Vous êtes sur la page 1sur 23

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tetanus adalah suatu keadaan toksemia akut yang disebabkan oleh
neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani yang ditandai dengan spasme
otot yang periodik dan berat. Di seluruh dunia, insidens tetanus cukup rendah
begitu juga di Indonesia. Namun demikian, tetap saja penyakit ini belum dapat
disingkirkan dari dunia, meskipun sebenarnya dapat dicegah dengan pemberian
imunisasi. Pada tetanus derajat berat, angka kematiannya masih cukup tinggi. Hal
tersebut tentu saja patut disayangkan. Saat ini, penatalaksanaan tetanus meliputi
pemberian imunoglobulin tetanus untuk menetralisir toksin, obat-obatan untuk
mengontrol spasme, antibiotik untuk mematikan kuman serta pengobatan untuk
mengatasi komplikasi dan perawatan suportif yang tepat. Dengan penatalaksanaan
yang cepat, efektif dan efisien diharapkan penanganan pasien tetanus dapat
menjadi lebih optimal sehingga angka kematian dapat diturunkan.1
Penyakit ini telah dikenal sejak zaman Hipocrates. Pada abad II Areanus
the Cappadocian melaporkan gambaran klinis tetanus, kemudian selama berabad
abad penyakit ini jarang disebutkan. Pada tahun 1884, Carle dan Rattone
menggambarkan transmisi tetanus pada kelinci Percobaan. Kitasato (1889)
pertama kali mengisolasi Clostridium Tetani. Setahun kemudian bersama dengan
von Behring melaporkan adanya antitoksin spesifik pada serum binatang yang
telah disuntikkan dengan toksin tetanus. Pada tahun1926, mulai dikembangkan
toksoid yang dapat merangsang pembentukan imunitas.2
Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di seluruh
dunia. Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan
tingkat mortalitas yang berkisar dari 6% hingga 60%. Selama 30 tahun terakhir,
hanya terdapat sembilan penelitian RCT (randomized controlled trials) mengenai
pencegahan dan tata laksana tetanus. Pada tahun 2000, hanya 18.833 kasus tetanus
yang dilaporkan ke WHO. Sekitar 76 negara, termasuk didalamnya negara yang
berisiko tinggi, tidak memiliki data serta seringkali tidak memiliki informasi yang
lengkap. Hasil survey menyatakan bahwa hanya sekitar 3% tetanus neonatorum
yang dilaporkan. Berdasarkan data dari WHO, penelitian yang dilakukan oleh

Stanfield dan Galazka, dan data dari Vietnam diperkirakan insidens tetanus di
seluruh dunia adalah sekitar 700.000 1.000.000 kasus per tahun.3
Selama 20 tahun terakhir, insidens tetanus telah menurun seiring dengan
peningkatan cakupan imunisasi. Namun demikian, hampir semua negara tidak
memiliki kebijakan bagi orang yang telah divaksinasi yang lahir sebelum program
imunisasi diberlakukan ataupun penyediaan booster yang diperlukan untuk
perlindungan jangka lama, serta pada orang-orang yang lupa melakukan jadwal
imunisasi saat infrastruktur pelayanan kesehatan rusakmisalnya akibat perang
dan kerusuhan. Akibatnya anak yang lebih besar serta orang dewasa menjadi lebih
berisiko mengalami tetanus. Meskipun demikian, di negara dengan program
imunisasi yang sudah baik sekalipun, orang tua masih rentan, karena vaksinasi
primer yang tidak lengkap ataupun karena kadar antibodinya yang telah menurun
seiring berjalannya waktu.4,5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme)
tanpa disertai gangguan kesadaran yang disebabkan oleh kuman Clostridium
tetani. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai dampak
eksotoksin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion
sambungan sumsum tulang belakang, sambungan neuromuskular (neuromuscular
junction) dan saraf otonom.6
2.2 Etiologi
Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridium tetani, kuman berbentuk
batang dengan sifat :
a. Basil Gram-positif dengan spora pada ujungnya sehingga berbentuk seperti
pemukul genderang.
b. Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan
anaerob) dan dapat bergerak dengan menggunakan flagela.
c. Menghasilkan eksotoksin yang kuat.
d. Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu
tinggi, kekeringan dan desinfektan.6
Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia
dan hewan peliharaan serta di daerah pertanian. Bakteri ini peka terhadap panas
dan tidak dapat bertahan dalam lingkungan yang terdapat oksigen. Sebaliknya,
dalam bentuk spora sangat resisten terhadap panas dan antiseptik. Spora mampu
bertahan dalam keadaan yang tidak menguntungkan selama bertahun-tahun dalam
lingkungan yang anaerob. Spora dapat bertahan dalam autoklaf pada suhu 249,8
F (121C) selama 10-15 menit. Spora juga relatif resisten terhadap fenol dan
agen kimia lainnya. Spora dapat menyebar kemana-mana, mencemari lingkungan
secara fisik dan biologik.3
Clostridium tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka. Adanya luka
mungkin dapat tidak disadari, dan seringkali tidak dilakukan pengobatan. Tetanus
juga dapat terjadi akibat beberapa komplikasi kronik seperti ulkus dekubitus,
abses dan gangren. Dapat juga terjadi akibat frost bite, infeksi telinga tengah,

pembedahan, persalinan, dan pemakaian obat-obatan intravena atau subkutan.


Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang
berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau
sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser
yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang
berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan.6
2.3 Epidemiologi
Di negara yang telah maju seperti Amerika Serikat, tetanus sudah sangat
jarang dijumpai, karena imunisasi aktif telah dilaksanakan dengan baik di
samping sanitasi lingkungan yang bersih, akan tetapi di negara sedang
berkembang termasuk Indonesia penyakit ini masih banyak dijumpai, hal ini
disebabkan karena tingkat kebersihan masih sangat kurang, mudah terjadi
kontaminasi, perawatan luka kurang diperhatikan, kurangnya kesadaran
masyarakat akan pentingnya kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus.3
Penyakit ini dapat mengenai semua umur. Di Amerika Serikat pada tahun
1915 dilaporkan bahwa kasus tetanus yang terbanyak pada umur 1:5 tahun, sesuai
dengan yang dilaporkan di Manado (1987) dan surabaya (1987) ternyata insiden
tertinggi pada anak di atas umur 5 tahun.1,3
Perkiraan angka kejadian umur ratarata pertahun sangat meningkat sesuai
kelompok umur, peningkatan 7 kali lipat pada kelompok umur 519 tahun dan
2029 tahun, sedangkan peningkatan 9 kali lipat pada kelompok umur 3039
tahun dan umur lebih 60 tahun. Beberapa peneliti melaporkan bahwa angka
kejadian lebih banyak dijumpa pada anak lakilaki; dengan perbandingan 3:1.3

Tabel 1. Data insidens tetanus menurut WHO.

Tabel 2 Jumlah Kasus Tetanus dan Kematian di Beberapa Rumah Sakit Provinsi di
Indonesia (asupan finalisasi: insidens tetanus 5 tahun terakhir 2003-2007 di RSCM,
RSAB Har-Kit, RS Fatmawati, RSHS)

Keterangan : RSCM = Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo, Jakarta; RSAB = Rumah


Sakit Harapan Kita; RSF = Rumah Sakit Fatmawati; RSHS = Rumah Sakit Hasan
Sadikin, Bandung; (*m = meninggal)
Tabel 3. Distribusi Kelompok Umur Kasus Tetanus Tahun 2003-2007

Keterangan : RSCM = Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo, Jakarta; RSAB =


Rumah Sakit Harapan Kita; RSF = Rumah Sakit Fatmawati; RSHS = Rumah
Sakit Hasan Sadikin, Bandung; (*m = meninggal)
2.4 Patogenesis
Pada dasarnya tetanus adalah penyakit yang terjadi akibat pencemaran
lingkungan oleh bahan biologis (spora) sehingga upaya kausal menurunkan attack
rate adalah dengan cara mengubah lingkungan fisik atau biologik. Port dentree
tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun diduga melalui :1,6
1. Luka tusuk, patah tulang, komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar
yang luas.
2. Luka operasi, luka yang tidak dibersihkan (debridement) dengan baik.
3. Otitis media, karies gigi, luka kronik.
4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan puntung tali pusat dengan
kotoran binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan, dan daun-daunan merupakan
penyebab utama masuknya spora pada puntung tali pusat yang menyebabkan
terjadinya kasus tetanus neonatorum.
Spora C. tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Spora yang masuk ke
dalam tubuh tidak berbahaya sampai dirangsang oleh beberapa faktor (kondisi
anaerob), sehingga berubah menjadi bentuk vegetatif dan berbiak dengan cepat
tetapi hal ini tidak mencetuskan reaksi inflamasi. Gejala klinis sepenuhnya
disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh sel vegetatif yang sedang tumbuh. C.
tetani menghasilkan dua eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin.
Tetanolisin menyebabkan hemolisis tetapi tidak berperan dalam penyakit ini.
Gejala klinis tetanus disebabkan oleh tetanospasmin. Tetanospasmin melepaskan
pengaruhnya di keempat sistem saraf: (1) motor end plate di otot rangka, (2)
medula spinalis, (3) otak, dan (4) pada beberapa kasus, pada sistem saraf simpatis.
6

Diperkirakan dosis letal minimum pada manusia sebesar 2,5 nanogram per
kilogram berat badan (satu nanogram = satu milyar gram), atau 175 nanogram
pada orang dengan berat badan 70 kg.1
Hipotesis bahwa toksin pada awalnya merambat dari tempat luka lewat
motor end plate dan aksis silinder saraf tepi ke kornu anterior sumsum tulang
belakang dan menyebar ke susunan saraf pusat lebih banyak dianut daripada lewat
pembuluh limfe dan darah. Pengangkutan toksin ini melewati saraf motorik,
terutama serabut motorik. Reseptor khusus pada ganglion menyebabkan fragmen
C toksin tetanus menempel erat dan kemudian melalui proses perlekatan dan
internalisasi, toksin diangkut ke arah sel secara ektra aksional dan menimbulkan
perubahan potensial membran dan gangguan enzim yang menyebabkan kolinesterase tidak aktif, sehingga kadar asetilkolin menjadi sangat tinggi pada sinaps
yang terkena. Toksin menyebabkan blokade pada simpul yang menyalurkan
impuls pada tonus otot, sehingga tonus otot meningkat dan menimbulkan
kekakuan. Bila tonus makin meningkat akan menimbulkan spasme terutama pada
otot yang besar. 1
Dampak toksin antara lain :
1. Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan karena
eksotoksin memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan dan
koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi kaku.
2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada gangliosida
serebri diduga menyebabkan kekakuan dan spasme yang khas pada tetanus.
3. Dampak pada saraf otonom, terutama mengenai saraf simpatis dan
menimbulkan gejala keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi, hipertensi,
aritmia, heart block, atau takikardia.3
2.5 Manifestasi Klinik
Masa inkubasi tetanus umumnya 3-21 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari
atau hingga beberapa bulan). Hal ini secara langsung berhubungan dengan jarak
dari tempat masuknya kuman C. tetani (tempat luka) ke Susunan Saraf Pusat
(SSP); secara umum semakin besar jarak antara tempat luka dengan SSP, masa

inkubasi akan semakin lama. Semakin pendek masa inkubasi, akan semakin tinggi
kemungkinan terjadinya kematian.1,2,3
Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni :
1. Generalized tetanus (Tetanus umum)
Tetanus umum merupakan bentuk yang sering ditemukan. Derajat luka
bervariasi, mulai dari luka yang tidak disadari hingga luka trauma yang
terkontaminasi. Masa inkubasi sekitar 7-21 hari, sebagian besar tergantung dari
jarak luka dengan SSP. Penyakit ini biasanya memiliki pola yang desendens.
Tanda pertama berupa trismus/lock jaw, diikuti dengan kekakuan pada leher,
kesulitan menelan, dan spasme pada otot abdomen. Gejala utama berupa trismus
terjadi sekitar 75% kasus, seringkali ditemukan oleh dokter gigi dan dokter bedah
mulut. Gambaran klinis lainnya meliputi iritabilitas, gelisah, hiperhidrosis dan
disfagia dengan hidrofobia, hipersalivasi dan spasme otot punggung. Manifestasi
dini ini merefleksikan otot bulbar dan paraspinal, mungkin karena dipersarafi oleh
akson pendek. Spasme dapat terjadi berulang kali dan berlangsung hingga
beberapa menit. Spasme dapat berlangsung hingga 3-4 minggu. Pemulihan
sempurna memerlukan waktu hingga beberapa bulan.
2. Localized tetanus (Tetanus lokal)
Tetanus lokal terjadi pada ektremitas dengan luka yang terkontaminasi
serta memiliki derajat yang bervariasi. Bentuk ini merupakan tetanus yang tidak
umum dan memiliki prognosis yang baik. Spasme dapat terjadi hingga beberapa
minggu sebelum akhirnya menghilang secara bertahap. Tetanus lokal dapat
mendahului tetanus umum tetapi dengan derajat yang lebih ringan. Hanya sekitar
1% kasus yang menyebabkan kematian.
3. Cephalic tetanus (Tetanus sefalik)
Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau terjadi setelah
infeksi telinga tengah. Gejala terdiri dari disfungsi saraf kranialis motorik
(seringkali pada saraf fasialis). Gejala dapat berupa tetanus lokal hingga tetanus
umum. Bentuk tetanus ini memiliki masa inkubasi 1-2 hari. Prognosis biasanya
buruk.
4. Tetanus neonatorum

Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Tetanus neonatorum terjadi pada
negara yang belum berkembang dan menyumbang sekitar setengah kematian
neonatus. Penyebab yang sering adalah penggunaan alat-alat yang terkontaminasi
untuk memotong tali pusat pada ibu yang belum diimunisasi. Masa inkubasi
sekitar 3-10 hari. Neonatus biasanya gelisah, rewel, sulit minum ASI, mulut
mencucu dan spasme berat. Angka mortalitas dapat melebihi 70%.
Selain berdasarkan gejala klinis, berdasarkan derajat beratnya penyakit, tetanus
dapat dibagi menjadi empat (4) tingkatan (lihat Tabel 2.6.1)3

Tabel 4 Klasifikasi Ablett untuk Derajat Manifestasi Klinis Tetanus

2.6 DIAGNOSIS
Diagnosis tetanus sepenuhnya didasarkan pada temuan klinis, karena
pemeriksaan laboratorium tidak spesifik. Jadi, penegakan diagnosis sepenuhnya
didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jangan menyingkirkan
diagnosis tetanus meskipun orang tersebut telah diimunisasi secara lengkap.

Diperkirakan terdapat 4-100 juta kasus tetanus pada orang yang telah divaksinasi
(imunokompeten).1
2.6.1 Anamnesis
Anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain: 6
a. Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka, luka
dengan nanah atau gigitan binatang?
b. Apakah pernah keluar nanah dari telinga?
c. Apakah pernah menderita gigi berlubang?
d. Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi yang
e.

terakhir?
Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme
lokal) dengan spasme yang pertama (period of onset)?

2.6.2. Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaaan fisik dapat ditemukan :1,6
a. Trismus adalah kekakuan otot mengunyah (otot maseter) sehingga sukar untuk
membuka mulut. Pada neonatus kekakuan mulut ini menyebabkan mulut
mencucu seperti mulut ikan sehingga bayi tidak dapat menetek. Secara klinis
untuk menilai kemajuan kesembuhan, lebar bukaan mulut diukur setiap hari.
b. Risus sardonikus, terjadi sebagai akibat kekakuan otot mimik sehingga tampak
dahi mengkerut, mata agak tertutup dan sudut mulut tertarik keluar dan
kebawah.
c. Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti: otot
punggung, otot leher, otot badan dan trunk muscle. Kekakuan yang sangat
berat dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.
d. Otot dinding perut kaku sehingga dinding perut seperti papan.
e. Bila kekakuan makin berat, akan timbul spasme umum yang awalnya hanya
terjadi setelah dirangsang misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, atau
terkena sinar yang kuat. Lambat laun masa istirahat spasme makin pendek
f.

sehingga anak jatuh dalam status konvulsivus.


Pada tetanus neonatorum awalnya bayi tampak sulit untuk menghisap dan
cenderung terus menangis. Setelah itu, rahang menjadi kaku sehingga bayi
tidak bisa menghisap dan sulit menelan. Beberapa saat sesudahnya, badan

menjadi kaku serta terdapat spasme intermiten.


g. Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernapasan sebagai akibat
spasme yang terus-menerus atau oleh karena kekakuan otot laring yang dapat
10

menimbulkan anoksia dan kematian; pengaruh toksin pada saraf otonom


menyebabkan gangguan sirkulasi (gangguan irama jantung atau kelainan
pembuluh darah), dapat pula menyebabkan suhu badan yang tinggi atau
berkeringat banyak; kekakuan otot sfingter dan otot polos lain sehingga terjadi
retentio alvi atau retentio urinae atau spasme laring; patah tulang panjang dan
kompresi tulang belakang.
h. Uji spatula dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring dengan
menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan steril. Hasil tes positif, jika
terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil negatif
berupa refleks muntah. Dalam laporan singkat The American Journal of
Tropical Medicine and Hygiene menyatakan bahwa pada penelitian, uji
spatula memiliki spesifitas yang tinggi (tidak ada hasil positif palsu) dan
sensitivitas yang tinggi (94% pasien yang terinfeksi menunjukkan hasil yang
positif).
2.6.3. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus.1
a. Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka tetanus.
Namun demikian, kuman C. tetani dapat ditemukan di luka orang yang tidak
mengalami tetanus, dan seringkali tidak dapat dikultur pada pasien tetanus.
Biakan kuman memerlukan prosedur khusus untuk kuman anaerobik. Selain
mahal, hasil biakan yang positif tanpa gejala klinis tidak mempunyai arti.
Hanya sekitar 30% kasus C. tetani yang ditemukan pada luka dan dapat
b.
c.
d.

diisolasi dari pasien yang tidak mengalami tetanus.


Nilai hitung leukosit dapat tinggi.
Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang normal.
Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap sebagai

imunisasi dan bukan tetanus.


e. Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat meningkat.
f. EMG dapat menunjukkan pelepasan subunit motorik yang terus-menerus dan
pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang normal yang diamati
setelah potensial aksi.
g. Dapat ditemukan perubahan yang tidak spesifik pada EKG.
2.7 DIAGNOSIS BANDING

11

Diagnosis banding tergantung dari manifestasi klinis utama dari penyakit.


Diagnosis bandingnya adalah sebagai berikut : 6
1. Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Pada ketiga diagnosis tersebut tidak
dijumpai trismus, risus sardonikus. Namun dijumpai gangguan kesadaran dan
terdapat kelainan likuor serebrospinal.
2. Tetani disebabkan oleh hipokalsemia. Secara klinis dijumpai adanya spasme
karpopedal.
3. Keracunan striknin : minum tonikum terlalu banyak (pada anak).
4. Rabies :dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan pada
anamnesis terdapat riwayat digigit binatang pada waktu epidemi.
5. Trismus akibat proses lokal yang disebabkan oleh mastoiditis, otitis media
supuratif kronis (OMSK) dan abses peritonsilar. Biasanya asimetris.
2.8 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan pada tetanus adalah sebagai berikut :1,2,3
1. Penanganan spasme.
Banyak obat yang telah dipergunakan sebagai obat tunggal maupun
kombinasi untuk mengobati spasme otot pada tetanus yang nyeri dan dapat
mengancam repirasi karena menyebabkan larngospasme atau konstraksi secara
terus menerus otot-otot pernafasan. Regimen yang ideal adalah regimen yang
dapat menekan aktivitas spasmodik tanpa menyebabkan sedasi berlebihan dan
hipoventilasi. Harus hindari stimulasi yang tidak perlu, tetapi terapi utamanya
adalah sedasi dengan menggunakan benzodiazepam. Benzodiazepam memperkuat
agonisme GABA dengan menghambat inhibitor endogen pada reseptor GABA.
Diazepam dapat diberikan melalui rute yang bervariasi, murah dan dipergunakan
secara luas, tapi metabolit kerja panjangnya (oksazepam dan desmetildiazepam)
dapat terakumulai dan berakibat koma berkepanjangan. Telah dilaporkan
enggunaan dosis setinggi 100 mg/jam. Pilihan yang lain adalah lorazepam dengan
durasi aksi lebih lama dan nidazoloam dengan waktu paruh yang lebih singkat.
Nidazolam telah diakai dengan akumulasi lebih ringan. Sebagai sedasi tambahan
dapat diberikan anti konvulsan, terutama fenobarbital yang lebih jauh memperkuat
aktifitas GABAergik dan fenothiazin, biasanya klorpromazin. Berbiturat dan

12

klorpromazin ini merupakan obat lini kedua. Propozol telah dipergunakan sebagai
sedasi dengan pemulihan yang cepat setelah infus distop.
Apabila sedasi saja tidak adekuat, paralisis teraputik dengan agen
pemblokade neuromuskuler dan ventilasi mekanik tekanan positif intermitten
mungkin dibutuhkan untuk jangka panjang. Namun demikian dapat terjadi
paralisis berkepanjangan setelah obat dihentikan dan kebutuhan pasien akan
paralisis berkesinambungan dan terjadi komplikasi hendaknya dinilai terusmenerus tiap hari. Secara tradisional, agen kerja panjang, pankuronium
menghambat pengambilan kembali ketokolamin dan dapat memperberat
instabilitas otonomik pada tetanus berat. Terdapat laporan terbatas tentang
bertambah

parahnya

hipertensi

dan

takikardia

yang

berkaitan

dengan

penggunaannya. Tetapi Dance melaporkan tidak terdapat perbedaan dalam hal


komplikasi

pada

mereka

yang

diterapi.

Dengan

pankuronium

apabila

dibandingkan dengan obat penghambat neuromuskular yang lain. Vekuronium


bebas dari efek samping kardiovaskular dan pelepasan histamin tetapi secara
relatif bersifat kerja singkat. Telah dilaporkan penggunaan infus atrakurium pada
tetanus selama 71 hari. Pada pasien ini, dengan fungsi ginjal dan liver yang
normal, tidak terdapat akumulasi laudanosin, metabolit epileptogenik dari
atrakurium. Obat-obatan kerja panjang dipilih karena penggunaannya mungkin
dengan cara bolus intermiten dari pada pemberian infus. Penggunaan jangka
panjang

obat

pemblokade

neuromuskular

aminosteroid

(vekuronium,

pankuronium, rekuronium) terutama melalui infus berkaitan dengan neuropati dan


myopati kondisi kritis, tetapi hal ini belum dilaporkan terjadi pada pasien tetanus.3
Penggunaan dantrolen untuk mengontrol spasme yang refrakter telah dilaporkan
pada satu kasus. Obat-obat menghambat neuromuskular tidak diperlukan setelah
pemberian dantrolen, spasme paroksismal berhenti dan kondisi pasien membaik.
2. Pencegahan komplikasi gangguan napas
Intubasi atau trakeostomi dengan atau tanpa ventilasi mekanik mungkin
dibutuhkan pada hipoventilasi yang berkaitan dengan sedasi berlebihan atau
laringospasme atau untuk menghindari aspirasi oleh pasien dengan trismus,

13

gangguan kemampuan menelan atau disfagia. Kebutuhan akan prosedur ini harus
diantisipasi dan diterapkan secara dini.
3. Netralisasi toksin yang masih terdapat di dalam darah yang belum berikatan
dengan sistem saraf. Pemberian antitoksin dilakukan secepatnya setelah diagnosis
tetanus dikonfirmasi. Namun, tidak ada bukti kuat yang menyatakan bahwa toksin
tetanus dapat diinaktifkan dengan antitoksin setelah toksin berikatan di jaringan.
Bahkan pada kenyataannya, efektivitas antitoksin dalam dosis yang sangat besar
dalam menurunkan angka kematian masih dipertanyakan.
4. Jika memungkinkan, melakukan pembersihan luka di tempat masuknya kuman,
untuk memusnahkan pabrik penghasil tetanospasmin. Pada tetanus neonatorum
eksisi luas tunggul umbilikus tidak diindikasikan
5. Asuhan keperawatan yang sangat ketat dan terus-menerus.
6. Lakukan pemantauan cairan, elektrolit dan keseimbangan kalori (karena
biasanya terganggu), terutama pada pasien yang mengalami demam dan spasme
berulang, juga pada pasien yang tidak mampu makan atau minum akibat trismus
yang berat, disfagia atau hidrofobia.
Penatalaksanaan pada tetanus terdiri dari tatalaksana umum yang terdiri dari
kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga kelancaran jalan napas, oksigenasi,
mengatasi spasme, perawatan luka atau portd entree lain yang diduga seperti
karies dentis dan OMSK; sedangkan tatalaksana khusus terdiri dari pemberian
antibiotik dan serum anti tetanus.
Tatalaksana Umum 1,6
1. Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi
Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena sekaligus pemberian
obat-obatan, dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya
dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral. Setelah spasme mereda
dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-obatan dengan perhatian
khusus pada kemungkinan terjadinya aspirasi.
2. Menjaga saluran napas tetap bebas, pada kasus yang berat perlu trakeostomi.
3. Memberikan tambahan O2 dengan sungkup (masker).
4. Mengurangi spasme dan mengatasi spasme.

14

Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa menekan pusat


kortikal. Dosis diazepam yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB/kali
dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis atau dosis yang direkomendasikan
untuk usia <2 tahun adalah 8mg/kgBB/hari diberikan oral dalam dosis 2-3 mg
setiap 3 jam. Spasme harus segera dihentikan dengan pemberian diazepam 5 mg
per rektal untuk BB<10 kg dan 10 mg per rektal untuk anak dengan BB 10 kg,
atau dosis diazepam intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah spasme
berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai dengan
keadaan klinis pasien. Alternatif lain, untuk bayi (tetanus neonatorum) diberikan
dosis awitan 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infus
tetesan tetap 15-40 mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diazepam diturunkan
bertahap 5-10 mg/hari dan dapat diberikan melalui pipa orogastrik. Dosis
maksimal adalah 40 mg/kgBB/hari. Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai
spasme spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik (tidak koma), tidak
dijumpai gangguan pernapasan. Bila dosis diazepam maksimal telah tercapai
namun anak masih spasme atau mengalami spasme laring, sebaiknya
dipertimbangkan untuk dirawat di ruang perawatan intensif sehingga otot dapat
dilumpuhkan dan mendapat bantuan pernapasan mekanik. Apabila dengan terapi
antikonvulsan dengan dosis rumatan telah memberikan respons klinis yang
diharapkan, dosis dipertahankan selama 3-5 hari. Selanjutnya pengurangan dosis
dilakukan secara bertahap (berkisar antara 20% dari dosis setiap dua hari).
Midazolam iv atau bolus, fenobarbital iv dan morfin dapat digunakan sebagai
terapi tambahan jika pasien dirawat di ICU karena terdapat risiko depresi
pernapasan.
5. Jika karies dentis atau OMSK dicurigai sebagai port dentree, maka diperlukan
konsultasi dengan dokter gigi/THT.
Tatalaksana Khusus 1,2,3,4,5,6
1. Anti serum atau Human Tetanus Immunoglobuline (HTIG) 10,11,21 Dosis ATS
yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000 IU im dan 50.000 IU iv.
Pemberian ATS harus berhati-hati akan reaksi anafilaksis. Pada tetanus anak,
pemberian anti serum dapat disertai dengan imunisasi aktif DT setelah anak
pulang dari rumah sakit. Bila fasilitas tersedia, dapat diberikan HTIG (3.000-

15

6.000 IU) secara intramuskular (IM) dalam dosis tunggal. Untuk bayi, dosisnya
adalah 500 IU IM dosis tunggal. Sebagian dari dosis tersebut diberikan secara
infiltrasi di tempat sekitar luka. HTIG hanya dapat menghilangkan toksin tetanus
yang belum berikatan dengan ujung saraf. Intraveneous Immunoglobuline (IVIG)
mengandung antitoksin tetanus dan dapat digunakan jika HTIG tidak tersedia.
Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas terhadap imunoglobulin
atau komponen human immunoglobuline sebelumnya; trombositopenia berat atau
keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan kontraindikasi pemberian secara
IM. Pada keadaan tetanus berat memerlukan perawatan di perawatan intensif.
Selain penatalaksanaan diatas, berikan tambahan penatalaksanaan berikut :
1. HTIG disuntikkan secara intratekal (meningkatkan perbaikan klinis dari
4-30%).
2. Trakeostomi dan ventilasi mekanik selama 3-4 minggu.
3. Magnesium diberikan secara infus (iv) untuk mencegah spasme otot.
4. Diazepam (dikenal sebagai valium) diberikan secara kontinu melalui
infus iv.
5. Efek otonom tetanus dapat menyulitkan untuk diatasi (hiper dan hipotensi
yang berganti-ganti, hiperpireksia/hipotermia) dan mungkin memerlukan
labetolol, magnesium, klonidin atau nifedipin.
Obat-obatan seperti klorpromazin atau diazepam atau pelemas otot lain dapat
diberikan untuk mengontrol spasme otot. Pada kasus yang ekstrim mungkin
diperlukan untuk menimbulkan paralisis pada pasien dengan obat kurare serta
menggunakan ventilator mekanik. Rangsangan yang sangat ringan dapat memicu
spasme yang berpotensi menyebabkan kematian pada pasien dengan penyakit
yang sudah menyebar. Karena alasan ini, semua prosedur terapeutik harus
dikoordinasi dengan baik sehingga risiko menghasilkan tetanospasmin dapat
berkurang hingga minimal. Semua prosedur paling baik dilakukan setelah pasien
mendapatkan sedasi dan relaksasi yang optimal. Karena toksin tetanus sangat
kuat, penyakit tetanus tidak menimbulkan kekebalan. Imunisasi aktif dengan
toksoid tetanus harus segera dilakukan setelah kondisi pasien stabil. Infeksi
tetanus pada anak merupakan infeksi yang akut sehingga relatif tidak mengganggu
tumbuh kembang anak. Sedangkan pada tetanus neonatorum, dapat terjadi
gangguan tumbuh kembang akibat hipoksia yang berat. Selanjutnya pasien
diberikan imunisasi tetanus.
16

2. Antibiotika

1,3,5,6

a. Pada penelitian yang dilakukan di Indonesia, metronidazol telah menjadi terapi


pilihan yang digunakan di beberapa pelayanan kesehatan. Metronidazol diberikan
secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari
dengan interval setiap 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazol efektif untuk
mengurangi jumlah kuman C. tetani bentuk vegetatif. Sebagai lini kedua dapat
diberikan penisilin prokain 50.000-100.000 U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika
terdapat

hipersensitif

terhadap

penisilin

dapat

diberikan

tetrasiklin

50

mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8 tahun). Penisilin membunuh


bentuk vegetatif C.tetani. Sampai saat ini, pemberian penisilin G secara parenteral
dengan dosis 100.000 U/kgBB/hari secara iv, setiap 6 jam selama 10 hari
direkomendasikan pada semua kasus tetanus. Sebuah penelitian menyatakan
bahwa penisilin mungkin berperan sebagai agonis terhadap tetanospasmin dengan
menghambat pelepasan asam aminobutirat gama (GABA).
b. Jika terjadi penyulit sepsis atau bronkopneumonia, diberikan antibiotik yang
sesuai. Pemberian antibiotika bertujuan untuk memusnahkan klostridium di
tempat luka yang dapat memproduksi toksin.
2.9 KOMPLIKASI
Komplikasi tetanus dapat terjadi akibat penyakitnya, seperti laringospasme, atau
sebagai konsekuensi dari terapi sederhana, seperti sedasi yang mengarah pada
koma, aspirasi atau apnea, atau konsekuensi dari perawatan intensif, seperti
pneumonia berkaitan dengan ventilator.3
Tabel 6 menggambarkan beberapa komplikasi akibat tetanus.

17

* = komplikasi jangka panjang


2.10 PROGNOSA
Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi angka
mortalitas dapat diturunkan hingga 10-30 persen dengan perawatan kesehatan
yang modern. Banyak faktor yang berperan penting dalam prognosis tetanus.
Diantaranya adalah masa inkubasi, masa awitan, jenis luka, dan keadaan status
imunitas pasien. Semakin pendek masa inkubasi, prognosisnya menjadi semakin

18

buruk. Semakin pendek masa awitan, semakin buruk prognosis. Letak, jenis luka
dan luas kerusakan jaringan turut memegang peran dalam menentukan prognosis.
Jenis tetanus juga memengaruhi prognosis.1,2,3,6 Tetanus neonatorum dan tetanus
sefalik harus dianggap sebagai tetanus berat, karena mempunyai prognosis buruk.
Sebaliknya tetanus lokal yang memiliki prognosis baik. Pemberian antitoksin
profilaksis dini meningkatkan angka kelangsungan hidup, meskipun terjadi
tetanus.1,2,3,6 Berikut ini adalah skala/derajat keparahan yang menentukan
prognosis tabel 7. tetanus menurut sistem skoring Bleck:1

Skor total menunjukkan derajat keparahan dan prognosis, seperti diuraikan berikut
ini:
Tabel 8. Skor total menunjukkan derajat keparahan dan prognosis1

2.11 Pencegahan

19

Seorang penderita yang terkena tetanus tidak imun terhadap serangan


ulangan artinya dia mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapat tetanus
bila terjadi luka sama seperti orang lainnya yang tidak pernah di imunisasi. Tidak
terbentuknya kekebalan pada penderita setelah ianya sembuh dikarenakan toksin
yang masuk kedalam tubuh tidak sanggup untuk merangsang pembentukkan
antitoksin ( kaena tetanospamin sangat poten dan toksisitasnya bisa sangat cepat,
walaupun dalam konsentrasi yang minimal, yang mana hal ini tidak dalam
konsentrasi yang adekuat untuk merangsang pembentukan kekebalan).2,4,5
Ada beberapa kejadian dimana dijumpai natural imunitas. Hal ini
diketahui sejak C. tetani dapat diisolasi dari tinja manusia. Mungkin organisme
yang berada didalam lumen usus melepaskan imunogenic quantity dari toksin. Ini
diketahui dari toksin dijumpai anti toksin pada serum seseorang dalam riwayatnya
belum pernah di imunisasi, dan dijumpai/adanya peninggian titer antibodi dalam
serum yang karakteristik merupakan reaksi secondary imune response pada
beberapa orang yang diberikan imunisasi dengan tetanus toksoid untuk pertama
kali.Dengan dijumpai natural imunitas ini, hal ini mungkin dapat menjelaskan
mengapa insiden tetanus tidak tinggi, seperti yang semestinya terjadi pada
beberapa negara dimana pemberian imunisasi tidak lengkap/ tidak terlaksana
dengan baik.2,3,5
Sampai pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid merupakan
satu-satunya cara dalam pencegahan terjadinya tetanus. Pencegahan dengan
pemberian imunisasi telah dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan, dengan cara
pemberian imunisasi aktif( DPT atau DT ).3,6 Pencegahan sangat penting,
mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal. Untuk pencegahan, perlu
dilakukan: 2,3,5
1. Imunisasi aktif
Imunisasi dengan toksoid tetanus merupakan salah satu pencegahan yang
sangat efektif. Angka kegagalannya relatif rendah. Toksoid tetanus pertama kali
diproduksi pada tahun 1924. Imunisasi toksoid tetanus digunakan secara luas pada
militer selama Perang Dunia II. Terdapat dua jenis toksoid tetanus yang tersedia
adsorbed (aluminium salt precipitated) toxoid dan fluid toxoid. Toksoid tetanus
tersedia dalam kemasan antigen tunggal, atau dikombinasi dengan toksoid difteri

20

sebagai DT atau dengan toksoid difteri dan vaksin pertusis aselular sebagai DPT.
Kombinasi toksoid difteri dan tetanus (DT) yang mengandung 10-12 Lf dapat
diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi terhadap vaksin pertusis. Jenis
imunisasi tergantung dari golongan umur dan jenis kelamin.1
Untuk mencegah tetanus neonatorum, salah satu pencegahan adalah dengan
pemberian imunisasi TT pada wanita usia subur (WUS). Oleh karena itu, setiap
WUS yang berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan harus selalu ditanyakan
status imunisasi TT mereka dan bila diketahui yang bersangkutan belum
mendapatkan imunisasi TT harus diberi imunisasi TT minimal 2 kali dengan
jadwal sebagai berikut : Dosis pertama diberikan segera pada saat WUS kontak
dengan pelayanan kesehatan atau sendini mungkin saat yang bersangkutan hamil,
dosis kedua diberikan 4 minggu setelah dosis pertama. Dosis ketiga dapat
diberikan 6 - 12 bulan setelah dosis kedua atau setiap saat pada kehamilan
berikutnya. Dosis tambahan sebanyak dua dosis dengan interval satu tahun dapat
diberikan pada saat WUS tersebut kontak dengan fasilitas pelayanan kesehatan
atau diberikan pada saat kehamilan berikutnya. Total 5 dosis TT yang diterima
oleh WUS akan memberi perlindungan seumur hidup. WUS yang riwayat
imunisasinya telah memperoleh 3 - 4 dosis DPT/DaPT pada waktu anak-anak,
cukup diberikan 2 dosis TT pada saat kehamilan pertama, ini akan memberi
perlindungan terhadap seluruh bayi yang akan dilahirkan1,4
Tabel 9 Jadwal imunisasi

Efektivitas vaksin tetanus tidak pernah diuji dalam penelitian. Kesimpulan


bahwa kadar antitoksin bersifat protektif setelah diberikan toksoid tetanus yang
lengkap terlihat manfaatnya secara klinis hingga 100%; jarang ditemukan kasus

21

tetanus pada orang yang telah diimunisasi secara lengkap dalam waktu 10 tahun
setelah dosis terakhir. Pada beberapa orang, imunitas dapat terjadi seumur hidup
atau pada sebagian besar orang memiliki kadar antitoksin yang minimal setelah 10
tahun. Akibatnya, diperlukan imunisasi ulangan (booster) yang rutin dilakukan
setiap 10 tahun. Oleh karena itu, peranan pencegahan dengan imunisasi sangatlah
penting. Pada penelitian di Amerika Serikat, ditemukan bahwa kasus tetanus
hanya terjadi pada anak-anak yang tidak diimunisasi karena orang tua menolak
memberikan vaksinasi. Ibu yang mendapat TT 2 atau 3 dosis ternyata memberikan
proteksi yang baik terhadap bayi baru lahir dari tetanus neonatal. Kadar rata-rata
antitoksin 0,01 AU/ml pada ibu cukup untuk memberi proteksi terhadap
bayinya.1,4
2. Perawatan luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka
kotor atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Perawatan luka
dilakukan guna pada penghindaran persalinan yang tidak aman, aborsi serta
perawatan tali pusat selain dari imunisasi ibu. Pada perawatan tali pusat, penting
diperhatikan

hal-hal

berikut

ini

:Jangan

membungkus

punting

tali

pusat/mengoleskan cairan/bahan apapun ke dalam punting tali pusat Mengoleskan

alkohol/povidon

iodine

masih

diperkenankan

tetapi

tidak

dikompreskan karena menyebabkan tali pusat lembab.1,6


3. Pemberian ATS dan HTIG profilaksis
Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (< 6 jam) dan
harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif. Dosis ATS profilaksis 3000 IU.
HTIG juga dapat diberikan sebagai profilaksis luka. Dosis untuk anak < 7 tahun :
4 U/kg IM dosis tunggal, sedangkan dosis untuk anak 7 tahun : 250 U IM dosis
tunggal.1,3,5

22

DAFTAR PUSTAKA
1. Penatalaksanaan tetanus pada anak. Departemen Kesehatan RI Subdirektoraat
Surveilans Epidemiologi Diunduh dari http://buk.depkes.go.id/index.php?
option=com_docman&taks=doc_download&gid=275&itemid=142. tanggal 10
oktober 2014.
2. Tetanus. Diunduh dari :
http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/tetanus.pdf. pada
tanggal 19 oktober 2014.

3. Ismanoe, G.:buku ajar llmu Penyakit Dalam, jilid III, edisi V, Pusat Penerbitan
Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta, 2010, 2911-23.
4. World Health Organization. Vaccine-preventable disease:monitoring system.
Geneva 2001.18-19
5. Behreman RE, kliegman RM, Arvin AM. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol 2.
Jakarta. EGC, 200. 1004-1007.
6. Sumarmo SPS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Buku Ajar Infeksi dan
pediatri Tropis : Tetanus. Edisi 2. IDAI. 2010.

23

Vous aimerez peut-être aussi