Vous êtes sur la page 1sur 54

EVALUASI PROGRAM PENGENDALIAN

TUBERKULOSIS
DI UPT PUSKESMAS KECAMATAN BEJI
PERIODE JANUARI DESEMBER 2014

Disusun oleh:
Dessy Krissyena, S.Ked

1320221128

Pembimbing:
Dr. Hanna Windyantini, MPdKed

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KESEHATA MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN VETERAN JAKARTA
2015

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang
paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes, 2011). Penyakit ini
bila tidak diobati atau pengobatannya tidak tuntas dapat menimbulkan komplikasi
berbahaya hingga kematian. Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang
masih menjadi perhatian dunia. Hingga saat ini, belum ada satu negara pun yang
bebas TB. Angka kematian dan kesakitan akibat kuman Mycobacterium
tuberculosis ini pun tinggi. WHO menyatakan bahwa Tuberkulosis merupakan
global emergency pada awal tahun 1990-an. Hingga saat ini, TB merupakan
penyakit menular yang masih menjadi tantangan bagi banyak negara di dunia.
Indonesia termasuk sebagai salah satu negara dengan beban TB tinggi di dunia
(Depkes, 2013).
Tahun 2009, 1,7 juta orang meninggal karena TB (600.000 diantaranya
perempuan) sementara ada 9,4 juta kasus baru TB (3,3 juta diantaranya
perempuan). Sepertiga dari populasi dunia sudah tertular dengan TB dimana
sebagian besar penderita TB adalah usia produktif (15-55 tahun). Dunia telah
menempatkan TB sebagai salah satu indikator keberhasilan pencapaian MDGs.
Secara umum ada 4 indikator yang diukur, yaitu Prevalensi, Mortalitas, Penemuan
kasus dan Keberhasilan pengobatan. Dari ke-4 indikator tersebut 3 indikator
sudah dicapai oleh Indonesia, angka kematian yang harus turun separuhnya pada
tahun 2015 dibandingkan dengan data dasar (baseline data) tahun 1990, dari
92/100.000 penduduk menjadi 46/100.000 penduduk. Indonesia telah mencapai
angka 39/100.000 penduduk pada tahun 2009. Angka Penemuan kasus (case
detection rate) kasus TB BTA positif mencapai lebih 70%. Indonesia telah
mencapai angka 73,1% pada tahun 2009 dan mencapai 77,3% pada tahun 2010.
Angka ini akan terus ditingkatkan agar mencapai 90% pada tahun 2015 sesuai
target RJPMN. Angka keberhasilan pengobatan (success rate) telah mencapai
lebih dari 85%, yaitu 91% pada tahun 2009.3 Indonesia mendapatkan Champion

Award for Exeptional Work in the Fight Againts TB yang diperoleh dari USAID
Global Health atas prestasi luar biasa dalam penanggulangan Tuberkulosis (TB).
Penghargaan tersebut diberikan bertepatan dengan Peringatan Hari Tuberkulosis
Sedunia tahun 2013, kepada Pemerintah Indonesia (Depkes, 2013).
Pengendalian TB di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman penjelajahan
Belanda namun masih terbatas pada kelompok tertentu. Setelah perang
kemerdekaan, TB ditanggulangi melalui Badan Pengobatan Penyakit Paru Paru
(BP-4). Sejak tahun 1969 pengendalian TB dilakukan secara nasional melalui
Puskesmas. Pada tahun 1995, program pengendalian TB mulai menerapkan
strategi pengobatan jangka pendek dengan pengawasan langsung (DOTS =
Directly Observed Treatment Shortcourse) yang dilaksanakan di Puskesmas
secara bertahap (Kemenkes, 2015).
Strategi nasional pengendalian

TB

telah

sejalan

dengan

petunjuk

internasional (WHO DOTS dan strategi baru Stop TB). Strategi yang
direkomendasikan untuk mengendalikan TB (DOTS = Directly Observed
Treatment Shortcourse) terdiri dari 5 komponen yaitu komitmen pemerintah untuk
mempertahankan control terhadap TB; deteksi kasus TB di antara orang-orang
yang memiliki gejala-gejala melalui pemeriksaan dahak; pengobatan teratur
selama 6-8 bulan yang diawasi; persediaan obat TB yang rutin dan tidak terputus;
dan sistem laporan untuk monitoring dan evaluasi perkembangan pengobatan dan
program (Depkes, 2013). Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara
Nasional di seluruh Fasyankes terutama Puskesmas yang diintegrasikan dalam
pelayanan kesehatan dasar (Kemenkes, 2015). DOTS sangat penting untuk
penanggulangan TB selama lebih dari satu dekade, dan tetap menjadi komponen
utama dalam strategi penanggulangan TB yang terus diperluas.
Telah banyak kemajuan yang dicapai dalam pengendalian TB di Indonesia
tetapi tantangan masalah TB ke depan tidaklah semakin ringan. Tantangan
tersebut diantaranya berupa meningkatnya koinfeksi TB-HIV, kasus TB-MDR,
kelemahan manajemen dan kesinambungan pembiayaan program pengendalian
TB. Walaupun jumlahnya sudah berhasil ditekan, tapi jumlah pasien TB dan
kematiannya masih juga cukup banyak. Oleh karena itu, pengendalian TB
memerlukan partisipasi semua pihak dan dukungan seluruh lapisan masyarakat.
1.2 Masalah

Belum adanya evaluasi program Pengendalian Tuberkulosis di


Puskesmas Beji tahun 2014 serta untuk melihat sejauh mana keberhasilan
puskesmas dalam program Pengendalian TB.
1.3 Tujuan
I.3.1.
Tujuan umum
Melakukan evaluasi program Pengendalian Tuberkulosis

agar

dapat diketahui pelaksanaan dan tingkat keberhasilannya di Puskesmas


I.3.2.

Beji.
Tujuan khusus
a. Mengetahui pelaksanaan dan pencapaian program Pengendalian
Tuberkulosis di Puskesmas Beji
b. Mengetahui
masalah-masalah

pada

program

Pengendalian

Tuberkulosis di Puskesmas Beji


c. Mengetahui kemungkinan penyebab masalah-masalah dari program
Pengendalian Tuberkulosis di Puskesmas Beji dan membuat prioritas
masalah
d. Membuat alternatif pemecahan masalah untuk program Pengendalian
Tuberkulosis di Puskesmas Beji
1.4 Manfaat
1.4.1.
Manfaat bagi Puskesmas
a. Mendapatkan masukan mengenai pelaksanaan dan masalah-masalah
yang dihadapi selama pelaksanaan program Pengendalian Tuberkulosis
di Puskesmas Beji
b. Mendapatkan alternatif penyelesaian masalah dalam pelaksanaan
program Pengendalian Tuberkulosis Puskesmas Beji.
c. Sebagai bahan masukan untuk melakukan penyuluhan kesehatan guna
meningkatkan

keberhasilan

program

Pengendalian

Tuberkulosis

Puskesmas Beji pada tahun-tahun berikutnya.


1.4.2.

Manfaat bagi Universitas


Sebagai tempat penyelenggaraan tugas kedokteran terutama dalam
kepaniteraan kedokteran komunitas serta siap bekerja di masyarakat.

1.4.3.
Manfaat bagi penulis
a. Penulis dapat melakukan

evaluasi

program

mengaplikasikan ilmu kesehatan komunitas


b. Mendapatkan informasi mengenai pelaksanaan
Tuberkulosis di Puskesmas Beji

puskesmas
program

dengan

Pengendalian

c. Penulis

dapat

mengidentifikasi

masalah

dan

memberikan

alternatif

penyelesaian masalah sebagai masukan untuk pelaksanaan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Program Pengendalian Tuberkulosis
2.1.1.
Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis complex (PDPI, 2006).
2.1.2.

Epidemiologi Tuberkulosis
Global Tuberculosis Report 2014, melaporkan bahwa Indonesia

masuk dalam 10 besar negara dengan insidensi tertinggi. Indonesia


merupakan negara kelima dengan Insidensi TB di dunia setelah India,
China, Nigeria, Pakistan (WHO, 2014). Angka ini menunjunkkan bahwa
angka insidensi TB di Indonesia masih tinggi. Meskipun memiliki beban
penyakit TB yang tinggi, Indonesia merupakan negara pertama diantara
High Burden Country (HBC) di wilayah WHO South-East Asian yang
mampu mencapai target global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan
pengobatan pada tahun 2006 (Kemenkes, 2011).

2.1.3.

Tujuan dan Sasaran Pengendalian TB


Tujuan dari Pengendalian TB adalah Menurunkan angka kesakitan

dan kematian akibat TB dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan


kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat (Depkes RI,
2011).
Sasaran strategi nasional pengendalian TB ini mengacu pada rencana
strategis kementerian kesehatan dari 2009 sampai dengan tahun 2014 yaitu
menurunkan prevalensi TB dari 235 per 100.000 penduduk menjadi 224
per 100.000 penduduk. Sasaran keluaran adalah:

(1) meningkatkan

persentase kasus baru TB paru (BTA positif) yang ditemukan dari 73%
menjadi 90%; (2) meningkatkan persentase keberhasilan pengobatan kasus
baru TB paru (BTA positif) mencapai 88%; (3) meningkatkan persentase
provinsi dengan CDR di atas 70% mencapai 50%; (4) meningkatkan
persentase provinsi dengan keberhasilan pengobatan di atas 85% dari 80%
menjadi 88% (Depkes RI, 2011).
2.1.4.
Kebijakan Pengendalian TB
a. Pengendalian TB di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan azas
desentralisasi dalam kerangka otonomi dengan Kabupaten/kota sebagai
titik

berat

manajemen

program,

yang

meliputi:

perencanaan,

pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menjamin ketersediaan


sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana).
b. Pengendalian TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS dan
memperhatikan strategi Global Stop TB partnership.
c. Penguatan kebijakan ditujukan untuk meningkatkan komitmen daerah
terhadap program pengendalian TB.
d. Penguatan strategi DOTS dan pengembangannya ditujukan terhadap
peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan
pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan
mencegah terjadinya MDR-TB.
e. Penemuan dan pengobatan dalam rangka pengendalian TB dilaksanakan
oleh seluruh Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes), meliputi
Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah Balai/Klinik Pengobatan, Dokter
Praktek Swasta (DPS) dan fasilitas kesehatan lainnya.

f. Pengendalian TB dilaksanakan melalui penggalangan kerja sama dan


kemitraan diantara sektor pemerintah, non pemerintah, swasta dan
masyarakat dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian TB
(Gerdunas TB).
g. Peningkatan kemampuan laboratorium diberbagai tingkat pelayanan
ditujukan untuk peningkatan mutu dan akses layanan.
h. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk pengendalian TB diberikan secara
cuma-cuma dan dikelola dengan manajemen logistk yang efektif demi
menjamin ketersediaannya.
i. Ketersediaan tenaga yang kompeten dalam jumlah yang memadai untuk
meningkatkan dan mempertahankan kinerja program.
j. Pengendalian TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan
kelompok rentan lainnya terhadap TB.
k. Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya.
l. Memperhatikan komitmen internasional yang termuat dalam MDGs
(Depkes RI, 2011).
2.1.5.

Strategi

Strategi nasional program pengendalian TB nasional terdiri dari 7 strategi:


a. Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu
b. Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan kebutuhan
masyarakat miskin serta rentan lainnya
c. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan

pemerintah,

masyarakat

(sukarela), perusahaan dan swasta melalui pendekatan Public-Private


Mix dan menjamin kepatuhan terhadap International Standards for TB
Care
d. Memberdayakan masyarakat dan pasien TB.
e. Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan
manajemen program pengendalian TB.
f. Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program
TB.
g. Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi
strategis (Depkes RI, 2011).
2.1.6.
Kegiatan
a. Tatalaksana dan Pencegahan TB
Kegiatan yang dilakukan seperti penemuan kasus tuberkulosis,
pengobatan tuberkulosis, pemantauan dan hasil pengobatan tuberkulosis
Pengendalian infeksi pada sarana layanan, serta pencegahan tuberkulosis.

b. Manajemen Program TB
Kegiatan-kegiatan pada manajemen Program TB antara lain
perencanaan program tuberkulosis, monitoring dan evaluasi program
tuberkulosis,

manajemen

logistik

program

tuberkulosis

dan

pengembangan ketenagaan program tuberkulosis, serta promosi program


tuberkulosis.
c. Pengendalian TB komprehensif
Kegiatan yang dilakukan

antara

lain

penguatan

layanan

laboratorium tuberkulosis, Public - Private Mix (pelibatan semua fasilitas


pelayanan kesehatan), kolaborasi TB-HIV, pemberdayaan masyarakat
dan pasien TB, pendekatan kolaborasi dalam kesehatan paru, manajemen
TB resisten obat, serta penelitian tuberkulosis (Depkes RI, 2011).
2.1.7.

Organisasi Pelaksanaan
Organisasi pelaksanaan Pengendalian TB terdiri dari aspek

manajemen program dan aspek tatalaksana pasien TB.


a. Aspek manajemen program
Tingkat Pusat
Upaya pengendalian TB dilakukan melalui Gerakan Terpadu
Nasional Pengendalian Tuberkulosis (Gerdunas-TB) yang merupakan
forum kemitraan lintas sektor dibawah koordinasi Menko Kesra.
Menteri Kesehatan R.I. sebagai penanggung jawab teknis upaya
pengendalian TB. Dalam pelaksanaannya program TB secara Nasional
dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan, cq. Sub Direktorat Tuberkulosis.

Tingkat Propinsi
Di tingkat propinsi dibentuk Gerdunas-TB Propinsi yang
terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur
organisasi disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Dalam pelaksanaan
program TB di tingkat propinsi dilaksanakan Dinas Kesehatan

Propinsi.
Tingkat Kabupaten/Kota
Di tingkat kabupaten/kota dibentuk Gerdunas-TB kabupaten /
kota yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan
struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan kabupaten / kota.

Dalam

pelaksanaan

program TB

di

tingkat

Kabupaten/Kota

dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.


b. Aspek Tatalaksana pasien TB
Dilaksanakan oleh Puskesmas, Rumah Sakit, BP4/Klinik dan Dokter
Praktek Swasta.
Puskesmas
Dalam pelaksanaan

di

Puskesmas,

dibentuk

kelompok

Puskesmas Pelaksana (KPP) yang terdiri dari Puskesmas Rujukan


Mikroskopis (PRM), dengan dikelilingi oleh kurang lebih 5 (lima)
Puskesmas Satelit (PS). Pada keadaan geografis yang sulit, dapat
dibentuk Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM) yang dilengkapi tenaga
dan fasilitas pemeriksaan sputum BTA.
Rumah Sakit
Rumah Sakit Umum, Balai/Baiali Besar Kesehatan Paru
Masyarakat (B/BKPM), dan klinik lannya dapat melaksanakan semua
kegiatan tatalaksana pasien TB.
Dokter Praktek Swasta (DPS) dan fasilitas layanan lainnya.
Secara umum konsep pelayanan di Balai Pengobatan dan DPS
sama dengan pelaksanaan pada rumah sakit dan Balai Penobatan
(klinik).
2.1.8.

Penemuan Kasus Tuberkulosis


Tahap awal penemuan dilakukan dengan menjaring mereka yang

memiliki gejala:
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3
minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu
dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu
makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam

hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.
Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru
selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru,
dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih
tinggi, maka setiap orang yang datang ke Fasyankes dengan gejala
tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien
TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis
langsung.

Suspek TB MDR adalah semua orang yang mempunyai gejala TB


dengan salah satu atau lebih kriteria suspek dibawah ini:
1. Pasien TB yang gagal pengobatan kategori 2 (kasus kronik)
2. Pasien TB tidak konversi pada pengobatan kategori 2.
3. Pasien TB dengan riwayat pengobatan TB di fasyankes Non DOTS.
4. Pasien TB gagal pengobatan kategori 1.
5. Pasien TB tidak konversi setelah pemberian sisipan.
6. Pasien TB kambuh.
7. Pasien TB yang kembali berobat setelai lalai/default.
8. Pasien TB dengan riwayat kontak erat pasien TB MDR
9. ODHA dengan gejala TB-HIV.
Setelah menjaring mereka yang memiliki gejala, tahap selanjutnya

adalah pemeriksaan dahak. Pemeriksaan dahak

berfungsi untuk

menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan


potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis
dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan
dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu
(SPS).

S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang


berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah

pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.


P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera
setelah bangun tidur. Pot dahak dibawa dan diserahkan sendiri kepada

petugas di Fasyankes.
S (sewaktu): dahak dikumpulkan di Fasyankes pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi.

2.1.9.

Diagnosis Tuberkulosis
Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari,

yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS). Selanjutnya, diagnosis TB Paru pada


orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB. Pada program
TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis
merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan
dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang
sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya

berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu


memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi
overdiagnosis (Depkes, 2011).

Diagram 2.1 Alur Diagnosis TB Paru


2.1.10. Pengobatan Tuberkulosis
a. Prinsip Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan
mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis
(OAT). Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip
sebagai berikut:
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian
OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan
sangat dianjurkan.

Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan


pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh
seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan

lanjutan.
Tahapan pengobatan Tuberkulosis terdiri dari 2 tahap, yaitu tahap
awal (intensif) dan tahap lanjutan.
Tahap awal (intensif) : pada tahap intensif (awal) pasien mendapat
obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah
terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut
diberikan secara tepat, biasanya pasien menjadi tidak menular dalam
kurun waktu 2 minggu.

Sebagian besar pasien TB BTA positif

menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.


Tahap Lanjutan : Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih

sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan
penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan.

b. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk
paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin
kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket
untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.
1. Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian

Tuberkulosis di Indonesia:
Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan

(HRZE)
Kategori Anak: 2HRZ/4HR
Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di
Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin,

Levofloksasin, Ethionamide, sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1,


yaitu pirazinamid and etambutol.
2. Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket
berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini
terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya
disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam
satu paket untuk satu pasien.
3. Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid,
Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk
blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam
pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.
c. Paduan OAT lini pertama dan peruntukannya.
1. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien
baru:
Pasien baru TB paru BTA positif.
Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
Pasien TB ekstra paru
Tabel 2.1 Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1

Tabel 2.2 Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1

2. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah
diobati sebelumnya:
Pasien kambuh
Pasien gagal
Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Tabel 2.3 Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2

Tabel 2.4 Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2

Catatan:
Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk
streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.
Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
Cara

melarutkan

streptomisin

vial

gram

yaitu

dengan

menambahkan aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml.


(1ml = 250mg).
3. OAT Sisipan (HRZE)
Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk
tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).
Tabel 2.5 Dosis KDT untuk Sisipan

Tabel 2.6 Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan

Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida


(misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan
diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi
obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lini pertama. Disamping
itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lini
kedua.
2.1.11.

Pemantauan dan Evaluasi Program


Pemantauan dan evaluasi merupakan salah satu fungsi manajemen

untuk

menilai

keberhasilan

pelaksanaan

program.

Pemantaun

dilaksanakan secara berkala dan terus menerus, untuk dapat segera


mendeteksi bila ada masalah dalam pelaksanaan kegiatan yang telah
direncanakan, supaya dapat dilakukan tindakan perbaikan segera.
Evaluasi dilakukan setelah suatu jarak-waktu (interval) lebih lama,
biasanya setiap 6 bulan s/d 1 tahun. Dengan evaluasi dapat dinilai sejauh
mana tujuan dan target yang telah ditetapkan sebelumnya dicapai. Dalam
mengukur keberhasilan tersebut diperlukan indikator. Hasil evaluasi
sangat berguna untuk kepentingan perencanaan program.
Masing-masing tingkat pelaksana program (UPK, Kabupaten/Kota,
Propinsi, dan Pusat) bertanggung jawab melaksanakan pemantauan
kegiatan pada wilayahnya masing-masing.
Seluruh kegiatan harus dimonitor baik dari aspek masukan (input),
proses, maupun keluaran (output). Cara pemantauan dilakukan dengan
menelaah laporan, pengamatan langsung dan wawancara dengan petugas
pelaksana maupun dengan masyarakat sasaran.
Untuk menilai kemajuan atau keberhasilan penanggulangan TB
digunakan beberapa indikator. Indikator penanggulangan TB secara
Nasional ada 2 yaitu:

Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate = CDR)


CDR adalah persentase jumlah pasien baru BTA positif yang
ditemukan dan diobati dibanding jumlah pasien baru BTA positif
yang diperkirakan ada dalam wilayah tersebut. Case Detection Rate

menggambarkan cakupan penemuan pasien baru BTA positif pada


wilayah tersebut.
Case Detection Rate menggambarkan cakupan penemuan
pasien baru BTA positif pada wilayah tersebut.
Rumus :
Jumlah pasien baru TB BTA positif yang dilaporkan
x 100
Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA positif
Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA positif diperoleh
berdasarkan perhitungan angka insidens kasus TB paru BTA positif
dikali dengan jumlah penduduk. Target Case Detection Rate
Program Penanggulangan Tuberkulosis Nasional minimal 70%.

Angka Keberhasilan Pengobatan (Success Rate = SR).


Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan persentase
pasien baru TB paru BTA positif yang menyelesaikan pengobatan
(baik yang sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien
baru TB paru BTA positif yang tercatat. Dengan demikian angka ini
merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan dan angka
pengobatan lengkap.
Rumus :
Jumlah baru TB BTA positif ( sembuh+ pengobatanlengkap)
x 100
Jumlah pasien baru TB BTA yang diobati

2.2 Sistem
2.3.1. Pengertian Sistem
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sistem adalah erangkat
unsur yg secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu
totalitas (KBBI, 2015). Sedangkan, menurut Ryans, sistem adalah
gabungan dari elemen-elemen yang saling dihubungkan oleh suatu proses
atau struktur dan berfungsi sebagai satu kesatuan organisasi dalam upaya
menghasilkan sesuatu yang ditetapkan.
2.3.2. Unsur-unsur Sistem
Unsur-unsur yang terdapat dalam sistem dapat dikelompokkan menjadi
enam unsur yaitu :

a. Masukan (input) adalah kumpulan bagian atau elemen yang


terdapat

dalam sistem dan yang diperlukan untuk dapat

berfungsinya sistem tersebut. Dalam sistem pelayanan kesehatan,


masukan terdiri dari tenaga, dana, metoda, sarana/material.
b. Proses (process) adalah kumpulan bagian atau elemen yang
terdapat dalam sistim dan yang berfungsi untuk mengubah
masukan menjadi keluaran yang direncanakan. Dalam sistem
pelayanan kesehatan terdiri dari perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, dan penilaian.
c. Keluaran (output) adalah kumpulan bagian atau elemen yang
dihasilkan dari berlangsungnya proses dalam sistem.
d. Umpan balik (feed back) adalah kumpulan bagian atau elemen
yang merupakan keluaran dari sistem dan sekaligus sebagai
masukan bagi sistem tersebut.
e. Dampak (impact) adalah akibat yang dihasilkan oleh keluaran
suatu sistem.
f. Lingkungan (environment) adalah dunia di luar sistem yang tidak
dikelola oleh sistem tetapi mempunyai pengaruh besar terhadap
sistem (Azrul, 1996).

Lingkungan

Masukan

Proses

Umpan Balik

Diagram 2.2 Hubungan Unsur-unsur Sistem


2.3.3.

Pendekatan Sistem
Dibentuknya suatu sistem pada dasarnya untuk mencapai suatu tujuan

tertentu yang telah ditetapkan. Untuk terbentuknya sistem tersebut perlu


dirangkai berbagai unsur atau elemen sedemikian rupa sehingga secara
keseluruhan membentuk suatu kesatuan dan secara bersama-sama
berfungsi untuk mencapai tujuan kesatuan. Apabila prinsip pokok atau cara
kerja sistem ini diterapkan pada waktu menyelenggarakan pekerjaan
administrasi, maka prinsip pokok atau cara kerja ini dikenal dengan nama
pendekatan sistem (system approach).
Pendekatan sistem adalah penerapan suatu prosedur yang logis dan
rasional dalam merancang suatu rangkaian komponen-komponen yang
berhubungan sehingga dapat berfungsi sebagai suatu kesatuan mencapai
tujuan yang telah ditetapkan (Marliana, 2008).

Keluara

2.3.4.

Evaluasi Program
Istilah evaluasi mempunyai arti yang berhubungan, masing-masing

menunjuk pada aplikasi beberapa skala nilai terhadap hasil kebijakan dan
program. Secara umum, istilah evaluasi sapat disamakan dengan
penaksiran

(appraisal),

pemberian

angka

(ratting)

dan

penilaian

(assessment) kata-kata yang menyatakan usaha untuk menganalisis hasil


kebijakan dalam arti satuan nilainya. Dalam arti yang lebih spesifik,
evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau
manfaat hasil kebijakan. Ketika hasil kebijakan pada kenyataan
mempunyai nilai, hal ini karena hasil tersebut member sumbangan pada
tujuan atau sasaran, dalam hal ini dikatakan bahwa kebijakan atau program
telah mencapai tingkat kinerja yang bermakna, yang berarti bahwa
masalah-masalah kebijakan dibuat jelas atau diatasi.
Evaluasi merupakan cara untuk membuktikan keberhasilan atau
kegagalan pelaksanaan dari suatu program, oleh karena itu pengertian
evaluasi sering digunakan untuk menunjukan tahapan siklus pengelolahan
program yang mencakup :
a. Evaluasi pada tahap perencanaan (EX-ANTE).
Pada tahap perencanaan, evaluasi sering digunakan untuk
memilih dan menentukan prioritas dari berbagai alternative dan
kemungkinan cara mencapai tujuan yang telah dirumuskan
sebelumnya.
b. Evaluasi pada tahap pelaksanaan (ON-GOING).
Pada tahap pelaksanaan, evaluasi digunakan

untuk

menentukan tingkat kemajuan pelaksanaan program dibandingkan


dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.
c. Evaluasi pada tahap Pasca Pelaksanaan (EX-POST)
Pada tahap pasca pelaksanaan evaluasi ini diarahkan untuk
melihat apakah pencapaian (keluaran/hasil/dampak) program
mampu mengatasi masalah pembangunan yang ingin dipecahkan.
Evaluasi ini dilakukan setelah program berakhir untuk menilai
relevansi (dampak dibandingkan masukan), efektivitas (hasil
dibandingkan keluaran), kemanfaatan (dampak dibandingkan

hasil), dan keberlanjutan (dampak dibandingkan dengan hasil dan


keluaran) dari suatu program (Anonim, 2011).

BAB III
METODE EVALUASI
3.1 Pengumpulan Data

Pengumpulan data bersumber dari data primer dan data sekunder.


Sumber data primer diperoleh melalui wawancara dengan koordinator
pelaksana Program Pengendalian Tuberkulosis di UPT Puskesmas Kecamatan
Beji. Selain itu, data sekunder didapatkan dari Profil UPT Puskesmas
Kecamatan Beji 2014 dan Buku Registrasi Pasien TB Tahun 2014 di Klinik
TB Paru.
3.2 Cara penilaian dan Evaluasi
3.2.1. Penetapan Indikator dan tolok ukur penilaian
Evaluasi dilakukan pada Program Pengendalian Tuberkulosis di UPT
Puskesmas Beji. Sumber rujukan tolak ukur penilaian yang digunakan
adalah sebagai berikut :
1. Profil UPT Puskesmas Kecamatan Beji 2014
2. Pedoman Nasional Penanggulangan Penyakit Tuberkulosis Paru tahun
2011
3. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014
Tabel 3.1 Penetapan Indikator dan tolok ukur penilaian
Variabel

Definisi operasional atau rumus

Target

Prevalensi TB

Jumlah suspek yang diperiksa


x 100.000
Jumlah penduduk

180%

(per 100.000)

90%
Case Detection
Rate (%)

Success Rate
(%)

Jumlah pasien baru TB BTA positif yang dilaporkan


x 100
Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA positif
88%
Jumlah baru TB BTA positif (sembuh+ pengobatanlengkap)
x 100
Jumlah pasien baru TB BTA yang diobat i

Sumber : Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014

3.3 Cara Analisis


3.3.1.
Menetapkan indikator dan tolok ukur dari unsur keluaran.
Mengetahui atau menetapkan indikator dan tolok ukur atau standar
yang ingin dicapai merupakan langkah pertama untuk menentukan adanya
suatu masalah dari pencapaian hasil output. Indikator didapatkan dari
berbagai rujukan, rujukan tersebut harus realistis dan sesuai sehingga layak
digunakan untuk mengukur. Tolok ukur juga diperoleh dari rujukan.

3.3.2.

Membandingkan pencapaian masing-masing indikator keluaran

dengan tolok ukurnya.


Langkah selanjutnya adalah

memabandingkan hasil pencapaian

program (output) dengan tolok ukurnya. Jika terdapat kesenjangan antara


tolok ukur dengan hasil pencapaian pada unsur keluaran maka disebut
sebagai masalah.
3.3.3.
Menetapkan prioritas masalah.
Masalah bisa lebih dari satu, tergantung dari indikator yang dipakai.
Sehingga perlu dibuat prioritas masalah. Tujuan menetapkan prioritas
masalah adalah menetapkan masalah yang akan dipecahkan masalahnya
terlebih dahulu. Jika masalah lebih dari satu, maka penetapan prioritas
masalah dilakukan dengan teknik kriteria matriks. Kriteria ini dibedakan
atas tiga macam, yaitu:
a) Pentingnya masalah (importancy / I), makin penting masalah tersebut,
makin diprioritaskan penyelesainnya. Ukuran pentingnya masalah yaitu :
1) Besarnya masalah (prevalence / P)
2) Akibat yang ditimbulkan oleh masalah (severity / S)
3) Kenaikan besarnya masalah (rate of increase / RI)
4) Derajat keinginan masyarakat yang tidak terpenuhi (degree of
unmeet need / DU)
5) Keuntungan sosial karena selesainya masalah (social benefit / SB)
6) Rasa prihatin masyarakat terhadap masalah (public concern / PB)
7) Suasana politik (political climate / PC)
b) Kelayakan teknologi (technical feasibility / T), makin layak teknologi
yang tersedia dan yang dapat dipakai untuk mengatasi masalah, makin
diprioritaskan masalah tersebut. Kelayakan teknologi yang dimaksud
adalah menunjuk penguasaan ilmu dan teknologi yang sesuai.
c) Sumber daya yang tersedia (resources availability / R), makin tersedia
sumber daya yang dapat dipakai untuk mengatasi masalah makin
diprioritaskan masalah tersebut. Sumber daya yang dimaksud adalah yang
menunjuk pada tenaga (man), dana (money) dan sarana (material).
Beri nilai antara 1 (tidak penting) sampai dengan 5 (sangat penting)
untuk setiap kriteria yang sesuai. Perhitungan prioritas masalah dilakukan
dengan rumus I x T x R. Masalah yang dipilih sebagai prioritas adalah
yang memiliki nilai tertinggi.
3.3.4.
Membuat kerangka konsep dari masalah yang diprioritaskan.
Untuk menentukan penyebab masalah, gambarkan terlebih dahulu
proses terjadinya masalah atau kerangka konsep prioritas masalah,

sehingga diharapkan semua faktor penyebab masalah dapat diketahui dan


diidentifikasi.
3.3.5.
Identifikasi penyebab masalah.
Langkah selanjutnya adalah mengelompokkan unsur masukan,
proses, umpan balik dan lingkungan sebagai faktor yang diperkirakan
berpengaruh terhadap prioritas masalah. Selanjutnya menentukan tolok
ukur dari masing-masing unsur tersebut. Setelah itu, bandingkan
pencapaian dari unsur-unsur tersebut dengan tolok ukurnya, kesenjangan
yang ada ditetapkan sebagai penyebab masalah.
3.3.6.
Membuat alternatif jalan keluar.
Sesuai dengan penyebab masalah yang ditemukan, maka dibuat
alternatif jalan keluar. Alternatif jalan keluar dibuat dengan melihat
kerangka konsep prioritas masalah, sehingga tersusun daftar alternatif
jalan keluar, dengan melihat kondisi dan situasi fasilitas kesehatan di
puskesmas.
3.3.7.
Menentukan prioritas cara pemecahan masalah.
Setelah membuat alternatif jalan keluar yang dianggap paling baik dan
memungkinkan, laangkah selanjutnya adalah menentukan prioritas cara
pemecahan masalah. Pemilihan cara pemecahan masalah ini dengan
memakai teknik kriteria matriks. Dua kriteria yang lazim digunakan
adalah:
a) Efektifitas jalan keluar (effectifity/ E), menetapkan nilai efektifitas
untuk setiap alternatif jalan keluar, yakni dengan memberikan angka 1
(paling tidak efektif) sampai dengan angka 5 (paling efektif). Prioritas
jalan keluar adalah yang nilai efektifitasnya paling tinggi. Untuk
menentukan efektifitas jalan keluar, dipergunakan kriteria tambahan
sebagai berikut:
1) Besarnya masalah yang dapat diselesaikan (magnitude/ M) Makin
besar masalah yang dapat di atasi, makin tinggi prioritas jalan keluar
tersebut.
2) Pentingnya jalan keluar (importancy/ I) Pentingnya jalan keluar
dikaitkan dengan kelanggengan masalah. Makin langgeng selesai
masalahnya, makin penting jalan keluar tersebut.

3) Sensivitas jalan keluar (vuneberality/ V) Sensitivitas dikaitkan


dengan kecepatan jalan keluar mengatasi masalah. Makin cepat masalah
teratasi, makin sensitif jalan keluar tersebut.
b) Efisiensi Jalan Keluar (efficiency/C), menetapkan nilai efisiensi untuk
setiap alternatif jalan keluar, yakni dengan memberikan angka 1 (paling
tidak efisien) sampai dengan angka 5 (paling efisien). Nilai efisien ini
biasanya

dikaitkan

dengan

biaya

(cost)

yang

diperlukan

untuk

melaksanakan jalan keluar. Makin besar biaya yang diperlukan, makin


tidak efisien jalan keluar tersebut.
Menghitung nilai P (prioritas) untuk setiap alternatif jalan keluar yaitu
dengan membagi hasil perkalian nilai M x I x V dengan nilai C. Jalan
keluar dengan nilai P tertinggi, adalah prioritas jalan keluar terpilih. Lebih
jelas rumus untuk menghitung prioritas jalan keluar dapat dilihat dibawah
ini :
P=

M x I xV
C

Keterangan = P: priority, M: Magnitude, I: Importancy , V: Vulnerability,


C : Cost
3.4 Cara Evaluasi
3.4.1. Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan secara manual dengan data di tabeltabel yang tersedia, kemudian dilanjutkan dengan perhitungan secara
komputerisasi.
3.5 Waktu dan Lokasi
Pengambilan data dilakukan mulai Mei 2015 Juni 2015 di Klinik TB
Paru UPT Puskesmas Beji.

BAB IV
PENYAJIAN DATA
4.1 Data Umum
4.1.1. Keadaan Geografis
Kode Puskesmas
: P.3.27.606.02.01
Nama Puskesmas
: BEJI
Kecamatan
: BEJI
Kabupaten/Kotamadya
: DEPOK
Propinsi
: JAWA BARAT
Puskesmas Beji merupakan Puskesmas Rawat Jalan yang terletak
di Jl. Bambon Raya no 7B Kelurahan Beji Timur,berdiri sekitar bulan
Agustus tahun 1981, pada awal berdirinya

karyawannya hanya

berjumlah 12 orang. Seiring dengan berjalannya waktu Puskesmas Beji


berkembang pesat, dan terus meningkatkan pelayanan. Saat ini
Puskesmas Beji mempunyai karyawan 66 orang, sejak bulan April 2014
mulai menjadi Puskesmas 24 jam dan PONED (Pelayanan Obstetri

Neonatal Emergensi Dasar) dan klinik dampak merokok. Saat ini


Puskesmas menyelenggarakan Rawat jalan 24 Jam dan melayani
persalinan normal. Dan pada tahun yang sama Puskesmas Beji juga mulai
membuka Puskesmas Pembantu (Pustu) yang terletak di Jl. Halmahera
Depok Utara Kelurahan Beji.
Puskesmas Beji adalah Puskesmas Kecamatan yang membawahi 2
Puskesmas Kelurahan, yaitu : Puskesmas Kemiri Muka dan Puskesmas
Tanah Baru. Dalam kegiatannya Puskesmas Beji bertanggung jawab
menyelenggarakan pembangunan kesehatan di 2 wilayah kelurahan yaitu
6 Kelurahan Beji dan Beji Timur dengan luas wilayah kerja 3,17 km 2.
Kondisi alam di wilayah kerja Puskesmas Beji sebagian besar merupakan
daerah pemukiman dimana apabila musim penghujan lokasi daerah yang
rawan bencana terutama banjir ada di Kelurahan Beji yaitu di RW 03
dan Kelurahan Beji Timur di RW 01.
Letaknya dekat dengan perumahan dan dekat dengan Kampus UI
Depok sehingga cukup mudah dilalui kendaraan mobil dan motor sampai
ke lokasi Puskesmas, disamping juga dilalui oleh jalur angkot. Adapun
wilayah kerja Puskesmas Beji dibatasi oleh wilayah-wilayah sebagai
berikut :

Keterangan
- Batas Utara
- Batas Selatan
- Batas Barat
- Batas Timur

Gambar 4.1 Peta Kecamatan Beji


:
: Kelurahan Kukusan
: Kecamatan Pancoran Mas
: Kelurahan Tanah Baru
: Kelurahan Kemiri Muka

Semakin berkembangnya jumlah dan jenis pelayanan kesehatan


dan beragamnya tuntutan dari masyarakat saat ini dan di masa yang akan
datang maka UPT Puskesmas Kecamatan Beji selalu berusaha untuk
dapat memenuhi kriteria mutu pelayanan kesehatan yang baik dengan
selalu meningkatkan kinerja sumber daya manusia serta mengembangkan
fungsi sosial Puskesmas.
4.1.2. Data Demografis
Berdasarkan proyeksi penduduk BPS Kota Depok penduduk
wilayah Puskesmas Beji tahun 2014 meliputi Kelurahan Beji dan Beji
Timur berjumlah 66.645 orang . Penduduk Kelurahan Beji berjumlah
54.569 orang dengan kepadatan penduduk pada sebesar 3818 orang/km2
dan pada kelurahan Beji Timur

berjumlah 12.076 orang dengan

kepadatan penduduk 980 orang/km2.


Jumlah Penduduk
: 66.645 orang
Kepadatan
: 2.505 orang/km2
Jumlah KK
: 19.458
Laki-laki
: 33.414 orang
Perempuan
: 33.231 orang
Jumlah Ibu Hamil
: 1760 orang
Jumlah Bulin/Bufas : 1680 orang
Jumlah Bayi
: 1536 orang
Jumlah Balita
: 5910 orang
Jumlah PUS
: 24.423 orang
Jumlah Lansia
: 2035 orang
1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelompok
Umur
Grafik 4.1 Proyeksi Jumlah Penduduk Beji tahun 2014

2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencarian


Tabel 4.1 Peduduk Puskemas Beji Berdasarkan Mata pencarian

3. Jumlah Penduduk menurut Agama


Tabel 4.2 Peduduk Puskemas Beji Menurut Agama

4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan


Penduduk sebagai sumber daya manusia merupakan modal dasar
pembangunan karena pelaksanaan pembangunan tidak cukup hanya
mengandalkan sumber daya alam tetapi tergantung juga pada sumber
daya manusia. Mutu penduduk wilayah Puskesmas Beji dapat dilihat
dari kemampuan baca tulis

juga tingkat pendidikan formal yang

diselesaikan. Tingkat pendidikan formal penduduk dapat dijadikan


dasar perencanaan program kesehatan khususnya bidang promotif dan
preventif.
Grafik 4.2 Jumlah Penduduk Wilayah Puskesmas Beji Menurut
Pendidikan

5. Persentase Penduduk berdasarkan Jaminan Pemeliharaan


Kesehatan Pra Bayar
Penduduk wilayah Puskesmas Beji yang mendapatkan jaminan
kesehatan prabayar berupa Askes PNS, Jamkesmas dan Jamkesda
sebanyak 30.120 jiwa atau 45 % dari jumlah penduduk Puskesmas
Beji.
Grafik 4.3 Persentase Cakupan Pemeliharaan Kesehatan Pra Bayar di
Wilayah Puskesmas Beji Tahun 2014

4.2 Data Puskesmas


4.2.1. Gambaran Umum dan Sarana Kesehatan
Sejak pertengahan tahun 2012, tepatnya 1 Juli 2012 Puskesmas
Beji telah mengimplementasikan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001 :
2008 pada beberapa pelayanannya. Adapun pelayanan yang telah

menerapkan antara lain : Poli Umum, Poli Gigi, Poli MTBS,


Laboratorium,Loket, Farmasi dan TU sebagai Penunjang. Pada tanggal 4
Desember 2012 Puskesmas Beji telah 7 dilakukan audit sertifikasi ISO
9001:2008 oleh Badan Sertifikasi Beureu Veritas (BV) dan berhak untuk
mendapatkan sertifikat ISO: 9001:2008. Dengan di terapkannya Sistem
Manajemen Mutu berdasarkan persyaratan ISO 9001 : 2008 diharapkan
Puskesmas Kecamatan Beji dapat menjadi pusat pelayanan kesehatan
yang berkualitas dan dapat memenuhi kepuasan pelanggan. Pada bulan
Juli 2014 dan Januari 2015 UPT Puskesmas Beji telah dilakukan audit
Surveilance ISO 9001:2008 oleh Badan Sertifikasi SAI Global pada
beberapa pelayanan yaitu : poli umum, Poli KIA/KB, poli gigi, Farmasi,
Loket dan TU sebagai pendukung.
Tabel 4.3 Bangunan Fisik

Puskesmas Beji juga memiliki sarana penunjang kesehatan yaitu


kendaraan. Kendaraan-kendaraan tersebut antara lain Pusling (1 dengan
kondisi kurang baik), Ambulan Siaga (2 dengan kondisi baik), Motor 3 (2
dengan kondisi baik dan 1 kurang baik).

Puskesmas Beji pada tahun 2014 memiliki 66 karyawan, terdiri


dari pegawai negeri sipil dan 8 sukwan/swakelola

dengan berbagai

kualifikasi bidang pendidikan, sebagaimana dijelaskan dalam tabel


berikut :
Tabel 4.4 Keadaan SDM di Puskesmas Beji Tahun 2014

4.2.2. Kegiatan Puskesmas


Puskesmas Beji termasuk kategori Puskesmas kawasan perkotaan,
Puskesmas Beji dalam menyelenggarakan pembangunan kesehatan di
wilayahnya melakukan upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan
masyarakat,yang keduanya jika ditinjau dari sistem kesehatan nasional
merupakan pelayanan kesehatan tingkat pertama. Upaya Kesehatan
Masyarakat yang selanjutnya disingkat UKM adalah setiap kegiatan
untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah dan
menanggulangi timbulnya masalah kesehatan dengan sasaran keluarga,

kelompok, dan masyarakat. Upaya Kesehatan Perseorangan yang


selanjutnya disingkat UKP adalah suatu kegiatan dan/ atau serangkaian
kegiatan pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk peningkatan,
pencegahan,penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat
penyakit dan memulihkan kesehatan perseorangan.
1. Upaya Kesehatan Masyarakat
a. Upaya Pelayanan Masyarakat Esensial
- Pelayanan Promosi Kesehatan (Promkes)
- Pelayanan Kesehatan Lingkungan
- Pelayanan Kesehatan Ibu,anak dan keluarga Berencana
- Pelayanan Gizi - Pelayanan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
b. Upaya Kesehatan Masyarakat Pengembangan
- Upaya kesehatan Olahraga
- Upaya kesehatan Jiwa
- Upaya Kerja dan Indra
- Upaya Kesehatan Gigi Masyarakat
- Usaha Kesehatan Sekolah
- Pelayanan Perawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas)
- Upaya Kesehatan Tradisional
- Upaya Kesehatan Lansia
2. Upaya Kesehatan Perorangan, pelayanan kefarmasian dan pelayanan
pemeriksaaan penunjang
a. Layanan Umum dan 24 Jam dan Kegawatdaruratan
b. Layanan Gigi dan Mulut
c. MTBS
d. Lansia
e. Layanan KIA dan KB
f. Konseling Gizi dan Menyusui
g. Klinik Sanitasi
h. Klinik TB Paru
i. Layanan Farmasi
j. Layanan Laboratorium
k. PONED
l. Puskesmas Pembantu (Pustu)

4.2.3. Struktur Organisasi

4.3

Data Khusus
4.2.4.
4.2.5.
Grafik 4.5 Gambaran Kasus BTA + Puskesmas Beji tahun 20102014

4.2.6.

4.2.7.
4.2.8.

Tabel 4.5 Jumlah Pasien Baru TB BTA (+) dan BTA

(-) Tahun 2014


4.2.9.

4.2.10.

4.2.11.

4.2.12.

BTA

BTA

Total

4.2.13.

(+)
4.2.14.

(-)
4.2.15.

4.2.16.

Laki-

31

37

68

i
4.2.17.

4.2.18.

4.2.19.

4.2.20.

Perem

19

10

29

an
4.2.21.

4.2.22.

4.2.23.

4.2.24.

Diobat

50

47

97

lak

pu

i
4.2.25.
4.2.26. Tabel 4.6 Pasien Sembuh dan Pengobatan Lengkap Tuberkulosis
Tahun 2014
4.2.27.
4.2.30.

4.2.28.
T

embuh
4.2.31.
7

4.2.29.

engkap
4.2.32.
1

riwulan
I
4.2.33.

1
4.2.34.

riwulan
II
4.2.36.

4.2.35.

1
1

4.2.37.

4.2.38.

4.2.40.

4.2.41.

4.2.43.

4.2.44.

riwulan
III
4.2.39.

riwulan
IV
4.2.42.

otal
4.2.45.
4.2.46.

Tabel 4.7 Suspek Tuberkulosis Tahun 2014


4.2.47.
4.2.49.

4.2.48.
T

ahun

uspek
4.2.50.
9
9

2014
4.2.51.
4.2.52.
4.2.53.

4.2.54. BAB V
4.2.55. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.2.56.
5.1 Identifikasi Masalah
4.2.57.
Masalah merupakan kesenjangan antara tolok ukur dengan
hasil pencapaian pada unsul keluaran. Proses identifikasi masalah dimulai
dengan mengetahui keluaran program kerja Puskesmas. Kemudian jika
ditemukan kesenjangan antara keluaran dengan tolok ukur, maka hal
tersebut merupakan masalah pada program di Puskesmas. Masalah yang
ditemukan pada program Pengendalian TB di Puskesmas Beji adalah
sebagai berikut :
4.2.58.
4.2.59.
4.2.60.

Tabel 5.1 Evaluasi Keluaran


4.2.61.

Definisi operasional atau rumus

4.2.62.

4.2.63.

Mas
Target
Va

4.2.65.

4.2.64.
Pre

Jumlah suspek yang diperiksa


x 100.000
Jumlah penduduk

4.2.67.

4.2.68.

180%

99
x 100 =148.54
66.645

4.2.66.

4.2.70.
4.2.71.
4.2.69.
Jumlah pasien baru TB BTA
Ca

positif yang dilaporkan


x 100
Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA positif

4.2.72.

4.2.73.

4.2.74.

90%

50
x 100 =24.3
205
4.2.76.

4.2.75.
Su

Jumlah baru TB BTA positif ( sembuh+ pengobatanlengkap)


x 100
4.2.79.
Jumlah pasien baru TB BTA yang diobati 4.2.78.
88%
4.2.77.

(23+31)
x 100 =55.6
97

4.2.80.
5.2 Menetapkan daftar masalah
4.2.81.
Masalah yang ditemukan pada program Pengendalian TB di
Puskesmas Beji Tahun 2014 adalah :
a. Case Detection Rate (CDR) puskesmas adalah 24.3%, lebih kecil dari
indikator yang seharusnya dicapai, yaitu 90%.
b. Success Rate puskesmas adalah 55.6%, lebih kecil dari indikator yang
seharusnya dicapai, yaitu 88%.
5.3 Penetapan prioritas masalah

4.2.82.

Dalam menetapkan prioritas masalah, terdapat kriteria

matriks pemilihan prioritas masalah. Pada tehnik ini, setiap masalah


diberikan skor berdasarkan variabel pentingnya masalah (Importancy = I)
yang diukur bedasarkan pada besarnya masalah (Prevalence = P), akibat
yang ditimbulkan (Severity = S), kenaikan besarnya masalah (Rate of
Increase = RI), derajat keinginan masyarakat yang tidak terpenuhi (Degree
of Unmeet need = DU), keuntungan sosial karena terselesaikannya masalah
(Social Benefit = SB), perhatian masyarakat (Public Concern = PCo) dan
iklim politik (Political Climate = PC). Selain itu digunakan juga variabel
kelayakan tehnologi (Tehnical feasibility = T) yaitu semakin layak tehnologi
yang tersedia dan yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah, semakin
diprioritaskan masalah tersebut. Digunakan pula variabel sumber daya yang
tersedia (Reasources availability = R) yaitu semakin tersedia sumber daya
yang dapat dipakai untuk mengatasi masalah, makin diprioritaskan masalah
tersebut. Diberikan skor antara 1 (tidak penting) sampai dengan 5 (sangat
penting) untuk setiap variabel dan kriteria.
4.2.83.
4.2.84.

Tabel 5.2 Penentuan Prioritas Masalah

4.2.85.

4.2.86.

Impotancy (I)

4.2.87.

4.2.89.
Jumla
4.2.88.

Daftar

4.2.90.
IxTxR

Masala
h

4.2.102.

4.2.92.

4.2.95.4.2.96. 4.2.97. 4.2.98.


4.2.94.

4.2.99.4.2.100.

4.2.101.

4.2.103.
4.2.104.
4.2.105.4.2.106.4.2.107. 4.2.108.4.2.109. 4.2.110.
4.2.111.

4.2.112.
290

4.2.114.
4.2.115.
4.2.116.4.2.117.4.2.118. 4.2.119.4.2.120. 4.2.121.
4.2.122.

4.2.123.
250

Belum
tercapa
inya
CDR
4.2.113.
Belum
tercapa
inya
SR

4.2.124.

4.2.125.
4.2.126.
4.2.127.
a. Penetapan prioritas masalah berdasarkan besarnya masalah (Prevalence)
4.2.128.
Nilai untuk besarnya masalah pada target
pencapaian CDR diberikan nilai 5 karena semakin banyak penemuan
pasien TB dengan BTA (+) maka pencegahan penularan TB akan
semakin baik. SR juga penting dalam pencegahan penularan TB, karena
berkaitan dengan pengobatan pasien TB, namun tidak sepenting
penemuan kasus BTA (+) pada deteksi kasus TB. Selain itu, jarak
kesenjangan antara target dan pencapaian CDR lebih besar dibandingkan
SR, sehingga penulis memberikan nilai 4 untuk masalah belum
tercapainya SR.
4.2.129.
b. Penetapan prioritas masalah berdasarkan akibat yang ditimbulkan dari
masalah ini (Severity).
4.2.130.
Pendeteksian kasus pasien TB paru BTA (+) yang
belum tercapai atau masih kurang dari target mengindikasikan bahwa
masih ada sumber infeksi TB di masyarakat yang berpotensi untuk
menularkan ke orang sekitarnya. Sehingga akibat yang ditimbulkan akan
semakin besar, yaitu jumlah penderita TB semakin banyak. Oleh karena
itu, penulis memberikan nilai 5 untuk belum tercapainya CDR,
sedangkan nilai 3 untuk belum tercapainya SR walaupun sama-sama
memberikan kontribusi dalam penularan TB, namun pada penyebut SR
terdapat angka pasien yang sembuh dari TB yang tidak menularkan ke
orang lain.
4.2.131.
c. Penetapan prioritas masalah berdasarkan kenaikan besarnya masalah
(Rate of Increase).
4.2.132.

Pasien TB yang tidak diobati akan menyebabkan

semakin bertambah banyaknya masyarakat yang tertular TB sehingga


jumlah pasien TB akan bertambah. Kenaikan besarnya masalah lebih
besar akibat kurangnya pencapaian SR dibandingkan CDR. Sehingga
penulis memberikan nilai 5 pada kurang tercapainya SR, sedangkan nilai
3 untuk kurang tercapainya CDR.
4.2.133.

d. Penetapan prioritas masalah berdasarkan derajat keinginan masyarakat


yang tidak terpenuhi (Degree Of Unmeet need).
4.2.134.
Keinginan masyarakat akan penyakit TB adalah
bebas dari penularan TB, karena lebih baik mencegah daripada
mengobati. Selain itu, masyarakat juga menginginkan penyakitnya untuk
terdeteksi lebih awal sehingga kemungkinan untuk sembuh lebih baik
dan terhindar dari komplikasi yang diakibatkan oleh penyakit TB. Oleh
karena itu, penulis memberikan nilai 5 pada masalah belum tercapainya
CDR, sedangkan nilai 3 pada masalah belum tercapainya SR.
4.2.135.
e. Penetapan prioritas masalah berdasarkan keuntungan sosial (Social
Benefit)
4.2.136.

Jika tingkat keberhasilan pengobatan tercapai, maka

produktivitas pasien TB akan semakin tinggi, sehingga kebutuhan


ekonomi dapat terpenuhi. Keuntungan sosial yang didapat juga semakin
besar. Oleh karena itu, penulis memberikan nilai 5 pada masalah kurang
tercapainya SR, sedangkan nilai 4 pada keuntungan sosial untuk
pemenuhan kurangnya CDR.
4.2.137.
f. Penetapan prioritas masalah berdasarkan rasa prihatin masyarakat
terhadap masalah (Public Concern)
4.2.138.
Rendahnya angka CDR dan SR di puskesmas samasama kurang mendapat perhatian dari masyarakat. Hal tersebut dapat
terjadi karena kurangnya sosialisasi mengenai target nasional terhadap
pengendalian TB, sehingga kedua masalah diberikan nilai 1.
4.2.139.
g. Penetapan prioritas masalah berdasarkan suasana politik (Political
Climate)
4.2.140.

Dunia telah menempatkan TB sebagai salah satu

indikator keberhasilan pencapaian MDGs. Secara umum ada 4 indikator


yang diukur, yaitu Prevalensi, Mortalitas, Penemuan kasus dan
Keberhasilan pengobatan. Dari ke-4 indikator tersebut 3 indikator sudah
dicapai oleh Indonesia, angka kematian yang harus turun separuhnya
pada tahun 2015 dibandingkan dengan data dasar (baseline data) tahun
1990, dari 92/100.000 penduduk menjadi 46/100.000 penduduk.
Indonesia telah mencapai angka 39/100.000 penduduk pada tahun 2009.

Angka Penemuan kasus (case detection rate) kasus TB BTA positif


mencapai lebih 70%. Indonesia telah mencapai angka 73,1% pada tahun
2009 dan mencapai 77,3% pada tahun 2010. Angka ini akan terus
ditingkatkan agar mencapai 90% pada tahun 2015 sesuai target RJPMN.
Angka keberhasilan pengobatan (success rate) telah mencapai lebih dari
85%, yaitu 91% pada tahun 2009.
4.2.141.
Indikator-indikator

diatas

merupakan

sasaran

program pengendalian TB sehingga penilaian masalah berdasarkan


suasana politik mendapat nilai yang sama, yaitu 5.
4.2.142.
h. Penetapan prioritas masalah berdasarkan dari sudut kelayakan tehnologi
(Technical feasibility)
4.2.143.
Teknologi yang diperlukan untuk menyelesaikan
masalah CDR antara lain penggunaan reagen pemeriksaan, mikroskop,
dan alat rontgen. Sedangkan dalam menyelesaikan masalah SR hanya
pencatatan dan mengelompokan obat sesuai nama pasien menggunakan
kardus, kedua hal tersebut dilakukan dengan manual. Oleh karena itu,
teknologi yang mudah digunakan akan semakin tinggi nilainya, maka
diberikan nilai 5 pada penyelesaian masalah kurang tercapainya SR,
sedangkan nilai 2 untuk masalah kurang tercapainya CDR.
4.2.144.
i. Penetapan prioritas masalah berdasarkan sumber daya yang tetrsedia
(Resources availability)
4.2.145.
Sumber daya terdiri atas tenaga (man), dana
(money) dan sarana (material). Ketersediaan sumber daya pada masalah
penemuan kasus (CDR) baru BTA (+) lebih besar dibandingkan masalah
keberhasilan pengobatan. Oleh karena itu, nilai 5 untuk masalah kurang
tercapainya CDR, sedangkan nilai 2 untuk masalah kurang tercapainya
SR.
5.4 Kesimpulan prioritas masalah
4.2.146.

Dari hasil perhitungan matriks, maka ditetapkan masalah

yang menjadi prioritas yaitu belum tercapainya Case Detection Rate.


4.2.147.
5.5 Kerangka konsep masalah
4.2.148. Sasaran CDR yang belum tercapai di UPT Puskesmas
Kecamatan Beji merupakan keluaran yang tidak sesuai dengan target.

Keluaran merupakan salah satu unsur sistem, sehingga untuk mengatasi


keluaran yang tidak sesuai target harus dilihat kemungkinan adanya masalah
dari masukan, proses, uman balik dan lingkungan. Penyebab masalah dapat
ditetapkan dengan menggambarkan terlebih dahulu proses terjadinya
masalah atau kerangka konsepnya, sehingga diharapkan semua faktor
penyebab masalah dapat diketahui dan diidentifikasi.
4.2.149. Kerangka konsep belum tercapainya sasaran CDR di UPT
Puskesmas Beji dapat dilihat sebagai berikut :

4.2.150.
4.2.151. Bagan 1 . Kerangka Konsep
5.6 Estimasi penyebab masalah
4.2.152. Estimasi penyebab masalah belum tercapainya sasaran
CDR akan dibahas dengan pendekatan sistem yang mempertimbangkan
unsur masukan, proses, lingkungan dan umpan balik.
4.2.153. Komponen masukan terdiri dari banyak unsur, dari unsur
tenaga yang berpotensi menjadi penyebab masalah adalah kurangnya tenaga
petugas administrasi yang mencatat laporan maupun proses yang sedang
berjalan pada pasien TB. Selama ini, perawat merangkap juga menjadi
petugas administrasi. Selain itu, unsur metode juga berpotensi menjadi
penyebab masalah. Penyuluhan terhadap penderita dan keluarga serta
masyarakat belum maksimal. Poster mengenai TB di ruang tunggu pasien
TB hanya satu, hal ini menunjukan kurangnya sosialisasi TB secara pasif.
Penyuluhan terhadap pasien TB dan keluarga sudah dilakukan, namun
kurang efisien karena hanya memberitahu untuk menggunakan masker saat
pasien dan keluarga mengambil obat ke puskesmas. Penyuluhan kepada
masyarakat juga kurang efektif dan efisien, sehingga tindakan preventif juga
minimal. Oleh karena itu bila tenaga kurang memadai dan penyuluhan yang
minimal, hal ini dapat menyulitkan pelaksanaan program ini.
4.2.154. Komponen proses terdiri dari beberapa unsur, seperti
pencatatan dan pelaporan. Pengisian laporan tertulis pada tahun 2014 tidak
rapih dan tidak lengkap. Hal ini terlihat dari pelaporan penjumlahan
kategori-kategori pasien TB tidak lengkap.
4.2.155.

Komponen umpan balik terdiri dari masukan hasil

pelaporan setelah dilaksanakannya program selama satu periode tidak


didapatkan adanya masukan untuk perbaikan program berikutnya. Hasil
pelaporan ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan Puskesmas
untuk menyusun rencana program pada periode selanjutnya sehingga
diharapkan adanya perbaikan dari yang sebelumnya.
5.7 Konfirmasi penyebab masalah
4.2.156. Konfirmasi penyebab masalah dibuat dengan melihat
kembali pencapaian di Puskesma dengan tolok ukur berdasarkan unsur
sistem yang bermasalah yaitu unsur masukan, proses dan umpan balik.

4.2.157.

Tabel 5.2 Konfirmasi penyebab masalah pada komponen

masukan
4.2.158.
Unsu
4.2.162.
Tenag

4.2.166.
Dana

4.2.170.
Saran
1.

2.

3.
4.
5.
4.2.188.
Meto

4.2.159.

Tolok
Ukur

4.2.160.
P
encapaian

4.2.161.
P

4.2.163.
Tenaga
pelaksana
minimal:
1
dokter, 1 perawat,
1
petugas
administrasi, dan
1 analisis sebagai
pemeriksa
laboratorium
4.2.167.
Tersedia
nya dana khusus
untuk
pelaksanaan
program
yang
berasal
dari
APBD dan APBN

4.2.164.
Terdapat 1
dokter, hanya terdapat 1
perawat
merangkap
menjadi
tenaga
administrasi.

4.2.165. (+
)

4.2.168.
T
ersedianya
dana yang
cukup
lancar dari
APBD,
APBN dan
GF.

4.2.169.
(-)

4.2.171.
Tersedia 1.
nya sarana:
Sarana medis: alat-alat
pemeriksaan
seperti
stetoskop,
senter,
timbangan, tersimeter, dan 2.
termometer
Sarana non medis: ruangan
dilengkapi dengan ruang
tunggu
yang
terbuka
, ruang periksa pasien ,
ruang laboratorium, ruang
suntik, ruang obat, tempat
untuk memeriksa, lemari
penyimpanan obat, bangku 3.
untuk ruang tunggu, status,
alat tulis, buku catatan
4.
Sarana
penyuluhan:
5.
brosur, poster
Sarana khusus pencatatan
dan pelaporan
Laboratorium
4.2.189.
Pengoba a.
Pencatatan dan pelaporan
tan
penderita
Tuberkulosis Paru
sesuai
dengan
pedoman
pemberantasan

Tersedia
4.2.172.
4.2.173.
4.2.174.
4.2.175.
4.2.176.
Tersedia
4.2.177.
4.2.178.
4.2.179.
4.2.180.
4.2.181.
4.2.182.
4.2.183.
4.2.184.
4.2.185.
Tersedia,
walaupun
hanya 1 poster.
Tersedia
4.2.186.
Tersedia

4.2.187.
(-)

Penemuan tersangka TB
dilakukan secara pasif
dengan pasien datang
sendiri ke puskesmas
dan secara aktif oleh
kader yang terlatih jika

4.2.196.
4.2.197.
4.2.198.
4.2.199.
4.2.200.
4.2.201.
4.2.202.

penyakit
menunjukan gejala khas
4.2.203.
Pembinaan & pelatihan
kader
4.2.204.
Tuberkulosis Paru
TB.
4.2.205.
b. Sudah sesuai prosedur
:
4.2.206.
c.
Sudah
sesuai
prosedur
Penemuan tersangka pasien TB
4.2.207.
4.2.193. Penyuluhan
paru
4.2.208.
Penentuan diagnosis pasien TB kesehatan :
(+
paru
a. Sudah dilakukan namun
Pengobatan pasien TB paru
kurang efisien
4.2.190.
Penyul b. Jarang dilakukan
uhan kesehatan
4.2.194. Sudah dilakukan
a. Penyuluhan
kepada 4.2.195. Sudah dilakukan
penderita dan keluarga
b. Penyuluhan ke masyarakat
4.2.191.
Pembina
aan dan pelatihan
kader
4.2.192.
Pencatat
an dan pelaporan
kasus
Tuberkulosis Paru

a.
b.
c.

4.2.209.
4.2.210.

Tabel 5.3 Konfirmasi penyebab masalah pada komponen

proses
4.2.211.
U

4.2.212.
Tol
ok Ukur

4.2.215.

4.2.216. Adanya

perencanaan
operasional

4.2.214.
P

4.2.213.
P
encapaian
4.2.217.
Perencana
an sudah dibuat

4.2.218. ()

yang

jelas: jenis kegiatan,


target

kegiatan,

waktu kegiatan.
4.2.219.
O

4.2.226.
P

4.2.220.
Ad
anya
struktur
pelaksana
program
4.2.221.
Ad
anya
pembagian
tugas
dan
tanggung
jawab yang
jelas
4.2.227.
Pen
emuan
tersangka
pasien TB

4.2.222.
T
erdapat
struktur
pelaksana
4.2.223.
4.2.224.
S
udah
terdapat
pembagian
tugas yang
jelas
4.2.233. Sudah
prosedur
4.2.234.
4.2.235. Sudah
prosedur

sesuai

sesuai

4.2.225.
(-)

4.2.242.
(-)

Belum Terca

paru
4.2.228.
Pen
entuan
diagnosis
pasien TB
paru
4.2.229.
Pen
gobatan
pasien TB
paru
4.2.230.
Pen
gawasan
Menelan
Obat
4.2.231.
Pe
meriksaan
ulang dahak
pasien TB
paru
4.2.232.
Pen
yuluhan TB
4.2.244.
Pen
ilaian
kegiatan
dalam
bentuk
laporan
tertulis
secara
periodik
4.2.245.
Pen
gisian
laporan
tertulis yang
lengkap
4.2.246.
Pen
yimpanan
laporan
tertulis yang
benar
4.2.256.
Ad
anya
pengawasan
eksternal
maupun
internal

4.2.243.
P

4.2.255.
P

4.2.259.
4.2.260.

4.2.236.
4.2.237. Sudah
sesuai
prosedur
4.2.238. PMO
telah
ditentukan
4.2.239. Sudah
sesuai
prosedur
4.2.240.
4.2.241. Sudah
dilakukan
saat proses pengobatan

4.2.247. Laporan
tertulis
dilakukan secara periodik
tahunan
4.2.248.
4.2.249. Laporan
tertulis
tidak lengkap
4.2.250. Penyimpanan
laporan sudah baik

4.2.251.
4.2.252.
4.2.253.
4.2.254.
(+

4.2.257. Pengawasan
program dilakukan oleh
Dinas Kesehatan Depok dan
secara internal oleh kepala
puskesmas

4.2.258.
(-)

Tabel 5.4 Konfirmasi penyebab masalah pada komponen

umpan balik
4.2.261.

4.2.262.

Tol

4.2.263.

4.2.264.

U
4.2.265.

ok Ukur

encapaian

4.2.266. Digunakan

4.2.267.
Tidak ada
masukan untuk perbaikan
program

data-data
hasil

tentang

kegiatan

analisis
masukan
perbaikan

dan

P
4.2.268. (+
)

sebagai
dan
program

selanjutnya

4.2.269.
5.8 Berbagai penyebab masalah
4.2.270. Berdasarkan tabel konfirmasi berdasarkan komponen masukan,
proses dan
4.2.271. umpan balik diatas maka masalah belum tercapainya CDR untuk
program pengendalian TB di UPT Puskesmas Beji tahun 2014 adalah :
1. Komponen masukan :
- kurangnya tenaga atau SDM
- penyuluhan yang masih kurang efektif dan efisien kepada
penderita TB, pasien dan masyarakat.
2. Komponen proses :
- Pencatatan dan pelaporan yang kurang lengkap.
3. Komponen umpan balik :
- Tidak ada masukan untuk perbaikan program sebagai umpan
balik program.
4.2.272.
5.9 Penetapan prioritas penyebab masalah
4.2.273.

Setelah dilakukan penyaringan penyebab masalah yang

berpotensi menyebabkan belum tercapainya CDR, maka harus dilakukan


pemilihan prioritas penyebab masalah. Prioritas penyebab masalah harus
dipilih karena penyebab masalah yang timbul tidak dapat diselesaikan
semuanya dalam waktu bersamaan dan karena adanya keterbatasan
kemampuan dalam menyelesaikan masalah. Penetapan prioritas masalah
dilakukan dengan menggunakan teknik kriteria matriks.
4.2.274.
4.2.275.
Tabel 5.5 Prioritas Penyebab Masalah
4.2.276.

4.2.277.

Masalah

4.2.278.
Pene
n
t
u

4.2.279.
T

4.2.280.
C

P
r
i
o
r
i
t
a
s
P
e
n
y
e
b
a
b
4.2.283.
4.2.284.4.2.285.
4.2.287.

4.2.288.
Kurangnya
atau SDM

4.2.293.

4.2.294.

tenaga

4.2.289.
4.2.290.4.2.291.

4.2.292.
7

yang

4.2.295.
4.2.296.4.2.297.

4.2.298.
1

4.2.301.
4.2.302.4.2.303.

4.2.304.
6

4.2.307.
4.2.308.4.2.309.

4.2.310.
3

Penyuluhan

masih kurang efektif dan


efisien kepada penderita TB,
4.2.299.

pasien dan masyarakat.


4.2.300.
Pencatatan
pelaporan

yang

dan

kurang

lengkap
4.2.305.

4.2.306.

Tidak ada masukan

untuk

perbaikan

sebagai

program

umpan

balik

program.

4.2.311.
4.2.312.
menyebabkan

Poin
kurang

Contribution/C
maksimalnya

kurangnya
pelayanan

tenaga
yang

kesehatan

dilakukan

di

Puskesmas, sehingga pekerjaan menjadi tumpang tindih dan tidak terfokus,


maka diberikan nilai 5. Penyuluhan yang kurang efektif dan efisien juga
diberikan nilai 5 karena penyuluhan pada proses masukan bertujuan untuk
pencegahan tertularnya infeksi TB. Pencatatan dan pelaporan yang kurang

lengkap diberikan nilai 4 serta nilai 3 pada masalah umpan balik yaitu tidak
adanya masukan untuk perbaikan program.
4.2.313. Poin Technical Feasibility/T tentang tenaga kesehatan
memiliki kelayakan teknologi yang sudah cukup maka hal ini diberi poin 3.
Penyuluhan membutuhkan sarana seperti poster, lembar balik, dan brosur
bahkan membutuhkan banyak sarana untuk membuat suatu acara
penyuluhan kepada masyarakat, sehingga diberikan nilai 5. Pencatatan dan
pelaporan serta masukan untuk perbaikan program masing-masing diberikan
nilai 4.
4.2.314.

Poin Resources/R sumber daya yang dibutuhkan untuk

memenuhi kebutuhan tenaga atau SDM sangatlah penting untuk menunjang


program Pengendalian TB, begitu juga dengan kegiatan penyukuhan
sehingga masing-masing diberi nilai 5. Pencatatan dan pelaporan diberikan
nilai 4 dan untuk masukan untuk program diberikan nilai 3.
4.2.315.

Berdasarkan tabel teknik kriteria matriks di atas maka

prioritas penyebab masalah adalah penyuluhan yang masih kurang efektif


dan efisien kepada penderita TB, pasien dan masyarakat.

4.2.316.
5.10

Alternatif penyelesaian masalah


4.2.317. Berdasarkan penetapan

prioritas

penyebab

masalah,

didapatkan alternatif pemecahan masalah dan penjabaran programnya


adalah:
1. Penyuluhan kepada penderita TB, pasien dan masyarakat
4.2.318. Latar belakang: Penyuluhan dapat dilakukan secara
langsung maupun tidak langsung. Penyuluhan secara langsung
seperti seminar dan diskusi kelompok. Sedangkan penyuluhan secara
tidak langsung seperti menggunakan media yaitu poster, banner,
brosur dan spanduk. Semakin banyaknya penyuluhan mengenai TB,
diharapkan semakin meningkatnya pengetahuan tentang TB.
Sehingga angka penularan dan angka kejadian TB dapat ditekan.
4.2.319. Tujuan
:
memberikan
informasi
penyakit
Tuberkulosis dan memodifikasi perilaku pasien, keluarga dan
masyarakat agar kondusif bagi kesehatan.
4.2.320. Alokasi dana :
4.2.321.
Media promosi
100.000

Rp.

4.2.322.

Penyuluh/Ahli acara penyuluhan

Rp.

250.000
4.2.323.

Acara penyuluhan target > 50 peserta

Rp.

500.000 +
4.2.324.

Total

Rp.

750.000
4.2.325.
2. Pelatihan

petugas

dan

kader

kesehatan

dalam

rangka

meningkatkan kualitas penyuluhan


4.2.326. Latar belakang: petugas dan kader kesehatan perlu dilatih
secara berkala. Pelatihan ini sangat bermanfaat di masyarakat,
terutama untuk penjaringan suspek TB. Selain itu, meningkatnya
pengetahuan petugas kesehatan dan kader juga meningkatkan
pengetahuan masyrakat akan penyakit TB.
4.2.327. Tujuan
: memberikan pelatihan kepada petugas dan
kader kesehatan agar pengetahuan tentang TB meningkat sehingga
dapat

5.11

mendeteksi

suspek

TB

di

masyarakat

dan

dapat

mensosialisasikan penyakit TB secara berkala.


4.2.328. Alokasi dana :
4.2.329.
Media promosi saat pelatihan

Rp.

100.000
4.2.330.

Ahli pelatihan

Rp.

200.000
4.2.331.

Konsumsi

Rp.

70.000
4.2.332.

ATK

Rp.

30.000 +
4.2.333.

Total

Rp.

400.000
4.2.334.
4.2.335.
4.2.336.
Memilih prioritas pemecahan masalah
4.2.337.

Cara pemecahan masalah telah dibuat dan akan dipilih satu

cara pemecahan masalah yang dianggap paling baik dan memungkinkan.


Pemilihan prioritas cara dari pemecahan masalah ini dengan menggunakan
teknik kriteria matriks, yaitu dengan menentukan:
1. Efektifitas

4.2.338.

Efektifitas terdiri dari beberapa faktor yaitu

Magnitude (M), Importancy (I), dan Vulnerability (V). Menetapkan nilai


efektifitas (effectiveness) untuk setiap alternatif jalan keluar, yaitu
dengan memberikan angka 1 (paling tidak efektif) sampai angka 5
(paling efektif). Prioritas jalan keluar adalah yang nilai efektifitasnya
paling tinggi.
2. Efisiensi (C)
4.2.339.

Nilai efisiensi berkaitan dengan biaya (Cost) yang

diperlukan untuk melaksanakan pemecahan masalah. Semakinkecil


biaya, semakin efisien, maka semakin kecil nilainya agara nilai
pembaginya lebih kecil, sehingga jalan keluarnya semakin baik.
3. Prioritas Pemecahan Masalah (P)
4.2.340.
Nilai prioritas dinilai dari pembagian nilai C oleh
hasil perkalian nilai M x I x V. Hasil nilai yang tertinggi berarti prioritas
jalan keluar yang terpilih.
4.2.341.
4.2.342. Tabel 5.6 Penentuan prioritas pemecahan masalah
4.2.343.

4.2.344.
Alterna
tif Pemecahan
Masalah

4.2.345.
Efe
4.2.350.
4.2.351.
4.2.352.

4.2.356.

4.2.358.
4.2.364.

4.2.346.
Efi

4.2.347.
Ju

4.2.353.

4.2.354.
M

4.2.357.
Penyulu
han
kepada
penderita TB,
pasien
dan
masyarakat

4.2.359.
4.2.360.
4.2.361.

4.2.362.
4

4.2.355.
C
4.2.363.
15

4.2.365.
Pelatiha
n petugas dan
kader kesehatan
dalam
rangka
meningkatkan
kualitas
penyuluhan

4.2.367.
4.2.368.
4.2.369.

4.2.370.
2

4.2.371.
10

4.2.366.

4.2.372.
4.2.373.

Hasil perhitungan matriks diatas menentukan bahwa

prioritas pemecahan masalah yang terpilih adalah


dilakukan kepada penderita TB, keluarga dan masyarakat .

penyuluhan yang

4.2.374.

Penyuluhan yang dilakukan kepada penderita TB, keluarga

dan masyarakat secara langsung akan berdampak semakin besarnya masalah


TB yang dapat diselesaikan, seperti mengenal lebih dini gejala TB,
mengetahui cara penularan, faktor risiko, dan pengobatan TB. Sehingga
mendapatkan nilai Magnitude yang besar dibandingkan dengan pelatihan
petugas dan kader kesehatan, yaitu 5. Pelatihan petugas dan kader kesehatan
dalam rangka meningkatkan kualitas penyuluhan juga penting untuk
dilakukan, sehingga diberikan nilai 4.
4.2.375.

Importancy (I) atau pentingnya jalan keluar, berhubungan

dengan kelanggengan penyelesaian masalah. Semakin langgeng selesai suatu


masalah, semakin penting jalan keluar tersebut. Pelatihan petugas dan kader
kesehatan dalam rangka meningkatkan kualitas penyuluhan diberikan nilai
yang lebih besar karena dengan terlatihnya petugas dan kader kesehatan,
maka program promotif dan preventif akan berjalan sesuai dengan target yang
ada. Sedangkan untuk penyuluhan yang dilakukan kepada penderita TB,
pasien dan keluarga akan berdampak hanya sesaat, sehingga diberikan nilai
yang lebih kecil.
4.2.376.
Vulnerability (V) dinilai dari kecepatan jalan keluar dalam
mengatasi masalah yang ada. Penyuluhan yang dilakukan kepada penderita
TB, pasien dan keluarga secara langsung akan memberikan waktu yang lebih
singkat dalam mengatasi masalah dibandingkan pelatihan petugas dan kader
kesehatan, karena pelatihan petugas dan kader kesehatan masih menunggu
hasil keluaran dari pelatihan itu sendiri. Sehingga nilai yang lebih besar
diberikan pada penyuluhan dibandingkan dengan pelatihan, yaitu 4 dan 1
4.2.377.
Efisiensi (cost) jalan keluar pada pelatihan petugas dan
kader kesehatan mendapatkan nilai yang kecil yaitu 2, penyuluhan yang
dilakukan kepada penderita TB, pasien dan keluarga diberikan nilai 4.
4.2.378.
5.12
Proposal prioritas alternatif penyelesaian masalah
4.2.379.

4.2.380. BAB VI
4.2.381. KESIMPULAN DAN SARAN
4.2.382.
6.1 Kesimpulan

4.2.383.

Kesimpulan evaluasi program Pengendalian Tuberkulosis

di UPT Puskesmas Beji Tahun 2014 adalah sebagai berikut :


a. Masalah dalam pelaksanaan program Pengendalian Tuberkulosis di
UPT Puskesmas Beji tahun 2014 adalah belum tercapainya Case
Detection Rate (CDR) puskesmas (24.3%) lebih kecil dari indikator
yang seharusnya dicapai, yaitu 90%.
b. Penyebab masalahnya adalah pada

komponen

masukan

yaitu

penyuluhan yang masih kurang efektif dan efisien kepada penderita TB,
pasien dan masyarakat.
c. Alternatif pemecahan masalah bagi pelaksanaan program tersebut
adalah penyuluhan kepada penderita TB, pasien dan masyarakat secara
langsung dan pelatihan petugas dan kader kesehatan dalam rangka
meningkatkan kualitas penyuluhan.
d. Pemecahan masalah yang terpilih adalah penyuluhan kepada penderita
TB, pasien dan masyarakat secara langsung.
4.2.384.
6.2 Saran
4.2.385.
4.2.386.
4.2.387.
4.2.388.
4.2.389.
4.2.390.
4.2.391.
4.2.392.
4.2.393.
4.2.394.
4.2.395.
4.2.396.
4.2.397.
4.2.398.
4.2.399.
4.2.400.

4.2.401. DAFTAR PUSTAKA


4.2.402.
1. Departemen Kesehatan. 2011. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis di
Indonesia. Jakarta
2. Departemen Kesehatan RI. 2013. Identifikasi dan Obati, Mari Ciptakan
Dunia

yang

Bebas

TB.

Tersedia

pada

www.depkes.go.id/article/view/2280/menkes-identifikasi-dan-obati-mariciptakan-dunia-yang-bebas-tb.html [Diakses tanggal 29 Juni 2015]


3. Departemen Kesehatan RI. 2011. TBC Masalah Kesehatan Dunia. Tersedia
pada

www.depkes.go.id/article/view/1444/tbc-masalah-kesehatan-

dunia.html [Diakses tanggal 29 Juni 2015]


4. Kementerian Kesehatan RI. 2015. Infodatin : Tuberkulosis ; Temukan Obati
Sampai Sembuh. Jakarta. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan
RI. Hal. 1-7.
5. World Health Organization. 2014. Global Tuberkulosis Report 2014.
Switzerland. WHO Press. Hal. 32-33.
6. Kementerian Kesahatan RI. 2011. Strategi Nasional Pengendalian TB di
Indonesia 2010-2014. Jakarta. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan.
7. Departemen Kesehatan RI. 2011. Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis. Jakarta. Departemen Kesehatan.
8. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2015. kbbi.web.id/sistem.
9. Azwar, Azrul. 1996. Menuju Pelayanan Kesehatan Yang Lebih Bermutu.
Jakarta. Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia. Hal. 103.
10. Marliana, Lina. 2008. Pelaksanaan Program. Tersedia pada : lib.ui.ac.id/file?
file=digital/122947-S-5237-Pelaksanaan%20program-Literatur.pdf [Diakses
tanggal 30 Juni 2015]
11. Anonim.
2011.

Evaluasi

Program.

Tersedia

pada

repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23917/3/Chapter%20II.pdf
[Diakses tanggal 30 Juni 2015]

Vous aimerez peut-être aussi