Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
INFORMED CONSENT
DISUSUN OLEH:
Yohanes Baptista
C11108225
Nur Nadia Mohd Makhtar
C11108776
PEMBIMBING :
dr. Stephanie Ranni Anindita
PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini banyak dibicarakan di media massa masalah dunia kedokteran yang
dihubungkan dengan hukum. Bidang kedokteran yang dahulu dianggap profesi mulia,
seakan-akan sulit tersentuh oleh orang awam, kini mulai dimasuki unsur hukum. Gejala ini
tampak menjalar ke mana-mana, baik di dunia Barat yang memeloporinya maupun Indonesia.
Hal ini terjadi karena kebutuhan yang mendesak akan adanya perlindungan untuk pasien
maupun dokternya. Salah satu tujuan dari hukum atau peraturan atau deklarasi atau kode etik
kesehatan adalah untuk melindungi kepentingan pasien di samping mengembangkan kualitas
profesi dokter atau tenaga kesehatan. Keserasian antara kepentingan pasien dan kepentingan
tenaga kesehatan, merupakan salah satu penunjang keberhasilan pembangunan sistem
kesehatan. Oleh karena itu perlindungan hukum terhadap kepentingan-kepentingan itu harus
diutamakan.
Pada awal abad ke-20 telah tumbuh bidang hukum yang bersifat khusus (lex
spesialis), salah satunya hukum kesehatan, yang berakar dari pelaksanaan hak asasi manusia
memperoleh kesehatan (the Right to health care). Masing-masing pihak, yaitu yang memberi
pelayanan (medical providers) dan yang menerima pelayanan (medical receivers) mempunyai
hak dan kewajiban yang harus dihormati. Seiring dengan pergeseran pola hubungan hukum
antara dokter dan pasien dari hubungan paternalistik menjadi hubungan horizontal
kontraktual, maka kedudukan pasien menjadi sederajat dengan dokter, bukan hanya sebagai
obyek penyembuhan tetapi berperan sebagai subyek. Perubahan hubungan inilah yang
menjadikan setiap upaya penyembuhan yang dilakukan oleh dokter terhadap pasiennya
memerlukan persetujuan dari si pasien itu sendiri. Persetujuan ini didasarkan mengenai
informasi tentang penyakit, alternatif serta upaya penyembuhan dan akibat yang mungkin
terjadi dari upaya penyembuhan tersebut. Dengan semakin berkembangnya masyarakat
hubungan tersebut secara perlahan-lahan mengalami perubahan. Kepercayaan kepada dokter
secara pribadi berubah menjadi kepercayaan terhadap keampuhan ilmu kedokteran dan
teknologi. Agar dapat menanggulangi masalah secara proporsional dan mencegah apa yang
dinamakan malpraktek di bidang kedokteran, perlu diungkap hak dan kewajiban pasien.
Pengetahuan tentang hak dan kewajiban pasien diharapkan akan meningkatkan kualitas sikap
dan tindakan yang cermat dan hatihati dari tenaga kedokteran.
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, kebutuhan manusia untuk mendapatkan
kesehatan juga semakin meningkat. Pada saat seorang pasien menyatakan kehendaknya untuk
menceritakan riwayat penyakitnya kepada dokter dan dokter menyatakan kehendaknya untuk
mendengar keluhan pasien, maka telah terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak.
Kedatangan pasien ke tempat praktek dokter, Rumah Sakit, atau Klinik dapat ditafsirkan
sebagai usaha mengajukan penawaran kepada dokter untuk diminta pertolongan dalam
mengatasi keluhan yang dideritanya. Begitu pula sebaliknya, dokter juga akan melakukan
pelayanan medis berupa rangkaian tindakan yang meliputi diagnosa dan tindakan medik.
Hubungan hukum ini selanjutnya disebut transaksi, yang dalam hukum perdata disebut
perjanjian.
Hubungan pasien dokter dan rumah sakit selain berbentuk sebagai ikatan atau
hubungan medik, juga berbentuk ikatan atau hubungan hukum. Sebagai hubungan medik,
maka hubungan ini akan diatur oleh kaidah-kaidah medik. Sebagai hubungan hukum, maka
hubungan itu akan diatur oleh kaidah-kaidah hukum. Hubungan antara dokter dengan pasien
pada umumnya merupakan hubungan kontrak. Terdapat persamaan kontrak antara hubungan
dokter dengan pasien dengan hubungan kontrak yang terjadi dalam pengaturan hukum
perdata, misalnya pada perjanjian jual beli, yakni bahwa hubungan kontrak antara kedua
belah pihak dilakukan dengan legal untuk memutuskan suatu sikap yang telah disetujui
bersama. Dalam melakukan terapi antara dokter terhadap pasien secara langsung terjadi
ikatan kontrak. Pasien ingin diobati dan dokter setuju untuk mengobati. Untuk perjanjian
kontrak yang valid harus ada pengertian dan kerjasama dari pihak-pihak yang terlibat dalam
perjanjian tersebut. Pasien berhak untuk menolak pemeriksaan, menunda persetujuan dan
bahkan membatalkan persetujuan. Apabila pasien menolak untuk dilakukan tindakan medis,
maka dokter wajib memberikan informasi mengenai baik buruknya tindakan tersebut bagi
pasien.
Hubungan dokter dengan pasien merupakan hubungan terapeutik, yang dalam hukum
dikatakan suatu perjanjian melakukan jasa-jasa tertentu. Dengan adanya perjanjian ini
dimaksudkan mendapatkan hasil dari tujuan tertentu yang diharapkan pasien. Status legal dari
seorang dokter dalam menjalankan profesinya dengan praktek merupakan masalah yang
sangat kompleks. Jika ditinjau dari segi hukum medik, maka hubungan antara dokter dan
pasien dapat dimasukkan dalam golongan kontrak. Suatu kontrak adalah pertemuan pikiran
(meeting of minds) dari dua orang mengenai suatu hal (sollis). Pihak pertama mengikatkan
diri untuk memberikan pelayanan sedangkan yang kedua menerima pemberian pelayanan.
Dengan demikian maka sifat hubungannya mempunyai dua unsur :
1. Adanya suatu persetujuan (consensual, agreement), atas dasar saling menyetujui dari
pihak dokter dan pasien tentang pemberian pelayanan pengobatan.
beberapa institusi dan tidak terdapat hukum yang melarang perawat untuk menjadi bagian
dalam proses pemberian informasi tersebut, praktik tersebut sangat tidak dianjurkan.
PERATURAN
MENTERI
KESEHATAN
REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR
bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran, perlu mengatur kembali Persetujuan Tindakan Medik dengan Peraturan Menteri
Kesehatan;
Mengingat
Swasta
Di
Bidang
Medik;
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Nomor
Menteri
Kesos/SK/II/2001
Kesehatan
tentang
dan
Perubahan
Kesejahteraan
Sosial
Keputusan
Menteri
Nomor
191/Menkes-
Kesehatan
Nomor
3. Tindakan Invasif adalah suatu tindakan medis yang langsung dapat mempengaruhi
keutuhan jaringan tubuh pasien.
4. Tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi adalah tindakan medis yang
berdasarkan tingkat probabilitas tertentu, dapat mengakibatkan kematian atau
kecacatan
5. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi
spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di
luar negeri yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
6. Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturan
perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak terganggu kesadaran fisiknya,
mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami kemunduran perkembangan
(retardasi) mental dan tidak mengalami penyakit mental sehingga mampu membuat
keputusan secara bebas.
BAB II
PERSETUJUAN DAN PENJELASAN
Bagian Kesatu
Persetujuan
Pasal 2
(1) Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat
persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara tertulis maupun
lisan.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan.
Pasal 3
(1) Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh persetujuan
tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
(2) Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat diberikan dengan persetujuan lisan.
(3) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam bentuk pernyataan
yang tertuang dalam formulir khusus yang dibuat untuk itu.
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam bentuk ucapan
setuju atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang dapat diartikan sebagai ucapan
setuju.
(5) Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dianggap meragukan, maka dapat dimintakan persetujuan tertulis.
Pasal 4
(1) Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah
kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran.
(2) Keputusan untuk melakukan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diputuskan oleh dokter atau dokter gigi dan dicatat di dalam rekam medik.
(3) Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien
setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat.
Pasal 5
(1) Persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi
persetujuan sebelum dimulainya tindakan.
(2) Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilakukan secara tertulis oleh yang memberi persetujuan.
(3) Segala akibat yang timbul dari pembatalan persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan (2) menjadi tanggung jawab yang membatalkan persetujuan.
Pasal 6
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-masing alternatif tindakan.
e. Perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi keadaan darurat akibat risiko
dan komplikasi tersebut atau keadaan tak terduga lainnya.
(3) Penjelasan tentang risiko dan komplikasi tindakan kedokteran adalah semua risiko dan
komplikasi yang dapat terjadi mengikuti tindakan kedokteran yang dilakukan, kecuali:
a. risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan umum
b. risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau yang dampaknya sangat ringan
c. risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya (unforeseeable)
(4) Penjelasan tentang prognosis meliputi:
a. Prognosis tentang hidup-matinya (ad vitam);
b. Prognosis tentang fungsinya (ad functionam);
c. Prognosis tentang kesembuhan (ad sanationam).
Pasal 9
(1) Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus diberikan secara lengkap dengan
bahasa yang mudah dimengerti atau cara lain yang bertujuan untuk mempermudah
pemahaman.
(2) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dan didokumentasikan dalam
berkas rekam medis oleh dokter atau dokter gigi yang memberikan penjelasan dengan
mencantumkan tanggal, waktu, nama, dan tanda tangan pemberi penjelasan dan penerima
penjelasan.
(3) Dalam hal dokter atau dokter gigi menilai bahwa penjelasan tersebut dapat merugikan
kepentingan kesehatan pasien atau pasien menolak diberikan penjelasan, maka dokter atau
dokter gigi dapat memberikan penjelasan tersebut kepada keluarga terdekat dengan
didampingi oleh seorang tenaga kesehatan lain sebagai saksi.
Pasal 10
(1) Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 diberikan oleh dokter atau dokter gigi
yang merawat pasien atau salah satu dokter atau dokter gigi dari tim dokter yang
merawatnya.
(2) Dalam hal dokter atau dokter gigi yang merawatnya berhalangan untuk memberikan
penjelasan secara langsung, maka pemberian penjelasan harus didelegasikan kepada dokter
atau dokter gigi lain yang kompeten.
(3) Tenaga kesehatan tertentu dapat membantu memberikan penjelasan sesuai dengan
kewenangannya.
(4) Tenaga kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tenaga kesehatan
yang ikut memberikan pelayanan kesehatan secara langsung kepada pasien.
Pasal 11
(1) Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang
akan melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan.
(2) Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) merupakan dasar daripada persetujuan.
Pasal 12
(1) Perluasan tindakan kedokteran yang tidak terdapat indikasi sebelumnya, hanya dapat
dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien.
(2) Setelah perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan,
dokter atau dokter gigi harus memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarga terdekat.
BAB III
YANG BERHAK MEMBERIKAN PERSETUJUAN
Pasal 13
(1) Persetujuan diberikan oleh pasien yang kompeten atau keluarga terdekat.
(2) Penilaian terhadap kompetensi pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh dokter pada saat diperlukan persetujuan
BAB IV
KETENTUAN PADA SITUASI KHUSUS
Pasal 14
(1) Tindakan penghentian/penundaan bantuan hidup (withdrawing/withholding life
support) pada seorang pasien harus mendapat persetujuan keluarga terdekat pasien.
(2) Persetujuan penghentian/penundaan bantuan hidup oleh keluarga terdekat pasien
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah keluarga mendapat penjelasan
dari tim dokter yang bersangkutan.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberikan secara tertulis.
Pasal 15
Dalam hal tindakan kedokteran harus dilaksanakan sesuai dengan program pemerintah
dimana tindakan medik tersebut untuk kepentingan masyarakat banyak, maka persetujuan
tindakan kedokteran tidak diperlukan.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, maka Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
585/MENKES/PER/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku lagi.
Pasal 21
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang
rnengetahuinya, rnemerintahkan pengundangan Peraturan ini dengan penernpatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 Maret 2008 Menteri Kesehatan,
tersebut.
5. Konsekuensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif cara
pengobatan yang lain.
6. Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut.
Resiko resiko yang harus diinformasikan kepada pasien yang dimintakan persetujuan
tindakan kedokteran :
tindakan
medik
ada
melekat
suatu
resiko
Permenkes
No.
290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 )
Tindakan medis yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat digolongkan sebagai tindakan
melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351 ( trespass, battery, bodily assault ).
Menurut Pasal 5 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008, persetujuan tindakan
kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan, sebelum
dimulainya tindakan ( Ayat 1 ). Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran harus dilakukan
secara tertulis oleh yang memberi persetujuan ( Ayat 2 ).
Seorang pasien memiliki hak dan kewajiban yang layak untuk dipahaminya selama
dalam proses pelayanan kesehatan. Ada 3 hal yang menjadi hak mendasar dalam hal ini yaitu
hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan (the right to health care), hak untuk
mendapatkan informasi (the right to information), dan hak untuk ikut menentukan (the right
to determination). Seorang pasien yang sedang dalam pengobatan atau perawatan disuatu
sarana pelayanan kesehatan (saryankes) seringkali harus menjalani suatu tindakan medis baik
untuk menyembuhan (terapeutik) maupun untuk menunjang proses pencarian penyebab
penyakitnya (diagnostik). Pasien yang mengalami radang dan infeksi pada usus buntunya
sehingga perlu dipotong melalui operasi, maka operasi ini termasuk tindakan medis
terapeutik. Pada kasus penyakit lain, kadang-kadang dokter yang merawat perlu melakukan
tindakan medis diagnostik, misalnya biopsi, pemeriksaan radiologi khusus, atau pengambilan
cairan tubuh untuk pemeriksaan lebih lanjut guna memperjelas penyebab penyakit.
Hak atas informasi
Sebelum melakukan tindakan medis tersebut, dokter seharusnya akan meminta
persetujuan dari pasien. Untuk jenis tindakan medis ringan, persetujuan dari pasien dapat
diwujudkan secara lisan atau bahkan hanya dengan gerakan tubuh yang menunjukkan bahwa
pasien setuju, misalnya mengangguk. Untuk tindakan medis yang lebih besar atau beresiko,
persetujuan ini diwujudkan dengan menandatangani formulir persetujuan tindakan medis.
Dalam proses ini, pasien sebenarnya memiliki beberapa hak sebelum menyatakan
persetujuannya, yaitu :
Pasien berhak mendapat informasi yang cukup mengenai rencana tindakan medis yang akan
dialaminya. Informasi ini akan diberikan oleh dokter yang akan melakukan tindakan atau
petugas medis lain yang diberi wewenang. Informasi ini meliputi :
* Bentuk tindakan medis
* Prosedur pelaksanaannya
* Tujuan dan keuntungan dari pelaksanaannya
* Resiko dan efek samping dari pelaksanaannya
* Resiko / kerugian apabila rencana tindakan medis itu tidak dilakukan
* Alternatif lain sebagai pengganti rencana tindakan medis itu, termasuk keuntungan
dankerugian dari masing-masing alternatif tersebut
Pasien berhak bertanya tentang hal-hal seputar rencana tindakan medis yang akan
diterimanya tersebut apabila informasi yang diberikan dirasakan masih belum jelas, Pasien
berhak meminta pendapat atau penjelasan dari dokter lain untuk memperjelas atau
membandingkan informasi tentang rencana tindakan medis yang akan dialaminya, Pasien
berhak menolak rencana tindakan medis tersebut Semua informasi diatas sudah harus
diterima pasien SEBELUM rencana tindakan medis dilaksanakan. Pemberian informasi ini
selayaknya bersifat obyektif, tidak memihak, dan tanpa tekanan. Setelah menerima semua
informasi tersebut, pasien seharusnya diberi waktu untuk berfikir dan mempertimbangkan
keputusannya.
Kriteria pasien yang berhak
Tidak semua pasien boleh memberikan pernyataan, baik setuju maupun tidak setuju. Syarat
seorang pasien yang boleh memberikan pernyatan, yaitu :
- Pasien tersebut sudah dewasa.
Masih terdapat perbedaan pendapat pakar tentang batas usia dewasa, namun secara umum
bisa digunakan batas 21 tahun.
- Pasien yang masih dibawah batas umur ini tapi sudah menikah termasuk kriteria pasien
sudah dewasa.
- Pasien dalam keadaan sadar.
Hal ini mengandung pengertian bahwa pasien tidak sedang pingsan, koma, atau terganggu
kesadarannya karena pengaruh obat, tekanan kejiwaan, atau hal lain. Berarti, pasien harus
bisa diajak berkomunikasi secara wajar dan lancar.
- Pasien dalam keadaan sehat akal.
Jadi yang paling berhak untuk menentukan dan memberikan pernyataan persetujuan
terhadap rencana tindakan medis adalah pasien itu sendiri, apabila dia memenuhi 3 kriteria
diatas, bukan orang tuanya, anaknya, suami/istrinya, atau orang lainnya. Namun apabila
pasien tersebut tidak memenuhi 3 kriteria tersebut diatas maka dia tidak berhak untuk
menentukan dan menyatakan persetujuannya terhadap rencana tindakan medis yang akan
dilakukan kepada dirinya. Dalam hal seperti ini, maka hak pasien akan diwakili oleh wali
keluarga atau wali hukumnya. Misalnya pasien masih anak-anak, maka yang berhak
memberikan persetujuan adalah orang tuanya, atau paman/bibinya, atau urutan wali lainnya
yang sah. Bila pasien sudah menikah, tapi dalam keadaan tidak sadar atau kehilangan akal
sehat, maka suami/istrinya merupakan yang paling berhak untuk menyatakan persetujuan bila
memang dia setuju.
Hak suami/istri pasien
Untuk beberapa jenis tindakan medis yang berkaitan dengan kehidupan berpasangan
sebagai suami-istri, maka pernyataan persetujuan terhadap rencana tindakan medisnya harus
melibatkan persetujuan suami/istri pasien tersebut apabila suami/istrinya ada atau bisa
dihubungi untuk keperluan ini. Dalam hal ini, tentu saja suami/istrinya tersebut harus juga
memenuhi kriteria dalam keadaan sadar dan sehat akal. Beberapa jenis tindakan medis
tersebut misalnya tindakan terhadap organ reproduksi, KB, dan tindakan medis yang bisa
berpengaruh terhadap kemampuan seksual atau reproduksi dari pasien tersebut.
Dalam keadaan gawat darurat
Proses pemberian informasi dan permintaan persetujuan rencana tindakan medis ini
bisa saja tidak dilaksanakan oleh dokter apabila situasi pasien tersebut dalam kondisi gawat
darurat. Dalam kondisi ini, dokter akan mendahulukan tindakan untuk penyelamatan nyawa
pasien. Prosedur penyelamatan nyawa ini tetap harus dilakukan sesuai dengan standar
pelayanan / prosedur medis yang berlaku disertai profesionalisme yang dijunjung tinggi.
Setelah masa kritis terlewati dan pasien sudah bisa berkomunikasi, maka pasien berhak untuk
mendapat informasi lengkap tentang tindakan medis yang sudah dialaminya tersebut.
Tidak berarti kebal hukum
Pelaksanaan informed consent ini semata-mata menyatakan bahwa pasien (dan/atau
walinya yang sah) telah menyetujui rencana tindakan medis yang akan dilakukan.
Pelaksanaan tindakan medis itu sendiri tetap harus sesuai dengan standar proferi kedokteran.
Setiap kelalaian, kecelakaan, atau bentuk kesalahan lain yang timbul dalam pelaksanaan
tindakan medis itu tetap bisa menyebabkan pasien merasa tidak puas dan berpotensi untuk
mengajukan tuntutan hukum. Informed consent memang menyatakan bahwa pasien sudah
paham dan siap menerima resiko sesuai dengan yang telah diinformasikan sebelumnya.
Namun tidak berarti bahwa pasien bersedia menerima apapun resiko dan kerugian yang akan
timbul, apalagi menyatakan bahwa pasien tidak akan menuntut apapun kerugian yang timbul.
Informed consent tidak menjadikan dokter kebal terhadap hukum atas kejadian yang
disebabkan karena kelalaiannya dalam melaksanakan tindakan medis.
Informed consent adalah lebih daripada hanya sekedar mendapatkan tanda tangan
seorang pasien pada suatu formulir persetujuan. Informed consent adalah suatu proses
komunikasi antara pasien dan dokter yang menghasilkan pemberian izin oleh pasien untuk
menjalankan suatu intervensi medik tertentu. Dalam proses komunikasi ini, dokter sebagai
orang yang memberi terapi atau melakukan tindakan mediklah yang harus menjelaskan dan
mendiskusikan bersama pasien hal-hal di bawah ini. Proses komunikasi ini tidak bisa
diwakilkan kepada orang lain. Hal-hal yang harus dibicarakan :
1.
2.
3.
4.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.ilunifk83.com/t143-informed-consent diakses 19 MEI 2015
pukul 21:26