Vous êtes sur la page 1sur 9

DISUSUN OLEH :

dr. Sarita Sharchis


PENDAMPING :
dr. ANA SELOWATI

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


PERIODE 7 NOVEMBER 2014 6 NOVEMBER 2015
PUSKESMAS KETAPANG I
SAMPIT
2014

Pendahuluan
Kasus ini merupakan kasus asli. Kasus ini dipilih karena pasien mempunyai gejala
yang khas untuk penyakit lepra. Masalah pada kasus ini adalah pasien sudah kurang lebih
merasakan keluhan tersebut dan kakak laki-laki pasien juga sebelumnya pernah mengalami
hal serupa.

LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama
Umur
Alamat
Suku
Tanggal

: Ny. Misrimah
: 29 tahun
: Ds Batuah
: Madura
: 26 November 2014

Keluhan Utama : Bengkak - bengkak di wajah


Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien 29 tahun datang ke Puskesmas dengan keluhan utama bengkak di muka.
Bengkak sudah dirasa kurang lebih sejak 1 tahun yang lalu. Bengkak berwarna kemerahan,
tidak nyeri, menyebar hampir di seluruh wajah. Kakak laki-laki pasien kurang lebih 5 tahun
yang lalu pernah mengalami hal serupa dan didiagnosis penyakit kusta. Pasien belum pernah
berobat. Selain itu, pasien juga mengeluh telapak kaki kanannya mati rasa.

Riwayat kebiasaan pribadi :


Pasien sempat tinggal serumah kurang lebih selama 7 tahun bersama dengan kakak
laki-lakinya. Peralatan mandi pasien terpisah dengan kakaknya. Pasien sekarang tinggal
sendiri di Sampit.

Pemeriksan fisik
Keadaan umum
Kesadaran
Tekanan darah
Nadi
Respiratory rate
Suhu
Kepala
Mata
THT
Leher

: Tampak sakit ringan


: Compos mentis
: 130/80 mmHg
: 89 x/menit
: 22 x/menit
: 360c
: Tidak ada kelainan
: Konjungtiva tidak anemis kiri kanan, sklera ikterik (-/-),distribusi alis
mata tidak merata kiri dan kanan
: Membran timpani intak, cavum nasi lapang/lapang, deformitas (-),
tonsil T1-T1 tidak hiperemis, uvula di tengah
: Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Thorax
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Palpasi
Auskultasi
Perkusi
Ekstremitas

Status kulit
Ukuran
Susunan
Bentuk lesi
Penyebaran

:
: Pergerakan simetris
: Vokal fremitus simetris
: Sonor kanan kiri
: Rhonki (-/-), wheezing (-/-), bunyi napas dasar vesikuler
:
: Tampak datar
: Nyeri tekan (-)
: Bising usus 5x/menit
: Timpani
: Edema (-),akral hangat, kontraktur kaku pada jempol kaki kiri,
telunjuk tangan kanan, kelingking dan jempol kaki kanan, mati rasa
pada telapak kaki kanan dan kiri
: plakat
: anular
: Teratur
: difus, regional

Diagnosis
: Suspek Morbus Hansen
Diagnosis banding:Vitiligo
Penatalaksanaan :
-

Rujuk poli spesialis kulit kelamin untuk diperiksa BTA


Jika BTA (+), lakukan pengobatan

Hasil Pemeriksaan
Hematologi lengkap
Pemeriksaan
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Eosinofil
Basofil
Neutrofil
Limfosit
Monosit
Trombosit
Eritrosit
MCV
MCH
MCHC

Hasil
14,4
43,7
7,0
1
1
83
8
7
199
6,00
73
24,0
33,0

Nilai normal
12,3-15,3 g/dl
35,9-44,6 gr/dl
4,4-11,0x103 /uL
0-3%
0-1%
50-70%
20-40%
2-8%
150-400x103/uL
4,5-5,0x106/uL
80-96 fl
27,5-33,2 pg
33,4-35,5 g/dl

Hasil Pemeriksaan
Sampel : Kerokan kulit
Pemeriksaan
Cuping telinga kanan
Cuping telinga kiri

Hasil
Ditemukan bakteri
asam
Ditemukan bakteri
asam

Nilai normal
tahan Tidak ditemukan bakteri
tahan asam
tahan Tidak ditemukan bakteri
tahan asam

LATAR BELAKANG
Kusta merupakan penyakit infeksi kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium
leprae, bersifat intraselular obligat, ditemukan oleh G. A. HANSEN tahun 1874 di Norwegia,
berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um x 0,5 Um, tahan asam dan alkohol serta gram positif.
Cara penularan belum diketahui pasti hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui
kontak langsung antarkulit yang lama dan erat, selain itu secara inhalasi, sebab M. leprae
masih dapat hidup beberpa hari dalam droplet. Masa tunas antara 40 hari sampai 40 tahun,
umumnya beberapa tahun, rata-rata 3-5 tahun. Kusta dapat ditemukan di kulit, folikel rambut,
kelenjar keringat, dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat banyak
mengandung M. leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas.
Pada tahun 1991 World Health Assembly membuat resolusi tentang eliminasi kusta
sebagai problem kesehatan masyarakat pada tahun 2000 dengan menurunkan prevalensi kusta
menjadi di bawah 1 kasus per 10.000 penduduk. Di Indonesia hal ini dikenal sebagai
Eliminasi Kusta tahun 2000 (EKT 2000).

KUSTA
Gejala Klinis
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate pada penyakit kusta
yang terdiri atas berbagai tipe dan bentuk, yaitu :
TT
: Tuberkuloid polar, bentuk stabil
BT
: Borderline tuberculoid
Pausibasilar
BB
: Mid borderline
Bl
: Borderline lepromatous
Multibasilar
LL
: Lepromatosa polar
Bagan diagnosis klinis menurut WHO (1995)
Pausibasilar
1. Lesi kulit (makula datar, - 1-5 lesi
papul
yang
meninggi, - hipopigmentasi
nodus)
-distribusi tidak simetris
- hilangnya sensasi yang
jelas
2.
Kerusakan
saraf
- Hanya satu cabang
(menyebabkan
hilangnya
saraf
sensasi/kelemahan
otot
yang dipersarafi oleh saraf
yang terkena)
3. BTA
- Negatif

Multibasilar
- > 5 lesi
- Eritematosa
- distribusi simetris
- hilangnya sensasi kurang
jelas
- Banyak cabang saraf

Positif

Deformitas pada kusta dapat dibagi dalam deformitas primer dan sekunder.
Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi
terhadap M. leprae, yang mendesak dan merusak jaringan sekitar. Deformitas sekunder terjadi
sebagai akibat kerusakan saraf. Kerusakan saraf sering terjadi pada N. ulnaris, medianus,
radialis, poplitea lateralis, tibialis posterior, fasialis, dan trigeminus.

Pemeriksaan bakterioskopik
Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit/usapan dan kerokan mukosa hidung yang
diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam dengan Ziehl-Neelsen.
Cara pengambilan bahan dengan menggunakan skalpel steril. Lesi didesinfeksi,
dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar iskemik, sehingga mengandung sedikit mungkin
darah. Irisan harus sampai di dermis agar banyak mengandung sel leprae. Kerokan dioles di
gelas alas, difiksasi, diwarnai dengan Ziehl Neelsen.

Reaksi Kusta
Dalam klasifikasi yang bermacm-macam, yang paling banyak dianut :
- E.N.L. (Eritema Nodusum Leprosum)/Tipe II
- Reaksi reversal/upgrading/Tipe I
ENL : Pada kulit akan timbul gejala klinis berupa nodus eritema, dan nyeri dengan tempat
predileksi di lengan dan tungkai
Reversal : Sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru
dalam waktu yang relatif singkat. Lesi hippigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi
makin eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi bertambah luas. Reaksi ini tanpa nodus.

Pengobatan
Obat antikusta yang paling banyak dipakai adalah DDS (Diaminodifenil sulfon),
klofazimin, dan rifampisin. DDS dipakai di Indonesia sejak 1952 sebagai monoterapi. MDT
baru dimulai tahun 1971. Namun DDS adalah obat antikusta yang paling murah dan banyak
dipakai. Resistensi terhadap DDS dapat terjadi oleh karena :
- Monoterapi DDS
- Dosis terlalu rendah
- Minum obat tidak teratur
- Pengobatan terlalu lama, setelah 4-24 tahun.
Adanya MDT sebagai usaha untuk : Mencegah dan mengobati resistensi, memperpendek
masa pengobatan, dan mempercepat pemutusan mata rantai penularan.
Regimen pengobatan kusta di Indonesia disesuaikan dengan rekomendasi WHO (1995).
Pengertian MDT pada saat ini adalah DDS sebagai obat dasar ditambah obat lain. Dosis DDS
: 1-2 mg/kgBB/hari. Efek samping : Nyeri kepala, erupsi obat, leukopenia, insomnia,
neuropati perifer, hepatitis, hipoalbuminemia. Pasien dikatakan putus obat bila pasien tidak
meminum obat MDT dalam kumulatif 6 bulan.

Klofazimin (Lamprene)

Dosis : 50 mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari, atau 3 x 100 mg setiap minggu.
Efek samping : warna kecoklatan pada kulit, warna kekuningan pada sklera

Rifampisin
Dosis 10 mg/kgBB diberikan setiap hari atau setiap bulan. Tidak boleh diberikan
sebagai monoterapi karena memperbesar terjadinya resistensi. Efek samping : hepatotoksik,
nefrotoksik, gejala gastrointestinal, dan erupsi kulit.
MDT dengan beberapa terapi alternatif telah ditetapkan pada rapat konsultasi kusta
nasional dan dapat diterapkan di Indonesia.
Kombinasi obat ini diberikan 2 sampai 3 tahun dengan syarat bakterioskopik harus
negatif. Apabila masih positif, pengobatan harus dilanjutkan sampai negatif. Selama
pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan secara bakterioskopik
minimal setiap 3 bulan.
Penghentian obat lazim disebut Release From Treatment (RFT). Setelah RFT
dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dan bakterioskopik minimal
setiap tahun selama minimal 5 tahun. Jika bakterioskopik tetap negatif dan klinis tidak ada
keaktifan, maka dinyatakan bebas dari pengamatan / Release From Control (RFC).
MDT untuk PB adalah Rifampisin 600 mg tiap bulan dan DDS 100 mg tiap hari.
Keduanya diberikan selama 6 hingga 9 bulan. dan setelah selesai minum maka dinyatakan
RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO tidak lagi dinyatakan RFT
tetapi menggunakan istilah Completion of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam
pengawasan. MDT untuk MB adalah ditambah dengan klofazimin.
Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan
dalam 12 18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.
Pengobatan untuk reaksi E.N.L ialah prednison 15-30 mg sehari. Bila terjadi reaksi
reversal diberikan prednison dosis 40-60 mg sehari.
Efek samping dan tindak lanjut
Regimen
Efek samping
Tindak lanjut
Obat substitusi
Rifampisin
Urin, tinja, keringat Obat MDT dapat
merah
diteruskan
Klofazimin
Warna kulit menjadi Obat MDT dapat Etionamid
hitam
diteruskan
Dapson
Gatal, merah pada Stop dapson dan
kulit. Berat kulit segera rujuk RS
kepala dan seluruh
tubuh terkelupas
Hal yang perlu diperhatikan untuk memulai pengobatan kusta
Keadaan Penderita
Tindakan yang harus dilakukan
Jaundice
Rujuk SpPD, obat hentikan, tunda sampai
warna kuning hilang
Anemia
Beri obat anemia
Tuberkulosis
Pengobatan TB dengan rifampisin tetap
diberikan dan tambahkan obat kusta
lainnya. Rifampisin pada kemasan obat

Hamil
Alergi sulfa

kusta jangan diberikan lagi


Tetap diberikan
DDS jangan diberikan

Terdapat beberapa hal yang harus disampaikan sehingga penderita mendapat penjelasan
sebelum diberikan pengobatan MDT :
1. Lama
2. Cara
3. Kusta dapat disembuhkan bila minum teratur
4. Bahaya yang terjadi bila minum obat tidak teratur
5. Bila ada keluhan segera ke puskesmas
6. Jelaskan pentingnya perawatan diri untuk mencegah cacat
7. Penderita yang cacat fisik tidak akan kembali nomal, tapi perawatan diri tetap diperlukan.
Walaupun MDT terbaru dengan sistem ROM dan pengembangan obat alternatif, tetapi
masih dianjurkan MDT-WHO sebagai terapi medikamentosa utama dari penatalaksanaan
kusta di Indonesia.

Pencegahan cacat
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat adalah dengan melaksanakan
diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat.

KESIMPULAN
Pasien merupakan seorang penderita morbus hansen tipe mutibasiler. Perlu ditekankan
kepada pasien untuk mengkonsumsi obat secara teratur, peralatan mandi dibedakan dari
peralatan mandi yang lain, perawatan diri agar tidak sampai menjadi cacat. Dukungan dari
peran serta dari keluarga pun sangat diperlukan untuk presentase kesembuhan pasien.
Keluarga diharapkan dapat memotivasi pasien agar rajin dan tidak pernah lelah untuk
meminum obat MDT selama 1 tahun. Adapun resiko cacat sangat besar presentasenya bagi
para penderita kusta. Diharapkan pasien selalu melakukan perawatan diri, bila ada luka
segera diobati agar tidak terjadi cacat organ tubuh.
Pasien perlu diinformasikan bahaya bila tidak minum obat secara rutin. Resiko
menular sangat mungkin terjadi pada anggota keluarga lain yang kontak erat dengan
penderita. Perlu ditekankan kepada pasien bila ada keluhan segera ke Puskesmas untuk
mendapatkan pengobatan.

Vous aimerez peut-être aussi