Vous êtes sur la page 1sur 25

ASMA PADA KEHAMILAN

KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya,
serta bimbingan dan petunjuk-Nyalah makalah Ini dapat terselesaikan tepat waktu .
Penulisan makalah ini dilakukan dengan tujuan untuk memenuhi tugas matakuliah
Obstetri yang berjudul Kehamilan dengan Asthma Bronchale. Penulis mencoba mengerahkan
segenap kemampuan untuk menyelesaikan makalah ini .
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan penulisan
yang akan datang .
Dalam menyelesaikan makalah ini penulis banyak mengalami kesulitan, namun dengan
adanya bimbingan dan Bantuan dari berbagai pihak, akhirnya makalah ini dapat terselesaikan .
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada dosen
pembimbing matakuliah Obstetri yaitu dr. Adi Sukrisno, SpOG dan semua pihak yang telah ikut
membantu baik moriil maupun materiil dalam menyelesaikan makalah ini .
Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini berguna dan bermanfaat bagi pembaca
pada umumnya dan bagi penulis khususnya .
Jakarta, Oktober 2010
Awalia Nur Baeti
Triyas Wulandari

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Asma megenai sekitar 3 sampai 4 persen populasi umum. Angka kematian akibat asma
berkisar dari 1 sampai 3 persen, dan penyakit ini menyebabkan hampir 5000 kematian setiap
tahun di Amerika Serikat. Juga terdapat sekuele jangka panjang yang mencakup berkurangnya
fungsi ventilasi (Lange dkk., 1998). National Asthma Education Program (1993) memperkirakan
bahwa 1 smpai 4 persen kehamilan memiliki penyulit asma. Status asmatikus merupakan
penyulit pada sekitar 0,2 persen kehamilan (Mabie dkk., 1992).
Pada umumnya, penyakit paru-paru tidak mempengaruhi kehamilan dan persalinan, nifas,
kecuali penyakitnya tidak terkontrol, berat, dam luas yang disertai sesak nafas dan hipoxia.
Walaupun kehamilan menyebabkan sedikit perubahan pada sistem pernapasan, karena uterus
yang membesar dapat mendorong diafragma dan paru-paru keatas serta sisa udara dalam paruparu kurang, namun penyakit tersebut tidak selalu menjadi lebih parah.
Asma bronchial sering dijumpai dalam kehamilan dan persalinan. Pengaruh penyakit ini
terhadap kehamilan, persalinan, dan nifas serta sebaliknya adalah bervariasi. Asthma bronchial
sering merupakan penyakit keturunan. Diagnosis biasanya mudah didapat, karena wanita telah
sering berobat kepada dokter atau pengobatan non medis.
1.2 Tujuan
A. Tujuan Umum
Memenuhi Tugas mata kuliah Obstetri sebagai salah satu bagian dari kegiatan belajar
mengajar.
B. Tujuan Khusus

Tujuan dari penulisan makalah ini untuk mengetahui apa itu Penyakit Asthma Bronchiale
dan dampak apa saja yang dapat ditimbulkan oleh penyakit tersebut terhadap ibu hamil. Selain
itu juga untuk mengetahui pencegahan dan pengobatan dari penyakit Asthma Bronchiale .
1.3 Ruang Lingkup
Berdasarkan keterbatasan yang dimiliki penulis ,berupa waktu dan tenaga serta faktor
faktor penghalang lainnya ,maka penulis membatasi penelitian mengenai pengertian, etiologi,
tanda dan gejala, efeknya pada kehamilan serta pengobatan .
1.4 Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah pengumpulan data sekunder. Data
sekunder merupakan data yang diperoleh dalam bentuk yang sudah jadi, sudah dikumpulkan dan
sudah diolah oleh pihak lain, dan biasanya sudah dalam bentuk yang dipublikasikan yang dapat
digunakan penulis sebagai sumber dari tulisannya.
Selain itu metode penulisan ini dilakukan dengan menggunakan studi litelatur atau
kepustakaan, yaitu dengan cara membaca dan mempelajari buku-buku yang diperoleh dari
berbagai sumber informasi yang berhubungan dengan Asthma Bronchiale , selain dari buku
penulis juga mencari informasi melalu internet dan media massa.
1.5 Sistematika Penulisan
Penulisan makalah ini terdiri dari 3 bab yang disusun secara sistematik, sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan Penulisan
1.3 Ruang Lingkup
1.4 Metode Penulisan
1.5 Sistematika Penulisan
BAB II TINJAUAN MATERI
2.1 Pengertian Asthma Bronchial

2.2 Gambaran klinis Asthma Bronchial


2.3 Perjalanan Penyakit Asthma Bronchiale
2.4 Etiologi Penyakit Asthma Bronchial
2.5 Kehamilan dengan Asthma Bronchial
2.6 Pengobatan Asthma Bronchial
2.7 Penanganan asma selama persalinan
2.8 Penanganan asma post partum
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

BAB II TINJAUAN MATERI

2.1 Pengertian Asthma Bronchial


The American Thoracic Society (1962):
adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakhea dan bronkus terhadap
berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan napas yang luas dan
derajatnya dapat berubah-ubah, baik secara spontan maupun sebagai hasil suatu pengobatan.
Gibbs dkk (1992):

mendefinisikan sebagai suatu gangguan inflamasi kronik pada saluran napas yang banyak
diperankan oleh terutama sel mast dan eosinofil.
Teori asma bronkial yang dianut sekarang ialah bahwa asma bronchial terjadi atas dasar
adanya saluran yang hiperreaktif. Hal tersebut dapat disebabkan oleh allergen, infeksi atau debu
industri.
Terjadinya bronkokonstriksi pada asma adalah kompleks. Sekarang telah diketahui adanya
fase akut dini dan fase lambat pada asma bronkial. Fase akut disebabkan oleh mediator primer
yang dilepas sel mast. Fase lambat disebabkan mediator sekunder yang dilepas oleh berbagai sel
inflamasi, terutama eosinofil dan makrofag.
Asthma Bronchiale
Asthma bronchiale adalah suatu sindrom klinik yang ditandai dengan peningkatan
kepekaan bronkus (hiperreaktivitas bronkus) terhadap berbagai rangsangan (1). Sedangkan gejala
utama asma bronkial adalah sesak napas paroksimal, bising mengi dan batuk, yang bervariasi
dari ringan sampai berat. Manifestasi kelainan yang utama adalah obstruksi saluran napas dalam
berbagai tingkatan.
Pada asma bronkial sering timbul komplikasi yang menyulitkan pengobatan asma, dan
pada keadaan yang berat dapat timbul kematian (2). Komplikasi yang timbul dapat diklasifikasi
sebagai komplikasi akut, komplikasi subakut, dan komplikasi kronik (3). Komplikasi akut yang
sering timbul adalah henti pernapasan dan henti jantung. Pada komplikasi subakt, obstruksi
saluran napas yang disebabkan oleh adanya sekret yang kental, pada akhirnya menimbulkan
hipoksemia, hiperventilasi, hiperkapnia, pneumotoraks dan pneumomediastinum. Sedangkan
komplikasi kronik, termasuk perubahan fungsi paru, dapat ditimbulkan oleh adanya penyakit
paru lain, serta perubahan kompetensi imun.
Asma bronkial, adalah penyakit yang kronik sehingga diperlukan suatu penelitian
longitudinal untuk melihat prognosis yang timbul.
Komplikasi akut
Komplikasi akut timbul dengan sangat cepat, berupa perubahan-perubahan pada otot polos
bronkus, permeabilitas pembuluh darah, serta jantung. Perubahan-perubahan tersebut mungkin
disebabkan oleh penglepasan yang cepat dan dalamjumlah besar amin-amin vasoaktif seperti
histamin, slow reacting subtance of anaphylaxis (SRS-A) dan prostaglandin.

Pada penderita asma bronkial, sering timbul apneu mendadak setelah melakukan aktivitas
fisik. Bila obstruksi saluran napas hebat sekali maka kecepatan arus udara menjadi sangat
berkurang, sehingga bising mengi tidak terdengar (silent chest). Pada sistem kardiovaskular
terjadi takikardia. Frekuensi denyut jantung atau nadi lebih dari 130 per menit menunjukkan
serangan asma bronkial yang berat. Penderita dapat mengalami hipoksenia dan kehilangan
kesadaran sampai koma. Hal tersebut menunjukkan bahwa penderita telah masuk dalam keadaan
darurat gawat napas. Bila penderita tidak ditangani secara efektif dengan ventilator mekanik,
maka penderita dapat mengalami aritmia jantung atau henti jantung sampai kematian.
Komplikasi sub akut
Komplikasi sub akut terutama disebabkan oleh sekret kental yang menyumbat saluran
napas, sehingga akan memperberat obstruksi semula. Produksi sekret yang terus bertambah, serta
gagalnya mekanisme mucociliary clearance akan menyebabkan gejala obstruksi tersebut makin
berat.
Bila keadaan ini terus berlanjut, dapat terjadi status asmatikus, yang menggangu proses
ventilasi-perfusi, dengan akibat hipoksemia serta takipneu. Bila status asmatikus berlanjut, dapat
terjadi hiperkapnia, kelelahan menghebat, penurunan kesadaran dari apatis sampai koma, dan
akhirnya keadaan darurat gagal napas. Salah satu komplikasi asma bronkial adalah infeksi
sekunder. Misalnya pneumonia ,yang kemudian dapat menimbulkan edema paru.
Komplikasi asma bronkial lainnya adalah timbulnya hiperkapnia dan asidosis respirasi.
Hiperkapnia yang berat selalu disertai dengan takipneu. Hiperkapnia dan asidosis menimbulkan
gejala gelisah, disorientasi, somnolens dan koma.
Komplikasi kronik
Pada asma kronik, serangan timbul berulang-ulang diselingi dengan periode tanpa gejala.
Pada periode tanpa gejala, fungsi paru normal, sedangkan dalam keadaan serangan terdapat
kelainan fungsi paru. Woolcock dan Read menemukan hampir 50% penderita asma kronik
disertai dengan hiperinflasi paru yang persisten. Hal ini mungkin disebabkan oleh kelainan
struktur paru. Pada penelitian takizawa dan kawan-kawan serta Dunnill dan kawan-kawan
ditemukan adanya penambahan ukuran otot polos bronkus serta kelenjar mukosa bronkus.
Penyakit paru obstruktif menahun (PPOM) jenis asma menahun merupakan salah satu
komplikasi asma bronkial. Pada asma menahun selalu terdapat onstruksi jalan napas, walaupun

dalam tingkatan yang berbeda. Dalam golongan penyakit ini mungkin saja sudah ada komponen
bronkitis atau emfisema, namun penyakit dasarnya adalah asma bronkial.
SISTEM PERNAFASAN SELAMA KEHAMILAN
Selama kehamilan terjadi perubahan fisiologi sistem pernafasan yang disebabkan oleh
perubahan hormonal dan faktor mekanik. Perubahan-perubahan ini diperlukan untuk mencukupi
peningkatan kebutuhan metabolik dan sirkulasi untuk pertumbuhan janin, plasenta dan uterus.
Selama kehamilan kapasitas vital pernapasan tetap sama dengan kapasitas sebelum hamil
yaitu 3200 cc, akan tetapi terjadi peningkatan volume tidal dari 450 cc menjadi 600 cc, yang
menyebabkan terjadinya peningkatan ventilasi permenit selama kehamilan antara 19-50 %.
Peningkatan volume tidal ini diduga disebabkan oleh efek progesteron terhadap resistensi saluran
nafas dan dengan meningkatkan sensitifitas pusat pernapasan terhadap karbondioksida.
Dari faktor mekanis, terjadinya peningkatan diafragma terutama setelah pertengahan
kedua kehamilan akibat membesarnya janin, menyebabkan turunnya kapasitas residu fungsional,
yang merupakan volume udara yang tidak digunakan dalam paru, sebesar 20%. Selama
kehamilan normal terjadi penurunan resistensi saluran napas sebesar 50%.
Perubahan-perubahan ini menyebabkan terjadinya perubahan pada kimia dan gas darah.
Karena meningkatnya ventilasi maka terjadi penurunan pCO2 menjadi 30 mm Hg, sedangkan
pO2 tetap berkisar dari 90-106 mmHg, sebagai penurunan pCO2 akan terjadi mekanisme
sekunder ginjal untuk mengurangi plasma bikarbonat menjadi 18-22 mEq/L, sehingga pH darah
tidak mengalami perubahan.
Secara anatomi terjadi peningkatan sudut subkostal dari 68,5 103,5 selama kehamilan.
Perubahan fisik ini disebabkan karena elevasi diafragma sekitar 4 cm dan peningkatan diameter
tranversal dada maksimal sebesar 2 cm. Adanya perubahan-perubahan ini menyebabkan
perubahan pola pernapasan dari pernapasan abdominal menjadi torakal yang juga memberikan
pengaruh untuk memenuhi peningkatan konsumsi oksigen maternal selama kehamilan.
Laju basal metabolisme meningkat selama kehamilan seperti terbukti oleh peningkatan
konsumsi oksigen. Selama melahirkan, konsumsi O2 dapat meningkat 20-25 %. Bila fungsi paru
terganggu karena penyakit paru, kemampuan untuk meningkatkan konsumsi oksigen terbatas dan
mungkin tidak cukup untuk mendukung partus normal, sebagai konsekuensi fetal distress dapat
terjadi.

2.2 Gambaran klinis Asthma Bronchial


Kriteria diagnostik asma bronkiale :
Batuk, sesak, wheezing, hiperventilasi, dispnea, takipnea, ortopnea, ekspirasi memanjang,
sianosis, takikardi persisten, penggunaan obat bantu pernapasan, kesukaran bicara, dan pulsus
paradoksus.
Gejala klinik yang klasik berupa batuk, sesak nafas, dan mengi (wheezing), serta bisa juga
disertai nyeri dada. Serangan asma umumnya berlangsung singkat dan akan berakhir dalam
beberapa menit sampai jam, dan setelah itu penderita kelihatan sembuh secara klinis. Pada
sebagian kecil kasus terjadi keadaan yang berat, yang mana penderita tidak memberikan respon
terhadap terapi (obat agonis beta dan teofilin), hal ini disebut status asmatikus.
Dengan demikian ada derajat asma :
1. Tingkat pertama : secara klinis normal, tetapi asma timbul jika ada faktor pencetus.
2. Tingkat kedua : penderita asma tidak mengeluh dan pada pemeriksaan fisik tanpa kelainan tetapi
fungsi parunya menunjukkan obstruksi jalan nafas. Disini banyak ditemukan pada penderita yang
baru sembuh dari serangan asma.
3. Tingkat ketiga : penderita tidak ada keluhan tetapi pada pemeriksaan fisik maupun maupun fungsi
paru menunjukkan tanda-tanda obstruksi jalan nafas.
4. Tingkat keempat : penderita mengeluh sesak nafas, batuk dan nafas berbunyi.Pada pemeriksaan
fisik maupun spirometri akan dijumpai tanda-tanda obstruksi jalan napas.
5. Tingkat kelima : adalah status asmatikus, yaitu suatu keadaan darurat medik berupa serangan akut
asma yang berat, bersifat refrakter terhadap pengobatan yang biasa dipakai.
PENGARUH PERUBAHAN HORMONAL SELAMA KEHAMILAN
Keadaan hormonal selama kehamilan sangat berbeda dengan keadaan tidak hamil dan
mengalami perubahan selama perjalanan kehamilan. Perubahan-perubahan ini akan memberikan
pengaruh terhadap fungsi paru. Progesteron tampaknya memberikan pengaruh awal dengan
meningkatkan sensitifitas terhadap CO2, yang menyebabkan terjadinya hiperventilasi ringan,
yang bisa disebut sebagai dispnea selama kehamilan. Lebih lanjut dapat dilihat adanya efek
relaksasi otot polos. Pengaruh total progesteron selama kehamilan karena peningkatannya yang

mencapai 50-100 kali dari keadaan tidak hamil, masih diperdebatkan dengan adanya berbagai
temuan klinis yang terbuka diperdebatkan.
Selama kehamilan kadar estrogen meningkat, dan terdapat data-data yang menunjukkan
bahwa peningkatan ini menyebabkan menurunnya kapasitas difusi pada jalinan kapiler karena
meningkatnya jumlah sekresi asam mukopolisakarida perikapiler. Estrogen memberikan
pengaruh terhadap asma selama kehamilan.dengan menurunkan klirens metabolik glukokortikoid
sehingga terjadi peningkatan kadar kortisol. Estrogen juga mempotensiasi relaksasi bronkial
yang diinduksi oleh isoproterenol.
Kadar kortisol bebas plasma meningkat selama kehamilan, demikian pula kadar total
kortisol plasma. Peningkatan kadar kortisol ini seharusnya memberikan perbaikan terhadap
keadaan penderita asma, akan tetapi dalam kenyataannya tidak demikian. Tampaknya beberapa
wanita hamil refrakter terhadap kortisol meskipun terjadi peningkatan kadar dalam serum 2-3
kali lipat. Hal ini mungkin disebabkan terjadinya kompetisi pada reseptor glukoortikoid oleh
progesteron, deoksikortikosteron dan aldosteron yang semuanya meningkat selama kehamilan.
Semua tipe prostaglandin meningkat dalam serum maternal selama kehamilan, terutama
menjelang persalinan aterm. Meskipun dijumpai adanya peningkatan kadar matabolit
prostalandin PGF 2x yang merupakan suatu bronkokonstriktor kuat, dalam serum sebesar 10%30%, hal ini tidak selalu memberikan pengaruh buruk pada penderita asma selama persalinan.
Pada jaringan janin ditemukan histamin dalam konsentrasi tinggi. Sebagai respon terhadap
stimulus ini maka plasenta menghasilkan histaminase (diaminoksidase) dalam jumlah besar
mencapai 1000 kali lipat dibandingkan wanita yang tidak hamil. Penelitian dewasa ini belum
membuktikan perubahan biokkimiawi ini dengan pengaruh klinik yang ditimbulkannya.

2.3 Perjalanan Penyakit Asthma Bronchiale


Secara klinis, asma merupakan suatu spektrum penyakit yang luas yang berkisar dari
mengi ringan sampai bronkokonstriksi berat yang dapat menyebabkan gagal napas, hipoksemia
berat, dan kematian. Akibat fungsional dari bronkospasme akut dalah obstruksi jalan napas dan
berkurangnya aliran udara. Usaha bernapas meningkat secara progresif dan pasien mengeluh

dada sesak, mengi, atau kehabisan napas. Perubahan oksigenansi selanjutnya merupakan
cerminan dari ketidaksesuaian ventilasi-perfusi karena penyempitan jalan napas tidak merata.
Stadium-stadium klinis asma diringkaskan pada Tabel 46-3. Pada penyakit ringan,
hipoksia pada awalnya dikompensasi dengan baik oleh hiperventilasi, seperti tercermin oleh
normalnya tekanan oksigen arteri dan berkurangnya tekanan karbon dioksida sehingga terjadi
alkalosis respiratorik. Seiring dengan bertambah parahnya penyempitan jalan napas, gangguan
ventilasi-perfusi meningkat sehingga terjadi hipoksemia arteri. Pada obstruksi yang parah,
ventilasi sedemikian terganggu karena kelelahan otot pernapasan sehingga terjadi retensi CO 2
awal. Karena adanya hiperventilasi, hal ini mungkin hanya dijumpai pada awal penyakit karena
tekanan CO2 arteri kembali ke kisaran normal. Akhirnya, pada obstruksi yang sudah kritis, terjadi
gagal napas napas yang ditandai dengan hiperkapnia dan asidemia.
Tabel 46-3. Stadium Klinis Asma
Stadium
Alkalosis respiratorik
ringan
Alkalosis respiratorik
Zona bahaya

FEV1

PO2

PCO2

PH

Normal

65-80

50-64

Normal

Normal

35-49

< 35

(% perkiraan)

Dimodifikasi dari Barth dan Hankins (1991), dengan izin.


Scoggin membagi perjalanan klinis asma sebagai berikut :
1. Asma akut intermiten :
Diluar serangan, tidak ada gejala sama sekali. Pemeriksaan fungsi paru tanpa provokasi tetap
normal. Penderita ini sangat jarang jatuh ke dalam status asmatikus dan dalam pengobatannya
sangat jarang memerlukan kortikosteroid.
Faktor-faktor yang mencetuskan serangan sering berupa :
a. Infeksi saluran napas terutama yang disebabkan oleh virus.
b. Kegiatan jasmani (exercises induced ashtma)
c. Lingkungan pekerjaan (occupational asthma)

d. Obat-obat (drug induced asthma)


e. Tidak jelas
2. Asma akut dan status asmatikus:
Serangan asma dapat demikian beratnya sehingga penderita segera mencari pertolongan. Bila
serangan asma akut tidak dapat diatasi dengan obat-obat adrenergik beta dan teofilin disebut
status

asmatikus.

3. Asma kronik persisten (asma kronik):


Pada asma kronik selalu ditemukan gejala-gejala obstruksi jalan napas, sehingga diperlukan
pengobatan yang terus menerus. Hal tersebut disebabkan oleh karena saluran nafas penderita
terlalu sensitif selain adanya faktor pencetus yang terus-menerus.
Walaupun perubahan-perubahan ini umumnya reversible dan ditoleransi baik pada
individu sehat yang tidak hamil, stadium-stadium awal asma sudah berbahaya bagi wanita hamil
dan janinnya. Kapasitas residu fungsional yang lebih kecil serta meningkatnya pirau
menyebabkan hipoksia dan hipoksemia lebih mudah terjadi.

2.4 Etiologi Penyakit Asthma Bronchial


Faktor-faktor pemicu serangan asma
1.

Perubahan pada suhu atau kelembapan lingkungan

2.

Olahraga dan aktivitas fisik (exercise)

3.

Perasaan khawatir, stres atau kelelahan

4.

Pollen (tepung sari bunga), spora jamur, tungau debu rumah, hewan

5.

Asap rokok dan polutan lingkungan misalnya sulfur dioksida

6.

Infeksi

7.

Hipoksia

8.

Menstruasi

9.

Tirotoksikosis

10. Zat-zat iritan industri misalnya deterjen untuk mencuci pakaian, pati atau tepung biji-bijian yang
mengeluarkan debu
11. Makanan tertentu seperti telur, kacang-kacangan, cokelat atau ikan (utamanya pada anak-anak).

Obat yang menyebabkan asma atau membuat asma kambuh kembali


1.

Reaksi hipersensitivitas atau anafilaksis terhadap obat

2.

Preparat penyekat beta misalnya dalam bentuk obat antihipertensi atau obat mata untuk
glaukoma

3.

Obat-obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID) seperti aspirin, salisilat, diklofenak

4.

Estrogen

5.

Benzodiazepin

6.

Tembakau, kanabis

7.

Opioid (fentanil mungkin paling sedikit menimbulkan masalah)

8.

Ergometrin (syntometrine kadang-kadang menimbulkan masalah)

9.

Prostaglandin (karboprost, dinoproston)

10.

Obat-obat antipsikosis

11.

Obat-obat antidepresan trisiklik

12.

Preparat relaksan otot golongan atrakurium (penggunaan vekuronium)

13.

Lignokain

14.

Inhibitor ACE (angiotensin converting enzyme) dapat menyebabkan batuk dan angioedema
yang bisa dikelirukan dengan gejala asma.

15.

Larutan hipotonik atau hipertonik (glosarium) kalau terkena jalan napas misalnya dalam
nebulizer, dengan demikian larutan normal saline (garam fisiologis) digunakan dalam nebulizer

16.

Zat pengawet yang digunakan dalam preparat inhalasi misalnya laktosa

17.

Tartrazin misalnya dalam minuman sari buah, minuman bersoda atau minuman softdrink yang
berwarna, bumbu kari, acar

18.

Zat-zat yang mengandung sulfit misalnya dalam beberapa jenis minuman anggur, kerangkerangan, zat pengawet untuk buah segar, buah-buah yang dikeringkan, acar.

2.5 Kehamilan dengan Asthma Bronchial


A. Efek Asthma Pada Kehamilan

Asma, terutama apabila berat, dapat mempengaruhi hasil kehamilan secara bermakna. Di
tabel 46-4 diperlihatkan hasil ibu dan perinatal dari 3858 kehamilan dengan penyulit asma.
Dalam sebagian besar penelitian, dijumpai peningkatan insiden preeklamsia, persalinan preterm,
bayi berat lahir rendah, dan mortalitas perinatal. Walaupun belum terbukti, secara logika asma
yang terkontrol baik akan memberi hasil yang lebih baik (Schatz, 1999). Kematian ibu dapat
terjadi akibat status asmatikus. Penyulit yang mengancam nyawa adalah pneumotoraks,
pneumomediastinum, kor pulmonale akut, aritmia jantung, dan kelelahan otot disertai henti
napas. Angka kematian secara substantif meningkat apabila asmanya memerlukan ventilasi
mekanis.
TABEL 46-4. Hasil Ibu dan Perinatal pada Kehamilan dengan Penyulit Asma.
Penelitian

Jumlah

Jana dkk. (1995)


182
Schatz dkk. (1995)
486
Wendel dkk. (1996)
84
Alexander
dkk.
817
(1998)
Demissie
dkk.
2289
(1998)
Rata-rata perkiraan
3858
NS = tidak tercantum.

Hipertensi

Hasil Akhir perinatal (%)


Hambatan
Pelahiran
Diabetes

kehamilan

pertumbuhan preterm

gestasional

18
10
17
-15

NS
6
1
-5

13
4,8
11
-6

1,6
1,2
11
~

15

18

NS

10,4

11,3

6,8

2,2

Pengaruh kehamilan terhadap timbulnya serangan asma pada setiap penderita tidaklah sama,
bahkan pada seorang penderita asma serangannya tidak sama pada kehamilan pertama dan
kehamilan berikutnya. Biasanya serangan akan timbul mulai usai kehamilan 24 minggu sampai
36 minggu, dan akan berkurang pada akhir kehamilan.
B. Efek Kehamilan Pada Asthma
Tidak ada bukti bahwa kehamilan menimbulkan efek yang dapat diprediksi pada asma.
Schatz dkk. (1988) secra prospektif meneliti gejala dan pemeriksaan spirometri sepanjang
kehamilan dan masa nifas pada 366 wanita yang mengidap asma. Mereka melaporkan bahwa
sepertiga dari para pasien ini masing-masing membaik, tidak mengalami perubahan, atau malah

memburuk. Pada studi prospektif lainnya oleh Stenius-Aarniala dkk. (1988) terhadap 198
kehamilan, hampir 40% wanita memerlukan terapi yang lebih intensif untuk asmanya pada suatu
saat selama kehamilan. Oleh karena itu, sekitar sepertiga wanita asmatik dapat mengalami
perburukan penyakit pada suatu saat selama kehamilan mereka.
C. Efek Pada Janin
Pengaruh asma pada ibu dan janin sangat bergantung dari frekuensi dan beratnya
serangan asma, karena ibu dan janin akan mengalami hipoksia. Keadaan hipoksia jika tidak
segera diatasi tentu akan memberikan pengaruh buruk pada janin, berupa abortus, persalinan
prematur, dan berat janin yang tidak sesuai dengan umur kehamilan.
Baik penelitian pada hewan maupun manusia mengisyaratkan bahwa alkalosis pada ibu
dapat menyebabkan hipoksemia janin jauh sebelum oksigenasi ibu terganggu (Rolston dkk.,
1974). Gangguan pada janin diperkirakan disebabkan oleh kombinasi beberapa faktor, yaitu
berkurangnya aliran darah uterus, berkurangnya aliran balik vena ibu, dan pergeseran kurva
disosiasi oksihemoglobin ke kiri akibat keadaan basa. Apabila ibu tidak mampu lagi
mempertahankan tekanan oksigen normal dan terjadi hipoksemia, janin akan berespon dengan
mengurangi aliran darah umbulikus, meningkatkan resistensi vaskular sistemik dan paru, dan
akhirnya mengurangi curah jantung. Kesadaran bahwa janin dapat mengalami gangguan serius
sebelum penyakit ibu menjadi parah menggarisbawahi pentingnya penatalaksanaan agresif bagi
semua wanita hamil dengan asma akut. Pemantauan respon janin pada dasarnya menjadi
indikator gangguan pada ibu.
Angka kesakitan dan kematian perinatal tergantung dari tingkat penanganan asma.
Gordon et al menemukan bahwa angka kematian perinatal meningkat 2 kali lipat pada kehamilan
dengan asma dibandingkan kontrol, akan tetapi dengan penanganan penderita dengan baik,
angka kesakitan dan kematian perinatal dapat ditekan mendekati angka populasi normal.

2.6 Pengobatan Asthma Bronchial


Dasar-dasar Penanganan

Penanganan penderita asma selama kehamilan bertujuan untuk menjaga ibu hamil sedapat
mungkin bebas dari gejala asma, walauoun demikian eksaserbasi akut selalu tak dapat dihindari.
Pengobatan yang harus diusahakan adalah :
1. Menghindari terjadinya gangguan pernapasan melalui pendidikan terhadap penderita, menghindari
pemaparan terhadap alergen, dan mengobati gejala awal secara tepat.
2. Menghindari terjadinya perawatan di unit gawat darurat karena kesulitan pernapasan atau status
asmatikus, dengan melakukan intervensi secara awal dan intensif.
3. Mencapai suatu persalinan aterm dengan bayi yang sehat, di samping melindungi keselamatan ibu.
4. Dalam penanganan penderita asma diperlukan individualisasi penanganan, karena penanganan
suatu kasus mungkin berbeda dengan kasus asma yang lain, dalam memulai suatu perawatan
obstetri terhadap wanita hamil dengan asma perlu diperhatikan beberapa prinsip tertentu yaitu :
a. Mendeteksi dan mengeliminasi faktor pemicu timbulnya serangan asma pada penderita tertentu.
b. Menghentikan merokok, baik untuk alasan obstetrik maupun pulmonal
c. Mendeteksi dan mengatasi secara awal jika diduga adanya infeksi pada saluran nafas, seperti
bronkitis, sinusitis.
d. Pembahasan antara ahli kebidanan dan ahli paru, untuk mengetahui masalah-masalah yang
potensial dapat timbul, rencana penanganan umum termasuk penggunaan obat-obatan.
e. Pertimbangan untuk mengurangi dosis pengobatan, tetapi masih dalam kerangka respon
pengobatan yang baik.
f. Melakukan penelitian fungsi paru dasar, juga penentuan gas darah khususnya pada penderita asma
berat.
Obat-obat yang akan diresepkan bergantung pada intensitas penyakitnya. Golongan obat yang
penting dalam pengobatan asma adalah:
Bronkodilator

Agonis adrenoreseptor beta, misalnya salbutamol, terbutalin

Preparat antimuskarinik, misalnya ipratoprium (jarang digunakan pada dewasa muda)

Metilsantin, misalnya teofilin


Antiinflamasi

Kromon, misalnya kromoglikat, nedokromil

Kortikosteroid, glukokortikoid, misalnya beklometason, prednisolon

Antagonis reseptor leukotrien (tidak dianjurkan pada kehamilan)

Pengalaman klinik yang luas menunjukkan bahwa preparat inhalasi kromoglikat, agonis
adrenoroseptor beta2 dan kortikosteroid merupakan preparat yang aman pada kehamilan (Serafin,
1996). Kendati demikian diperlukan penelitian yang lebih luas untuk menilai risiko malformasi
kongenital yang menyertai terapi yang diresepkan sekarang ini (Jadad et al, 2000). Penelitian
underpower [glosarium] telah mengaitkan penggunaan agonis adrenoreseptor beta 2 dalam
trimester pertama dengan peningkatan risiko polidaktili pada neonatus (Pangle, 2000).

Preparat bronkodilator
Diameter jalan napas dikontrol oleh beberapa faktor (lihat tabel)
Tabel Pengendalian Jalan Napas

Preparat bronkodilator akan menimbulkan relaksasi otot polos bronkiolus dan


menghasilkan medikasi penyelamatan yang efektif. Jika seorang ibu hamil menggunakan
preparat inhalasi penyelamat secara teratur dan melebihi satu kali pemakaian per hari,
mungkin serangan asmanya tidak akan terkendali dengan baik sehingga dapat terjadi
hipoksemia yang menggangu keselamatn janin. Penggunaan lebih dari sebuah alat inhaler untuk
pemakaian 200 kali dalam waktu sebulan akan disertai dengan peningkatan angka mortalitas
karena serangan asma (Drug and Therapy Perspectives, 1997).

Preparat agonis adrenoreseptor beta2 (mis. Salbutamol)


Seperti adrenalin/epinefrin, obat-obat ini bekerja dengan menstimulasi reseptor beta2
yang terdapat dalam hati, otot polos dan kelenjar pada banyak organ, tremasuk uterus, paru-paru
serta usus. Penggunaan preparat aerosol salbutamol atau terbutalin merupakan terapi inisial
pilihan dalam penanganan asma pada kehamilan asal gejalanya dapat dikontrol dengan inhalasi
kurang dari sekali per hari. Bentuk oral obat-obat ini sangat jarang digunakan pada kehamilan.
Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa preparat inhalasi agonis sdrenoreseptor beta 2
berbahaya bagi janin atau neonatus yang disusul ibunya. Sebagian abnormalitas janin yang
ditemukan dalam penelitian binatang terjadi karena pemberian obat-obat ini dengan dosis yangs
angat tinggi. Terapi oral atau intravena dapat menimbulkan takikardia fetal atau neonatal,
hipoglikemia dan tremor pada neonatus (Serafin, 1996), namun semua efek samping ini lebih
cenderung terjadi pada pemakaian dosis yang lebih tinggi untuk tujuan tokolisis.
Penggunaan preparat agonis adrenereseptor beta2

Tindakan penyelamatan pada serangan asma;

Terapi profilaksis

Pencegahan gejala asma pada pasien yang juga mendapatkan terapi profilaksis anti-inflamasi
(biasanya salmeterol);

Penyakit jalan napas yang kronis (mis. Kistik fibrosis): mengurangi edema paru;

Tokolisis
Penggunaan inhalasi salbutamol atau terbutalin untuk mengatasi gejala asma selama
persalinan tidak akan memperpanjang proses persalinan atau pun menunda awitan persalinan; hal
ini mungkin terjadi karena absorpsi sistemik yang rendah (Nelson-Piercy & Moore-Gillon,1995).
Metilsantin
Penggunaan teofilin tidak direkomendasikan selama kehamilan. Kadang-kadang obat ini
digunakan untuk menstimulasi gerakan napas pada neonatus.

Preparat anti-inflamasi
Inflamasi menyebabkan penyempitan jalan napas pada pasien asma dan penyempitan ini
bisa terjadi pada saat serangan asma maupun dalam masa antar-serangan/eksaserbasi. Banyak zat
mediator inflamasi (seperti histamin) turut terlibat dalam proses inflamasi sehingga terapi yang
efektif lebih ditujukan kepada proses inflamasinya ketimbang kepada suatu zat mediator saja.
Preparat anti-inflamasi dibeikan untuk mencegah serangan asma dan bukan untuk mengobati
serangan asma tersebut. Kromoglikat kini sudah banyak digunakan pada kehamilan tanpa
menimbulkan efek yang merugikan; sementara itu, pengalaman dalam penggunaan nedokromil
masih belum banyak (Nelson-Piercy & Moore-Gillon, 1995)
Kromoglikat
Kromoglikat merupakan obat yang berkhasiat dengan beberapa efek samping saja.
Preparat ini diberikan secara inhalasi sebagai terapi preventif yang bisadilakukan secara teratur
sebelum exercise. Mekanisme kerjanya belum jelas, tetapi mungkin kromoglikat mencegah
stimulasi reseptor iritan dan menghambat reaksi inflamasi. Kromoglikat tidak diangkut melintsi
plasenta dan dengan demikian tidak memasuki ASI. Inhalasi serbuk kering kering kromoglikat
dapat menimbulkan batuk-batuk dan spasme ronkus. Reaksi hipersensitivitas sangat jarang
terjadi pada penggunaan obat ini.

Kortikosteroid

Preparat steroid telah menyelamatkan kehidupan dan merupakan revolusi dalam


penatalaksanaan keadaan sakit yang berat seperti serangan asma, artritis reumatoid, dermatitis
eksfoliatif dan penyakit addison. Penggunaan preparat inhalasi beklometason secara teratur akan
mengurangi serangan asma yang berat pada kehamilan (Wendel et al, 1996). Karena efek
sampingnya, pemberian per oral untuk jangka waktu yang lama jika mungkin harus dihindari dan
pemakaian rumatan (maintenance) dijaga pada tingkat pemberian yang minimal (BNF, 2000).
Namun demikian, preparat steroid oral yang lain seperti prednisolon merupakan obat yang
esensial untuk serangan asma yang akut dan berat.
Pemakaian topikal atau inhalasi dapat mengurangi efek samping sistemik kendati tidak
selalu menghilangkan efek samping tersebut (CSM, 1998). Preparat inhalasi kortikosteroid dapat
menimbulkan infeksi oral seperti kandidiasis kecuali jika higiene mulut dijaga dengan baik.
Berkumur dengan air bersih sesudah menggunakan inhalasi kortikosteroid akan mengurangi
risiko timbulnya kandidiasis oral.
Efek samping sistemik dapat terjadi pada pemberian 8000 mikrogram preparat inhalasi
beklometason per hari.
Eliminasi preparat steroid bergantung pada enzim-enzim hati. Keadaan ini menimbulkan
beberapa interaksi obat. Steroid akan melintasi plasenta sampai taraf yang beragam. Sebagai
contoh, lebih dari 80 persen prednisolon akan mengalami inaktivasi di dalam plasenta. Risiko
terjadinya retardasi pertumbuhan intrauteri menunjukkan angka yang signifikan jika pemberian
kortikosteroid dilakukan untuk waktu yang lama atau diulang secara berkali-kali (BNF, 2000).
Prednisolon(yang diberikan per oral) akan berjalan masuk ke dalam ASI. Takaran di atas 40 mg
per hari dapat menimbulkan efejk samping pada neonatus sehingga pemantauan yang teliti harus
dilakukan terhadap neonatus (CSM, 1998).
Kerja dan efek samping kortikosteroid
Efek samping yang cenderung timbul dengan sgera:

Maslah kardiovaskuler;

Masalah pada sistem saraf pusat;

Gangguan metabolisme-hiperglikemia.
Kortikosteroid mendorong pemecahan glikogen serta protein menjadi glukosa, dan
meningkatkan selera makan dan berat badan. Makanan yang kaya garam atau gula harus
dikurangi untuk menurunkan risiko hipertensi dan karies dentis.

Efek samping yang cenderung terjadi setelah periode waktu yang lebih lama :

Kerja anti-inflamasi;

Gangguan metabolisme-pertunbuhan, viabilitas jaringan dan metabolisme lemak;

Suprsi adrenal.
Efek penggunaan obat anti asma dalam kehamilan terhadap janin Umumnya obat-obat anti
asma yang biasanya dipergunakan relatif aman penggunaannya selama kehamilan, jarang
dijumpai adanya efek teratogenik pada janin akibat penggunaan obat anti asma.
Penanganan asma kronik pada kehamilan
Dalam penanganan penderita asma dengan kehamilan, dan tidak dalam serangan akut,
diperlukan adanya kerja sama yang baik antara ahli kebidanan dan ahli paru. Usaha-usaha
melalui edukasi terhadap penderita dan intervensi melalui pengobatan dilakukan untuk
menghindari timbulnya serangan asma yang berat.
Adapun usaha penanganan penderita asma kronik meliputi :

1. Bantuan psikologik menenangkan penderita bahwa kehamilannya tidak akan memperburuk


perjalanan klinis penyakit, karena keadaan gelisah dan stres dapat memacu timbulnya serangan
asma.
2. Menghindari alergen yang telah diketahui dapat menimbulkan serangan asma
3. Desensitisasi atau imunoterapi, aman dilakukan selama kehamilan tanpa adanya peningkatan
resiko terjadinya prematuritas, toksemia, abortus, kematian neonatus, dan malformasi kongenital,
akan tetapi efek terapinya terhadap penderita asma belum diketahui jelas.
4. Diberikan dosis teofilin per oral sampai tercapai kadar terapeutik dalam plasma antara 10-22
mikrogram/ml, biasa dosis oral berkisar antara 200-600 mg tiap 8-12 jam.
5. Dosis oral teofilin ini sangat bervariasi antara penderita yang satu dengan yang lainnya.

6. Jika diperlukan dapat diberikan terbulatin sulfat 2,5-5 mh per oral 3 kali sehari, atau beta agonis
lainnya.
7. Tambahkan kortikosteroid oral, jika pengobatan masih belum adekuat gunakan prednison dengan
dosis sekecil mungkin.
8. Pertimbangan antibiotika profilaksis pada kemungkinan adanya infeksi saluran nafas atas.
9. Cromolyn sodium dapat dipergunakan untuk mencegah terjadinya serangan asma, dengan dosis
20-40 mg, 4 kali sehari secara inhalasi.
Penanganan serangan asma akut pada kehamilan
Dalam menghadapi ibu hamil dengan serangan asma akut, harus secara cepat dinilai
beratnya serangan, jika berat perlu dipertimbangkan perawat diruang unit perawatan intensif
dengan tetap memonitor keadaan janin dalam kandungan.
Penanganan serangan asma akut pada kehamilan adalah sebagai berikut:
1. Pemberian oksigen yang telah dilembabkan, 2-4/menit, pertahankan pO2 70-80 mmHg. Janin sangat
rentan terhadap keadaan hipoksia.
2. Hindari obat-obat penekan batuk, sedatif dan antihistamin. Tenangkan penderita Berikan cairan
intravena, biasanya penderita mengalami kekurangan cairan, cairan yang digunakan biasanya
ringer laktat atau normal saline.
3. Berikan aminofilin dengan loading dose 4-6 mg/kgBB dan dilanjutkan dengan dosis 0,8-1
mg/kgBB/jam sampai tercapai kadar terapeutik dalam plasma sebesar 10-20 mikrogram/ml.
4. Jika diperlukan pertimbangan penggunaan terbulatin subkutan dengan dosis 0,25 mg
5. Berikan steroid : hidrokortison secara intravena 2 mm/kgBB loading dose, tiap 4 jam atau setelah
loading dose dilanjutkan dengan infus 0,5 mg/kgBB/jam
6. Pertimbangan penggunaan antibiotika jika ada kecurigaan infeksi yang menyertai

7. Intubasi dan ventilasi bantuan, jarang dibutuhkan kecuali pada kasus-kasus yang mengancam
kehidupan.
8. Serangan asma berat yang tidak memberikan respons setelah 30-60 menit dengan terapi infeksi (obat
agonis beta & teofilin) disebut status asmatikus, pada keadaan ini penderita ini harus ditangani di
unit perawatan intensif Selama kehamilan pertimbangan untuk intubasi lebih awal diperlukan
jika fungsi pernapasan ibu terus menurun, meskipun dilakukan penanganan yang intensif.
Melakukan intubasi dan ventilasi mekanis.

2.7 Penanganan asma dalam persalinan


Pada kehamilan dengan asma yang terkontrol baik, tidak diperlukan suatu intervensi
obstetri awal. Pertumbuhan janin harus dimonitor dengan ultrasonografi dan parameterparameter klinik, khususnya pada penderita-penderita dengan asma berat atau yang steroid
dependen, karena mereka mempunyai resiko yang lebih besar untuk mengalami masalah
pertumbuhan janin. Onset spontan persalinan harus diperbolehkan, intervensi preterm hanya
dibenarkan untuk alasan obstetrik.
Karena pada persalinan kebutuhan ventilasi bisa mencapai 20 I/menit, maka persalinan
harus berlangsung pada tempat dengan fasilitas untuk menangani komplikasi pernapasan yang
berat; peneliti menunjukkan bahwa 10% wanita memberat gejala asmanya pada waktu
persalinan.
Selama persalinan kala I pengobatan asma selama masa prenatal harus diteruskan, ibu
yang sebelum persalinan mendapat pengobatan kortikosteroid harus hidrokortison 100 mg
intravena, dan diulangi tiap 8 jam sampai persalinan. Bila mendapat serangan akut selama
persalinan, penanganannya sama dengan penanganan serangan akut dalam kehamilan seperti
telah diuraikan di atas.
Pada persalinan kala II persalinan per vaginam merupakan pilihan terbaik untuk penderita
asma, kecuali jika indikasi obstetrik menghendaki dilakukannya seksio sesarea. Jika dilakukan
seksio sesarea. Jika dilakukan seksio sesarea lebih dipilih anestesi regional daripada anestesi
umum karena intubasi trakea dapat memacu terjadinya bronkospasme yang berat.
Pada penderita yang mengalami kesulitan pernapasan selama persalinan pervaginam,
memperpendek, kala II dengan menggunakan ekstraksi vakum atau forceps akan bermanfaat.

Bila terjadi pendarahan post partum yang berat, prostaglandin E2 dan uterotonika lainnya
harus digunakan sebagai pengganti prostaglandin F2(x) yang dapat menimbulkan terjadinya
bronkospapasme yang berat.
Dalam memilih anestesi dalam persalinan, golongan narkotik yang tidak melepaskan
histamin seperti fentanyl lebih baik digunakan daripada meperidine atau morfin yang melepas
histamin.
Bila persalinan dengan seksio sesarea atas indikasi medik obstetrik yang lain, maka
sebaiknya anestesi cara spinal.

2.8 Penanganan asma post partum


Penanganan asma post partum dimulai jika secara klinik diperlukan. Perjalanan dan
penanganan klinis asma umumnya tidak berubah secara dramatis setelah post partum. Pada
wanita yang menyusui tidak terdapat kontra indikasi yang berkaitan dengan penyakitnya ini.
Teofilin bisa dijumpai dalam air susu ibu, tetapi jumlahnya kurang dari 10% dari jumlah
yang diterima ibu. Kadar maksimal dalam air susu ibu tercapai 2 jam setelah pemberian, seperti
halnya prednison, keberadaan kedua obat ini dalam air susu ibu masih dalam konsentrasi yang
belum mencukupi untuk menimbulkan pengaruh pada janin.

BAB III Penutup


3.1 Kesimpulan
1.

Asma bronchial dapat berkurang atau bertambah dalam kehamilan

2.

Menghindari kemungkinan infeksi pernaasan dan tekanan emosional; karena hal ini akna
memperberat penyakit primer

3.

Kehamilan, persalinan dan nifas akan berlangsung seperti biasa, tanpa gangguan, kecuali
datang serangan asma yang berat (status asmatikus). Dalam hal ini diberikan obat-oabatan dan
oksigen. Kala II diperpendek dengan tindakan ekstraksi atau forceps.

4.

Apabila ada indikasi obstetrik untuk melakukan seksio sesarea, bekerja sama dengan ahli
anestesi untuk memilih narkosa yang paling aman. Biasanya anestesi lumbal atau kaudal.

5.

Obat-obatan : sama saja dengan obat-obat asma pada masa tidak hamil aminofilin, efidrin,
epinefrin dan kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid harus hati-hati ada kasus pre-eklamsi,
karena obat ini dapat menyebabkan retensi cairan dan kenaikan tekanan darah. Juga harus
tersedia tabung oksigen untuk menghadapi status asmatikus.

3.2 Saran
1.

Pendeteksian dini melalui pemeriksaan antenatal sangat penting dilakukan untuk


mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi.

2.

Diadakannya penyuluhan kepada masyarakat terutama ibu hamil supaya memeriksakan


kehamilannya secara teratur supaya dapat mendeteksi segala komplikasi secara dini agar dapat
menurunkan tingkat kesakitan dan kematian ibu dan bayi.

Daftar Pustaka

Cunningham, F.Gary et.al, 2006, Obstetri William Edisi 21 vol 1 dan 2. Jakarta : EGC
Ginekologi.cetakan 1. Halaman 220- 221. Jakarta: widya medika
Jordan, sue. Farmakologi Kebidanan. Jakarta: EGC
R. SCOTT, James, dkk. 2002. Danforth buku saku Obstetri dan
Setiawati, Arini, dkk. 1990. Pencegahan Serangan Asma. Jakarta: FKUI.
Manuaba , Ida Bagus gde . 1998. Ilmu kebidanan, penyakit kandungan & Keluarga
Berencana untuk Pendidikan Bidan Halaman 275. Jakarta : EGC.
Prawirohardjo, S, 2002. Ilmu Kebidanan.Jakarta : YBSP
Wiknjosastro, Hanifa. 2002. Ilmu kebidanan. Jakarta : YBPSP

bidanku.com

Vous aimerez peut-être aussi