarang di bawah 3.000/l3. Apabila
terjadi abses piogenik maka jumlah leukosit dapat
meningkat mencapai 20.000 25.000/l3. Trombositopenia
sering dijumpai, kadang-kadang berlangsung beberapa
minggu.
Diagnosa
dan
Deteksi
Pembawa
Kuman
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa
demam, gangguan gastrointestinal dan mungkin disertai

perubahan atau gangguan kesadaran, maka seorang klinisi


dapat dapat membuat diagnosis tersangka demam typhoid.
Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi S. typhi dari
darah, atau dapat pula dari feces atau urine. Pada dua
minggu pertama sakit, kemungkinan mengisolasi S. typhi
dari dalam darah pasien lebih besar dari pada minggu
berikutnya. Biakan yang dilakukan pada urin dan feses,
kemungkinan keberhasilan lebih kecil. Biakan spesimen
yang berasal dari aspirasi sumsum tulang mempunyai
sensitivitas tertinggi, hasil positif didapat pada 90% kasus.
Akan tetapi prcsedur ini sangat invasif, sehingga tidak
dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu
dapat dilakukan biakan spesimen empedu yang diambil dari
duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik.
Uji serologi Widal suatu metode serologik yang memeriksa
antibodi aglutinasi terhadap antigen somatik (O), flagela (H)
banyak dipakai untuk membuat diagnosis demam tifoid. Di
Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin > 1/40
dengan memakai uji Widal slide aglutination (prosedur
pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menuniukkan
nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96%
kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif
tidak menyingkirkan. Banyak pendapat apabila titer O
aglutinin sekaii periksa > 1/200 atau pada titer sepasang
terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tit'oid dapat
ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca
imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin
dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier).
Banyak peneliti mengemukakan bahwa uji serologik Widal
kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu
pada daerah endemis, dan sebaliknya dapat timbul negatif
palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah
positif.
Akhir-akhir ini banyak dimunculkan beberapa jenis
pemeriksaan untuk mendeteksi antibodi S.typhi dalam
serum, antigen terhadap S. typhi dalam darah, serum dan
urin bahkan DNA S. typhi dalam darah dan faeces.
Walaupun laporan-laporan pendahuluan menunjukkan hasil
yang baik namun sampai sekarang tidak salah satupun
dipakai secara luas. Sampai sekarang belum disepakati

adanya pemeriksaan yang dapat menggantikan uji serologi


Widal.
Diagnosis BandingPada stadium dini demam tifoid
beberapa penyakit kadang-kadang secara klinis dapat
merupakan
diagnosis
banding
yaitu
influenza,
gastroenteritis, bronkitis dan bronkopneumonia. Beberapa
penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme intraselular
seperti tuberkulosis, infeksi Jamur sistemik, bruselosis,
tularemia, shigelosis dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada
demam typhoid yang berat, sepsis, leukemia, limfoma, dan
penyakit hodgkin dapat sebagai diagnosis banding.
Tatalaksana
Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah
dengan tirah baring, isolasi yang memadai, pemenuhan
kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik.
Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat di rumah sakit
agar pemenuhan cairan, elektrolit serta nutrisi disamping
observasi kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan
seksama.
Kloramfenikol masih merupakn pilihan pertama pada
pengobatan penderita demam tifoid. Dosis yang diberikan
adalah 100 mg/kg Berat Badan/hari dibagi dalam 4 kali
pemberian selama 10 sampai 14 hari sedang pada kasus
dengan malnutrisi atau penyakit, pengobatan dapat
diperpanjang sampai 21 hari. Salah satu kelemahan
kloramfenikol adalah tingginya angka relaps dan karier.
Namun pada anak hal hal tersebut jarang dilaporkan.
Ampisilin memberikan respons perbaikan klinis kurang
apabila dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis yang
dianjurkan adalah 100-200 mg/kg Berat Badan/hari dibagi 4
kali pemberian secara oral atau suntikan intravena.
Amoksilin dengan dosis 100 mg/kg Berat Badan/hari dibagi
4 kali pemberian memberikan hasil yang setara dengan
kloramfenikol walaupun penurunan demam lebih lama.
Kombinasi trimetophin sulfametoksazol memberikan hasil
yang kurang baik dibanding kloramfenikol. Di beberapa
negara sudah dilaporkan kasus demam tifoid yang resisten
terhadap kloramfenikol. Seftriakson dan sefoperazon dapat

memberikan angka kesembuhan 90% dan relaps 0-4%.


Akhir-akhir ini cefixime oral 15-20 mg/kgBB/hari pertama 10
kali dapat diberikan sebagai alternatif, terutama apabila
jumlah leukosit <2000/ atau dijumpai resistensi terhadap
S.typhi.
Pada demam tifoid kasus berat seperti delirium, koma atau
syok, deksametason dosis tinggi 1 3 mg/kg Berat
Badan/hari disamping antibiotik yang memadai dapat
menurunkan angka kematian. Demam tifoid edngan tifoid
denga
npenyulit
perdarahan
usus
kadang-kadang
memerlukan tranfusi darah. Sedangkan apabila diduga
terjadi perforasi, adanya cairan pada peritoneum dan udara
bebas pada foto abdomen dapat membantu menegakan
diagnosis. Laparotomi segera harus dilakukan pada perfusi
usus didertai penambahan antibiotik metronidazol dapat
memperbaiki
prognosis.
Tiga persen penderita demam typhoid akan menjadi karier,
kejadiannya meningkat sesuai dengan bertambahnya umur.
Terjadinya penderita dengan karier biasanya disebabkan
oloh infeksi kandung empedu yang kronis akibat batu
empedu dan penderita mengeluarkan kumannya melalui
kotoran ( kandung empedu dan saluran empedu sebagai
sumber
infeksi),
sehingga kolesistektomi dapal dipertimbangkan pada > 8 %
karier, bahkan tanpa pemberian antibiotika. Pengobatan
Karier tergantung ada tidaknya kelainan kandung empedu
kantung
empedu
normal
Ampisilin 500 mg (tiap 6 jam) selama 6 minggu, atau

Ampisilin 200 mg (tiap 6 jam) selama 6 minggu,


intravena,
atau

Ampsilin 100 - 200 mg/kg/hari, untuk 3 - 4 minggu.

Amoksisilin 40 mg/kg/hari, peroral (tiap 8 jam) +


Probenezid 25 mg/kg dosis pertama (selanjutnya 40 mg),
peroral
(tiap
6
jam),
selama
4
6
minggu.

TMP 8 mg/kg/hari, SMZ 40 mg/kg/hari, uintuk 3 - 4


minggu.

Norfloxazin
/
Ciprofloxacin.
Merupakan golongnn quinolon, telah berhasil baik pada
penderita
dewasa.
Karena pengaruhnya lerhadap perkeimbangan Tulang

rawan, sehingga tidak dianjurkani untuk anakyang lebih


muda
dari
18
tahun.
Disfungsi
kandung
empedu
Obat dan dosis sama dengan untuk kandung empedu
normal + Kolesistektomi + Amoksisilin untuk 30 hari
kemudian.
Kasus demam tifoid yang mengalami relaps diberi
pengobatan sebagai kasus demam tifoid serangan pertama.
Pencegahan
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar
S.typlii, maka setiap individu harus memperhatikan kualitas
makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Salmonella
typhi di dalam air akan mati apabila dipanasi seting 57C
untuk beberapa menit atau dengan proses iodinasi/klorinasi.
Untuk rnakanan, pemanasan sampai suhu 57C beberapa
menit dan secara merata juga dapat mematikan kuman
Salmonella
typhi.
Penurunan
endemisitas
suatu
negara/daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan
sarana air dan pengaturan pembuangan sampah serta
tingkat kesadaran individu terhadap higiene pribadi.
Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian
demam
tifoid.
Vaksin
Demam
Tifoid
Saat sekarang dikenal (tiga macam vaksin untuk penyakit
demam tifoid, yaitu yang berisi kuman yang dimatikan,
kuman hidup dan komponen Vi dari Salmonella typhi. Vaksin
yang berisi kuman Salmonella typhi, S. paratyphi A, S.
paratyphi B yang dimatikan (TAB vaccine) telah puluhan
tahun digunakan dengan cara pemberian suntikan subkutan
namun vaksin ini hanya memberikan daya kekebalan yang
terbatas, disamping efek samping lokal pada tempat
suntikan yang cukup sering. Vaksin yang berisi kuman
Salmonella typhi hidup yang dilemahkan (Ty-21a) diberikan
per oral tiga kali dengan interval pemberian selang sehari,
memberi daya perlindungan 6 tahun. Vaksin Ty-21a
diberikan pada anak berumur di atas 2 tahun. Pada
penelitian di lapangan didapat hasil efikasi proteksi yang
berbanding terbalik dengan derajat transmisi penyakit.
Vaksin yang berisi komponen Vi dari Salmonella typhi

diberikan secara suntikan


perlindungan 60 70 %.

intramuskular

memberikan

Download artikel Salmonella Paratyphi - Typhoid (Typus)


dalam bentuk Microsoft Word secara lengkap.
DAFTAR
PUSTAKA
1.Harrisons Principles of Internal Medicine 16th edition
.McGraw-Hill.2005
2.Behrman KE. Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan HI VC
Typhoid fever. Nelson textbook of pediatrics, edisi ke-14
Philadelphia:
WB
Saunders
Co,
lS92.h.731-34.
3.Butier T Typhoid fever. Dalanu Warren KS, Mahmoud AF
(penyunting).
Tropical
and geographical medicine, edisi ke-2. New York: Me GrawHiU
Information
Services
Co,
1990
Ji.753-7.
4.Hayani CH, Picketing LK. Salmonella infections. Dalam:
Feigin RD, Cherry JD (penyunting). Textbook of pediatric
infectious diseases, edisi ke-3, Tokyo: V/B Saunders Co,
1992.K620-33.
5.Hoffman SL. Typhoid fever. Dalatn: Strickland GT
penyunting. Hunter's tropical medicine, edisi ke-7.
Philadelphia: WB Saunders Co. 1991.h.344-58.

Vous aimerez peut-être aussi