Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tetanus adalah suatu keadaan toksemia akut yang disebabkan oleh
neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani yang ditandai dengan spasme
otot yang periodik dan berat. Di seluruh dunia, insidens tetanus cukup rendah
begitu juga di Indonesia. Namun demikian, tetap saja penyakit ini belum dapat
disingkirkan dari dunia, meskipun sebenarnya dapat dicegah dengan pemberian
imunisasi. Pada tetanus derajat berat, angka kematiannya masih cukup tinggi. Hal
tersebut tentu saja patut disayangkan. Saat ini, penatalaksanaan tetanus meliputi
pemberian imunoglobulin tetanus untuk menetralisir toksin, obat-obatan untuk
mengontrol spasme, antibiotik untuk mematikan kuman serta pengobatan untuk
mengatasi komplikasi dan perawatan suportif yang tepat. Dengan penatalaksanaan
yang cepat, efektif dan efisien diharapkan penanganan pasien tetanus dapat
menjadi lebih optimal sehingga angka kematian dapat diturunkan.1
Penyakit ini telah dikenal sejak zaman Hipocrates. Pada abad II Areanus
the Cappadocian melaporkan gambaran klinis tetanus, kemudian selama berabad
abad penyakit ini jarang disebutkan. Pada tahun 1884, Carle dan Rattone
menggambarkan transmisi tetanus pada kelinci Percobaan. Kitasato (1889)
pertama kali mengisolasi Clostridium Tetani. Setahun kemudian bersama dengan
von Behring melaporkan adanya antitoksin spesifik pada serum binatang yang
telah disuntikkan dengan toksin tetanus. Pada tahun1926, mulai dikembangkan
toksoid yang dapat merangsang pembentukan imunitas.2
Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di seluruh
dunia. Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan
tingkat mortalitas yang berkisar dari 6% hingga 60%. Selama 30 tahun terakhir,
hanya terdapat sembilan penelitian RCT (randomized controlled trials) mengenai
pencegahan dan tata laksana tetanus. Pada tahun 2000, hanya 18.833 kasus tetanus
yang dilaporkan ke WHO. Sekitar 76 negara, termasuk didalamnya negara yang
berisiko tinggi, tidak memiliki data serta seringkali tidak memiliki informasi yang
lengkap. Hasil survey menyatakan bahwa hanya sekitar 3% tetanus neonatorum
yang dilaporkan. Berdasarkan data dari WHO, penelitian yang dilakukan oleh
Stanfield dan Galazka, dan data dari Vietnam diperkirakan insidens tetanus di
seluruh dunia adalah sekitar 700.000 1.000.000 kasus per tahun.3
Selama 20 tahun terakhir, insidens tetanus telah menurun seiring dengan
peningkatan cakupan imunisasi. Namun demikian, hampir semua negara tidak
memiliki kebijakan bagi orang yang telah divaksinasi yang lahir sebelum program
imunisasi diberlakukan ataupun penyediaan booster yang diperlukan untuk
perlindungan jangka lama, serta pada orang-orang yang lupa melakukan jadwal
imunisasi saat infrastruktur pelayanan kesehatan rusakmisalnya akibat perang
dan kerusuhan. Akibatnya anak yang lebih besar serta orang dewasa menjadi lebih
berisiko mengalami tetanus. Meskipun demikian, di negara dengan program
imunisasi yang sudah baik sekalipun, orang tua masih rentan, karena vaksinasi
primer yang tidak lengkap ataupun karena kadar antibodinya yang telah menurun
seiring berjalannya waktu.4,5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme)
tanpa disertai gangguan kesadaran yang disebabkan oleh kuman Clostridium
tetani. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai dampak
eksotoksin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion
sambungan sumsum tulang belakang, sambungan neuromuskular (neuromuscular
junction) dan saraf otonom.6
2.2 Etiologi
Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridium tetani, kuman berbentuk
batang dengan sifat :
a. Basil Gram-positif dengan spora pada ujungnya sehingga berbentuk seperti
pemukul genderang.
b. Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan
anaerob) dan dapat bergerak dengan menggunakan flagela.
c. Menghasilkan eksotoksin yang kuat.
d. Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu
tinggi, kekeringan dan desinfektan.6
Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia
dan hewan peliharaan serta di daerah pertanian. Bakteri ini peka terhadap panas
dan tidak dapat bertahan dalam lingkungan yang terdapat oksigen. Sebaliknya,
dalam bentuk spora sangat resisten terhadap panas dan antiseptik. Spora mampu
bertahan dalam keadaan yang tidak menguntungkan selama bertahun-tahun dalam
lingkungan yang anaerob. Spora dapat bertahan dalam autoklaf pada suhu 249,8
F (121C) selama 10-15 menit. Spora juga relatif resisten terhadap fenol dan
agen kimia lainnya. Spora dapat menyebar kemana-mana, mencemari lingkungan
secara fisik dan biologik.3
Clostridium tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka. Adanya luka
mungkin dapat tidak disadari, dan seringkali tidak dilakukan pengobatan. Tetanus
juga dapat terjadi akibat beberapa komplikasi kronik seperti ulkus dekubitus,
abses dan gangren. Dapat juga terjadi akibat frost bite, infeksi telinga tengah,
Tabel 2 Jumlah Kasus Tetanus dan Kematian di Beberapa Rumah Sakit Provinsi di
Indonesia (asupan finalisasi: insidens tetanus 5 tahun terakhir 2003-2007 di RSCM,
RSAB Har-Kit, RS Fatmawati, RSHS)
Diperkirakan dosis letal minimum pada manusia sebesar 2,5 nanogram per
kilogram berat badan (satu nanogram = satu milyar gram), atau 175 nanogram
pada orang dengan berat badan 70 kg.1
Hipotesis bahwa toksin pada awalnya merambat dari tempat luka lewat
motor end plate dan aksis silinder saraf tepi ke kornu anterior sumsum tulang
belakang dan menyebar ke susunan saraf pusat lebih banyak dianut daripada lewat
pembuluh limfe dan darah. Pengangkutan toksin ini melewati saraf motorik,
terutama serabut motorik. Reseptor khusus pada ganglion menyebabkan fragmen
C toksin tetanus menempel erat dan kemudian melalui proses perlekatan dan
internalisasi, toksin diangkut ke arah sel secara ektra aksional dan menimbulkan
perubahan potensial membran dan gangguan enzim yang menyebabkan kolinesterase tidak aktif, sehingga kadar asetilkolin menjadi sangat tinggi pada sinaps
yang terkena. Toksin menyebabkan blokade pada simpul yang menyalurkan
impuls pada tonus otot, sehingga tonus otot meningkat dan menimbulkan
kekakuan. Bila tonus makin meningkat akan menimbulkan spasme terutama pada
otot yang besar. 1
Dampak toksin antara lain :
1. Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan karena
eksotoksin memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan dan
koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi kaku.
2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada gangliosida
serebri diduga menyebabkan kekakuan dan spasme yang khas pada tetanus.
3. Dampak pada saraf otonom, terutama mengenai saraf simpatis dan
menimbulkan gejala keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi, hipertensi,
aritmia, heart block, atau takikardia.3
2.5 Manifestasi Klinik
Masa inkubasi tetanus umumnya 3-21 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari
atau hingga beberapa bulan). Hal ini secara langsung berhubungan dengan jarak
dari tempat masuknya kuman C. tetani (tempat luka) ke Susunan Saraf Pusat
(SSP); secara umum semakin besar jarak antara tempat luka dengan SSP, masa
inkubasi akan semakin lama. Semakin pendek masa inkubasi, akan semakin tinggi
kemungkinan terjadinya kematian.1,2,3
Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni :
1. Generalized tetanus (Tetanus umum)
Tetanus umum merupakan bentuk yang sering ditemukan. Derajat luka
bervariasi, mulai dari luka yang tidak disadari hingga luka trauma yang
terkontaminasi. Masa inkubasi sekitar 7-21 hari, sebagian besar tergantung dari
jarak luka dengan SSP. Penyakit ini biasanya memiliki pola yang desendens.
Tanda pertama berupa trismus/lock jaw, diikuti dengan kekakuan pada leher,
kesulitan menelan, dan spasme pada otot abdomen. Gejala utama berupa trismus
terjadi sekitar 75% kasus, seringkali ditemukan oleh dokter gigi dan dokter bedah
mulut. Gambaran klinis lainnya meliputi iritabilitas, gelisah, hiperhidrosis dan
disfagia dengan hidrofobia, hipersalivasi dan spasme otot punggung. Manifestasi
dini ini merefleksikan otot bulbar dan paraspinal, mungkin karena dipersarafi oleh
akson pendek. Spasme dapat terjadi berulang kali dan berlangsung hingga
beberapa menit. Spasme dapat berlangsung hingga 3-4 minggu. Pemulihan
sempurna memerlukan waktu hingga beberapa bulan.
2. Localized tetanus (Tetanus lokal)
Tetanus lokal terjadi pada ektremitas dengan luka yang terkontaminasi
serta memiliki derajat yang bervariasi. Bentuk ini merupakan tetanus yang tidak
umum dan memiliki prognosis yang baik. Spasme dapat terjadi hingga beberapa
minggu sebelum akhirnya menghilang secara bertahap. Tetanus lokal dapat
mendahului tetanus umum tetapi dengan derajat yang lebih ringan. Hanya sekitar
1% kasus yang menyebabkan kematian.
3. Cephalic tetanus (Tetanus sefalik)
Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau terjadi setelah
infeksi telinga tengah. Gejala terdiri dari disfungsi saraf kranialis motorik
(seringkali pada saraf fasialis). Gejala dapat berupa tetanus lokal hingga tetanus
umum. Bentuk tetanus ini memiliki masa inkubasi 1-2 hari. Prognosis biasanya
buruk.
4. Tetanus neonatorum
Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Tetanus neonatorum terjadi pada
negara yang belum berkembang dan menyumbang sekitar setengah kematian
neonatus. Penyebab yang sering adalah penggunaan alat-alat yang terkontaminasi
untuk memotong tali pusat pada ibu yang belum diimunisasi. Masa inkubasi
sekitar 3-10 hari. Neonatus biasanya gelisah, rewel, sulit minum ASI, mulut
mencucu dan spasme berat. Angka mortalitas dapat melebihi 70%.
Selain berdasarkan gejala klinis, berdasarkan derajat beratnya penyakit, tetanus
dapat dibagi menjadi empat (4) tingkatan (lihat Tabel 2.6.1)3
2.6 DIAGNOSIS
Diagnosis tetanus sepenuhnya didasarkan pada temuan klinis, karena
pemeriksaan laboratorium tidak spesifik. Jadi, penegakan diagnosis sepenuhnya
didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jangan menyingkirkan
diagnosis tetanus meskipun orang tersebut telah diimunisasi secara lengkap.
Diperkirakan terdapat 4-100 juta kasus tetanus pada orang yang telah divaksinasi
(imunokompeten).1
2.6.1 Anamnesis
Anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain: 6
a. Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka, luka
dengan nanah atau gigitan binatang?
b. Apakah pernah keluar nanah dari telinga?
c. Apakah pernah menderita gigi berlubang?
d. Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi yang
e.
terakhir?
Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme
lokal) dengan spasme yang pertama (period of onset)?
11
12
klorpromazin ini merupakan obat lini kedua. Propozol telah dipergunakan sebagai
sedasi dengan pemulihan yang cepat setelah infus distop.
Apabila sedasi saja tidak adekuat, paralisis teraputik dengan agen
pemblokade neuromuskuler dan ventilasi mekanik tekanan positif intermitten
mungkin dibutuhkan untuk jangka panjang. Namun demikian dapat terjadi
paralisis berkepanjangan setelah obat dihentikan dan kebutuhan pasien akan
paralisis berkesinambungan dan terjadi komplikasi hendaknya dinilai terusmenerus tiap hari. Secara tradisional, agen kerja panjang, pankuronium
menghambat pengambilan kembali ketokolamin dan dapat memperberat
instabilitas otonomik pada tetanus berat. Terdapat laporan terbatas tentang
bertambah
parahnya
hipertensi
dan
takikardia
yang
berkaitan
dengan
pada
mereka
yang
diterapi.
Dengan
pankuronium
apabila
obat
pemblokade
neuromuskular
aminosteroid
(vekuronium,
13
gangguan kemampuan menelan atau disfagia. Kebutuhan akan prosedur ini harus
diantisipasi dan diterapkan secara dini.
3. Netralisasi toksin yang masih terdapat di dalam darah yang belum berikatan
dengan sistem saraf. Pemberian antitoksin dilakukan secepatnya setelah diagnosis
tetanus dikonfirmasi. Namun, tidak ada bukti kuat yang menyatakan bahwa toksin
tetanus dapat diinaktifkan dengan antitoksin setelah toksin berikatan di jaringan.
Bahkan pada kenyataannya, efektivitas antitoksin dalam dosis yang sangat besar
dalam menurunkan angka kematian masih dipertanyakan.
4. Jika memungkinkan, melakukan pembersihan luka di tempat masuknya kuman,
untuk memusnahkan pabrik penghasil tetanospasmin. Pada tetanus neonatorum
eksisi luas tunggul umbilikus tidak diindikasikan
5. Asuhan keperawatan yang sangat ketat dan terus-menerus.
6. Lakukan pemantauan cairan, elektrolit dan keseimbangan kalori (karena
biasanya terganggu), terutama pada pasien yang mengalami demam dan spasme
berulang, juga pada pasien yang tidak mampu makan atau minum akibat trismus
yang berat, disfagia atau hidrofobia.
Penatalaksanaan pada tetanus terdiri dari tatalaksana umum yang terdiri dari
kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga kelancaran jalan napas, oksigenasi,
mengatasi spasme, perawatan luka atau portd entree lain yang diduga seperti
karies dentis dan OMSK; sedangkan tatalaksana khusus terdiri dari pemberian
antibiotik dan serum anti tetanus.
Tatalaksana Umum 1,6
1. Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi
Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena sekaligus pemberian
obat-obatan, dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya
dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral. Setelah spasme mereda
dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-obatan dengan perhatian
khusus pada kemungkinan terjadinya aspirasi.
2. Menjaga saluran napas tetap bebas, pada kasus yang berat perlu trakeostomi.
3. Memberikan tambahan O2 dengan sungkup (masker).
4. Mengurangi spasme dan mengatasi spasme.
14
15
6.000 IU) secara intramuskular (IM) dalam dosis tunggal. Untuk bayi, dosisnya
adalah 500 IU IM dosis tunggal. Sebagian dari dosis tersebut diberikan secara
infiltrasi di tempat sekitar luka. HTIG hanya dapat menghilangkan toksin tetanus
yang belum berikatan dengan ujung saraf. Intraveneous Immunoglobuline (IVIG)
mengandung antitoksin tetanus dan dapat digunakan jika HTIG tidak tersedia.
Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas terhadap imunoglobulin
atau komponen human immunoglobuline sebelumnya; trombositopenia berat atau
keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan kontraindikasi pemberian secara
IM. Pada keadaan tetanus berat memerlukan perawatan di perawatan intensif.
Selain penatalaksanaan diatas, berikan tambahan penatalaksanaan berikut :
1. HTIG disuntikkan secara intratekal (meningkatkan perbaikan klinis dari
4-30%).
2. Trakeostomi dan ventilasi mekanik selama 3-4 minggu.
3. Magnesium diberikan secara infus (iv) untuk mencegah spasme otot.
4. Diazepam (dikenal sebagai valium) diberikan secara kontinu melalui
infus iv.
5. Efek otonom tetanus dapat menyulitkan untuk diatasi (hiper dan hipotensi
yang berganti-ganti, hiperpireksia/hipotermia) dan mungkin memerlukan
labetolol, magnesium, klonidin atau nifedipin.
Obat-obatan seperti klorpromazin atau diazepam atau pelemas otot lain dapat
diberikan untuk mengontrol spasme otot. Pada kasus yang ekstrim mungkin
diperlukan untuk menimbulkan paralisis pada pasien dengan obat kurare serta
menggunakan ventilator mekanik. Rangsangan yang sangat ringan dapat memicu
spasme yang berpotensi menyebabkan kematian pada pasien dengan penyakit
yang sudah menyebar. Karena alasan ini, semua prosedur terapeutik harus
dikoordinasi dengan baik sehingga risiko menghasilkan tetanospasmin dapat
berkurang hingga minimal. Semua prosedur paling baik dilakukan setelah pasien
mendapatkan sedasi dan relaksasi yang optimal. Karena toksin tetanus sangat
kuat, penyakit tetanus tidak menimbulkan kekebalan. Imunisasi aktif dengan
toksoid tetanus harus segera dilakukan setelah kondisi pasien stabil. Infeksi
tetanus pada anak merupakan infeksi yang akut sehingga relatif tidak mengganggu
tumbuh kembang anak. Sedangkan pada tetanus neonatorum, dapat terjadi
gangguan tumbuh kembang akibat hipoksia yang berat. Selanjutnya pasien
diberikan imunisasi tetanus.
16
2. Antibiotika
1,3,5,6
hipersensitif
terhadap
penisilin
dapat
diberikan
tetrasiklin
50
17
18
buruk. Semakin pendek masa awitan, semakin buruk prognosis. Letak, jenis luka
dan luas kerusakan jaringan turut memegang peran dalam menentukan prognosis.
Jenis tetanus juga memengaruhi prognosis.1,2,3,6 Tetanus neonatorum dan tetanus
sefalik harus dianggap sebagai tetanus berat, karena mempunyai prognosis buruk.
Sebaliknya tetanus lokal yang memiliki prognosis baik. Pemberian antitoksin
profilaksis dini meningkatkan angka kelangsungan hidup, meskipun terjadi
tetanus.1,2,3,6 Berikut ini adalah skala/derajat keparahan yang menentukan
prognosis tabel 7. tetanus menurut sistem skoring Bleck:1
Skor total menunjukkan derajat keparahan dan prognosis, seperti diuraikan berikut
ini:
Tabel 8. Skor total menunjukkan derajat keparahan dan prognosis1
2.11 Pencegahan
19
20
sebagai DT atau dengan toksoid difteri dan vaksin pertusis aselular sebagai DPT.
Kombinasi toksoid difteri dan tetanus (DT) yang mengandung 10-12 Lf dapat
diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi terhadap vaksin pertusis. Jenis
imunisasi tergantung dari golongan umur dan jenis kelamin.1
Untuk mencegah tetanus neonatorum, salah satu pencegahan adalah dengan
pemberian imunisasi TT pada wanita usia subur (WUS). Oleh karena itu, setiap
WUS yang berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan harus selalu ditanyakan
status imunisasi TT mereka dan bila diketahui yang bersangkutan belum
mendapatkan imunisasi TT harus diberi imunisasi TT minimal 2 kali dengan
jadwal sebagai berikut : Dosis pertama diberikan segera pada saat WUS kontak
dengan pelayanan kesehatan atau sendini mungkin saat yang bersangkutan hamil,
dosis kedua diberikan 4 minggu setelah dosis pertama. Dosis ketiga dapat
diberikan 6 - 12 bulan setelah dosis kedua atau setiap saat pada kehamilan
berikutnya. Dosis tambahan sebanyak dua dosis dengan interval satu tahun dapat
diberikan pada saat WUS tersebut kontak dengan fasilitas pelayanan kesehatan
atau diberikan pada saat kehamilan berikutnya. Total 5 dosis TT yang diterima
oleh WUS akan memberi perlindungan seumur hidup. WUS yang riwayat
imunisasinya telah memperoleh 3 - 4 dosis DPT/DaPT pada waktu anak-anak,
cukup diberikan 2 dosis TT pada saat kehamilan pertama, ini akan memberi
perlindungan terhadap seluruh bayi yang akan dilahirkan1,4
Tabel 9 Jadwal imunisasi
21
tetanus pada orang yang telah diimunisasi secara lengkap dalam waktu 10 tahun
setelah dosis terakhir. Pada beberapa orang, imunitas dapat terjadi seumur hidup
atau pada sebagian besar orang memiliki kadar antitoksin yang minimal setelah 10
tahun. Akibatnya, diperlukan imunisasi ulangan (booster) yang rutin dilakukan
setiap 10 tahun. Oleh karena itu, peranan pencegahan dengan imunisasi sangatlah
penting. Pada penelitian di Amerika Serikat, ditemukan bahwa kasus tetanus
hanya terjadi pada anak-anak yang tidak diimunisasi karena orang tua menolak
memberikan vaksinasi. Ibu yang mendapat TT 2 atau 3 dosis ternyata memberikan
proteksi yang baik terhadap bayi baru lahir dari tetanus neonatal. Kadar rata-rata
antitoksin 0,01 AU/ml pada ibu cukup untuk memberi proteksi terhadap
bayinya.1,4
2. Perawatan luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka
kotor atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Perawatan luka
dilakukan guna pada penghindaran persalinan yang tidak aman, aborsi serta
perawatan tali pusat selain dari imunisasi ibu. Pada perawatan tali pusat, penting
diperhatikan
hal-hal
berikut
ini
:Jangan
membungkus
punting
tali
alkohol/povidon
iodine
masih
diperkenankan
tetapi
tidak
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Penatalaksanaan tetanus pada anak. Departemen Kesehatan RI Subdirektoraat
Surveilans Epidemiologi Diunduh dari http://buk.depkes.go.id/index.php?
option=com_docman&taks=doc_download&gid=275&itemid=142. tanggal 10
oktober 2014.
2. Tetanus. Diunduh dari :
http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/tetanus.pdf. pada
tanggal 19 oktober 2014.
3. Ismanoe, G.:buku ajar llmu Penyakit Dalam, jilid III, edisi V, Pusat Penerbitan
Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta, 2010, 2911-23.
4. World Health Organization. Vaccine-preventable disease:monitoring system.
Geneva 2001.18-19
5. Behreman RE, kliegman RM, Arvin AM. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol 2.
Jakarta. EGC, 200. 1004-1007.
6. Sumarmo SPS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Buku Ajar Infeksi dan
pediatri Tropis : Tetanus. Edisi 2. IDAI. 2010.
23