Vous êtes sur la page 1sur 63

ISSN : 2087-9105

Volume I Nomor 1, Pebruari 2010

TIM REDAKSI
Penanggung Jawab

: Santhy K. Samuel, S.Pd, M.Kes


(Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya)

Dewan Pembina

: Pudir I Poltekkes Kemenkes Palangka Raya


Pudir II Poltekkes Kemenkes Palangka Raya
Pudir III Poltekkes Kemenkes Palangka Raya
Kepala Unit PPM Poltekkes Kemenkes Palangka Raya.
Ketua Jurusan Keperawatan
Ketua Jurusan Kebidanan
Ketua Jurusan Gizi

Pimpinan Redaktur

: Iis Wahyuningsih, S.Sos.

Wakil Pimpinan Redaktur

: Mohamad Muchtar, STP, MPH

Redaktur /Penyunting Ahli

: DR.Djenta Saha, S.Kp, MARS


Visia Didin Ardiyani, SKM, M.Kes
Ns.Ester Inung.S.Kep, M.Kep, S.Sp.MB
Maria Julin Rarome, S.Kp, M.Kes
Nila Susanti, SKM, MPH

Redaktur Pelaksana

: Marselinus Heriteluna, S.Kp, MA

Sekretariat

: Noordiati, SST, MPH


Dedy Eko Heryanto, ST
Erma Nurjanah Widiastuti, SKM
Rizky Kusuma Wardani, S.Si
Arizal, A.Md
Daniel, A.Md.Kom

Alamat Redaksi :
Unit Perpustakaan Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya
Jalan George Obos No. 32 Palangka Raya 73111- Kalimantan Tengah
Telepon/Fax : 0536 - 3230730
Email

: forumkesehatanpky@gmail.com,

Website : forumkesehatanpky.blog.com
Terbit 2 (dua) kali setahun.

PENGANTAR REDAKSI
Salah satu tugas utama dari lembaga pendidikan tinggi sebagaimana tercantum dalam Tri
Dharma Perguruan Tinggi adalah melaksanakan penelitian. Agar hasil-hasil penelitian dan karya
ilmiah lainnya yang telah dilakukan oleh civitas akademika Politeknik Kesehatan Kemenkes
Palangka Raya lebih bermanfaat dan dapat dibaca oleh masyarakat, maka diperlukan suatu media
publikasi yang resmi dan berkesinambungan.
FORUM KESEHATAN merupakan Jurnal Ilmiah sebagai Media Informasi yang
menyajikan kajian hasil-hasil penelitian, gagasan dan opini serta komunikasi singkat maupun
informasi lainnya dalam bidang ilmu khususnya keperawatan, kebidanan, gizi, dan umumnya
bidang ilmu yang berhubungan dengan kesehatan.
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena hanya berkat
bimbingan dan petunjuk-Nyalah upaya untuk mewujudkan media publikasi ilmiah Politeknik
Kesehatan Kemenkes Palangka Raya yang diberi nama FORUM KESEHATAN volume pertama
ini dapat terlaksana. Dengan bekal volume perdana ini, akan terus lebih memacu diri untuk
senantiasa meningkatkan kualitas tulisan yang akan muncul pada penerbitan selanjutnya.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes
Palangka Raya sebagai Penanggung Jawab serta Dewan Pembina yang telah memberikan
kepercayaan dan petunjuk kepada redaktur hingga terbitnya FORUM KESEHATAN volume
pertama ini. Ucapan terimakasih dan penghargaan juga disampaikan kepada Dewan Redaksi yang
telah meluangkan waktunya untuk mengkaji kelayakan beberapa naskah hasil penelitian/karya
ilmiah yang telah disampaikan kepada redaksi.
Kepada para penulis yang telah menyampaikan naskah tulisannya disampaikan penghargaan
yang setinggi-tingginya dan selalu diharapkan partisipasinya untuk mengirimkan naskah tulisannya
secara berkala dan berkesinambungan demi lancarnya penerbitan FORUM KESEHATAN ini
selanjutnya.
Akhirnya, semoga artikel-artikel yang dimuat dalam FORUM KESEHATAN volume
pertama ini dapat menambah wawasan dan memberikan pencerahan bagai lentera yang tak kunjung
padam. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi penyempurnaan
penerbitan selanjutnya.

Tim Redaksi

DAFTAR ISI
An Overview Of Teaching And Learning In Nursing in Central Kalimantan
Djenta Saha, Santhy, K. Samuel, Asih Rusmani.. 1

Pertumbuhan Fisik Anak Sekolah Dasar (SD) di Kecamatan Kahayan Tengah


Kabupaten Pulang Pisau
Yongwan Nyamin, Djenta Saha, Fetty Rahmawati............................................................................ 12

Studi Pengobatan Tradisional untuk menjarangkan Kelahiran di Kabupaten Katingan


Cia Aprilianti, Djenta Saha, Asih Rusmani....................................................................................... 20

Persepsi Masyarakat terhadap konsep perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
di Kota Palangka Raya
Santhy K. Samuel, Bartho Mansyah, Iis Wahyuningsih .................................................................. 26

Effect Of Postoperative Teaching To Mothers Complaint Of Post Sectio Caesaria


Tri Ratna Ariestini, Berthiana, Mimin Lestari ..32

Faktor-Faktor yang mempengaruhi Rendahnya Pemanfaatan Imunisasi Hepatitis B0


pada Bayi Usia 0-7 hari di Palangka Raya
Arainiati Manjat, Riny Natalina, Yeni Lucin 41

Persepsi Bapak - Bapak di pedesaan mengenai Keluarga Berencana (KB)


Santhy K. Samuel. 53

Volume I Nomor 1, Pebruari 2010

AN OVERVIEW OF TEACHING AND LEARNING IN NURSING


IN CENTRAL KALIMANTAN
Djenta Saha, Santhy, K. Samuel, Asih Rusmani
Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya,
Jalan George Obos No. 30 Palangka Raya - Kalimantan Tengah
djenta_indo@yahoo.co.id
Abstract: Many studies have documented the need for nursing students to be prepared for the
rapidly changing and complex health care environment. Lifelong, self-directed learning (SDL)
has been identified as an important ability for nursing graduates. However, no study has
documented the needs of, or preparation required for, nursing students to function effectively in
the rapidly changing health care system in Indonesia. The Indonesian diploma nursing schools
still use a teacher-centred approach with little emphasis on a student-centred approach.
Introducing the concept of SDL was deemed feasible to implement within the Indonesian nursing
education system. The study has potential to make a significant contribution to nursing education
in Indonesia by promoting lifelong learning and SDL in nursing students and in curricula through
the development of innovative curricula and teaching and learning practices. The study also has
potential wider benefit to nursing practice and global health practice.
Key words: teaching learning, nursing education, Central Kalimantan, lifelong learning,
rapidly changing.
Introduction
Rapid changes in the health care environment
have many implications for nursing
education and nursing practice. Some of the
significant changes facing nurses include the
expansion in technology, decreased length of
stay in hospitals and the ageing of the
population. More changes are predicted in the
coming decadessuch as increasing
complexity of modern healthcare, technology
prolonging an individuals life-span, and the
increasing burden of healthcare expenditure
(Boychuck & Duchscher, 1999). The rapidity
of knowledge changes have also resulted in
knowledge becoming obsolete. Thus, nurses
need to keep learning in response to the
rapidly changing healthcare environment so
they
can keep abreast of technological changes,
expectations of patients and the health care
system (Studdy, Nicol & Fox-Hiley, 1994).

Lifelong learning is important in rapid global


changes (OECD, 2000). Self-directed learning
(SDL) is an essential strategy for lifelong
learning (Gleen, 1999; Harvey, Rothman &
Richards, 2003) and it can be used to prepare
students to adapt with rapidly changing
knowledge and technology (Rossi, 2000).
There is a growing acceptance of the
relationship between SDL and learners ability
to cope with changing knowledge and
technology.
Nursing educators in developed countries
including Australia, USA, Canada and United
Kingdom have already adopted SDL in their
teaching and learning approaches, and have
used a range of technologies in learning, such
as e- learning.
Many authors in nursing education state that
nursing students today are not only required to
know more about a topic, but this information
will change within the period.

solve, critically analyse, make clinical


decisions based on evidence and evaluate those
decisions (Nicol & Glen, 1999). Students
should be encouraged to identify their own
learning needs and be able to find sources of
information and knowledge. The teacher is not
the only source of information. Many other
sources, such as written resources, experts in
the clinical field, patients, colleagues, the
internet, and their own experience should also
be used (Sister School Project, 2002).
At the other end of the continuum,
knowledge is not bounded but is constantly
being created. Learning in this context is seen
as an extension and applying of knowledge in
new and different ways. Ballard and Clancy
(1997) make the point that those teachers who
place a greater emphasis on knowledge
creation will perceive problem solving, critical
thinking and reflection to be of greater
importance than simple imitation and
replication. Those teachers also perceive selfdirected learning to be essential and will
encourage students to question and to seek out
sources of information and knowledge for
themselves. Teachers who adopt this approach
are more likely to encourage a student-centred
approach.
According to Ballard & Clanchy, many
Asian cultures place greater emphasis on the
conserving attitude to knowledge than western
culture. Indonesia has emphasis on conserving
attitude to knowledge. Biggs (1999b) and
Ramsden (2003) state that if learning is
perceived to be a qualitative change in
students understanding of a subject that such
students are able to understand important
concepts, and their related facts and procedures
in the subject. According to Nicol and Glen
(1999) new nursing knowledge is being
created at an increasingly rapid pace. Long and
Barnes (1995). stated that the emphasis in
nursing education internationally has changed
from the simple transfer of knowledge to
students having the skills to extend and apply
their knowledge, and to become lifelong
independent learners. These skills are
necessary because of the rapid innovations in
health care and increased access to
information.

Overview of teaching and learning


The aim of teaching is simpleto enable
students to learnand teaching always
involves attempts to change students
understandings (Ramsden, 2003). Ramsden
further states that learning occurs because of
what the students do, and that skilled
teaching and the design of teaching and
learning activities can encourage student
activity. According to Merriam (1993),
learning includes concept knowledge and
behaviour changes. However, attitude to
knowledge influences individual teachers
about what teaching is, and what learning is
(Ballard & Clanchy, 1997). Assumptions
about what learning is, and how it occurs, will
influence the selection of activities teachers
use to facilitate their students learning.
According to Biggs (1999b), teaching
influences students approaches to learning.
Ballard and Clanchy (1997) state that
knowledge and learning vary along a
continuum (Figure 1). At that they complete
their formal learning. Nursing graduates will
work in many different situations and
contexts during their professional careers.
Furthermore, the role of nurses increasingly
requires that they are able to critically reflect
and apply their knowledge in different ways,
in response to changing technology and
healthcare contexts (Williams, 2004).
One end of the continuum, knowledge is
seen as a relatively fixed and circumscribed
form of wisdom and learning is about
conserving and transferring the wisdom.
Teachers who perceive that knowledge is
fixed will view teaching as the transmission
of information and skills.
This form of teaching encourages students to
memorise and simply replicate the
knowledge provided by teachers. Both the
students and the teachers perceive the teacher
as the exclusive or main source of
knowledge. This certainly leads to a teachercentred approach.
Teaching and learning activities should
encourage nursing students to problem

Attitude to knowledge

Conserving

Learning approaches

Teaching

Extending

Reproductive

Role of teacher

strategies
Characteristic
Activities

Creating

Analytical

Speculative

Almost exclusive source of:

Coordinator of learning

More experienced

Knowledge

recourses

colleague & collaborator

Direction/guidance

Questioner, critical guide, gadfly

Preliminary critic & adviser

Assessment

Principal source of assessment

patron

Transmission of information

Analysis of information and

Discussion/advice on ideas

and demonstration skills

ideas within interpretive

& methods on individual

Overt moral and social

frameworks

basis

training

Modelling of demand for critical

Modelling of hypothetical &

approach to knowledge and

creative thinking

conventions

Collaborative search for


new ideas

Assessment

Test of memory recall &

Assignments/exams

practical demonstration of

critical

skills

solving

publishable quality

Emphasis on replication

Emphasis on:

Contribution to the field of

Geared on ranking

Originality

knowledge

analysis

&

requiring

Independent research-

problem

thesis & papers of

Quality of interpretation
Aim

Simple (unreconstructed)

Independent & critical styles of

Development of

transfer of knowledge & skills

thinking

speculative

Development of capacity for

Critical intelligence

theory and abstraction

Expansion of knowledge
base (theory, data,
techniques)

Learning

Type

Memorisation & imitation

Analytical & critical

Speculating, hypothesising

Activities

Summarising, describing,

Questioning, judging &

Research design,

identifying, & applying

recombining ideas & information

implementation & reporting

formulae & information

into argument

Deliberate search for new

Strategies

ideas, data explanations


Characteristic

What?

Why? How? How valid? How

Questions
Aim

What if?

important ?
Correctness

Simple originality, reshaping

Creative originality, totally

material into a different pattern

new approach/new
knowledge

Source: Ballard & Clanchy (1997, p. 12)


Figure 1: Influence of cultural attitudes to knowledge on teaching and learning strategies

A students approach to learning is not


only
influenced
by
individual
characteristics but it can also be modified
by curriculum and teaching/learning
approaches in which learning occurs.
Research also indicates that course design
can influence the approach students have to
learning (Ballard & Clanchy, 1997). For
example, high course contact hours and
excessive amounts of course materials can
mean the students lack the opportunity to
pursue the subject in depth. By contrast,
subjects whose coordinators have identified
the need and motivation for learning
provide clear goals and have a well-linked
and structured knowledge base, give
students choice and control over learning. It
has also been found that providing students
with interaction with peers is a factor that
can facilitate a deep approach to learning
(Ramsden, 2003).
Ramsden (2003) states that while the
inherent ability of the student cannot be
changed; teachers can influence student
motivation, expectation and experience to
encourage them to have a deep approach to
learning. Teachers can facilitate students to
take deeper approaches to learning when
they provide teaching and learning
activities that encourage students to take
such an approach. The difference between
deep and surface approaches to learning is
shown in Table.1.

Students approaches to learning


Student factors such as attitude,
motivation, and experience can influence
their approaches to learning (Ballard &
Clanchy, 1997; Biggs, 1999b; Ramsden,
2003). Learning research has identified two
main types of approaches students adopt
when they attempt to learn new information
and skills. These approaches have been
described as deep and surface
According to Ramsden (2003), students are
more likely to take a surface approach to
learning when they have an intention only
to achieve a minimal pass, have insufficient
time to learn, are unclear about the
requirements of a course and think that rote
learning will be enough to pass. In contrast,
students are more likely to take a deep
approach to learning when they have
intention to engage meaningfully, have the
necessary background knowledge about
subject materials, and have the ability to
work conceptually and to make abstract
connections. Furthermore, Biggs (1999b)
and Ramsden (2003) cite research that
indicates that students who look for deeper
understanding
and
meaning
and
connections in their methods for learning
will have better learning outcomes, are
more able to understand scientific
conceptions and get higher academic
grades than students who simply memorise
and replicate the information with which
they are provided.

Table 1. Different approaches to learning


Deep approach
Intention to understand
Student maintains structure of task
Focus on what is signified
Relate previous knowledge to new knowledge

Surface approach
Intention only to complete task requirement
Student distorts structure of task
Focus on the signs
Focus on unrelated part of the task

Relate knowledge from different course

Memorise information for assessments

Relate theoretical ideas to everyday experience

Associate facts and concepts unreflectively

Relate and distinguish evidence and argument

Fail to distinguish principles from examples

Organise and structure content into a coherent whole

Treat the task as an external imposition

Internal emphasis: A window through which aspects of


reality become visible, and more intelligible (Entwistle
& Marton, 1984)

Source: Ramsden (2003, p. 47)

External emphasis: demands of assessments,


knowledge cut off from everyday reality

According to Brown and Cooke (2002) the


concept of teaching and learning, as
described in this chapter e.g. those of
encouraging a deep approach, is implicit in
the Indonesian national nursing curricula
objectives. For example, the documentation
objectives include (Pusdiknakes, 1997) :

The focus is on what the teacher is


doing, rather then what the student is doing,
and the outcomes are likely to be imitation
or surface learning rather than the desired
critical thinking (Ballard & Clanchy, 1997).
Within the current curricula, nursing
students in Central Kalimantan were more
likely to use surface approaches to learning
than deep approaches.
The students memorised and reproduced
only the information provided to them by
teachers, and they did not question the
statements and ideas that teachers presented
to them. They also did not seek out
additional information (Brown and Cooke,
2002). The course design of the diploma
nursing curriculum that is currently used
may encourage students to take a surface
approach to learning. The curriculum
appears to emphasise a breadth of coverage
rather than a depth of understanding as
described by Ramsden in Table 1. As
Central Kalimantan nursing students desire
to be as successful as nurses educated in
western systems, significant improvements
are needed in teaching and learning
approaches to better prepare the students to
be professional nurses.
Self-directed learning (SDL) is essential for
lifelong
learning
and
professional
development; however, it has not been
emphasised
in
Indonesian
nursing
education. SDL requires students to be
more active in their learning; instructional
methods to improve SDL such as reflection,
learning plans and asking critical questions
can encourage students to take a deep
approach to learning. Therefore, deep
learning is more likely if students are more
self-directed in learning.

Encourage active self-development


in practicing by considering
scientific evidence;
Continuously
improve
own
professional competence;
Function as a member of
community who is creative,
productive, and open to any
changes, has orientation to the
future;
Develop initiative and leadership.

However,
the
teaching
program,
institutional practices and cultural
understandings of teaching practice put
teachers in the position of having the
responsibility for students learning.
According to Brown and Cooke (2002), the
focus of teaching and learning activities in
nursing schools in Central Kalimantan is
the transfer of knowledge. As part of this
project, teachers identified and described
their assumptions about teaching and
learning. The teachers believed learning
was a quantitative increase in knowledge,
and they perceived that learning was about
memorising and storing information, and
that students needed to acquire facts and
skills which can be used when required.
The teachers also believed that if they used
the correct teaching techniques they could
transfer the concepts and skills required by
students to the practice of nursing. Brown
and Cooke (2002) further explained that
these conceptions of teaching and learning
are teacher-centred and represent the
conserving / reproductive level of Ballard
and Clancys model as presented in
Figure1.

Secondary high school level school of


nursing: this is a three-year nursing
course, which students enter from junior
high school. Students from the course
account for 50 per cent of nurses in
Indonesia (Pusdiknakes, 1997).

Nursing education in Indonesia


Nurses comprise the largest health
worker category in Indonesia, accounting
for roughly 44 per cent of health staff in
government hospitals, 35 per cent in health
centres and sub health centres and 39 per
cent in private hospitals. Approximately
113,000 nurses work in government
hospitals, health centres and sub health
centres (World Bank, 1994). Around 50 per
cent of Indonesias nurses graduate from
Sekolah Perawat Kesehatan (a three-year
basic nursing course at senior high school
level), which they enter following
completion of junior high school. This
three-year basic nursing program was
initiated in 1975 as the successor to diverse
training activities that produced over 20
different types of nurses. Until 1997 there
were three types of nursing education in
Indonesia, namely:
The Bachelor of Nursing (tertiary
degree): this is a four-year nursing course
that students enter from senior high
school and is offered at selected
government universities in Indonesia.
Admission is based on a national
examination and all the bachelor
programs use the same core curriculum.
The Bachelor of Nursing degrees were
established in 1985 and they are
administered by the Department of
Education and Culture. The graduates of
bachelor nursing courses account for 10
per cent of the nursing workforce
(Pusdiknakes,1997)
Diploma nursing program: this is a threeyear nursing course that is conducted in
schools of nursing and students come
from senior high schools. The diploma
nursing program was initiated in 1965
and most nursing schools are in the large
cities and regional capitals. Graduates
from the diploma of nursing are the
second largest group of nurses and
account for 40 per cent of all nursing
graduates. Diploma nurses are heavily
concentrated in hospitals throughout
Indonesia, including private hospitals
(Pusdiknakes, 1997).

In 1997 minimum educational standard


for nursing entry to practice was
established as the diploma of nursing.
Consequently, all nursing schools offering
below diploma level education were
upgraded to offer diploma level courses by
1997, so currently only two types of basic
nursing education exist in Indonesia. These
are: Bachelor of Nursing and Diploma of
Nursing.
The education within the Diploma of
Nursing aims to produce graduates who
fulfil the need for beginning professional
nurses and who are able to have a rational,
professional and ethical attitude in the
implementation of nursing care. Graduates
of the diploma of nursing are expected to be
able to fulfil the demands and needs of the
community for qualified nursing care, to
function as sources of information and to be
able to compete in the era of globalisation
(Pusdiknakes, 2002, p.2). Thus, diploma
nursing education is now expected to
produce nurses who can function
effectively and efficiently in health care
settings. The nursing education that is
discussed in this chapter relates to the
diploma level of nursing education.

The semesters are structured such that


the first two semesters have a higher
theoretical load than clinical load, with
students spending about six to eight hours a
week in clinical learning. However, much
of the clinical learning in these two
semesters occurs in the laboratory. In the
third and fourth semester the clinical load
begins to increase (20 hours theory
compared to 15 hours of clinical learning)
and by the fifth and sixth semester the
majority of the student activity is clinical
learning (25 hours a week) compared to 10
12 hours of theory per week. Much of the
theory is given prior to the clinical
component.

Diploma Nursing Curriculum


All diploma nursing programs in Indonesia
are based on a national nursing curriculum
for diploma nursing courses. The content
of the diploma nursing curriculum is 80 per
cent of the national content, which means
that all nursing schools in Indonesia
provide the same content and 20 per cent of
local content so each school can provide
different
content
depending
on
local/regional needs. The diploma nursing
curriculum document states that the
curriculum is guided by the goal of national
education, rules, norms and ethics of
science,
community
needs,
and
considerations of personal interest,
capability and initiative (Sister School
project, 2002). The diploma nursing
curriculum is used for all nursing education
in
Indonesia,
including
Central
Kalimantan. The aim of the specification is
to standardise nursing education to a
certain level throughout the country
(Pusdiknakes, 2002). The diploma nursing
curriculum is a very specific document that
describes the number of credit points,
subjects, objectives and structure of the
courses. This curriculum is six semesters in
length and consists of 40 subjects. There
are no elective subjects and every semester
has a different number of subjects. The first
semester comprises nine subjects, the
second semester consists of nine subjects,
the third semester comprises five subjects,
the fourth semester contains five subjects,
the fifth semester comprises seven
subjects, and the last semester consists of
five subjects (Pusdiknakes, 2002). The
subjects in the nursing curriculum can be
divided into three major areas: supporting
theoretical science, professional nursing
subjects, and clinical nursing subjects
(Sister School Project, 2002). Each nursing
subject is divided into a number of topics
and skills to learn.
The semesters are 20 weeks in duration,
including the examination period.

Nursing
education
Kalimantan

in

Central

According to the Sister School Project


(2002, p.15), the implementation of the
diploma curriculum at nursing schools in
Central Kalimantan, Indonesia, appears to
have minimal emphasis on clinical
judgment, self-directed learning and
application of theory to practice in
individual subject descriptions. The
teaching at schools of nursing in Central
Kalimantan also appears to be teachercentred rather than student-centred.
Lectures as a method of teaching and
learning are used almost exclusively in all
teaching and learning activities. Although
self-directed learning (SDL) approaches are
used as a framework for the Indonesian
diploma nursing curriculum, this emphasis
does not translate directly into particular
curricula requirements. The application of
the general principles of SDL is not in
actual practice. The interpretation and
application of SDL approaches is dependent
on individual nursing schools. However,
most nursing schools in Indonesia,
especially in Central Kalimantan, are using
traditional patterns of nursing education
that is teacher-centred approaches focusing
on the transfer of knowledge.

It is assumed that the basis behind


teachers and students in Central
Kalimantan who do not use SDL methods
is that they have not been introduced to, or
prepared for, SDL. In Indonesia, most
teachers in nursing education can
communicate only in the official language
of the country and therefore to explore
professional innovation in nursing
education beyond the countrys borders
depends on translated information being
available. This influences the diploma
nursing education courses to continue
applying traditional approaches. It relies on
presenting factual information using a rigid
curriculum (developed at a national level).
In Indonesia and in Central Kalimantan
students have only been exposed to teacherdirected learning in their past and current
studies, and the teachers have only used
traditional teaching approaches within
curriculum constraints. McAdams, Rankin,
Love, and Paton (1989) state that this type
of teaching may have been justifiable in an
era of limited technology gradual change
and relative stability. However, the times
have already changed, and today students
must possess skills to achieve knowledge
under rapidly changing conditions where
knowledge quickly becomes obsolete.
It seems that teachers take the
responsibility for students learning and
students only achieve a superficial
understanding; as a result students are
passively waiting to be taught (Health
Regional Office of Central Kalimantan,
1998). It is likely that nursing education in
Central Kalimantan has failed to prepare
students to become professionals capable of
working in a rapidly changing health care
environment by continuing to use
predominantly
traditional
teaching
approaches.
As Central Kalimantan nursing
education wants their students prepared as
successfully as those within western
nursing education systems, significant
improvements are needed in teaching and
learning approaches.
The students are acculturated to believe
they are not empowered to teach
themselves and create meaning through

These are needed to better prepare


students to be professional nurses and to
meet the needs of the community for quality
nursing. Introducing SDL approaches in
nursing education in Central Kalimantan
has been chosen as it has not yet been
applied in everyday teaching and learning
activities in nursing courses.
Despite the extraordinary pace of
modernisation, the phenomenon of human
communication in education through the
oral tradition is still strongly held in Central
Kalimantan and Indonesia. Traditional
beliefs and expectations in Indonesia
regarding learning have placed the teacher
in the roles of content expert and authority
figure. Students have not been given many
opportunities to assess their personal needs
as a basis for learning; the students usually
expect the teacher to be an authority on
whatever topic matter is being discussed.
According to Dunbar (1991), the strong
tradition of oral communication in
Indonesia has created a popular perception
that learning is a relationship with a teacher
that is oral and hierarchical. The dynamics
of the relationship are usually described as
learning as a passive activity, whereas
teaching is active. Furthermore, Dunbar
says acquisition of knowledge and
development of skills and techniques in
Indonesia are seen to be passive replications
of what a teacher does and says, leading to
the widespread use of rote learning to pass
semester examinations from primary school
through to undergraduate programs. This
perception is still present today in nursing
students in Central Kalimantan, as reported
by the Sister School Project (2002).
Teacher-centred methods have dominated
Indonesian nursing education.
Indonesian nursing students focus their
efforts on passing examinations and
passively submit to the authority and
direction of their teachers.

independent cognitive effort. Teachers


speak their knowledge and students take
notes, often verbatim, as they are used to
traditional
teaching
approaches.
Furthermore, the students view learning
activities using various resources outside
the classroom as a waste of time because
they believe the learning may not be
optimal or correct.

The libraries in countries such as


Australia, United Kingdom, Canada and
USA are likely to have a much richer and
broader collection of recent journals, books
and other learning materials than is available
in the school or university libraries in
Indonesia
or
Central
Kalimantan.
Furthermore, the SDL model in western
culture assumes that students are capable of
independent learning behaviours and tha, on
entry, they are psychologically prepared for
the personal demands imposed by a teacherindependent, self-study regime (Guglielmino
& Guglielmino, 1991). However, Indonesian
learners are acculturated from primary
school to avoid behaviours or statements that
may be interpreted by others to be
expressions of personal autonomy (Dunbar,
1991).

Conclusion
In Indonesia or in Central Kalimantan, most
teachers in nursing education can
communicate only in the official language
(Indonesian) of the country and therefore,
to explore professional innovations in
nursing education outside Indonesia
depends on information being available
through translation. This influences the
diploma nursing education courses to still
use traditional approaches. It is assumed
that the reason why teachers and students in
Central Kalimantan not using SDL methods
is that they have not been introduced to, or
prepared for, SDL. Confessore (1991)
states that some students have a low level
of readiness for SDL because they have
consistently been exposed to otherdirected instruction [teacher-centred
approaches]. Furthermore, the nursing
students had graduated from high schools
in Indonesia, which also use teachercentred approaches. According to Dunbar
(1991) there is no pressing need in
Indonesia for serious reading, and the skill
of writing is not fostered in teachercentred
methods. For most students, there is no
need to express ideas, observations, or
opinions in an extended literacy form. This
is a possible reason why the nursing schools
pay less attention to the development of
their own libraries.
This situation is different in countries
where the original SDLRS was developed
(USA).
Dunbar, R. 1991. Adapting distance
education for Indonesians: Problems
with learner heteronomy and a strong
oral tradition. Distance Education,
12(2), 163173.

References
Ballard, B., & Clanchy, J. 1997. Teaching
International Students: A brief guide for
lecturers and supervisors. Canberra: IDP
Education Australia
Biggs, J. 1999a. Teaching for quality
learning at university. Philadelphia:
Society For Research Into Higher
Education & Open University
Press.
Biggs, J. 1999b. What the student does:
Teaching for enhanced learning.
Higher Education Research and
Development, 18(1), 5775.
Boychuk & Duchscher J. E. 1999) Catching
the wave: Understanding the
concept of critical thinking. Journal
of Advanced Nursing, 29(3), 577
583.
Brown, D. & Cooke., M. 2002. Teaching
and
Learning
Methodologies.
Report. Ministry of Health and
Social Welfare, Central Kalimantan,
Republic of Indonesia

Glen, S. 1999. The demise of the


apprenticeship model. In M. Nicol &
S. Glen (Eds.), Clinical skills in
Nursing: The return of the practical
room?
(pp.
112).
London:
MacMillan.

OECD. 2000. Motivating students for


lifelong learning. Paris: Centre for
Educational Research and Innovation
Organisation for Economic CoOperation & Development
Pusdiknakes 1997. Kurikulum D 3
Keperawatan,
Jakarta:
Pusat
Pendidikan Tenaga Kesehatan RI.

Harvey, B. J., Rothman, A. I., & Richard, C.


F. 2003. Effect of an undergraduate
medical curriculum on students selfdirected
learning.
Academic
Medicine, 78, 12591265.

Pusdiknakes 2002. Kurikulum D 3


Keperawatan,
Jakarta:
Pusat
Pendidikan Tenaga Kesehatan

Long, H. B., & Barnes, K. 1995. Selfdirected learning in nursing


education. In H. B. Long (Ed.), New
dimensions in self-directed learning
(pp.217242). Norman, OK: Public
Managers Center for Educational
Leadership and Policy Studies
Department College of Education
University of Oklahoma.

Ramsden, P. 2003. Learning to teach in


higher education. London: Routledge
Rossi, D. 2000. Self-Directed Learning: A
strategy for lifelong learning. Paper
presented at the Lifelong Learning
Conference, Yeppoon, QLD Australia.
Sister School Project. 2002. Teaching and
Learning Report. Palangkaraya: Sister
School Project Central Kalimantan.

Health Regional Office Central Kalimantan


Province. 1998. Laporan Tahunan.
Palangkaraya: Health Regional
Office Central Kalimantan Province.

Studdy, S. J., Nicol, M., & Fox-Hiley, A.


(1994). Teaching and learning clinical
skills (Part 2): Development of
teaching model and schedule of skills
development. Nurse Education Today,
14, 186193.

McAdams, C., Rankin, E. J., Love, B., &


Patton, D. 1989. Psychomotor skills
laboratories as self-directed learning:
A study of nursing students
perceptions. Journal of Advanced
Nursing, 14, 788796.

Williams, B. 2004) Self-direction in a


problem based learning program.
Nurse Education Today, 24, 277285.

Merriam, S. B. 1993. Adult Learning: Where


have we come from? Where we are
headed? In S. B. Merriam, (Ed.), An
Update on Adult Learning (pp. 5
14). San Francisco: Jossey-Bass.

World Bank. 1994. Indonesias Health Work


Force: Issues and Options, Jakarta:
Population & Human Resource
Division

Nicol, M., & Glen, S. 1999. Is simulation


the answer? Clinical skills in
nursing: The return of the practical
room? London: MacMillan.

10

PERTUMBUHAN FISIK ANAK SEKOLAH DASAR (SD)


DI KECAMATAN KAHAYAN TENGAH KABUPATEN PULANG PISAU
Yongwan Nyamin, Djenta Saha, Fetty Rahmawati

Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya Jurusan Keperawatan


Jalan George Obos No. 30 Palangka Raya Kalimantan Tengah
Abstract : Children at elementary school age are experienced the fastest growing physical phase.
In this phase the children need adequate nutritious food for both quantity and quality. Many
scholars point out that children who got enough colories and protein can do better at school. School
health program has growth monitoring to prevent poor nutrition and growth faltering. The main
purpose of this study was to provide information about physical growth of children in 3 elementary
schools in Pulang Pisau district in Central Kalimantan. Survey was used as method of data
collection. Purposive sampling was applied to get sample. There 130 children were recruited as
samples. Weight and height was mesuared as dependent variable as well as demographic data of
children and their parents as independent variable. The data were analysed by univariate and
bivariate. Using chi-square test almost all the data not significantly correlated to physical growth
except father educational background variable (p = 0.049) and the physical growth of children in
3 elementary schools in Pulang Pisau district was below the national standard. As conclusion: the
result of physical growth of children at 3 elementary schools in Pulang Pisau district Central
Kalimantan Province: stunted 46.9% (boy; 39.7% and girl: 56.1%).
Key Words: elementary school, physical growth, growth monitoring, growth faltering, stunted

PENDAHULUAN
Program kesehatan merupakan investasi
dalam meningkatkan sumber daya manusia.
Program perbaikan gizi yang berbasis
masyarakat telah banyak dilakukan oleh
pemerintah Indonesia dan telah banyak
berhasil mengendalikan antara lain kurang
vitamin A, gangguan akibat kurang yodium
(GAKY), namun kekurangan energi dan
protein terutama pada anak balita dan anak
usia sekolah tetap menjadi masalah yang
dapat mengganggu pertumbuhan dan
ketahanan fisik. Kekurangan energi dan
protein berdampak pada gagal tumbuh yang
akan menurunkan kualitas sumberdaya
manusia. Ketahanan fisik yang tinggi
merupakan salah satu faktor yang berperan
untuk mencapai produktivitas kerja yang
optimal (Depkes, 2007). Menurut Atmarita
(2005) status gizi anak Indonesia selama 10
tahun tidak berubah secara bermakna. Faktor
kemiskinan, ketersediaan pangan

keluarga, keanekaragaman pangan dan


penyakit infeksi merupakan faktor resiko
terhadap gagal tumbuh pada anak
Indonesia. Gagal tumbuh pada anak akan
berdampak pada kualitas sumber daya
manusia (SDM) dan menjadi kendala
pertumbuhan ekonomi dimasa yang akan
datang. Upaya peningkatan kualitas
sumber daya manusia tidak terlepas dari
keadaan kesehatan manusianya. Derajad
kesehatan anak sekolah merupakan bagian
dari status kesehatan yang secara umum
menurut teori Paradigma Sehat (Blum,
1974) merupakan interaksi dari empat
faktor yaitu: faktor lingkungan fisik, kimia,
biologi; faktor perilaku sosial; faktor
pelayanan kesehatan dan faktor keturunan
(Depkes, 2007). Banyak peneliti yang
memnyatakan bahwa rendahnya asupan
energi dan protein sangat berperan dalam
penurunan

produktivitas dan konsentrasi belajar. Anak


usia sekolah dasar merupakan anak dalam

Tujuan
penelitian
adalah
melihat
gambaran pertumbuhan fisik anak usia
11

phase pertumbuhan yang cepat. Mereka


memerlukan asupan makanan yang padat
energi untuk dapat bertumbuh dan
berkembang secara optimal (Djiteng, 1989).
Salah satu usaha perbaikan gizi masyarakat
ditujukan pada peningkatan gizi anak sekolah
yang bertujuan untuk menurunkan angka
kekurangan energi protein (KEP) menjadi
20% pada tahun 2010 (Depkes, 2005).

sekolah dasar didaerah pedesaan/remote


area.
Tidak semua faktor yang berhubungan
dengan status gizi anak sekolah dasar
diukur dalam penelitian ini. Status gizi
anak diukur melalui melalui berat
badan/umur (BB/U). Faktor orang tua
terutama pendidikan dan pekerjaan orang
tua serta jumlah saudara yang dimiliki anak
juga didata.

Metode
Rancangan penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah survey dengan
pengumpulan data menggunakan kuesioner.
Untuk mengukur tinggi badan digunakan
microtoa dengan ketelitian 1 cm dan berat
badan diukur menggunakan timbangan
digital And dengan ketelitian 0.1 kg.
Pengumpulan data dilakukan oleh tim
peneliti yang sudah terlatih. Populasi
penelitian adalah anak sekolah dasar di
wilayah Kahayan Tengah kabupaten Pulang
Pisau sedangkan yang menjadi sampel dalam
penelitian ini adalah anak sekolah dasar dari
3 SD di kecamatan Kahayan Tengah yaitu
SDN Tuwung I, SDN Tuwung II dan SDN
Tanjung Sanggalang .
Sampel diperoleh dengan cara purposive
sampling. Dari 210 anak yang didata didapat
130 kuesioner yang memenuhi syarat untuk
dianalisa. Data yang diperoleh diolah dan
dianalisa menggunakan SPSS versi 14.
Analisa data menggunakan analisa univariat,
dan bivariat (chi-square) untuk mencari
hubungan antar variabel. Variabel yang
diteliti adalah jenis kelamin anak, umur anak,
kelas, pendidikan orang tua, pekerjaan orang
tua, makan pagi dan jenis makanan sebagai
variabel independen dan pertumbuhan fisik
yang diukur dari tinggi badan dan berat badan
anak sebagai varabel dependen.

12

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Hasil Penelitian
Berdasarkan jenis kelamin dari 130 anak SD yang menjadi sampel dalam penelitian ini terdiri
dari 73 murid laki laki (56.2%) dan 57 murid perempuan (43.8%). Gambaran variabel usia 130
murid SD seperti terdapat pada tabel 1 berikut ini. Hasil ditampilkan dalam bentuk distribusi
frekuensi dan persentase. Data menunjukan bahwa masih ada murid SD yang berumur 14 dan 17
tahun.
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Usia
Usia (Tahun)

Frekuensi

6
7
8
9
10
11
12
13
14
17

15
24
22
8
19
19
15
4
1
3

11,5
18,5
16,9
6,2
14,6
14,6
11,5
3,1
0,8
2,3

Sebanyak 46,9% anak berada pada kategori pendek dan 53,1% anak berada pada kategori normal.
Namun, status gizi anak menurut BB/TB anak yang kurus hanya 9,2% sedangkan anak yang
normal/lebih sebanyak 90,8%. (Tabel 2).
Tabel 2. Status Gizi anak SD
Status Gizi
TB/U
Pendek (<-2 SD)
Normal (-2 SD)
BB/TB
Kurus
Normal/Lebih

Frekuensi

61
69

46,9
53,1

12
118

9,2
90,8

13

Latar belakang pendidikan bapak


sebanyak 66,9% telah mengeyam pendidikan
jenjang menengah/SMP. Sedangkan yang
sampai melanjutkan ke pergurun tinggi
sebanyak 11,5%. Bapak yang tidak sekolah
proporsinya sedikit hanya 0,8%. (tabel 3).
Berdasarkan analisis bivariat didapatkan
bahwa tidak ada perbedaan status gizi antara
anak laki-laki dengan perempuan. (nilai
P=0,063; OR=0,5; 95% CI=0,25-1,03).
Hasil analisis menyatakan bahwa tidak ada
perbedaan status gizi anak antara anak yang
sarapan dengan yang tidak sarapan (nilai
P=0,223; OR=1,8; 95% CI=0,8 3,8). Tidak
ada perbedaan status gizi anak menurut jenis
sarapan yang dimakan oleh anak (nilai P >
0,05). Variabel pendidikan bapak merupakan
variabel dummy dimana pada variabel ini
odds risk masing-masing variabel berbeda.
Berdasarkan analisis terlihat adanya
perbedaan status gizi pada bapak yang
mempunyai latar belakang pendidikan
sekolah menengah (nilai P=0,0049).
Artinya ada perbedaan status gizi anak antara
orang tua (bapak) yang mengeyam
pendidikan sekolah menengah dengan orang
tua (bapak) yang mengeyam pendidikan
sampai dengan sekolah lanjut. Atau dengan
kata lain anak yang orang tuanya (bapak)
hanya mengeyam pendidikan sampai tingkat
menengah mempunyai risiko anaknya
bertubuh pendek sebesar 0,3 kali
dibandingkan dengan anak yang orang
tuanya (bapak) mengeyam pendidikan
sampai perguruan tinggi (95% CI=0,07
0,99).
Sedangkan anak yang orang tuanya (bapak)
hanya mengeyam pendidikan sampai tingkat
dasar saja berisiko 0,9 kali dibandingkan
dengan nak yang orang tuanya (bapak)
mengeyam pendidikan sampai perguruan
tinggi (95% CI=0,32 3,03).
Namun, hubungan tersebut tidak menunjukan
perbedaan yang bermakna (nilai P=0,987).

Dari penelitian yang telah dilakukan dan


hasil
pengujian
hipotesa
dengan
menggunakan analisis univariat dan
analisis bivariat menunjukan bahwa
hipothesis yang diajukan pada umumnya
tidak dapat diterima, yang artinya hampir
semua variabel mempunyai perbedaan
dan hubungan
yang negatif, kecuali
Pendidikan Bapak terdapat adanya
perbedaan status gizi pada bapak yang
mempunyai latar belakang pendidikan
sekolah menengah.
Jenis Kelamin
:
bahwa tidak ada
perbedaan status gizi antara anak laki-laki
dengan perempuan. (nilai P=0,063;
OR=0,5; 95% CI=0,25-1,03), hal ini
karena pada anak perempuan belum ada
upaya membatasi asupan makanan (Gizi)
untuk menjaga body image (anak SMP)
sehingga sama status gizi dengan anak
laki-laki.
Sarapan : bahwa tidak ada perbedaan
status gizi anak antara anak yang sarapan
dengan yang tidak sarapan (nilai P=0,223;
OR=1,8; 95% CI=0,8 3,8).
Keadaan ini dapat terjadi karena walaupun
anak tidak sarapan sebelum berangkat ke
sekolah, tetapi ketika di warung sekolah
baik sebelum masuk sampai sekolah ia
makan-minum, jajan dan saat istirahat
pelajaran pagi dan siang hari.

14

Tabel 3. Status Sosial Ekonomi Keluarga


Variabel

Frekuensi

1
8
19
87
15

0,8
6,2
14,6
66,9
11,5

33
75
22

25,4
57,7
16,9

5
14
40
52
19

3,8
10,8
30,8
40
14,6

30
22
53
25

23,1
16,9
40,8
19,2

Pendidikan Bapak
Tidak Sekolah
SD
SMP
SMA
PT
Pekerjaan Bapak
Petani
Swasta
PNS
Pendidikan Ibu
Tidak Sekolah
SD
SMP
SMA
PT
Pekerjaan Ibu
IRT
Petani
Swasta
PNS

Jenis Sarapan : Tidak ada perbedaan status


gizi anak menurut jenis sarapan yang
dimakan oleh anak (nilai P > 0,05). Hal
disebabkan data penelitian dikumpulkan
menghendaki option ya dan tidak sarapan,
sehingga tidak mengungkapkan jenis,
kuantitas dan kuantitas makanan sarapan
anak.
Jumlah Saudara Kandung : Tidak ada
perbedaan rerata jumlah saudara kandung
antara anak bertubuh pendek dengan anak
bertubuh normal. Perbedaan rerata jumlah
saudara kandung sebesar 0,879 (95% CI= 1,08 1,26). Alasannya walaupun jumlah
saudara kandung relatif banyak jumlah
bukan berarti ia bertubuh pendek, karena
dapat saja beberapa dari saudara kandung
tadi sekolah/kuliah dikota atau diangkat
sebagai anak asuh oleh keluarga mampu
lainnya.
Pendidikan Bapak : terdapat dan terlihat
adanya perbedaan status gizi pada bapak
yang mempunyai latarbelakang pendidikan
sekolah menengah (nilai P=0,0049). Hal ini
karena pendidikan bapak sekolah menengah
telah memiliki wawasan memilih usaha dan
pekerjaan yang
dapat mencukupi dan
menghidup keluarga sehari-hari.

Pekerjaan Bapak :Tidak ada hubungan


antara pekerjaan bapak dengan status gizi
anak (nilai P>0,05). Hal ini karena
sebagian besar pekerjaan bapak sebagai
petani /penyadap karet , kadang-kadang
sebagai nelayan sehingga dari hasilnya
dapat memenuhi kebutuhan dapur dan
sembako keluarga.
Pendidikan Ibu : Tidak ada hubungan
antara pendidikan ibu dengan status gizi
anak (nilai P>0,05). Hal ini karena pada
umumnya ibu cukup rajin membawa anak
anak saat balita ke Puskesmas dan
Posyandu
sehingga
memperoleh
pengetahun dari penyuluhan tentang gizi
keluarga.
Pekejaan Ibu : Tidak ada hubungan antara
pekerjaan ibu dengan status gizi anak (nilai
P>0,05). Hal ini karena sebagian besar
pekerjaan Ibu selain memasak, merawat
anak - anak juga bekerja membantu bapak
sebagai petani /penyadat karet , kadangkadang sebagai nelayan sehingga dari
hasilnya cukup dan dapat memenuhi
kebutuhan dapur dan sembako keluarga.

15

Jenis Kelamin dan Status Gizi (BB/TB):


Berdasarkan analisis bivariat didapatkan
bahwa tidak ada perbedaan status gizi antara
anak laki-laki dengan perempuan. (nilai
P=1,000; OR=1,1; 95% CI=0,33-3,68).
Sarapan dan Status Gizi (BB/TB): Hasil
analisis menyatakan bahwa tidak ada
perbedaan status gizi anak antara anak yang
sarapan dengan yang tidak sarapan (nilai
P=0,618; OR=1,9; 95% CI=0,4-9,33). Hal
disebabkan kekurangan dari penelitian ini
alat /pertanyaan menghendaki option sarapan
dan tidak sarapan, sehingga tidak
mengumkapkan jenis, kuantitas dan kuantitas
makanan sarapan.
Jenis Sarapan dan Status Gizi (BB/TB):
Tidak ada perbedaan status gizi anak menurut
jenis sarapan yang dimakan oleh anak (nilai
P > 0,05). Hal disebabkan kelemahan dari
pertanayaan digunakan sebagai pedoman
wawancara
menghendaki
dua option
sarapan dan tidak sarapan, sehingga tidak
mengungkapkan jenis, kuantitas dan
kuantitas makanan sarapan dan juga ketika
disekolah anak jajan, makan-minum.
Pendidikan Bapak dan Status Gizi (BB/TB):
Tidak ada hubungan antara pendidikan bapak
dengan status gizi anak (nilai P>0,05) yang
mempunyai latar belakang pendidikan
sekolah menengah (nilai P=0,0049). Hal ini
karena pendidikan bapak sekolah menengah
telah memiliki wawasan memilih usaha dan
pekerjaan yang
dapat mencukpi dan
menghidup keluarga sehari-hari.
Pekerjaan Bapak dan Status Gizi (BB/TB):
Tidak ada hubungan antara pekerjaan bapak
dengan status gizi anak (nilai P>0,05). Hal ini
karena sebagian besar pekerjaan bapak
sebagai petani /penyadat karet, kadangkadang sebagai nelayan sehingga dari
hasilnya dapat memenuhi kebutuhan dapur
dan belanja sehari-hari keluarga.
Pendidikan Ibu dan Status Gizi (BB/TB):
Tidak ada hubungan antara pendidikan ibu
dengan status gizi anak (nilai P>0,05).

Hal ini karena apapun tingkat pendidikan


ibu pada umumnya cukup rajin membawa
anak anak saat balita ke Puskesmas dan
Posyandu
sehingga
memperoleh
pengetahun dari penyuluhan tentang gizi
keluarga baik oleh kader kesehatan dan
petugas kesehatan.
Pekejaaan Ibu dan Status Gizi (BB/TB) :
Tidak ada hubungan antara pekerjaan ibu
dengan status gizi anak (nilai P>0,05). Hal
ini karena sebagian besar pekerjaan Ibu
selain memasak,merawat anak-anak juga
bekerja membantu bapak sebagai petani
/penyadat karet , kadang-kadang sebagai
nelayan sehingga dari hasilnya cukup dan
dapat memenuhi kebutuhan dapur dan
ekonomi keluarga.
Selain beberapa alasan dan argumentasi
diungkapkan diatas, mengapa sebagian
permasalahan dan hipotesa penelitian tidak
ada hubungan atau signifikan juga
dimungkinan karena ada kesalahan
penelitian dalam teknik pengambilan
sampling
(Purposive
Sampling)
seharusnya Rondom sampling sehingga
diperoleh
sampling
representatif.
Kuesioner yang akan digunakan untuk
wawancara, semesti dilakukan uji coba
sebelum digunakan untuk kepentingan
penelitian. alat yang dipergunakan untuk
mengukur data peneltian
seyogianya
dilakukan uji kesahihannya.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan
pembahasan sebelumnya, maka temuan
penelitian dapat disimpulkan sebagai
berikut :
Jenis Kelamin : bahwa tidak ada
perbedaan status gizi antara anak laki-laki
dengan perempuan. (nilai P=0,063;
OR=0,5; 95% CI=0,25-1,03).

16

Sarapan : bahwa tidak ada perbedaan


status gizi anak antara anak yang sara-pan
dengan yang tidak sarapan (nilai P=0,223;
OR=1,8; 95% CI=0,8 3,8).
Jenis Sarapan : Tidak ada perbedaan
status gizi anak menurut jenis sarapan yang
dimakan oleh anak (nilai P > 0,05).
Jumlah Saudara Kandung : Tidak ada
perbedaan rerata jumlah saudara kan-dung
antara anak bertubuh pendek dengan anak
bertubuh normal. Perbedaan rerata jumlah
saudara kandung sebesar 0,879 (95% CI= 1,08 1,26).
Pendidikan Bapak : terdapat dan terlihat
adanya perbedaan status gizi pada bapak
yang mempunyai latar belakang pendidikan
sekolah menengah (nilai P=0,0049).
Pekerjaan Bapak :Tidak ada hubungan
antara pekerjaan bapak dengan status gizi
anak (nilai P>0,05)
Pendidikan Ibu : Tidak ada hubungan
antara pendidikan ibu dengan status gizi anak
(nilai P>0,05).
Pekejaaan Ibu : Tidak ada hubungan
antara pekerjaan ibu dengan status gizi anak
(nilai P>0,05).
Jenis Kelamin dan Status Gizi (BB/TB)
Berdasarkan analisis bivariat didapatkan
bahwa tidak ada perbedaan status gizi antara
anak laki-laki dengan perempuan. (nilai
P=1,000; OR=1,1; 95% CI=0,33-3,68).
Sarapan dan Status Gizi (BB/TB). Hasil
analisis menyatakan bahwa tidak ada
perbedaan status gizi anak antara anak yang
sarapan dengan yang tidak sarapan (nilai
P=0,618; OR=1,9; 95% CI=0,4-9,33).
Jenis Sarapan dan Status Gizi (BB/TB)
Tidak ada perbedaan status gizi anak menurut
jenis sarapan yang dimakan oleh anak (nilai
P > 0,05).
Pendidikan Bapak dan Status Gizi (BB/TB)
Tidak ada hubungan antara pendidikan bapak
dengan status gizi anak (nilai P>0,05).
Pekerjaan Bapak dan Status Gizi (BB/TB)
Tidak ada hubungan antara pekerjaan bapak
dengan status gizi anak (nilai P>0,05).
Pendidikan Ibu dan Status Gizi (BB/TB)
Tidak ada hubungan antara pendidikan ibu
dengan status gizi anak (nilai P>0,05).

Pekejaaan Ibu dan Status Gizi


(BB/TB)Tidak ada hubungan antara
pekerjaan ibu dengan status gizi anak (nilai
P>0,05).
Saran saran :
Kendati hasil analis penelitian ini hampir
semua tidak ada hubungan antara satu
variabel dengan lainnya, tapi justru
menjadi pengalaman yang berharga untuk
bahan
perbaikan
bagi penelitian
selanjutnya
supaya memperhatikan
sebagai berikut
Hendaknya menggunakan Random
sampling sehingga semua Sekolah Dasar
(SD) di kecamatan Kahayan Tengah
mempunya kesempatan yang sama untuk
menjadi sampel, dengan demikian akan
diperoleh sampel yang representative.
Kuesioner yang akan digunakan untuk
sebuah penelitian, hendaknya dilakukan
uji coca dulu, kemudian diukur tingkat
reabilitas dan validitasnya sebelum
digunakan untuk kepentingan penelitian.
Hendaknya
alat-alat yang digunakan
untuk mengukur Berat Badan (BB) dan
Tinggi Badan telah di tera dan diuji
kehandalannya.

17

DAFTAR RUJUKAN
Depkes.RI. 2007. Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS)
di Propinsi Kalimantan
Tengah, Jakarta: Depkes.RI.
Depkes.RI.1999. Indonesia Sehat 2010, Visi
Baru, Misi Kebijakan dan strategi
Pembangunan
Kesehatan.
Jakarta:
Depkes.RI.
Djiteng .R. 1989, Kajian Penelitian Gizi,
Jakarta: PT.Mediyatama Sarana Perkasa
Depkes RI .2005. Pedoman Perbaikan Gizi
anak Sekolah Dasar dan Madrasah
Ibtidaiyah. Jakarta: Depkes.RI.
Singarimbun, M dan Effendi, S. 1995.
Metode Penelitian Survey, Jakarta: LP3ES,
Sudjana .1996. Metode Statistika, Bandung:
Transito
Susanto, S. 2000. SPSS Mengolah data
secara Propesional . Jakarta: Elek Media
Computindo
Samuel Soeitoe. 1982. Psikologi
Pendidikan. Jakarta: Fakultas Ekonomi. UI.
Salahudin, M. 1990.Pengantar Psikologi
Pendidikan. Surabaya: Bina Ilmu.
Rochman, N. 1977. Metode Riset dan
Prinsip, Bandung: Transito

18

STUDI PENGOBATAN TRADISIONAL UNTUK MENJARANGKAN KELAHIRAN


DI KABUPATEN KATINGAN
Cia Aprillianti, Djenta Saha, Asih Rusmani
Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya,
Jalan George Obos No. 30 Palangka Raya Kalimantan Tengah
djenta_indo@yahoo.co.id
Abstract: Tropical forest has thousand medicinal plants. The medicinal plants has been long known
for its healing properties. Indigenous people from Central Kalimantan especially who live near the
forest have used medicinal plants to cure health ailment and other uses including birth spacing for
generations. This ethnomedicine study aims to get information about medicinal plants for birth
spacing in Katingan District. Two upland villages were choosen to get key informants who have
knowledge about traditional medicine base on native plants of Central Kalimantan. The villages
are Rangan Tangko and Rantau Bahai. Semi structure interview was held to capture important
information about the native plants. The plants was documented using digital camera. Indepth
interviews were recorded on auditape and after that transcribe verbatim. Dayak Ngaju language
transcricts of the interview sessions were made directly from the audiotapes and translated into
Indonesian. There 9 plants had been indetified for birth spacing properties The result of the study
can be used to improve family planning program especially for remote and very remore areas.
Key Words : Traditional Medicine, Ethnomedicine, Native Plants, Key Informant, Central
Kalimantan.
Pendahuluan
Pembangunan kesehatan di Kalimantan
Tengah masih belum merata. Hal ini
disebabkan karena terbatasnya kemampuan
pemerintah untuk membangun sarana
pelayanan kesehatan. Kondisi geografi
Kalimantan
Tengah
juga
menjadi
penghambat pemerataan layanan kesehatan
karena banyak daerah yang hanya bisa
ditempuh melalui transportasi sungai bahkan
harus berjalan kaki yang memerlukan waktu
cukup lama.
Hal ini menyebabkan masyarakat
pedesaan tidak dapat menikmati layanan
kesehatan yang disediakan oleh pemerintah
termasuk obat obat modern walaupun
mereka sangat memerlukannya.
Hanya
pengobatan
tradisional
dari
tumbuhan, hewan, maupun ritual lokal yang
dapat mereka gunakan.

Masyarakat pedesaan sangat tergantung


dengan praktek pengobatan tradisional
karena mudah didapat, murah, selalu
tersedia sepanjang tahun dan sudah
digunakan secara turun temurun sehingga
secara budaya dapat diterima oleh semua
kalangan masyarakat pedesaan didaerah
terpencil dan sangat terpencil.
Tumbuh-tumbuhan dari hutan tropis telah
lama dikenal khasiatnya untuk mengobati
berbagai macam penyakit. Kalimantan
Tengah sangat kaya akan keragaman
tumbuhan dan hewan liar yang masih
banyak belum teridentifikasi oleh ilmu
pengetahuan. Penduduk asli Kalimantan
Tengah yaitu suku Dayak terutama yang
tinggal
didaerah
pedalaman
sudah
menggunakan pengobatan tradisional
secara turun temurun dan banyak
mengetahui tumbuhan ataupun hewan yang
bisa digunakan sebagai obat tradisional.

19

Ahli Farmasi dari negara negara maju telah


memeriksa ekstrak zat- zat dari tumbuhan
yang digunakan oleh penduduk asli untuk
pengobatan dan menemukan obat obatan
yang dapat digunakan untuk menyembuhkan
kanker, HIV-AIDS, malaria dll. Studi yang
dilakukan oleh Lemann (1995) untuk
mendapatkan ekstrak aktif dari tumbuhtumbuhan yang digunakan oleh suku Dayak
Kenyah untuk mengobati malaria secara
ilmiah terbukti efektif terhadap Plasmodium
Falcifarum.
Mengidentifikasi, menginventarisasi,
serta mendokumentasi tumbuhan, produk
hewan, dan ritual pengobatan yang
digunakan oleh penduduk asli juga secara
intensf dilakukan oleh para peneliti dari
Malaysia (Fasihudin, 1992; Kulip, 20030.
Courderc (2007) dari Borneo Research
Council menglakukan identifikasi tanaman
yang berkhasiat obat yang digunakan oleh
Suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah.
Investigasi tanaman yang berkhasiat
untuk menjarangkan kelahiran merupakan
salah satu upaya penting sebelum
pengetahuan dan praktek pengobatan
tradisional yang sudah digunakan ratusan itu
lenyap bersama punahnya tanaman yang
berkhasiat
untuk
pengobatan
oleh
pembabatan hutan.
Tujuan
penelitian
ini
untuk
mendapatkan
jenis
tanaman
untuk
menjarangkan kelahiran yang digunakan
oleh penduduk asli (suku Dayak)
Kalimantan Tengah. Metode penelitian
kualitatif (Ethnomedicine ) digunakan dalam
penelitian ini. Data dikumpulkan melalui
wawancara mendalam dengan key informant
menggunakan panduan wawancara dan
direkam dengan tape recorder.
Analisa data menggunakan Thematic
Content Analisis dari Burnard (1991).
Manfaat penelitian ini diharapkan didapat
bahan alami tumbuhan yang dapat
digunakan untuk menjarangkan kelahiran.

Metode
Lokasi penelitian adalah 2 desa sangat
terpencil di kabupaten Katingan yaitu desa
Rangan Tangko di kecamatan Marikit dan
Desa Rantau Bahai di kecamatan Katingan
Hulu. Untuk mencapai ke dua desa tersebut
harus melalui sungai yang penuh dengan
jeram yang berjarak lebih kurang 11 jam
perjalanan dari Palangka Raya ibukota
Provinsi Kalimantan Tengah. Kedua desa
tersebut masing- masing berpenduduk
lebih kurang 100 KK dan penduduk asli
kedua desa tersebut adalah suku Dayak Ut
Danum. Bahasa lokal yang digunakan
sehari hari adalah bahasa Ut Danum dan
bahasa Dayak Ngaju.
Sampel (key informan) didapat
menggunakan tehnik convenien sampling
yaitu melalui kepala desa dicari orang yang
memenuhi
kriteria
inklusi
untuk
diwawancara (Polit & Hungler, 1999).
Kriteria inklusi untuk Key Informan adalah
sebagai berikut:
1. Memiliki
pengetahuan
pengobatan tradisional
2. Melakukan praktek pengobatan
tradisional
3. Penduduk setempat
4. Bersedia diwawancara
Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif
(Ethnomedicine)
untuk
mendapatkan informasi secara detail
mengenai pengobatan tradisional untuk
menjarangkan kelahiran yang digunakan
oleh masyarakat di desa Rangan Tangko
dan Desa Rantau Bahai. Ijin tertulis untuk
penelitian ini didapat dari Balitbangda
Provinsi Kalimantan Tengah dan dari Dinas
Kesehatan Kabupaten Katingan dan ijin
secara verbal dari setiap kepala desa
sebelum memulai kegiatan didesa tersebut.
Penelitian di desa Rangan Tangko
dilakukan selama 4 hari dengan bapak IL
(72 tahun), bapak T (70 tahun), dan bapak
T (49 tahun). Di desa Rantau Bahai juga 4
hari dan di wawancara bapak S (60 tahun),
bapak AG (49) dan ibu M (60 tahun).

20

Sesuai dengan adat kebiasaan setempat,


setiap orang yang
meminta informasi
mengenai pengobatan tradisional harus
memberikan semacam kompensasi yang
dalam bahasa lokal disebut manjawi
(mengambil ilmu). Kompensasi tersebut
berupa: jarum tangan 1 buah, parang 1 buah,
beras 1 gantang (7,5 kg), ayam hitam 1 ekor,
kain putih/hitam 2 meter, uang logam kuno
(benggol)
2
keping,
yang
kalau
dikonversikan kedalam rupiah mempunyai
nilai sebesar lebih kurang Rp. 150.000.
Untuk keperluan penelitian ini, peneliti
memberikan kompensasi sebesar Rp.
150.000/hari
wawancara
sebagai
penggantian waktu dan ucapan terima kasih
pada key informan atas kebaikan dan
kesediaan
mereka
memberikan
pengetahuanya. Interview yang dilakukan
menggunakan bahasa daerah setempat
berdasarkan panduan wawancara semi
structure (Bowling, 2001). In-depth
interview
(wawancara
mendalam)
digunakan untuk mendapatkan informasi
dari Key Informan (dukun atau tetua) didesa
tersebut yang melakukan pengobatan
tradisional (Streubert & Carpenter, 1999).
Instrumen
yang
digunakan
untuk
pengumpulan data dalam penelitian ini
adalah:
panduan
wawancara,
tape
recorder/kaset, field note dan digital kamera.
Selain itu dikumpulkan spesimen tanaman
dan didokumentasi menggunakan digital
kamera.

Data kualitatif dari indepth interview


yang direkam pada pita kaset ditulis kata
perkata (transcribe verbatim) kemudian
dianalisa menggunakan Thematic Content
Analisis (Burnard, 1991) untuk melihat
informasi mengenai tumbuhan yang
berkaitan dengan upaya menjarangkan
kelahiran Didapat list tumbuhan, yang
disusun menurut jenis, bahan, dan cara
penggunaan serta dosia yang dipakai.
Tanaman ini kemudian diidentifikasi di
lapangan dan didokumentasi.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Tabel 1 berisi data tanaman yang
digunakan untuk menjarangkan kelahiran
berdasarkan nama lokal.

Tabel 1: Tanaman Untuk menjarangkan kelahiran


No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Nama Tanaman

Bagian Yang Digunakan

Melati
Kaca Piring
Kembang Sepatu
Kayu Baru
Uru Kajalupan
Jambu Bahandang
Henda
Kayu Bawi
Rua Batu
Kayu Keramas
Sahang Rubit
Kayu Sasenduk
Kayu Sungkai

Akar
Akar
Akar dan Kulit Batang
Akar
Akar dan Daun
Kulit Batang
Rimpang
Akar
Umbut
Batang
Pucuk Daun
Daun
Daun
21

Ada 13 nama lokal tanaman yang


berhasil diidentifikasi dalam penelitian ini. 7
tanaman dari Desa Rangan Tangko dan 6
jenis tanaman dari desa Rantau Bahai. Ada
5 jenis tanaman yang umum didapat
disekitar desa seperti melati, kaca piring,
kembang sepatu, sahang rubit. Namun
kebanyakan
tumbuhan
untuk
obat
tradisional penjarang kelahiran berasal dari
hutan disekitar desa. Suku Dayak yang
bermukim dipedalaman Kalimantan Tengah
memiliki kekayaan dan pengetahuan akan
obat tradisional yang telah digunakan secara
turun temurun selama ratusan tahun. Jadi
secara budaya pengobatan tradisional dapat
diterima
oleh
seluruh
kalangan
dimasyarakat.
Pengetahuan mengenai pengobatan
tradisional baik yang menggunakan
tumbuhan atau bahan non tumbuhan
umumnya diturunkan/diwariskan kepada
generasi selanjutnya dengan cara oral. Tapi
praktek ini mulai banyak ditinggalkan
karena generasi muda tidak tertarik dengan
dengan pengetahuan ini. Dewasa ini tinggal
beberapa orang disetiap desa yang tahu
banyak mengenai tumbuh tumbuhan yang
berkhasiat untuk pengobatan dan umumnya
sudah berusia lanjut. Karena para pengobat
tradisional sudah berusia lanjut sehingga
sulit untuk membawa mereka untuk
mengidentifikasi tanamam yang dimaksud
pada lokasinya didalam hutan. Lebih jauh
lagi ada beberapa tanaman yang
dikategorikan sebagai tanamam sakral
menurut masyarakat setempat yang tidak
boleh diambil dari hutan ataupun
dibudidayakan oleh penduduk desa karena
diyakini akan mendatangkan petaka untuk
penduduk desa kalau tanaman tersebut
diambil dari hutan. Tanaman tersebut
dianggap milik penjaga/penunggu hutan.
Seluruh persiapan obat tradisional untuk
menjarangkan kelahiran dilakukan secara
oral dan tidak ada catatan tertulis mengenai
dosis yang tepat sehingga jumlah bahan dan
takaranya tidak bisa dipastikan secara
akurat. Umumnya takaran menggunakan
ukuran segenggam, helai daun atau potong.
Bagian tumbuhan yang

digunakan mulai dari akar, kulit batang,


batang, buah, biji atau bunga serta daun.
Untuk tumbuhan yang kecil biasanya
digunakan seluruh tumbuhan.
Kulit batang merupakan bagian
tanaman yang paling banyak digunakan
untuk pengobatan, disusul daun, dan bagian
tumbuhan
lainya.
Tumbuhan
bisa
digunakan
masih
segar,
ataupun
dikeringkan. Cara penggunaanya bisa
bahan segar dikunyah, bahan segar atau
kering bisa direbus campur air dan airnya
diminum. Cara lain untuk menjarangkan
kelahiran yaitu tanaman dilumatkan/
digerus dan dioleskan ke perut. Praktek
pengobatan tradisional dewasa ini mulai
mengalami kemunduran. Penduduk yang
berusia lebih muda menyatakan tidak
menggunakan pengobatan tradisional
secara
menyeluruh
tapi
selalu
menggunakanya
gabungan
dengan
pengobatan modern. Generasi muda lebih
tertarik menggunakan pengobatan modern
dibandingkan
dengan
pengobatan
tradisional yang yang memerlukan
persiapan lebih rumit. Proses mencari
tanaman
dan
pembuatan
formula
pengobatan tradisional memerlukan waktu
yang cukup lama dibandingkan dengan
meminum obat modern. Sementara itu
khasiat atau effek dari obat tradisionala
lebih lambat dibandingkan obat modern.
Hal ini membuat generasi muda umumnya
tidak tertarik mengenal jenis tanaman dan
penggunaan sebagai obat tradisional.
Menyadari nilai ekonomis potensial
yang terkandung dalam tumbuhan yang
berasal dari hutan belantara Kalimantan
Tengah maka usaha untuk melestarikan dan
mempertahankan keberadaan tumbuhan
serta tumbuhan lain yang belum terjamah
oleh ilmu pengetahuan menjadi sangat
mendesak.
Kekayaan
pengetahuan
mengenai obat tradisional dan tanaman
berguna lainya merupakan langkah awal
yang sangat penting untuk penelitian lebih
lanjut agar dapat ditemukam obat obatan
baru untuk penyakit yang belum ada
obatnya ataupun menemukan sumber gizi
baru serta untuk penggunaan lainya.

22

Diharapkan
ditemukanya
kandungan
tumbuhan yang bermanfaat menjarangkan
kelahiran yang bisa dibuktikan secara ilmiah.

Kesimpulan dan saran


Kesimpulan
Penelitian ini masih bersifat awal dan
telah teridentifikasi 13 jenis tumbuhan yang
digunakan oleh penduduk pada 2 desa di
kabupaten Katingan yaitu desa Rangan
Tangko kecamatan Marikit dan desa Rantau
Bahai kecamatan Katingan Hulu. 5 jenis
tumbuhan yang sudah dikenal dan mudah
didapat di desa yang bersangkutan
Sedangkan tumbuhan lainnya harus didapat
dari hutan dan tidak semua orang mengenal
tumbuhan
yang
berkhasiat
untuk
menjarangkan kelahiran.
Beberapa jenis tanaman hanya diketahui
oleh beberapa orang pengobat tradisional
yang umumnya berusia lanjut sehingga sulit
untuk mengidentifikasi jenis tanaman di
lapangan. Kebanyakan generasi muda
kurang menaruh minat akan pengobatan
tradisional karena proses pembuatan obat
cukup rumit dan memerlukan waktu
dibandingkan dengan menggunakan obat
modern.
Pembukaan hutan, ataupun kebakaran
hutan merupakan ancaman bagi tumbuhan
yang belum teridentifikasi oleh ilmu
pengetahuan,
padahal
hutan
tropis
Kalimantan Tengah mempunyai tumbuhan
yang sangat beragam.
Mengidentifikasi
tanaman
yang
diyakini penduduk mempunyai khasiat
untuk menjarangkan kelahiran merupakan
langkah yang penting sebelum pengetahuan
itu punah oleh berbagai penyebab.
Penelitian
lebih
lanjut
berupa
meningkatkan covered penelitian di
sejumlah desa terpencil lainnya di daerah
aliran sungai yang berbeda serta memeriksa
kandungan kimia dari tumbuhan yang
dipercaya
mempunyai
khasiat
obat
merupakan langkah selanjutnya dengan
tujuan melestarikan kekayaan budaya suku
Dayak dalam menggunakan tumbuhan
sebagai obat.

Saran
Menginventarisasi dan mendokumentasi
tanaman obat yang berkhasiat untuk
menjarangkan
kelahiran
sebelum
pengetahuan dan tumbuhan punah karena
pembabatan hutan untuk lahan pertanian
maupun oleh kebakaran hutan.
Perlu ada penelitian lebih lanjut untuk
melihat kandungan kimia dari tumbuhan
yang berpotensi sebagai pencegah kehamilan
pada tumbuhan yang digunakan oleh
penduduk pedesaan daerah terpencil di
Kalimantan Tengah.
Sosialisasi manfaat potensial dari
tumbuhan obat agar menarik generasi muda
dan menjaga warisan budaya yang sudah
digunakan oleh penduduk Kalimantan
Tengah turun temurun sejak ratusan tahun
yang lalu.
Daftar Rujukan
Burnard, P. 1991. A method of analysing
interview transcrips in qualitative
research. Nurse Education Today, 11,
461-466.
Courderc, P. 2007. Tradisional Medicine
Among the Ngaju Dayak in Central
Kalimantan. Klokke. A. H. (Ed.)
Borneo Research Council Bulletin.
Dinkes Provinsi Kalteng 2006. Profil
Kesehatan Kalimantan Tengah 2005.
Palangka Raya: Dinas Kesehatan
Provinsi Kalimantan Tengah.
Dinkes Kabupaten Katingan 2006. Profil
Kesehatan Kabupaten Katingan 2006,
Kasongan: Dinas Kesehatan Kabupaten
Katingan Provinsi Kalimantan Tengah.

23

Fasihudin, B. A., & Ismail, G. 1992.


Medicinal Plant Used by Kadazadusun
Communities Around Crocker Range.
ASEAN review of Biodiversity and
environmental conservation (ARBEC).
Fasihudin, B. A., & Hasmah, R. 1992.
Medicinal Plants of the Murut
Community in Sabah. In Gazzaly, I.,
Siraj, O. and Murteza, M. (Ed.) Forest
Biology and Conservation in Borneo.
Kinibalu:Centre for Borneo Studies.
Kulip, J. 2003. An ethnobotanical survey of
medicinal and other useful plants of
Muruts in Sabah, Malaysia. Telopea:
10(1): 81-98.
Krueger, R. A. 1994. Focus Groups: A
practical guided for applied research
(2nd ed.). Thousand Oaks, CA: Sage
Publications.
Leaman, D. J. (et.al) 1995. Malaria remedies
of the Kenyah of the Apo Kayan, East
Kalimantan
Indonesia Borneo: a quantitative
assessment of local consensus as an
indicator of biological efficacy. Journal
Ethnopharmacol, 4991), 1-16.
Polit, D. F., & Hungler, B. P. 1999. Nursing
Research: Principles and Methods (6th
ed.). Philadelphia: Lippincott.
Streubert, H. J., & Carpenter, D. R. 1999.
Qualitative Research in Nursing:
Advancing the Humanistic Imperative
(2nd ed). Philadelphia: Lippincott.

24

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KONSEP PERILAKU HIDUP BERSIH DAN


SEHAT (PHBS) DI KOTA PALANGKA RAYA
Santhy K. Samuel*, Bartho Mansyah**, Iis Wahyuningsih***
*Dosen Jurusan Kebidanan, **Dosen Jurusan Keperawatan, ***Kepala Unit Perpustakaan
Poltekkes Kemenkes Palangka Raya
ABSTRACT. Public perception of the concept of Perilaku Hidup bersih dan Sehat (PHBS) is one
indicator of the success of development in the field of health. The purpose of this research is to (1)
study public access to health facilities (2) study the sources of health information for the community
and (3) examine public perception of the concept PHBS in Palangkaraya.
Design research in the form of survey research by taking sample locations in Kelurahan
Panarung Sub-District Pahandut and Kelurahan Tangkiling Sub-District Bukit Batu. The number
of sample of 184 households randomly selected (stratified random sampling). Analysis and
interpretation is done by cross tabulation.
The results showed that in general households' access to health facilities health good enough,
where the distance facility nearest health of residence of respondents less than two kilometers, and
some respondents can access the health facilities are on foot. Information major health obtained
through official health education and mass media, particularly television. Public perception of the
concept PHBS level households are generally good, except for exclusive breastfeeding, hand
washing with clean water and soap, eliminate larvae in the house once a week, physical activity
every day and do not smoke in the house.
Key words: perception, access, health information.

PENDAHULUAN
Visi pembangunan kesehatan yang
dirumuskan dalam Indonesia Sehat 2010
antara lain disebutkan bahwa perilaku
masyarakat Indonesia Sehat 2010 adalah
perilaku proaktif untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan, mencegah risiko
terjadinya penyakit, melindungi diri dari
ancaman penyakit serta berpartisipasi aktif
dalam gerakan kesehatan (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 1999). Salah
satu upaya untuk mewujudkan perilaku
masyarakat Indonesia sehat tersebut adalah
melalui implementasi Perilaku Hidup Bersih
dan Sehat (PHBS).
Masih tingginya berbagai kasus
penyakit yang terjadi di Kota Palangka Raya
ini diperkirakan berhubungan dengan masih
rendahnya imlemenasi konsep perilaku
hidup bersih dan sehat oleh masyarakatnya
Hasil survei yang dilakukan oleh Dinas
Kesehatan Kota Palangka Raya pada tahun
2005,

dengan mengambil lokasi di Kecamatan


Sebangau menunjukkan bahwa persentase
rumah tangga yang ber-PBHS di daerah ini
masih sangat rendah, yaitu hanya sebesar
3,33% (Dinas Kesehatan Kota Palangka
Raya, 2005). Oleh karena itu menarik
untuk dilakukan suatu penelitian tentang
persepsi masyarakat terhadap konsep PHBS
di daerah ini.
Berdasarkan latar belakang di atas,
yang menjadi pertanyaan dalam penelitian
ini adalah 1). apakah masyarakat
mempunyai akses yang baik terhadap
fasilitas kesehatan yang ada; 2). apakah
masyarakat memperoleh informasi yang
cukup tentang kesehatan dan bagaimana
masyarakat memperoleh informasi tersebut,
3). bagaimana persepsi masyarakat
terhadap program Perilaku Hidup Bersih
dan Sehat di Kota palangka Raya di tingkat
rumah tangga.

25

Tujuan Penelitian dari penelitian ini


adalah mengetahui akses masyarakat Kota
Palangka Raya terhadap fasilitas kesehatan
utama, mengetahui sumber informasi
kesehatan bagi masyarakat di Kota Palangka
Raya, mengkaji persepsi masyarakat Kota
Palangka Raya terhadap Implementasi
Program PHBS di tingkat rumah tangga.

Untuk data yang bersifat kualitatif,


agar dapat dianalisis secara kuantitatif,
maka data tersebut perlu dikuantifikasi
dengan sistem skoring. Sistem skoring
dilakukan dengan menggunakan skala
Likert.
Analisis dan intepretasi data
dilakukan dengan tabulasi silang untuk
membahas hubungan antar variabel yang
terdapat dalam tabel-tabel tersebut.

METODOLOGI PENELITIAN
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan
disain cross sectional. Lokasi penelitian
adalah wilayah Kota Palangka Raya, dengan
mengambil sampel wilayah yang berada di
dalam kota, yaitu Kelurahan Panarung
Kecamatan Pahandut dan wilayah luar kota,
yaitu Kelurahan Tangkiling Kecamatan
Bukit Batu. Penelitian dilakukan selama
empat bulan, yaitu dari bulan September
2009 sampai dengan Desember 2009. Data
yang diperlukan dalam penelitian ini adalah
data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh melalui wawancara dengan sampel
responden yang terpilih.
Wawancara
dilakukan dengan panduan daftar pertanyaan
(kuesioner) yang telah dipersiapkan
sebelumnya, sedangkan data sekunder
diperoleh dari dinas/instansi terkait, baik di
tingkat Kota maupun tingkat provinsi, serta
dari berbagai literatur dan internet.
Jumlah rumah tangga sampel ditentukan
dengan cara pendugaan proporsi populasi
dengan presisis 90% dan tingkat
kepercayaan 95%. Jumlah sampel responden
untuk Kelurahan Tangkiling sebanyak 86
rumah tangga dan untuk Kelurahan Panarung
sebanyak 98 rumah tangga. Pengambilan
sampel responden dilakukan secara acak
bertingkat (statified random sampling).
Data yang telah terkumpul diolah
dengan cara tabulasi dengan menggunakan
perangkat lunak (soft ware) microsoft excel.
Dari hasil tabulasi ini diperoleh tabel data
induk.
Dari tabel data induk tersebut
selanjutnya diolah dalam bentuk tabel-tabel
yang
lebih
kecil
sesuai
dengan
kepentingannya.

1. Akses Terhadap Prasarana Kesehatan


Akses terhadap fasilitas atau
prasarana kesehatan terdekat merupakan
salah satu faktor yang sangat menentukan
terhadap perilaku hidup sehat masyarakat.
Fasilitas atau prasarana kesehatan meliputi
Posyandu, Dokter Praktek Swasra,
Puskesmas Pembantu, Puskesmas Induk
dan Rumah Sakit. Hasil penelitian terhadap
akses kesehatan seperti terlihat pada Tabel
1 menunjukkan bahwa sebagian besar
responden, baik di Kelurahan Tangkiling
maupun
di
Kelurahan
Panarung
memanfaatkan puskesmas induk sebagai
prasarana kesehatan utama dengan
peresentase masing-masing 54,65% di
Kelurahan Tangkiling dan 76,53% di
Kelurahan Panarung.
Selebihnya, di
Kelurahan Tangkiling 43,02% responden
memanfaatkan puskesmas pembantu, dan
masing-masing hanya 1,16% atau satu
orang yang memanfaatkan Posyandu dan
dokter praktek swasta.
Sedangkan di Keluarahan Panarung,
responden yang memanfaatkan puskesmas
pembantu sebagai sarana kesehatan utama
sebanyak 17,35% dan 6,12% lainnya
memanfaatkan posyandu.

26

Tabel 1. Akses Masyarakat terhadap Prasarana Kesehatan di Kelurahan Tangkiling dan


Kelurahan Panarung Kota Palangka Raya, 2009.
No
1

Uraian
Pemanfaatan Fasilitas/ Prasarana
kesehatan utama
- Posyandu
- Kinik Dokter Swasta
- Puskesmas Pembantu
- Puskesmas Induk
- Rumah Sakit
Jarak Fasilitas Kesehatan Terdekat
< 1 km
1 2 km
> 2 km
Cara Mencapai fasilitas kesehatan
- Berjalan kaki
- Sepeda
- Sepeda motor
- Angkutan umum

Jika ditinjau dari jarak fasilitas


kesehatan terdekat dari tempat tinggal,
menunjukkan
bahwa
secara
umum
pembangunan prasana kesehatan di wilayah
penelitian sudah cukup baik, dalam arti
sudah sangat dekat dengan masyarakat
sebagai pengguna faslitas atau prasana
kesehatan tersebut. Berkait dengan jarak
fasilitas kesehatan terhadap tempat tinggal
responden
tersebut.
Sebagian
besar
masyarakat (93,02%)
di Kelurahan
Tangkiling mencapai fasilitas kesehatan
dengan berjalan kaki.
Sedangkan di
Kelurahan Panarung 50,00% menggunakan
sepeda motor dan 42,86% lainnya berjalan
kaki untuk menuju fasilitas kesehatan
terdekat.

Tangkiling

Panarung

1 (1,16)
1 (1,16)
37 (43,02)
47 (54,65)
0 (0,00)

6 (6,12)
0 (0,00)
17 (17,35)
75 (76,53)
0 (0,00)

61 (70,93)
25 (29,07)
0 (0,00)

20 (20,41)
61 (62,24)
17 (17,35)

80 (93,02)
1 (1,16)
5 (5,81)
0 (0,00)

42 (42,86)
5 (5,10)
49 (50,00)
2 (2,04)

Sumber informasi kesehatan yang dianggap


penting adalah melalui penyuluhan
kesehatan oleh tenaga penyuluh kesehatan,
melalui teman atau tetangga, televisi, radio,
koran atau majalah dan sumber lainnya
seperti internet, perpustakaan dan lain-lain,
seperti terlihat pada Tabel 2.
Pada Tabel 2
terlihat
bahwa
responden yang menyatakan mendapat
penyuluhan kesehatan setahun terakhir di
Kelurahan Tangkiling sebesar 74,42% dan
sisanya
25,58%
menyatakan
tidak
mendapat
penyuluhan
kesehatan.
Sementara di Kelurahan Panarung 60,20%
responden
menyatakan
mendapatkan
penyuluhan kesehatan dan sisanya 39,80%
menyatakan tidak mendapat penyuluhan
kesehatan selama setahun terakhir.

2. Informasi Kesehatan
Paparan informasi kesehatan merupakan
salah satu faktor yang sangat menentukan
dalam implementasi perilaku hidup bersih
dan sehat bagi rumah tangga dan masyarakat.

27

Tabel 2. Penyuluhan Kesehatan dan Sumber Informasi Kesehatan Lain yang Digunakan
oleh Masyarakat di Kelurahan Tangkiling dan Kelurahan Panarung
Kota Palangka Raya, 2009
No
1

Uraian
Penyuluhan Kesehatan
- Mendapat penyuluhan
- Tidak mendapat penyuluhan
Frekuensi penyuluhan diterima 1 tahun
terkahir
- 1 2 kali
- 3 - 4 kali
- 5 6 kali
> 6 kali
Informasi Kesehatan lain
- Tetangga/teman
- Tetangga dan Televisi
- Koran dan televisi
- Radio dan televisi
- Televisi
- Televisi dan sumber lain
- Sumber lain

Dengan mencermati data di atas, ternyata


baik di Kelurahan Tangkiling maupun di
Kelurahan Panarung sumber informasi dari
teman atau tetangga dalam bentuk
komunikasi interpersonal tersebut masih
cukup besar, hal ini kembali menegaskan
bahwa sumber informasi melalui hubungan
komunikasi interpersonal dalam bentuk
penyuluhan kesehatan melalui kunjungan
petugas penyuluh kesehatan di Kota
Palangka Raya masih diperlukan oleh
masyarakat dalam rangka mewujudkan
perilaku hidup bersih dan sehat baik di
lingkungan rumah tangga maupun di
lingkungan masyarakat secara umum.
Selanjutnya yang perlu dicermati adalah
peran media televisi sebagai penyampai
informasi kesehatan ternyata cukup
dominan, dengan demikian dalam upaya
memberikan informasi kesehatan kepada
masyarakat, Dinas Kesehatan setempat perlu
memanfaatkan media televisi ini untuk
meningkatkan pengetahuan masyarakat
tentang konsep PHBS.

Kel. Tangkiling

Kel. Panarung

64 (74,42)
22 (25,58)

59 (60,20)
39 (39,80)

59 (92,19)
3 (4,69)
2 (3,13)
0 (0,00)

54 (91,53)
2 (3,39)
0 (0,00)
3 (5,08)

26 (30,23)
4 (4,65)
17 (19,77)
0 (0,00)
36 (41,86)
0 (0,00)
3 (3,49)

13 (13,27)
3 (3,06)
13 (13,27)
1 (1,02)
59 (60,20)
2 (2,04)
7 (7,14)

2. Persepsi Masyarakat terhadap Konsep


PHBS
Persepsi atau pemahaman masyarakat
terhadap konsep PHBS didekati dengan
jawaban atau tanggapan responden atas
pertanyaan mengenai implementasi variabelvariabel PHBS yang diajukan.
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa secara umum
implementasi Konsep PHBS oleh masyarakat
di Kota Palangka Raya, baik yang tinggal di
luar kota maupun yang tinggal di dalam kota
masih relatif rendah, yaitu masing-masing
sebesar 49,66% untuk masyarakat yang
tinggal di luar kota dan 57,39% untuk
masyarakat yang tinggal di dalam kota.
Sementara untuk keluarga yang tidak
memiliki balita, yang berarti tidak tidak ada
variabel memberikan ASI eksklusif dan
variabel menimbang balita setiap bulan,
implementasi konsep PHBS bagi masyarakat
yang tinggal di luar kota sebesar 49,69%,
sedangkan untuk masyarakat yang tinggal di
dalam kota sebesar 59,75%, seperti terlihat
pada Tabel 3.

28

Tabel 3. Implementasi PHBS di Kelurahan Tangkiling dan Kelurahan Panarung Kota


Palangka Raya Tahun 2009
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Variabel PHBS

Kel. Tangkiling
(%)
77,38
20,51
78,57
94,19
48,84
50,00
48,06
40,70
22,09
16,28
49,66
49,69

Persalinan ditolong Tenaga Kesehatan


Memberi ASI Ekaklusif
Menimbang Balita Setiap Bulan
Menggunakan Air Bersih
Mencuci Tangan dengan Sabun
Menggunakan Jamban Sehat
Memberantas Jentik Seminggu Sekali
Mengkonsumsi Buah dan Sayur
Melakukan Aktivitas Fisik Setiap Hari
Tidak Merokok di dalam Rumah
Rata-rata
Rata-rata tanpa ASI dan Balita

Menurut Riskesdas Departemen Kesehatan


(2007), dalam penilaian PHBS tataran rumah
tangga ada dua macam rumah tangga, yaitu
rumah tangga dengan balita dan rumah
tangga tanpa balita. Untuk rumah tangga
dengan balita digunakan 10 indikator,
sehingga nilai tertinggi adalah 10; sedangkan
untuk rumah tangga tanpa balita terdiri atas 8
indikator, sehingga nilai tertinggi adalah 8.
PHBS diklasifikasikan kurang apabila
mendapatkan nilai kurang dari 6 untuk
rumah tangga yang mempunyai balita dan
kurang dari 5 untuk rumah tangga tanpa
balita. Dengan demikian, implementasi
konsep PHBS di Kota Palangka Raya
terhadap 10 variabel PHBS tersebut, dengan
angka rata-rata 5,35 termasuk kategori
kurang, sedangkan apabila didekati
dengan 8 variabel, angka 5,47 termasuk
kategori cukup.
Dari sepuluh unsur atau variabel PHBS
tersebut masih terdapat lima unsur yang
implementasi masih relatif rendah (< 50%),
yaitu: memberi ASI eksklusif, mencuci
tangan dengan sabun, memberantas jentik
seminggu sekali, melakukan aktivitas fisik
setiap hari, dan tidak merokok di dalam
rumah.

Kel. Panarung
(%)
88,30
21,74
74,19
100,00
48,98
85,71
47,84
64,29
12,24
30,61
57,39
59,75

Rata-rata
(%)
82,84
21,13
76,38
97,10
48,91
67,86
47,95
52,50
23,45
53,53
54,72

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan

29

1.

Akses kesehatan bagi masyarakat di


Kota Palangka Raya secara umum
cukup baik. Fasilitas kesehatan utama
adalah
puskesmas
induk
dan
puskesmas pembantu dengan jarak dari
tempat tinggal kurang dari 2 km
sehingga dapat diakses dengan berjalan
kaki maupun menggunakan kendaraan
pribadi berupa sepeda dan sepeda
motor.

2.

Masyarakat di Kota Palangka Raya


memperoleh informasi kesehatan
masih kurang, baik melalui kegiatan
penyuluhan oleh petugas penyuluh
kesehatan maupun melalui media
massa utamanya televisi. Keberadaan
petugas penyuluh kesehatan masih
sangat diperlukan oleh masyarakat,
namun frekuensi penyuluhan kesehatan
yang dilakukan oleh petugas masih
sangat jarang, rata-rata hanya 1-2 kali
setahun

3.

Persepsi masyarakat di Kota Palangka


Raya terhadap Perilaku Hidup Bersih
dan Sehat (PHBS) pada tataran rumah
tangga baik yang tinggal di wilayah
dalam kota dan yang tinggal di luar kota
secara umum tidak jauh berbeda. Ratarata persepsi terhadap 10 unsur PHBS
tataran rumah tangga adalah sebesar
53,53% termasuk kategori kurang,
sedangkan apabila tidak dimasukkan
variabel ASI eksklusif dan penimbangan
balita setiap bulan rata-rata persepsi
rumah tangga sebesar 54,72% termasuk
kategori cukup.

4.

Saran
1. Salah satu fasilitas kesehatan yang
paling dekat dengan masyarakat adalah
Posyandu, namun sekarang posyandu
tidak lagi dianggap sebagai salah satu
fasilitas
kesehatan
penting bagi
masyarakat. Untuk itu disarankan agar
Posyandu salah satu fasilitas kesehatan
terdekat bagi masyarakat ditumbuhkan
dan dikembangkan kembali.
2. Keberadaan tenaga penyuluh kesehatan
sebagai salah satu sumber informasi
mengenai kesehatan masih sangat
diperlukan oleh masyarakat, terutama
bagi masyarakat yang tinggal di luar
perkotaan. Untuk itu keberadaan tenaga
penyuluh kesehatan dan frekuensi
penyuluhannya
masih
perlu
ditingkatkan.
3. Dalam upaya penerapan perilaku hidup
bersih dan sehat guna mewujudkan
masyarakat Kota Palangka Raya sehat,
unsur-unsur
PHBS
yang
masih
diperlukan
upaya
ekstra
adalah
memberikan ASI eksklusif, selalu
mencuci tangan dengan air bersih dan
sabun setiap selesai melakukan aktivitas
dan sebelum makan, pemberantasan
jentik seminggu sekali, meningkatkan
kesadaran konsumsi buah, meningkatkan
kesadaran akan pentingnya aktivi tas
fisik setiap hari dan menumbuhkan
kesadaran akan bahaya merokok bagi
kesehatan.

30

Direktorat Jenderal Pemberantasan


Penyakit Menular dan Penyakit
Lingkungan Pemukiman Departemen
Kesehatan RI. 1997. Tujuh Syarat
Jamban yang Sehat. Diunduh dari
http://digilib-ampl.net [online].

EFFECT OF POSTOPERATIVE TEACHING TO


MOTHERS COMPLAINT OF POST SECTIO CAESARIA
Tri Ratna Ariestini, Berthiana, Mimin Lestari*
Dosen Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya
ABSTRACT. After bearing, woman will experience physiologic and psychologic changes, so that
they require quickly self-adjustment. A number of woman experience of to feel over a barrel, feel
annoyed, feel unable or not assure , even 10% from the woman feel the heavy depression of post
partum. Description of mothers problems which deal with the changes of physiologic and
psychologic after bearing, especially mother of post sectio caesarea which is quite a lot in Central
Kalimantan, still not yet been known until present time. The objective of the study was to know
the influence of postoperative teaching to mothers complaint of post sectio caesarea. Based on
data analysis found that the complaints of mother of post sectio caesarea without "postoperative
teaching" were complain to cough 63,85%; mouth felt bitter, run dry and queasy 46,92%; body felt
weak, stomach flabby and diffuse 19,23%; did not break wind in the first day 30%; stomach felt
pain 96,15%; ASI (mothers milk) not yet gone out in the day 1-2 30%; breast swollen, ossify and
ill 23,85%; could not spontaneous urinate 1,54%; did not defecate in the day 1-2 3,07%. After
giving "postoperative teaching", the type and the frequency of complaints decreased, the complaints
that were found cough 5,38%; did not break wind 2,31%; stomach felt pain 15,38% and hair fall
off 0,77%. Based on the data analysis by using Wilcoxsons Test shown that there was difference
of incidence of complaint of post sectio caesarea at mothers given postoperative teaching with the
mothers which were not given postoperative teaching. The conclusion was postoperative teaching
had very significant effect in lessening incidence of complaint of post sectio caesarea patient.To
lessen the mothers complaint of post sectio caesarea, hence the mother must to have enough
knowledge of the changes of postsectio caesarea and know how to deal with it. It is suggested to
all mother that bearing with the surgery of sectio caesarea is given postoperative teaching.
Keyword: Postoperative Teaching, complaint of patien, post sectio caesar
Tabel 1. Keluhan Post Seksio Sesaria tanpa postoperative teaching dan dengan
postoperative teaching
No

Jenis Keluhan

Tanpa
Postoperative
Teaching
83

Dengan
Postoperative Teaching

%
5,38

Batuk berdahak/ kering

63,8

Mulut terasa pahit, kering dan mual

61

46,9

Merasa lemah, kendur dan longgar

25

19,2

Tidak platus hari pertama

39

30

2,31

Perut terasa nyeri

125

96,1

20

15,3

ASI belum keluar hari 1-2

39

30

Payudara bengkak, keras ,sakit

31

23,8

Tidak BAK spontan

1,54

Rambut rontok

10

Tidak BAB hari 1-2

3,07

31

0,77

Grafik 1. Grafik Keluhan Pasien Post Seksio Sesaria Tanpa dan Dengan Diberikan
Postoperative Teaching

150
Tanpa PT

100

Dengan PT

50

Tanpa PT

0
1

10

Pendahuluan
Perawat mempunyai peranan penting
dalam membantu ibu post seksio sesaria untuk
melewati tahapan perubahan fisiologik dan
psikologik yang dialaminya dengan baik.
Pemberian pengetahuan dari tenaga kesehatan
sangatlah diperlukan ibu dalam melewati
tahapan pemulihan ini.
Dengan pertimbangan tersebut diatas
maka perlu dilakukan penelitian tentang
Pengaruh Postoperative teaching Terhadap
Keluhan Post Seksio Sesaria. Sebagai usaha
dalam rangka
mengatasi masalah yang
mungkin timbul pada pasien post seksio
sesaria.

Dalam rangka pencapaian Indonesia


sehat (sehat untuk semua) tahun 2010,
maka sebagai tenaga kesehatan amatlah
besar peranannya agar tujuan tersebut
dapat tercapai. Sehat untuk semua berarti
juga
mencakup
kesehatan
ibu.
Pencapaian kesehatan ibu khususnya
dibidang obstetri mencakup kesehatan
selama hamil, melahirkan dan setelah
melahirkan.
Setelah melahirkan wanita akan
mengalami
perubahan-perubahan
fisiologik dan psikologik, sehingga
wanita membutuhkan penyesuaian diri
yang cepat. Sejumlah wanita mengalami
rasa tidak berdaya, merasa terganggu,
merasa tidak mampu atau tidak yakin
bahkan 10% wanita mengalami depresi
berat post partum (Derele LlewellyaJones, 2002; 84).
Pertolongan persalinan dengan
seksio sesaria cukup banyak terjadi di
Kalimantan Tengah, data rumah sakit dr.
Doris
Sylvanus
Palangka
Raya.
Persalinan dengan seksio sesaria bila
dibandingkan dengan jumlah seluruh
persalinan yang terjadi dalam tiap
tahunnya adalah sebagai berikut, tahun
2006 seksio sesaria sebanyak 37,22%,
tahun 2007 meningkat menjadi 44,39 %
dan tahun 2008 bertambah lagi menjadi
53 %. (Medikal Record RSUD dr. Doris
Sylvanus).

METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk penelitian
Nonparametrik komparatif dengan dua
sampel berpasangan. Populasi penalitian ini
adalah seluruh pasien yang bersalin dengan
operasi seksio sesaria tahun 2009Sampel
dalam penelitian ini adalah pasien dengan post
seksio sesaria yang dirawat minimal selama 4
hari di RSUD dr. Doris Sylvanus, RSUD dr.
Murjani dan RSUD dr. H. Sumarno
Sosroatmodjo. Pengambilan sampel dalam
penelitian ini menggunakan Simple Random
Sampling. Penetapan jumlah sampel
berdasarkan tabel Isaac dan Michael, dari
jumlah populasi yaitu 250 orang dengan
tingkat kepercayaan 90% atau taraf kesalahan
10%, dilihat dalam tabel Isaac dan Michael
dimana pada kolom (N) dicari angka 250 dan
pada kolom (s 10%) sejajar angka N 250
32

Menurut Derele (2002; 84), Dalam


melewati
perubahan-perubahan
fisiologik dan psikologik setelah
melahirkan,
wanita
membutuhkan
penyesuaian diri yang cepat. Sejumlah
wanita mengalami rasa tidak berdaya,
merasa terganggu, merasa tidak mampu
atau tidak yakin bahkan 10% wanita
mengalami depresi berat post partum.

didapatkan angka 130. Maka jumlah


sampelnya 130 orang. (Sugiyono 2006: 98).
Variabel yang diteliti dalam penelitian ini
terdapat dua variabel yaitu variabel tergantung
atau dependen yaitu keluhan pasien dan
variabel bebasnya atau independennya yaitu
postoperative teaching.
Ketentuan pengujian :
Secara manual : Jika Z hitung < Z tabel
=
H0 diterima; Ha ditolak Jika Z hitung > Z
tabel = Ha diterima; H0 ditolak
(Sugiyono 2002: 134)

Postoperative
teaching
adalah
penyuluhan kesehatan kepada ibu post
seksio sesaria tentang perubahan
fisiologis dan psikologis ibu post seksio
sesaria dan cara mengatasinya. Keluhan
pasien adalah keluhan ibu post seksio
sesaria yang
berhubungan dengan
perubahan fisiologis dan psikologi paska
partum. Metoda analisa data ini
menggunakan fasilitas komputer dengan
program SPSS versi 15. Karena ingin
membuktikan pengaruh postoperative
teaching terhadap timbulnya keluhan
post seksio sesaria, dimana jenis datanya
ordinal, metode statistik nonparametrik,
bentuk hipotesanya kompaatif dua
sampel berpasangan, dilihat dari kriteria
tersebut
maka uji statistik untuk
mengetahui besar pengaruhnya kita
menggunakan Wilcoxon Matched Pairs,
karena sampelnya (>25) digunakan
rumus Z. Rumusnya sebagai berikut :
Dimana : T = Jumlah jenjang
n = Jumlah sampel
T = n(n+1)
4

Secara SPSS 15 for Windows :


Jika < Asymp.Sig.(2- tailed) = H0 diterima;
Ha ditolak
Jika > Asymp.Sig. (2- tailed) = Ha diterima;
Ho ditolak (Getut 2008: 101)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengumpulan data yang
dilakukan pada ibu post seksio sesarea
didapatkan keluhan yang timbul baik tanpa
diberikan postoperative teaching maupun
dengan postoperative teaching dapat kita
lihat pada tabel 1 dan gambar 1.

T = n (n + 1 ) (2 n + 1)
24
(Sugiyono, 2002 :133)

33

Keterangan:
1 = Batuk
2 = Mulut kering dan mual
3 = Lemah, perut kendur
4 = Tidak platus
5 = Nyeri
6 = ASI belum keluar
7 = Payudara bengkak, sakit
8 = Tidak BAK spontan
9 = Rambut rontok
10 = Tidak BAB

Sebelum kita menghitung kedalam rumus Z,


kita mencari dulu nilai T yaitu jumlah jenjang/
rangking yang kecil. Perhitungan mencari
jumlah jenjang tersebut membutuhkan tabel
penolong untuk test Wilcoxon . Dari hasil
perhitungan dengan tabel penolong Wilcoxon
didapatkan nilai jenjang 8.474,5 . Kita hitung
dengan rumus Z adalah sebagai berikut :
Diketahui nilai :
T = 8.474,5 (Jenjang terendah)
n = 130 (Jumlah sampel)

Dari tabel perbandingan diatas dapat


kita lihat bahwa jumlah keluhan setelah
diberikan
postoperative
teaching
berkurang. Kalau tanpa posoperative
teaching ada 9 jenis keluhan sedangkan
kalau diberikan postoperative teaching
ada 4 macam keluhan. Untuk keluhan
yang masih muncul juga frekuensi
kejadiannya berkurang sangat jauh.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh postoperative
teaching terhadap timbulnya keluhan
post seksio sesaria atau untuk mengetahui
perbedaan banyaknya keluhan ibu post
seksio sesaria
yang diberikan
postoperative teaching dengan ibu yang
tidak diberikan postoperative teaching.

Berdasarkan taraf kesalahan 0,025 (p),


maka harga Z tabel = 1,96 (tabel Z). Harga Z
hitung 309,9 ternyata harga Z hitung lebih
besar dari harga Z tabel, dengan demikian Ho
ditolak dan Ha diterima. Jadi terdapat
perbedaan timbulnya keluhan post seksio
sesaria pada ibu yang diberikan postoperative
teaching dengan ibu yang tidak diberikan
postoperative teaching. Kesimpulannya
postoperative teaching sangat berpengaruh
signifikansi dalam mengurangi timbulnya
keluhan pada pasien post seksio sesaria. Kalau
kita ingin membandingkan hasil perhitungan
dengan rumus Z diatas dengan hasil uji SPSS
15 dapat kita peroleh gambaran sebagaimana
diperlihatkan pada tabel dibawah ini.

Tabel 2. Test Statistics (b)

DenganPT - tanpaPT
Z

-9,849(a)

Asymp. Sig. (2-tailed)

,000

postoperative teaching dalam mengurangi


keluhan post seksio sesaria.
Hasil uji dengan menggunakan rumus Z dan
hasil uji dengan SPSS menunjukan
kesimpulan hasil yang sama bahwa
Postoperative teaching sangat berpengaruh
signifikansi dalam mengurangi keluhan
pada pasien post seksio sesaria.

a Based on negative ranks.


b Wilcoxon Signed Ranks Test
Dipilih tingkat kepercayaan 5 %,
dengan ketentuan H0 ditolak jika >
Asymp.Sig.
(2-tailed). Jadi karena
= 0,05> Asymp.Sig.
(2-tailed) = 0.000
maka dengan uji dua sisi,
H0 tidak
diterima. Dengan kata lain Ha diterima
yaitu terdapat perbedaan timbulnya
keluhan post seksio sesaria pada ibu yang
34

diberikan
postoperative
teaching
dengan ibu yang tidak diberikan
postoperative teaching. Dilihat dari
perbedaan yang sangat nyata antara hasil
hitung dan nilai signifikansi maka dapat
disimpulkan bahwa, ada pengaruh yang
sangat signifikan dari

1. Keluhan Post Seksio Sesaria Tanpa


Postoperative Teaching.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan
hasil bahwa distribusi keluhan ibu post seksio
sesaria adalah sebagai berikut.

Grafik 2. Keluhan Ibu Post Seksio Sesaria

Keluhan

Keterangan:
1
2
3

4
5

1 = Batuk
2= Mulut kering mual
3 = Lemah, perut,kendur
4= Tidak platus
5 = Nyeri
6= ASI belum keluar
7= Payudara bengkak, sak
8= Tidak BAK spontan
9= Tidak BAB

6
7

Dari grafik diatas, lima keluhan


pasien teratas adalah, yang pertama nyeri,
yang kedua batuk, yang ketiga badan
lemah dan perut kendur, yang keempat
mulut kering dan mual dan yang kelima
ASI belum keluar. Keluhan yang paling
banyak pada pasien post seksio sesaria
adalah nyeri. Nyeri dirasakan sebagai
akibat adanya luka incisi pada dinding
perut ataupun dinding uterus.(Kisner
1996; 112). Selain karena luka
pembedahan nyari juga diperoleh dari
kontraksi uterus setelah melahirkan
sebagai proses fisiologis involusi uterus.
Teori lain yang menjelaskan
mengenai nyeri setelah melahirkan adalah
Sarwono (2005;702) yang mengatakan
bahwa perut dapat terasa nyeri secara tibatiba, saat menyusui atau saat bergerak.
Hal ini karena setelah melahirkan rahim
mengecil kembali secara berangsurangsur disertai pengerasan otot rahim/
kontraksi yang menimbulkan nyeri
termasuk nyeri luka operasi, nyeri
bertambah
saat menyusui karena
mengeluarkan hormon oksitosin yang

Dari penjelasan tersebut sangatlah signifikan


kalau jumlah pasien yang mengalami keluhan
batuk lebih banyak pada mereka yang
mengalami pembedahan dengan general
anasthesi.
Keluhan pasien yang menjadi urutan
ketiga yaitu badan lemah dan perut kendur,
dan yang keempat yaitu mulut kering dan
mual. Berdasarkan pendapat Dini (2003;
104), penurunan elastisitas otot perut dan
elastisitas otot dasar panggul terjadi karena
pada masa kehamilan terjadi penguluran pada
otot-otot tersebut.
Terjadi gangguan pencernaan seperti
mulut terasa pahit, kering daan mual. Tidak
buang angin atau tidak flatus pada hari
pertama setelah operasi. Merasa lemah dan
perut terasa longgar. Hari pertama dan kedua
setelah operasi tidak buang air basar.
Gangguan pada saluran cerna ini disebabkan
karena pasien puasa dan pengaruh pembiusan
juga obat pengurang rasa nyeri yang
menyebabkan kekuatan otot berkurang dan
gerakan usus berkurang, pemulihannya
dengan mobilitas dini atau pergerakan sedini
mungkin secara bertahap sehingga gerakan
35

merangsang kontraksi. Kontraksi ini


sangat penting untuk
mengurangi
perdarahan dan memulihkan kembali
ukuran rahim menjadi normal. Untuk
mengurangi
nyeri
habis
operasi
digunakan teknik relaksasi nafas dalam.
Keluhan pasien post seksio sesaria
yang menjadi urutan kedua yaitu batuk.
Kisner (1996; 112), mengatakan karena
adanya nyeri dalam masa insisi
menyebabkan pasien enggan untuk
bergerak
sehingga
menyebabkan
gangguan dalam transfer, ambulasi
maupun ADL. Kondisi lain yang
menyebabkan pasien bisa batuk karena
melakukan pembiusan dengan general
anasthesi. Obat anasthesi sendiri dapat
menyebabkan produksi mukos, selain itu
karena melewati pernapasan dan pasien
diharuskan puasa menyebabkan mulut
dan tenggorokan pasien post operasi
terasa kering, kondisi ini lebih
mendukung untuk terjadinya batuk.

usus bisa bekerja, ibu bisa kentut dan ibu


boleh makan secara bertahap.( Sarwono,
2005; 700).
Keluhan ibu post seksio sesaria yang
menjadi urutan ke lima yaitu ASI belum
keluar hari 1-2 post partum. Kembali
Sarwono (2005; 702), mengatakan bahwa
hari pertama dan kedua setelah operasi seksio
sesaria, air susu ibu belum keluar. Hal ini
terjadi karena masih masa transisi antara
berkurangnya
hormon
estrogen
dan
progesteron sementara hormon prolaktin
meningkat, tetap susukan bayi ibu untuk
merangsang produksi ASI. Isapan bayi pada
puting susu ibu menyebabkan sekresi
prolaktin hampir 10 kali lipat.
2. Keluhan Post Seksio Sesaria Setelah
Postoperative Teaching
Hasil yang kita peroleh dari pendataan
keluhan ibu post seksio sesaria setelah
diberikan postoperative teaching dapat
dilihat pada grafik 3.

Grafik 3. Keluhan Ibu Post Seksio Sesaria


Setelah Postoperative Teaching
Keterangan:

Keluhan

1 = Batuk
2= Tidak flatus

20

3 = Nyeri

10
0

4= Rambut Rontok

Keluhan
2

3. Perbedaan Pengaruh Postoperative


Teaching Terhadap Keluhan Post
Seksio Sesaria

Berdasarkan grafik 3 bisa urutkan


keluhan post seksio sesaria setelah
diberikan postoperative teachin yaitu
rangking pertama nyeri, urutan kedua
batuk, urutan ketiga tidak flatus hari
pertama post operasi dan yang keempat
adalah rambut rontok. Sedangkan keluhan
yang lain tidak muncul lagi, hal ini
menunjukan kemajuan yang sangat
positif. Pengetahuan sangat berpengaruh
signifikan dalam mengurangi keluhan
post seksio sesaria. Postoperative

Hasil perhitungan dengan menggunakan


rumus Z, diyakinkan kembali dengan hasil uji
SPSS 15 dengan hasil H0 ditolak, Ha
diterima yaitu terdapat perbedaan timbulnya
keluhan post seksio sesaria pada ibu yang
diberikan postoperative teaching dengan
ibu yang tidak diberikan postoperative
teaching. Dilihat dari perbedaan yang sangat
36

taching
yang
diberikan
dengan
memberikan
penyuluhan
serta
demonstrasi pada pasien dengam media
liflet ternyata memberikan hasil yang
sangat menggembirakan, dan dapat
mengurangi keluhan post seksio sesaria.
Pengetahuan
atau
kognitif
merupakan domain yang sangat penting
akan terbentuknya tindakan seseorang.
Karena itu pengalaman dan penelitian
ternyata perilaku yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih langgeng dari
pada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan (Notoatmodjo, 2003: 127).
Pengetahuan kognitif yang diberikan
telah tampak dalam apektif dan
psikomotor pasien, dimana sudah terjadi
pengaruh terhadap tingkah laku dan
perasaan yang dituangkan dalam bentuk
berkurangnya keluhan post seksio sesaria.

nyata antara hasil hitung dan nilai


signifikansi maka dapat disimpulkan bahwa,
ada pengaruh yang sangat signifikan dari
postoperative teaching dalam mengurangi
keluhan post seksio sesaria. Besarnya
efektifitas
yang
ditimbulkan
oleh
postoperative teaching terhadap penurunan
jumlah keluhan ibu post seksio sesaria bisa
kita lihat pada gambar 4.

Gambar 4. Pengaruh Postoperative Teaching Terhadap Penurunan Keluhan Post


Seksio Sesaria

Kalau kita lihat dari gambaran diatas,


sangat besar pengaruh dari postoperative
teaching dalam mengurangi keluhan
yang timbul. Kalau kita perhitungkan
dengan
prosentase
pengaruh
postoperative
teaching
dalam
mengurangi keluhan post seksio sesaria ,
dari besarnya keluhan awal dengan
kecilnya keluhan akhir sebagai efek dari
postoperative teaching maka terjadi
pengurangan keluhan sebesar 92%.

37

7. Ladewig, Patricia, 2006. Buku Saku


Keperawatan Ibu, Jakarta, EGC

KESIMPULAN DAN SARAN


Setelah dilakukan pengujian dengan
cara manual didapatkan hasil bahwa nilai
Z hitung 309,9 > dari nilai Z tabel 1,96
dan hasil uji dengan menggunakan SPSS
15 didapatkan hasil = 0,05 >
Asymp.Sig.(2-tailed) = 0,000 dengan
demikian H0 ditolak dan Ha diterima
yaitu terdapat perbedaan timbulnya
keluhan post seksio sesaria pada ibu yang
diberikan
postoperative
teaching
dengan ibu yang tidak diberikan
postoperative teaching. Kesimpulannya
Postoperative
teaching
sangat
berpengaruh
signifikansi
dalam
mengurangi timbulnya keluhan pada
pasien post seksio sesaria.
Disarankan agar seluruh ibu-ibu yang
melahirkan dengan pembedahan seksio
sesaria
diberikan
postoperative
teaching.

8. Llewellyn- Jones, Derele, 2002. DasarDasar Obstetri dan Ginekologi.


Hipokrates. Jakarta
9. London, Marcia, 2006. Asuhan Ibu Dan
Bayi Baru Lahir, Jakarta, EGC
10. Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis
Obstetri Jilid I. Obstetri Fisiologi,
Obstetri Patologi, EGC, Jakarta.
11. ________ 1998. Sinopsis Obstetri Jilid
II. Obstetri Operatif, Obstetri Sosial.
Jakarta: EGC
12. Notoadmojo,
2003,
Kesehatan, Jakarta, EGC

Pendidikan

13. Pramesti, Getut, 2008, Solusi Express


SPSS 15.0, Jakarta, Gramedia

DAFTAR PUSTAKA
14. Prawirohardjo, Sarwono. 2002. Buku
Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal. Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.

1. Badan PPSDM Kesehatan, 2007.


Pedoman Organisasi dan Tata
Laksana
RISBINAKES
Institusi
DIKNAKES. Pusat Pendidikan Tenaga
Kesehatan

15. _________ 2005.


,FKUI, Jakarta

2. Departemen Kesehatan Republik


Indonesia, 2000, Sistem Kesehatan
Nasional.

Ilmu

Kebidanan

16. Sudjana- Nana, 2002. Proposal


Penelitian Di perguruan Tinggi. Sinar
Baru Algensindo. Bandung.

3. Dini Kasdu, 2003, Operasi Caesar


Masalah dan Solusinya, Puspa Swara,
Jakarta.

17. Sugiyono, 2002, Statistika Untuk


Penelitian, Bandung, CV Alfabeta.

4. Ebner Maria, 1995, Second Edition,


Physiotherapy in Obstetri and
Gynecology, Jakarta

18. ________ , 2001. Statistika Non


Parametris Untuk Penelitian. CV
ALFABETA. Bandung.

5. Effendi, 1998, Penyuluhan


Kesehatan, Bandung, Eleman

19. Suliha dkk, 2002, Pendidikan Kesehatan


Di Masyarakat, Jakarta, Surya Kencana

6. Kisner, C, Lynn dan Allen C, 1996,


Therapheutic Exercise Foundation
and Technique, FA Davis,
Philadelphia

38

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RENDAHNYA


PEMANFAATAN IMUNISASI HEPATITIS B0 PADA BAYI USIA 0-7 HARI
DI PALANGKA RAYA

Arainiati Manjat* Riny Natalina** Yeni Lucin***


*Dosen Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya
ABSTRAK
Imunisasi Hepatitis B merupakan salah satu dari 8 suntikan yang harus diterima oleh bayi.
Penyakit Hepatitis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus hepatitis B yang dapat
berkembang menjadi kronis dapat berkembang menjadi pengerasan hati (liver cirrhosis) dan
kanker hati (Depkes 2002).
Tujuan dari penelitian ini untuk mencari faktor-faktor apa yang mempengaruhi rendahnya
pemanfaatan Hb0 pada bayi 0-7 hari di kelurahan kalampangan dan kameloh baru kota
Palangkaraya. Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional dengan melihat
faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya pemanfaatan imunisasi Hb0 pada bayi 0-7 hari dikota
Palangkaraya. Besar sample adalah 63 orang responden yang memenuhi kriteria penelitian, data
dikumpulkan dengan cara wawancara, kusionerdan observasi. Data dianalisis dengan
menggunakan uji statistik dengan metode Chisquare tingkat p value = 0,05.
Tempat penelitian di Kelurahan kameloh baru dan Kelurahan bereng bengkel kecamatan
sebangau palangkaraya. Waktu penelitian Januari-Agustus 2009. Hasil menunjukan bahwa dari
faktor yang tidak melaksanakan imunisasi Hb0 adalah: pekerjaan ibu sebagai IRT : 61,7
%p=0.035, jarak rumah 1 Km 93,3% p=0,001 dan pertolongan persalinan dukun 94,7%
p=0,000%.
Kata Kunci: Imunisasi Hb0

ABSTRACT
Hepatitis B Immunization is one of the 8 shots that must be accepted by the baby. Hepatitis is
an infectious disease caused by hepatitis B virus that can develop into chronic can progress to
hardening of the liver (liver cirrhosis) and liver cancer (MOH 2002). The purpose of this research
is to find what factors that affect the low utilization of Hb0 in infants 0-7 days in the village
kalampangan and new kameloh city of Palangkaraya. This study used cross-sectional study design
with a look at the factors influencing low utilization Hb0 immunization in infants 0-7 days in the
city of Palangkaraya. Large sample of respondents is 63 people who meet the criteria of the study,
data collected by interview, observation kusionerdan. Data were analyzed by using statistical
methods Chi-Square p value = 0.05 level.
Research site in a New Kameloh Village and bereng Sebangau Palangkaraya. The study begin
from January to August 2009. Results showed that the factors which can not carry out immunization
Hb0 is: mothers work as IRT: 61.7% p = 0.035, 1 km distance from the house 93.3% p = 0.001 and
94.7% delivery assistance shaman p = 0.000%.
Key Words: Hb0 Imunization

39

imunisasi hepatitis B0 masih kurang..


Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk
meneliti Faktor-Faktor apa saja yang
Mempengaruhi
Rendahnya
Pemanfaatan
Imunisasi Hepatitis B0 pada Bayi 0-7 Hari Di
Kota Palangka Raya. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui faktor-faktor (usia
ibu, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, penghasilan
keluarga, suku ibu, jarak rumah, budaya
larangan,
KMS)
yang
mempengaruhi
rendahnya pemanfaatan imunisasi Hepatitis B0
pada bayi usia 0-7 hari di kota Palangka Raya.

PENDAHULUAN
Program imunisasi merupakan upaya
kesehatan masyarakat yang terbukti paling
efektif dan telah diselenggarakan di Indonesia
sejak tahun 1956. Program imunisasi menjadi
program pengembangan imunisasi sejak tahun
1977 angka kesakitan dan kematian akibat
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
dapat ditekan ( Depkes, 2005).
Di Indonesia terdapat sekitar 4,6 juta bayi
dan 12,5 juta anak sekolah yang setiap tahun
memerlukan imunisasi. Imunisasi Hepatitis B
merupakan 3 dari minimal 8 suntikan yang
harus di terima oleh bayi tersebut. Penyakit
Hepatitis B adalah penyakit infeksi yang di
sebabkan oleh virus Hepatitis B yang dapat
berkembang menjadi penyakit kronis sehingga
dapat berkembang menjadi pengeras hati ( liver
cirrhosis) dan kanker hati. (Depkes : 2002)
Menurut International Task Force on
Hepatitis B Immunization ( 1988) Indonesia
termasuk dalam kelompok daerah endemis
sedang dan tinggi. Saat ini di perkirakan lebih
dari 11 juta pengidap penyakir Hepatitis B di
Indonesia. Resiko terjadinya penyakit kronis
pada penderita penyakit Hepatitis B jauh lebih
besar bila infeksi terjadi mulai dari awal
kehidupan di bandingkan dengan infeksi terjadi
pada usia dewasa. Mengingat ibu hamil
pengidap Hepatitis B di Indonesia cukup tinggi,
dan angka penularan secara vertical dari ibu
pengidap penyakit Hepatitis B kepada bayinya
sebesar 45,9%, sehingga usia 0-7 hari adalah
period Gold untuk mendapatkan imunisasi
Hepatitis B. Depkes Prop.Kalteng : 2007).
Dilihat dari program nasional imunisasi yang
sudah lama dicanangkan dan tingginya angka
kejadian penyakit Hepatitis B serta rendahnya
angka pemanfaatan imunisasi Hepatitis B0
untuk bayi 0-7 hari di kota Palangka Raya maka
penulis tertarik untuk meneliti hal tersebut.
Masih rendahnya pemanfaatan imunisasi
hepatitis B0 di Kota Palangka Raya dan masih
kurangnya kesadaran masyarakat tentang
pentingnya imunisasi hepatitis B0 bisa dilihat
dari data imunisasi pada tahun 2007 di mana
pada Desa Kalampangan pemanfaatan

METODE
Desain ini adalah penelitian analitik, cross
sectional untuk melihat faktor-faktor yang
mempengaruhi
rendahnya
pemanfaatan
imunisasi B0 pada bayi 0-7 hari di Kota
Palangka Raya Tahun 2008. Tempat penelitian
ini dilaksanakan di Kelurahan Kameloh Baru
dan Kelurahan Bereng Bengkel Kecamatan
Sebangau Palangka Raya Kalimantan Tengah.
Populasi penelitian ini adalah semua ibu
yang mempunyai bayi di 0-12 bulan di
Kelurahan Kameloh Baru dan Kelurahan
Bereng Bengkel Kecamatan Sebangau
Palangka Raya Kalimantan Tengah yang
berjumlah 60 orang. Pada penelitian ini
dilakukan pada seluruh total populasi karena
pengamatan dilakukan pada seluruh subjek,
yaitu pada semua ibu yang mempunyai bayi di
0-12 Bulan Kelurahan Kameloh Baru dan
Kelurahan Bereng Bengkel Kecamatan
Sebangau
Palangka Raya Kalteng 2009.
Analisa data yang digunakan yaitu analisa
univariat dan bivariat (chi square).
HASIL
Analisis Univariat
Hasil analisis univariat disajikan dalam bentuk
distribusi frekuensi perilaku rendahnya
pemanfaatan imunisasi hepatitis B1 menurut
variabel independent (usia, pendidikan,
pekerjaan, penghasilan, suku, jarak rumah ke
fasilitas keseahtan, sarana transportasi dan
riwayat penolong persalinan). Hasil analisis
univariat dapat dilihat pada tabel 1.

40

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Faktor Risiko yang Mempengaruhi Rendahnya


Pemanfaatan Imunisasi Hepatitis B0
pada Bayi Usia 0-12 Bulan Di Kota Palangka Raya Tahun 2009
Frekuensi
Jumlah = 63
Presentase
(%)
Ya
Tidak
Ya
Tidak

Variabel

Pemanfataan Imunisasai Hepatitis B1


Usia Ibu
< 20 thn
20-34 thn
> 34 thn
Pendidikan
Tidak Sekolah
SD
SMP
SMU
Pekerjaan
IRT
Petani/buruh
PNS/Polri/TNI
Wiraswasta

41

1
25
0

8
28
1

1.1 %
47.2 %
0%

88.9 %
52.8 %
100 %

3
5
15
5

0
19
14
4

100 %
20.8 %
51.7 %
55.6 %

0%
79.2 %
48.3 %
44.4 %

23
1
1
1

37
0
0
0

38.3 %
100 %
100 %
100 %

61.7 %
0%
0%
0%

Tabel 1. (Lanjutan)
Frekuensi
Variabel
Jumlah = 63
Ya
Suku
Dayak
Jawa
Banjar
Penghasilan
< Rp. 500.000
RP. 500.000-Rp. 2.000.000
Jarak Rumah Ke Fasilitas Kesehatan
< 1 Km
1 Km
Alat Transportasi
Sepeda
Sepeda Motor
Jalan Kaki
Riwayat Penolong Persalinan
Dokter
Bidan
Nakes Lain
Dukun
Budaya Larangan
Ada
Tidak Ada
Kartu KMS
Ada
Tidak Ada

Distribusi frekuensi bayi yang


diimunisasi hepatitis B1 sebanyak 24.2 %
sedangkan bayi yang tidak diimunisasi
hepatitis B1 sebanyak 58.7 %. Usia ibu
dibagi menjadi 3 kategori yaitu < 20
tahun, 20-35 tahun dan > 35 tahun. Dari
hasil penelitian didapatkan ibu yang
melaksanakan imunisasi Hepatitis B0
pada bayi usia 0-7 hari dengan usia < 20
thn sebanyak 1.1 %, ibu usia 20-35 thn
sebanyak 47.2 % dan usia > 35 tahun 0 %.
Dan yang tidak melaksanakan imunsasi
42

Presentase
(%)
Tidak
Ya

Tidak

6
18
2

26
8
3

18.8 %
69.2 %
40 %

81.3 %
30.3 %
60 %

3
23

6
31

33.3 %
42.6 %

66.7 %
57.4 %

25
1

23
14

52 %
6.7 %

48 %
93.3 %

0
12
14

2
10
25

0%
54.6 %
36 %

100 %
45.4 %
64 %

3
22
0
1

2
12
5
18

60 %
64.7%
0%
5.3 %

40 %
35.3 %
100 %
94.7 %

14
12

9
28

60.9 %
30 %

39.1 %
70 %

26
0

32
5

44.8 %
0%

55.2 %
100 %

pada kelompok usia < 20 thn sebanyak


88.9 %, usia 20-34 tahun sebanyak 52.8
% dan usia > 34 tahun sebanyak 100 %
Pendidikan dibagi menjadi 4
kategori yaitu tidak sekolah, SD, SMP
dan SMU. Dari hasil penelitian
didapatkan ibu yang tidak sekolah
melaksanakan imunisasi hepatitis B1
sebanyak
100
%,
ibu
yang
pendidikannya SD sebanyak 20.8 %,
ibu yang pendidikannya SMP sebanyak
51.7 % dan SMU sebanyak 55.6 %.

Sedangkan
ibu
yang
tidak
melaksanakan imunisasi Hepatitis B0
pada kelompok pendidikan yang tidak
sekolah sebanyak 100 %, pendidikan
SD sebanyak 79.2 %, pendidikan SMP
sebanyak 48,3 % dan pendidikan SMA
sebanyak 44.4 %. Pekerjaan dibagi
menjadi 4 kategori yaitu IRT,
buruh/tani, PNS / POLRI / ABRI dan
Wiraswasta.
Berdasarkan
hasil
penelitian ini didapatkan ibu yang
pekerjaannya
IRT
melaksanakan
imunisasi Hepatitis B1 sebanyak
38.3%, buruh/tani sebanyak100 %,
PNS/POLRI/ABRI sebanyak100 % dan
wiraswasta sebanyak 100 %. Sedangkan
yang tidak melaksanakan imunisasi
Hepatitis B0 hanya dilakukan oleh ibu
rumah tangga sebanyak 61.7 %.
Penghasilan dibagi menjadi 2
kategori yaitu keluarga dengan
penghasilan < Rp. 500.000 dan Rp.
500.000-Rp.2000.000.
Dari
hasil
penelitian ini didapatkan keluarga yang
penghasilan
<
Rp.
500.000
melaksanakan imunisasi hepatitis B1
sebanyak
33.3%
dan
keluarga
penghasilan Rp. 500.000-Rp. 2000.000
sebanyak 42.6 %. Sedangkan yang tidak
melakukan imunisasi Hepatitis B0 yang
mempunyai penghasilan < Rp.
500.000,- sebanyak 66.7 % dan dengan
penghasilan Rp. 500.000,- Rp.
2.000.000,- sebanyak 57.4 %.
Jarak rumah ke fasilitas kesehatan
di bagi jadi 2 kategori yaitu < 1 km dan
> 1 km. Dari hasil penelitian ini
didapatkan keluarga melaksanakan
imunisasi hepatitis B1 dengan jarak
rumah < 1 km sebanyak 52.% dan > 1
km sebanyak 6.7 %. Sedangkan yang
tidak melaksanakan imunisasi Hepatitis
B0 dengan jarak rumah < 1 km
sebanyak 48 % dan jarak rumah > 1 km
sebanyak 93.3 %. Alat transportasi di
bagi menjadi 3 kategori yaitu sepeda,
sepeda motor dan jalan kaki. Dari hasil
penelitian ini didapatkan keluarga yang
melaksanakan imunisasi hepatitis B1

dengan sepeda
sebanyak 0%,
menggunakan sepeda motor sebanyak
54.6 % dan yang berjalan kaki sebanyak
36 %. Sedangkan yang tidak
melaksanakan imunisasi hepatitis B0
yang berjalan kaki sebanyak 64 %,
menggunakan sepeda sebanyak 100 %
dan yang menggunakan sepeda motor
sebanyak 45.4 %
Riwayat penolong persalinan di
bagi menjadi 4 kategori yaitu dokter,
bidan, nakes lain dan dukun. Dalam
penelitian ini didapatkan keluarga yang
melaksanakan imunisasi hepatitis B1
dengan riwayat penolong persalinan
dokter sebanyak 60 %, bidan sebanyak
64.7 % dan dukun sebanyak 5.3 %.
Sedangkan riwayat penolong dari
tenaga kesehatan lain tidak ada.
Sedangkan yang tidak melaksanakan
imunisasi Hepatitis B0 dengan riwayat
penolong persalinan dokter sebanyak 40
%, bidan sebanyak 35.3 %, nakes lain
sebanyak 100 % dan dukun sebanyak
94.7 %.
Budaya larangan di bagi menjadi
2 kategori yaitu ada dan tidak ada. Dari
hasil penelitian ini didapatkan keluarga
yang melaksanakan imunisasi hepatitis
B1 dengan ada budaya larangan dalam
keluarga sebanyak 60.9 % dan tidak ada
budaya larangan sebanyak 30 %.
Sedangkan yang tidak melaksanakan
imunisasi Hepatitis B0 dengan ada
budaya larangan sebanyak 39.1 dan
tidak ada buadaya larangan sebanyak 70
%. Kartu Menuju Sehat (KMS) dibagi
menjadi 2 kategori yaitu ada KMS dan
tidak ada KMS. Dari hasil penelitian ini
didapatkan
yang
melaksanakan
imunisasi hepatitis B1 yang mempunyai
KMS sebanyak 44.8 % sedangkan yang
tidak mempunyai KMS sebanyak 0 % .
Sedangkan yang tidak melaksanakan
imunisasi
Hepatitis
B0
yang
mempunyai KMS sebanyak 55.2 % dan
tidak mempunyai KMS sebanyak 100
%.

43

Analisis Bivariat
Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan
antara variabel independen dengan variabel
dependen, maka dilakukan analisis hubungan
perilaku pelaksanaan asuhan persalinan normal
dengan melihat masing-masing nilai OR dari
variabel faktor-faktor yang diteliti. Nilai
kemaknaan hubungan dilihat dari
P < 0,05
dan 95% confidence interval. Hasil analisis
bivariat dapat dilihat pada table 2.
Hubungan usia ibu dengan pemanfaatan
imunisasi Hepatitis B0 pada bayi usia 0-7
hari.
Dalam penelitian ini diperoleh ibu yang
melaksanakan imunisasi Hepatitis B0 pada bayi
usia 0-7 hari paling banyak dilaksanakan oleh
ibu usia <20 thn sebanyak 37 %. Sedangkan
yang tidak memanfaatkan imunsasi Hepatitis
B0 terbanyak pada kelompok usia < 20 tahun
dan usia 20-35 tahun sebanyak 35.3 %. Hasil
penelitian ini tidak menunjukan adanya
hubungan antara usia dengan pemanfaatan
imunisasi Hepatitis B0 (nilai p=0.948).
Hubungan
pendidikan
ibu
dengan
pemanfaatan imunisasi Hepatitis B0 pada
bayi usia 0-7 hari
Dalam penelitian ini didapatkan ibu
yang paling banyak melaksanakan imunisasi
Hepatitis B0 adalah ibu yang berpendidikan
dasar sebanyak 60.9 %. Sedangkan ibu yang
berpendidikan lanjut melaksanakan imunisasi
Hepatitis B0 sebanyak 39.1 %. Dari hasil
analisis, tidak ada hubungan antara tingkat
pendidikan dengan kurangnya pemanfataan
imunisasi Hepatitis B0 pada bayi usia 0-7 hari
(nilai p = 0.571).
Hubungan
pekerjaan
ibu
dengan
pemanfaatan imunisasi Hepatitis B0 pada
bayi usia 0-7 hari.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan
ibu yang paling banyak melaksanakan
imunisasi Hepatitis B0 adalah ibu yang tidak
bekerja sebanyak 56.5 %. Sedangkan ibu yang
bekerja yang melaksanakan imnunisasi
Hepatitis B0 sebanyak 43.5 %. Hasil penelitian

44

ini tidak mempunyai hubungan (nilai p =


0.505).
Hubungan penghasilan keluarga dengan
pemanfaatan imunisasi Hepatitis B0 pada
bayi usia 0-7 hari.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan
keluarga yang paling banyak melaksanakan
imunisasi Hepatitis B0 dengan penghasilan Rp.
500.000-Rp.2000.000 sebanyak 69.6 %.
Sedangkan keluarga dengan
mempunyai
penghasilan
<
Rp.
500.000,yang
melaksanakan imunisasi Hepatitis B0 sebanyak
30.4 % Hasil penelitian ini tidak bermakna
dengan nilai p = 0.944
Hubungan jarak rumah dengan fasilitas
kesehatan dengan pemanfaatan imunisasi
Hepatitis B0 pada bayi usia 0-7 hari.
Hasil penelitian menunjukan imunisasi
Hepatitis B0 terbanyak di lakukan oleh
keluarga yang rumahnya dengan jarak < 1 km
sebanyak 78.3 %. Dan keluarga dengan jarak
rumah > 1 km yang melaksanakan imunisasi
Hepatitis B0 sebanyak 21.7 %. Hasil penelitian
ini mempunyai hubungan dengan nilai p =
0.002.
Hubungan alat transportasi dengan
pemanfaatan imunisasi Hepatitis B0 pada
bayi usia 0-7 hari.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
keluarga yang banyak melaksanakan imunisasi
Hepatitis B0 keluarga yang mempunyai
transportasinya tidak bermotor sebanyak 58.7
% Sedangkan yang keluarga yang mempunyai
transportasi bermotor yang melaskanakan
imunisasi Hepatitis B0 sebanyak 41.3 %. Hasil
penelitian ini tidak bermakna dengan nilai p =
0.682.
Hubungan riwayat penolong persalinan
dengan pemanfaatan imunisasi Hepatitis B0
pada bayi usia 0-7 hari.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan
bayi yang banyak mendapatkan imunisasi
Hepatitis B0 adalah bayi dengan penolong
persalinan bidan sebanyak 56.3 % sedangkan

yang paling sedikit melaksanakan imunisasi


Hepatitis B0 adalah penolong persalinan dari
tenaga dokter sebanyak 17.4 %. Hasil penelitian
ini tidak bermakna dengan nilai p = 0,0649
Hubungan budaya larangan dengan
pemanfaatan imunisasi Hepatitis B0 pada
bayi usia 0-7 hari.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
keluarga yang paling banyak melaksanakan
imunisasi Hepatitis B0 adalah keluarga yang
tidak mempunyai budaya larangan sebanyak
78.3 % sedangkan yang mempunyai budaya
larangan melaksanakan
imunisasi Hepatitis B0 sebanyak 21.7 %.
Penelitian ini bermakna dengan nilai p = 0.001.
Hubungan KMS dengan pemanfaatan
imunsasi Hepatitis B0 pada bayi usia 0-7
hari.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
imunisasi Hepatitis B0 paling banyak
dilaksanakan oleh bayi yang mempunyai tidak
KMS sebanyak mempunyai 54.3 % dan bayi
mempunyai KMSmelaksanakan imunisasi
Hepatitis B0 sebanyak 45.7 %. Hasil penelitian
ini tidak bermakna dengan nilai p = 0.0945.

45

Tabel 2. Analisis Bivariate Faktor Risiko yang Mempengaruhi Rendahnya


Pemanfaatan Imunisasi
Hepatitis B0 Pada Bayi Usia 0-12 Bulan Di Kota Palangka Raya Tahun 2009
Melaksanakan
Variabel

Usia
< 20 thn
20-35 thn
> 35 thn
Pendidikan
Dasar
Lanjutan
Pekerjaan
Bekerja
Tidak Bekerja
Penghasilan
< Rp. 500.000
RP500.000-Rp
2.000.000
Jarak Rumah Ke
Fasilitas
Kesehatan
< 1 Km
1 Km
Alat Transportasi
Tidak bermotor
Bermotor

Tidak
Melaksanakan

p
value

OR

N = 46

N = 17

17
14
15

37 %
30.4 %
32.6 %

6
6
5

35.3 %
35.3%
29.4 %

0.948

0.978

28
18

60.9%
39.1 %

9
8

52.9%
47.1%

0.571

1.383

20
26

43.5 %
56.5%

9
8

52.9 %
47.1%

14
32

30.4%
69.6%

6
11

35.5 %
64.7%

36
10

78.3%
21.7%

6
11

27
19

58.7%
41.3%

9
8

46

0.505

0.684

\
0.944

0.947

35.3 %
64.7 %

0.002*

6.600

52.9%
47.1%

0.682

1.263

Variabel

Tabel 2. (Lanjutan)
Tidak
Melaksanakan
Melaksanakan
N = 46
%
N = 17
%

Riwayat
Penolong
Persalinan
8
17.4 %
Dokter
26
56.5 %
Bidan
12
26.1%
Nakes Lain
Budaya
Larangan
10
21.7%
36
78.3%
Ada
Tidak Ada
Kartu KMS
21
45.7%
Ada
25
54.3%
Tidak Ada
*Bermakna pada p<0,05
Uji Bivariate menggunakan Chi-square
PEMBAHASAN
1. Hubungan
usia
ibu
dengan
pemanfaatan imunisasi Hepatitis B0
pada bayi usia 0-7 hari.
Umur merupakan salah satu sifat
karakteristik tentang orang yang sangat
utama (Noor, 2000). Umur mempunyai
hubungan dengan tingkat keterpaparan,
besarnya risiko serta sifat resistensi.
Perbedaan pengalaman terhadap masalah
kesehatan/penyakit dan pengambilan
keputusan dipengaruhi oleh umur individu
tersebut (Tawi, 2008).
Dalam penelitian ini diperoleh ibu yang
melaksanakan imunisasi Hepatitis B0 pada
bayi usia 0-7 hari paling banyak
dilaksanakan oleh ibu usia <20 thn
sebanyak 37 %.
Sedangkan yang tidak memanfaatkan
imunsasi Hepatitis B0 terbanyak pada
kelompok usia < 20 tahun dan usia 20-35
tahun sebanyak 35.3 %. Hasil penelitian
ini tidak menunjukan adanya hubungan
antara usia dengan pemanfaatan imunisasi
Hepatitis B0, nilai p=0.948. penelitian ini
tidak sesuai dengan penelitian menurut
Lestari yang menyatakan
data yang
diperoleh dari hasil penelitiannya ini
47

p
value

OR

4
6
7

23.5%
35.3 %
41.2 %

0.649

1.20
7

12
5

70.6%
29.4 %

0.001*

0.11
6

8
9

47.1%
52.9%

0.921

0.94
5

menunjukkan bahwa sebagian besar orang


tua pada bayi yang mendapat imunisasi
berumur antara 20-30 tahun.
2. Hubungan pendidikan ibu dengan
pemanfaatan imunisasi Hepatitis B0
pada bayi usia 0-7 hari
Pendidikan
adalah
proses
penyampaian materi pendidikan kepada
seseorang untuk mendapatkan perubahan
tingkah laku (notoatmodjo, 1993).
Menurut Muhammad, peran seorang ibu
pada program imunisasi sangatlah penting.
Karenanya suatu pemahaman tentang
program ini amat diperlukan untuk
kalangan tersebut. Pemahaman ibu atau
pengetahuan
ibu terhadap imunisasi
sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan
ibu (Tawi, 2008).
Dalam penelitian ini didapatkan ibu
yang paling banyak melaksanakan
imunisasi Hepatitis B0 adalah ibu yang
berpendidikan dasar sebanyak 60.9 %.
Sedangkan ibu yang berpendidikan lanjut
melaksanakan imunisasi Hepatitis B0
sebanyak 39.1 %. Dari hasil analisis, tidak
ada hubungan antara tingkat pendidikan
dengan kurangnya pemanfataan imunisasi
Hepatitis B0 pada bayi usia 0-7 hari nilai p
= 0.571.

Hasil penelitian ini tidak sesuai


dengan
pendapat
Green
dalam
Notoatmodjo (2003) berpendapat bahwa
semakin tinggi tingkat pendidikan maka
pengetahuan bertambah pula, dengan
pengetahuan bertambah maka akan
meningkatkan daya analisis dalam
memecahkan masalah yang dihadapi.
3. Hubungan pekerjaan ibu dengan
pemanfaatan imunisasi Hepatitis B0
pada bayi usia 0-7 hari.
Menurut Idwar, ibu yang bekerja
mempunyai resiko 2,324 kali untuk
mengimunisasikan bayinya dibandingkan
dengan ibu yang tidak bekerja disebabkan
kurangnya informasi yang diterima ibu
rumah tangga dibandingkan dengan ibu
yang bekerja (Tawi, 2008). Dari hasil
penelitian didapatkan ibu yang paling
banyak melaksanakan imunisasi Hepatitis
B0 adalah ibu yang tidak bekerja sebanyak
56.5 %. Sedangkan ibu yang bekerja yang
melaksanakan imnunisasi Hepatitis B0
sebanyak 43.5 %. Hasil penelitian ini tidak
mempunyai hubungan, dimana nilai p =
0.505.
4. Hubungan penghasilan keluarga dengan
pemanfaatan imunisasi Hepatitis B0
pada bayi usia 0-7 hari.
Menurut Noor, variabel sangat erat
hubungannya dengan sosio ekonomi
sehingga merupakan karakteristik. Status
sosio ekonomi erat hubungannya dengan
pekerjaan/jenisnya, pendapatan keluarga,
daerah tempat tinggal/geografis, kebiasaan
hidup dan lain sebagainya. Status ekonomi
berhubungan erat pula dengan faktor
psikologi
dalam
masyarakat
(Tawi, 2008).
Dari penelitian Dwi Lestari, bayi yang
mendapat imunisasi dasar dengan
penghasilan keluarga rata-rata Rp
300.000,00 - Rp 1.000.000,00. Dari hasil
penelitian didapatkan keluarga yang paling
banyak melaksanakan imunisasi Hepatitis
B0 dengan penghasilan Rp. 500.000Rp.2000.000 sebanyak 69.6 %. Sedangkan
keluarga dengan mempunyai penghasilan
< Rp. 500.000,- yang melaksanakan
imunisasi Hepatitis B0 sebanyak 30.4 %

Hasil penelitian ini tidak bermakna dengan


nilai p = 0.944.
5. Hubungan jarak rumah dengan fasilitas
kesehatan
dengan
pemanfaatan
imunisasi Hepatitis B0 pada bayi usia 07 hari.
Menurut Idwar, ada hubungan yang
bermakna antara status imunisasi dengan
jarak dekat dibandingkan
yang jauh
sebesar 1,01 kali. Sedangkan jarak sedang
dibandingkan dengan jarak jauh tidak
terlihat adanya hubungan yang bermakna.
Ibu akan mencari pelayanan kesehatan
yang terdekat dengan rumahnya karena
pertimbangan aktivitas lain yang harus
diselesaikan yang terpaksa ditunda.
Sedangkan
untuk
jarak
sedang
dibandingkan dengan jarak jauh tidak
terlihat adanya hubungan yang bermakna.
Ibu akan mencari pelayanan kesehatan
yang terdekat dengan rumahnya karena
pertimbangan aktivitas lain yang harus
diselesaikan yang terpaksa ditunda (Tawi,
2008).
Hasil
penelitian
menunjukan
imunisasi Hepatitis B0 terbanyak di
lakukan oleh keluarga yang rumahnya
dengan jarak < 1 km sebanyak 78.3 %. Dan
keluarga dengan jarak rumah > 1 km yang
melaksanakan imunisasi Hepatitis B0
sebanyak 21.7 %. Hasil penelitian ini
mempunyai hubungan dengan nilai p =
0.002. Hasil penelitian ini sesuai dengan
hasil penelitian Menurut Syamsuddin HM,
dkk,73,1% bayi yang di imunisai
mempunyai jarak rumah kurang dari 1 km
sedangkan jarak rumah lebih dari 4 km dari
tempat pelayanan imunisasi hanya 1,7%.
6. Hubungan alat transportasi dengan
pemanfaatan imunisasi Hepatitis B0
pada bayi usia 0-7 hari.
Alat transportasi berkaitan dengan
jarak tempuh untuk menuju fasilitas
kesehatan. Semakin jauh jarak yang di
tempuh untuk menuju ke fasilitas
kesehatan
maka
semakin
penting
penggunaan alat transportasi. Keberadaan
alat transportasi sering menjadi kendala
untuk keluarga memanfaatkan fasilitas
kesehatan. Dengan jarak tempuh yang jauh
48

dan tidak adanya alat yang dipakai untuk


menuju ke fasilitas kesehatan membuat
orangtua jarang memanfaaatkan fasilitas
kesehatan.
Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa
keluarga
yang
banyak
melaksanakan imunisasi Hepatitis B0
keluarga yang mempunyai transportasinya
tidak bermotor sebanyak 58.7 %
Sedangkan
yang
keluarga
yang
mempunyai transportasi bermotor yang
melaskanakan imunisasi Hepatitis B0
sebanyak 41.3 %. Hasil penelitian ini tidak
bermakna dengan nilai p = 0.682.
7. Hubungan riwayat penolong persalinan
dengan
pemanfaatan
imunisasi
Hepatitis B0 pada bayi usia 0-7 hari.
Penolong persalinan adalah orang
yang melakukan pertolongan persalinan
pada ibu, baik itu nakes maupun non nakes.
Dari hasil penelitian didapatkan bayi
yang banyak mendapatkan
imunisasi
Hepatitis B0 adalah bayi dengan penolong
persalinan bidan sebanyak 56.3 %
sedangkan
yang
paling
sedikit
melaksanakan imunisasi Hepatitis B0
adalah penolong persalinan dari tenaga
dokter sebanyak 17.4 %. Hasil penelitian
ini tidak bermakna dengan nilai p = 0,0649
8. Hubungan budaya larangan dengan
pemanfaatan imunisasi Hepatitis B0
pada bayi usia 0-7 hari.
Dalam
kepercayaan
masyarakat
tertentu yang masih bersifat tradisional,
kadang-kadang tidak memperboleh kan ibu
nifas dan bayi baru lahir untuk keluar
rumah sebelum 40 hari, hal ini
dimaksudkan agar ibu dan bayi terhindar
dari pengaruh roh-roh jahat. Selain itu ibu
nifas dan bayi baru lahir dianggap lemah
sehingga rentan dengan penyakit. Hal
inilah yang sering mempengaruhi
pemberian imunisasi Hepatitis B0 pada
bayi,
karena
keluarga
tidak
memperbolehkan bayi untuk dibawa
keluar, walaupun dibawa ke fasilitas
kesehatan. Kecuali bila bidan aktif untuk
melakukan kunjungan rumah.
Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa keluarga yang paling banyak

melaksanakan imunisasi Hepatitis B0


adalah keluarga yang tidak mempunyai
budaya larangan sebanyak 78.3 %
sedangkan yang
mempunyai budaya
larangan melaksanakan imunisasi Hepatitis
B0 sebanyak 21.7 %. Penelitian ini
bermakna dengan nilai p = 0.001.
9. Hubungan KMS dengan pemanfaatan
imunsasi Hepatitis B0 pada bayi usia 07 hari.
Kartu menuju sehat merupakan alat
yang sangat penting untuk memantau
tumbuh kembang anak termasuk untuk
memantau pemberian imunisasi pada bayi.
KMS berisi catatan penting mengenai
pertumbuhan, perkembangan, imunisasi
anak, penanggulangan diare, pemberian
kapsul vitamin A, kondisi kesehatan anak,
pemberian ASI ekslusif dan makanan
pendamping ASI, pemberian makanan
anak dan rujukan ke puskesmas atau ke
rumah sakit. Dengan adanya KMS akan
memudahkan bagi petugas kesehatan
untuk memantau pemberian imunisasi,
karena bila bayi mempunyai KMS berarti
ada kontak antara bayi dengan petugas
kesehatan. Dan bila ada kontak antara bayi
dengan petugas kesehatan memungkinkan
pemberian imunisasi dapat berjalan lancar.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
imunisasi Hepatitis B0 paling banyak
dilaksanakan oleh bayi yang mempunyai
tidak KMS sebanyak mempunyai 54.3 %
dan bayi mempunyai KMSmelaksanakan
imunisasi Hepatitis B0 sebanyak 45.7 %.
Hasil penelitian ini tidak bermakna dengan
nilai p = 0.0945.

49

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
2005. Pedoman Teknis Imunisasi Tingkat
Puskesmas. Jakarta. Bakti Husada.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
2006. Modul Materi Dasar 1 Kebijakan
Program Imunisasi. Bakti Husada.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
2007. Profil Kesehatan Kalimantan
Tengah. Palangka Raya.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 31
Maret 2009.BCG, DPT, Polio, Campak
dan Hepatitis B, Imunisasi Wajib Bagi
Semua Bayi. Diunduh dari search
www.google.com. [Tanggal Akses: 17-42009].
Entjang,dr. Indah. 2000. Ilmu Kesehatan
Masyarakat. Bandung. Citra Aditya Bakti.
Hidayat, Azis Alimul. 2005. Pengantar Ilmu
Keperawatan
Anak
1.
Jakarta.
Salemba Medika.
Istawan, dr. Handri. BCG, DPT, Polio, Campak
Dan Hepatitis B Imunisasi Wajib Bagi
Semua Bayi. [Tanggal Akses:23 April
2009].
Lestari, Dwi. 2007. Hubungan Antara Tingkat
Pendidikan Formal Ibu Dengan Ketepatan
Jadwal Imunisasi Dasar Bayi Di Polindes
Ngudi Husada Kecamatan Ngemplak
Boyolali.
Available
search
from
www.google.com. [Accessed 20 Mei
2009].
Notoadmodjo, Soekidjo. 2005.
Metode
Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta.
Jakarta.

50

PERSEPSI BAPAK BAPAK DI PEDESAAN MENGENAI


KELUARGA BERENCANA (KB)
SANTHY, K. SAMUEL
Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya,
Jalan George Obos No. 30 Palangka Raya Kalimantan Tengah
Abstract: Family Planning is a way to improve healthiness and wealthiest of a family through
prolonged birth spacing. It need participation and commitment from both husband and wife. In
Gunung Mas District community participation of Family Planning is still low. Data from Central
Kalimantan Province Health Profile 2005 has showed that number of individu per family is higher
than provincial level 4.62 and 4.18 respectively, whilst Child Mortality Rate (CMR) and Infant
Mortality Rate (IMR) still higher compare to Provincial and National levels. Qualitative study was
used as research method to explore perception of Family Planning among the villagers. Thematic
Content Analysis (Burnad, 1991) was employed to analyze qualitative data. Study objectives was
to get information about Family Planning specifically factors that related to decision to use or not
to use modern contraception. There were 27 participants consist of 8 men and 19 women had
already participated in the study. Focus Group Discussion was employed as data collection method.
Interviewed was tape-recorded and transcribe verbatim. The findings are organized under three
themes: perception about age at first marriage, family size preferences, attitutes toward family
planning. The result has showed that men group want more children than women group.
Key Words: Perception, Family Planning, Participation, Gunung Mas District, Content Analysis,

PENDAHULUAN
Pembangunan kesehatan merupakan upaya
untuk meningkatkan kualitas hidup manusia
yang berkesinambungan dan sedapat mungkin
didukung oleh partisipasi
masyarakat.
Mempunyai keluarga yang sehat dan memiliki
kemampuan ekonomi yang memadai untuk
dapat membiayai pendidikan anak anaknya
merupakan dambaaan setiap orang tua tidak
terkecuali para orang tua di Kalimantan
Tengah. Keluarga berencana (KB) merupakan
salah satu upaya untuk meningkatkan kesehatan
yang memerlukan peran serta aktif dari
masyarakat. Memiliki keluarga kecil dengan
ikut serta dalam program KB merupakan upaya
untuk mencapai tujuan keluarga yang sehat
sejahtera. Rendahnya pemahaman akan
pentingnya program KB akan memperberat
masalah kesehatan terutama untuk kesehatan
ibu, anak, yang juga akan berdampak bagi
kesejahteraan dan perekonomian keluarga itu
sendiri.

51

Derajad kesehatan masyarakat di Kabupaten


Gunung Mas masih belum mencapai
sebagaimana yang diharapkan. Hal ini terlihat
antara lain dari tingginya angka kematian bayi
(AKB) yaitu 40 per 1000 kelahiran hidup
lebih tinggi dari AKB nasional yaitu 35 per
1000 kelahiran hidup(SKDI 2003). Angka
kematian balita (AKABA) juga masih tinggi
yaitu 47 per 1000 kelahiran hidup, lebih tinggi
dari AKABA nasional yaitu 46 per 1000
kelahiran hidup (Dinas Kesehatan Kab.
Gunung Mas, 2006). Status gizi juga masih
belum menggembirakan karena berdasarkan
pemantauan status gizi (PSG) posyandu
prevalensi kekurangan energi protein (KEP)
total sebesar 14,56% dari 371 balita yang
diukur, dan kecamatan rawan gizi ada 1
kecamatan dari 2 kecamatan yang
melaksanakan pemantauan status gizi (DHS II
Kab. Gunung Mas, 2006).
Laki-laki diharapkan berbagi tanggung
jawab terhadap kesehatan reproduksi wanita

Sementara itu jumlah rata rata jiwa per


rumah tangga di Kabupaten Gunung Mas
merupakan yang tertinggi untuk Kalimantan
Tengah yaitu 4,62 dibandingkan dengan rata
rata Provinsi 4,18. sedangkan 15,24 %
penduduk kabupaten Gunung Mas masuk
kategori keluarga miskin (Dinas Kesehatan
Provinsi Kalteng, 2005).
Kesehatan reproduksi merupakan tanggung
jawab bersama antara pasangan suami istri
karena laki-laki dan perempuan memiliki
ketergantungan dalam menghasilkan putra
putri yang berkualitas baik secara fisik
maupun secara intelektual. Seperti dibanyak
daerah di Indonesia laki-laki adalah pengambil
keputusan dalam rumah tangga, keluarga
maupun masyarakat. Pada rumah tangga di
Kalimantan Tengah umumnya kaum laki-laki
yang mengambil keputusan mengenai jumlah
anak dan perempuan umumnya akan meminta
ijin menggunakan alat kontrasepsi modern
untuk menjarangkan kehamilan. Kekuasaan
ini merupakan faktor utama dalam keputusan
yang diambil terhadap kesehatan reproduksi
yang bisa secara langsung maupun tidak
langsung menyebabkan tingginya angka
kelahiran, kesakitan dan kematian ibu. Lakilaki dapat mengambil peran penting dalam
kesehatan reproduksi untuk menolong istri
mereka dengan cara menjarangkan kelahiran
anak
mereka
dengan
menggunakan
kontrasepsi modern.
Banyak masalah kesehatan terutama yang
berkaitan dengan kesehatan ibu dan anak yang
sebagian besar dapat diatasi dengan cara ber
KB, namun pemanfaatan KB masih rendah
dan belum terdata dengan baik bahkan masih
ada daerah yang tidak memiliki data akseptor
KB aktif. Dari data KB yang ada di kabupaten
Gunung
Mas
pemanfaatan
Metode
Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) masih
jauh dari yang diharapkan yaitu sebesar 20%
(DHS II Kab. Gunung Mas, 2006).
Merubah persepsi laki-laki terhadap
kesehatan reproduksi menjadi sangat penting
tidak saja untuk kesehatan istri mereka namun
untuk kesehatan mereka sendiri dan masa
depan anak anak mereka.

dan mempunyai komitment sebagai orang


tua yang menghasilkan putra putri yang
berkualitas. Namun partisipasi laki-laki
dalam arti fisik mendukung para istri untuk
menggunakan alat kontrasepsi modern masih
jauh dari yang diharapkan. Data menunjukan
bahwa partisipasi laki-laki dalam kesehatan
reproduksi masih sangat rendah. Untuk
mengetahui mengapa pemanfaatan KB di
kabupaten Gunung Mas masih rendah maka
perlu dilakukan suatu penelitian mengenai
persepsi pasangan usia subur terutama bapak
bapak penduduk desa terpencil terhadap KB
dikabupaten Gunung Mas yang hasilnya
dapat dijadikan bahan atau referensi untuk
perencanaan
program
KB
terutama
penyuluhan untuk daerah terpencil dan
sangat terpencil yang jauh dari sarana
pelayanan kesehatan modern.

METODE
Tujuan penelitian ini yaitu untuk
mengetahui persepsi mengenai KB oleh
pasangan usia subur (PUS) di Kabupaten
Gunung Mas yang meliputi pengetahuan
pasangan usia subur mengenai KB, sikap
mengenai KB dan praktek penggunaan KB
oleh pasangan usia subur. Penelitian ini
merupakan jenis penelitian kualitatif
(Streubert
and
Carpenter,
1999)
menggunakan fokus grup diskusi (FGD)
untuk mendapatkan informasi/ phenomena
yang mendalam mengenai isu KB yang
memberi pengaruh terhadap keputusan
alat kontrasepsi modern. Ijin penelitian ini
didapat dari Badan Penelitian Dan
Pengembangan
Daerah
(Balitbangda)
Provinsi Kalimantan Tengah dan dari Dinas
Kesehatan Kabupaten Gunung Mas.
Informed consent form diberikan kepada
setiap peserta FGD setelah dijelaskan
mengenai tujuan penelitian dan keikut
sertaan mereka dalam penelitian adalah
secara sukarela sehingga mereka bebas untuk
tidak
mengikuti
/berhenti
dari
kegiatan/penelitian kapan saja dan tidak

52

untuk mengunakan atau tidak menggunakan


alat kontrasepsi
modern. Wawancara
dilakukan oleh peneliti yang menggunakan
tape recorder dan catatan lapangan. Interview
yang dilakukan menggunakan bahasa daerah
setempat yaitu bahasa Dayak Ngaju dan
panduan wawancara semi structur dari
Bowling ( 2001). Ada 3 Fokus Grup Diskusi
terdiri dari 1 grup laki laki beranggotakan 8
orang dan 2 grup perempuan yang masing
masing beranggotakan 9 dan 10 yang ikut
dalam fokus grup diskusi adalah 27 orang.
Partisipan didapat melalui teknik Snowball
Sampling (Polit & Hungler, 1999) yaitu
dengan cara peneliti menemui kepala desa
meminta untuk menunjuk beberapa orang
penduduk desa yang sesuai dengan kriteria
inklusi untuk menjadi anggota grup diskusi.
Selanjutnya orang yang terpilih diminta oleh
peneliti untuk menunjukan kenalan atau rekan
mereka yang sesuai dengan kriteria inklusi
untuk menjadi partisipan dalam penelitian ini
sampai jumlah partisipan untuk fokus grup
diskusi terpenuhi.
Kriteria inklusi partisipan adalah:
a. pasangan usia subur
b. bersedia ikut dalam FGD
c. penduduk desa setempat
Variabel yang dikumpulkan yaitu variabel
demograpi, pengetahuan, sikap dan praktek
KB. Jawaban responden direkam dalam kaset
dan di tulis kata perkata (transcribe verbatim)
agar dapat dianalisa secara menyeluruh
menggunakan metode Thematic Content
Analysis (Burnard, 1991). Diharapkan akan
diperoleh informasi mengenai data demograpi,
orang (Krueger, 1994) sehingga total
partisipan pengetahuan, sikap dan praktek KB
dari pasangan usia subur yang menjadi
partisipan sehingga didapat pengertian yang
mendalam mengenai faktor yang berperan
dalam keputusan pasangan usia subur untuk
menggunakan atau tidak menggunakan ada
sanksi ataupun pengaruh terhadap layanan
kesehatan yang akan mereka terima
dikemudian hari.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Lokasi penelitian adalah didesa
Dandang yang merupakan desa terpencil di
kecamatan Kahayan Hulu Utara kabupaten
Gunung Mas. Untuk mencapai desa tersebut
dapat melalui jalan darat yang kondisi jalan
sangat sulit dilalui kalau musim hujan atau
melalui sungai selama 5 jam menggunakan
speedboat dari kota Palangka Raya atau 2
jam speedboat dari kota Kuala Kurun yang
merupakan ibukota kabupaten Gunung Mas
ke kota Tumbang Miri yang merupakan
ibukota kecamatan. Dari Tumbang Miri ke
desa Dandang ditempuh dengan berjalan
kaki lebih kurang 15 20 menit. Desa
Dandang berpenduduk lebih kurang100
kepala keluarga (KK) dan penduduk asli
adalah suku Dayak. Bahasa lokal yang
digunakan sehari hari adalah bahasa Dayak
Ngaju. Fokus grup diskusi dilaksanakan di
gedung sekolah dasar negeri dan terpisah
antara grup laki-laki dan grup perempuan.
Setiap partisipan diberi kompensasi sebesar
Rp. 20.000 untuk pengganti waktu yang
digunakan untuk ikut dalam fokus grup
diskusi. Waktu untuk fokus grup diskusi
berkisar antara 2,5 - 3 jam. Dari hasil fokus
grup diskusi didapat usia partispan laki laki
terendah adalah 30 tahun dan tertinggi
adalah 50 tahun sedangkan partisipan
perempuan usia terendah adalah 17 tahun
dan yang tertinggi adalah 45 tahun.
Pendidikan partisipan terendah adalah
tamat SD dan tertinggi adalah D1 PGSD.
Pekerjaan partisipan laki laki umumnya
petani dan untuk partisipan perempuan
adalah ibu rumah tangga (IRT). Usia
partisipan pada saat menikah: laki laki
terendah 18 tahun dan tertinggi 26 tahun
sama dengan partisipan perempuan usia
terendah adalah 16 tahun dan tertinggi 26
tahun. Ada dua orang partisipan yang belum
mempunyai anak dan anak terbanyak dari
partisipan adalah 7 orang.

53

Jumlah anak ideal menurut partisipan laki laki


umumnya menginginkan anak lebih banyak
dibandingkan dengan partisipan perempuan.
Dari hasil fokus grup diskusi didapat bahwa
tidak ada partisipan laki laki yang
menggunakan kontrasepsi modern untuk laki
laki seperti kondom ataupun metode
kontrasepsi lainnya. Masyarakat pedesaan
mempunyai tradisi dan kondisi ekonomi yang
berpengaruh terhadap pengetahuan sikap dan
perilaku terhadap keluarga berencana. Ada 3
thema yang muncul dari hasil wawancara
fokus grup diskusi yaitu usia menikah, jumlah
anak yang diinginkan dan pandangan terhadap
keluarga berencana. Hampir semua partisipan
laki laki mengatakan usia menikah yang ideal
adalah 20 25 tahun seperti yang dinyatakan
oleh seorang partisipan laki laki:
Laki-laki sebaiknya menikah antara umur 2025 tahun kalau tidak nanti terlalu tua untuk
memelihara anak, saya sendiri menikah pada
umur 20 tahun.
Pernyataan salah satu partisipan laki laki
berikut ini: Anak kalau bisa 12 orang atau
lebih supaya kalau tua ada yang memelihara
dan juga kalau pilkada kita perlu banyak
orang bisa banyak suara Persepsi partisipan
laki laki mengenai KB dipengaruhi oleh
pengalaman yang dialami oleh istrinya sebagai
akseptor KB seperti yang dikatakan oleh salah
satu partisipan istri saya perdarahan terus
ketika menggunakan KB suntik dan tidak ada
pengobatan yang memuaskan ataupun cepat
diperhatikan oleh BKKBN Selain itu harga
yang relatif mahal untuk ukuran Untuk jumlah
anak partisipan laki laki menghendaki anak
lebih banyak seperti pedesaan seperti
penyataan berikut ini : Istri saya suntik dari
mantri dan mahal biayanya sekali suntik
bayarnya Rp.35.000.
Implant dan IUD
mendapat tanggapan negatif seperti yang
dinyatakan oleh seorang ibu partisipan: Susuk
dan spiral itu bisa berpindah tempat, susuk
bisa masuk kedalam dada dan sipral bisa
masuk perut Secara keseluruhan
baik
partisipan laki laki ataupun perempuan
mengatakan bahwa pemasangan ataupun
penggunaan alat kontrasepsi adalah atas ijin
dari suami
dan jarang suami menolak
keinginan istri untuk berKB.

Kesimpulan dan Saran


Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari fokus grup diskusi
persepsi partispan terutama laki laki
terhadap keluarga berencana berdasarkan
thema yang muncul dari fokus grup yaitu
usia menikah, jumlah anak yang ideal dan
pandangan terhadap keluarga berencana
dapat disimpulkan sebagai berikut : usia
ideal menikah ulntuk laki laki adalah antara
20 25 tahun sedangkan untuk perempuan
lebih muda dari laki laki yaitu antara 16
20 tahun. Tidak terlihat alasan kemapanan
ekonomi atau mempunyai penghasilan yang
tetap untuk laki laki yang akan menikah.
Hampir semua partisipan laki laki masih
menyukai konsep keluarga besar yaitu
mempunyai banyak anak dengan berbagai
macam alasan. J umlah anak yang ideal
menurut partisipan laki laki lebih banyak
dibandingkan partisipan perempuan ada 2
orang
partisipan
laki
laki
yang
menyebutkan mereka meninginkan jumlah
anak lebih dari 10 orang
sedangkan
partisipan
perempuan
rata
rata
menginginkan anak 3 sampai 5 orang.
Walaupun sebagian besar partisipan
mengatakan mereka mendukung program
keluarga berencana namun beberapa hal
yang membuat sulit untuk mengikuti
program KB antara lain ketersediaan alat
kontrasepsi termasuk injeksi dan pil
ditambah lagi biaya yang relatif mahal
untuk ukuran pedesaan serta tenaga
kesehatan yang melayani khususnya bidan
sangat terbatas. Persepsi terhadap alat
kontrasepsi terutama kontrasepsi jangka
panjang masih belum diterima secara baik
karena banyak pasangan usia subur
mendapat informasi yang salah sehingga
memutuskan untuk tidak menggunakan.
Penggunaan kontrasepsi dianggap adalah
domain perempuan sehingga tidak ada
partisipina pria yang ber KB walaupun
untuk menggunakan alat kontrasepsi para
ibu ibu harus minta izin suami. Secara
tradisi didesa peran perempuan adalah
mengurus rumah tangga dan kaum lelaki
54

bertani ladang atau menyadap karet sehingga


tidak mengherankan sedikit informasi yang
didapat oleh pasangan usia subur mengenai
KB terutama yang mempunyai pekerjaan
bertani.

Daftar Rujukan
Bowling, A. . 2002. Research Method In
Health: Investigating health and health
services.
Buckingham,
UK:
Open
University Press

Saran
Burnard, P. (1991). A method of analysing
interview transcripts in qualitative research.
Nurse Education Today, 11, 461-466.

Berdasarkan hasil kesimpulan maka dapat


disarankan penyuluhan mengenai keluarga
berencana terutama beragam pilihan untuk
kontrasepsi pria dan wanita lebih di intesifkan
lagi. Kelompok laki laki perlu mendapat
perhatian untuk untuk penyuluhan keluarga
berencana karena mereka masih merupakan
pengambilan keputusan mengenai jumlah
anak yang diinginkan untuk keluarga tersebut.
Perlu sosialisasi manfaat KB untuk
menurunkan angka kesakitan dan kematian
ibu dan anak kepada pasangan yang akan
menikah agar nanti dapat memutuskan alat
kontrasepsi yang akan dipakai di kemudian
hari.

DHS II Kabupaten Gunung Mas. 2006.


Proposal Projek DHS II Kabupaten
Gunung Mas. Kuala Kurun: Dinas
Kesehatan Kabupaten Gunung Mas
Dinas Kesehatan Kabupaten Gunung Mas.
2006. Profil Kesehatan kabupaten Gunung
Mas 2005. Kuala Kurun: Dinas Kesehatan
Kabupaten Gunung Mas
Dinkes Provinsi Kalteng . 2006. Profil
Kesehatan Kalimantan Tengah 2005.
Palangka Raya: Dinas Kesehatan Provinsi
Kalimantan Tengah.
Krueger, R. A.. 1994. Focus Groups: A
practical guided for applied research (2nd
ed.). Thousand Oaks, CA: Sage
Publications
Polit , D.P. and Hungler, B. P. 1999.
Nursing Research: Principles and methods.
Philadelphia: Lippincot
Streubert , H.J. and Carpenter, D.R. 1999.
Qualitative
Research
in
Nursing:
Advancing the Humanistic Imperative.
Philadelphia: Lippincott.

55

PANDUAN PENULISAN NASKAH


SISTEMATIKA PENULISAN LAPORAN AKHIR PENELITIAN
Unsur - unsur yang ada dalam laporan akhir Penelitian Risbinakes
1. Halaman Sampul, Judul dan Penelitian
2. Kata Pengantar
3. Daftar Isi
4. Abstrak (Indonesia an Inggris)
5. Bab I Pendahuluan, meliputi : Latar Belakang masalah, tujuan umum, tujuan khusus,
hipotensi, manfaat penelitian.
6. Bab II Tinjauan Pustaka, Meliputi : kerangka teori, kerangka konsep dan definisi
operasional.
7. Bab III Metodologi Penelitian meliputi ; lokasi penelitian, waktu penelitian, desain
penelitian, instrumen penelitian, populasi dan sample, tehnik pengumpulan data, tehnik
pengolahan data, dan analisa data statistik.
8. Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan, meliputi : Penyajian hasil pengumpulan data
dalam bentuk tabel dan atau grafik, membandingkan hasil penelitian dengan bahan publikasi
lain yang sejenis dengan penelitian seperti buku, jurnal dll.
9. Bab V Kesimpulan dan Saran, Kesimpulan pada umumnya mengemukakan hasil
pembahasan yang berkaitan dengan tujuan khusus sehingga dapat menggambarkan
sekaligus menjawab tujuan umum, sedangkan saran adalah tindak lanjut dari kesimpulan
yang diperoleh sehingga jika saran ini dilakukan maka akan dapat mengurangi atau
mengeliminasi masalah yang ada.
10. Daftar Pustaka
11. Lampiran, meliputi jadwal kegiatan, surat izin selama penelitian, hasil analisa statistic (bila
ada) denah lokasi, dll yang dianggap mendukung tujuan penelitian.
Petunjuk Bagi Calon Penulis Jurnal Forum Kesehatan
1. Jurnal Forum menerima naskah tentang Kesehatan atau yang berhubungan dengan
Kesehatan, baik berupa telaah pustaka (hanya atas undangan) dan hasil penelitian yang
bermanfaat bagi kemajuan ilmu Kesehatan maupun perbaikan program kesehatan
khususnya di Indonesia. Naskah belum pernah dimuat ataupun sedang diajukan untuk
dimuat dalam media komunikasi lainnya. Naskah yang dikirim belum tentu dimuat
tergantung pada pertimbangan Dewan Redaksi. Naskah yang tidak dimuat tidak akan
dikembalikan kecuali disertai perangko Pengiriman.
2. Naskah yang ditulis untuk Jurnal Forum Kesehatan diketik dengan huruf Times New
Roman, ukuran 12 pts, dengan jarak (2) spasi, diatas kertas HVS ukuran kuarto (A4),
panjang naskah minimum 8 maksimum 15 halaman. Naskah diketik dengan (2) kolom,
dikirim rangkap dua (2) disertai dengan Disket,CD-Rom atau Flasdisk ke alamat :
56

Jurnal Forum Kesehatan, Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya, Unit


Perpustakaan Jalan George Obos Nomor 32 Palangka Raya 73112, Telepon (0536) 3230730
/ 08561073357, email : forumkesehatanpky@gmail.com.
3. Judul naskah dicetak dengan huruf besar ditengah dengan huruf sebesar 14 pts. Peringkat
judul dicetak dengan ukurang yang berbeda :
Peringkat 1 (Huruf Besar Semua, Teal, Rata Tepi Kiri), Pts 12
Peringkat 2 (Huruf Besar Kecil, Tebal, Rata Tepi Kiri) pts 11
Peringkat 3 (Huruf Besar Kecil, tebal-Miring, Rata Tepi Kiri) pts 10
4. Nama penulis artikel/naskah dicantumkan tanpa gelar akademik dan ditempatkan dibawah
judul artikel. Nama penulis hendaknya dilengkapi dengan alamat korespondensip serta nama
dan alamat lembaga tempat peneliti. Jumlah penulis maksimum tiga (3) orang. Dalam hal
peneliti dilakukan oleh tim, penyunting hanya berhubungan dengan penulis utama atau
penulis yang namanya tercantum pada urutan pertama. Penulis dianjurkan menggunakan
email untuk memudahkan komunikasi. Penulis utama juga diminta untuk mengisi Formulir
pernyataan originalitas naskah yang ditulis. Formulir disediakan oleh Jurnal Forum
Kesehatan.
5. Dibawah nama penulis dicantumkan abstrak dalam bahasa Inggris untuk naskah berbahasa
Indonesia dan dalam bahasa Inggris bila naskah berbahasa Inggris. Abstrak ditulis tanpa
alenia (paragraf) maksimum 200 kata, satu spasi, disertai lima (5) kata kunci.
6. Artikel/naskah ditulis dalam bahasa Indonesia/Inggris dengan sistematika penulisan naskah
asli (hasil penelitian) terdiri atas : Pendahuluan, Tinjauan Pustaka, Metode, Hasil dan
Pembahasan, Kesimpulan dan Saran dan Rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang
dirujuk).
7. Segala Sesuatu yang menyangkut Ethical clearance, perijinan, pengutipan dan penggunaan
software computer untuk pembuatan naskah atau hal lainnya yang terkait dengan HKI yang
dilakukan oleh penulis, berikut konsekuensi hukum yang mungkin timbul karenanya,
menjadi tanggung jawab penuh penulis artikel.
8. Sebagai prasyarat bagi pemprosesan artikel para penyumbang artikel wajib membayar biaya
konstribusi cetak sebesar Rp. 300.000,- (Tiga Ratus Ribu Rupiah) per judul dan per satu kali
terbit sebesar Rp. 200.000,- (Dua Ratus Ribu Rupiah) sebagai Imbalannya penulis menerima
nomor bukti pemuatan sebanyak 2 (dua) ekamplar secara Cuma-Cuma.
9. Biodata seluruh penulis yang memuat data pribadi ditulis pada lembar terpisah. Data pribadi
diisi nama, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, instansi tempat kerja, alamat kantor dan
rumah beserta nomor telpon/hp, riwayat pendidikan (hanya Pendidikan Tinggi), pengalaman
penelitian dan publikasi.
10. Judul tabel ditulis pada bagian atas, sedangkan judul grafik atau bagan ditulis dibagian
bawah. Lambang dan singkatan kecuali satuan ukuran yang sudah baku hanya digunakan
dalam tabel dengan mencantumkan keterangan pada bagian bawah. Lambang atau singkatan
didalam naskah boleh digunakan hanya sesudah ada penjelasan atau kepanjangannya.
11. Sumber rujukan sedapat mungkin menggunakan pustaka terbitan 10 (sepuluh) tahun
terakhir. Rujukan yang diutamakan adalah sumber sumber primer berupa laporan penelitian,
atau artikel-artikel dalam jurnal dan majalah ilmiah yang terakreditasi secara nasional atau
Internasional. Jumlah rujukan minimum delapan (8) dan maksimum Lima Belas (15).
Pencantuman sumber pada kutipan langsung disertai dengan nomor halaman tempat asal
kutipan.
contoh : (Polit and Hungler, 2006:47)
57

12. Penulisan rujukan menggunakan Harvard Style diurut secara alfabetis seperti contoh berikut
ini;
Buku :
Green, S.B.& Salkind, N.J. 2004. Using SPSS for Windows and Macintosh Analysing and
Understanding Data. Fourth Editon.New Jersey: Prentice Hall
Buku Kumpulan Artikel :
Nicol,M.& Glen,S. (Eds.). 1999. Clinical Skills in Nursing: The return of the practical
room?
London: McMilla Press LTD
Atikel dalam Buku Kumpulan artikel :
Rideout, E.& Carpio,B.2001. The Problem-Based Learning Model of Nursing Education. In
B.Rideout (Eds.)Transforming Nursing Education Through Problem-Based Learning.(p.2149). Toronto: Jones and Bartllet Publisher.
Ariel dalam Jurnal atau Majalah :
Husaini, Y.K.2006. Perilaku Memberi Makan Untuk Meningkatkan Tumbuh Kembang
Anak.
Gizi Indonesia, 29 (1): 58-64
Artikel Dalam Koran :
Sunarty, S.31 Desember, 2010. Penurunan Kepekaan Sosial Remaja.Kalteng Post, hlm.11
Tulisan/berita dalam Koran (tanpa nama pengarang) :
Kalteng Post. 31 Desember,2010.RSUD Berlaku Tarif Baru, hlm.9.
Dokumen Resmi :
Direktorat Ketenagaan Dirjen Dikti, 2006. Himpunan Peraturan Tentang Pola Pembinaan
Karier Dosen Perguruan Tinggi di Indonesia.Jakarta: Depdiknas.
Buku Terjemahan:
Tits,S,Mayers,M.,Wodak,R.& Vetter,E.1999. Metode Analisis Teks & Wacana.
Terjemahan Oleh : Abdul Syukur Ibrahim (Eds.) Gazali,Frans Thomas dan Suwarna
Priggawidagda., 2000. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Skripsi, Thesis, Disertasi, Laporan Penelitian:
Kuncoro,T.1996. Pengembangan Kurikulum pelatihan Magang di STM Nasional Malang
Jurusan Bangunan Program Studi Bangunan Gedung : Suatu studi Berdasarkan Kebutuhan
Dunia Usaha Jasa Konstruksi. Tesis Tidak Diterbitkan Malang - PPS IKIP MALANG.

58

Vous aimerez peut-être aussi