Vous êtes sur la page 1sur 19

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

INFORMED CONSENT

DISUSUN OLEH:
Yohanes Baptista

C11108225
Nur Nadia Mohd Makhtar
C11108776

PEMBIMBING :
dr. Stephanie Ranni Anindita

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015

PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini banyak dibicarakan di media massa masalah dunia kedokteran yang
dihubungkan dengan hukum. Bidang kedokteran yang dahulu dianggap profesi mulia,
seakan-akan sulit tersentuh oleh orang awam, kini mulai dimasuki unsur hukum. Gejala ini
tampak menjalar ke mana-mana, baik di dunia Barat yang memeloporinya maupun Indonesia.
Hal ini terjadi karena kebutuhan yang mendesak akan adanya perlindungan untuk pasien
maupun dokternya. Salah satu tujuan dari hukum atau peraturan atau deklarasi atau kode etik
kesehatan adalah untuk melindungi kepentingan pasien di samping mengembangkan kualitas
profesi dokter atau tenaga kesehatan. Keserasian antara kepentingan pasien dan kepentingan
tenaga kesehatan, merupakan salah satu penunjang keberhasilan pembangunan sistem
kesehatan. Oleh karena itu perlindungan hukum terhadap kepentingan-kepentingan itu harus
diutamakan.
Pada awal abad ke-20 telah tumbuh bidang hukum yang bersifat khusus (lex
spesialis), salah satunya hukum kesehatan, yang berakar dari pelaksanaan hak asasi manusia
memperoleh kesehatan (the Right to health care). Masing-masing pihak, yaitu yang memberi
pelayanan (medical providers) dan yang menerima pelayanan (medical receivers) mempunyai
hak dan kewajiban yang harus dihormati. Seiring dengan pergeseran pola hubungan hukum
antara dokter dan pasien dari hubungan paternalistik menjadi hubungan horizontal
kontraktual, maka kedudukan pasien menjadi sederajat dengan dokter, bukan hanya sebagai
obyek penyembuhan tetapi berperan sebagai subyek. Perubahan hubungan inilah yang
menjadikan setiap upaya penyembuhan yang dilakukan oleh dokter terhadap pasiennya
memerlukan persetujuan dari si pasien itu sendiri. Persetujuan ini didasarkan mengenai
informasi tentang penyakit, alternatif serta upaya penyembuhan dan akibat yang mungkin
terjadi dari upaya penyembuhan tersebut. Dengan semakin berkembangnya masyarakat
hubungan tersebut secara perlahan-lahan mengalami perubahan. Kepercayaan kepada dokter
secara pribadi berubah menjadi kepercayaan terhadap keampuhan ilmu kedokteran dan
teknologi. Agar dapat menanggulangi masalah secara proporsional dan mencegah apa yang
dinamakan malpraktek di bidang kedokteran, perlu diungkap hak dan kewajiban pasien.
Pengetahuan tentang hak dan kewajiban pasien diharapkan akan meningkatkan kualitas sikap
dan tindakan yang cermat dan hatihati dari tenaga kedokteran.
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, kebutuhan manusia untuk mendapatkan
kesehatan juga semakin meningkat. Pada saat seorang pasien menyatakan kehendaknya untuk
menceritakan riwayat penyakitnya kepada dokter dan dokter menyatakan kehendaknya untuk

mendengar keluhan pasien, maka telah terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak.
Kedatangan pasien ke tempat praktek dokter, Rumah Sakit, atau Klinik dapat ditafsirkan
sebagai usaha mengajukan penawaran kepada dokter untuk diminta pertolongan dalam
mengatasi keluhan yang dideritanya. Begitu pula sebaliknya, dokter juga akan melakukan
pelayanan medis berupa rangkaian tindakan yang meliputi diagnosa dan tindakan medik.
Hubungan hukum ini selanjutnya disebut transaksi, yang dalam hukum perdata disebut
perjanjian.
Hubungan pasien dokter dan rumah sakit selain berbentuk sebagai ikatan atau
hubungan medik, juga berbentuk ikatan atau hubungan hukum. Sebagai hubungan medik,
maka hubungan ini akan diatur oleh kaidah-kaidah medik. Sebagai hubungan hukum, maka
hubungan itu akan diatur oleh kaidah-kaidah hukum. Hubungan antara dokter dengan pasien
pada umumnya merupakan hubungan kontrak. Terdapat persamaan kontrak antara hubungan
dokter dengan pasien dengan hubungan kontrak yang terjadi dalam pengaturan hukum
perdata, misalnya pada perjanjian jual beli, yakni bahwa hubungan kontrak antara kedua
belah pihak dilakukan dengan legal untuk memutuskan suatu sikap yang telah disetujui
bersama. Dalam melakukan terapi antara dokter terhadap pasien secara langsung terjadi
ikatan kontrak. Pasien ingin diobati dan dokter setuju untuk mengobati. Untuk perjanjian
kontrak yang valid harus ada pengertian dan kerjasama dari pihak-pihak yang terlibat dalam
perjanjian tersebut. Pasien berhak untuk menolak pemeriksaan, menunda persetujuan dan
bahkan membatalkan persetujuan. Apabila pasien menolak untuk dilakukan tindakan medis,
maka dokter wajib memberikan informasi mengenai baik buruknya tindakan tersebut bagi
pasien.
Hubungan dokter dengan pasien merupakan hubungan terapeutik, yang dalam hukum
dikatakan suatu perjanjian melakukan jasa-jasa tertentu. Dengan adanya perjanjian ini
dimaksudkan mendapatkan hasil dari tujuan tertentu yang diharapkan pasien. Status legal dari
seorang dokter dalam menjalankan profesinya dengan praktek merupakan masalah yang
sangat kompleks. Jika ditinjau dari segi hukum medik, maka hubungan antara dokter dan
pasien dapat dimasukkan dalam golongan kontrak. Suatu kontrak adalah pertemuan pikiran
(meeting of minds) dari dua orang mengenai suatu hal (sollis). Pihak pertama mengikatkan
diri untuk memberikan pelayanan sedangkan yang kedua menerima pemberian pelayanan.
Dengan demikian maka sifat hubungannya mempunyai dua unsur :
1. Adanya suatu persetujuan (consensual, agreement), atas dasar saling menyetujui dari
pihak dokter dan pasien tentang pemberian pelayanan pengobatan.

2. Adanya suatu kepercayaan (fiduciary relationship), karena hubungan kontrak tersebut


berdasarkan saling percaya mempercayai satu sama lain. Karena antara dokter dan
pasien bersifat hubungan kontrak, maka harus dipenuhi persyaratan:
a. Harus ada persetujuan (agreement, consensus), dari pihak yang berkontrak.
Persetujuan itu berwujud dalam pertemuan dari penawaran dan penerimaan
pemberian pelayanan tersebut yang merupakan penyebab terjadinya suatu kontrak.
b. Harus ada suatu objek yang merupakan substansi dari kontrak: objek atau
substansi kontrak dari hubungan dokter-pasien adalah pemberian pelayanan
pengobatan yang dikehendaki pasien dan diberikan kepadanya oleh sang dokter.
Objek dari kontrak harus dapat dipastikan, legal, dan tidak diluar profesinya.
c. Harus ada suatu sebab (causa) atau pertimbangan (consideration). Sebab atau
pertimbangan itu adalah faktor yang menggerakkan dokter untuk memberikan
pelayanan pengobatan kepada pasiennya. Perjanjian tersebut tidak menjamin
kesembuhan pasien atau memberikan keuntungan untuk pasien, tetapi sang dokter
akan berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan pelayanan yang terbaik
sesuai dengan kemampuanya untuk memberikan pelayanan yang terbaik untuk
pasien.
Secara harfiah Informed Consent merupakan padanan kata dari: Informed artinya telah
diberikan penjelasan/informasi ,dan Consent artinya persetetujuan yang diberikan kepada
seseorang untuk berbuat sesuatu. Informed Consent terdiri dari dua kata yaitu informed
yang berarti telah mendapat penjelasan atau keterangan (informasi), dan consent yang
berarti persetujuan atau memberi izin. Jadi informed consent mengandung pengertian suatu
persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi. Dengan demikian informed
consent dapat didefinisikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau
keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap
dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya.
Persetujuan tindakan adalah kesepakatan yang dibuat seorang pasien untuk menerima
rangkaian terapi atau prosedur setelah informasi yang lengkap, termasuk risiko terapi dan
fakta yang berkaitan dengan terapi tersebut, telah diberikan oleh dokter. Oleh karena itu,
persetujuan tindakan adalah pertukaran antara klien dan dokter. Biasanya, pasien
menandatangani formulir yang disediakan oleh institusi. Formulir itu adalah suatu catatan
mengenai persetujuan tindakan, bukan persetujuan tindakan itu sendiri.
Mendapatkan persetujuan tindakan untuk terapi medis dan bedah spesifik adalah
tanggung jawab dokter. Meskipun tanggung jawab ini didelegasikan kepada perawat di

beberapa institusi dan tidak terdapat hukum yang melarang perawat untuk menjadi bagian
dalam proses pemberian informasi tersebut, praktik tersebut sangat tidak dianjurkan.

BAB I. DASAR HUKUM

PERATURAN

MENTERI

KESEHATAN

REPUBLIK

INDONESIA

NOMOR

290/MENKES/PER/III/2008 TENTANG PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN


MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang

bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran, perlu mengatur kembali Persetujuan Tindakan Medik dengan Peraturan Menteri
Kesehatan;
Mengingat

1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik


Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3495);
2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4431);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1966 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 2803);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara
Tahun 1996 Nomor 39 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3637);
5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 920/Menkes/Per/XII/1986 tentang Upaya Pelayanan
Kesehatan

Swasta

Di

Bidang

Medik;

Peraturan

Menteri

Kesehatan

Nomor

159b/Menkes/Per/II/1988 tentang Rumah Sakit sebagaimana telah diubah terakhir dengan


Keputusan

Menteri

Kesos/SK/II/2001

Kesehatan
tentang

dan

Perubahan

Kesejahteraan

Sosial

Keputusan

Menteri

Nomor

191/Menkes-

Kesehatan

Nomor

157/Menkes/SK/III/1999 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor


159b/Menkes/Per/II/1988 tentang Rumah Sakit;
7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Departemen Kesehatan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 1295/Menkes/Per/XII/2007 tentang Perubahan Pertama Atas Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Kesehatan.
M E M U T U S KAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG PERSETUJUAN


TINDAKAN KEDOKTERAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau
keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Keluarga
terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung, saudarasaudara kandung atau pengampunya.
2.

Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang selanjutnya disebut tindakan


kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik atau
rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien.

3. Tindakan Invasif adalah suatu tindakan medis yang langsung dapat mempengaruhi
keutuhan jaringan tubuh pasien.
4. Tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi adalah tindakan medis yang
berdasarkan tingkat probabilitas tertentu, dapat mengakibatkan kematian atau
kecacatan
5. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi
spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di
luar negeri yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
6. Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturan
perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak terganggu kesadaran fisiknya,
mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami kemunduran perkembangan
(retardasi) mental dan tidak mengalami penyakit mental sehingga mampu membuat
keputusan secara bebas.
BAB II
PERSETUJUAN DAN PENJELASAN
Bagian Kesatu
Persetujuan
Pasal 2

(1) Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat
persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara tertulis maupun
lisan.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan.
Pasal 3
(1) Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh persetujuan
tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
(2) Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat diberikan dengan persetujuan lisan.
(3) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam bentuk pernyataan
yang tertuang dalam formulir khusus yang dibuat untuk itu.
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam bentuk ucapan
setuju atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang dapat diartikan sebagai ucapan
setuju.
(5) Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dianggap meragukan, maka dapat dimintakan persetujuan tertulis.
Pasal 4
(1) Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah
kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran.
(2) Keputusan untuk melakukan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diputuskan oleh dokter atau dokter gigi dan dicatat di dalam rekam medik.
(3) Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien
setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat.
Pasal 5
(1) Persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi
persetujuan sebelum dimulainya tindakan.
(2) Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilakukan secara tertulis oleh yang memberi persetujuan.
(3) Segala akibat yang timbul dari pembatalan persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan (2) menjadi tanggung jawab yang membatalkan persetujuan.
Pasal 6

Pemberian persetujuan tindakan kedokteran tidak menghapuskan tanggung gugat hukum


dalam hal terbukti adanya kelalaian dalam melakukan tindakan kedokteran yang
mengakibatkan kerugian pada pasien
Bagian Kedua
Penjelasan
Pasal 7
(1) Penjelasan tentang tindakan kedokteran harus diberikan langsung kepada pasien dan/atau
keluarga terdekat, baik diminta maupun tidak diminta.
(2) Dalam hal pasien adalah anak-anak atau orang yang tidak sadar, penjelasan diberikan
kepada keluarganya atau yang mengantar.
(3) Penjelasan tentang tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurangkurangnya mencakup:
a. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran;
b. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan;
c. Altematif tindakan lain, dan risikonya;
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
f. Perkiraan pembiayaan.
Pasal 8
(1) Penjelasan tentang diagnosis dan keadaan kesehatan pasien dapat meliputi :
a. Temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis hingga saat tersebut;
b. Diagnosis penyakit, atau dalam hal belum dapat ditegakkan, maka sekurang-kurangnya
diagnosis kerja dan diagnosis banding;
c. Indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan dilakukannya tindakan kedokteran;
d. Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan tindakan.
(2) Penjelasan tentang tindakan kedokteran yang dilakukan meliputi :
a. Tujuan tindakan kedokteran yang dapat berupa tujuan preventif, diagnostik, terapeutik,
ataupun rehabilitatif.
b. Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan dialami pasien selama dan sesudah tindakan,
serta
efek samping atau ketidaknyamanan yang mungkin terjadi.
c. Alternatif tindakan lain berikut kelebihan dan kekurangannya dibandingkan dengan
tindakan yang direncanakan.

d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-masing alternatif tindakan.
e. Perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi keadaan darurat akibat risiko
dan komplikasi tersebut atau keadaan tak terduga lainnya.
(3) Penjelasan tentang risiko dan komplikasi tindakan kedokteran adalah semua risiko dan
komplikasi yang dapat terjadi mengikuti tindakan kedokteran yang dilakukan, kecuali:
a. risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan umum
b. risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau yang dampaknya sangat ringan
c. risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya (unforeseeable)
(4) Penjelasan tentang prognosis meliputi:
a. Prognosis tentang hidup-matinya (ad vitam);
b. Prognosis tentang fungsinya (ad functionam);
c. Prognosis tentang kesembuhan (ad sanationam).
Pasal 9
(1) Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus diberikan secara lengkap dengan
bahasa yang mudah dimengerti atau cara lain yang bertujuan untuk mempermudah
pemahaman.
(2) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dan didokumentasikan dalam
berkas rekam medis oleh dokter atau dokter gigi yang memberikan penjelasan dengan
mencantumkan tanggal, waktu, nama, dan tanda tangan pemberi penjelasan dan penerima
penjelasan.
(3) Dalam hal dokter atau dokter gigi menilai bahwa penjelasan tersebut dapat merugikan
kepentingan kesehatan pasien atau pasien menolak diberikan penjelasan, maka dokter atau
dokter gigi dapat memberikan penjelasan tersebut kepada keluarga terdekat dengan
didampingi oleh seorang tenaga kesehatan lain sebagai saksi.
Pasal 10
(1) Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 diberikan oleh dokter atau dokter gigi
yang merawat pasien atau salah satu dokter atau dokter gigi dari tim dokter yang
merawatnya.
(2) Dalam hal dokter atau dokter gigi yang merawatnya berhalangan untuk memberikan
penjelasan secara langsung, maka pemberian penjelasan harus didelegasikan kepada dokter
atau dokter gigi lain yang kompeten.
(3) Tenaga kesehatan tertentu dapat membantu memberikan penjelasan sesuai dengan
kewenangannya.

(4) Tenaga kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tenaga kesehatan
yang ikut memberikan pelayanan kesehatan secara langsung kepada pasien.
Pasal 11
(1) Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang
akan melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan.
(2) Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) merupakan dasar daripada persetujuan.
Pasal 12
(1) Perluasan tindakan kedokteran yang tidak terdapat indikasi sebelumnya, hanya dapat
dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien.
(2) Setelah perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan,
dokter atau dokter gigi harus memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarga terdekat.
BAB III
YANG BERHAK MEMBERIKAN PERSETUJUAN
Pasal 13
(1) Persetujuan diberikan oleh pasien yang kompeten atau keluarga terdekat.
(2) Penilaian terhadap kompetensi pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh dokter pada saat diperlukan persetujuan
BAB IV
KETENTUAN PADA SITUASI KHUSUS
Pasal 14
(1) Tindakan penghentian/penundaan bantuan hidup (withdrawing/withholding life
support) pada seorang pasien harus mendapat persetujuan keluarga terdekat pasien.
(2) Persetujuan penghentian/penundaan bantuan hidup oleh keluarga terdekat pasien
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah keluarga mendapat penjelasan
dari tim dokter yang bersangkutan.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberikan secara tertulis.
Pasal 15
Dalam hal tindakan kedokteran harus dilaksanakan sesuai dengan program pemerintah
dimana tindakan medik tersebut untuk kepentingan masyarakat banyak, maka persetujuan
tindakan kedokteran tidak diperlukan.
BAB V

PENOLAKAN TINDAKAN KEDOKTERAN


Pasal 16
(1) Penolakan tindakan kedokteran dapat dilakukan oleh pasien dan/atau keluarga terdekatnya
setelah menerima penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan.
(2) Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud kedokteran pada ayat (1) harus
dilakukan secara tertulis.
(3) Akibat penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi
tanggung jawab pasien.
(4) Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memutuskan
hubungan dokter dan pasien.
BAB VI
TANGGUNG JAWAB
Pasal 17
1) Pelaksanaan tindakan kedokteran yang telah mendapat persetujuan menjadi tanggung
jawab dokter atau dokter gigi yang melakukan tindakan kedokteran.
2) Sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab atas pelaksanaan persetujuan tindakan
kedokteran.
BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 18
(1) Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
melakukan pembinaan dan pengawasan dengan melibatkan organisasi profesi terkait
sesuai tugas dan fungsi masing-masing.
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
Pasal 19
(1) Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi,
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mengambil tindakan administratif sesuai
dengan kewenangannya masing-masing
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa teguran lisan,
teguran tertulis sampai dengan pencabutan Surat Ijin Praktik
BAB IX

KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, maka Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
585/MENKES/PER/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku lagi.
Pasal 21
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang
rnengetahuinya, rnemerintahkan pengundangan Peraturan ini dengan penernpatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 Maret 2008 Menteri Kesehatan,

Informed Consent Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29


tahun 2004 Pasal 45 serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008 adalah
persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah
mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan
terhadap pasien tersebut. Menurut Lampiran SKB IDI No. 319/P/BA./88 dan Permenkes no
585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis Pasal 4 ayat 2 menyebutkan
dalam memberikan informasi kepada pasien / keluarganya, kehadiran seorang perawat /
paramedik lainnya sebagai saksi adalah penting. Persetujuan yang ditanda tangani oleh pasien
atau keluarga terdekatnya tersebut, tidak membebaskan dokter dari tuntutan jika dokter
melakukan kelalaian. Tindakan medis yang dilakukan tanpa persetujuan pasien atau keluarga
terdekatnya, dapat digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan
KUHP Pasal 351. Informasi/keterangan yang wajib diberikan sebelum suatu tindakan
kedokteran dilaksanakan adalah:
1.
2.
3.
4.

Diagnosa yang telah ditegakkan.


Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan.
Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut.
Resiko resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi daripada tindakan kedokteran

tersebut.
5. Konsekuensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif cara
pengobatan yang lain.
6. Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut.
Resiko resiko yang harus diinformasikan kepada pasien yang dimintakan persetujuan
tindakan kedokteran :

a. Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran tersebut.


b. Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya.
Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang
akan melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan ( Pasal 11 Ayat 1 Permenkes No
290 / Menkes / PER / III / 2008 ). Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran
sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 merupakan dasar daripada persetujuan ( Ayat 2 ).
Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan persetujuan
tindakan kedokteran adalah:
1. Dalam keadaan gawat darurat ( emergensi ), dimana dokter harus segera bertindak
untuk menyelamatkan jiwa
2. Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi situasi
dirinya.
Ini tercantum dalam PerMenKes no 290/Menkes/Per/III/2008.
Tujuan Informed Consent:
a. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang
sebenarnya tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya
yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya.
b. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan
bersifat negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada
setiap

tindakan

medik

ada

melekat

suatu

resiko

Permenkes

No.

290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 )
Tindakan medis yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat digolongkan sebagai tindakan
melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351 ( trespass, battery, bodily assault ).
Menurut Pasal 5 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008, persetujuan tindakan
kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan, sebelum
dimulainya tindakan ( Ayat 1 ). Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran harus dilakukan
secara tertulis oleh yang memberi persetujuan ( Ayat 2 ).

BAB II. PRAKTEK INFORM CONSENT

Seorang pasien memiliki hak dan kewajiban yang layak untuk dipahaminya selama
dalam proses pelayanan kesehatan. Ada 3 hal yang menjadi hak mendasar dalam hal ini yaitu
hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan (the right to health care), hak untuk
mendapatkan informasi (the right to information), dan hak untuk ikut menentukan (the right
to determination). Seorang pasien yang sedang dalam pengobatan atau perawatan disuatu
sarana pelayanan kesehatan (saryankes) seringkali harus menjalani suatu tindakan medis baik
untuk menyembuhan (terapeutik) maupun untuk menunjang proses pencarian penyebab
penyakitnya (diagnostik). Pasien yang mengalami radang dan infeksi pada usus buntunya
sehingga perlu dipotong melalui operasi, maka operasi ini termasuk tindakan medis
terapeutik. Pada kasus penyakit lain, kadang-kadang dokter yang merawat perlu melakukan
tindakan medis diagnostik, misalnya biopsi, pemeriksaan radiologi khusus, atau pengambilan
cairan tubuh untuk pemeriksaan lebih lanjut guna memperjelas penyebab penyakit.
Hak atas informasi
Sebelum melakukan tindakan medis tersebut, dokter seharusnya akan meminta
persetujuan dari pasien. Untuk jenis tindakan medis ringan, persetujuan dari pasien dapat
diwujudkan secara lisan atau bahkan hanya dengan gerakan tubuh yang menunjukkan bahwa
pasien setuju, misalnya mengangguk. Untuk tindakan medis yang lebih besar atau beresiko,
persetujuan ini diwujudkan dengan menandatangani formulir persetujuan tindakan medis.
Dalam proses ini, pasien sebenarnya memiliki beberapa hak sebelum menyatakan
persetujuannya, yaitu :
Pasien berhak mendapat informasi yang cukup mengenai rencana tindakan medis yang akan
dialaminya. Informasi ini akan diberikan oleh dokter yang akan melakukan tindakan atau
petugas medis lain yang diberi wewenang. Informasi ini meliputi :
* Bentuk tindakan medis
* Prosedur pelaksanaannya
* Tujuan dan keuntungan dari pelaksanaannya
* Resiko dan efek samping dari pelaksanaannya
* Resiko / kerugian apabila rencana tindakan medis itu tidak dilakukan
* Alternatif lain sebagai pengganti rencana tindakan medis itu, termasuk keuntungan
dankerugian dari masing-masing alternatif tersebut
Pasien berhak bertanya tentang hal-hal seputar rencana tindakan medis yang akan
diterimanya tersebut apabila informasi yang diberikan dirasakan masih belum jelas, Pasien
berhak meminta pendapat atau penjelasan dari dokter lain untuk memperjelas atau
membandingkan informasi tentang rencana tindakan medis yang akan dialaminya, Pasien

berhak menolak rencana tindakan medis tersebut Semua informasi diatas sudah harus
diterima pasien SEBELUM rencana tindakan medis dilaksanakan. Pemberian informasi ini
selayaknya bersifat obyektif, tidak memihak, dan tanpa tekanan. Setelah menerima semua
informasi tersebut, pasien seharusnya diberi waktu untuk berfikir dan mempertimbangkan
keputusannya.
Kriteria pasien yang berhak
Tidak semua pasien boleh memberikan pernyataan, baik setuju maupun tidak setuju. Syarat
seorang pasien yang boleh memberikan pernyatan, yaitu :
- Pasien tersebut sudah dewasa.
Masih terdapat perbedaan pendapat pakar tentang batas usia dewasa, namun secara umum
bisa digunakan batas 21 tahun.
- Pasien yang masih dibawah batas umur ini tapi sudah menikah termasuk kriteria pasien
sudah dewasa.
- Pasien dalam keadaan sadar.
Hal ini mengandung pengertian bahwa pasien tidak sedang pingsan, koma, atau terganggu
kesadarannya karena pengaruh obat, tekanan kejiwaan, atau hal lain. Berarti, pasien harus
bisa diajak berkomunikasi secara wajar dan lancar.
- Pasien dalam keadaan sehat akal.
Jadi yang paling berhak untuk menentukan dan memberikan pernyataan persetujuan
terhadap rencana tindakan medis adalah pasien itu sendiri, apabila dia memenuhi 3 kriteria
diatas, bukan orang tuanya, anaknya, suami/istrinya, atau orang lainnya. Namun apabila
pasien tersebut tidak memenuhi 3 kriteria tersebut diatas maka dia tidak berhak untuk
menentukan dan menyatakan persetujuannya terhadap rencana tindakan medis yang akan
dilakukan kepada dirinya. Dalam hal seperti ini, maka hak pasien akan diwakili oleh wali
keluarga atau wali hukumnya. Misalnya pasien masih anak-anak, maka yang berhak
memberikan persetujuan adalah orang tuanya, atau paman/bibinya, atau urutan wali lainnya
yang sah. Bila pasien sudah menikah, tapi dalam keadaan tidak sadar atau kehilangan akal
sehat, maka suami/istrinya merupakan yang paling berhak untuk menyatakan persetujuan bila
memang dia setuju.
Hak suami/istri pasien
Untuk beberapa jenis tindakan medis yang berkaitan dengan kehidupan berpasangan
sebagai suami-istri, maka pernyataan persetujuan terhadap rencana tindakan medisnya harus
melibatkan persetujuan suami/istri pasien tersebut apabila suami/istrinya ada atau bisa
dihubungi untuk keperluan ini. Dalam hal ini, tentu saja suami/istrinya tersebut harus juga

memenuhi kriteria dalam keadaan sadar dan sehat akal. Beberapa jenis tindakan medis
tersebut misalnya tindakan terhadap organ reproduksi, KB, dan tindakan medis yang bisa
berpengaruh terhadap kemampuan seksual atau reproduksi dari pasien tersebut.
Dalam keadaan gawat darurat
Proses pemberian informasi dan permintaan persetujuan rencana tindakan medis ini
bisa saja tidak dilaksanakan oleh dokter apabila situasi pasien tersebut dalam kondisi gawat
darurat. Dalam kondisi ini, dokter akan mendahulukan tindakan untuk penyelamatan nyawa
pasien. Prosedur penyelamatan nyawa ini tetap harus dilakukan sesuai dengan standar
pelayanan / prosedur medis yang berlaku disertai profesionalisme yang dijunjung tinggi.
Setelah masa kritis terlewati dan pasien sudah bisa berkomunikasi, maka pasien berhak untuk
mendapat informasi lengkap tentang tindakan medis yang sudah dialaminya tersebut.
Tidak berarti kebal hukum
Pelaksanaan informed consent ini semata-mata menyatakan bahwa pasien (dan/atau
walinya yang sah) telah menyetujui rencana tindakan medis yang akan dilakukan.
Pelaksanaan tindakan medis itu sendiri tetap harus sesuai dengan standar proferi kedokteran.
Setiap kelalaian, kecelakaan, atau bentuk kesalahan lain yang timbul dalam pelaksanaan
tindakan medis itu tetap bisa menyebabkan pasien merasa tidak puas dan berpotensi untuk
mengajukan tuntutan hukum. Informed consent memang menyatakan bahwa pasien sudah
paham dan siap menerima resiko sesuai dengan yang telah diinformasikan sebelumnya.
Namun tidak berarti bahwa pasien bersedia menerima apapun resiko dan kerugian yang akan
timbul, apalagi menyatakan bahwa pasien tidak akan menuntut apapun kerugian yang timbul.
Informed consent tidak menjadikan dokter kebal terhadap hukum atas kejadian yang
disebabkan karena kelalaiannya dalam melaksanakan tindakan medis.

BAB III. KESIMPULAN

Informed consent adalah lebih daripada hanya sekedar mendapatkan tanda tangan
seorang pasien pada suatu formulir persetujuan. Informed consent adalah suatu proses
komunikasi antara pasien dan dokter yang menghasilkan pemberian izin oleh pasien untuk
menjalankan suatu intervensi medik tertentu. Dalam proses komunikasi ini, dokter sebagai
orang yang memberi terapi atau melakukan tindakan mediklah yang harus menjelaskan dan
mendiskusikan bersama pasien hal-hal di bawah ini. Proses komunikasi ini tidak bisa
diwakilkan kepada orang lain. Hal-hal yang harus dibicarakan :
1.
2.
3.
4.

Diagnosis pada pasien, kalau sudah diketahui;


Sifat dan manfaat dari pengobatan atau tindakan yang direncanakan;
Risiko dan manfaat dari pengobatan atau tindakan yang direncanakan;
Pilihan pengobatan atau tindakan yang lain yang tersedia (tanpa melihat biayanya

maupun apakah termasuk di dalam pembiayaan yang dicakup oleh asuransi);


5. Risiko dan manfaat dari pilihan pengobatan atau tindakan lain yang tersedia; dan
6. Risiko dan manfaat yang dihadapi apabila suatu pengobatan atau tindakan tidak
dilakukan
Sebaliknya, pasien atau klien harus mempunyai kesempatan untuk bertanya untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai suatu pengobatan atau tindakan. Dengan
demikian dia akan dapat membuat keputusan yang berdasarkan pemahaman yang baik
mengenai suatu intervensi medik. Keputusan yang dia ambil bisa berupa persetujuan maupun
penolakan akan intervensi tersebut. Informed consent baru dianggap sah kalau diberikan oleh
seorang pasien/klien yang kompeten dan diberikan secara sukarela.

DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.ilunifk83.com/t143-informed-consent diakses 19 MEI 2015
pukul 21:26

2. Zulfiqar A. Bhutta, Beyond Informed Consent, Bulletin of the World Health


Organization, Oct 2004, 82(10), pg 771-777
3. Dr Leslie Gelling, Informed consent in health and social care research, RCN guidance
for nurses, 2nd Ed, Royal College of Nursing, , London, 2011
4. Patricia A. Marshall, Ethical challenges in study design and informed consent for
health research in resource-poor settings, World Health Organization on behalf of the
Special Programme for Research and Training in Tropical Diseases 2007
5. http://annashr.blog.com/2012/10/07/ham-dan-kebijakan-ham/ diakses 21 Mei 2015
pukul 22:11
6. http://download.portalgaruda.org/article.php?
article=151032&val=944&title=IMPLEMENTASI%20%20PERSETUJUAN
%20TINDAKAN%20KEDOKTERAN%20(INFORMED%20CONSENT)
%20%20DALAM%20PERJANJIAN%20TERAPEUTIK%20%20OLEH
%20TENAGA%20KESEHATAN%20%20TERHADAP%20PASIEN%20RUMAH
%20SAKIT%20DI%20PROVINSI%20BALI diakses 21 Mei 2015 pukul 21:38
7. E. Sakellari, Patient's autonomy and informed consent, ICUS NURS WEB J, 13,
Maret 2003, pg 1-9
8. http://www.physio-pedia.com/Section_8:_Informed_consent_and_medicolegal_framework diakses 21 Mei 2015 pukul 21:36
9. http://www.dartmouth.edu/~ethics/docs/Campbell_informedconsent.pdf diakses 21
Mei 2015 pukul 22:15

Vous aimerez peut-être aussi