Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sistim Imun dapat didefinisikan menjadi semua mekanisme yang
digunakan badan untuk mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan
terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan sebagai bahan dalam lingkungan hidup
seperti berbagai bahan organik dan anorganik, baik yang hidup maupun yang
mati, asal hewan, tumbuhan, jamur, bakteri, virus, parasit, berbagai debu dalam
polusi, uap, asap, dan lain-lain iritan.
Sistim imun harus mampu melawan patogen intraseluler seperti virus,
beberapa bakteri dan protozoa serta patogen ektraseluler seperti bakteri dan
toksinnya, parasit dan virus bebas. Pada umumnya sel T atau limfosit T berfungsi
dalam pengenalan dan eliminasi antigen yang ada dalam sel, sedang antibodi yang
diproduksi sel B atau limfosit B yang bekerja sama dengan fagosit dan
komplemen berfungsi dalam eliminasi patogen dan antigen ekstraseluler.
Fungsi sistim imun dapat terganggu, baik primer maupun sekunder,
sehingga menimbulkan ketidakseimbangan yang dapat bermanifestasi menjadi
infeksi berulang, predisposisi terhadap keganasan dan autoimunitas. Jika tubuh
dihadapkan sesuatu yang asing maka tubuh memerlukan ketahanan berupa respon
imun untuk melawan substansi tersebut dalam upaya melindungi dirinya sendiri
dari kondisi yang potensial menyebabkan penyakit. Untuk melakukan hal tersebut
secara efektif maka diperlukan kemampuan untuk mengenali dirinya sendiri
sehingga dapat memberikan respon pada kondisi asing atau bukan dirinya sendiri.
Pada penyakit autoimmune terjadi karena kegagalan untuk mengenali beberapa
bagian dari dirinya
Autoimunitas atau hilangnya toleransi adalah respon imun terhadap
antigen jaringan sendiri yang disebabkan oleh mekanisme normal yang gagal
berperan untuk pertahanan self-tolerance sel B, sel T atau keduanya.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari pembuatan makalah ini adalah :
a.
b.
c.
d.
1.3
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan-tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
a.
b.
c.
d.
Untuk
Untuk
Untuk
Untuk
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengertian
Autoimunitas adalah respon imun terhadap antigen tubuh sendiri yang
disebabkan oleh menkanisme normal yang gagal berperan untuk mempertahankan
self-tolerance sel B, sel T atau keduanya. Respon imun yang terlalu aktif
menyebabkan disfungsi imun, menyerang bagian dari tubuh tersebut dan
merupakan kegagalan fungsi sistem kekebalan tubuh yang membuat badan
menyerang jaringannya sendiri. Sistem imunitas menjaga tubuh melawan pada
apa yang terlihatnya sebagai bahan asing atau berbahaya. Bahan seperti itu
termasuk mikro-jasad, parasit (seperti cacing), sel kanker, dan terjadi pada
pencangkokkan organ dan jaringan. Setiap penyakit yang dihasilkan dari seperti
respon imun yang menyimpang, kerusakan jaringan atau gangguan fungsi
fisiologis yang ditimbulkan oleh respon autoimun disebut penyakit autoimun.
Penyakit Autoimun adalah penyakit dimana sistem kekebalan yang
terbentuk salah mengidentifikasi benda asing, dimana sel, jaringan atau organ
tubuh manusia justru dianggap sebagai benda asing sehingga dirusak oleh
antibodi. Jadi adanya penyakit autoimun tidak memberikan dampak peningkatan
ketahanan tubuh dalam melawan suatu penyakit, tetapi justru terjadi kerusakan
tubuh akibat kekebalan yang terbentuk.
Bahan yang bisa merangsang respon imunitas disebut antigen. Antigen
adalah molekul yang mungkin terdapat dalam sel atau di atas permukaan sel
(seperti bakteri, virus, atau sel kanker). Beberapa antigen, seperti molekul serbuk
sari atau makanan, ada di mereka sendiri. Sel sekalipun pada orang yang memiliki
jaringan sendiri bisa mempunyai antigen. Tetapi, biasanya, sistem imunitas
bereaksi hanya terhadap antigen dari bahan asing atau berbahaya, tidak terhadap
antigen dari orang yang memiliki jaringan sendirii. Tetapi, sistem imunitas
kadang-kadang rusak, menterjemahkan jaringan tubuh sendiri sebagai antibodi
asing dan menghasilkan (disebut autoantibodi) atau sel imunitas menargetkan dan
menyerang jaringan tubuh sendiri. Respon ini disebut reaksi autoimun. Hal
tersebut menghasilkan radang dan kerusakan jaringan. Efek seperti itu mungkin
merupakan gangguan autoimun, tetapi beberapa orang menghasilkan jumlah yang
begitu kecil autoantibodi sehingga gangguan autoimun tidak terjadi.
2.2
2.3
Gejala-gejala
yang
ditimbulkan
mencakup
gangguan nervous,
gastrointestinal, endokrin sistem, kulit dan jaringan ikat lainnya, mata, darah, dan
pembuluh darah. Pada gangguan penyakit tersebut diatas, problema pokoknya
adalah terjadinya gangguan sistem immune yang menyebabkan terjadinya salah
arah sehingga merusak berbagai organ yang seharusnya dilindunginya.
2.4
Diagnosa
Pemeriksaan darah yang menunjukkan adanya radang dapat diduga
sebagai gangguan autoimun. Misalnya, pengendapan laju eritrosit (ESR)
seringkali meningkat, karena protein yang dihasilkan dalam merespon radang
mengganggu kemampuan sel darah merah (eritrosit) untuk tetap ada di darah.
Sering, jumlah sel darah merah berkurang (anemia) karena radang mengurangi
produksi mereka. Tetapi radang mempunyai banyak sebab, banyak di antaranya
yang bukan autoimun. Dengan begitu, dokter sering mendapatkan pemeriksaan
darah untuk mengetahui antibodi yang berbeda yang bisa terjadi pada orang yang
mempunyai gangguan autoimun khusus. Contoh antibodi ini ialah antibodi
antinuclear, yang biasanya ada di lupus erythematosus sistemik, dan faktor
rheumatoid atau anti-cyclic citrullinated peptide (anti-CCP) antibodi, yang
biasanya ada di radang sendi rheumatoid. Antibodi ini pun kadang-kadang
mungkin terjadi pada orang yang tidak mempunyai gangguan autoimun, oleh
sebab itu dokter biasanya menggunakan kombinasi hasil tes dan tanda dan gejala
orang untuk mengambil keputusan apakah ada gangguan autoimun.
2.5
Pengobatan
dan dalam penelitain untuk berbagai gangguan autoimun lainnya. Obat lain yang
ditujukan melawan sel darah putih sedang dikembangkan.
Plasmapheresis digunakan untuk mengobati sedikit gangguan autoimun.
Darah dialirkan dan disaring untuk menyingkirkan antibodi abnormal. Lalu darah
yang disaring dikembalikan kepada pasien. Beberapa gangguan autoimun terjadi
tak dapat dipahami sewaktu mereka mulai. Tetapi kebanyakan gangguan autoimun
kronis.
Obat
sering
diperlukan
sepanjang
hidup
untuk
mengontrol
Kriteria Autoimun
Terdapat 6 butir yang diperlukan untuk menentukan criteria autoimunitas
Tabel 2.6.1 Kriteria Autoimun
No
Kriteria
Catatan
Kriteria
ditemukan
pada
kebanyakan
autoimun memberikan
perbaikan penyakit
cepat
seperti
sistemik
pada
atau
LES,
penyakit
penyakit,
tidak
terbanyak
nonspesifik
dan
berupa antiinflamasi.
10
ke pejamu sekunder
menimbulkan penyakit
autoimun pada resipien
tulang
bila
donor
memiliki
penyakit autoimun.
Banyak protein self menginduksi respon
Imunisasi dengan
6
(tidak
infeksius)
dapat
11
Self Antigen
Reseptor hormon
Contoh
Reseptor TSH
Reseptor insulin
Penyakit
Hiper/hipo-tiroidisme
Hiper/hipo-glikemia
Reseptor
Reseptor
Miastenia gravis
neurotransmitor
asetilkolin
Molekul adhesi sel Penyakit kulit dengan
Molekul adhesi
Protein plasma
epidermal
lepuh
Faktor VIII
Hemofilia didapat
2-Glikoprotein I Sindrom
dan
protein antifosfolipid
antikoagulan lain
SDM
(Antigen Anemia hemolitik
Protein permukaan sel
Trombositopenia
multiple)
lain
Trombosit
purpura
Peroksidase tiroid
Hipotirodisme
Steroid
21 Kegagalan
hidroksilasi
adrenokortikal
(korteks adrenal)
Dekarboksilase
(penyakit Addison)
Diabetes autoimun
glutamate (sel
6
Enzim intraselular
pulau Langerhans)
Enzim lisosom (sel
Vaskulitis sistemik
Sirosis bilier primer
fagositik)
Enzim
mitokondrial
(terutama
dehidrogenase
2.7
piruvat)
Ds-DNA
Molekul
intraselular Histon
Topoisomerase I
yang berperan dalam Sintase amino asil
transkripsi dan translasi t-RNA
Protein sentromer
LES
LES
Skleroderma difus
Polimiositis
Skleroderma
yang
terbatas
12
ORGAN SPESIFIK
Tiroiditis Hashimoto
Kolitis Ulseratif
Miksedem primer
Sindrom Sjogren
Tiroksikosis
Artritis Reumatoid
Anemia pernisiosa
Dermatomiositis
Skelroderma
Penyakit Addison
LE diskoid
Menopause prematur
Diabetes juvenil
13
Non-organ Spesifik
Kerusakan
Tumpang tindih
Dengan
antibodi
kompleks
organ
spesifik
dan
14
penyakit lain.
B. Pembagian penyakit autoimun menurut mekanisme
b.
c.
B.
Antibodi panas
Antibodi dingin
Miastenia gravis
Tirotoksikosis
b.
c.
15
d.
2.8
Faktor Imun
Keterangan
a. Antigen sendiri yang karena letak
anatominya tidak terpajan dengan sel B
atau sel T dari system imun
b. Pada keadaan normal dilindungi dan
Sequestered antigen
orchitis
pasca
vasektomi
diduga
Gangguan presentasi
TGF-)
dan
gangguan
dengan
IDDM
16
dan
tidak
mengekpresikan
dapat
merangsang
sel
secara
langsung
b. Antibodi yang dibentuk terdiri atas
berbagai autoantibody
a. Penelitian
pada
model
hewan
peran
pada
Keseimbangan Th1-Th2
mekanismenya
patogenik
dan
17
18
BAB III
PEMBAHASAN
3.1
Faktor Lingkungan
Faktor-faktor lingkungan dapat memicu autoimunitas seperti mikroba,
hormone, radiasi UV, oksigen radikal bebas, obat dan agen bahan lain seperti
a.
logam
Kemiripan molekular dan infeksi
Hubungan antara infeksi mikroba (virus, bakteri) dan autoimunitas yang terjelas
ditimbulkan oleh adanya kemiripan (mimicracy).
b.
Hormon
Studi epidemiologi menemukan bahwa wanita lebih cenderung menderita
penyakit autoimun disbanding pria. Wanita pada umumnya juga memproduksi
lebih banyak antibody dibanding pria yang biasanya merupakan respons
proinflamasi Th1.
c.
Obat
Banyak obat berhubungan dengan efek samping berupa idiosinkrasi dan
patogenesisnya terjadi melalui komponen autoimun.
d.
Radiasi UV
Radiasi UV dapat menimbulkan modifikasi struktur radikal bebas self antigen
yang meningkatkan imunogenesitas.
e.
19
f.
Logam
Berbagai logam seperti Zn, Cu, Cr, Pb, Cd, Pt, perak dan metalloid (silikon)
diduga dapat menimbulkan efek terhadap system imun, baik in vitro maupun in
vivo dan kadang serupa autoimunitas.
3.2
Pengontrolan metabolik
Penderita dengan gejala miastenia berat memberikan respons baik terhadap steroid
dosis tinggi demikian pula penyakit autoimun berat yang lain, misalnya SLE dan
nefritis kompleks imun dimana obatobat itu mengurangi lesi inflamasi.
Pada arthritis rheumatoid, selain steroid obat anti inflamasi seperti salisilat dan
obat sintetik penghambat prostaglandin yang takterhitung banyaknya digunakkan
secara luas. Sulfasalazin, penisilamin, garam emas dan antimalaria seperti
klorokuin semuanya mendapat tempat penting dalam pengobatan tetapi cara
kerjanya tidak diketahui.
Pengobatan dengan cara menghambat mediator lain yang terlibat dalam kerusakan
jaringan akibat reaksi imunologik mungkin berhasil bila dapat diperoleh antagonis
limfokin dan komplemen. Penelitian tentang netralisasi TNF dengan antibodi
monoclonal sedang dilakukan, dengan harapan menghasilkan manfaat jangka
panjang dengan cara memperbaiki jaring-jaring sitokin.
20
Obat Imunosupresan
Pada dasarnya, karena siklosforin menghambat sekresi limfokin oleh sel T,
ia disebut obat anti inflamasi dank arena limfokin seperti IL-2 pada keadaan
tertentu juga dapat meningkatkan proliferasi, siklosporin juga dapat dianggap obat
anti mitotic. Obat ini telah terbukti bermanfaat pada uveitis, diabetes dini tipe I,
sindroma nefrotik dan psoriasis, dan terbukti menunjukkan manfaat moderat pada
purpura trombositopenia idiopatik, SLE, polimiositis, penyakit Crohn, sirosis
bilier primer dan miastenia gravis. Pada uji klinik obat dengan cara double blind
acak, siklosporin menunjukkan penekanan gejala penyakit secara bermakna
selama 12 bulan walaupun tidak lengkap pada kelompok penderita arthritis
rheumatoid yang sebelumnya refrakter.
Obat yang menekan sistem kekebalan tubuh (imunosupresan), seperti
azathioprin, chlorambucil, cyclosporine, mycophenolate, dan methotrexate, sering
digunakan biasanya dikombinasi dengan steroid, digunakan secara efektif
misalnya pada SLE, arthritis rheumatoid, hepatitis kronik aktif dan anemia
hemolitik autoimun. Siklofosfamida dosis tinggi puls ACTH yang diberikan i.v
atau iradiasi total kelenjar limfe, yang berdampak pada system imun perifer, dapat
memperlambat atau menghentikan penyakit pada sekitar dua pertiga penderita MS
progresif selama 12 tahun, dan ini merupakan indikasi bahwa penyakit
disebabkan mekanisme imunologik. Hal ini didukung dengan penemuan yang
membuktikan bahwa IFN menyebabkan kekambuhan peyakit pada sebagian
besar penderita.
Strategi pengontrolan imunologik
a.
CD4 akan lebih ditingkatkan bila ditunjang oleh pemberian non-depleting antiLFA-1.
b. Pengontrolan idiotip dengan antibodi
Aktivitas imunosupresif yang kuat dari antibodianti-idiotip menimbulkan banyak
harapan
akan
kemungkinan
mengendalikan
produksi
antibodi
dengan
memprovokasi interaksi yang tepat dalam sistem imun. Lebih banyak perubahan
nyata diperoleh dengan pengobatan menggunakkan autoantibodi monoclonal
(idiotip) yang dihasilkan oleh strain autoimun bersangkutan.
c. Vaksinasi dengan idiotip sel T
Vaksinasi sel T telah digunakkan sebagai proteksi terhadap timbulnya dibetes
pada mencit NOD dan timbulnya arthritis setelah sensitasi dengan kolagen tipe II.
Juga dimungkinkan untuk menghentikan arthritis yang diinduksi dengan adjuvant
freund menggunakkan klon sel T yang telah dilemahkan yang timbul sebagai
respons terhadap protein mikobakteri 65 kDa yang dipanaskan.
d. Manipulasi menggunakan antigen
Tujuannya adalah menampilkan antigen yang bersalah dalam konsentrasi yang
cukup dan dalam bentuk demikian rupa hingga ia menghentikan respons autoimun
yang sedang berlangsung.
e. Plasmaferesis
Penggantian plasma untuk menurunkan derajat endapan kompleks imun pada SLE
hanya menghasilkan manfaat sementara tetapi bermanfaat pada kasus arthritis
yang membahayakan. Hasil yang baik dijumpai pada sindroma Goodpasture bila
tindakan ini diterapkan bersama sama dengan obat anti mitotic, rasionalnya
adalah meningkatkan kecenderungan membelah diri pada sel sel yang reaktif
terhadap antigen, karena dampak umpan balik negative IgG akan berkurang bila
protein plasma dikeluarkan.
22
3.3
23
24
langkah
nonfarmakologi
dapat
digunakan
untuk
dengan
gejala
dengan
anti-
25
Obat antimalaria
Obat
antimalaria
hydroxychloroquinetelah
seperti
digunakan
klorokuin
dengan
sukses
dan
dalam
klorokuin adalah 1
Kortikostiroid
Terapi kortikosteroid
telah
dilakukan pada
pasien
Obat sitotoksik
Siklofosfamid dan azatioprin biasanya digunakan sebagai
imuno supresan bila dikombinasikan dengan
kortikosteroid.
26
difokuskan
untuk
mengobati
nefritis
lupus.
Berdasarkan
ginjal dan
digunakan
dengan
mengurangi risiko
kortikosteroid
gagal
dosis
intravena.
siklofosfamid
adalah
methotrexate, mofetil
mycophenolate, mechlorethamine
27
BAB IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Adapun yang dapat disimpulkan dari penjelasan pada bab sebelumnya, adalah:
a. Autoimunitas atau hilangnya toleransi adalah respon imun terhadap antigen
jaringan sendiri yang disebabkan oleh mekanisme normal yang gagal
b.
c.
penyakit.
Penyakit autoimun dapat dibagi dalam organ spesifik dan sistemik. Organ
spesifik melibatkan respons autoimun terutama terhadap organ tunggal atau
d.
e.
autoimunitas.
Faktor-faktor lingkungan yang berperan pada autoimunitas adalah mikroba,
hormone, radiasi UV, oksigen radikal bebas, obat dan agen bahan lain seperti
f.
logam
Prinsip pengobatan autoimun meliputi menekan respons imun atau
menggantikan fungsi organ yang terganggu atau rusak.
28
DAFTAR PUSTAKA
1) Anief. Moh. 2000. Imunologi Dasar Edisi ke-8. Yogyakarta ; Gajah Mada
University Press.
2) Garna Baratawidjaja, Karnen. 2000. Imunologi Dasar Edisi keempat.
Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3) Joe. 2009. Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus
4) Utomo, Wicaksono N. 2012. Hubungan Antara Aktivitas Penyakit Dengan
Status Kesehatan Pada Pasien LES ( Lupus Eritematosus Sistemik ) di RSUP
dr. Kariadi, Semarang.
http://eprints.undip.ac.id/37818/1/Wicaksono_N._Utomo_G2A008193_Lap.
KTI.pdf
29