Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PEMFIGOID BULOSA
I. PENDAHULUAN
Pemfigoid Bulosa (PB) adalah penyakit umum autoimun kronik yang ditandai oleh
adanya bula sub epidermal pada kulit. Penyakit ini biasanya diderita pada orang tua dengan
erupsi bulosa disertai rasa gatal menyeluruh dan lebih jarang melibatkan mukosa, tetapi
memiliki angka morbiditas yang tinggi. Namun presentasinya dapat polimorfik dan dapat
terjadi kesalahan diagnosa, terutama pada tahap awal penyakit, di mana bula biasanya tidak
ada.(1)
Pemfigoid bulosa ditandai oleh adanya bula subepidermal yang besar dan berdinding
tegang, dan pada pemeriksaan imunopatologik ditemukan C3 (komponen komplemen ke-3)
pada epidermal basement membrane zone, IgG sirkulasi dan antibodi IgG yang terikat pada
basement membrane zone.(2,3)
Kondisi ini disebabkan oleh antibodi dan inflamasi abnormal terakumulasi di lapisan
tertentu pada kulit atau selaput lendir. Lapisan jaringan ini disebut "membran basal.
Antibodi
(imunoglobulin)
mengikat
protein
di
membran
basal
disebut
antigen
III.ETIOLOGI
VI. DIAGNOSA
A. GAMBARAN KLINIS
Fase Non Bulosa
Manifestasi kulit pemfigoid bulosa bisa polimorfik. Dalam fase prodromal penyakit
non-bulosa, tanda dan gejala sering tidak spesifik, dengan rasa gatal ringan sampai parah atau
dalam hubungannya dengan eksema, papul dan atau urtikaria, ekskoriasi yang dapat bertahan
selama beberapa minggu atau bulan. Gejala non-spesifik ini bisa ditetapkan sebagai satusatunya tanda-tanda penyakit.(1)
Fase Bulosa
Tahap bulosa dari pemfigoid bulosa ditandai oleh perkembangan vesikel dan bula
pada kulit normal ataupun eritematosa yang tampak bersama-sama dengan urtikaria dan
infiltrat papul dan plak yang kadang-kadang membentuk pola melingkar. Bula tampak
tegang, diameter 1 4 cm, berisi cairan bening, dan dapat bertahan selama beberapa hari,
meninggalkan area erosi dan berkrusta. Lesi seringkali memiliki pola distribusi simetris, dan
dominan pada aspek lentur anggota badan dan tungkai bawah, termasuk perut. Perubahan
post inflamasi memberi gambaran hiperpigmentasi dan hipopigmentasi serta miliar meskipun
gambaran ini jarang. Keterlibatan mukosa mulut diamati pada 10-30% pasien. Daerah
mukosa hidung mata, faring, esofagus dan daerah anogenital lebih jarang terkena. (1)
Lesi kulit
Eritema, papul atau tipe lesi urtikaria mungkin mendahului pembentukan bula. Bula
besar, tegang, oval atau bulat; mungkin timbul dalam kulit normal atau yang eritema dan
mengandung cairan serosa atau hemoragik. Erupsi dapat bersifat lokal maupun generalisata,
biasanya tersebar tapi juga berkelompok dalam pola serpiginosa dan arciform.(2)
Tempat Predileksi
Aksila; paha bagian medial, perut, fleksor lengan bawah, tungkai bawah. (2)
B. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemfigoid bulosa harus dibedakan dengan pemfigus, dermatosis linear IgA, eritema
multiform, erupsi obat, dermatitis herpetiformis dan epidermolisis bulosa. Penderita harus
melakukan biopsi kulit dan titer antibodi serum untuk membedakannya. Biopsi sangat
penting untuk membedakan penyakit-penyakit ini karena mempunyai prognosis yang tidak
sama.(3,9)
1. HISTOPATOLOGI
Kelainan awal pada pemfigoid bulosa yaitu terbentuknya celah di perbatasan
dermal-epidermal, bula terletak di subepidermal, sel infiltrat yang utama adalah eosinofil.(9)
2. IMUNOLOGI
Pada pemeriksaan imunofluoresensi terdapat endapan IgG dan C3 tersusun
seperti pita di BMZ (Base Membrane Zone).(3)
Pewarnaan Immunofluorescence langsung (IF) menunjukkan IgG dan biasanya juga
C3, deposit dalam lesi dan paralesional kulit dan substansi intraseluler dari epidermis.(3)
elektrolit
terjadi
yang
dimana
menyebabkan
cairan
tubuh
menghilang
(hipoproteinemia), hal ini bisa berbahaya jika terjadi infeksi sekunder. (11)
dan adakalanya berupa vesikel yang kendur. Membran mukosa jarang terlibat.
Distribusi lesinya pada bagian tubuh yang lebih terbuka dan bagian tubuh yang memiliki
banyak kelenjar sebasea. Pada gambaran histopatologi, terlihat gambaran akantolisis pada
stratum granulosum. Pada pemeriksaan imunopatologi diperoleh IgG dengan pola
intraseluler.(7)
Epidermolisis Bulosa (EB), adalah sebuah penyakit bula subepidermal kronik yang
berkaitan dengan autoimunitas pada kolagen tipe II dalam fibrin pada zona membrane basal.
Lesi kulit berupa bula yang berdinding tegang dan erosi, gambaran non inflamasi ataupun
menyerupai pemfigoid bulosa, dermatitis herpetiformis, atau dermatosis IgA linear. Membran
mukosa terlibat pada kasus yang parah. Distribusi lesinya sama dengan pemfigoid bulosa.
Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan bula subepidermal. Pada pemeriksaan
imunopatologi diperoleh IgG linear pada zona membran basal.(7)
Dermatitis Herpetiformis (DH), adalah erupsi pruritus yang kronis, rekuren, dan
intensif yang muncul secara simetris pada ekstremitas dan pada badan dan terdiri dari
vesikel-vesikel kecil, papul, dan plak urtika yang tersusun berkelompok, serta berkaitan
dengan gluten-sensitive enteropathy (GSE) dan deposit IgA pada kulit. Lesi kulit berupa
papul berkelompok, urtikaria, vesikel serta krusta. Membran mukosa tidak terlibat. Lesi
terdistribusi pada daerah siku, lutut, glutea, sakral dan skapula. Pada pemeriksaan
histopatologi, terlihat gambaran mikroabses di papilla dermis, dan vesikel subepidermal.
Pada pemeriksaan imunopatologi, didapatkan IgA berbentuk granula pada ujung papilla.(7)
VIII. PENATALAKSANAAN
Kortikosteroid umumnya diberikan secara oral maupun injeksi, dosis prednison 40 - 80
mg sehari, jika telah tampak perbaikan dosis diturunkan perlahan-lahan. Sebagian besar kasus
dapat disembuhkan dengan kortikosteroid saja.(3,12)
Jika pengobatan kortikosteroid belum menunjukkan perbaikan, dapat dipertimbangkan
pemberian sitostatik yang dikombinasikan dengan kortikosteroid untuk mengurangi efek
samping dari kortikosteroid itu sendiri. Obat sitostatik merupakan terapi adjuvan karena
bersifat imunosupresif. Yang termasuk obat ini adalah azatioprin, siklofosfamid, metrotreksat,
dan mikofenolat mofetil. Obat yang lazim digunakan ialah azatioprin karena cukup
bermanfaat dan tidak begitu toksik seperti siklofosfamid. Dosisnya 50-150 mg sehari atau 1-3
mg/kgBB. Obat sitostatik sebaiknya diberikan jika dosis prednison mencapai 80 mg. Jika
telah tampak perbaikan dosis prednison diturunkan lebih dulu, kemudian dosis azatioprin
diturunkan secara bertahap. Efek sampingnya di antaranya menekan sistem hematopoetik dan
bersifat hepatotoksik. Mikrofenolat mofetil juga dikatakan lebih efektif daripada azatioprin
karena efek toksiknya lebih sedikit. Dosisnya 2x1 g sehari.(2,3)
Terapi steroid sistemik biasanya diperlukan, tetapi tidak seperti pemfigus,
dimungkinkan untuk menghentikan terapi ini setelah 2 sampai 3 tahun. Dosis awal 20 - 40
mg prednison atau setara harus secara bertahap dikurangi ke jumlah minimum yang akan
mengendalikan penyakit ini. Azatioprine juga berpotensi memberikan efek samping yang
buruk seperti prednison. Suatu penelitian menjelaskan jika glukokortikoid sistemik diberikan
pada penderita dengan dosis tinggi tanpa dilakukan tapering selama 4 minggu, kombinasi
dengan azatioprine kurang memberi manfaat tetapi sebaliknya penderita harus menanggung
efek samping obat tersebut.(3)
Terapi dosis tinggi metilprednisolon intravena juga dilaporkan efektif untuk
mengontrol dengan cepat pembentukan bula yang aktif pada pemfigoid bulosa.(2)
Pemfigoid bulosa dianggap sebagai penyakit autoimunitas , oleh karena itu
memerlukan pengobatan yang lama. Sebagian penderita akan mengalami efek samping
kortikosteroid sistemik sehingga harus dikombinasikan untuk mengurangi efek sampingnya.(3)
IX. PROGNOSIS
Pemfigoid bulosa umumnya memberikan respon yang baik jika diobati, tetapi
kebanyakan pasien yang telah berhenti beberapa tahun namun penyakit ini kembali setelah
pengobatan berhenti. Usia tua dan kondisi umum yang buruk telah terbukti secara signifikan
mempengaruhi prognosis. Secara historis, dinyatakan bahwa prognosis pasien dengan
pemfigoid bulosa jauh lebih baik dari pasien dengan pemfigus, terutama pemfigus vulgaris
dengan pemfigoid bulosa dimana tingkat mortalitasnya sekitar 25% untuk pasien yang tidak
diobati dan sekitar 95% untuk pasien dengan penyakit pemfigus vulgaris saja tanpa
pengobatan. Dalam beberapa dekade terakhir, beberapa penelitian di Eropa pada kasus
pemfigoid bulosa menunjukkan bahwa dengan perawatan, pasien pemfigoid bulosa memiliki
prognosa seburuk penyakit jantung tahap akhir, dengan lebih dari 40% pasien meninggal
dunia dalam kurun 12 bulan. Dari studi terbaru, kemungkinan bahwa penyakit penyerta dan
pola praktek (penggunaan kortikosteroid sistemik dan / atau obat imunosupresif) juga
mempengaruhi keseluruhan morbiditas dan mortalitas penyakit ini. (1,12,13,14,15)
DAFTAR PUSTAKA
1.
Borradori L, Bernard P. Bullous pemphigoid in Bolognia. In: Jorizzo JL, Rapini JL, editors.
Dermatology. 2nd ed: Mosby. chapter. 29.
2. John RS. Pemphigus in Freedberg. In: Eisen, Wolff, Austen, Goldsmith, Katz SI, leditors.
Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2008.
3. Djuanda A. Pemfigoid Bulosa. In: Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. 5th ed. Jakarta: Balai penerbit FK-UI; 2010. p. 210-1.
4. Habif T. Clinical Dermatology. A Color Guide to Diagnosis and Therapy. 4th ed: Mosby;
2003.
5. Andrews. Clinical Dermatology. Diseases of the Skin. 10th ed: Saundres; 2006.
6. Wojnarowska F, Venning VA, editors. Rooks Textbook of Dermatology Vol. II, 8thEd. Oxford:
7.