Vous êtes sur la page 1sur 30

LAPORAN KASUS

TUBERKULOSIS DAN HEPATITIS IMBAS OBAT

DISUSUN OLEH:
Farah Sonya Anastasya
2010730036

PEMBIMBING
dr. Risky Akaputra sp.P

ILMU PENYAKIT DALAM


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2014

BAB 1
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia.
Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada
tahun 2002. 3,9 juta adalah kasus BTA positif. Hampir sekitar sepertiga penduduk dunia telah
terinfeksi kuman tuberkulosis. TB ekstra paru berkisar antara 9,7 sampai 46% dari semua kasus
TB. Organ yang sering terlibat yaitu limfonodi, pleura, hepar dan organ gastro intestinal lainnya,
organ genitourinarius, peritoneum, dan perikardium. Pleuritis TB merupakan TB ekstraparu
kedua terbanyak setelah limfadenitis TB. Angka kejadian pleuritis TB dilaporkan bervariasi
antara 4% di USA sampai 23% di Spanyol.
Efusi pleura tuberkulosis sering ditemukan di negara berkembang termasuk di Indonesia
meskipun diagnosis pasti sulit ditegakkan. Efusi pleura timbul sebagai akibat dari suatu penyakit,
sebab itu hendaknya dicari penyebabnya. Dengan sarana yang ada, sangat sulit untuk
menegakkan diagnosis efusi pleura tuberkulosis sehingga sering timbul anggapan bahwa
penderita tuberkulosis paru yang disertai dengan efusi pleura, efusi pleuranya dianggap efusi
pleura tuberkulosis, sebaliknya penderita bukan tuberkulosis paru yang menderita efusi pleura,
efusi pleuranya dianggap bukan disebabkan tuberkulosis.
Gambaran klinik dan radiologik antara transudat dan eksudat bahkan antara efusi pleura
tuberkulosis dan non tuberkulosis hampir tidak dapat dibedakan, sebab itu pemeriksaan
laboratorium menjadi sangat penting. Setelah adanya efusi pleura dapat dibuktikan melalui
pungsi percobaan, kemudian diteruskan dengan membedakan eksudat dan transudat dan akhirnya
dicarietiologinya. Apabila diagnosis efusi pleura tuberkulosis sudah ditegakkan maka
pengelolaannya tidak menjadi masalah, efusinya ditangani seperti efusi pada umumnya,
sedangkan tuberkulosisnya diterapi seperti tuberkulosis pada umumnya.
Efek samping pengobatan TB lebih jarang terjadi pada anak dibandingkan pada pasien
dewasa. Efek samping yang paling penting adalah keracunan pada hati (hepatotoksisitas) yang dapat
disebabkan oleh isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid.

BAB II
KASUS
IDENTITAS PASIEN :
Nama

: Ny. Raminah

Umur

: 64 thn

Jenis kelamin

: Perempuan

Pekerjaan

: Wiraswasta

Alamat

: jl. Bendungan melayu RT 012 RW 05 kel. Tugu selatan kec. Koja

Tgl Masuk RS

: 27/12/2014

ANAMNESIS :
Keluhan Utama :
Mual sejak 1 minggu SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang :
Os datang ke UGD RSIJ Sukapura dengan keluhan mual sejak 1 minggu SMRS, mual dirasa
setelah minggu ke 2 pengobatan TB, mual memberat 1 hari SMRS sehingga pasien tidak bisa
makan. Keluhan disertai dengan nyeri ulu hati (+),pusing (+),lemas (+). Muntah (-),sesak (-),
nyeri dada (-). Pasien mengaku timbul bintik2 merah, gatal (+), diameter 2-3 cm timbul
berbarengan dengan adanya mual. Nafsu makan berkurang sejak 1 bulan yg lalu, penurunan
bb (+) , batuk dirasa hanya sesekali, pasien tidak mengeluh demam namun saat di UGD suhu
pasien tinggi
Riwayat Penyakit Dahulu

11/11/2014 : Efusi pleura dextra sudah dilakukan USG thoraks dan pungsi pleura.
12/11/2014 : pleuritis TB
Hipertensi (-), dm (-), asma (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


-

Riwayat diabetes mellitus, hipertensi, asma, TBC disangkal


Riwayat penyakit lain pada keluarga disangkal

Riwayat Psikososial
-

Tidak pernah berolahraga


Merokok dan meminum alkohol disangkal
Pasien sering mengkonsumsi jamu secara rutin jika pegal
Nafsu makan berkurang

Riwayat Pengobatan
-

Pasien dalam pengobatan TB minggu ke-3

Riwayat Alergi
-

Riwayat alergi terhadap makanan disangkal oleh pasien


Riwayat alergi terhadap obat-obatan disangkal oleh pasien
Riwayat alergi terhadap cuaca disangkal oleh pasien

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Tanda Vital : TD : 120/80 mmHg

N : 92x/mnt

R : 21x/m

S : 37,90C

Kepala : normocepal, rambut warna hitam, distribusi merata, tidak mudah rontok.
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterus -/-, reflek cahaya (+), pupil isokhor.
Telinga : bentuk normotia, serumen -/-, otorhea -/-, membran tympani intact
Hidung : mukosa hidung merah muda, septum deviasi (-), sekret (-)
Mulut : lidah kotor (-), tremor (-), stomatitis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran Tiroid (-)
Thoraks :Bentuk Normochest
Paru :
I : normochest, pergerakan dinding dada simetris, retraksi sela iga (-)

P : nyeri tekan (-), Vokal Fremitus kanan dan kiri sama (+)
P : sonor pada kedua lapang paru
A : vesicular, ronki (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung :
I : ictus cordis tidak terlihat
P : ictus cordis teraba di ICS V midclavicula
P : batas atas di ICS III linea parasternalis dextra, batas kanan di ICS IV linea parasternalis
dextra, batas kiri di ICS V linea parasternalis sinistra
A : BJ I dan II murni regular, gallop (-), murmur (-)
Abdomen :
I : supel, bercak kemerahan dengan diameter 2-3 cm
A : Bising usus (+) 8 kali permenit
P : nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien tidak teraba
P : timpani pada seluruh lapang abdomen
Ekstremitas
Atas : akral hangat, RCT < 2 detik, edema -/-, sianosis -/- , makulapapulo eritem dengan
diameter 2-3 cm
Bawah : akral hangat, RCT < 2 detik, edema -/-, sianosis -/- , makulapapulo eritem dengan
diameter 2-3 cm
PEMERIKSAAN PENUNJANG :
Hasil Pemeriksaan Laboratorium
27-12-2014
WBC

: 3.800

(4,3-10,4 103/uL)

HGB

: 13,5

(11,3-15,5 g/dL)

HCT

: 40,1

(36,0-46,0 %)

PLT

: 183

(132-402103/uL)

SGPT

: 184 U/L (0-37)

SGOT

: 42 U/L (0-40)

Daftar Masalah :
1. Dispepsia
Subjektif : Mual sejak 1 minggu SMRS, Mual dirasa setelah minggu ke 2 pengobatan TB,
mual memberat 1 hari SMRS sehingga pasien tidak bisa makan, nyeri ulu hati (+), pasien
dalam pengobatan TB minggu ke 3
Objektif : nyeri tekan epigastrium dan nyeri tekan abdomen regio kanan atas
SGOT : 184 U/L

SGPT : 42 U/L

Assesment : Dispepsia ec DD/ hepatitis drug induce


Planning : : IVFD assering
inj. Ranitidin 1 amp (IV)
inj. Ondansetron 1 amp (IV)
hepatoprotector : hp pro 3x1
bila gejala klinis (+), dan SGOT, SGPT > 3x : OAT stop
R/ cek bilirubin
2. PLEURITIS TB
Subjektif : Batuk-batuk sesekali (+), penurunan BB (+), anoreksia (+), lemas (+), riwayat
efusi pleura dan pleuritis TB 1 bulan yang lalu, dalam pengobatan TB minggu ke-3.
Objektif :

suhu : 37,9 C

Pemeriksaan Lab : L : 3.800


Assesment : pleuritits TB
Planning : paracetamol jika demam 3x500 mg
OAT 2RHZE/4RH
3. DRUG ERUPTION
Subjective : Kemerahan disertai gatal-gatal di badan dan tungkai atas-bawah, riwayat
mengkonsumsi OAT dan jamu pegal-pegal secara rutin
Objective : suhu : 37,9 C
ditemukan lesi bentuk bulat, lonjong , kemerahan / makulapapular eritema dengan
diameter 2-3 cm di ekstrimitas atas-bawah dan bagian perut.
Assesment: drug eruption ec OAT
Planning : konsul dokter spesialis kulit : cek IgE total, cetirizin 1x1 pagi, CTM 1x1 malam,
salp ikaderm cream 2x1

BAB III
PEMBAHASAN
1. Pleuritis Tuberculosis
A Definisi
Paru-paru merupakan organ yang elastik, berbentuk kerucut, letaknya di rongga
dada atau toraks. Kedua paru-paru saling terpisah oleh mediastinum sentral yang berisi
jantung dan pembuluh darah besar. Suatu lapisan tipis yang kontinyu mengandung
kolagen dan jaringan elastik, dikenal sebagai pleura. Pleuritis adalah keradangan pleura.
Pleuritis sering kali mendahului terjadinya efusi pleura, yaitu merupakan akumulasi
cairan di dalam rongga pleura.
Pleuritis TB, kebanyakan terjadi sebagai TB paru. Pada daerah-daerah dimana
frekuensi tuberkulosis paru tinggi dan terutama pada pasien usia muda, sebagian besar
efusi pleura adalah karena pleuritis TB.
B Patogenesis
Pada orang normal, cairan di rongga pleura sebanyak 1-20 ml. Cairan di rongga
pleura jumlahnya tetap karena ada keseimbangan antara produksi oleh pleura viseralis
dan absorpsi oleh pleura parietalis. Keadaan ini dapat dipertahankan karena adanya
keseimbangan tekanan hidrostatik pleura parietalis sebesar 9 cmH 2O dan tekanan koloid
pleura viseralis sebesar 10 cmH2O. Tekanan dalam rongga paru lebih rendah dari tekanan
atmosfer, mecegah kolaps paru-paru. Ada tiga factor yang mempertahankan tekanan
negatif yang normal ini.
1

Jarigan elastis paru-paru yang memberikan kekuatan kontinyu


yang cenderung untuk menarik paru-paru menjauh dari dinding
toraks.

Kekuatan osmotik yang terdapat di seluruh membran pleura,


cairan dalam keadaan normal akan bergerak dari kapiler di
dalam pleura parietalis ke ruang pleura dan kemudian diserap
kembali melalui pleura viseralis.

Kekuatan pompa limfatik

Pleuritis TB kebanyakan terjadi sebagai komplikasi TB paru melalui fokus


subpleura yang robek atau memalui aliran getah bening. Sebab lain juga bisa karena

robeknya perkijuan ke saluran getah bening yang menuju rongga pleura, iga atau
kolumna vertebralis. Dapat juga secara hematogen dan menimbulkan efusi pleura
bilateral. Pada efusi eksudat (pleuritis eksudativa tuberkulosis) terjadi apabila ada proses
peradangan yang menyebabkan permiabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat
sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat dan kuboidal dan terjadi pengeluaran
cairan kedalam rongga pleura.
C Diagnosis
Pleuritis TB kebanyakan terjadi sebagai komplikasi TB paru. Gejala utama pasien
TB paru adalah berupa gejala respiratorik dan gejala sistemik.
a

Gejala respiratorik
-

Batuk.
Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling
seringdikeluhkan. Mula-mula bersifat non produktif kemudian berdahak
bahkan bercampur darah bila sudah ada kerusakan jaringan.

Batuk darah.
Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak berupa
garis atau bercak-bercak darak, gumpalan darah atau darah segar dalam
jumlah sangat banyak.Batuk darak terjadi karena pecahnya pembuluh darah.
Berat ringannya batuk darahtergantung dari besar kecilnya pembuluh darah
yang pecah.

Sesak napas.
Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau ditemukan
pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah
bagian paru-paru.

Nyeri dada.
Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang
sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadinya gesekan
kedua pleura sewaktu pasien menarik atau melepaskan napasnya.

Gejala sistemik
-

Keringat malam

Demam

Penurunan berat badan

Nafsu makan menurun

Pasien dengan pleuritis, umumnya mengeluh nyeri di sekitar dada atau yang
sering disebut nyeri pleuritik. Terutama dirasakan pada akhir inspirasi dan bertambah berat
dengan adanya pergerakan nafas dalam, batuk keras, bersin sehingga penderita berusaha
menahan napas guna menahan nyerinya. Nyeri dirasakan didaerah aksila dan menjalar
sepanjang nervus intercostalis, kadang dijumpai sesak napas ringan. Pada efusi pleura,
penderita umumnya mengeluhkan sesak nafas, dan kadang disertai batuk produktif dan
nyeri dada.
D Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien pasien TB mungkin
ditemukan konjungtiva mata dan kulit yang pucat karena anemia, subfebris, badan kurus
(berat badan turun). Pada pleuritis, penderita sering tampak sakit, nyeri ketuk pada
perkusi, suara napas menurun dan terdengar bising gesek pleura. Bila tuberkulosis
mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura, maka paru-paru yang sakit agak terlihat
tertinggal saat pernafasan, perkusi memberikan suara pekak, auskultasi memberikan
suara nafas yang lemah sampai menghilang.
E Pemeriksaan Penunjang
Pada daerah-daerah dimana frekuensi tuberkulosis paru tinggi dan terutama pada
pasien usia muda, sehingga besar efusi pleura karena pleuritis TB. Permulaan pleuritis
TB terlihat sebagi efusi. Adapun pemeriksaan penunjang pada pleuritis TB adalah sebagai
berikut :
-

Foto Thoraks (X-Ray)


Tampak permukaan cairan yang terdapat dalam rongga pleura dan membentuk
bayangan seperti kurva, dengan permukaan daerah lateral lebih tinggi daripada
medial. Cairan dalam pleura bisa juga tidak membentuk kurva, karena terperangkap
aatau terlokalisasi, keadaan ini sering terdapat pada daerah bawah paru-paru yang
berbatasan dengan permukaan atas diafragma.

Analisa Cairan Pleura


a

Warna Cairan

Biasanya

cairan

pleura

berwarna

agak

kekuning-kuningan

(serous-

santokrom), pleuritis TB terlihat sebagi efusi yang sero-santokrom. Bila


kemerah-merahan bisa terjadi trauma, infark paru, keganasan dan adanya
kebocoran aneurisma aorta. Bila kuning kehijauan dan agak purulen, maka
menunjukkan empiema. Bila merah coklat, makan menunjukkan adanya abses
karena amoeba.
b

Biokimia
-Transudat-eksudat
Secara biokimia, efusi pleura terbagi atas transudat dan eksudat yang
perbedaannya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel Perbedaan Biokimia Efusi Pleura
Keterangan
Transudat
Kadar protein dalam efusi (g/dl)
<3
Rasio protein dalam efusi dengan
<0,5
protein serum
Kadar LDH dalam efusi (I.U)
<200
Rasio LDH dalam efusi dengan <0,6
LDH serum
Berat jenis cairan
Rivalta

<1,016
-/+

Eksudat
>3
>0,5
>200
>0,6
>1,016
+

-Glukosa
Kadar glukosa < 30mg/100cc
: pleuritis reumatoid
<60mg/100cc : tuberculosis, keganasan, atau empiema.
-Enzim
Kadar ADA (adenosin diaminase) > 50 IU, oleh karena tuberkulosis.
-pH
Jika pada analisis pleura didapatkan pH rendah PCO 2 tinggi biasanya
disebabkan tuberculosis.
c

Sitologi
Pemeriksaan sitiologi terhadap cairan pleura amat penting untuk diagnostik
penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-sel patologis atau dominasi selsel tertentu.
1

Sel neutrolif, menunjukkan adanya infeksi akut

Sel limfosit, menunjukkan adanya infeksi kronik seperti pleuritis


tuberkulosa atau limfoma maligna

Sel mesosel, bila jumlahnya meningkat maka menunjuukan adanya


infark paru dan biasanya juga banyak ditemukan eritrosit

Sel-sel besar dengan banyak inti, pada artritis rematoid

Sel L.E, pada lupus eritematosus sistemik

Sel maligna, pada paru atau metastase

Bakteriologi
Biasanya cairan pleura steril, tapi kadang-kadang dapat mengandung
mikroorganisme, apalagi bila cairannya purulen (menunjukkan empeima).
Efusi purulen bisa mengandung kuman-kuman aerob maupun anaerab. Jenis
kuman yang sering ditemukan dalam cairan pleura adalah Pneumokokkus,
E.Colli, Klebseilla, pseudomonas, dan anterobacter. Pleuritis tuberkulosis,
biakan cairan terhadap kuman taham asam hanya dapat menunjukkan positip
20-30%.

Biopsi Pleura
Pemeriksaan histopatologisatu atau beberapa contoh jaringan pleura dapat
menunjukkan 50-70% diagnosis kasus-kasus pleuritis tuberculosis dan tumor
pleura. Bila ternyata hasil biopsy tidak memuaskan, dapat dilakukan beberapa
biopsy ulangan. Komplikasi biopsi adalah pneumotoraks, hemotoraks,

penyebaran infeksi atau pada tu,or pada dinding dada.


Diagnosis utama pleuritis tuberkulosis berdasarkan adanya kuman tuberkulosis
dalam cairan efusi (biakan) atau dengan biopsi dan terutama pada pasien usia muda,
sebagian besar efusi pleura adalah karena pleuritis TB walaupun tidak ditemukan adanya
granuloma pada biopsy jaringan pleura.
F Penatalaksanaan pleuritis TB
Penatalaksanaan pleuritis Tb terdiri dari :
1

Obat
Pengobatan dengan obat-obatan anti tuberkulosis (RHZES) memakan waktu 6-12
bulan. Dosis dan cara pemberian obat seperti pada pengobatan tuberkulosis paru.
Pengobatan ini menyebabkan cairan efusi dapat diserap kembali, tapi untuk
menghilangkan eksudat dengan cepat dapat dilakukan torasentesis. Umumnya
cairan diresolusi dengan sempurna, tapi kadang-kadang dapat diberikan

kortikosteroid secara sistemik (Prednison 1mg/kg BB selama 2 minggu kemudian


dosis diturunkan secara pelan)
Obat-obatan TB
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
a. Tahap Intensif (2-3 Bulan)

Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.

Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

Obat yang diberikan ada 4 jenis obat, yaitu isoniazid, rifampisin, pirazinamide, dan
etambutol (HRZE) (Barker, 2009).

b. Tahap Lanjutan (4-7 bulan)

Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu
yang lebih lama.

Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan.

Obat-obatan yang diberikan adalah isoniazid dan rifampisin (HR) (Barker, 2009).

OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)


Obat Yang Dipakai
a

Obat Anti Tuberkulosis Golongan 1 (First Line Antituberculosis Drugs)

Rifampisin (R)

Isoniazid (INH/H)

Pirazinamid (PZA)

Streptomisin Obat Tambahan (First Line Supplemental Drugs)

Etambutol (E)

Pilihan Utama

Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua jaringan
dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin
diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum

makan), dan kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini, rifampisin diberikan dalam
bentuk oral dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan satu kali
pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid , dosis rifampisin tidak melebihi
15 mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10 mg/kgBB/hari. Distribusinya sama dengan isoniazid.
Efek samping rifampisin lebih sering terjadi dari isoniazid. Efek yang kurang menyenangkan
bagi pasien adalah perubahan warna urin, ludah, sputum, dan air mata, menjadi warna oranye
kemerahan. Selain itu, efek samping rifampisin adalah gangguan gastrointestinal (mual dan
muntah), dan hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang biasanya ditandai dengan peningkatan
kadar transaminase serum yang asimtomatik. Jika rifampisin diberikan bersamaan isoniazid,
terjadi peningkatan risiko hepatotosisitas, dapat diperkecil dengan cara menurunkan dosis harian
isoniazid

menjadi

maksimal

10mg/kgBB/hari.

Rifampisin

juga

dapat

menyebabkan

trombositopenia, dan dapat menyebabkan kontrasepsi oral menjadi tidak efektif dan dapat
berinteraksi dengan beberapa obat, termasuk kuinidin, siklosporin, digoksin, teofiin,
kloramfenikol, kortokosteroid dan sodium warfarin. Rifampisin umumnya tersedia dalam sedian
kapsul 150 mg, 300 mg dan 450 mg, sehingga kurang sesuai digunakan untuk anak-anak dengan
berbagai kisaran BB. Suspensi dapat dibuat dengan menggunakan berbagai jenis zat pembawa,
tetapi sebaiknya tidak diminum bersamaan dengan pemberian makanan karena dapat
menimbulkan malabsorpsi.
Isoniazid
Isoniazid (isokotinik hidrazil) adalah obat antituberkulosis (OAT) yang sangat efektif saat ini,
bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif (kuman
yang sedang berkembang), bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif pada
intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan

cairan tubuh

termasuk CSS, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki angka reaksi simpang
(adverse reaction) yang sangat rendah.
Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15 mg/kgBB/hari,
maksimal 300mg/hari, dan diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid yang tersedia
umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg/5cc. sedian
dalam bentuk sirup biasanya tidak stabi, sehingga tidak dianjurkan penggunaannya. Konsentrasi
puncak di dalam darah, sputum, dan CSS dapat dicapai dalam 1-2 jam dan menetap selama

paling sedikit 6-8 jam. Isoniazid dimetabolisme melalui asetilasi di hati. Anak-anak
mengeliminasi isoniazid lebih cepat daripada orang dewasa, sehingga memerlukan dosis
mg/KgBB yang lebih tinggi dari pada dewasa. Isoniazid pada air susu ibu (ASI) yang mendapat
isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta, tetapi kadar obat yang mmencapai
janin/bayi tidak membahayakan.
Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik dan neuritis perifer.
Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi yang
meningkat dengan bertambahnya usia. Sebagian besar pasien anak yang menggunakan isoniazid
mengalami peningkatan kadar transaminase darah yang tidak terlalu tinggi dalam 2 bulan
pertama, tetapi akan menurun sendiri tanpa penghentian obat. Idealnya, perlu pemantauan kadar
transaminase pada 2 bulan pertama, tetapi karena jarang menimbulkan hepatotoksisitas maka
pemantauan laboratorium tidak rutin dilakukan, kecuali bila ada gejala dan tanda klinis.
Pirazinamid
Pirazinamid adalah derivat nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan tubuh
termasuk CSS, bakterisid hanya pada intrasel suasana asam, dan diabsorbsi baik pada saluran
cerna. Pemberian pirazinamid secara oral sesuai dosis 15-30 mg/kgBB/hari dengan dosis
maksimal 2 gram/hari. Kadar serum puncak 45 g/ml dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan
pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asam., yang timbul
akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Penggunaan pirazinamid aman pada anak. Kirakira 10 % orang dewasa yang diberikan pirazinamid mengalami efek samping berupa atralgia,
artritis, atau gout akibat hiperurisemia, tetapi pada anak manifestasi klinis hiperurisemia sangat
jarang terjadi. Efek samping lainnya adalah hepatotoksisitas, anoreksia, dan iritasi saluran cerna.
Reaksi hipersensitivitas jarang timbul pada anak. Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500
mg, tetapi seperti isoniazid, dapat digerus dan diberikan bersamaan makanan.
Etambutol
Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada mata. Obat ini
memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid jika diberikan dengan dosis
tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah
timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20 mg/kgBB/hari,

maksimal 1,25 gr/hari dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 g dalam waktu 24 jam.
Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. etambutol ditoleransi dengan baik
oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu tau dua kali sehari , tetapi
tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis.
Eksresi utama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan etambutol tidak
dikenal. Kemungkinan toksisitas utam adalah neuritis optok dan buta warna merah-hijau
sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang belum dapat diperiksa tajam
penglihatannya. Rekomendasi WHO yang terakhir mengenai penatalaksanaan TB anak,
etambutol dianjurkan penggunaanya pada anak dengan dosis 15-25 mg/kgBB/hari. Etambutol
dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat
lainnya tidak tersedia atau tidak dapat digunakan.
Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman ekstraseluler pada
keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman intraseluler. Saat ini
streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan TB tetapi penggunaannya penting penting pada
pengobatan fase intensif meningitis TB dan MDR-TB. Streptomisin diberikan secara
intramuskular dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gr/hari dan kadar puncak 40-50
g/ml dalam waktu 1-2 jam.5
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati
selaput otak yang tidak meradang.streptomisin berdifusi baik pada jaringan dan cairan pleura dan
di eksresikan melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat kecurigaan
resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita TB berat. Toksisitas utama
streptomisin

terjadi pada nervus kranialis

VIII yang mengganggu keseimbangan dan

pendengaran dengan gejala berupa telinga berdegung (tinismus) dan pusing. Toksisitas ginjal
jarang terjadi. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam
menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merusak saraf pendengaran janin yaitu 30%
bayi akan menderita tuli berat.
Dari hasil percobaan pada binatang dan pengobatan pada manusia ternyata, hampir semua
obat antituberkulosis mempunyai sifat bakterisid kecuali etambutol dan tiasetazon yang hanya
bersifat bakteriostatik dan masih berperan untuk mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap
obat.

Rifampisin dan pirazinamid mempunyai aktivitas sterilisasi yang baik, sedangkan INH dan
streptomisin menempati urutan yang lebih bawah. Dalam aktivitas bakterisid:

Rifampisin dan INH disebut bakterisid yang lengkap (complete bactericidal drug) oleh karena
kedua obat ini dapat masuk ke seluruh populasi kuman. Kedua obat ini masing-masing
mendapat nilai satu.
Pirazinamid dan streptomisin masing-masing hanya mendapat nilai setengah, karena pirazinamid
hanya bekerja dalam lingkungan asam sedangkan streptomisin dalam lingkungan basa.
Etambutol mendapat nilai setengah.
Nama Obat

Dosis

harian Dosis maksimal Efek Samping

(mg/kgBB/hari) (mg/hari)
Isoniazid

5-15*

300

Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas

Rifampisin** 10-20

600

Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,


trombositopenia, peningkatan enzim hati,
cairan tubuh berwarna oranye kemerahan

Pirazinamid

15-30

2000

Toksisitas hati, atralgia, gastrointestinal

Etambutol

15-20

1250

Neuritis optik, ketajaman penglihatan


berkurang,
penyempitan

buta

warna

merah-hijau,

lapang

pandang,

hipersensitivitas, gastrointestinal
Streptomisin

15-40

1000

Ototoksis, nefrotoksik

Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10


mg/kgBB/hari.
Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat mengganggu
bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui sistemgastrointestinal
pada saat perut kosong (satu jam sebelum makan).
Untuk kasus TB tertentu yaitu meningitis TB, TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB,
TB endobronkial, dan peritonitis TB diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 2-4
mg/kgBB/hari dibagi dalam tida dosis, maksimal 60mg dalam satu hari. Lama pemberian

kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off selama 2-4
minggu.
Efek Samping OAT (Obat Anti Tuberkulosis) Dan Penanganannya
1

Isoniazid (INH)
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan,
rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin
dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut
pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin (syndrom
pellagra).
Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul pada kurang
lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT dan pengobatan
sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus.

2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simtomatik
ialah :

Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang.

Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-kadang diare.

Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan.


Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :

Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan
penatalaksanaansesuai pedoman TB pada keadaan khusus.

Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini
terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya
telah menghilang.

Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak nafas.

Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata, air liur.
Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini
harus diberitahukan kepada pasien agar dimengerti dan tidak perlu khawatir.

3. Pirazinamid

Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB
pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang dapat
menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi
dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan
reaksi kulit yang lain.
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman,
buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut
tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB
perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan
kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak
diberikan pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi.
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan
keseimbangan dan pendengaran.Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan
peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat pada
pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal.
Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan
kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau
dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan
makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli).
Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit
kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang terjadi)
seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah
suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr.Streptomisin dapat
menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat
merusak syaraf pendengaran janin.

Penatalaksanaan Pasien Dengan Efek Samping Gatal Dan Kemerahan Pada Kulit:
Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal singkirkan dulu
kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil meneruskan OAT dengan
pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien hilang, namun pada sebagian pasien
malahan terjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu
sampai kemerahan kulit tersebut hilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien
perlu dirujuk.
2

Obat Anti Tuberkulosis Golongan 2 (Second-Line Antituberculosis Drugs)


Obat lini kedua digunakan jika terjadi Multi Drugs Resisten (MDR) atau jika OAT
golongan 1 tidak tersedia. Obat-obat antituberkulosis golongan 2 kurang efektif jika
dibandingkan dengan OAT golongan 1 dan dapat menimbulkan efek samping yang berat.

Obat-obat ini jarang digunakan dalam pengobatan tuberculosis. Obat-obat yang digunakan
sebagai Obat Anti Tuberkulosis golongan 2 yaitu :

Kuinolon
Obat-obat golongan quinolon digunakan jika terdapat resistensi terhadap OAT golongan
1 atau pada pasien-pasien yang tidak dapat menggunakan OAT golongan 1. Obat-obatan
yang termasuk golongan quinolon adalah ofloxacin, levofloxacin, ciprofloxacin, gatifloxacin
dan moxifloxacin.
Efek samping jarang sekali dijumpai. Jika ada, biasanya berupa gangguan
gastrointestinal, kemerahan pada kulit, pusing dan sakit kepala. Efek samping yang cukup
berat, seperti kejang, nefritis interstitial, vaskulitis, dan gagal ginjal akut. Quinolon dapat
diberikan secara intravena.

Kanamisin

Amikasin
Amikasin memiliki efek baksterisidal yang berkerja di ekstraseluler. Amikacin ini
efektif terhadap MTB, M. lepra, M. avium complex, dan lain-lain. Dosis yang diberikan
biasanya 7-10mg/kg IM atau IV, 3-5 kali dalam seminggu.

Capreomycin
Capreomycin merupakan suatu kompleks antibiotik polipeptida siklik derifatdari
Streptomyces capreolus, yang memiliki kesamaan dalam pemberian dosis, cara kerja,
farmakologi

dan

toksisitas

dengan

streptomisin.

Capreomycin

diberikan

secara

intramuskular dalam dosis 10-15mg/kg/hari atau 5 kali dalam seminggu (dosis maksimal
per-hari 1 g). Setelah diberikan selama 2-4 bulan, dosisnya diturunkan menjadi 1 g dalam 2
atau 3 kali seminggu. Capreomycin merupakan obat injeksi pilihan terhadap tuberculosis
setelah streptomisiin.
b

Obat lain masih dalam penelitian

Makrolid

Amoksilin + Asam Klavulanat

Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain :

Kapreomisin

Sikloserino PAS (dulu tersedia)

Para-Aminosalicylic Acid dapat menghambat pertumbuhan MTB dengan cara


menghambat sintesa asam folat. Para-Aminosalicylic Acid jarang menjadi pilihan
pengobatan tuberkulosis karena rendahnya efektivitas dan juga karena menyebabkan
timbulnya gangguan gastrointestinal (mual, muntah, atau diare).

Derivat rifampisin dan INH

Thioamides (Ethionamide dan Prothionamide)


Ethionamide adalah derivat asam isonikotinik, sama seperti isoniazid dan pirazinamid.
Obat ini memiliki efek bakteriostatik. Namun penggunaannya terbatas karena efek toksisitas
dan banyaknya efek samping, seperti gangguan gastrointestinal berat (mual, muntah,
anoreksia, disgesia),gangguan neurologis berat, hepatitis, reaksi hipersensitivitas, dan juga
hipotiroidisme.

Kemasan OAT (Obat Anti Tuberkulosis)


a

Obat Tunggal
Obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol.

Obat Kombinasi Dosis Tetap (Fixed Dose Combination FDC)


Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet. Pengembangan
pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk menyembuhkan pasien
dan menghindari MDR TB (multidrug resistant tuberculosis). Pengembangan strategi DOTS
untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama WHO. International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarakan untuk menggantikan
paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun
1998.
Keuntungan Kombinasi Dosis Tetap
1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal.
2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan
yang tidak disengaja.
3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan standar.
4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit.
5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan penggunaan
monoterapi

Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang telah
ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas dosis
terapi dan non toksik.
Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek
samping serius harus dirujuk kerumah sakit / dokter spesialis paru / fasiliti yang mampu
menanganinya.
c

Paket Kombipak
adalah paket obat lepas yang terdiri dari isoniazid, rifampisisn, pirazinamid dan
etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. panduan OAT ini disediakan program untuk
digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

Panduan Pemberian Obat Anti Tuberkulosis (Oat)


Pengobatan tuberkulosis dapat dibagi menjadi beberapa bagian, sesuai dengan kategorinya
(PDPI, 2006).
A. Kategori 1
OAT diberikan untuk:

Penderita baru TB paru BTA positif.

Penderita TB paru BTA negatif Rontgen positif, lesi luas.

Penderita TB ekstra-paru berat.

Paduan obat yang dianjurkan adalah 2 RHZE/4 RH atau 2 RHZE/6 HE atau 2RHZE/4R3H3.

Bila setelah 2 bulan, dahak masih tetap positif, fase intensif diperpanjang 4 minggu lagi,
apabila setelah diperiksa lagi menjadi negatif, fase lanjutan dapat dimulai. Namun bila
masih positif, dilanjutkan ke kategori 2.

Pada pasien dengan meningitis, tuberkulosis milier, spondilitis kelainan neurologik, fase
lanjutan diberikan lebih lama yaitu 6-7 bulan hingga total pengobatan 8-9 bulan

Panduan alternatif untuk fase lanjutan adalah 6 HE

Dilakukan pemeriksaan ulang dahak pada sebulan sebelum akhir pengobatan dan

pada akhir pengobatan. Bila hasilnya masih BTA (+) pengobatan dinyatakan gagal dan
diganti dengan kategori 2

Berat Badan

Tahap Intensif

Tahap Lanjutan

Tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16

RHZE (150/75/400/275)

minggu RH (150/150)

30-37 Kg

2 Tablet 4KDT

2 Tablet 2KDT

38-54 Kg

3 Tablet 4KDT

3 Tablet 2KDT

70

Kg

4 Tablet 4KDT

>71 Kg

4 Tablet 2KDT

5 Tablet 4KDT

5 Tablet 2KDT

Tabel. Dosis Untuk Panduan OAT KDT Untuk Katagori 1


Jumlah
Hari/Kali
Dosis Perhari/Kali
Tahap

Lama

Pengobata

Pemgobata

Menelan
Obat

Tablet

Kaplet

Isoniazid

Rifampisin

@ 300 mg

@ 450 mg

Tablet
Pirazinami
d @ 500
mg

Tablet
Etambutol
@ 250 mg

Intensif

2 bulan

56

Lanjutan

4 bulan

48

Tabel. Dosis Panduan OAT- Kombipak Untuk Katagori 1


B. Kategori 2
1

TB paru kasus kambuh. Panduan obat yang dianjurkan:

RHZES/1 RHZE sebelum ada hasil uji resistensi.

Bila hasil uji resistensi telah ada, berikan obat sesuai dengan hasil uji resistensi.

TB Paru kasus gagal pengobatan. Panduan obat yang dianjurkan adalah:

Obat lini 2 sebelum ada hasil uji resistensi (contoh: 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin,
etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin, etionamid, sikloserin).

Dalam keadaan tidak memungkinkan fase awal dapat diberikan 2 RHZES/1RHZE.

Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi.

Bila tidak terdapat hasil uji resistensi, dapat diberikan 5 RHE.

TB Paru kasus putus berobat.

Berobat > 4 bulan

- BTA saat ini negatif. Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT
dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan
diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan panyekit paru lain. Bila terbukti TB
maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu
pengobatan yang lebih lama (2 RHZES/1RHZE/5R3H3E3).
- BTA saat ini positif. Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan
jangka waktu pengobatan yang lebih lama.

Berobat < 4 bulan

- Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yanglebih kuat dan jangka
waktu pengobatan yang lebih lama (2 RHZES/1RHZE/5R3H3E3).
- Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif, pengobatan diteruskan.
Tahap Lanjutan

Tahap Intensif
Tiap
Berat Badan

hari

selama

56

2 Tablet 4KDT + 500

30-37 Kg

mg Streptomisin Inj.
3 Tablet 4KDT + 750

38-54 Kg

mg Streptomisin Inj.
4 Tablet 4KDT + 1000

Kg

mg Streptomisin Inj.
5 Tablet 4KDT + 1000

>71 Kg

mg Streptomisin Inj.
Tabel. Dosis Untuk Panduan OAT KDT Katagori 2

Tahap
Pengobata

RHZE

(150/75/400/275)
Selama 56 hari

71

hari

Lama
Pemgobata

Dosis Perhari/Kali
Tablet
Kaplet

kali

seminggu

selama 16 minggu RH
(150/150)

Selam 28 hari
2 Tablet 4KDT
3 Tablet 4KDT
4 Tablet 4KDT
5 Tablet 4KDT

Tablet

Selama 20 minggu
2 Tablet

2KDT + 2

Tablet Etambutol
3 Tablet 2KDT + 3
Tablet Etambutol
4 Tablet 2KDT + 4
Tablet Etambutol
5 Tablet 2KDT + 5
Tablet Etambutol

Tablet

Streptomisi

Jumlah

n Inj.

Hari/Kal

Isoniazid
n

@ 300 mg

2 Bulan

Rifampisi

Pirazinami

n @ 450 d @ 500

Etambutol
@ 250 mg

mg

mg

56

48

Menelan

Intensif
1 Bulan
Lanjutan

4 Bulan

Tabel. Dosis Panduan OAT- Kombipak Untuk Katagori 2


Nonmedikamentosa
1

Pendekatan DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse)


Keteraturan pasien untuk menelan obat dikatakan baik apabila pasien menelan obat
sesuai dengan dosis yang ditentukan dalam panduan pengobatan. Keteraturan dalam menelan
obat ini menjamin keberhasilan pengobatan serta mencegah relaps dan terjadinya resistensi.
Salah satu upaya untuk meningkatkan keteraturan adalah dengan melakukan pengawasan
langsung terhadap pengobatan (directly observed treatment). Directly observed treatment
shortcours (DOTS) adalah

strategi yang telah direkomendasikan oleh WHO dalam

pelaksanaan program penanggulangan TB, dan telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun
1955. Penanggulangan TB dengan strategi DOTS dapat memberikan angka kesembuhan yang
tinggi.
Sesuai rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas lima komponen yaitu sebagai
berikut :

Komitmen politis dari para pengambil keputusan, temasuk dukungan dana.

Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis.

Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh
pengawas minum obat (PMO).

Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.

Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi
program penanggulangan TB.
2

Torakosentesis

Aspirasi cairan pleura (torakosentesis) berguna sebagai sarana untuk diaognostik


maupun terapeutik. Pelaksanaannya sebaiknya dilakukan pada pasien posisi
duduk. Aspirasi dilakukan pada bagian bawah paru, sela iga garis aksilaris
posterior dengan memakai jarum abocath nomor !4 atau 16. Pengeluaran cairan
pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc setiap kali aspirasi. Aspirasi
sebaiknya dikerjakan berulang-ulang daripada satu kali sekaligus yang dapat
menimbulkan pleura syok (hipotensi) atau edema paru akut. Komplikasi lain
torakosentesis adalah pneumotorak (paling sering terjadi melalui jarum suntik),
hemotoraks (karena trauma pada pembuluh darah interkostalis) dan emboli udara
yang agak jarang terjadi.
2. HEPATITIS IMBAS OBAT
a. Definisi
Hepatitis imbas obat (Drug Induced Hepatitis) adalah kelainan fungsi hati akibat
penggunaan obat-obat hepatotoksik. Tatalaksana hepatitis imbas obat tergantung pada :
- fase pengobatan TB (tahap awal atau lanjutan)
- beratnya gangguan hepar
-beratnya penyakit TB
-kemampuan atau kapasitas pelayanan kesehatan dalam tatalaksana efek samping akibat
OAT
b

penatalaksanaan
-bila klinis (+) {ikterik (+), gejala mual, muntah (+)} OAT stop
-bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali : OAT stop
-bila gejala klinis (-), laboratorium terdapat kelainan bilirubin >2
OAT stop
-SGOT, SGPT > 5 kali : OAT stop
-SGOT, SGPT > 3 kali teruskan pengobatan, dengan pengawasan
Pengobatan TB dihentikan menunggu sampai fungsi hepar kembali ke
normal dan gejala klinik (mual atau nyeri perut) menghilang maka OAT dapat
diberikan kembali. Apabila tidak dimungkinkan untuk melakukan tes fungsi
hepar maka sebaiknya menunggu 2 minggu lagi setelah kuning atau jaundice
dan nyeri/tegang perut menghilang sebelum diberikan OAT kembali.

Apabila hepatitis imbas obat telah teratasi maka OAT dapat dicoba satu
persatu. Pemberian obat sebaiknya dimulai dengan rifampicin yang jarang
menyebabkan hepatotoksik dibandingkan isoniazid atau pirazinamid. Setelah
3-7 hari baru isoniazid diberikan. Pasien dengan riwayat jaundice tetapi dapat
menerima rifampisin dan isoniazid, sebaiknya tidak lagi mendapatkan
pirazinamid.
Jika terjadi hepatitis pada fase lanjutan dan hepatitis sudah teratasi maka
OAT dapat diberikan kembali (isoniazid dan rifampisin) untuk menyelesaikan
fase lanjutan selama 4 bulan.

DAFTAR PUSTAKA

Brooks, Geo F, MD., Janet S. Butel, Phd., dan Stephen A. Morse, Phd. Mikrobiologi Kedokteran.
Bab 24. Edisi 23. Jakarta: EGC.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pedoman Nasional Pengendaliaan
Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2.
Edisis IV. Jakarta: IPD FKUI.
Price, Sylvia A., dan Lorraine M. Wilson. 2004. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Bab 4. Edisi VI. Jakarta: EGC

Tjay, Tan Hoan, Drs., dan Drs. Kirana Rahardja. 2007. Obat-obat Penting. Bab 5. Edisi 6.
Jakarta: Gramedia.
Vinay Kumar, MBBS, MD, FRCPath., dan Abul K. Abbas, MBBS., Nelson Fausto, MD. 2010.
Dasar Patologi Penyakit. Bab 15. Edisi 7. Jakarta: EGC.
Corwin EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi Revisi 3. Jakarta : EGC.
Amin Z, 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta : Interna Publishing.
Handojo, I. 2000. Nilai Diagnostik Uji PAP-TB pada tuberkulosis di Luar Paru. Laboratorium
Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas AirlanggaRSUD Dr. Sutomo, Surabaya.
Mansjoer, 2009. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi III. Jakarta : Media Aesculapius. p. 4923

Vous aimerez peut-être aussi