Vous êtes sur la page 1sur 16

94

ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

KEKUATAN HUKUM PEMBUKTIAN NIKAH SIRRI


(NIKAH DI BAWAH TANGAN) DALAM UNDANG-UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
Muchamad Chilmi
- Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jenderal Sudirman Jl. Mahakam No. 7 Lumajang
ABSTRAK
Kekuatan hukum nikah sirri lemah di mata hukum, hal ini
dikarenakan nikah sirri (nikah di bawah tangan) dalam
Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah
sah secara agama tetapi secara hukum negara dianggap
tidak pernah ada dan tidak mempunyai kekuatan hukum
karena tidak tercatat di lembaga berwenang yang telah di
tunjuk untuk mencatat perkawinan atau belum mendapat
pengakuan dari pemerintah karena tidak memiliki Buku
Nikah sebagai bukti autentik tentang terjadinya perkawinan.
Hal ini berarti bahwa nikah sirri (nikah di bawah tangan)
dengan sendirinya menurut Undang-Undang Perkawinan
dianggap tidak sah, dan tidak mempunyai akibat hukum
sebagai ikatan perkawinan.
Kata Kunci: Kekuatan Hukum, Pembuktian, Nikah Sirri,
Undang-Undang Perkawinan.
A. PENDAHULUAN
Keluarga merupakan kesatuan sosial terkecil yang dibentuk
atas dasar ikatan perkawinan, yang unsur-unsurnya terdiri atas
suami, isteri, dan anak-anaknya yang belum dewasa. Sedangkan
sifat keluarga sebagai suatu kesatuan sosial meliputi rasa cinta dan
kasih sayang, ikatan perkawinan, pemilikan harta benda bersama,
maupun tempat tinggal bagi seluruh anggota keluarganya.1
Menurut hukum Islam tujuan perkawinan adalah menuruti
perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam
masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan
1

Cholil Mansyur (1994) Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa, Usaha


Nasional, Surabaya, Hal, 19.

ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

95

teratur. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Quran Surat
ar-Rum Ayat 21.2
Negara Indonesia telah mengatur perihal perkawinan ini
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (UU Perkawinan),
dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
yaitu tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan (PP No. 9 Tahun 1975), dan Intruksi Presiden
Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan
peraturan-peraturan lainnya mengenai perkawinan.
Pernikahan adalah suatu proses hukum, sehingga hal-hal
atau tindakan yang muncul akibat pernikahan adalah tindakan
hukum yang mendapat perlindungan secara hukum. Salah satu
kerangka awal untuk mendapatkan jaminan hukum dalam sebuah
perkawinan adalah dengan mencatatkannya kepada instansi yang
berwenang. Hal ini tidak hanya berlaku bagi orang yang beragama
Islam saja, melainkan juga bagi mereka yang beragama Kristen,
Katholik, Hindu maupun Budha.
Pada kenyataannya sering terjadi perkawinan yang tidak
sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan UU Perkawinan.
Masyarakat tersebut beranggapan bahwa cukup melakukan
pernikahan sesuai dengan hukum agama saja perkawinan tersebut
sudah dianggap sah (perkawinan semacam ini biasa dikenal dengan
nikah sirri atau perkawinan di bawah tangan).
Perkawinan di bawah tangan adalah perkawinan yang sah
secara agama tetapi tidak sah secara hukum negara. Akibat hukum
terhadap anak yang lahir dari pernikahan sirri antara lain:
1. Sulitnya mendapatkan akta kelahiran karena pernikahan orang
tuanya tidak terdaftar.
2. Sulitnya mendapat perlindungan hukum dari negara.
3. Tidak dapat mendapatkan hak waris dari ayah biologisnya.3
Ada dua pendapat para pakar hukum berkaitan dengan
masalah ini. Pertama, ahli hukum yang berpegang pada cara
penafsiran Legisme (kebahasaan). Mereka berpendapat bahwa
perkawinan yang dilakukan menurut cara berdasarkan aturan
2

DEPAG RI, (1990) Al-Quran dan Terjemah, Jakarta, Mujamma Almalik Fahd Li Thibaati Al-Mush-haf Asy-Syarif, Hal. 121.
3
Abdul Manan, (2008) Aneka Masalah Hukum Perdata di Indonesia.
Kencana Prenada Media group, Jakarta, Hal. 84.

96

ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

agama dan keyakinan dua belah pihak yang melakukan perkawinan


adalah sah, sedangkan pencatatan perkawinan bukanlah syarat sah
perkawinan, tetapi hanya sebagai syarat kelengkapan administrasi
perkawinan.4
Kedua, ahli hukum yang berpegang pada cara penafsiran
sistematis (penafsiran Undang-undang dengan asumsi bahwa
antara Pasal yang satu dengan yang lainya saling menjelaskan dan
merupakan satu-kesatuan). Mereka berpendapat bahwa
pencatatan perkawinan adalah syarat sahnya sebuah perkawinan.
Oleh karena itu, perkawinan yang tidak dicatat dianggap tidak
mempunyai kekuatan hukum.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah: Bagaimana kekuatan hukum pembuktian
nikah sirri (nikah di bawah tangan) dalam Undang-Undang
Perkawinan No 1 Tahun 1974?
C. METODE PENELITIAN
Paradigma penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah penelitian yuridis-normatif. Sedangkan sifat penelitian ini
bersifat deskriptif-analitik. Adapun sumber data yang diperlukan
dalam penyusunan penelitian ini adalah berupa data primer dan
sekunder. Pendekatan yang dipakai dalam menelusuri masalah
yang diteliti adalah pendekatan kepustakaan (library research).
Pengumpulan data dilakukan dengan memakai metode
dokumentasi. Metode dokumentasi biasa digunakan untuk
menggali data kualitatif yang biasanya didokumentasikan untuk
mendukung kelengkapan penelitian. Moleong berpendapat bahwa
dokumen juga digunakan sebagai sumber data yang dapat
digunakan untuk menguji, menafsirkan dan bahkan meramalkan.5
Analisis data merupakan suatu cara yang dipakai untuk
menganalisis, mempelajari serta mengolah data tertentu sehingga
dapat diambil suatu kesimpulan yang konkrit tentang persoalan
yang diteliti dan di bahas. Dalam menganalisa data, penyusun
4

Jaih Mubarok, (2006) Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia.


Pustaka Bani Quraisy, Bandung, Hal. 73.
5
J. Lexy Moleong, (2007) Metodologi Penelitian. Press, Jakarta, Hal.
161.

ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

97

menggunakan metode induktif, yaitu metode berfikir yang


berangkat dari fakta-fakta yang khusus dan peristiwa-peristiwa
konkrit kemudian dari fakta-fakta tersebut ditarik generalisasi yang
mempunyai kesimpulan yang umum.
D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
D.1. Urgensi Pencatatan Perkawinan
Perkawinan mempunyai fungsi dan makna yang kompleks.
Dari kompleksitas fungsi dan makna itulah, maka perkawinan
sering dianggap sebagai peristiwa yang sakral (suci). Dengan
kompleksitas makna dan fungsi yang terkandung di dalam
perkawinan itu pula sehingga negara perlu untuk ikut terlibat
dalam pengaturannya.
Salah satu bentuk keterlibatan negara dalam masalah
perkawinan adalah dengan diundangkannya UU Perkawinan. Salah
satu ketentuan yang diatur di dalam UU tersebut yang menarik
untuk dikaji adalah ketentuan di dalam Pasal 2 ayat (2) yang
berbunyi: Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Meskipun UU Perkawinan ini telah diundangkan pada tanggal
2 Januari 1974 dan berlaku efektif sejak dikeluarkan PP No. 9
Tahun 1975 pada tanggal 1 April 1975, namun sampai saat ini
ketentuan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) tentang pencatatan
perkawinan, masih menimbulkan banyak persoalan, karena
masih banyak yang telah melangsungkan perkawinan namun
tidak mencatatkan perkawinannya pada PPN KUA atau di KCS,
baik karena faktor ketidaktahuan dan ketidaksadaran akan
pentingnya dokumen perkawinan maupun karena adanya maksud
untuk memanfaatkan celah hukum bagi mereka yang akan
melangsungkan poligami, menjaga kelangsungan tunjangan suami
bagi wanita yang telah bercerai, atau karena masalah biaya
pencatatan perkawinan bagi mereka yang tidak mampu.
Di samping itu, di kalangan umat Islam masih ada yang
berpegang teguh pada pemahaman bahwa perkawinan sudah
sah apabila dilaksanakan menurut ketentuan hukum Islam,
tidak perlu ada pencatatan dan tidak perlu ada surat atau akta
nikah, sehingga perkawinan di bawah tangan atau kawin sirri

98

ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

pun tumbuh subur, seiring dengan tidak adanya sikap pro-aktif


PPN untuk mengawasi setiap peristiwa nikah di wilayahnya.
Dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan disebutkan bahwa:
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam
Penjelasan Pasal tersebut dikemukakan bahwa tidak ada
perkawinan di luar masing-masing agama dan kepercayaan itu.
Kemudian dalam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan disebutkan
bahwa: Tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan
yang berlaku.
Menurut ketentuan Pasal 2 PP No. 9 Tahun 1975 bahwa
pencatatan Perkawinan bagi yang beragama Islam dilakukan oleh
PPN Kantor Urusan Agama, sedangkan pencatatan perkawinan
bagi selain Islam dilakukan oleh Pencatat Perkawinan pada
Kantor Catatan Sipil.
Proses pencatatan perkawinan itu diawali dengan
pemberitahuan kehendak untuk melangsungkan perkawinan
kepada PPN di tempat perkawinan itu akan dilangsungkan
sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan
dilangsungkan baik secara lisan maupun tulisan oleh calon
mempelai, atau oleh orang tua atau wakilnya (Pasal 3 dan 4 PP
No. 9 Tahun 1975).
Apabila syarat-syarat formil telah terpenuhi dan tidak ada
halangan hukum bagi calon mempelai untuk melangsungkan
perkawinan, maka sesaat sesudah akad nikah dilangsungkan,
kedua belah pihak (suami-isteri) menandatangani akta perkawinan
yang telah disiapkan oleh PPN. Dengan menandatanganinya, maka
perkawinan telah tercatat secara resmi dan masing-masing
pasangan suami isteri mendapatkan kutipan Akta Nikah atau
Buku Nikah sebagai bukti autentik tentang terjadinya perkawinan
(Pasal 13 PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 7 ayat (1) KHI).
Seorang wanita yang menikah dengan seorang laki-laki dan
perkawinannya tidak dicatatkan di KUA dan KCP, apabila suaminya
lalai/mengabaikan kewajibannya, jika ia akan menuntut suaminya
untuk memenuhi kewajibannya di pengadilan seperti yang diatur
dalam Pasal 34 ayat (3) UU Perkawinan atau akan menggugat
suaminya di pengadilan karena telah melakukan penelantaran
sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU No. 23 Tahun 2004 tentang

ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

99

KDRT, maka akan mengalami kesulitan karena tidak adanya bukti


autentik tentang perkawinan antara si wanita dan suaminya.
Bagi pasangan suami isteri yang tidak mempunyai Buku
Nikah, KCP akan menerbitkan Akta Kelahiran anak tanpa
mencantumkan nama bapaknya dalam akta tersebut. Penerbitan
akta kelahiran secaman itu, sama dengan akta kelahiran seorang
anak yang tidak mempunyai ayah atau anak di luar nikah karena
hanya dinisbahkan kepada ibunya. Berbeda dengan akta kelahiran
anak yang perkawinan orang tuanya tercatat, maka nama
kedua orang tuanya akan tercantum di dalam akta kelahirannya.
Pasangan suami isteri yang tidak memiliki Buku Nikah
karena perkawinannya tidak dicatatkan, yang akan melakukan
perceraian di pengadilan, maka memerlukan proses yang lebih
lama daripada orang yang memiliki Buku Nikah. Sebab, pengadilan
terlebih dahulu akan mengumumkan melalui media massa
sebanyak 3 (tiga) kali dalam tenggang waktu 3 (tiga) bulan,
minimal satu bulan setelah pengumuman terakhir pengadilan baru
akan memeriksa status perkawinannya sah atau tidak. Apabila
dalam proses pemeriksaan ternyata perkawinan mereka telah
memenuhi syarat dan rukunnya, maka perkawinan mereka akan
diitsbatkan (Pasal 7 ayat (3) huruf a KHI). Apabila tidak memenuhi
syarat dan rukun perkawinan, maka gugatan atau permohonan
untuk bercerai tidak diterima oleh pengadilan.
Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa ketentuan
pencatatan perkawinan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU
Perkawinan, merupakan hal yang sangat urgen karena dapat
memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum terhadap
perkawinan dan memberikan jaminan ketertiban dalam kehidupan
bermasyarakat. Oleh karena itu, Pasal 2 ayat (2) mempunyai fungsi
mengatur dan merekayasa interaksi sosial masyarakat.
Ada anggapan bahwa pencatatan perkawinan merupakan
tindakan adminstrasi saja, apabila tidak dilakukan tidak
mempengaruhi sahnya perkawinan yang telah dilaksanakan. Di
pihak lain menganggap perkawinan yang tidak dicatatkan tidak sah
dan dikategorikan nikah fasid (rusak), sehingga bagi pihak yang
merasa dirugikan akibat dari perkawinan tersebut dapat
dimintakan
pembatalan kepada Pengadilan Agama karena
ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan tersebut,

100

ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan harus


dilaksanakan secara kumulatif, bukan anternatif, secara terpisah
dan berdiri sendiri.6 Menurut Soerjono Soekamto dan Purnadi
Purbacaraka bahwa ketentuan tersebut bersifat imperatif. Artinya,
ketentuan tersebut bersifat memaksa.7
Akibat terjadinya penafsiran terhadap ketentuan tersebut,
maka berbeda pula putusan yang diberikan oleh para hakim
dalam menyelesaikan perkara pembatalan nikah yang diajukan
ke pengadilan. Bagi hakim yang berpendapat bahwa Pasal 2 ayat
(1) dan ayat (2) UU Perkawinan merupakan satu kesatuan yang
saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan, maka perkawinan baru dianggap sah apabila
dilaksanakan menurut ketentuan agama dan kepercayaannya itu
serta dicatat sesuai ketentuan yang berlaku.
Pencatatan perkawinan merupakan hal yang wajib
dilaksanakan karena hal ini erat hubungannya dengan
kemaslahatan manusia yang dalam konsep syariah harus
dilindungi. Oleh karena itu, perkawinan yang tidak tercatat
merupakan nikah fasid karena belum memenuhi syarat yang
ditentukan dan belum dianggap sah secara yuridis formal dan
permohonan pembatalan perkawinan dapat dikabulkan.
Bagi hakim yang berpendapat Pasal 2 ayat (1) dan ayat
(2) UU Perkawinan merupakan hal yang berdiri sendiri, tidak
saling berhubungan, maka perkawinan sudah dianggap sah apabila
telah dilakukan menurut ketentuan agama dan kepercayaannya,
pencatatan hanya merupakan pekerjaan administrasi, bukan
sesuatu yang harus dipenuhi. Perkawinan tersebut bukan nikah
fasid, dan bila ada pihak yang mengajukan permohonan
pembatalan kepada pengadilan, perkawinan tersebut tidak perlu
dibatalkan, permohonan pembatalan harus ditolak.
Selain itu, Mahkamah Agung RI nampaknya lebih condong
kepada pendapat yang pertama tersebut di atas. Dalam putusan
Kasasi No. 1948/K/PID/1991 tentang perkara poligami liar,
kawin di bawah tangan atau sirri dan tidak dicatat pada instansi
yang berwenang mengemukakan bahwa yang
dimaksud
6

Abdul Mannan, (2002). Aneka Masalah Hukum Materiel dalam


Praktek Pengadilan Agama, Jakarta: Pustaka Bangsa Press. Hal. 50.
7
Ibid, Hal. 52.

ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

101

perkawinan yang sah adalah perakawinan sebagaimana diatur


dalam UU Perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975, yaitu perkawinan
yang dilaksanakan menurut ketentuan agama dan kepercayaannya,
dan dicatat menurut ketentuan yang berlaku. Perkawinan yang
sah adalah perkawinan yang telah terpenuhi ketentuan Pasal 2
ayat (1) dan ayat (2) PP No. 1 Tahun 1974 secara kumulatif.
Mahkamah Agung RI nampaknya hanya mengakui sahnya
suatu perkawinan jika telah terpenuhi ketentuan yang telah
ditetapkan oleh agama yang dianutnya, dilakukan di hadapan
pejabat pencatat nikah yang berwenang dan dicatat oleh pejabat
tersebut sesuai ketentuan yang berlaku.
Sejalan dengan hal tersebut, dapat dipahami bahwa
pencatatan perkawinan merupakan syarat yang harus dipenuhi
agar pernikahan sah menurut agama dan menurut hukum positif.
Di samping itu, kita tidak perlu mendikotomikan perkawinan
antara sah menurut agama dan sah menurut negara, tetapi kedua
ketentuan tersebut harus dilaksanakan seimbang dan paralel.
D.2. Kekuatan Hukum Pembuktian Nikah Sirri (Nikah Di Bawah
Tangan) dalam UU Nomor 1 Tahun 1974
Salah satu kerangka awal untuk mendapatkan jaminan
hukum dalam sebuah perkawinan adalah dengan mencatatkannya
kepada
instansi yang berwenang. Menurut ketentuan UU
Perkawinan, suatu perkawinan dianggap sah jika telah memenuhi
syarat-syarat sahnya perkawinan sebagaimana yang diatur dalam
UU tersebut. Keabsahan suatu perkawinan berdasarkan ketentuan
dalam Pasal 2 ditentukan oleh dua syarat yang harus di penuhi:
1. Apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaan yang dianut oleh calon mempelai;
2. Perkawinan tersebut dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.
Dari rumusan Pasal 2 ayat 1 dapat disimpulkan bahwa sah
tidaknya suatu perkawinan adalah semata-mata ditentukan oleh
ketentuan agama pihak yang melaksanakan pernikahan. Artinya,
suatu pernikahan yang dilaksanakan bertentangan dengan
ketentuan hukum agama, dengan sendirinya menurut UU
Perkawinan ini dianggap tidak sah dan tidak tidak mempunyai
akibat hukum sebagai ikatan perkawinan.

102

ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

Sehubungan dengan adanya ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1)


tersebut di atas, maka bagi warga negara Indonesia yang beragama
Islam apabila hendak melaksanakan perkawinan supaya sah harus
memeuhi ketentuan-ketentuan tentang perkawinan yang telah
diatur dalam Hukum Perkawinan Islam. Demikian juga bagi mereka
yang beragama Nasrani, Hindu dan Budha, hukum agama
merekalah yang menjadi dasar penentu sahnya perkawinan.
Di samping itu, berdasarkan pemaparan tentang urgensi
pencatatan perkawinan di atas, dapat dikatakan bahwa pada
dasarnya ketentuan hukum agama tetap diutamakan sebagai
syarat sahnya perkawinan. Pencatatan perkawinan bukanlah
sekedar mengenai administrasi akan tetapi merupakan suatu
persyaratan hukum demi legalitas perkawinan sehingga negara
dapat menjamin kepastian atas kedudukan hukum masing-masing
pihak yang terlibat dalam suatu perkawinan.
Pencatatan perkawinan sangatlah penting. Selain demi
terjaminnya ketertiban akta nikah bisa digunakan untuk
mendapatkan hak-hak, dan terlepas dari perasangka, keraguraguan, kelalaian serta saksisaksi yang cacat secara hukum.
Pencatatan perkawinan harus dianggap penting karena melalui
pencatatan perkawinan tersebut akan diterbitkan buku kutipan
akta nikah yang akan menjadi bukti otentik tentang
dilangsungkannya sebuah perkawinan yang sah. Hal ini penting
bagi pemenuhan hak-hak istri dan anak (terutama pembagian
harta waris, pengakuan status anak, dasar hukum kuat bagi
istri jika ingin menggugat suami atau sebaliknya).
Pencatatan berfungsi menjaga ketertiban pelaksanaan
perkawinan dalam masyarakat, melindungi warga negara dalam
membangun keluarga dan memberikan kepastian hukum
terhadap hak suami, istri, dan anak-anaknya serta akibat dari
terjadinya perkawinan, seperti nafkah istri, hubungan orang tua
dengan anak, kewarisan, dan lain-lain. Melalui pencatatan
perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, apabila terjadi
perselisihan di antara suami isteri, atau salah satu pihak tidak
bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya
hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masingmasing, karena dengan akta nikah suami isteri memiliki bukti
otentik atas perkawinan yang terjadi antara kedua belah pihak.

ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

103

Akibat hukum dari perkawinan yang tidak dicatatkan


menjadi perkawinan dibawah tangan yang meskipun secara
agama sah, namun secara hukum negara dianggap tidak
pernah ada dan tidak mempunyai kekuatan hukum karena
tidak tercatat dilembaga berwenang yang telah di tunjuk untuk
mencatat perkawinan. Dampak dari Perkawinan yang tidak
dicatatkan adalah sebagai berikut:
a. Terhadap Istri
Perkawinan yang tidak dicatatkan berdampak sangat
merugikan bagi istri dan perempuan umumnya, baik secara hukum
maupun sosial. Secara hukum mempunyai dampak:
1) Tidak dianggap sebagai istri sah;
2) Tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia
meninggal dunia;
3) Tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan,
karena secara hukum perkawinan dianggap tidak pernah
terjadi.
b. Terhadap anak
Sementara terhadap anak, tidak sahnya perkawinan menurut
hukum negara memiliki dampak negatif bagi status anak yang
dilahirkan di mata hukum, yakni status anak yang dilahirkan
dianggap sebagai anak tidak sah. Hal ini membawa konsekuensi
terhadap anak yang demikian hanya mempunyai hubungan
hukum dengan ibu yang melahirkannya, dalam arti tidak
mempunyai hubungan hukum dengan bapaknya. Dengan
perkataan lain secara yuridis ia tidak mempunyai bapak dan
tergolong anak luar kawin.
Di dalam akta kelahirannyapun statusnya dianggap sebagai
anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang
melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah
akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis
bagi si anak dan ibunya. Ketidakjelasan status si anak di mata
hukum, mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak tidak
kuat, sehingga bisa saja, suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa
anak tersebut adalah anak kandungnya. Hal yang jelas merugikan
adalah, anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan,
nafkah dan warisan dari ayahnya.
c. Terhadap laki-laki atau suami

104

ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

Hampir tidak ada dampak mengkhawatirkan atau


merugikan bagi laki-laki yang menikah sirri dengan. Yang terjadi
justru menguntungkannya, hal ini dikarenakan:
1) Suami bebas untuk menikah lagi, karena perkawinan
sebelumnya dianggap tidak sah dimuka hukum;
2) Suami dapat menolak dan menghindar dari kewajibannya
memberikan nafkah kepada istri dan kepada anak-anaknya;
3) Tidak harus bertanggung jawab tentang pembagian harta
gono-gini, warisan dan lain-lain
Di samping itu, sebenarnya, tidak ada paksaan bagi
masyarakat untuk mencatatkan perkawinan. Dalam artian, jika
seseorang tidak mencatatkan perkawinan, bukan berarti telah
melakukan suatu kejahatan. Namun, Karena tidak sah secara
negara, maka negara angkat tangan terhadap risiko perkawinan
yang tidak dicatatkan. Negara tak bisa memberikan perlindungan
hukum kepada korban nikah sirri, karena tidak ada bukti hukum
berupa pencatatan.
Dengan demikian mencatatkan perkawinan lebih banyak
mengandung kemaslahatan dan memberikan kebaikan yang besar
dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya apabila perkawinan tidak
dicatatkan akan digunakan oleh pihak-pihak yang melakukan
perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak
lain terutama isteri dan anak-anak.
Hal ini sesuai dengan teori utilits yang diutarakan oleh
Jeremy Betham, di mana suatu produk hukum harus membawa
manfaat bagi sebanyak-banyaknya orang. Berdasarkan tujuan dan
manfaat dilakukannya pencatatan perkawinan, maka menurut
peneliti, ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UUP harus
dibaca sebagai satu kesatuan, artinya perkawinan yang sah adalah
yang dilakukan berdasarkan agama dan kepercayaan itu dan harus
dicatatkan dan akta perkawinan merupakan bukti satu-satunya
adanya suatu perkawinan. Pelaksanaan kedua syarat tersebut
harus serta merta dilakukan dan tidak terpisah.
Jadi, perkawinan sirri adalah perkawinan yang dilakukan oleh
seorang laki-laki dengan seorang perempuan tanpa melibatkan
petugas pencatatan perkawinan atau dapat juga dikatakan
tidak dicatat oleh pencatat sebagaimana yang ditegaskan dalam
Pasal 2 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal

ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

105

22 PP No.9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UUP,


Pasal 8 UU No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Dalam pengertian ini sebenarnya telah sesuai dengan syarat dan
rukun perkawinan. Cuma saja perkawinan tersebut tidak
dicatatkan oleh pegawai Pencatat Nikah (PPN) ataukah KUA.
Perkawinan sirri adalah perkawinan yang secara agama sah
karena sudah sesuai dengan isi Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan yang
menyatakan bahwa Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu, namun secara hukum negara dianggap tidak pernah ada
dan tidak mempunyai kekuatan hukum karena tidak tercatat
dilembaga berwenang yang telah di tunjuk untuk mencatat
perkawinan atau belum mendapat pengakuan dari pemerintah.
Selain itu semua, terkait dengan adanya tujuan perkawinan
sebagaimana tercantum dalam Al-Quran Surat Surat Ar-Rum ayat
21 dan Pasal 1 UU Perkawinan serta Pasal 3 KHI adalah
Terwujudnya sebuah keluarga (rumah tangga) yang sakinah,
mawaddah, dan warahmah, serta bahagia dan kekal.
Untuk mewujudkan tujuan yang mulia tersebut, banyak
faktor yang harus dipenuhi, salah satu di antaranya adalah adanya
legalitas dari negara. Untuk mendapatkan legalitas dari negara,
Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan mengatur bahwa tiap-tiap
perkawinan dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Sedangkan khusus bagi yang beragama Islam, Pasal 5
ayat (1) KHI mengharuskan agar setiap perkawinan yang dilakukan
dicatatkan agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat.
Bukti autentik bahwa perkawinan telah tercatat adalah
dikeluarkannya Buku Nikah oleh instansi yang bewenang (KUA bagi
yang beragama Islam dan KCS bagi yang selain Islam). Akta Nikah
itu diibaratkan Surat Izin Mengemudi (SIM) bagi pengenndara
sepeda motor atau mobil. Bagi pengendara yang memiliki SIM
akan merasa aman berkendaraan di jalan tanpa ada rasa khawatir
dikena tilang oleh Polantas. Demikian halnya bagi pasangan suami
isteri yang memiliki Buku Nikah akan merasa aman dan tenteram
dalam kehidupan rumah tangganya.
Oleh itu, pencatatan perkawinan pada hakikatnya bertujuan
untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi kedua
belah pihak (suami isteri), termasuk kepastian dan perlindungan

106

ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

hukum terhadap akibat yang ditimbulkan dari perkawinan itu


sendiri, yaitu tentang hak dan kewajiban masing-masing secara
timbal balik, tentang anak-anak yang dilahirkan, dan hak-hak anak
berupa warisan dari orang tuanya kelak.
Menurut DR. Theo Huijbers, bahwa politik hukum bertujuan
tidak hanya menjamin keadilan, melainkan juga menciptakan
ketenteraman hidup dengan memelihara kepastian hukum dan
untuk menangani kepentingan-kepentingan yang nyata dalam
kehidupan bersama secara konkret.8
Pemerintah mengatur tentang mencatatan perkawinan
adalah sesuai dengan epistemologi hukum Islam dengan metode
istishlah atau maslahat. Lebih lanjut beliau mengatakan, meskipun
secara formal tidak ada ketentuan sunnah yang memerintahkan
pencatatan (perkawinan), namun karena kandungan mashlahatnya
sejalan dengan tindakan syara yang ingin mewujudkan
kemashlahatan manusia. Dengan demikian dapat ditegaskan
bahwa pencatatan perkawinan merupakan ketentuan yang perlu
diterima dan dilaksanakan oleh semua pihak karena memiliki
landasan yang kokoh yaitu mashlahat mursalah (suatu metode
berpikir yang dibangun atas dasar kejadian induktif).
Di samping hal tersebut di atas, juga perlu diperhatikan
tentang Maqashidus Syariah (tujuan hukum) dalam Islam. Dalam
konsep Maqashidus Syariah diharapkan segala sesuatu yang
dikerjakan manusia tidak lepas dari kemaslahatan manusia itu
sendiri dan manusia di sekitarntya. Oleh karena itu, segala sesuatu
yang dapat menimbulkan kemudharatan dari perkawinan itu harus
dihindari sebagaimana Rasulullah melarang sesuatu yang
menimbulkan kemudharatan bagi diri sendiri maupun orang lain.
Perkawinan yang tidak tercatat akan menimbulkan banyak
mudharat bagi pasangan suami isteri maupun bagi pihak lain yang
terkait dengan perkawinan tersebut. Sehubungan dengan hal
tersebut, maka persyaratan yuridis formal seperti kewajiban
mencatatkan perkawinan adalah perbuatan yang sesuai dengan
prinsip etika hukum, bahkan sangat dianjurkan karena membawa
manfaat kepada semua pihak, terutama bagi kedua mempelai dan
keturunannya kelak.
8

118

Theo Huijbers, (1995). Filsafat Hukum, Yogyakarta, Kanisius. Hal.

ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

107

Berkaitan dengan hal tersebut, diharapkan setiap orang yang


akan melangsungkan perkawinan agar tidak hanya mementingkan
aspek agama saja, tetapi juga perlu diperhatikan aspek-aspek
keperdataannya secara seimbang. Pencatatan perkawinan
merupakan usaha pemerintah untuk mengayomi masyarakat demi
terwujudnya ketertiban dan keadilan. Apabila perkawinan sudah
tercatat, maka pegawai pencatat nikah (PPN) akan mengeluarkan
Akta Nikah sebagai bukti jaminan hukum pasangan suami isteri.
Terlepas dari pandangan pro-kotra dalam menilai masalah
pencatatan perkawinan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, penulis
memandang pencatatan perkawinan merupakan hal yang sangat
baik dan bermanfaat karena dapat menjamin ketertiban dalam
kehidupan bermasyarakat. Di samping itu, karena hukum positif
kita telah menentukan bahwa satu-satunya bukti adanya
perkawinan adalah Akta Nikah, maka percatatan perkawinan
sangat perlu dilakukan.
E. PENUTUP
E.1 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, analisis dan pembahasan hasil
temuan dapat didimpulkan bahwa kekuatan hukum nikah sirri
lemah di mata hukum, hal ini dikarenakan nikah sirri (nikah di
bawah tangan) dalam Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun
1974 adalah sah secara agama tetapi secara hukum negara
dianggap tidak pernah ada dan tidak mempunyai kekuatan
hukum karena tidak tercatat dilembaga berwenang yang telah di
tunjuk untuk mencatat perkawinan atau belum mendapat
pengakuan dari pemerintah karena tidak memiliki kekuatan
pembuktian yang sah berupa Buku Nikah sebagai bukti autentik
tentang terjadinya perkawinan. Hal ini berarti bahwa nikah sirri
(nikah di bawah tangan) dengan sendirinya menurut UndangUndang Perkawinan dianggap tidak sah, dan tidak mempunyai
akibat hukum sebagai ikatan perkawinan.
E.2. SARAN-SARAN
Berdasarkan hasil penelitian mengenai kekuatan hukum
pembuktian nikah sirri (nikah di bawah tangan), maka peneliti
memberikan saran-saran antara lain:

108

ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

1. Oleh karena pencatatan perkawinan itu sangat penting dan


sangat bermanfaat bagi pasangan suami isteri dan anak-anak
yang lahir dari perkawinan itu, maka disarankan kepada
setiap
orang yang melangsungkan perkawinan untuk
mencatatkan perkawinan mereka pada PPN Kantor Urusan
Agama atau Kantor Catatan Sipil untuk mendapatkan legalitas.
2. Pencatatan perkawinan itu sebagai upaya pemerintah untuk
mengayomi masyarakat demi ketertiban dan keadilan serta
untuk memberikan perlindungan
dan kepastian hukum
kepada pasangan suami isteri, maka disarankan kepada
Pemerintah (PPN dan Kantor Catatan Sipil) untuk melakukan
sosialisasi melalui ceramah-ceramah dan penyuluhan
kepada setiap kelompok masyarakat tentang pentingnya
mencatatkan perkawinan.
3. Disarankan kepada Pegawai Pencatatan Nikah (PPN) Kantor
Urusan Agama dan Kantor Catatan Sipil untuk proaktif
melakukan pengawasan terhadap setiap peristiwa perkawinan
yang terjadi di wilayah hukumnya agar di masyarakat tidak
terjadi perkawinan di bawah tangan, tetapi tercatat secara
resmi.
----DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdul Manan, 2008, Aneka Masalah Hukum Perdata di Indonesia,
Kencana Prenada Media group, Jakarta.
Ahmad Tholabi Kharlie, 2013, Hukum Keluarga Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta.
Bisri M. Jaelani, 2007, Ensiklopedi Islam, Panji Pustaka, Yokyakarta.
Cholil Mansyur, 1994, Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa, Usaha
Nasional, Surabaya.
DEPAG RI, 1990. Al-Quran dan Terjemah Jakarta: Mujamma Almalik Fahd Li Thibaati Al-Mush-haf Asy-Syarif.
Hilman Hadikusuma, 2003, Hukum Adat, Alumni, Bandung.
Http://kumpulanptk.blogspot.com
Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia,
Pustaka Bani Quraisy, Bandung.
Joeni Arianto Kurniawan, 1986, Hukum Perkawinan Adat,
Airlangga University, Surabaya.

ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

109

Kitab Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Arkola.


Moh. Idris Ramulyo, 2000, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan,
Hukum Acara Peradilan Agama, dan Zakat Menurut Hukum
Islam, Sinar Grafika, Jakarta.
Modul Pendidikan Agama Islam Kelas II, Graha Pustaka, Jakarta,
2012.
Moch. Achyat Ahmad, Nikah Sirri dan Persetujuan Istri, Majalah
Istinbat: edisi 182.
Moleong, J Lexi. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja
Rosdakarya, Bandung.
Neng Djubaidah, 2012, Pencatatan Perkawinan dan Perkawina
Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan
Hukum IslamI, Sinar Grafika, Jakarta.
Rusli, An R. Tama, 1984, Perkawinan antar agama dan
masalahnya, Shantika Dharma, Bandung.
Suharsimi Arikunto, 2003, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktek, PT. Renika Cipta, Jakarta.
Syamsuri, 2006, Pendidikan Agama Islam Untuk SMA Kelas XII,
Erlangga, Jakarta.
Soemiati, 1997, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang
Perkawinan, Liberty, Yogyakarta.
Soedjono Soekamto, 2003, PPH. Remaja Rosda Karya, Bandung.
Theo Huijbers, 1995, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta.

Vous aimerez peut-être aussi