Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
KONTRIBUTOR MATERI :
dr Muhdar Abubakar, SpAn, KAP
dr Bambang Suryono, SpAn, KIC,KNA,KAO
dr Pandit Sarosa,SpAn (K)
dr I Gusti Ngurah Artika, SpAn, KAKV
Dr. dr Sri Rahardjo SpAn, KNA, KAO
dr Yusmein Uyun, SpAn, KAO
DR.Med.dr Untung W. SpAn, KIC
dr Calcarina FRW,SpAn, KIC
dr Bhirowo Yudo P, SpAn, KAKV
Dr.dr Sudadi, SpAn, KNA
dr Yunita Widyastuti, SpAn, KAP, M.Kes, Ph. D
dr Djayanti Sari, SpAn, KAP, M.Kes
dr Akhmad Yun Jufan,SpAn, M.Sc
dr Mahmud SpAn, M.Sc
dr Ratih Kumala FA, SpAn, M.Sc
dr Juni Kurniawati SpAn, M.Sc
I. TINJAUAN PELATIHAN
A. Pendahuluan
Kebijakan rumah sakit dalam penanganan pasien dengan henti jantung tidak terbatas
hanya pada respon terhadap pasien dengan henti jantung tetapi juga meliputi strategi
pencegahan yang melibatkan seluru komponen rumah sakit. Pengenalan dini dari penurunan
kondisi pasien dan pencegahan kejadian henti jantung adalah komponen pertama dari rantai
keselamatan chain of survival.
Sistem pencegahan ini penting mengingat banyaknya kegagalan rumah sakit dalam
kemampuan menganali secara dini gejala dan penurunan kondisi pasien, atau bereaksi
lambat untuk mencegah kejasian henti jantung. Strategi pencegahan yang baik, diikuti
dengan pengenanalan yang cepat dari kejadian henti jantung, aktivasi sistem emergency
yang efektif, tindakan dini resusitasi jantung paru (RJP) dan defibrilasi, tindakan bantuan
hidup lanjut yang efektif serta penatalaksanaan post cardiaa arrest secara terpadu diharapkan
dapat menurunkan mordibitas dan mortalitas.
Pelatihan CPR bagian Anestesi dan Terapiintensif RSUP dr Sardjito diharapkan tidak
hanya menyiapkan seluruh komponen rumah sakit ( medis maupun non medis ) untuk
memiliki keterampilan dalam melakukan resusitasi jantung dan paru dengan kualitas yang
tinggi, tetapi terlibat secara aktif dengan kebijakan keseluruhan rumah sakit dalam upaya
pencegahan, dan respon yang efektif terhadap kejadian henti jantung di rumah sakit.
B. Tujuan Pelatihan
1. Memberikan rekomendasi dan pendampingan rumah sakit dalam penyusunan dan evaluasi
sistem resusitasi di rumah sakit, sistem aktivasi emergency dan strategi pencegahan kejadian
henti jantung di rumah sakit.
2. Peserta pelatihan mampu memahami dan berperan aktif sebagai bagian dari sistem resusitasi
pasien kritis di rumah sakit.
3. Peserta pelatihan mampu melakukan tindakan bantuan hidup dasar maupun bantuan hidup
lanjut dengan kualitas tinggi sesuai rekomendasi terbaru baik pada pasien anak maupun
dewasa.
4. Peserta pelatihan mampu melakukan komunikasi dan kerjasama tim yang baik pada
tindakan resusitas jantung paru baik sebagai anggota tim maupun sebagai pemimpin tim.
C. Peserta Pelatihan
Peserta pelatihan merupakan petugas rumah sakit (baik medis dokter/perawat
maupun non medis).
D. Metode Pelatihan
Metode pelatihan : Sebelum melakukan tindakan pada pasien, hendaknya langkah-langkah
dalam pembelajaran yang sistematis perlu dilakukan sehingga diharapkan saat menangani
pasien sesungguhnya petugaskesehatan telah isap dan mampu melakukan dengan baik
sehingga dharapkan tidak terjadi kesalahan atau ketidaktahuan yang mungkin akan
memperberat kondisi pasien.
Tahap I (PERSIAPAN)
Buku materi dibagikan ke peserta 1-2 hari sebelum pelatihan dan wajib dipelajari oleh
peserta secara optimal. Tujuan pembagian materi sebelum pelatihan ini adalah agar peserta
mempunyai modal pengetahuan yang cukup baik mengenai tujuan, manfaat dan teknis
medis materi sebelum pelatihan, sehingga pada waktu pelaksanaan kuliah/diskusi dan
latihan skill, peserta dapat mengikuti dangan baik. Buku materi pelatihan dirancang
sedemikian rupa sehingga tersusun secara sistematis, dilengkapi dengan gambar, poster dan
check list peserta sehingga memudahkan peserta untuk belajar.
Tahap II (PELAKSANAAN)
1. Kuliah dengan sistem diskusi interaktif
2. Latihan keterampilan: diharapkan peserta dapat berlatih melakukan teknik bantuan hidup
dasar lanjut pada korban henti jantung dengan kualitas yang tinggi. Manekin pelatihan
didesain sedemikian rupa sehingga mirip baik secara anatomi maupun tingkat kesulitan
dengan pasien sesungguhnya.
3. Simulasi kasus, leadership dan kerjasama tim: diharapkan peserta mampu bekerja sama
dengan baik dalam hal aktivasi respon emergency maupun tindakan resusitasi jantung dan
paru.
E. Jadwal Pelatihan
1. JADWAL PELATIHAN BHD/BHL UNTUK PETUGAS MEDIS
JADWAL PELATIHAN
07.00 - 07.15 Registrasi
07.15 08.00 Pre Test
08.00 08.15 Pembukaan
08.15 09.00 Strategi pencegahan henti jantung di rumah
sakit (aktifasi code blue)
09.00 09.15 Coffe break
09.15 10.00 Bantuan hidup dasar dan lanjut pasien dewasa
10.00 10.45 Bantuan hidup dasar dan lanjut anak
10.45 11.30 Manajemen jalan napas, ventilasi dan terapi
oksigen
11.30 12.00 Sesi Video
12.00 13.00 Makan siang dan sholat
Latihan Keterampilan
Kelompok A
Kelompok B
Tim Instruktur
Tim Instruktur
Masing
Bantuan hidup dasar Manajemen Airway,
Tim Instruktur
Tim Instruktur
Tim Instruktur
Tim Instruktur
Tim Instruktur
Tim Instruktur
Kelompok C
Tim Instruktur
Bantuan hidup lanjut
Ventilasi
Posisi Recovery
16.00 16.15
16.15 - selesai
ventilasi
oksigen
dan
terapi dan
penggunaan
defibrilator (manekin
ambu man)
Chin lift-head tilt, jaw Simulasi kasus
Pengenalan
dan
thrust
Oro/nasofaringeal
penggunaan
airway
defibrilator
Intubasi endotrakheal Kerjasama
tim
LMA
resusitasi
Bag valve mask
(leadership)
Terapi
oksigen Penggunaan obat
NRM/RM
obatan emergency
Post test
Penutupan
Intruktur akan selalu mengamati kemajuan peserta pelatihan selama mengikuti latihan
keterampilan. Penilaian yang objektif dari post test dan skill test akan mempengaruhi kelulusan
peserta. Hanya peserta yang mrmrnuhi standar yang telah ditetapkan Instruktur yang lulus dan
berhak mendapatkan sertifikat, peserta yang tidak lulus aka mengulang pada pelatihan
berikutnya.
Syarat syarat lulus pelatihan:
1) Berperan secara aktif, mempraktekkan dan menyelesaikan semua sesi pelatihan
2) Lulus ujian praktek dan simulasi kasus
3) Lulus ujian tulis dengan nilai minimal 75%
II.
A. Pendahuluan
Pengenalan secara dini penurunan kondisi pasien dan pencegahan kejadian henti jantung
adalah komponen pertama dari rantai keselamatan (chain of survival). Pencegahan kejadian henti
jantung di rumah sakit memerluakn edukasi dari petugas rumah sakit, monitoring pasien dan
sistem yang mengaktifkan respon emergency secara efektif . Sistem pencegahan ini penting
mengingat banyaknya kegagalan rumah sakit dalam mengenali secara dini gejala dan
penurunankondisi pasien, atau bereaksi lambat untuk mencegah kejadian henti jantung.
Henti jantung yang terjadi di rumah sakit, biasanya bukan suatu kejadian yang mendadak
atau sering kali disebabkan bukan oleh penyebab primer jantung. Pasien ini serning kali
mengalami penurunan kondisi yang lambat dan progresif termasuk hipoksemia dan hipotensi
yang tidak dikenali oleh petugas, atau dikenali tetapi diterapi dengan tidak adekuat. Meskipun
demikian kejadian henti jantung tidak hanya bisa terjadi pada pasien saja, tetapi kejadian henti
jantung, mendadak dapat terjadi pada pengunjung dan petugas rumah sakit.
Edukasi dari petugas rumah sakit adalah bagian yang sangat penting dari pelaksanaan sistem
untuk mencegah kejadian henti janatung di rumah sakit. Untuk membantu mendeteksi secara dini
kondisi kritis pasien, masing-masing pasien harus dilakukan perencanaan untuk pemeriksaan
tanda vital, baik variabel pemeriksaan maupun frekuensinya. Banyak rumah sakit sekarang yang
menerapkan early warning scores (EWS) atau kriteria pemanggilan sebagai indikator untuk
mengaktifkan dan meningkatkan monitoring, terapi atau memanggil bantuan ahli (track and
trigger).
Respon terhadap kondisi kritis pasien atau beresiko kritis biasanya diberikan oleh Code blue
team, medical emergency teams (MET), rapid response team (RRT) atatu critical care outreach
teams (CCOT). Tim ini mengganti atau bersama-sama dengan cardiac arrest tim yang secara
tradisional hanya berperan pada saat pasien mengalami henti jantung. MET/RRT biasanya terdiri
dari dokter dan perawat dari intensive care unit yang berespon terhadap panggilan dari
kriteria/kondisi spesifik dari pasien.
B. Panduan untuk pencegahan kejadian henti jantung di rumah sakit
1) Perawatan pasien kritis atau potensial kritis hendaknya dilakukan di area yang sesuai dengan
level perawatan dan monitoring pasien. Setiap bangsal hendaknya dilengkapi dengan
peralatan dan obat-obatan emergency yang tersimpan dalam troli emergency. Lokasi
defibrilator atau AED harus dengan rambu-rambu yang jelas dan diketahui oleh semua
petugas rumah sakit.
2) Pasien kritis atau potensial kritis memerlukan observasi secara regular. Masing- masing
pasien harus terdokumentasi perencanaan vital sign baik frekuensi maupun jenis
pemeriksaan.
3) Penggunaan track and trigger system (teremasuk kriteria pemmanggilan, atau sistem
peringatan dini) untuk mengidentifikasi pasien yang mengalami kondisi kritis atau potensial
kritis. Setiap bangsal atau ruangan dilengkapi dengan poster aktivasi sistem dengan nomor
telepon yang langsung menghubungkan dengan tim resusitasi (bantuan hidup lanjut), dan
tindakan yang harus dilakukan sebelum menunggu tim sekunder datang.
4) Rumah sakit harus mempunyai respon yang jelas pada saat menjumpai pasien dengan kondisi
kritis. Hal ini termasuk mendesain tim resusitasi (contoh: MET,RRT,code blue) yang dapat
merespon dengan segera pasien kritis yang terdeteksi melalui track dan trigger system.
Pelayanan ini harus diberikan selama 24 jam sehari dengan kualifikasi tim dengan
kemampuan Advance life support dilengkapi dengan peralatan, obat-obatan emergency yang
tersedia secara cepat.
5) Semua petugas rumah sakit baik medis/non medis, harus mempunyai kemampuan untuk
melakukan bantuan hidup dasar kualitas tinggi. Petugas medis mampu mengenali kondisi
kritis pasien, monitoring dan menajemen pasien kritis, sambil menunggu penanganan pasien
oleh tim yang lebih berpengalaman.
6) Semua petugas rumah sakit harus terlatih dalam mengaktifkan sistem emergency dan
penggunaan sistem komunikasi rumah sakit untuk memastikan komunkasi yang efektif antara
dokter, perawat dan petugas lainnya.
7) Mengidentifikasi pasien dengan kejadian henti jantung yang telah diprediksi dikarenakan
kondisi terminal sehingga RJP menjadi tidak sesuai. Rumah sakit harus mempunyai
kebijakan mengenai DNAR (Do not Rescucutation), berdasarkan kebijakan nasional, yang
harus dipahami oleh semua petugas kesehatan rumah sakit.
Referensi :
III.
Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support) merupakan aspek dasar dari tindakan
penyelamatan sehubungan dengan kejadian henti jantung. Aspek yang penting dari BLS
termasuk pengenalan yang cepat dari kejadian henti jantung (cardiac arrest) mendadak, aktivasi
dari sistem respon emergency, tindakan dini Cardiopulmonary rescucitation (CPR)/ resusitasi
jantung paru (RJP) dengan perhatian pada kompresi dada, tindakan secara dini defibrilasi dengan
automated external defibrillator (AED).
Tindakan bantuan hidup lanjut (advance life support) yang efektif dan penatalaksanaan post
cardiac arrest secara terpadu. Serangkaian tindakan di atas disebut sebagai rantai keselamatan
chain of survival.
Tujuan bantuan hidup dasar adalah untuk memberikan bantuan sirkulasi sistemik, ventilasi
dan oksigenasi tubuh secara efektif dan optimal sampaididapatkan kembali sirkulasi sistemik
secara spontan atau telah tiba bantuandengan perlatan yang lebih lengkap untuk melaksanakan
tindakan bantuan hidup lanjut atau sampaipasien dinyatakan meninggal. Kompresi dada
merupkan koomponen yang sangat penting pada RJP dikarenakan perfusi selama RJP sangat
tergantung dari tindakan ini. Pelaksanaan dabntuan hidup dasar dengan segera dan efektif, dapat
meningkatkan keberhasilan resusitasi serta mengurangi gangguan neurologis yang terjadi.
1. LANGKAH-LANGKAH BANTUAN HIDUP DASAR DEWASA
Langkah-langkah bantuan hidup dasar terdiri dari urutan-urutan pemeriksaan diikuti dengan
tindakan, seperti yang diilustrasikan di algoritme bantuan hidup dasar (gambar 2). Meskipun
seakan-akan tindakan dilakukan secara berurutan. Tetapi idealnyaapabila memungkinkan
terutama untuk tenaga medis professional dan resusitasi di rumah sakit, resusitasi dilakukan
secara tim yang bekerja secara simultan (sebagai contoh , satu penolong mengaktifkan sistem
emergency sementara penolong lain melakukan kompresi dada, penolong lain dapat melakukan
bantuan pernapasan dengan bag mask, dan mengaktifkan defibrilator).
Bantuan hidup dasar pasien dewasa tardier dari langkah-langkah seperti dibawah ini:
Tidak Respon
Tidak bernapas atau tidak
bernapas normal (hanya
gasping)
Aktifkan respon
emergency
Mulai RJP
Cek
Siapkan
irama/ Defibrilator
Lakukan
Shock jika indikasi
Ulangi setiap 2 menit
terhadap tanda tanda vital korban secara terus menerus sampai bantuan dating. Segera
setelah anda menentukan ketidak sadaran dan mengaktifkan 118, pastikan bahwa korban
terbaring terlentang ( pada punggungnya) diatas permukaan yang keras dan datar agar
RJP efektif.
Khusus untuk petugas medis pada henti jantung yang disebabkan karena asfeksia
seperti korban tenggelam dan sumbatan benda asing jalan nafas yang tidak sadar,petugas
medis harus memberikan RJP 5 menit ( 2 menit) sebelum mengaktifkan rspon emergency.
3. Pemeriksaan denyut nadi
Pemeriksaan denyut nadi bukan hal yang mudah untuk dilakukan, bahkan tenaga
kesehatan yang menolong mungkin memerlukan waktu yang agak lama untuk memeriksa
denyut nadi, sehingga tindakan pemeriksaan denyut nadi tidak dilakukan oleh penolong
awan dan langsung mengasumsi terjadi henti jantung jika seseorang dewasa mendadak
tidak sadarkan diri atau penderita tanpa respon yang bernafas tidak normal. Periksa
denyut nadi korban dengan merasakan arteri karotis pad orang dewas. Lama pemeriksaan
tidak boleh lebih dari 10 detik, jika penolong secara definitive tidak dapat merasakan
pulsasi dalam periode tersebut, maka kompresi dada harus segera dilakukan.
Jika pernafasan tidak normal atau tidak bernafas tetapi dijumpai denyut nadi pada
korban, maka diberikan bantuan nafas setiap 5-6 detik. Lakukan pemeriksaaan ulang nadi
korban setiap 2 menit. Hindari pemberian bantuan nafas yang berlebihan, selama RJP
direkomendasikan dengan volume tidal 500-600 ml (6-7 ml/kg), atau hingga terlihat dada
korban mengembang.
4. Mulai siklus 30 kompresi dada dan 2 bantuan nafas
Kompresi dada yang efektif sangat penting untuk mengalirkan darah dan oksigen
selama RJP. Kompresi dada terdiri dari aplikasi tekanan secara ritmik pada bagian
setengah bawah dari sternum. Tindakan kompresi dada ini akan menyebabkan aliran
darah akibat naiknya tekanan intrathorak dan kompresi secara langsung pada jantung.
Meskipun mengalirkan darah dalam jumlah yang sedikit tetapi hal ini sangat penting
untuk menghantarkan oksigen ke otot jantung dan otak, dan meningkatkan keberhasilan
tindakan defibrilasi.
Mayoritas kejadian henti jantung pada penderita dewasa dengan angka
keberhasilan hidup tertinggi adalah pasien henti jantung disaksikan (witnessed arrest)
dengan irama awal ventricular (VF) atau pulseless ventricular tachycardia (VT). Pada
pasien ini,k elemen awal yang paling penting adalah kompresi dada dan segera
dilakukannya defibrilaasi. Rekomendasi sebelumnya dari AHA 2005 dengan sekuensial
A-B-C (Airway-Breathing-Cirkulation), pemberian kompresi nafas dari mulut ke mulut,
atau mencari peralatan bantuan pernafasan. Rekomendasi yang terbaru AHA 2010
mengubah sekuen A-B-C menjadi C-A-D, sehingga diharapkan komresi dada dan
defibrilasi dapat segera diberikan.
Mulai dengan kompresi dada cara sebagai berikut:
Posisi penolong berjongkok dengan lurut disamping korban sejajar dengan dada
korban. Letakan tumit dari salah satu tangan pada pusat dari dada korban (yaitu pada
bagian setengah bawah dari sternum korban, letakan tangan yang lain diatas tangan yang
pertama, jari-jari kedua tangan dalam posisi mengunci dan pasti bahwa tekanan tidak
diatas tulang iga korban. Jaga lengan penolong dalam posisis lurus. Jangan melakukan
tekanan pada abdomen bagian atas atau sternum bagian akhir. Posisiskan penolong secara
vertical diatas dinding pada korban, dan berikan tekanan kearah bawah, sekurangkurangnya 5 cm (tetapi jangan melebihi 6 cm). gunakan berat badan anda untuk menekan
dada dengan panggul berfungsi sebagai titik tumpi.
Setelah masing-masingg kompresi dada, lepaskan tekanan pada dinding dada
secara penuh,tanpa melepas kontak tangan penolong dengan sternum (full chest recoil),
ulangi dengan kecepatan sekurang-kurangnya 100 kali/menit (tetapi jangan melebihi 120
kali/menit). Durasi waktu kompresi dan release kompresi harus sama.
Komponen yang perlu diperhatikan saat melakukan komresi dada
(High Quality CPR):
1) Tekan cepat (pust past): berikan kompresi dada frekuensi yang
mencakupi (minimal 100 kali/menit)
2) Tekan kuat (pust hard): untuk dewasa berikan kompresi dada dengan
kedalaman minimal 2 inchi (5cm)
3) Berikan kesempatan untuk dada mengembangkan kembali secara
sempurna setelah setoap kom[presi (full chest recoil)
4) Seminimal mungkin melakukan interupsi baik frekuensi maupun durasi
terhadap kompresi dadayang dilakukan.
5) Perbandingan kompresi dada dan ventilasi 30:2 direkomendasikan.
Berikan bantuan nafas paada mulut pasien sambil melihat pengembangan dada,
pertahankan posisi head tilt dan chin lift, jauhkan mulut penlong dari korban dan lihat dada
korban mengempis saat udara keluar dari korban. Ambil nafas kembali secara normal, dan
berikan pernafasan bantuan sekali lagi sehingga tercapai pemberian nafas bantuan sebanyak 2
kali.
Penolong memberikan bantuan stiker 1 detik (inpiratori time), dengan volume yang
cukup untuk membuat dada mengembang, dihindari pemberian bantuan nafas yang cepat dan
berlebih. Pemberian bantuan nafas yang berlebihan tidak diperlukan dan dapat menimbulkan
distensi lambung beserta komplikasinya seperti regurgutasi dan aspirasi. Lebih penting lagi
bahwa pemberian ventilasi yang berlebihan dapat menyebabkan naiknya tekanan intrathorakal,
mengurangi venous return ke jantung dan menurunkan cardiac output.
Untuk mengurangi resiko regurgitasi dan aspirasi, penekanan pada kartilago cricoid
(cricoid pressure) dapat dipertimbangkan untuk tenaga medis terlatih dengan jumlah petugas
yang mencukupi, hindari tindakan cricoid pressure yang berlebih yang dapat menyebabkan
obstruksi trachea.
Kedua bantuan pernafasan diharuskan tidak boleh lebih dari 5 detik. Langkah selanjutnya
kembali tangan penolong ke dada koban dan lakukan kompresi dada lanjutkan sebanyak 30 kalii.
Lanjutkan kompresi dada dan pernafasan bantuan dengan rasio 30:2.
Jika awal pemberian nafas bantuan tidak menyebabkan pengembangan dinding dada
seperti pada kondisi normal pernafasan. Sebelum melakukan langkah selanjutnya: lihat [pada
mulut korban, dan bersihkan apabila dijumpai adanya sumbatan. Cek kembali adekuatnya posisi
kepala (chin lift dan head tilt). Jika terdapat lebih dari 1 penolong, penolong yang lain harus
bergantian melakukan RJP setiap 2 menit untuk mencegah kelelahan. Pastikan intrupsi dari
kompresi dada minimal selama pergantian penolong. Teknik tersebut diatas berlaku untuk teknik
pemberian bantuan pernafasan yang lain, seperti penggunaan masker ventilasi, dan penggunaan
bag valve mask baik 1 penolong maupun 2 penolong dengan atau tanpa suplemen oksigen.
Kompresi dada saja tanpa bantuan pernafasan (chest-compression-only CPR) digunakan
pada situasi: jika penolong tidak terlatih, atau penolong tidak yakin untuk memberikan bantuan
pernafasa. Kompresi dada dilakukan secara kontinyu dengan kecepatan sekurang kurangnya 100
kali/menit (tetapi tidak lebih dari 120 kali/menit). Jika melakukan intrupsi sampai: penolong
professional dating dan mengambil alih RJP, atau korban mulai sadar: bergerak, membuka mata
dan bernafas normal, atau penolong kelelahan.
Jika petugas medis/penolong terlatif tersedia, maka tekhik dibandingkan 1 personel.
Teknik ventilasi dengan 2 personal diperlukan untuk dapat memberikan ventilasi yang evektif
terutama pada korban dengan obstruksi jalan nafas atau compliance paru yang buruk, atau
adanya kesulitan dalam menjaga kerapatan mask dengan muka korban. Dikarenakan teknik
dengan 2 personel lebih efektif, harus menjadi perhatian untuk menghindari pemberian volume
tidal yang terlalu besar yang menyebabkan terjadinya ventilasi yang berlebihan.
Selama RJP jika memungkin dan tersedia memberikan suplemen oksigen saat
memberikan bantuan ventilasi. Studi pada binatang dan data teori menduga adanya efek yang
tidak diinginkan dari pemberian 100% oksigen. Tetapi perbandingan variasi konsentrasi O2
selama resusitasi baru dilakukan pada periode bayi baru lahir. Sampai adanya informasi baru
yang tersedia, sangat beralasan untuk petugas medis memberikan oksigen 100% selama
resusitasi. Saat sirkulasi kembali normal, lakukan monitoring saturasi oksigen sistemik. Sangat
beralasan untuk menyediakan peralatan yang sesuai untuk melakukan titrasi oksigen untuk
mempertahankan saturasi oksigen > 94% dengan mengatur FIO seminimal mungkin.
1. Pastikan penolong dan korban dalam situasi yang aman dan ikuti langkah-langkah
bantuan hidup dasar dewasa. Lakukan RJP sesuai langkah-langkah pada bantuan hidup
dasar, kompresi dada dan pemberian bantuan pernafasan dengan perbandingan 30:2.
2. Segera setelah alat AED datang. Nyalakan AED dan tempelkan elektroda pads pada dada
korban. Jika penolong lebih dari 1 orang, RJP harus dilanjutkan saat memasang elektroda
pads pada dada korban. Tempatkan elektroda yang pertaama di line midaxsillaris sedikit
dibawah ketiak, dan tempatkan elektroda pads yang kedua di sedikit bawah clavicula
kanan.
3. Ikuti perintah suara/visual dari alat AED dengan segera. Pastikan bahwa tidak ada orang
yang menyentuh korban saat AED melakukan analisis irama jantung
4. Jika syock diindikasikan. Pastikan tidak ada seorang pun yang menyentuh korban. Tekan
tombol syock (AED yang otomatis penuh akan memberikan shock secara otomatis)
5. Segera lakukan kembali RJP 30:2 seperti yang diperintahkan oleh perintah suara/visual
alat AED
6. Jika syock tidak di indikasikan, lakukan segera RJP 30:2, sesuai dengan perintah
suara/visual, hingga penolong profesional datang dan kembali alih RJP, korban mulai
sadar: bergerak, membuka mata dan bernafas normal, penolong kelelahan.
B. POSISI PULIH (Recovery)
Posisi pulih digunakan pada korban dewasa yang tidak respon dengan pernafasan
dan sirkulasi yang adekuat. Posisi ini didesain untuk mempertahankan patensi jalan nafas
dan mengurangi resiko obstruksi jalan nafas dan aspirasi. Jika korban tidak sadar/tidak
respon tetapi tidak ditemukan gangguan pernafasan dan denyut jantung; atau korban
sudah memiliki pernafaasan dan denyut nadi yang adekuat setelah bantuan pernafasan
atau RJP ( serta tidak memerlukan imobilisasi untuk kemungkinan cedera spinal), maka
posisikan korban pada posisi pulih sambil menunggu bantuan datang. Posisi recovery
memungkinkan pengeluaran cairan dari mulut dan mencegah lidah jatuh kebelakang dan
menyebabkan obstruksi jalan nafas.
Langkah-langkah:
Jika tidak ada bukti trauma letakan korban dengan posisi miring pada posisi recovery
diharapkan dengan posisi ini jalan nafas dapat terbuka.
1. Berjongkok disamping korban dan luruskan lutut pasien, letakan tangan yang dekat
dengan penolong pada posisi dalam (90 derajat dari axis panjang tubuh) tempatkan
tangan yang lain di dada. Dekatkan tubuh penolong di atas tubuh korban, Tarik ke
atas lutut dan tangan yang lain mememgang bahu pasien.
2. Gulingkan korban kearah penolong dalam satu kesatuan bahu dan lutut pasien secara
perlahan
3. Atur posisi kaki, letakan punggung tangan pada pipi pasien untuk mengatur posisi
kepala.
4. Tindakan selanjutnya adalah melakukan evaluasi secara kontinyu nadi dan pernafasan
korban, sambil menunggu bantuan datang. Jika terjadi henti jantung posisikan pasien
kembali supine dan lakukan RJP kembali.
Penderita dapat digulingkan ke sisi manapun namun lebih disarankan untuk
menggulingkan penderita kearah penolong sehingga pengawasan dan penghisapan dapat
lebih mudah dilakukan. Jika korban tidak bernafas dengan adekuat, posisi recovery tidak
boleh dilakukan. Korban harus ditempatkan terlentang dan bantuan pernafasan harus
diberikan.
C. PENATALAKSANAAN SUMBATAN BENDA ASING PADA JALAN NAFAS
Tidak semua masalah jalan nafas disebabkan oleh lidah yang jatuh kebelakang,
jalan nafas juga dapat tersumbat oleh benda asing. Meskipun kejadiannya jarang, tetapi
sumbatan jalan nafas dapat menyebabkan kematian pada korban. Sumbatan jalan nafas
bias terjadi secara varsial atau komplit. Sehingga gejala yang ditimbulkan dapat berfariasi
akibat obstruksi ringan dan obstruksi berat seperti yang terlihat pada table 1.
Table 1: perbedaan Antara sumbatan benda asing pada jalan nafas ringan dan berat
Tanda
Obstruksi ringan
Ya
Tidak dapat berbicara
Tidak dapat berbicara, batuk Tidak dapat berbicara, nafas
dan bernafas
wheezing,
tidak
dapat
membantukan,
penurunan
kesadaran
Obstuksi berat
Obstruksi berat
Obstruksi ringan
(batuk tidak
efektif)
(batuk efektif)
Tidak
sadar
henti
jantung
mulai RJP
Tidak
sadar
henti
jantung
mulai RJP
Batukan dengan
keras lanjutkan
sampai obstruksi
membaik atau
batuk menjadi
tidak efektif
American Heart (2010), Adult Basic Life Support : Guidelises For Cardiopulmonary
Resuscitation And Emergency Cardiovascular Care, Circulation, 122:685-705
European Resuscitation Council (ERC),2010, Guidelines For Resuscitation,
Resuscitation, 81, 1219-1279
Eropean Resuscitation Council (ERC),(2005), Guidelines For Resuscitation
Colqohoun,M.C.,Handley,AJ., Evans, T.R. (2004), ABC of Resuscitation, fifth
edition, BMJ publishing Group, London.
IV.
BANTUAN HIDUP LANJUT DEWASA
Pada saat menemui korban dewasa yang tidak sadar, atau mendadak kolaps, setelah
memastikan lingkungan aman, tindakan pertama adalah memastikan respon dari korban.
Pasien yang tidak menunjukan respond an tidak bernafas atau bernmafas tidak normal
(gasping) maka penolong harus segera memanggil bantuan/mengaktifkan system
emergency rumah sakit untuk memanggil tim professional dan mengambil
AED/defibrillator.
Periksa denyut nadi korban dengan merasakan arteri karotis, jika denyut nadi karotis
tidak teraba, maka mulai siklus kompresi dada dan bantuan pernafasan diberikan dengan
rasio 30:2.
RJP hanya dihentikan dalam waktu yang sesingkat mungkin yaitu pada saat menilai irama
jantung, saat dilakukan defibrilasi pada VF/VT, saat menilai denyut nadi saat irama
jantung yang terorganisasi terdeteksi, atau saat memasang alat bantu jalan nafas.
Langkah 2:
Jika defibrillator telah tersedia, segera lakukan pemeriksaan jantung pastikan apakah
irama jantung shockable (ventricular electric activity (PEA) dan asistole). VF
mempersentasikan aktifitas elektrik yang tidak terorganisasi, sedangkan VT tanpa pulse
merepresentasikan gambaran aktifitas listrik yang masih terorganisasi, keduairama
jantung ini tidak dapat mengalirkan darah secara signifikan.
PEA menunjukan suatu grup heterogen irama elektrik jantung yang dihubungkan dengan
tidak adanya aktivias mekanikal ventrikal atau adanya aktifitas mekanikal ventrikel tetapi
tidak cukup untuk menyebabkan pulsasi nadi yang secara klinis terdeteksi. Asistole
menunjukan tidak adanya aktifitas elektrik ventrikel, dengan atau tanpa aktivitas elektik
atrial jantung.
Langkah 3-4:
Saat irama jantung dinilai dengan manual defibrillator dan menunjukan VF atau VT,
penolong lain harus tetap melanjutkan RJP, sedangkan penolong lain melakukan
pengisisan energy (charges) pada defibrillator. Jika defibrillator bifasic tersedia, penolong
harus menggunakan energy Seperti yang direkomendasikan oleh perusahan (dosis awal
120 Joulle) untuk mengatasi VF. Jika defibrillator monofasik digunakan maka shock awal
dengan energy 360 joule dan gunakan dosis tersebut untuk dosis ulangan jika diperlukan.
Saat pengisian energy defibrillator sudah penuh,RJP dihentikan, setelah memastikan
situasi pasien clear, penolong harus secepat mungkin untuk memberikan defibrilasi untuk
meminimalkan interupsi kompresi dada.
Penolong lain segera melanjutkan RJP setelah defibrilasi (tanpa melakukan penilaian
irama jantung atau nadi, dan memulai RJP dengan kompesi dada dan dilanjutkan hingga 5
siklus (2 menit). Jika memungkinkan akses vskuler dapat dilakukan secara intravena atau
intraosseus. Penolong yang melakukan kompresi dada harus bertukar setiap 2 menit untuk
mencegah kelelahan.
Langkah 5-6
Setelah 5 siklus (2 menit) RJP dan dilakukan penilaian irama jantung, jika VF/pulseless
VT menetap diberikan shock yang kedua dan dilanjutkan RJP selama 2 menit,
vasopressor dapat diberikan dengan tujuan untuk meningkatkan aliran darah otot jantung
selama RJP. Efek puncak dari pemberian intravena dan intraossesus vasopressor yang
diberikan secara bolus selama RJP memerlukan waktu sekurangnya 1 hingga 2 menit.
Jika defibrilasi yang diberikan gagal untuk memperbaiki irama perfusi, maka pemberian
dengan segera vasopressor setelah shock akan mengoptimalkan aliran darah ke miokard
sebelum shock berikutnya.
Pertimbangan untuk pemasangan alat bantu jalan nafas advance (pipa
endottrakheal/supraglottic airway (LMA). Kegunaan dari penggunaan jalan nafas
definitive adalah untuk menghilangkan jeda pada kompresi dada untuk pemberian
bantuan nafas, memperbaiki ventilasi dan oksigenasi, menurunkan resiko aspirasi dan
memungkinkan untuk dilakukannya monitoing kapnografi untuk memonitor kualitas dari
kompresi dada. Kerugian utama adalah interupsi kompresi dada selama pemasangannya
dan resiko dari intubasi esophageal yang tidak dikenali.
Jika akses intravena atau intraosseus tidak berhasil didapatkan, epinephrine, vasopressin
dan lidokain dapat diberikan lewat ute endoktrakheal tube pada pasien henti jantung.
Dosis optimal yang diberikan lewat endotracheal tube belum diketahui secara pasiti,
direkomendasikan memberikan 2 sampai 2setengah kali pemberian intravena. Obatobatan harus dilancarkan 5-10 dengan air steril atau normal salin dan diinjeksikan
langsung melalui tube endotracheal.
Sebelum terpasang alat bantu nafas, secara sinkron rasio 30:2 direkomendasikan dengan
kecepatan kompresi dada minimal 100 kali/menit. Saat alat jalan nafas advance terpasang
(contoh endotracheal tube atau supraglottic airway), 2 penolong tidak lagi melakukan
siklus kompresi dengan jeda untuk ventilasi, tetapi penolong secara simultan melakukan
kompresi dada dengan kecepatan 100 kali/menit, secara kontinyu tanpa adanya jeda
untuk ventilasi. Penolong lain memberikan ventilasi 1 nafas tiap 6-8 detik (8-10 nafas per
menit) dan harus dihindari pemberian ventilasi yang berlebihan.
Langkah 7-8
Setelah RJP selama 2 menit dilakukan cek irama jantung jika VF/pulseless VT menetap
diberikan shock yang ketiga dan dilanjutkan RJP selama 2 menit. Berikan antiaritma dan
terapi teerhadap kemungkinan penyebab yang reversible (meliputi hypovolemia,
hipoksia, hydron ion, hipo/hyperkalemia, hipotermia, tension pnemothorak, tamponade
codis, toksin, thrombosis pulmonary, dan thrombosis korener)
Amiodarone merupakann antiaritmia pilihan utama dengan pasien henti jantung
dikarenakan terbukti secara klinis memperbaiki angka ROSC pada pasien dewasa dengan
VF atau pulseless VT. Amiodarone dipertimbangkan saat VF/VT tidak resvonsive
terhadap CPR, defibrilasi dan terapi vasopressor. Jika amiodaron tidak tersedia lidokain
dapat dipertimbangkan, tetapi secara studi klinis lidokain tidak terbukti meningkatkan
ROSC dibandingkan dengan penggunaan amiodaron.
Magnesium sulfate dipertimbangkan hanya saat terjadi gambaran irama torsades de
pointes yang dihubungkan dengan interval QT yang memanjang.
Jika irama jantung yang terditeksi oleh defibrator menunjukan irama non shockable
(asistole atau PEA) maka RJP harus dilakukan segera, dimulai dengan kompresi dada,
dan dilanjutkan selama 2 menit hingga cek irama dilakukan kembali. Petugas medis
dalam melakukan kompresi dada harus bertukar setiap 2 menit untuk mencegah
kelelahan. Pada penanganan pasien dengan henti jantung diagnosis da terapi terhadap
penyebab yang mendasrai kejadian henti jantung adalah sangat penting. Petugas medis
harus selalu mengingat dan mengidentifikasi penyebab yang reversible dari henti jantung.
Vasopressor dapat diberikan segera mungkin jika tersedia, dengan tujuan utama dengan
meningkatkan aliran darah keotot jantung dan otak selama RJP. Epineprin mempunya
efek yang menguntungkan pada pasien dengan henti jantung ,utamanya dikarenakan
epinephrine mempunyai efek menstimulasi adrenagric yang mempunyai efek sebagai
vasokonstriktor. Direkomendasikan memberikan epinephrine dengan dosis 1 mg dose of
IV/IO setiap 3 sampai 5 menit pada pasien dewasa yang mengalami henti jantung. Dosis
yang lebih besar mungkin diperlikan pada kondisi spesifik sepeti overdosis blocer or
calcium channel blocker.
Rekomendasi terbaru menunjukan bahwa penggunaan secara rutin atropine pada pasein
PEA atau asistole tidak menunjukan efek yang menguntungkan. Sehingga atropine sulfat
sudah tidak digunakan lagi pada algoritma henti jantung.
B. PENGGUNAAN DEFIBRILATOR
Petugas kesehatan yang bertugas dalam resusitasi jantung paru harus terlatih
dalam menggunakan defrilator dan direkomendasikan untuk melakukan defibrilasi sedini
mungkin (early defibrilation) baik diruang pasien di gaaat darurat maupun diluar fasilitas
kesehatan. Defibrilator terdii dari manual maupun automatis dengan gelompang
monofasik atau bifasik dan dapat digunakan sebagai monitor irama jantung, berfungsi
untuk defibrilasi (Asinkron), kardioversi (sinkron) dan sebagai pacemaker.
Posedur penggunaan deefibrilator
Defibrillator diletakan disamping (dekat telinga kiri) korban, penolong pertama
sebagai pemegang paddle defibrillato disamping kanan korban, dan penolong kedua yang
melakukan resusitasi jantung disamping kiri korban. Posisi ini dapat disesuaikan sesuai
dengan situasi dan kondisi.
Langkah-langkah dalam menggunakan defibrillator:
1. Lakukan RJP dengan kualitas tinggi, jika defrilator telah tersedia segera tekan tombol
power dan pilih menu monitor, pasang elektroda defibrillator pada dada pasien,
hentikan RJP secara temporer dan lihat irama jantung pada layar.
2. Jika gambar EKG pada monitor dan klinis menunjukan ventrikel febrilasi/ventrikel
takikardi tanpa nadi lakukan pengisisan energy 200 joule (tanda panah putih), sambil
menunggu pengisian energy RJP dilanjutkan.
3. Jika pengisian sudah penuh hentikan RJP sevara temporer
4. Letakan paddle electrode yang telah diberi jelly di upper-right sternal border (dibawah
klavikula) dan disamping kiri putting susus kiri. Atau apex paddle diletakan di
precordium kiri dan sternum paddle diletakan d right infrascapuler.
5. Pastikan penolong tidak bersentuhan langsung maupun tidak langsung dengan korban,
6. Tekan tombol SHOCK pada paddle, dengan sebelumnya memastika tidak ada
seorangpun bersentuhan dengan korban dengan mengucapkan lm clear, youre clear
everbody clear atau clear. Setelah deefibrilasi langsung dilanjutkan RJP dimulai
dengan kompresi dada, penilaian irama jantung dilakukan setelah 2 menit.
C. PERAWATAN PASKA HENTI JANTUNG
Perawatan pasca henti jantung yang efektif memiliki potensi yang sangat
bermakna untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas yang disebabkan oleh
ketidakstabilan hemodinamika serta kerusakan organ multiple. Perawwatan paksa henti
jantung merupakan bagian yang sangat penting dalam bantuan hidup lanjut. Umumnya
kematian terjadi dalam 24 jam pertama setelah terjadinya henti jantung, hendaknya
diarahkan menuju fasilitas perawatan insentif. Tidak respon paska henti jantung,
hendaknya diarahkan menuju fasilitas perawatan intensif.
Disfungsi kardiovaskuler yang bermakna dapat terus berlangsung sehingga
memerlukan bantuan aliran darah serta ventilasi, diantaranya penambahan volume cairan
intravaskuler, obat-obatan vasoaktif dan inotropic dan peralatan invasive jika diperlukan.
Penelusur factor penceatus henti jantung serta terapi yang terarah hendaknya
dilakukan oleh penolong dengan meminta atau melakukan pemeriksaan lebih lanjut
seperti factor pemberat jantung, pemeriksaan elektrolit, tosikologi, pulmoner serta
nerologis. System peraawwatan yang menyeluruh, terstruktur dan multidisiplin harus
diterapkan secara konsisten untuk menangani pasien dengan henti jantung.
Referensi :
American Heart Association (2010), Adult Advanced Caediac Life Support: Guidellines
for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovasculare care, Circulation,
122:729-767
European
Resuscitation
Council
(ERC),
(2010),
Guidelines
for
Resuscitation,Resuscitation, 81, 1219-1276
European Resuscitation Council (ERC), (2005), Guidelines for Resuscitation
Jones, S.A., (2005) ECG Notes, Interpretation and Management Guide, F.A Davis
Company, Philadelphina
V.
Tidak berbeda dengan pasien dewasa, untuk menunjang keberhasialan dan kualitas hidup
korban dengan henti jantung pada anak, aspek pentinmg yang termasuk pencegahan kejadian
henti jantung (cardiac arrest), tindakan dini Cardiopulmonary rescucitation (CPR)/ resusitasi
jantung paru (RJP), aktivasi system respon emergency, tindakan bantuan hidup lanjut anak
(pediatric advance life support) yang efektif dan penatalaksanaannya post cardiac arrest secara
terpadu. Serangkaian tindakan disebut sebagai rantai keselamatan pediatric chain of survival.
Dimana paada tiga rangkaian awal disebut sebagai bagian hidup dassar anak.
RJP yang dilakukan secara cepat dan efektif oleh penolong ditempat kejadian,
dihubungkan dengan keberhaasilan kembalinya sirkulasi spontan / return of spontaneous
circulation (ROSC) dan komplikasi neurologis yang minimal pada anak yang mengalami
kejadian henti jantung.
A. LANGKAH-LANGKAH KBANTUAN HIDUP ANAK
Langkah-langkah bantuan hidup anak yang diilustrasikan di algoritmr terdiri dari
urutan urutan pemeriksaan diikuti dengan tindakan. Jika memungkinkan terutama untuk
tenaga medis dengan penolong lebih dari 1 orang, resusitasi dilakukan secara simultan.
Henti jantung yang disebabkan karena asfiksia lebih sering dijumpai pada pasien
bayi dan anak-anak dibandingkan henti jantung kaarena ventrikel fibrilasi, dan pemberian
ventilasi sangat penting pada resusitasi anak. Penelitian pada binatang dan studi terbaru
yang luas pada pasien anak menunjukan bahwa kombinasi dari kompresi dada dan
ventilasi menunjukan hasil yang lebih baik. Tetapi tidak diketahui apakah terdapat
perbedaan outcome apabila resusitasi dimulai dengan ventilasi (ABC) atau kompresi dada
(CAB). Sekuen CAB untuk bayi dan anak-anak direkomendasikan oleh American Heart
Association (2010) untuk menyederhanakan tindakan RJP dengan harapan korban dengan
henti jantung mendadak dapat dilakukan RJP oleh penolong dengan segera. Hal ini
memberikan keuntungan kemudahan dan konsistensi untuk pelatihan pada penolong,
sehingga baik korban tersebut bayi, anak-anak atau dewasa, RJP yang dilakukan adalah
dengan urutan-urutan CAB.
Jika korban tidak menunjukan respond dan tidak bernafas atau bernafas tidak
normal (gasping) maka jika penolong mempunyai asisten, orang lain harus segera
memanggil bantuan/panggil system emergency setempat dan mengambil AED jika
tersedia. Informasikan secara jelas alamat/lokasi kondisi kejadian dan jumlah korban, ni
tlpn yang dapat dihubungi dan jenis kegaatannya.
Sebagian besa bayi dan anak yang mengalami henti jantung lebih banyak
disebabkan oleh asfiksia dibandingkan ventrikel fibrilasi, sehingga pemberian 2 menit
RJP lebih direkomendasiakan pada penolong yang sendirian sebelum mengaktifkan
system emergency dan mengambil AED jika tersedia, kecuali jika penolong tersebut
petugas medis dan kejadian henti jantung diketahui secara mendadak, maka petugas
medis akan meninggalkan korban dan menelepon emergency dan memanggil AED jika
tersedia, kecuali jika penolong tersebut petugas medis dan kejadian henti jantung
diketahui secara mendadak, maka petugas medis akan meninggalkan korban dan
menelepon emergency setempat dan mengambil AED jika tersedia sebelum kembali ke
korbann dan melakukan RJP.
3. PEMERIKSAAN DENYUT NADI
Jika bayi dan anak-anak tidak respond an tidak bernafas (gasping tidak dinilai
sebagai bernafas), petugas medis dapat melakukan pemeriksaan denyut nadi tidak lebih
dari 10 detik (brachial pada bayi dan karotis atau femoral pada anak-anak). Jika dalam
aktu 10detik petugas medis tidak dapat merasakan pulsasi nadi atau ragu-ragu, mulai
kompresi dada.
Mendeteksi adanya denyut nadi tidaklah mudah, terutama pada situasi emergency,
penelitian menunjukan bahwa baik petugas kesehatan maupun penolong awam, tidak
akurat dalam mendeteksi ada tidaknya pulsasi pada pasien dengan henti jantung. Untuk
penolong awam tidak direkomendasikan untuk melakukan penilaian denyut nadi,
keputusan melakukan RJP pada penolong awam didasarkan pada kondisi yang tidak
respond dan tidak ada nafas atau gasping.
Jika teraba pulsasi nadi 60 per menit tetapi korban dengan nafas yang tidak
adekuat. Berikan bantuan nafas dengan frekuensi 12 sampai 20 kali per menit (1 nafas
tiap 2-5 detik) sampai korban bernafas spontan. Ck kembali fulsasi nadi setiap 2 menit.
Jika pulsasi nadi <60 per menit (bradikardia) dan terdapat tanda dari perfusi yang
buruk (pucat, mottling, sianosis) meskipun telah dilakukan support oksigenasi dan
ventilasi, lakukan kompresi dada. Hal ini dikarenakan cardiac out put pada bayi dan
anak, sangat tergantung dari laju jantung, bradikardia yang berat dengan perfusi yang
buruk adalah indikasi untuk kompresi dada dikarenakan korba dalam ancaman henti
jantung dan tindakan RJP sebelum terjadi henti jantung dapat meningkatkan harapan
hidup pasien.
4. MULAI SIKLUS KOMPRESI DADA DAN VENTILASI DENGAN RASIO 30:2
Selama Henti Jantung, Kompresi Dada Yang Efektif Akan Mengalirkan Darah Ke
Organ Vital Dan Meningkatakan Keberhasilan RJP. Jika Korban Anak Atau Bayi
Menunjukan Tidak Espon, Tidak Bernafas Dan Tidak Dijumpai Denyut Nadii Berikan
Siklus Aa30 Kali Kompresi Dada Dan 2 Bantuan Nafas. Karakeristik Kompresi Dada
Yang Efektif Seperti Uraian Di Bawah Ini:
Kompresi dada yang sesuai, baik kecepatan maupun kedalamannya. Tekan cepat
dengan kecepatan minimal 100 kali /menit. Tekan kuat dengan kekuatan yang cukup
untuk menekan sekurang-kurangnya sepertiga diameter anterior-pesterior (AP)
diameter dinding dada, atau kira-kira 1 inches (4 cm) pada bayi dan 2 inches (5
cm) pada anak-anak.
Berikan kesempatan untuk dada mengembangkan kembali secara sempurna setelah
setiap kompresi (full chest recoil) sehingga memberikan kesempatan jantung untuk
terisi kembali dengan darah.
Meminimalkann interupsii dari kompresi dada
Untuk hasil yang paling baik, pemberian kompresi dada dilakukan pada permukaan
yang rata.
Buka jalan nafas dan berikan bantuan pernafasan
Setelah memberikan awal 30 kompresi dada, buka jalan nafas korban damn
berikan 2 pernafasan bantuan. Pada bayi atau anak yang tidak respon, lidah mungkin
menyebabkan obstruksi jalan nafas dan mengganggu pemberian ventilasi. Untuk
penolong awam, buka jalan nafas korban dengan maneuver head tilt chin lift baik pada
korban trauma atau non trauma. Untuk petugas medis, jika terdabat bukti adanya trauma
atau kemungkinan ceddera spinal, gunakan jaw thrust tanpa mengektensikan kepala saat
membuka jalan nafas.
Untuk memberikan jalan nafas pada bayi, gunakan bantuan nafas dari mulut
kemulut atau hidung, sedangkan pada anak-anak diberikan bantuan pernafasan dengan
tehnik mulut ke mulut. Untuk petugas medis penolong terlatih dapat menggunakan alat
bantu masker ventilasi atau bag valve mask. Pastikan bahwa memberikan nafas efektip
(dada mengembang). Masing-masing bantuan nafas diberikan kira-kira dalam waktu
lebih 1 detik. Jika dada tidak mengembang, lakukan reposisi pada kepala, pastikan tidak
ada kebocoran di mulut, dan lakukan percobaan kembali.
Pada bayi apabila, penolong kesulitan mempertahankan kerapatan bantuan nafas
dari mulut kemulut atau hidung, gunakan tehnik dari mulut kemulut atau mulut ke
hidung. Juka digunakan tekhinik dari mulut ke mulut maka, saat memberikan bantuan
pernafasan hidung harus ditekan. Jika dilakukan tehnik dari mulut ke hidung maka tutup
mulut korban. Penolong yang sendirian menggunakan rasio kompresi dada dan ventilasi
30:2. Untuk 2 penolong atau lebih pada RJP bayi atau anak, satu penolong melakukan
kompresi dada sedangkan penolong lain menjaga patensi jalan nafas dan memberikan
ventilasi dengan rasio 15:2. Jika alat bantu nafas sudah terpasang, siklus kompresi dan
ventilasi tidak dilakukan lagi. Kompresi dada dilakukan dengan laju 100 kompresi per
menit secara kontinyu tanpa adanya jeda saat ventilasi. Pernafasan bantuan (ventilasi)
diberikan 8-10 nafas/menit (satu nafas tiap 6-8 detik).
Hindari pemberian ventilasi yang berlebihan, dikarenakan menyebabkan efek
yang merugikan yaitu meningkatkan tekanan intrathorakal sehingga mengganggu venous
return dan mengurangi cardiac output, aliran darah keotak, dan perfusi coroner.
Pemberian ventilasi yang berlebihan juga akan menyebabkan terjadinya regurgitasi dan
aspirasi trauma pada pasien yang belum terpasang jalan nafas definitive.
5. Defibrillation
Ventrikel fibrilasi dapat menyebabkan henti jantung mendadak. Anak-anak yang
mendadak kolap (contoh anak-anak kolaps saaat kegiatan atletik) sangat mungkin terjadi
ventrikel fibriilasi atau ventrikel takikardia tanpa nadi, yang memerlukan RJP dan
defibrilasi dengan segera. VT tanpa nadi dan VF disebut sebagai shockable rhythms
dikarenakan kondisi ini sangat berespon terhadap terapi elektrik shock (defibrilasi).
Peralatan AED mempunya spesifitas yang tinggi saat mengenali irama shockable
pada anak-anak, dan beberapa diantaranya memiliki mode untuk mengurangi energy yang
sehingga dapat digunakan untuk bayi dan anak dengan usia <8 tahun. Untuk bayi manual
defibrillator dapat digunakan jika irama shockable diidentifikasi oleh petugas medis
terlatih. Energy yang direkomendasikan untuk defibrilasi adalah 2 J/kg. jika diperlukan
dosis ulangan maka dosis harus ditingkatkan 2 x lipat yaitu to 4 J/kg. jika manual
defibrillator tidak tersedia, maka peralatan AED dengan mode anak dapat digunakan.
Suatu AED dengan mode anak juga dapat digunakan untuk anak-anak < 8 tahun. Jika
keduanya tidak tersedia, suatu AED dengan tanpa mode pediatric dapat digunakan. AED
dengan energy yang relative tinggi terbukti berhasil pada bayi dengan kerusakan
miokardial yang minimal dan fungsi neurologis yang baik.
Penolong harus mengkoordinasikan kompresi dada dan memberikan shock untuk
meminimalkan waktu Antara kompresi dan pemberian shock dan segera melanjutkan RJP
dimulai dengan kompresi dada segera setelah syock dibrikan. AED akanmemberikan
intruksi pada penolong untuk menganalisa kembali irama jantung setiap 2 menit.
Pemberian shock idealnya diberikan sesegera mungkin setelah kompresi dada.
Langkah langkah penggunaan AED
7. Pastikan penolongh korban dalam situasi yang aman dan ikuti langkah-langkah
bantuan hidup dasar ana. Lakukan RJP sesuai langkah pada bantuan hidup dasar,
kompresi dada dan pemberian bantuan pernafasan dengan perbandingan 30:2 dan
15:2 jika penolong 2 orang atau lebih.
8. Segera setelah alat AED dating. Nyalakan AED dan tempelkan elektroda pads pada
dada anak. Jika penolong lebih dari 1 orang, RJP harus dilanjutkan saat memasang
elektroda pads pada dada korban. Tempatkan elektroda yang dada korban. Tem[atkan
elektroda yang pertama di line midaxillaris sedikit dibawah ketiak, dan tempatkan
elektroda pads yang ke duadi sedikit dibawah clavicula kanan.
9. Ikuti perintah suara/visual dari alat AED dengan segera. Pastikan baha tidak ada
orang yang menyentuj korban saat AED melakukan analisis irama jantung.
10. Jika shock diindikasikan. Pastikan tidak ada seorang pun yang menyentuh korban.
Tekan tombol shock (AED yang otomatis penuh akan memberikan shpck secara
otomatis)
11. Segera lakukan kembali RJP 30:2 atau 15:2 jika penolong lebih dari 1 orang, seperti
yang diperintahkan oleh perintah suara/visual alat AED
12. Jika shock diindikasikan, lakukan segera RJP 30:2 jika penolong lebih dari 1 orang,
sesuai dengan erintah suara/visusl hingga penolong professional dating dan
mengambil alih RJP, korban mulai sadar: bergerak, membuka mata dan bernafas
normal, penolong kelelahan.
Periksa derajat
beratnya
obtruksi
Obstruksi berat
(batuk tidak
efektif)
Tidak
sadar henti
jantung
mulai RJP
Sadar
Obstruksi Ringan
(batuk efektif)
5 back
blows 5
abdominal
Algoritme penatalaksanaanThrusts
sumbatan benda asing jalan nafas pada bayi dan anak-
anak( keterangan: pada bayi tidak dianjurkan untuk melakukan abdominal thrusts tetapi lebih
aman dilakukan chest thrusts) (sumber :ERC 2010)
Langkah-langkah penatalaksanaan sumbatan benda asing jalan napas
1. Lakukan pemeriksaan terhadap kemungkinan terjadinya smbatan benda asing pada jalan
nafas
2. Nilai derajat ringannya sumbatan jalan nafas, tentukan apakah terjadi sumbatan jalan
nafas berat (batuk tidak efektif) atau obstruksi ringan (batuk efektf)
3. Jika terjadi obtruksi berat, korban tidak sadar dan di jumpai tanda-tanda henti jantung
lakukan RJP. Aktifkan emergency, setelah 30 kali kompresi dada, bukan jalan nafas. Jika
penolong melihat adanya benda asing,keluarkan dengan teknik finger sweeps, jika benda
asing tidak terlihat jangan lakukan teknik ini karena dapat mendorong benda asing ke
faring.
4. Jika pasien masih sadar lakukan 5 kali back blow dan dan dilanjutkan abdominal thrust
tidak berhasil. Abdominal thrusts tidak direkomendasikan pada bayi mengingat resiko
kerusakan hepar yang relative besar dan tidak terlindungi. Sehingga lebih disarankan
untuk melakukan chest thrusts.
5. Jika terjadi obstuksi ringan, minta pasien untuk membentukan secara kuat, secara
kontinyudilakukan pemeriksaan untuk menilai keefektifan batuk korban, makin
memburuk menjadi obstruksi berat atau membaik.
Kasus tenggelam
Outcome setelah kejadian tenggelam ditentukan oleh berapa lama kejadian
tenggelam, temperature air dan beberapa cepat dan kualitas RJP yang dilakukan. Fungsi
neurologis yang intak dilaporkan pada kasus tenggelam yang lama di air es. Mulai
resusitasi dengan mengeluarkan korban dari ai secepat mungkin. Jika penolong memiliki
keahlian khusus, pertolongan bantuan nafas dapat dilakukan saat korban masih berada
dalam air. Jangan melakukan kompresi dada di dalam air. Setelah korban keluar dari air,
lakukan RJP jika korban menjadi tidak respond an tidak brnafas. Jika penolong sendirian
lanjutkan RJP selama 5 siklus (kira-kira 2 menit) sebelum mengaktifkan respon
emergency dan mengambil AED.
Referensi :
American Heart (2010), Pediatric basic life Support : Guidelises For
Cardiopulmonary Resuscitation And Emergency Cardiovascular Care, Circulation,
122:685-705
European Resuscitation Council (ERC),2010, Guidelines For Resuscitation,
Resuscitation, 81, 1219-1276
Colqohoun,M.C.,Handley,AJ., Evans, T.R. (2004), ABC of Resuscitation, fifth
edition, BMJ publishing Group, London.
VI.
Pada saat menemukan anak yang idak respond an tidak bernafas, segera meminta
bantuan/mengaktifkan system emergeny untuk menyiapkan defibrillator (manual atau
AED), dan memmulai RJP (resusitasi jantung paru) dengan suplemen oksigen juka
tersedia. Lakukan RJP dengan kualitas tinggi (kompresi dada dengan kuat dan cepat,
pastikan dada kembali mengembang penuh setelah masing-masing kompresi, minimalkan
intrupsi dan hindari pemberian ventilasi yang berlebihan. Rasio perbandingan kompresi
dada ventilasi adalah 30:2.
Idealnya intrupsi kompresi dada hanya dilakukan saat pemberian bantuan nafas (sampai
alat jalan nafas advance terpasang), pengecekan irama jantung dan saat pemberian shock.
Pasang monitor EKG atau paddle AE secara cepat. Pada saat RJP dilakukan mungkin
diperlukan interupsi secara temporer untuk melihat irama jantung anak dari EKG, jika
menggunakan AED maka alat akan memberitahu apakah irama jantung shockable (VF
atau VT) atau not Shockable (asistole atau PEA)
Langkah 2-3 (untuk irama jantung Shockable /Ventrikel fibrilasi dan ventrikel takikardia tanpa
pulse):
Jika irama Shockable terlihat, lanjutkan kompresi dada jika memungkinkan sambil
mengisi energy daridefibrilator. Berikan 1 shock (2J/kg) secepat mungkkin dan segera
dilanjutkan RJP dengan kompresi dada.
Defibrilasi merupakan terapi definitive untuk fentrikel fibrilasi dengan angka harapan
hidup keseluruhan 17% to 20%. Pada pasien dewasa, kemungkinan harapan hidup
menurun 7% hingga 10% setiap menit pada kejadian henti jantung yang tidak dilakukan
RJP dan defibrilasi. Angka harapan hidup akan lebih baik apabila RJP dilakukan sedini
mungkin dan RJP kualitas tinggi dilakukan dengan meminimalkan interupsi.
Direkomendasikan dosis yang dapat digunakan pada pasien anak dengan dosis awal 2 kg
pada kasus VF yang fefrakter, dosisi ditingkatkan menjadi 4J/kg untuk osis selanjutnya
sekurang-kurangnya 4 J/kg, dan dosis yang lebih tinggi mungkin dapat dipertimbangkan
tetapi tidak melebihi 10J/kg atau dosis maksimum dewasa.
Langkah 4-5-6
Lanjutkan RJP selama 2 menit, jika penolong mencukupi pasang akses vascular
(intraosseus atau intravena). Setelah 2 menit RJP, cek irama jantung, isis energy kembali
defibrillator dengan dosis yang lebih tinggi (4J/kg).
Jika irama shockable menetap, berikan shock yang ke dua shock (4J/kg). jika irama
jantung menunjukan nonshockable, lanjutkan RJP sesuai algoitme asistole (langkah 10
dan 11)
Lanjutkan RJP selama 2 menit. Selama RJP berikan epinephrine 0,01 mg/kg(0.1 ml/kg
dan konsentrasi 1:10 000, maksimal 1 mg setiap 3 sampai 5 menit. Epinephrine harus
diberikan saaat kompresi dada.
Pertimbangkan pemasangan alat jalan nafas advance. Pada saat jalan nafas advance
sudah terpasang, 1 penolong melakukan kompresi dada secara kontinyu dengan
kecepatan minimal 100 kali/menit tanpa jeda untuk ventilasi. Penolong kedua
memberikan ventilasi dengan kecepatan 1 napas tiap 6 sampai 8 detik ( kira-kira 8-10
nafas permenit) lakukan rotasi kompresor setiap 2 menit untuk mencegah penolong
kelelahan dan penurunan kualitas dari kompresi dada.
Langkah 7-8 :
Setelah RJP 2 menit, cek irama jantung, jika irama jantung Shockable berikan shock
dengan dosis yang dinaikan (4 J/kg atau lebih dengan dosis maksimum tidak melebihi 10
J/kg or atau dosis dewasa) dan segera dilakukan RJP dengan dimulai dari kompresi dada.
Saat melanjutkan RJP berikan amiodarone, atau lidokain jika amiodarone tidak tersedia.
Jika irama Shockable terlihat maka lanjutkan RJP dengan meminimalkan interupsi
kompresi dada. Penolong lain mencari akses vascular dan memberikan epinephrine, 0,01
mg/kg (0.1 ml/kg dan konsentrasi 1:10 000 solution) maksimal of 1 mg (10 ML). dosis
ulangan epineprin diberikan sama setiap 3 sampai 5 minutes. Tidak ada keuntungan
angka harapan hidup pada pemberian epineprin pada dosis tinggi, dan hal itu mungkin
menimbulkan efek yang merugikan terutama pada henti jantung dengan penyebab
asfiksia. Dosis tinggi epinephrine mungkin dipertimbangkan pada kondisi tertentu
misalnya overdosis blocer.
Pada saat alat jalan nafas avance sudah terpasang 1 penolong melakukan kompresi dada
secara kontinyu dengan kecepatan minimal 100 kali/menit tanpa jeda untuk ventilasi.
Penolong kedua memberikan ventilasi dengan kecepatan 1 nafas tiap 6 sampai 8 detik
(kira-kira 8-10 nafas per menit). Lakukan rotasi kompresor setiap 2 menit untuk
mencegah penolong kelelahan dan penurunan kualitas dari kompresi dada. Cek irama
jantung dengan minimal intrupsi pada kompresi dada.
Jukairama jantung menunjukan nonshockable lakukan siklus RJP dan pemberian
epinephrine sampai pasien menunjukan ada bukti kembalinya sirkulasi spontan (ROSC)
atau penolong telah memutuskan usaha RJP dihentikan. Jika irama jantung pasien
menunjukan shockable, berikan shock dan segera dilanjutkan kompresi dada selama 2
menit sebelum dilakukan pengeceakan kembali irama jantung.
Referensi :
spontan dari pasien, obstruksi jalan nafas total dapat diketahui dari gagalnya pengembangan dada
pasien pada saaat diberikan ventilasi tekanan positif.
Apabila patensi jalan nafas tidak dapat diatasi untuk dapat memberikan ventilaasi dan
oksigenasi, maka dalam peiode beberapa menit, adanya gangguan neurologis dan injury pada
organ vital apat terjadi dan memicu terjadinya henti jantung.
B. PENATALAKSANAAN JALAN NAFAS DASAR
Pada saat mengenali terjadinya sumbatan jalan nafas, harus dilakukan tindakan segera
mempertahankan patensi jalan nafas. Terdapat 3 manuver yang dapat memperbaiki vantesi jalan
nafas oleh lidah dan struktur jalan nafas atas yaitu: head tilt, chin lift, and jaw thrust.
1. chin lift- head tilt
maneuver ini merupakansalah satu manufer terbaik untuk mengoreksi obstruksi yang
disebabkan oleh lidah karena dapat membuat pembukaan maksimal jalan nafas. Teknik
ini mungkin akan memanipilasi gerakan leher sehingga tidak disarankan pada penderita
dengan tulang leher dan sebagai gantinya, gunakan maneuver jaw-thrust
langkah-langkah menggunakan teknik chin lift- head tilt:
1. tangan penolong didahi pasien dan secara hati-hati tengadahkan kepala pasien (head
tilt)
2. ujung jari tangan yang lain diletakan pada titik dibawah dagu pasien dan angkat
secara hati-hati untuk meregangkan struktur dileher bagian depab (chin lift)
3. Jaw thrust
Manufer Jaw thrust digunakan untuk membuka jalan nafas pasien yang tidak
sadar dengan kecurigaan trauma pada pasien, leher atau spinal. Karena dengan teknik
ini diharapkan jalan nafas dapat terbuka tanpa menyebabkan pergerakan leher dan
kepala.
Langkah-langkah teknik melakukan Jaw thrust :
1. Pertahanan dengan hati-hati agar posisi kepala, leher dan spinal pasien tetap satu
garis. Ambil posisi diatas kepala pasien, letakan lengan sejajar degan permukaan
pasien berbaring.
2. Perlahan letakan indek jari dan jari yang lain pada bagian belakang masing-masing
sisis mandibular passion, pada sudut rahang dibawah telinga. Tekan/dorong kearah
atas dan depan. Dorong ke depan bibir bagian bawah pasien dengan menggunakan
ibu jari untuk mempertahankan mulut tetap terbuka.
4. Pipa Orofaring
Penggunaan pipa nasofaring dan orofaring seringkali membantu pada saat RJP
untuk mempertahankan jalan nafas terutama pada kasus prolonged resusitasi. Pipa
orofaring dan nasofaring diharapkan dapat mengatasi obstruksi yang disebabkan oleh
solf palatum dan lidah pada pasein yang tidak sadar.
Pada oofaring adalah peralatan berbentuk kurva, biasanya terbuat dari plastic
yang dapat dimasukan kedalam mulutv pasien. Alat ini tidak efektif jika ukuran yang
digunakan tidak sesuai. Ukuran yang sesuai dapat diukur dengan membentangkan pipa
dari sudut mulut pasien kearah ujung daun telinga (bagian lobolus) sissi wajah yang
sama.
Untuk memasukan pipa ofaring ikuti langkah-langkah berikut :
1. Tempatkan pasien pada posisi terlentang dan gunakan teknik chin lift/head-tilt/jawthrust untuk mengamankan jalan nafas secara manual.
2. Silangka ibu jari dan jari telunjuk tangan yang sama dan letakan pada gigi bagian
atas dan bawaah sudut mulut pasien. Lebarkan/jauhkan jari anda untuk membuka
rahang pasien.
3. Masukan pipa secara terbalik, (ujung pipi ke langit-langit) dan jalan sepanjang dasar
mulut pasien, melewati jaringan lunak menggantung dari belakang (uvula), atau
hingga anda menemukan tahanan melaan palatum mole.
4. Putar air way 180 derajat dengan hati-hati, sehingga ujungnya mengarahh kebawah
kefaring pasien.
5. Periksa dan lihat respon penderita setelah pipa terpasang dengan baik. Jika pipa
terlalu panjang atau pendek, lepas dang anti dengan ukuran yang sesuai. Perhatikan:
jika reflek glossofaringeal dan laryngeal masih intak, penggunaan pipa orofaring
dapat menyebabkan muntah atau laringospasme, sehingga pipa oroparing hanya
digunakan pada pasien dengan penurunan kesadaran (koma)
6. Pipa Nasofaring
Pipa nasofaring lebih menguntungkan karena sering tidak menimbulkan reflek
muntah. Sehingga diperbolehkan digunakan bagi pasien dengan kesadaran yang menurun
namun reflek muntahnya intak. Keuntungan lain adalah dapat dihunakan walau gigi
mengatup rapat. Agar efektif ukur nasopharingeal airway dari lubang hidudng pasien ke
lobulus telinga atau kesudut rahang pasien.
Untuk memasukan pipa nasofaring ikuti langkah-langkah:
1. Tempatkan pasien pada posisi terlentang dan gunakan teknik chin lift/head-tilt/jaw
thrust untuk mengamankan jalan nafas secara manual.
2. Lubrikasi bagian luar pipa denganlubrikan berbahan dasar air sebelum dimasukan.
Bevel bagian sudut ujung selang harus menghadap dasar lubang hidung atau septum
nasi.
3. Masukan pipa kedalam lubang hidung. Majukan terus hingga bagian pinggir pipa
berhenti dan tertahan kuat pada lubang hidung pasien. Jangan pernah mendorong kuat,
jika sulit memajukan pipa tarik keluar dan coba pada lubang hidung yang lain.
Perhatikan : jangan mencoba menggunakan pipa nasofaring jika ada bukti keluarnya
cairan bening (cara serebrospinal)dari hidung atau telinga. Dengan ini mengidikasikan
fraktur tulang tengkorakk pada daeah yang akan dapat dilalu pipa.
4. Periksa dan lihat respon penderita setelah pipa terpasang.
ddengan konsentrasi tingi, mencegah terjadinya aspirasi, dan sebagai alternatif untuk
memberikan obat-obatan.
Indikasi Intubasi Endotracheal adalah :
1. Henti jantung bila ventilasi dengan bag valve mask tidak memungkinkan atau tidak
efektif
2. Pasien sadar dengan dengan gangguan pernapasan dan pemberian oksigen yang idak
adekuat dengan alat-alat ventilasi yang tidakk invasive
3. Pada pasien yang tidak bias mempertahankan jalan nafas( pasien koma)
Pemberian vemtilasi pada pasien dengan intubasi trachea yang dilakukan RJP
Pada pasien dengan henti jantung atau henti nafas, pemberian ventilasi dengan
memperhatikan hal hal sebagai berikut:
1. Voume
a. Besarnya volime oksigen yang diberikan dengan bag valve mask hanya sampai dada
tampak terangkat
b. Pada pasien obesitas diberikan volume yang lebih besar
c. Setiap pemberian volume lamanya 1 detik
2. Kecepatan
a. Kecepatan 8-10 kali permenit (sekita 1 ventilasi setiap 6-8 detik) pada saat resusitasi
jantung paru
b. 10-12 kali per menit (sekitar 1 ventilasi setiap 5-6detik) pada waktu henti nafas tanpa
disertai henti jantung
3. Siklus kompresi dada ventilasi : kompresi dada dilakukan dengan kecepatan 100 kali
permenit tanpa diselingking pemberian ventilasi (tidak ada sinkronisasi Antara pemberian
kompresi dada dan pemberian ventilasi)
D. PEMBERIAN SUPLEMENTASI OKSIGEN
Pada kegiatan kardiopulmonar, pemberian oksigen harus dilakukan secepatnya. Oksigen
dibutuhkan dalam metabolism aerob untuk menghasilkan energy. Oksigen yang terdapat dalam
udara bebas sebesar 20% saja. Sehingga pada keadaan kegawatan kardiopulmonal yang
mengakibatkan ipokemia dan hipoksia jaringan perlu diperbaiki dengan peningkatan fraksi
oksigen dalam udara inspirasi (FiO2) dan tekanan dalam udara inspirasi (PO2).
Selama RJP berikan oksigen jika memungkinkan, meskipun demikian data penelitian pada
binatang dan observasi klinis mengindikasikan adanya hubungan antara tingginya SaO2 dengan
outcome yang buruk pada pasien paska henti jantung. Direkomendasikan memberikan oksigen
dengan konsentrasi tinggi pada tahap awal, segera setelah monitoring saturasi oksigen arterial
dapat diukur dengan pulse oksimetri atau analisa gas darah, titrasi konsentrasi O2 dengan target
saturasi O2 94-98%.
Pemberian oksigen dapat dilakukan dengan memakai berbagai alat. Keefektifan masingmasing alat ditentukan oleh kemampuan zat untuk menghantarkan oksigen dengan kecepatan
aliran yang cukup tinggi untuk mengimbangi kecepatan aliran inspirasi pernapasan spontan. Oleh
karena itu, pemberian oksigen inspirasi hingga 100% diharapkan dapat mengoptimalkan tekanan
oksigen inspirasi yang akan memaksimalkan saturasi O2 dalam arteri dan akhirnya
memaksimalkan pengangkutan pksigen sistemik (Delivery Oksigen/DO2) yang nilainya
dipengaruhi oleh factor lain yaitu kadar hemoglobin, saturasi oksigen dan curah jantung.
Alat-alat suplementasi Oksigen
a) Kanul Nasal
Melalui masal kamul oksigen 100% yang dialirkan dapat diatur dengan kecepatan
antara 1-6 liter per menit untuk menambahkan oksigen dari udara kamar yang diinspirasi
pasien. Konsentrasi oksigen yang diinpirasi pasien atau disebut fraksi oksigen inspirasi
(FiO2) tergantung dari kecepatan aliran dan ventilasi semenit pasien, sehingga maksimal
FiO2 yang dicapai tidak lebih 0,44%. Peningkatan kecepatan aliran oksigen 1 liter per
menit akan meningkatkan konsentrasi oksigen sebesar 4%. Pemberian aliran yang lebih
tinggi tidak akan memberikan FiO2 yang tinggi, tetapi dapat berakibat mengeringkan dan
mengiritasi mukosa masal. Sehingga kanal masal disebut alat suplementasi system
oksigen rendah dan aliran rendah. Keuntungan masal kanal adalah kenyamanan pasien
dan aliran O2 yang terus menerus meskipun pasien sedang aktivitas makan dan minum,
atau pemakaian pipamasogandrik.
b) Sungkup muka sederhana (Masker Hudson)
Sungkup muka ini mempunyai lubang tempat pipa saluran masuk O2 di dasarnya dan
lubang-lubang kecil di sekeliling sungkup muka. Oksigen dialirkan dengan kecepatan 610 L/menit dengan dapat memberi konsentrasi oksigen 30-60%, tergantung tipe
pernapasan pasien. Oksigen diberikan minimal 6 liter/menit agar tidak terjadi rebreathing
dan penumpukan karbondioksida akibat terjadi dead space mekanik.
c) Masker muka non-rebreathing
Sungkup muka ini terdiri atas sungkup muka sederhana yang dilengkapi dengan
kantong reservoir oksigen pada dasar sungkup muka dan satu katup datu arah yang
terletak pada lubang di samping sungkup dan satu katup satu arah terletak di antara
kantong reservoir dan sungkup muka.
Pada saat inspirasi, katup yang terletak di bagian sungkup muka akan menutup
sehingga seluruh gas inspirasi berasal dari kantong reservoir, sedangkan katup yang
berada diantara kantong reservoir dan sungkup menutup sehingga gas ekspirasi tidak
masuk ke kantong reservoir tetapi dipaksa keluar melewati lubang kecil di samping
sungkup. Pada system ini, aliran oksigen terus menerus mengisi kantong reservoir.
Kecepatan aliran oksigen pada sungkup ii sebesar 9-15 liter per menit dapat memberikan
konsentrasi oksigen sebesar 90-100%.
Simple Mask
Partial Rebreathing Mask
Non Rebreathing Mask
2
3
4
5
5-6
6-10
7
>8
Aliran Oksigen
>10
>80
sungkup muka, kantung ventilasi bias ihubungkan dengan alat bantu nafas lain seperti pipa
trachea, sungkup laring dan pipa esapagotrakhea.
Alat ini dihubungkan dngan sumber oksigen, sehingga fungsi alat ini selain memberikan
bantuann ventilasi tekanan positif juga memberikan oksigenasi hingga 100 % pada pasien
dengan gangguan oksigenasi.
Indikasi penggunaan ventilasi bagian valve mask adalah:
1.
2.
3.
4.
Henti nafas
Napas spontan tidak adekuat
Menurunkan kerja pernafasan dengan memberikan bantuan tekanan positif saat inspirasi
Hipoksemia akivat ventilasi spontan yang tidak adekuat
Pasang masker kedap udara pada muka sambil mempertahankan posisi chin lift dan
ekstensi kepala dengan meletakan jari ke 3,4,5 pada ramus mandibular sambil mendorong
rahang ke atas sedangkan ibu jari dan jari telunjuk membentuk huruf C dan membantu
merapatkan masker ke muka dengan menekan masker ke bawah. Tangan penolong yang
lain memijit balon resusitasi.
Pertahankan jalan nafas denganmengatur posisi kepala dan leher sehingga ventilasi yang
efektif dapat dilakukan. Ventilasi yang efektif dapat dinilai dengan terjadinya
pengembangan dada pada waktu balon resusitasi.
Bila dada tidak mengembang dengan baik, lakukan perbaikan posisi, pertimbangkan juga
pemberian jalan nafas dengan alat penghisap, jika perlu dapat digunakan alat bantu napas
oroaringeal jika pasien tidak mempunya reflek batuk atau reflek muntah agar jalan nafas
tetap terbuka.
Jika dengan cara tersebut diatas ventilasi tidak maksimal, maka dianjurkan melakukan
dengan 2 orang penolong. Atu penolong melakukan tekhik pemasangan masker seperti
yang dianjurkan diatas dengan 2 tangan sedangkan penolong lain membantu menekan
kantung nafas.
Referensi:
American Heart Association (2010), Guidellines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovasculare care
European Resuscitation Council (ERC),2010, Guidelines For Resuscitation,
Finucane, B.T., Santoro, A.H. (2003) Principles of Airway Management, ed 3, SpingerVarleg New York, Inc/ 438-485
Bain, A.I.J., Denman, W.T., Goudsouzian, N.G. (2000) LMA-Cllasic and LMA-Flexsible
Intruction Manual. San Diego: LMA North America,Inc.