Vous êtes sur la page 1sur 13

Paradigma Filsafat Hukum Dalam

Kasus Narkotika
PARADIGMA CRITICAL THEORY DALAM KAITANNYA DENGAN
KASUS NARKOTIKA PUTUSAN PENGADILAN NOMOR
235/PID.SUS/2014/PN DPK DAN LETAK MENCAPAI KEADILAN DALAM
HUKUM

Disusun Oleh :
Kahfi Bima Kurniawan
11010112140583
Kelas H

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015

PENDAHULUAN
Negara Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Tidak dapat
dipungkiri bahwa dalam hal ini siapapun masyarakat yang melakukan suatu perbuatan
yang melawan hukum akan dapat dikenai sanksi pidana. Hal ini tercantum pada Pasal 1
Ayat (1) KUHP Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan
pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. Ini
berarti bahwa perbuatan yang melawan hukum dapat dipidana akan tetapi harus sudah di
atur dalam Undang-Undang atau Undang-Undangnya sudah ada duluan sebelum
perbuatan tersebut dilakukan. Banyak sekali kasus di Tanah Air ini yang selalu saja
terjadi, dari kasus yang umum seperti pemerkosaan, pembunuhan, pencurian,
penganiayaan, kejahatan terhadap ketertiban umum, dan masih banyak lagi lainnya
sebagaimana di atur dalam Buku II KUHP tentang kejahatan. Tak dapat dipungkiri bahwa
adapula kasus yang khusus atau dalam hal ini masuk ke dalam kategori pidana khusus,
seperti dalam hal terorisme, korupsi, gratifikasi, pencucian uang, perikanan bahkan
narkotika yang sudah mengganggu kehidupan bangsa Indonesia.

LATAR BELAKANG
Peredaran narkotika di Indonesia semakin masih. Bahkan, 80 persen di antaranya
masuk melalui jalur laut karena Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Setelah masuk
melalui pelabuhan-pelabuhan kecil, kemudian narkotika didistribusikan melalui jalur
darat.
Indonesia saat ini sudah berstatus darurat narkoba di mana sudah menjadi negara pasar.
Penjualan narkoba di Indonesia memang sangat menguntungkan. Peredaran gelap
narkotika paling banyak masih berada di Jakarta dan diikuti dengan Jawa Barat, Jawa
Timur, dan seterusnya. Penghentian narkotika di Indonesia sangatlah susah. Pencegahan
bahkan pemberantasan narkotika di Tanah Air sangatlah sulit dikarenakan banyak
kalangan-kalangan atas yang mempunyai kekuatan yang membuat barang haram tersebut
mudah untuk masuk ke Tanah Air. Tidak itu juga perizinan yang tidak ketat dan hasil dari
penjualan narkotika yang sangat menguntungkan dan menggiurkan membuat orang-orang
hampir terpaku untuk melakukan perdagangan narkotika tersebut.
Dikarenakan negara Indonesia adalah negara hukum dimana terdapat Undang-Undang
dalam pengaturan narkotika yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, dalam hal ini
masih belum efesien dan maksimal. Masih banyak permasalahan yuridis di dalam
Undang-Undang tersebut dimana dalam paper ini saya ingin menunjukkan permasalahan
yuridis tersebut terhadap putusan berkekuatan hukum tetap mengenai arti dari
permufakatan jahat dan percobaan serta penjatuhan hukuman pidana yang tidak sesuai
yang bertolak belakang kepada keadilan.
Dalam paper ini saya akan membahas lebih jauh mengenai kasus perkara narkotika
putusan pengadilan Nomor : 235/Pid.Sus/2014/PN Dpk. Dalam kasus ini terpidana
bernama lengkap Winda Triasih binti ( alm ) Arifin Sukarno, lahir di Bogor, berusia 40
Tahun, pekerjaannya adalah ibu rumah tangga. Terpidana di tangkap oleh penyidik pada
tanggal 15 Januari 2014.
Diluar ini semua, terdapat suatu cara berpikir untuk dikaitkan dengan suatu putusan
pengadilan tersebut. Cara berpikir ini bisa kita sebut dengan yang namanya paradigm.
Paradigma merupakan suatu model yang dipakai ilmuwan dalam kegiatan ilmiahnya,

untuk menentukan jenis-jenis persoalan yang perlu digarap, dengan metoda apa dan
melalui prosedur bagaimana penggarapan itu harus dilakukan.

PERMASALAHAN

Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Depok dengan Nomor : 235/Pid.Sus/2014/PN


Dpk, yang dimana terpidana dijatuhi putusan oleh Hakim sebagaimana di atur dalam
Pasal 114 Ayat (2) Jo Pasal 132 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan pidana
narkotika dengan tanpa hak atau melawan hukum menjadi perantara dalam jual beli,
menyerahkan, atau menerima narkotika Golongan I dalam bentuk bukan tanaman
beratnya melebihi 5 (lima)gram menjatuhkan pidana penjara selama 13 (lima belas)
Tahun dan denda sebesar Rp. 1.000.000.000,- (Satu miliyar rupiah). Dari kutipan
pasal tersebut yang menjadi permasalahan adalah mengenai percobaan atau
permufakatan jahat.
1. Apakah dalam hal ini percobaan dan permufakatan jahat sama hukumannya
dengan pelaksanaaan sampai selesai yang dimana akan di kaitkan dengan
Paradigma Teori Kritis (Critical Theory) berdasarkan pula dengan set basic belief
dalam pertanyaan ontology ?

PEMBAHASAN
Percobaan dan permufakatan jahat sama dengan pelaksanaaan sampai selesai yang
dimana akan di kaitkan dengan Paradigma Teori Kritis (Critical Theory) berdasarkan
pula dengan set basic belief Ontologi.
Percobaan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Pasal
132 Ayat (1) Penjelasannya sebagai adanya unsur-unsur niat, adanya permulaan
pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan bukan semata-mata disebabkan karena
kehendaknya sendiri. Uraian tersebut jelas bahwa ada niat untuk melakukan suatu
perbuatan dan adanya permulaan pelaksanaan, akan tetapi saat mau mulai melakukan
gagal karena bukan semata-mata dikehendaki sendiri melainkan ada faktor lain yang
menyebabkan batalnya pelaksanaan perbuatan tersebut. Kalau ini memang di sebut
percobaan maka pelaksanaan tidak selesai dalam pasal 53 ayat (2) KUHP dalam hal
percobaan dapat dikurangi 1/3 yang berarti pidana penjara seberat 10 Tahun saja.
Akan tetapi tidak disebutkan secara jelas di dalam Undang-Undang Narkotika
mengenai percobaan.
Yang kedua mengenai permufakatan jahat, menurut Pasal 88 KUHP di katakana
sebagai pemfukatan jahat apabila ada 2 orang atau lebih telah sepakat akan melakukan
kejahatan. Disini kata sepakat mengandung makna bahwa ada suatu kemauan antara
para pihak yang dimana dalam hal ini untuk melakukan suatu kejahatan. Apabila para
pihak belum sepakat lalu niatnya untuk melakukan kejahatan ketahuan maka dalam
hal ini belum ada pelaksanaan hingga selesai.
Namun hal ini berbeda dengan permufakatan jahat yang diatur dalam pasal 1 angka
18 perbuatan dua orang atau lebih yang bersekongkol atau bersepakat untuk
melakukan, melaksanakan, turut serta melakukan, menyuruh, menganjurkan,dsb
lagi-lagi ada kata bersepakat dimana para pihak harus mau untuk melakukan suatu
kejahatan dimana kesepkatan ini adalah hal yang disadari oleh para pihak. Sekarang
yang menjadi pertanyaannya adalah kaitannya dengan putusan hakim dalam

penjatuhan sanksi pidananya dengan kaitannya paradigma teori kritis (Critical


Theory). Sebelum kita berbicara mengenai Paradigma critical theory, alangkah
baiknya kita mengetahui dulu apa itu pengertian Paradigma sebagaimana telah
dijelaskan sedikit dalam latar belakang diatas.
Paradigma adalah keranga berpikir yang membedakan dan memadukan, kemudian
memilah dan mengelompokkan telaahan praktis, ilmiah, teoritis dan filsafati tentang
suatu hal, keadaan, peristiwa atau permasalahan hukum dalam rangka menjelaskan,
memahami, mengungkapkan atau menyelesaikannya secara lebih rinci, jelas dan
komprehensif.
Kenapa kerangka berpikir ? Bukan cara berpikir ? Ibarat frame foto, foto ditaruh
dalam frame agar tidak sobek, rusak, dan berdebu. Frame dengan foto itu berbeda.
Pikiran sama dengan foto, paradigma sama dengan frame. Pikiran manusia diberi
kerangka agar jelas, tegas, rinci. Jadi ibarat kata pikiran manusia itu seperti foto yaitu
mengenai hasil pemikiran sedangkan paradigma disini adalah rangka atau kerangka
untuk mematangkan, menjaga, dan menguatkan dari hasil pemikiran tersebut agar
kokoh dan tidak mudah rusak ataupun hilang.1
Dalam maknanya yang luas, paradigma adalah suatu system filosofis utama, induk,
atau payung yang terbangun dari ontology, epistemology, dan metodologi tertentu,
yang masing-masingnya terdiri dari satu set belief dasar atau worldview yang tidak
dapat begitu saja dipertukarkan [dengan belief dasar atau worldview dari ontology,
epistemology, dan metodologi paradigma lainnya]. Paradigm mempresentasikan suatu
system atau set belief dasar tertentu yang berkenaan dengan prinsip-prinsip utama
atau pertama, yang mengikatkan penganut atau pengguanya pada world view tertentu,
berikut cara bagaimana dunia harus dipahami dan dipelajari, serta yang senantiasa
memandu setiap pikiran, sikap, kata dan perbuatan penganutnya.
Dari sekian banyak pakar yang mencoba menyodorkan pemahaman mengenai
klasifikasi paradigma, Prof. Erlyn Indarti SH.,M.A,.Ph.D cenderung mengadopsi
1 Bahan materi kuliah IV filsafat hukum lebih jauh tentang paradigma Prof. Erlyn
Indarti SH.,M.A,.Ph.D

pendapat Guba dan Lincold yang menurut Prof. Erlyn Indarti SH.,M.A,.Ph.D lebih
mencakup sekaligus sistematis, padat, dan rasional. Mereka, yang pada dasarnya lebih
condong kepada pengertian global dari paradigma itu, membedakan paradigm
berdasarkan pada jawaban masing-masing terhadap 3 (tiga) pertanyaan mendasar
yang menyangkut : Pertama, bentuk dan sifat realitas, berikut apa yang dapat
diketahui mengenai hal ini [disebut sebagai pertanyaan ontologis] ; sifat hubungan
atau relasi antara individu atau kelompok masyarakat dengan lingkungan atau segala
yang ada diluar dirinya, termasuk apa yang dapat diketahui tentang hal ini [disebut
sebagai pertanyaan epistemologis, ke dalam mana termasuk pula pertanyaan
aksiologis ; dan cara bagaimana individu atau kelompok masyarakat [ tentunya
termasuk peneliti ] mendapatkan jawab atas apa yang ingin di ketahuinya tersebut
[disebut sebagai pertanyaan metodologis2.
Itulah mengenai definisi sesungguhnya paradigma. Seiring berjalannya waktu lahirlah
4 paradigma besar yang diantaranya adalah Teori Kritis (Critical Theory). Aliran
Critical Theory merupakan suatu wacana atau cara pandang terhadap realitas, yang
mempunyai orientasi ideologis terhadap paham tertentu. Ideology ini meliputi
NeoMarxisme, Materliasme, Feminisme, Partispatory Inqury dan paham-paham yang
setara. Paham ini telah melihat realitas secara kritis. Sama sekali berbeda dengan
paham positivism, aliran ini langsung terjun ke lapangan.
Teori ini lahir dalam ilmu pengetahuan karena realitas cara pandang positivsme terlalu
direduksi. Reduksionisme memandang bahwa alam selalu dipandang hanya dengan
menatap dari kursi goyang para ilmuwan belaka dan tidak pernah turun ke lapangan
secara langsung. Teori kritis ini merupakan salah satu kritik terhadap positivsme
dalam ilmu sosial. Teori kritis ini mengalami perkembangan dalam dua generasi.
Pertama pada tahun 1923 oleh Horkheimerdan kedua dimulai dengan adanya usahausaha dari Jurgen Habermas.
Dari kedua perkembangan teori kritis tersebut, Hubert mencatat ada tiga karakteristik
dari Teori Kritis yang dikembangkan oleh Horkheimer. Pertama, teori kritis diarahkan
oleh suatu kepentingan perubahan fundamental pada masyarakat. Untuk kepentingan
2 Indarti, Erlyn (2010) Diskresi dan Paradigma: Sebuah telaah filsafat hukum. Documentation. Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro. (Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

ini harus ditumbuhkan sikap kritis dalam menginterpretasikan realitas yang dinilai
terdistrosi. Kedua, teori kritis dilandaskan pad apendekatan berpikir yang historis.
Ketiga, teori kritis ada untuk upaya pengembangan eberpikir komprehensif. Dari
penjelasan tersebut, teori kritis bersikap dan curiga terhadap realitas yang ada,
berpikir dengan memperhatikan aspek historis yang terjadi dalam masyarakat dan
tidak memisahkan antara teori dan praktek.3
Dalam hal set basic belief pertanyaan ontologi, critical theory merupakan realisme
virtual dimana kenyataan yang ada terjadi karena adanya proses panjang ratusan tahun
karena pengaruh etnis, gender, politik, yang terkristalisasi nyata dan sudah dirubah
karena kristalisasi ini. Tiga hal kriteria Critical Theory dalam pemikirannya yaitu
mengenai : diskriminasi, exploitasi, dan ketidakadilan.
Dalam hal ini pemikiran aliran critical theory menyatakan bahwa suatu hal yang
sudah terbentuk lama karena sejalannya waktu ( sejarah ), karena proses lama inilah
yang secara turun temurun di anggap benar oleh mayoritas manusia. Contoh saja
seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), KUHP merupakan
peninggalan belanda yang sudah berpuluh-puluh tahun ada dan saat ini yang tertuang
dalam KUHP tersebut dianggap benar oleh kebanyakan orang dan apa yang ada di
KUHP tersebut adalah mutlak. Akan tetapi manusia yang mempunyai kerangka
berpikir critical theory ini akan menolak seolah-olah kenyataan yang di anggap benar
ini hanyalah sebatas virtual ( maya ). Tidak semua di anggap benar atau apa yang ada
di KUHP itu tidak semua pasal apabila di terapkan akan timbul keadilan.
Menurut saya, dengan aliran pemikiran critical theory ini yang berkaitan dengan
putusan Pengadilan Negeri Depok dalam kasus narkotika tersebut adalah menentang
putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Depok. Parameter keadilan seperti
apa yang menjadikan bahwa hukum itu adil. Di kutip dari pengertian keadilan
menurut Gustav Radbruch Ukuran nilai hukum positif dan tujuan dari pembuat
Undang-Undang adalah keadilan. Keadilan adalah suatu nilai absolute seperti nilai
kebenaran, kebaikan, dan keindahan yang berdasar pada dirinya sendiri, tidak
diturunkan dari nilai-nilai yang lebih tinggi. Menurut Gustav keadilan sebagai
3 Yesmil anwar dan adang, Pengantar Sosiologi Hukum, Grasindo, Jakarta, 2008.
Hlm. 59.

keutamaan atau kebajikan. Disini ada keadilan subjektif yaitu hubungan antar
manusia, keadilan menurut ukuran hukum positif dan keadilan menurut cita hukum
adalah sumber keadilan dan inti dari keadilan adalah kesamaan. Menurutnya Hukum
Positif dan Pembuat Undang-Undang adalah keadilan. Jadi intinya tujuan UndangUndang itu dibuat adalah untuk keadilan.4
Begitu juga menurut Hart yang menyatakan bahwa adil dan tidak adil merupakan
bentuk kritik moral yang lebih spesifik daripada baik dan buruk atau benar dan salah.
Jelas fakta bahwa hukum yang baik adalah yang adil sedangkan hukum itu buruk
karena tidak adil. 5Untuk mempertahankan arti hukum sebagai sungguh-sungguh
mewajibkan, satu-satunya jalan yang tinggal ialah memberika perhatian kepada isi
kaidah-kaidah hukum. Dengan isi kaidah hukum disini bukan objek-objek yang diatur
oleh kaidah hukum yang dimaksudkan melainkan cara suatu objek diatur,
diperhatikan apakah suatu peraturan menurut isinya bersifat adil atau tidak. Sebab
tentu saja, bila suatu kaidah menurut isinya menggalang suatu aturan yang adil,
kaidah itu bernilai dan dapat ditanggapi sebagai mewajibkan secara batin.6
Parameter keadilan menurut saya terletak bukan di Undang-Undang tetapi di mana
yang seharusnya perbuatan tersebut dilakukan akan tetapi tidak menimbulkan akibat
yang terlalu besar. Jelas dalam kasus ini terpidana di jatuhi putusan yaitu percobaan
atau permufakatan jahat yang mana dalam hal ini di jatuhi sama dengan sanksi pidana
yang dijatuhkan hingga perbuatan itu selesai. Disini terpidana jelas ingin melakukan
perbuatan tersebut hingga selesai tapi karena faktor yang tidak dikehendakinya
perbuatan tersebut menjadi gagal. Dan pula kalau ini memang permufakatan jahat
dalam hal ini masih terlintas niat antar para pihak untuk ragu melakukan perbuatan
tersebut atau tidak. Keadilan ini yang menjadikan dasar bahwa menurut aliran critical
theory keadilan di ukur bukan karena Undang-Undang yang mengatur. Walaupun
4 Hyonimus Rhiti,Filsafat Hukum Edisi Lengkap (Dari Klasik sampai
Postmodernisme), Universitas Atma Jaya Yogyakarta, hlm. 238 dan 245.
5 Petrus C.K.L Bello, Hukum dan Moralitas Tinjauan Filsafat Hukum, Erlangga,
Jakarta, 2012, hlm.38.
6 Theo Huijbers, Filsafat Huku, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 48.

Undang-Undang Narkotika ada karena proses sejarah yang panjang sejalannya waktu
yang menurut maskyarakat benar dan di patuhi akan tetapi aliran ini ingin
membuktikan bahwa hal tersebut tidak benar karena terdapat permasalahan yuridis
dalam undang-undang tersebut yang membuat ketidakadilan terhadap pelaku yang
melakukan percobaan atau permufakatan jahat dengan pelaku yang melakukan
delik hingga selesai.
Aliran ini hanya bisa mengkritik suatu hal tetapi tidak ada solusinya. Kriteria manusia
dengan aliran ini adalah dengan mudahnya emosi dan mudah sering jengkel terhadap
suatu hal yang di anggap oleh kebanyakan orang benar tetapi menurut dia tidak benar.
Tidak ada solusi terhadap suatu yang dikritiknya. Hanya bisa melihat itu tidak benar
dan itu salah.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa narkotika merupakan kejahatan yang sudah
luar biasa beredar di Indonesia. Bukan hanya kalangan muda saja yang terkena
dampaknya, tetapi seluruh lapisan masyarakat dapat terkena akibat yang terjadi
karena narkotika. Pembuatan Undang-Undang yang dilakukan oleh pembuat UndangUndang masih jauh dalam kata maksimal. Dengan ini saya masih tidak setuju apabila
percobaan atau permufakatan jahat di Undang-Undang ini sanksi pidananya sama
dengan perbuatan yang dilakukan hingga selesai. Pembuat undang-undang tidak
memperhatikan dampak yang timbul dari kepastian hukum yang mana tumpul ke atas
dan tajam kebawah. Masyarakat bawah sering menjadi korban ketidakadilan oleh
pembuat Undang-Undang. Padahal sudah disebutkan dalam pendapat Gustav dan hart
bahwa tujuan pembuat UU membuat Undang-Undang adalah keadilan. Keadilan
disini belum di rasakan sepenuhnya oleh pelaku yang berada dilapisan bawah.
Dikatakan hukum apabila itu adil dan dikatakan bukan hukum apabila didalamnya
terdapat ketidakadilan.

KESIMPULAN
Dari hasil analisis dalam bab pembahasan, maka dapat di tarik kesimpulan- kesimpulan
sebagai berikut :
1. Seharusnya hakim mengetahui makna yang ada didalam Undang-Undang. Hakim
melakukan interpretasi atau penafsiran yang terdapat didalam setiap kata di UndangUndang untuk menimbang dan mengadili dalam menjatuhkan suatu pemidanaan.
Disini hakim menilai dan memutus bahwa percobaan dan permufakatan jahat
disamakan dengan suatu perbuatan yang dianggap selesai.
2. Keadilan diukur dari suatu putusan hakim dimana putusan itu benar atau tidak
terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Keadilan itu adalah tujuan
dari suatu pembuat Undang-Undang dan hukum positif.

DAFTAR PUSTAKA
Petrus C.K.L Bello. 2012. Hukum dan Moralitas Tinjauan Filsafat Hukum. Jakarta :
Erlangga.
Anwar, Yesmil dan Adang. 2008. Pengantar Sosiologi Hukum. Jakarta : Grasindo.
Huijbers, Theo. 1995. Filsafat Hukum. Yogyakarta : Kanisius.
Rhiti, Hyronimus. 2011. Filsafat Hukum edisi lengkap (dari klasik sampai
postmodernisme). Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Bahan kuliah Filsafat Hukum 2015 oleh Prof. Erlyn Indarti SH.,M.A,.Ph.D
Indarti,

Erlyn (2010) Diskresi

hukum. Documentation.

Fakultas

dan

Paradigma:

Hukum

Sebuah

Universitas

telaah

filsafat

Diponegoro.

(Pidato

Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro)

Vous aimerez peut-être aussi