Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Disusun oleh :
RIZKY AISYAH
1102010255
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Pasar Rebo
Pembimbing :
Dr. Nugroho Budi Santoso. Sp.PD
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD PASAR REBO JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2014
Beberapa bulan kemudian, keluhan yang sama muncul kembali dengan nilai
hemoglobin yang rendah. Diagnosis dokter yang merawat pasien saat itu adalah
anemia hemolitik autoimun. Pasien diberi obat Metilprednisolon yang harus diminum
setiap hari, namun pasien mengaku tidak rutin mengkonsumsi obat tersebut. Sampai
saat ini, pada tahun 2014, pasien mengaku bahwa tiap 3 bulan sekali keluhan yang
sama muncul, namun keluhan perut kiri diakui semakin membesar, pasien selalu
mendapatkan transfusi darah di rumah sakit.
Riwayat penyakit dahulu
1. Pasien mengaku mengalami keluhan seperti ini tiap 3 bulan sekali sejak tahun
2010
2. Riwayat transfusi darah (+)
Riwayat Penyakit keluarga
Pasien mengaku tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang sama
II.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
STATUS GENERALIS
Keadaan Umum
: Sakit sedang
Kesadaran
: Compos mentis
Tekanan darah
: 110/60 mmHg
Nadi
: 78x/menit teraba kuat, frekuensi teratur
Suhu
: 35,9C
Pernapasan
: 18 x/menit teratur
Berat badan
: 50 kg
ASPEK KEJIWAAN
1. Tingkah laku
2. Proses pikir
3. Kecerdasan
PEMERIKSAAN FISIK
Kepala
1. Bentuk
: normochepal
2. Posisi
: simetris
Mata
1. Exophthalmus
: Tidak ada
2. Enopthalmus
: Tidak ada
3. Edema kelopak
: Tidak ada
4. Konjungtiva anemi : +/+
5. Sklera ikterik
: +/+
Telinga
1. Pendengaran
: Baik
2. Darah & cairan
: Tidak ditemukan
Mulut
1. Trismus
: Tidak ada
2. Faring
: Dalam batas normal
3. Lidah
: Lidah tidak kotor berwarna putih, tidak deviasi
3
4. Uvula
5. Tonsil
1. Trakea
2. Kelenjar tiroid
3. Kelenjar limfe
: Tidak deviasi
: Tidak ada pembesaran
: Tidak ada pembesaran
Leher
Paru-paru
1. Inspeksi
dinamis kanan kiri, tidak terlihat luka, kulit kemerahan atau penonjolan
2. Palpasi
: Tidak teraba kelainan dan masa pada seluruh lapang paru.
Fremitus taktil dan vokal statis dan dinamis kanan kiri.
3. Perkusi : Terdengar sonor pada seluruh lapang paru
4. Auskultasi : Suara dasar napas vesicular +/+, tidak terdapat suara
tambahan.
Jantung
1.
2.
3.
4.
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
1. Inspeksi : Cembung
2. Auskultasi : Bising usus (+) normal
3. Perkusi : Timpani pada kuadran kanan atas dan bawah, serta redup pada
kuadran kiri atas dan bawah
4. Palpasi
: Nyeri tekan ulu hati (-), hepar tidak teraba membesar, lien
teraba membesar pada shuffner V, nyeri tekan (-)
Ekstremitas
1. Akral hangat pada ekstremitas atas dan bawah kanan kiri
2. Edema negatif pada ekstremitas atas dan bawah kanan kiri
III.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium (23-06-2014)
Hematologi
Nilai Rujukan
Hemoglobin
4,2 g/dL
11.7 15.5
Hematokrit
16 %
32 47
Leukosit
5.380 L
3.600 11.000
Trombosit
143.000 L
150.000 440.000
Laboratorium (24-06-2014)
Hematologi
Nilai Rujukan
Hemoglobin
7,1 g/dL
11.7 15.5
Hematokrit
25 %
32 47
Leukosit
4.930 L
3.600 11.000
Trombosit
147.000 L
150.000 440.000
Niai Rujukan
105 mm/jam
< 20
Hemoglobin
7.6 g/dL
11.7 15.5
Hematokrit
27 %
32 47
Eritrosit
3.5 juta/ L
Leukosit
6.960 L
3.600 11.000
Trombosit
165.000 L
150.000 440.000
MCV
76 fL
80 100
MCH
22 fL
26 34
MCHC
29 fL
32 36
Retikulosit
8.1 %
0.5 1.5
Nilai Rujukan
Basofil
0%
01
Eosinofil
0%
13
Neutrofil Batang
3%
35
Neutrofil Segmen
45 %
50 75
Limfosit
52 %
25 40
Monosit
0%
08
Morfologi:
Eri : Anisopoikilositosis, Mikrositik Hipokrom, Tear drop sel, Fragmentosit,
Thin macrocyte, Polikromasi
Leu : Kesan jumlah cukup, Vakuolisasi, Hipersegmentasi
Tro : Kesan jumlah cukup, Morfologi Normal
Kimia Klinik
Nilai Rujukan
Protein Total
8.41 g/dL
6.00 8.00
Albumin
4.34 g/dL
3.40 4.80
Globulin
4.07 g/dL
<2
Bilirubin Total
6.68 mg/dL
0.1 1.0
Bilirubin Direk
0.51 g/dL
0.0 0.2
Bilirubin Indirek
6.17 g/dL
SGOT (AST)
27 U/L
0 35
SGPT (ALT)
40 U/L
0 35
Alkali Fosfatase
53 U/L
30 - 120
Niai Rujukan
Hemoglobin
9,4 g/dL
11.7 15.5
Hematokrit
33 %
32 47
Leukosit
5.080 L
3.600 11.000
Trombosit
152.000 L
150.000 440.000
Laboratorium (27-06-2014)
Hematologi
Niai Rujukan
Hemoglobin
10,3 g/dL
11.7 15.5
Hematokrit
32 %
32 47
Leukosit
5.030 L
3.600 11.000
Trombosit
155.000 L
150.000 440.000
Kandung empedu
appendicitis
Lien
Membesar, homogen
Ginjal
Sebagian menebal
IV. RESUME
Pasien wanita 27 tahun datang ke IGD RSUD Pasar Rebo dengan keluhan seluruh
badan terasa lemas dan pusing. Keluhan dirasakan sejak seminggu yang lalu. Awalnya
pasien merasa pandangan berkunang-kunang, kemudian merasa pusing seperti
melayang. Pasien tidak memiliki riwayat perdarahan atau trauma sebelumnya, tidak
mual, tidak muntah, dan tidak demam. Keluhan pasien disertai dengan nyeri perut
sebelah kanan atas sejak 1 minggu SMRS. Nyeri yang dirasakan hilang timbul dan
terkadang menjalar sampai ke belakang di bagian punggung bawah. Pasien juga
mengeluh mata dan kulit berwarna kuning, serta perut sebelah kiri membesar dan
agak keras, namun tidak terasa nyeri pada bagian tersebut. BAB dan BAK diakui
normal. Pasien mengaku bahwa keluhan yang dialaminya muncul hampir tiap tiga
bulan sekali sejak tahun 2010, tepatnya setelah pasien menjalani operasi kuretase.
Pasien diberi obat metilprednisolon sejak saat itu untuk dikonsumsi setiap hari, namun
pasien mengaku tidak mengkonsumsinya dengan teratur.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum
: tampak sakit sedang
Abdomen
:
1. Inspeksi : Cembung
2. Auskultasi : Bising usus (+) normal
3. Perkusi : Timpani pada kuadran kanan atas dan bawah, serta redup pada
kuadran kiri atas dan bawah
4. Palpasi
: Nyeri tekan ulu hati (-), hepar tidak teraba membesar, lien
teraba membesar pada shuffner V, nyeri tekan (-)
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (23-06-2014)
Hematologi
Nilai Rujukan
Hemoglobin
4,2 g/dL
11.7 15.5
Hematokrit
16 %
32 47
Laboratorium (24-06-2014)
Hematologi
Nilai Rujukan
Hemoglobin
7,1 g/dL
11.7 15.5
Hematokrit
25 %
32 47
Niai Rujukan
105 mm/jam
< 20
Hemoglobin
7.6 g/dL
11.7 15.5
Hematokrit
27 %
32 47
Eritrosit
3.5 juta/ L
MCV
76 fL
80 100
MCH
22 fL
26 34
MCHC
29 fL
32 36
Retikulosit
8.1 %
0.5 1.5
Morfologi:
Eri : Anisopoikilositosis, Mikrositik Hipokrom, Tear drop sel, Fragmentosit,
Thin macrocyte, Polikromasi
Kimia Klinik
Nilai Rujukan
Protein Total
8.41 g/dL
6.00 8.00
Globulin
4.07 g/dL
<2
Bilirubin Total
6.68 mg/dL
0.1 1.0
Bilirubin Direk
0.51 g/dL
0.0 0.2
Bilirubin Indirek
6.17 g/dL
Kandung empedu
Lien
Membesar, homogen
Kesan
V. DIAGNOSIS KERJA
1. Anemia Hemolitik Autoimun
VI.
DIAGNOSIS BANDING
1. Hepatitis
2. Hipersplenisme
3. Anemia hemolitik herediter-familial
VII.
1.
2.
3.
4.
VIII.
PEMERIKSAAN ANJURAN
Uji antiglobulin Coombs
IgM anti HAV, HbsAg, anti HCV
Pemeriksaan urin (hemosiderinuria & hemoglobinuria)
Pemeriksaan sumsum tulang
TATALAKSANA
1. Transfusi PRC washed 500 cc (23-06-2014)
2. Transfusi PRC washed 500 cc (25-06-2014) premed: furosemide 20 mg i.v
3. Transfusi PRC washed 200 cc (26-06-2014) premed: kalmetason 2mg i.v
10
4.
5.
6.
7.
8.
PROGNOSIS
1. Ad vitam
2. Ad functionam
3. Ad sanationam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
11
ANALISIS KASUS
Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan oleh proses hemolisis.
Hemolisis adalah pemecahan eritrosit dalam pembuluh darah sebelum waktunya
(sebelum 120 hari). Gejala klinik anemia hemolitik dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Gejala umum anemia (anemia syndrome) : timbul jika hemoglobin turun <7-8
g/dL, yaitu badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga
mendenging.
2. Gejala hemolisis baik ekstravaskuler maupun intravaskuler : ikterus, splenomegali
atau hepatomegali, kholelitiasis, kelainan tulang, ulkus pada kaki, serta timbulnya
krisis.
3. Gejala penyakit dasar (penyebab)
Pada anamnesis pasien dalam kasus ini, didapatkan keluhan-keluhan yang sesuai
dengan gejala umum anemia dan gejala hemolisis. Gejala umum anemia pada pasien
ini berupa seluruh badan terasa lemas dan pandangan berkunang-kunang, kemudian
merasa pusing seperti melayang. Pasien juga mengeluhkan bahwa kulit dan mata
pasien berwana kuning serta perut kiri semakin membesar, kedua hal tersebut
merupakan gejala hemolitik.
Gejala umum anemia akan timbul apabila kadar hemoglobin dalam darah <7 g/dL.
Pada pasien dalam kasus ini memiliki kadar hemoglobin 4,2 g/dL sehingga timbul
gejala umum anemia tersebut, sedangkan mata dan kulit kuning yang dikeluhkan oleh
pasien merupakan akibat dari akumulasi bilirubin indirek pada konjungtiva dan kulit.
Biliribun indirek tersebut merupakan hasil pemecahan eritrosit yang berlebihan
sehingga terakumulasi pada tempat-tempat tertentu. Hal tersebut diperkuat dengan
hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan bilirubin indirek, yaitu 6,17 g/dL.
Keluhan perut kiri membesar yang diperkuat dengan pemeriksaan fisik (lien
teraba membesar pada shuffner V) dan USG abdomen menunjukkan adanya
splenomegali. Splenomegali terjadi akibat adanya destruksi eritrosit yang berlebihan
sebelum waktunya dan terjadi di lien. Sebenarnya destruksi eritrosit terjadi di dua
tempat, yaitu hepar dan lien namun splenomegali lebih sering dijumpai dibandingkan
hepatomegali karena makrofag, yang brperan dalam destruksi eritrosit tersebut, dalam
lien lebih aktif dibandingkan makrofag dalam hati.
TINJAUAN PUSTAKA
ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN
A. DEFINISI
12
Hemolisis adalah kerusakan sel darah merah pada sirkulasi sebelum 120 hari
(umur eritrosit normal). Anemia hemolitik dapat terjadi jika aktivitas sumsum tulang
tidak dapat mengimbangi hilangnya eritrosit. Anemia hemolitik autoimun/AHAI
(autoimmune hemolytic anemia/ AIHA) adalah suatu penyakit anemia yang
disebabkan oleh hemolisis eritrosit berdasarkan reaksi antigen dan atibodi. Yang
berlaku sebagai antigen dalam hal ini adalah permukaan sel eritrosit sedangkan
antibodi terdapat dalam serum penderita adalah suatu jawaban tubuh terhadap
perubahan antigen tersebut.(1)
B. EPIDEMIOLOGI
Anemia hemolitik automun (AHAI) merupakan penyakit yang langka. Penelitian
terbaru menyebutkan kejadian 0,8/100.000 per tahun dengan prevalensi 17/100.000.
AIHA primer lebih jarang terjadi dibandingkan AIHA sekunder (Lechner, 2010). Pada
anak-anak kejadian AIHA terjadi sebagai akut self limited illness, dan memberikan
respon bagus melalui terapi steroid pada 80% pasien. Onset AIHA baik pada anakanak maupun dewasa terjadi awalnya tidak diketahui sampai akhirnya menjadi kronik.
C. ETIOLOGI
Pada anemia hemolitik autoimun, antibodi abnormal langsung menyerang antigen
membran eritrosit, tetapi patogenesis induksi anibodi ini tidak diketahui secara pasti.
Auto-antibodi mungkin memproduksi respon imun yang tidak sesuai terhadap antigen
eritrosit atau terhadap antigen epitop yang serupa dengan antigen eritrosit. Agen
infeksius dapat mengubah membran eritrosit sehingga menjadi asing atau antigen
terhapat host.
Beberapa penyebab tidak normalnya sistem imun antara lain:
1. Obat-obatan:
Alpha-methyldopa
L-dopa
2. Infeksi
Infeksi virus
Mycoplasma pneumonia
3. Keganasan
Leukemia
Lymphoma (Non-Hodgkins tapi kadang juga pada Hodgkins)
4. Penyakit Collagen-vascular (autoimun) contoh: Lupus
D. KLASIFIKASI
AHAI ini ditandai oleh tes antiglobulin (Coombs test) langsung positif. Anemia
hemolitik autoimun dibagi menjadi AHAI tipe hangat (Warm Antibody Auto Immune
Hemolytic Anemia), AHAI tipe dingin (Cold Antibody Auto Immune Hemolytic
13
Anemia), dan campuran keduanya. menurut reaksi antibodi dengan sel eritrosit pada
suhu 37C atau 4C.
Tabel 1. Klasifikasi Anemia Hemolitik Autoimun
I. Anemia Hemolitik Autoimun (AIHA)
A.
AIHA tipe hangat
1. Idiopatik
2. Sekunder (karena limfoma, SLE)
B.
AIHA tipe dingin
1. Idiopatik
2. Sekunder (infeksi mycoplasma, virus, keganasan limforetikuler)
C.
Paroxysmal Cold Hemoglobinuri (PNH)
1. Idiopatik
2. Sekunder (viral dan sifilis)
D.
AIHA atipik
1. AIHA tes antiglobulin negatif
AIHA kombinasi tipe hangat dan dingin
II. AIHA diinduksi obat
14
memeriksa titer, haruslah dipastikan bahwa serum terpisah dari sel sementara
mempertahankan suhu sampel 37 C sehingga antibodi tidak terserap kesel darah
pasien sendiri.
b. Amplitudo suhu antibodi (suhu tertinggi yang menyebabkan antibodi akan
bereaksi dengan sel darah merah)
Untuk sebagian besar antibodi, amplitudo ini adalah 25-30 C. Antibodi yang
memiliki amplitudo termal yang lebih tinggi (sampai 37 C) akan lebih bersifat
hemolitik karena lebih besar kemungkinannya bahwa suhu ini akan tercapai selama
berada didalam tubuh.
c. Suhu lingkungan
Karena reaksi hanya dapat terjadi pada suhu dibawah suhu tubuh, frekuensi dan
derajat pajanan terhadap suhu dingin merupakan penentu utama kecepatan hemolisis.
(3)
Metildopa, suatu anti hipertensi yang menginduksi suatu kelainan yang hampir
15
makin parah, penyakit ini memiliki riwayat alami yang berlangsung selama bertahuntahun.(3)
E.
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi anemia hemolitik autoimun ini terjadi melalui aktifasi sistem
komplemen, aktifasi mekanisme seluler, atau kombinasi keduanya.
1. Aktifasi sistem komplemen
Sistem komplemen diaktifkan melalui 2 jalur, yaitu jalur klasik dan jalur
alternatif. secara keseluruhan aktifasi sistem komplemen akan menyebabkan
hancurnya membran sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskuler. Hal ini
ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria.
Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah
IgM, IgG1,IgG2, IgG3. IgM disebut sebagai aglutinin tipe dingin oleh karena
berikatan dengan antigen polisakarida pada permukaan sel eritrosit pada suhu
dibawah suhu tubuh, sedangkan IgG disebut aglutinin hangat oleh karena bereaksi
dengan antigen permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh.
a. Aktivasi komponen jalur klasik
Reaksi diawali dengan aktifasi C1 (suatu protein yang dikenal sebagai recognition
unit). C1 berikatan dengan kompleks imun antigen antibodi dan menjadi aktif serta
mampu mengkatalisis reaksi reaksi pada jalur klasik. C1 akan mengaktifkan C4 dan
C2 menjadi kompleks C4b,2b (C3-convertase). C4b,2b akan memecah C3 menjadi
fragmen C3b dan C3a. C3b mengalami perubaha konformational sehingga mampu
berikatan secara kovalen dengan partikel yang mengaktifkan komplemen (sel darah
merah berlabel antibodi). C3 juga akan membelah menjadi C3d,g dan C3c. C3d dan
C3g akan tetap berikatan pada membran sel darah merah dan merupakan produk final
aktifasi C3. C3b akan membentuk kompleks dengan C4b2b menjadi C4b2b3b (C5
convertase). C5 convertase akan memecah C5 menjadi C5a (anafilatoksin) dan C5b
yang berperan dalam kompleks penghancur membran. Kompleks penghancur
membran terdiri dari molekul C5b,C6,C7,C8, dan beberapa C9. Kompleks ini akan
menyisip ke dalam membran sel sebagai suatu aluran transmembran sehingga
permeabilitas membran normal akan terganggu, menyebabkan air dan ion masuk
kedalam sel sehingga sel membengkak dan ruptur.
b. Aktifasi komplemen jalur alternatif
Aktifator jalur alternatif akan mengaktifkan C3, dan C3b yang terjadi akan
berikatan dengan membran sel darah merah. Faktor B kemudian akan melekat pada
C3b, dan oleh D faktor B akan dipecah menjadi Ba dan Bb. Bb merupakan suatu
protease serin, dan tetap melekat pada C3b. Ikatan C3bBb lalu akan memecah
16
molekul C3 lagi menjadi C3a dan C3b. C5 akan berikatan dengan C3b dan oleh Bb
dipecah menjadi C5a dan C5b. Selanjutnya C5 akan berperan dalam penghancuran
membran.
2. Aktifasi mekanisme seluler
Jika sel darah disensitasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan komplemen atau
berikatan dengan komponen komplemen namun tidak tejadi aktifasi komplemen lebih
lanjut, maka sel darah tersebut akan dihancurkan oleh sel-sel retikuloendotelial.
Proses immune adherence ini sangat penting bagi perusakan sel eritrosit yang
diperantarai oleh sel. Immunoadherenceterutama yang diperantarai oleh IgG-FcR
akan menyebabkan fagositosis.
F.
GEJALA KLINIS
AHAI tipe hangat
Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, dimana autoantibodi bereaksi
secara optimal pada suhu 37oC. Kurang lebih 50% AIHA tipe hangat disertai penyakit
lain. Pada AIHA tipe hangat onset penyakit tersamar, gejala anemia terjadi perlahanlahan, ikterik (40% pasien), dan demam. Pada beberapa kasus terdapat gejala
mendadak, disertai nyeri abdomen, dan anemia berat. Urin berwarna gelap karena
terjadi hemoglobinuri. Pada AIHA idiopatik, splenomegali terjadi pada 50-60%,
hepatomegali pada 30%, dan limfadenopati pada 25% pasien. Hanya 25% pasien
tidak terjadi pembesaran organ dan limfonodi. Penyakit ini sering mereda dan
kambuh. Ini bisa terjadi sendiri atau bersamaan dengan penyakit lain seperti SLE,
limfoma atau penyakit autoimun lain, juga ditemukan pada beberapa pasien sebagai
akibat terapi metil dopa.(6)
AHAI tipe dingin
Pasien dapat menderita anemia hemolitik kronis yang diperberat oleh dingin dan
sering bersamaan dengan hemolisis intravaskular dan sindroma Raynaud. Pasien
dapat mengalami problema sirkulasi darah tepi, misalnya ujung hidung, telinga, jari
kaki menjadi biru (akrosianosis) yang disebabkan aglutinasi sel darah merah dalam
pembuluh darah kecil. Beberapa kasus sekunder adalah sejenak (transient) khususnya
setelah infeksi pneumoni mikoplasma atau mononukleosis infeksiosa.(6)
Paroxysmal cold hemoglobinuria
Merupakan bentuk anemia hemolitik yang jarang dijumpai, hemolisis terjadi
secara masif dan berulang setelah terpapar suhu dingin. Hemolisis paroksismal
disertai menggigil, panas, mialgia, sakit kepala, hemoglobinuri berlangsung beberapa
jam. Sering disertai urtikaria.
Anemia hemolitik autoimun yang diinduksi obat
17
Riwayat pemakaian obat tertentu positif. Banyak obat yang dapat menginduksi
pembentukan autoantibodi terhadap eritrosi autolog, seperti methyldopa. Sel darah
merah juga bisa mengalami trauma oksidatif, contoh obat yang menyebabkan
hemolisis oksidatif ini adalah nitrofurantoin, phenazopyridin, aminosalicylic acid.
Pasien dengan hemolisis yang timbul melalui mekanisme hapten (penyerapan obat
yang melibatkan antibodi tergantung obat misalnya penisilin) atau autoantibodi
biasanya bermanifestasi sebagai hemolisis ringan sampai sedang. Bila kompleks
ternary (mekanisme kompleks imun tipe innocent bystander akibat obat kinin,
kuinidin, ssulfonamid, sulfonylurea, dan thiazide) yang berperan maka hemolisis akan
terjadi secara berat, mendadak dan disertai gagal ginjal. Bila pasien sudah pernah
terpapar obat tersebut, maka hemolisis sudah dapat terjadi pada pemaparan dengan
dosis tunggal.
Anemia hemolitik aloimun karena transfusi
Hemolisis yang paling berat adalah reaksi transfusi akut yang disebabkan karena
ketidaksesuaian ABO eritrosit (transfusi PRC golongan A pada penderita golongan
darah O yang memiliki antibodi IgM anti-A pada serum) yang akan menimbulkan
DIC dan infark ginjal. Dalam beberapa menit pasien akan mengalami sesak nafas,
demam, nyeri pinggang, menggigil, mual, muntah, dann syok. Reaksi transfusi tipe
lambat terjadi 3-10 hari setelah transfusi.
G.
DIAGNOSIS
Diagnosis anemia hemolitik autoimun dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
laboratorium, antara lain :
1. Tes Coombs direk dan indirek
Direk, untuk AHAI dengan antibodi panas
Antibodi panas menunjukan reaktivitas optimum pada suhu 370C yang terutama
terdiri dari Ig G, kurang mengikat komplemen dan ditemukan di permukaan sel
Anti-IgG
Anti C3
Aglutinin Dingin
70%
20%
10%
-*
+ lemah
< 1/256
1/512 1/10.000
imunologis
BMP : Hiperplasia seri eritropoetik
Hiperbilirubinemia
Penurunan kadar Haptoglobin, Peningkatan LDH
Peningkatan Urobilinogen Urin, terkadang terdapat hemoglobinuria.
AHAI dingin
Ini serupa dengan AHAI panas kecuali sferositosis kurang menonjol, aglutinat sel
darah merah pada dingin, misalnya pada filem darah yang dibuat pada suhu kamar,
dan test Coombs langsung (DAT) memperlihatkan hanya komplemen (C 3) pada
permukaan sel darah merah, sedangkan IgG negatif.(7)
Selain itu juga dapat ditemukan :(8)
a. Anemia ringan
b. Titer Ig M > 1/100.000 , ini ditemui pada keadaan kronik
c. Antibodi I, dijumpai pada limfoproliferasi jinak dan infeksi mikoplasma.
Paroxismal Cold Hemoglobinuria
Biasanya ditemukan:
1. Hemoglobunuria
2. Sferositosis
3. Eritrofagositos
19
4. Coomb positif
5. Antibody Donath-Landsteiner terdisosiasi dari sel darah merah
H.
TERAPI
Tidak semua pasien AHAI membutuhkan terapi, hal ini tergantung dari derajat
hemolisis dan tipe hemolitiknya. (10) Pada pasien-pasien dengan hemolisis ringan tidak
dibutuhkan terapi, namun perlu dilakukan pengawasan terhadap perkembangan
penyakitnya. Steroid dan splenektomi umumnya tidak berguna pada pasien-pasien
dengan AHAI tipe cold antigen, kecuali jika ditemukan penyakit dasarnya seperti
limfoma.(7) Kasus kronik tipe cold antigen kadang memberikan respon yang baik
terhadap administrasi klorambusil atau siklofosfamid dosis rendah. (11) Terapi
simtomatis dan pengobatan terhadap faktor pencetus, khususnya transfusi dan obatobatan untuk sifilis, merupakan penanganan utama pada Paroxysmal Cold
Haemoglobinuria (PCH).(11,12) Pada PCH kronik, pasien kadang memperlihatkan
perbaikan terhadap pemberian prednison atau obat sitotoksik seperti azathioprin dan
siklofosfamid, tetapi tidak memberikan respon terhadap splenektomi.(10)
AHAI yang dicetuskan oleh obat seperti metildopa atau penisilin dosis besar akan
remisi dengan sendirinya setelah pemakaian obat pencetusnya dihentikan.
Penatalaksanaan AHAI yang paling umum dilakukan (terutama untuk tipe warm
antigen) adalah pemberian kortikosteroid, imunosupresif, splenektomi, dan transfusi
darah.(6) Algoritme terapi AHAI diperlihatkan pada gambar 1.
Kortikosteroid
Kortikosteroid sampai sekarang masih dianggap sebagai anti inflamasi yang
paling baik dalam menekan semua bentuk inflamasi respon imun. (13) Kortikosteroid,
seperti prednison, dipercaya sangat bermanfaat untuk penyakit gangguan imunologis
seperti AHAI tipe panas.(14) Efek anti inflamasi prednison secara langsung terutama
melalui inhibisi aktivitas makrofag dan sel-sel fagosit mononuklear lainnya. (13)
Penghambatan sintesa antibodi merupakan efek lambat dari pemakaian steroid yang
berpengaruh terhadap penekanan respon imun.(10)
Pada pasien dengan hemolisis yang nyata secara klinis, biasanya diberikan
prednison 1-2 mg/kg berat badan/hari, atau sekitar 40-120 mg/hari untuk mengontrol
hemolisis. Dalam 4 hari hingga 1 minggu akan didapatkan peningkatan kadar
hemoglobin.(10) Kemajuan terapi dinilai dari tampilan klinis, kadar hemoglobin, dan
hitung retikulosit.(11) Setelah kadar hemoglobin mencapai normal, dilakukan tapering
off (penurunan dosis) secara perlahan hingga penghentian terapi sepenuhnya dalam
20
beberapa bulan. Lebih kurang 75% pasien mengalami perbaikan yang nyata dengan
pemberian steroid. Pada terapi ini diperlukan pengawasan karena AHAI cenderung
kambuh pada masa tapering off atau setelah terapi dihentikan.(10) Efek samping dari
pemakaian steroid dalam waktu lama, seperti melemahnya tulang dan jaringan ikat,
penekanan aksis hipotalamus-pituitari-adrenal, gangguan penyembuhan luka, serta
meningkatnya kerentanan terhadap infeksi, menyebabkan steroid tidak dianjurkan
untuk pemakaian jangka panjang.(13) Jika steroid menjadi satu-satunya pilihan terapi,
karena obat-obat lainnya tidak efektif, disarankan untuk memberikan steroid dengan
jeda hari.(10)
Splenektomi
Splenektomi menjadi terapi lini kedua pada pasien-pasien yang tidak responsif
terhadap steroid, atau membutuhkan dosis maksimal steroid untuk mengontrol
hemolisis, atau pada pasien-pasien yang intoleran terhadap steroid.(10) Splenektomi
juga menjadi pilihan terapi jika hemolisis tidak berkurang setelah administrasi steroid
2-3 bulan. Lebih kurang 60% pasien memberikan respon yang baik terhadap prosedur
ini, walaupun hemolisis bisa kambuh setelah splenektomi, sehingga harus diberikan
steroid dengan atau tanpa obat imunosupresif.(13)
Konfirmasi peran limpa sebagai tempat destruksi dominan dilakukan melalui
pemeriksaan uptake Cr51, dengan demikian dapat digunakan untuk meramal manfaat
splenektomi.(6) Pada 75% pasien AHAI, limpa merupakan tempat destruksi yang
dominan, sementara 25% lainnya didominasi oleh hepar.(11)
Imunosupresif
Azathioprin, siklofosfamid, dan siklosporin adalah obat-obat imunosupresif dan
sitotoksik yang lazim dipakai untuk penyakit autoimun. (13) Imunosupresif ini dipakai
pada pasien-pasien yang tidak mengalami perbaikan dengan steroid maupun
splenektomi.(12) Terapi ini cukup efektif pada 50% kasus AHAI resisten steroid.(10)
Secara umum, obat sitostatik bekerja dengan cara membunuh sel-sel yang terlibat
dalam pembentukan antigen-antibodi yang berperan dalam terjadinya penyakit
autoimun. Azathioprin dan siklofosfamid bekerja melalui penekanan sistem imun
humoral, tapi juga bisa mempengaruhi imunitas seluler. Siklosporin merupakan obat
sitostatik yang spesifik menekan aktivitas imunitas humoral, melalui penghambatan
sekresi limfokin pada sel T helper secara selektif tanpa mempengaruhi aktivitas sel B,
makrofag, dan mononuklear lainnya.(13)
Regimen yang biasa diberikan yaitu azathioprin oral 1-1,5mg/kg berat badan/hari
selama 3 bulan, atau siklofosfamid dosis rendah 1-1,5mg/kg berat badan/hari. (11)
Biasanya pemakaian sitostatik ini dikombinasikan dengan steroid dalam penanganan
21
22
awasi
ringan
Penilaian berat
ringan
hemolisis
berat
Prednison
IVIg
Splenektomi
sedan
g
Prednison
60mg/hari
observasi 2-3
minggu
Prednison
60mg/hari
Respon
negatif
splenektomi
Respon negatif
Respon
positif
Turunkan
dengan cepat
hingga
20mg/hari
Turunkan
perlahan hingga
5-10mg/hari
Kemoterapi :
- Siklofosfamid
100mg/hari
- Azathiaprine
150mg/hari
Hentikan
setelah gejala
klinis hilang
(10)
23
I.
PROGNOSA(8,15)
AHAI dengan antibodi panas (AIHA Warm Antibody)
Perjalanan penyakit bervariasi mengalami remisi dan relaps. Idiopatik AHAI
Warm Antibody memiliki survival rate 10 thn sekitar 73%.Mortalitas mencapai 46%.
Sekunder AHAI Warm Antibody prognosanya tergantung kepada penyakit dasarnya.
AHAI dengan antibodi dingin(AIHA Cold Antibody)
Pada yang idiopatik prognosis relatif baik dapat bertahan hidup sampai beberapa
tahun. Pada post infeksi biasanya self limited penyembuhan terjadi dalam beberapa
minggu.
Pada
Paroxismal
Cold
Hemoglobinuria
post
infeksi
mengalami
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Robins et al. 1996. Buku Saku Dasar Patologi Penyakit, Edisi V. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2. Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit Buku FKUI. Jakarta,
1998.
3. Isselbacher et al., Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Harrison, alih bahasa
Ahmad H Asdi. EGC. Jakarta, 2000.
4. Jay H. Steinn, Panduan Klinik Ilmu Penyakit Dalam, Edisi III. EGC. Jakarta,
2001
5. Kapita Selekta Kedokteran ed 2, alih bahasa Iyan Darmawan, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, 1996
6. Holfbrand, A.V. , Essencial Haematology ed 2, alih bahasa Iyan Darmawan,
Penerbit buku Kedokteran EGC , Jakarta, 1996
7. Hillman, Robert S. Dan Ault, Kenneth A. , Hematology in Clinical Practice
a Guide to Diagnosis and Management ed3, McGraw Hill Medical
Publishing Division, USA, 2000
8. Marshall A Lichtman et al, Manual of Hematology 6th ed. Mc Graw- Hill
Medical Publishing Division. USA, 2003
9. Iman Supandiman. Hematologi Klinik. Penerbit PT Alumni. Bandung,1997.
10. Bunn HF, Rosse W.Hemolytic Anemias and Acute Blood Loss. Dalam:
Harrisons Principles of Internal Medicine, 15 th ed. McGraw-Hill Book
Company, NY, 2001.
11. Stites DP, Terr HI, Parslow TG. Basic and Clinical Immunology, 8th ed.
Appleton and Lange, Connecticut, 1991.
12. Bellanti JA. Immunology III. WB Saunders Company, Philadelphia, 1985.
Wahab AS, penerjemah. Imunologi III. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 1993.
13. Janeway CA, Travers P. Immunobiology: The Immune System in Health and
Disease. Current Biology Ltd/Garland Publishing Inc, New York, 1994.
14. Virella G, Goust JM, Fudenberg HH, Galbraith RM. Introduction to Medical
Immunology. Marcell Decker Inc, New York, 1986.
15. Iman Supandiman dkk, Pedoman Diagnosis dan Terapi Hematologi Onkologi
Medik. Q Communication. Bandung, 2003.
25