Vous êtes sur la page 1sur 28

MAKALAH LINGKUNGAN BISNIS

TANGGUNGJAWAB SOSIAL ORGANISASI BISNIS


CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR)

Oleh:
Agustin Liela Manu 161502040
Diky Iman Firmansyah 161502049
Fahmi Prayoga 120502051
KELAS C

MAGISTER AKUNTANSI
UNIVERSITAS WIDYATAMA BANDUNG

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


CSR adalah sebuah konsep yang tidak hadir secara instan. CSR merupakan hasil
dari proses panjang dimana konsep dan aplikasi dari konsep CSR pada saat sekarang ini
telah mengalami banyak perkembangan dan perubahan dari konsep-konsep terdahulunya.
Ide mengenai Tanggunjawab Sosial Perusahaan ( TSP ) atau yang dikenal dengan
Corporate Social Responbility (CSR) kini semakin diterima secara luas. Kelompok yang
mendukung wacana TSP berpendapat bahwa perusahaan tidak dapat dipisahkan dari para
individu yang terlibat didalamnya, yakni pemilik dan karyawannya. Namun mereka tidak
boleh hanya memikirkan keuntungan finansialnya saja, melainkan pula harus memiliki
kepekaan dan kepedulian terhadap publik.
Perkembangan bisnis dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan salah satu nilai
yang membawa perubahan mendasar yaitu konsep corporate social responsibility (CSR),
atau tanggung jawab sosial. Tanggung jawab yang dimaksud adalah perusahaan meluaskan
perannya lebih dari sekedar menggunakan sumber-sumber dayanya dan terlibat dalam
aktivitas yang dirancang untuk meningkatkan keuntungan sesuai dengan aturan main.
Lebih luas dan mendasar, perusahaan harus berperilaku mengarah pada etika serta
berkontribusi terhadap kehidupan yang layak bagi masyarakat, sehingga diharapkan
perusahaan dapat meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif dari
kehadiran CSR (Kiroyan, 2006).
Perkembangan CSR secara konseptual baru dikemas sejak tahun 1980-an yang
dipicu sedikitnya oleh 5 hal berikut:
1. Maraknya fenomena take over antar korporasi yang kerap dipicu oleh
keterampilan rekayasa finansial.
2. Runtuhnya tembok Berlin yang merupakan simbol tumbangnya paham komunis
dan semakin kokohnya imperium kapitalisme secara global.
3. Meluasnya operasi perusahaan multinasional di negaranegara berkembang,
sehingga di tuntut supaya memperhatikan: HAM, kondisi sosial dan perlakukan
yang adil terhadap buruh.
4. Globalisasi dan menciutnya peran sektor publik (pemerintah) hampir di seluruh
dunia telah menyebabkan tumbuhnya LSM (termasuk asosiasi profesi) yang
memusatkan perhatian mulai dari isu kemiskinan sampai pada kekuatiran akan

punahnya berbagai spesies baik hewan maupun tumbuhan sehingga ekosistem


semakin labil.
5. Adanya kesadaran dari perusahaan akan arti penting merk dan reputasi
perusahaan dalam membawa perusahaan menuju bisnis berkelanjutan.
Pada tahun 1990-an muncul istilah corporate social reponsibility(CSR). Pemikiran
yang melandasi CSR yang sering dianggap inti dari etika bisnis adalah bahwa perusahaan
tidak hanya mempunyai kewajiban-kewajiban ekonomi dan legal (artinya kepada
pemegang saham atau shareholder) tetapi juga kewajiban-kewajiban terhadap pihak-pihak
lain yang berkepentingan (stakeholder) yang jangkauannya melebihi kewajiban-kewajiban
di atas. Tanggung jawab sosial dari perusahaan terjadi antara sebuah perusahaan dengan
semua stakeholder, termasuk di dalamnya adalah pelanggan atau customer, pegawai,
komunitas, pemilik atau investor, pemerintah, supplier bahkan juga kompetitor.
Perkembangan CSR saat ini juga dipengaruhi oleh perubahaan orientasi CSR dari suatu
kegiatan bersifat sukarela untuk memenuhi kewajiban perusahaan yang tidak memiliki
kaitan dengan strategi dan pencapaian tujuan jangka panjang, menjadi suatu kegiatan
strategis yang memiliki keterkaitan dengan pencapaian tujuan perusahaan dalam jangka
panjang.
Di Indonesia wacana mengenai CSR mulai mengemuka pada tahun 2001, namun
sebelum wacana ini mengemuka telah banyak perusahaan yang menjalankan CSR dan
sangat sedikit yang mengungkapkannya dalam sebuah laporan. Hal ini terjadi mungkin
karena kita belum mempunyai sarana pendukung seperti: standar pelaporan, tenaga
terampil (baik penyusun laporan maupun auditornya). Di samping itu sektor pasar modal
Indonesia juga kurang mendukung dengan belum adanya penerapan indeks yang
memasukkan kategori saham-saham perusahaan yang telah mempraktikkan CSR. Sebagai
contoh, New York Stock Exchange memiliki Dow Jones Sustainability Index (DJSI) bagi
saham-saham perusahaan yang dikategorikan memiliki nilai corporate sustainability
dengan salah satu kriterianya adalah praktik CSR. Begitu pula London Stock Exchange
yang memiliki Socially Responsible Investment (SRI) Index dan Financial Times Stock
Exchange (FTSE) yang memiliki FTSE 4Good sejak 2001.
CSR bukan saja sebagai tanggung jawab, tetapi juga sebuah kewajiban. CSR
adalah suatu peran bisnis dan harus menjadi bagian dari kebijakan bisnis. Maka,bisnis
tidak hanya mengurus permasalahan laba , tapi juga sebagai sebuah institusi pembelajaran.
Bisnis harus mengandung kesadaran sosial terhadap lingkungan sekitar.
Ada enam kecenderungan utama, yang semakin menegaskan arti penting CSR,
yaitu :

1.
2.
3.
4.

Meningkatnya kesenjangan antara kaya dan miskin;


Posisi negara yang semakin berjarak pada rakyatnya;
Makin mengemukanya arti kesinambungan;
Makin gencar sorotan kritis dan resistensi publik, bahkan bersifat anti

perusahaan.
5. Tren ke arah transparansi;
6. Harapan terwujudnya kehidupan lebih baik dan manusiawi pada era millennium
baru.
Tak heran, CSR telah menjadi isu bisnis yang terus menguat. Isu ini sering
diperdebatkan dengan pendekatan nilai-nilai etika, dan memberi tekanan yang semakin
besar pada kalangan bisnis untuk berperan dalam masalah-masalah sosial, yang akan terus
tumbuh. Isu CSR sendiri juga sering diangkat oleh kalangan bisnis, manakala
pemerintahan nasional di berbagai negara telah gagal menawarkan solusi terhadap
berbagai masalah kemasyarakatan
Namun, upaya penerapan CSR sendiri bukannya tanpa hambatan. Dari kalangan
ekonom sendiri juga muncul reaksi sinis. Ekonom Milton Friedman, misalnya, mengritik
konsep CSR, dengan argumen bahwa tujuan utama perusahaan pada hakikatnya adalah
memaksimalkan keuntungan (returns) bagi pemilik saham, dengan mengorbankan hal-hal
lain. Ada juga kalangan yang beranggapan, satu-satunya alasan mengapa perusahaan mau
melakukan proyek-proyek yang bersifat sosial adalah karena memang ada keuntungan
komersial di baliknya. Agar mengangkat reputasi perusahaan di mata publik atau
pemerintah. Oleh karena itu, para pelaku bisnis harus menunjukkan bukti nyata bahwa
komitmen mereka untuk melaksanakan CSR bukanlah main-main. Manfaat dari CSR itu
sendiri terhadap pelaku bisnis juga bervariasi, tergantung pada sifat (nature) perusahaan
bersangkutan, dan sulit diukur secara kuantitatif
1.2 Rumusan Masalah
Untuk lebih memahami permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini, maka
dibuat rumusan masalah sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.

Bagaimana konsep awal dan perkembangan historis CSR?


Apa saja isu strategis dalam pelaksanaan CSR?
Bagaimanakah proses dari aktivitas CSR ?
Bagaiamana kaitan antara isu Ekologis dan Dampak Lingkungan dalam bisnis

global?
e. Bagaimana cara mengelola isu lingkungan dalam proses bisnis global?
1.3 Maksud & Tujuan

Adapun maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini, sesuai dengan rumusan
masalah diatas, yakni :
a. Untuk mengetahui konsep awal dari CSR serta awal mula sejarah
perkembangan CSR dalam proses Bisnis Global.
b. Untuk mengetahui isu strategis pelaksanaan CSR dalam lingkungan Bisnis
Global.
c. Untuk mengetahui proses dan aktivitas CSR yang dilaksanakan dalam
lingkungan bisnis.
d. Untuk memahami kaitan antara Isu Ekologis dan pembangunan berkelanjutan
serta dampaknya terhadap bisnis global.
e. Untuk mengetahui cara mengelola isu lingkungan dalam kegiatan Bisnis global.
1.4 Manfaat Penulisan
Penyusunan makalah ini selain bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Lingkungan Bisnis dan Hukum Komersil, juga sebagai bahan diskusi dalam pembahasan
materi mata kuliah tersebut, sehingga diharapkan dapat membatu pihak-pihak yang
memerlukan bahan dalam melakukan diskusi dalam perkuliahan.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1

Konsep Awal dan History CSR

2.1.1

Konsep CSR

Dalam konteks global, istilah CSR mulai digunakan sejak tahun 1970-an dan
semakin

populer terutama setelah kehadiran buku Cannibals With Forks: The Triple

Bottom Line in 21st Century Business (1998), karya John Elkington. Mengembangkan
tiga komponen penting sustainable development, yakni economic growth, environmental
protection, dan social equity, yang digagas The World Commission on Environment and
Development (WCED) dalam Brundtland Report (1987), Elkington mengemas CSR ke
dalam tiga fokus: 3P, singkatan dari profit, planet dan people. Perusahaan yang baik tidak
hanya memburu keuntungan ekonomi belaka (profit) melainkan pula memiliki kepedulian
terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people).
Definisi yang diterima luas oleh para praktisi dan aktivis CSR adalah definisi
menurut The World Business Council for Sustainable Development yaitu bahwa CSR
merupakan suatu komitmen terus-menerus dari pelaku bisnis untuk berlaku etis dan untuk
memberikan kontribusi bagi perkembangan ekonomi sambil meningkatkan kualitas hidup
para pekerja dan keluarganya, juga bagi komunitas lokal dan masyarakat pada umumnya.
Dari definisi ini kita melihat pentingnya sustainability (berkesinambungan /
berkelanjutan), yaitu dilakukan secara terus menerus untuk efek jangka panjang dan bukan
hanya dilakukan sekali-sekali saja. Konsep CSR memang sangat berkaitan erat dengan
konsep sustainability development (pembangunan yang berkelanjutan).
Konsep CSR dengan demikian memiliki arti bahwa selain memiliki tanggung
jawab untuk mendatangkan keuntungan bagi para pemegang saham dan untuk
menjalankan bisnisnya sesuai ketentuan hukum yang berlaku, suatu perusahaan juga
memiliki tanggung jawab moral, etika, dan filantropik. Pandangan tradisional mengenai
perusahaan melihat bahwa tanggung jawab utama (jika bukan satu-satunya) perusahaan
adalah semata-mata terhadap pemiliknya, atau para pemegang saham.
Adanya konsep CSR mewajibkan perusahaan untuk memiliki. pandangan yang
lebih luas yaitu bahwa perusahaan juga memiliki tanggung jawab terhadap pihak-pihak
lain seperti karyawan, supplier, konsumen, komunitas setempat, masyarakat secara luas,
pemerintah, dan kelompok kelompok lainnya. Dalam hal ini, jika sebelumnya pijakan
tanggung jawab perusahaan hanya terbatas pada sisi finansial saja (single bottom line), kini
dikenal konsep triple bottom line, yaitu bahwa tanggung jawab perusahaan berpijak pada
3 dasar, yaitu : finansial, sosial dan lingkungan atau yang juga dikenal dengan 3P (profit,
people, planet).
2.1.2

Sejarah CSR

Istilah CSR memang baru digunakan secara luas pada tahun 1960-an namun
hakikat CSR mungkin adalah sama tuanya dengan bisnis itu sendiri, dan bahkan di
beberapa masyarakat tertentu, seseorang tidak dapat melakukan bisnis tanpa bertanggung
jawab secara sosial. Ada banyak ulasan mengenai sejarah CSR, antara lain adalah oleh J.J.
Asongu yang membagi periode sejarah keberadaan konsep CSR menjadi 2 bagian, yaitu
sebelum tahun 1900 dan sesudah tahun 1900.
Pada periode sebelum tahun 1900, J.J Asongu menelusuri sampai pada sekitar
tahun 1700 SM pada masa pemerintahan Raja Hammurabbi di Kerajaan Mesopotamia
kuno yang diketahui telah mengeluarkan sebuah peraturan yang memberikan ancaman
hukuman mati terhadap para pembangun, pengurus penginapan dan petani apabila karena
kelalaiannya menyebabkan kematian orang lain, atau menyebabkan ketidaknyamanan
yang sangat mengganggu bagi pihak lain. Sejarah juga mencatat bagaimana pada tahun
1622 para pemegang saham dari Dutch East India Company mengeluarkan pamfletpamflet yang berisikan keluhan mereka atas sikap pihak manajemen yang tidak transparan
dan malah memperkaya diri sendiri. Setelah tahun 1900, khususnya pada awal tahun
1920-an, menurut J.J. Asongu, diskusi-diskusi mengenai tanggung jawab sosial dari suatu
organisasi bisnis telah berkembang ke tahap gerakan CSR modern.
Tim Barnett menguraikan sejarah hadirnya konsep CSR dengan merujuk pada
masa ketika Adam Smith memberikan pandangannya mengenai pentingnya interaksi yang
bebas antara para pihak yang melakukan bisnis. Pandangan ini masih menjadi dasar dari
ekonomi pasar bebas hingga sekitar 200 tahun yang lalu. Namun bagaimana pun juga,
bahkan Smith melihat bahwa pasar bebas tidak selalu berjalan dengan baik dan bahwa
para pelaku pasar bebas harus berlaku jujur dan adil terhadap satu dengan yang lainnya
apabila kondisi atau tujuan ideal dari pasar bebas hendak dicapai.
Satu abad setelah masa Adam Smith, Revolusi Industri memberikan kontribusi
besar dalam terjadinya suatu perubahan yang radikal, khususnya di Eropa dan Amerika
Serikat. Banyak yang menganut paham social Darwinism , yaitu pemahaman bahwa
seleksi alam dan survival of the fittest adalah berlaku juga untuk dunia bisnis.
Akibatnya, diberlakukanlah

strategi kompetisi bisnis yang brutal dan tidak peduli

terhadap karyawan, komunitas dan masyarakat luas. Meski ada pengusaha-pengusaha


yang memberikan banyak sumbangan, namun itu adalah sebagai pribadi dan bukan atas
nama perusahaan. Perusahaan-perusahaan saat itu malah mempraktekkan suatu metode
yang sangat eksploitatif terhadap para pekerjanya.
Sekitar permulaan abad ke-20, reaksi keras terhadap perusahaan-perusahaan besar

mulai mendapatkan momentumnya. Usaha-usaha besar dikritik terlalu berkuasa dan telah
mempraktikkan bisnis yang antisosial dan anti persaingan. Maka muncullah peraturan
seperti Sherman Antitrust Act yang bertujuan mengontrol perusahan-perusahaan besar
dan melindungi pekerja, konsumen, dan masyarakat luas. Juga semakin banyak yang
menyuarakan dan meminta kepedulian yang lebih besar terhadap kelas pekerja dan orang
miskin. Gerakan buruh juga meminta pelaku bisnis untuk memiliki kepedulian sosial yang
lebih besar. Antara tahun 1900 dan 1960 dunia bisnis secara perlahan-lahan mulai
menerima tanggung jawab tambahan selain semata-mata mendapatkan laba dan menaati
hukum.
Pada tahun 1960-an dan 1970-an, gerakan hak-hak masyarakat dan para aktivis
lingkungan mempengaruhi harapan-harapan masyarakat dari dunia bisnis. Berdasarkan
asumsi umum bahwa mereka yang memiliki kekuasaan yang besar juga memiliki
tanggung jawab yang besar, maka banyak yang menyuarakan agar dunia bisnis menjadi
lebih proaktif dalam menghentikan aktifitas-aktifitas yang mengakibatkan terjadinya
masalah sosial dan mulai berpartisipasi dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial.
Wacana mengenai konsep ini terus berkembang sampai KTT Bumi pada tahun 1992 di
Rio menegaskan konsep sustainability development (pembangunan berkelanjutan) yang
tidak

hanya menjadi tanggung jawab Negara, namun terlebih lagi perusahaan yang

kekuasaannya makin menggurita. Hasil KTT Bumi di atas makin dipertegas melalui riset
yang dilakukan oleh James Colins dan Jerry Porras, ditunjukan bahwa perusahaanperusahaan yang bertahan lama bukanlah perusahaan yang hanya mengejar profit semata.
Selanjutnya, pertemuan di Johannesburg pada tahun 2002 yang dihadiri oleh para
pemimpin dunia memunculkan konsep social responsibility, yang mengikuti dua konsep
yang telah muncul sebelumnya yaitu economic dan environmental sustainability yang
kemudian menjadi dasar bagi perusahaan di atas dalam melakukan tanggung jawab
sosialnya (CSR). Terakhir pada pertengahan tahun 2007 yang lalu, pada UN Global
Compact yang dibuka oleh SekJen PBB, pertemuan tersebut meminta perusahaan untuk
menunjukkan tanggung jawab dan prilaku bisnis yang sehat yang dikenal dengan
Corporate Social Responsibility (CSR). Hingga saat ini, konsep

corporate social

responsibility telah menjadi paham yang diterima secara umum untuk diterapkan oleh
dunia usaha.
2.1.3

CSR di Indonesia
Di Indonesia, istilah CSR semakin populer digunakan sejak tahun 1990-an.

Beberapa perusahaan sebenarnya telah lama melakukan CSA (Corporate Social Activity)
atau aktivitas sosial perusahaan. Walaupun tidak menamainya sebagai CSR, secara
faktual aksinya mendekati konsep CSR yang merepresentasikan bentuk peran serta dan
kepedulian perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan. Melalui konsep investasi
sosial perusahaan seat belt, sejak tahun 2003 Departemen Sosial tercatat sebagai
lembaga pemerintah yang aktif dalam mengembangkan konsep CSR dan melakukan
advokasi kepada berbagai perusahaan nasional.
Pemilik perusahaan sejatinya bukan hanya stakeholders atau para pemegang
saham. Melainkan stakeholders, yakni pihak-pihak yang berkepentingan terhadap
eksistensi perusahaan. Stakeholders dapat mencakup karyawan dan keluarganya,
pelanggan, pemasok, masyarakat sekitar perusahaan, lembaga-lembaga swadaya
masyarakat, media massa dan pemerintah selaku regulator. Jenis dan prioritas
stakeholders relatif berbeda antara satu perusahaan dengan lainnya, tergantung pada core
bisnis perusahaan yang bersangkutan (Supomo, 2004). Beberapa perusahaan bahkan ada
yang menjalankan kegiatan serupa CSR, meskipun tim dan programnya tidak secara jelas
berbendera CSR (Suharto, 2007).
Diantara negara-negara di Asia, penetrasi aktivitas CSR di Indonesia masih
tergolong rendah. Pada tahun 2005 baru ada 27 perusahaan yang memberikan laporan
mengenai aktivitas CSR yang dilaksanakannya.
Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Manajemen sejak tahun 2005
mengadakan Indonesia Sustainability Reporting Award (ISRA) . Secara umum ISRA
bertujuan untuk mempromosikan voluntary reporting CSR kepada perusahaan di
Indonesia dengan memberikan penghargaan kepada perusahaan yang membuat laporan
terbaik mengenai aktivitas CSR. Kategori penghargaan yang diberikan adalah Best Social
and Environmental Report Award, Best Social Reporting Award, Best Environmental
Reporting Award, dan Best Website.
Dalam hal kebijakan pemerintah, perhatian pemerintah terhadap CSR tertuang
dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU Nomor 40 Tahun 2007) Bab V Pasal 74.
Walaupun hanya mewajibkan pelaksanaan aktivitas CSR untuk perusahaan di bidang
pertambangan, Undang-Undang tersebut menimbulkan kontrovesi dikarenakan kebijakan
mewajibkan aktivitas CSR bukan merupakan kebijakan umum yang dilakukan di negaranegara lain. Kontrovesi juga timbul dari adanya kekhawatiran munculnya peraturan
pelaksanaan yang memberatkan para pengusaha.

2.2

Isu dalam Pelaksanaan CSR


Beberapa tahun terakhir ini, isu CSR (Corporate Social Responsibility) di

Indonesia telah menjadi isu yang sering dibicarakan dalam berbagai kesempatan. Semakin
banyak seminar atau diskusi yang dilakukan untuk membahas hal ini. Apalagi dengan
semakin seringnya terjadi permasalahan yang berkaitan dengan CSR, salah satunya adalah
peristiwa banjir lumpur di Sidoarjo yang melibatkan salah satu perusahaan nasional.
Peristiwa lumpur di Sidoarjo menunjukan betapa lemahnya pelaksanaan CSR di Indonesia.
Dapat dilihat betapa masyarakat dirugikan dengan kehilangan penghasilan, harta benda
dan juga harus meninggalkan tempat tinggal. Tidak saja masyarakat, negara juga ikut
menanggung kerugian yang sangat besar. Hal ini dapat dilihat dari pengalokasian dana
APBN dalam penanggulangan banjir lumpur di Sidoarjo.
Salah satu lambannya pelaksanaan CSR di Indonesia adalah tidak adanya
instrumen hukum yang komprehensif yang mengatur CSR. Instrumen hukum sangat
diperlukan sekali untuk mendorong pelaksanaan CSR di Indonesia. Pada saat ini, memang
sudah tedapat peraturan yang terkait dengan CSR seperti Undang-Undang (UU)
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun UU tersebut belum mampu mendorong
pelaksanaan CSR di lapangan. Apalagi dalam UU tersebut hal yang diatur masih terbatas.
Hanya berkaitan dengan hal tertentu saja. Padahal CSR tidak saja berkaitan dengan
tanggung jawab perusahaan tehadap lingkungan dalam arti sempit, namun juga dalam arti
luas seperti tanggung jawab perusahaan terhadap pendidikan, perekonomian, dan
kesejahteraan rakyat sekitar.
Hal ini di atas tentunya menjadi sebuah pelajaran yang berharga untuk segera dicari
jalan keluarnya. Oleh karena itu membuat regulasi mengenai CSR merupakan jalan
terbaik. Regulasi yang dimaksud adalah dengan membuat produk hukum ( UU ) yang akan
mengatur secara tegas, jelas, dan komprehensif mengenai CSR. UU ini dibutuhkan agar
CSR dilaksanakan oleh semua perusahaan dan memberikan manfaat nyata bagi semua
stake holder yang ada.
Pelaksanaan CSR selama ini hanya didasarkan kepada kesadaran dan komitmen
perusahaan. Padahal komitmen dan kesadaran setiap perusahaan tidak sama dan sangat
tergantung sekali kepada kebijakan perusahaan masing-masing. Menggantungkan
pelaksanaan CSR kepada kesadaran dan komiteman perusahaan mempunyai beberapa
kelemahan. Kelemahan paling mendasar adalah tidak adanya sanksi yang tegas bagi
perusahaan yang tidak melaksanakan CSR. Kondisi ini tidak akan mendorong pelaksanaan

CSR di Indonesia. Selama ini juga, bagi perusahaan yang melaksanakan CSR tidak
memilki arah yang jelas. Padahal ada banyak sekali manfaat yang diperoleh apabila CSR
dilaksanakan dengan aturan dan arahan yang jelas.
Kelemahan lain dengan tidak adanya regulasi yang jelas tentang CSR adalah
semakin dirugikannya masyarakat dan juga negara. Berbagai peristiwa yang terjadi di
Indonesia seperti banjir lumpur, banjir karena pembalakan hutan dan pencemaran
lingkungan di berbagai tempat menunjukan bahwa pelaksanaan CSR merupakan suatu
kemutlakan. Apabila kondisi seperti sekarang terus berlanjut, maka yang menanggung
kerugian terbesar adalah masyarakat dan negara.
Regulasi CSR juga sebenarnya bukan hal baru dalam dunia korporasi. Di berbagai
negara maju, setiap perusahaan sudah diwajibkan untuk pelaksanaan CSR dan
melaporkannya secara periodik. Hal ini dilakukan untuk memantau dan mengontrol
pelaksanaan CSR setiap perusahaan. Regulasi yang ada juga memberikan sanksi yang
tegas bagi pelanggaran terhadap pelaksanaan CSR. Sanksi yang diberikan mulai dari yang
ringan seperti peringatan tertulis hingga dikeluarkan dari lantai bursa bagi perusahaan go
public.
Tentunya, UU yang akan dibuat harus disesuaikan dengan kondisi di Indonesia. UU
yang ada harus mampu menjembatani kepentingan semua pihak. Pelaku usaha dengan
motif laba, tentunya tidak akan setuju apabila regulasi yang ada mengganggu kepentingan
mereka. Masyarakat juga selaku pihak yang menerima dampak dari kehadiran perusahaan
menuntut adanya kontribusi nyata bagi kehidupan mereka. Oleh karena itu UU yang dibuat
harus mampu mengakomodasi semua stake holder.

2.3

Proses dari Aktivitas CSR


Dalam implementasi CSR ini public relations (PR) mempunyai peran penting,

baik secara internal maupun eksternal. Dalam konteks pembentukan citra perusahaan, di
semua bidang pembahasan di atas boleh dikatakan PR terlibat di dalamnya, sejak fact
finding, planning, communicating, hingga evaluation. Jadi ketika kita membicarakan CSR
berarti kita juga membicarakan PR sebuah perusahaan, di mana CSR merupakan bagian
dari community relations. Karena CSR pada dasarnya adalah kegiatan PR, maka langkahlangkah dalam proses PR pun mewarnai langkah-langkah CSR.

Ada dua pendekatan dalam community relations. Pertama, dalam konsep PR lama
yang memosisikan organisasi sebagai pemberi donasi, maka program community
relations hanyalah bagian dari aksi dan komunikasi dalam proses PR. Bila berdasarkan
pengumpulan fakta dan perumusan masalah ditemukan bahwa permasalahan yang
mendesak adalah menangani komunitas, maka dalam perencanaan akan disusun program
community relations. Ini kemudian dijalankan melalui aksi dan komunikasi. Kedua, yang
memosisikan komunitas sebagai mitra, dan konsep komunitasnya bukan sekedar
kumpulan orang yang berdiam di sekitar wilayah operasi organisasi, community relations
dianggap sebagai program tersendiri yang merupakan wujud tanggungjawab sosial
organisasi.
Dengan menggunakan tahapan-tahapan dalam proses PR yang bersifat siklis,
maka program dan kegiatan CSR dilakukan melalui tahapan-tahapan berikut:
1.

Pengumpulan Fakta
Banyak permasalahan yang dihadapi masyarakat sekitar daerah operasional
perusahaan. Mulai dari permasalahan lingkungan seperti polusi, sanitasi
lingkungan, pencemaran sumber daya air, penggundulan hutan sampai dengan
permasalahan ekonomi seperti tingkat pengangguran yang tinggi, sumber daya
manusia yang tidak berketerampilan, rendahnya kemauan berwirausaha dan
tingkat produktivitas individu yang rendah.
PR bisa mengumpulkan data tentang permasalahan tersebut dari berbagai
sumber, misalnya dari berita media massa, data statistik, obrolan warga, atau
keluhan langsung dari masyarakat. Selain itu masih banyak sumber yang bisa
digunakan untuk mengumpulkan fakta mengenai persoalan sosial yang
dihadapi komunitas. PR juga bisa menelusuri laporan-laporan hasil penelitian
yang dilakukan perguruan tinggi atau LSM mengenai kondisi sosial ekonomi

masyarakat.
2. Perumusan Masalah
Masalah secara sederhana bisa dirumuskan sebagai kesenjangan antara yang
diharapkan dengan yang dialami, yang untuk menyelesaikannya diperlukan
kemampuan menggunakan pikiran dan keterampilan secara tepat. Misalnya,
dari pengumpulan fakta diketahui salah satu masalah yang mendesak dan bisa
diselesaikan dengan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki organisasi
adalah rendahnya keterampilan para pemuda sehingga tak bisa bersaing di
pasar kerja atau tak bisa diandalkan untuk membuka lapangan kerja bagi
dirinya.

Berdasarkan

hal

tersebut,

maka

dirumuskan

permasalahan:

Rendahnya keterampilan kerja pemuda lulusan sekolah menengah.

Namun tidak semua pemuda tamatan sekolah menengah yang rendah tingkat
keterampilan kerjanya yang diidentifikasi sebagai masalah. Namun terbatas
pada komunitas sekitar lokasi perusahaan atau di beberapa kota. Jadi, dalam
merumuskan masalah tersebut PR mulai memfokuskan pada komunitas
organisasi. Bila komunitasnya dirumuskan secara sederhana, berarti
komunitas berdasarkan lokasi yakni komunitas sekitar wilayah operasi
korporat. Namun bila komunitasnya dipandang sebagai struktur interaksi
maka komunitas tersebut lepas dari pertimbangan kewilayahan, tetapi lebih
pada pertimbangan kesamaan kepentingan.
3. Perencanaan dan Pemrograman
Perencanaan merupakan sebuah prakiraan yang didasarkan pada fakta dan
informasi tentang sesuatu yang akan terwujud atau terjadi nanti. Untuk
mewujudkan apa yang diperkirakan itu dibuatlah suatu program. Setiap
program biasanya diisi dengan berbagai kegiatan. Kegiatan sebagai bagian
dari program merupakan langkah-langkah yang ditempuh untuk mewujudkan
program guna mencapai tujuan yang sudah ditetapkan.
Kembali kepada perumusan masalah tentang rendahnya keterampilan kerja
pemuda lulusan sekolah menengah, maka PR menyusun rencana untuk
mencapai tujuan agar para pemuda lulusan sekolah menengah itu memiliki
keterampilan kerja yang bisa digunakan untuk mencari kerja atau membuka
lapangan kerja bagi dirinya sendiri. Untuk mencapai tujuan tersebut, program
yang disusun misalnya menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan
bagi mereka.
4. Aksi dan Komunikasi
Aspek dari aksi dan komunikasi inilah yang membedakan kegiatan
community relations dalam konteks PR dan bukan PR. Di mana watak PR
ditampilkan lewat kegiatan komunikasi. PR pada dasarnya merupakan proses
komunikasi dua arah yang bertujuan untuk membangun dan menjaga reputasi
dan citra organisasi di mata publiknya. Karena itu, dalam program CSR selalu
ada aspek bagaimana menyusun pesan yang ingin disampaikan kepada
komunitas, serta melalui media apa dan cara bagaimana.
Sedangkan aksi dalam implementasi program yang sudah direncanakan, pada
dasarnya sama saja dengan implementasi program apa pun. Kembali pada
contoh kasus awal, ketika program pendidikan dan pelatihan keterampilan itu
dijalankan, harus ada ruangan, baik untuk penyampaian teori maupun bengkel
kerja sebagai tempat praktik. Di situlah aksi pendidikan dan pelatihan

dijalankan. Di dalamnya tentu saja ada komunikasi yang menjelaskan kenapa


program itu dijalankan, juga masalah tanggungjawab sosial organisasi pada
komunitasnya sehingga memilih untuk menjalankan program kegiatan
tersebut. Dengan begitu diharapkan akan berkembang pandangan yang positif
dari komunitas terhadap organisasi sehingga reputasi dan citra organisasi
menjadi baik.
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan keharusan pada setiap akhir program atau kegiatan untuk
mengetahui efektivitas dan efisiensi program. Berdasarkan hasil evaluasi ini
bisa diketahui apakah program bisa dilanjutkan, dihentikan atau dilanjutkan
dengan melakukan beberapa perbaikan dan penyempurnaan. Namun dalam
konteks community relations perlu diingat bahwa evaluasi bukan hanya
dilakukan terhadap

penyelenggaraan program atau

kegiatan belaka.

Melainkan juga dievaluasi bagaimana sikap komunitas terhadap organisasi.


Evaluasi atas sikap publik ini diperlukan karena, pada dasarnya community
relations ini meski merupakan wujud tanggungjawab sosial organisasi, tetap
merupakan kegiatan PR.
2.4.

Dampak Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan Dalam Bisnis Global

2.4.1

Isu Ekologi dan Lingkungan Sosial


Isu ekologi semakin mengemuka ditengah perkembangan global yang semakin

pesat dan dinamis. Adanya perubahan ekologi yang diakibatkan oleh aktivitas sosial akan
berdampak secara signifikan terhadap kehidupan sosial masyarakat dan lingkungan sosial
tempat masyarakat itu berkembang. Dalam hubungannya dengan Pembangunan
berkelanjutan, isu ekologi merupakan peran kunci akan tumbuh kembang suatu peradaban
sosial. Sebagai contoh yang nyata hubungan antara isu ekologi dan lingkungan sosial
dewasa ini adalah adanya perubahan ekologi secara global yang diakibatkan oleh
pemanasan global.
Pemanasan Global yang timbul akibat aktivitas manusia dari proses pembakaran
bahan bakar fosil mengakibatkan adanya perubahan iklim yang masiv di dunia. Adanya
perubahan iklim tersebut ternyata juga mempengaruhi lingkungan sosial masyarakat.
Sebagai contoh misalnya akibat adanya kenaikan rata-rata suhu bumi dalam satu sisi
menimbulkan bencana, tetapi dalam satu sisi juga menguntungkan bagi produsen Air
Conditioner (AC). Tak bisa dipungkiri, karena suhu bumi

yang semakin tinggi

mengakibatkan adanya fenomena sosial di masyarakat berupa tingginya daya beli

masyarakat terhadap penyejuk udara. Produsen AC akan diuntungkan, begitu pula tenaga
kerja untuk menunjang operasional pabrik akan semakin banyak diserap.
Akan tetapi pemanasan global jauh lebih banyak menimbulkan dampak negatif
daripada dampak positivnya, pemakaian bahan bakar fosil yang notabene tidak ramah
lingkungan sangat bertentangan dengan tujuan dari pembangunan berkelanjutan. Hal ini
dikarenakan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan, tidak hanya akan ditanggung pada
masa sekarang, tetapi akan ditanggung juga oleh anak cucu kita kelak. Dampak lain yang
juga terasa akibat pemanasan global adalah berkurangnya produktivitas pangan. Perubahan
iklim yang ekstrem berakibat pada kacaunya pola bercocok tanam dan imbasnya adalah
merosotnya produktivitas pangan. Hal tersebut jelas menjadi ancaman bagi terwujudnya
pembangunan berkelanjutan.
2.4.2 Isu dari Masyarakat Global terhadap Dampak Lingkungan dan Pembangunan
Berkelanjutan
Isu dari adanya pembangunan berkelanjutan mengemuka di dunia ketika adanya
Brundtland Report pada tahun 1980, semakin diintensifkan dengan Konferensi PBB
mengenai Lingkungan Hidup dan Pembangunan di Rio de Janeiro tahun 1992. Konferensi
ini melahirkan Agenda 21 yang ditandatangani oleh 178 kepala negara sebagai langkah
konkret bagi implementasi pembangunan berkelanjutan pada skala global. Sepuluh tahun
setelah Rio Conference, PBB pada tahun 2002 kembali menyelenggarakan konferensi di
Johannesburg dengan judul The 2002 World Summit for Sustainable Development untuk
mengevaluasi perkembangan penerapan visi pembangunan berkelanjutan di dunia. Definisi
pembangunan berkelanjutan yang telah dikenal oleh masyarakat luas yang dituangkan
dalam Our Common Future atau Brundtland Report (WCED 1987:43): Pembangunan
berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pada masa
sekarang tanpa mengurangi dan atau menghilangkan kemampuan generasi masa depan
untuk memenuhi kebutuhannya kelak. Namun pada kenyataannya, pembangunan
berkelanjutan

mengalami

berbagai

kendala

multidimensional

untuk

benar-benar

mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang dicita-citakan tersebut.


Cahyandito (2005), menyatakan bahwa ada pada prinsipnya, ada tiga dimensi utama
pembangunan berkelanjutan yaitu lingkungan hidup, sosial dan ekonomi. Berikut ini
adalah masalah-masalah utama yang ada pada setiap dimensi tersebut :
1. Dimensi Ekologi
Dalam era globalisasi

dan mobilitas

manusia yang

sangat besar,

mengakibatkan adanya eksplorasi lingkungan secara besar-besaran. Hal

tersebut dilakukan untuk menjalankan aktivitas perekonomian untuk


meningkatkan taraf hidup manusia. Dalam satu sisi, pertumbuhan ekonomi
akan meningkat dan kesejahteraan juga akan meningkat, tapi disisi lain
eksplorasi terhadap sumber daya alam secara berlebihan akan mengakibatkan
degradasi lingkungan. Dampaknya akan lebih buruk apabila tidak ditangani
dengan manajemen pengelolaan lingkungan yang baik.
2. Dimensi Sosial
Permasalahan pada dimensi sosial yang menjadi tantangan dari pembangunan
berkelanjutan adalah pertumbuhan jumlah penduduk dunia. Dalam kurun
waktu seratus tahun terakhir, pertumbuhan penduduk melonjak cepat terutama
pada negara berkembang (UNDP, 2002). Diperkirakan jumlah penduduk
dunia akan naik sampai 7,8 milyar orang pada tahun 2025, dimana 6,7 milyar
orang hidup di Negara berkembang. Kenaikan jumlah penduduk ini antara lain
disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya rendahnya tingkat pendidikan,
tidak memadainya jaminan sosial pada Negara yang bersangkutan, budaya
dan agama/kepercayaan, urbanisasi, dan diskriminasi terhadap wanita .
3. Dimensi Ekonomi
Masalah utama pada dimensi ekonomi adalah perubahan global dan
globalisasi. Maksudnya adalah perubahan keadaan lingkungan hidup (ekologi)
global, globalisasi ekonomi, perubahan budaya dan konflik utara-selatan.
Globalisasi yang muncul sejak tahun 1990-an, tidak dapat dibendung
kehadirannya dan mau tidak mau harus dihadapi oleh setiap negara. Kemajuan
teknologi, komunikasi dan telekomunikasi serta transportasi semakin
mendukung arus globalisasi sehingga hubungan ekonomi antar negara dan
region menjadi sangat mudah.
2.5
2.5.1

Mengelola Isu Lingkungan


Peranan Pemerintah dan Regulasi
Pengelolaan lingkungan termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan dan

pencemaran serta pemulihan kualitas lingkungan telah menuntut dikembangkannya


berbagai perangkat kebijakan dan program serta kegiatan yang didukung oleh sistem
pendukung pengelolaan lingkungan lainnya. Sistem tersebut mencakup kemantapan
kelembagaan, sumberdaya manusia dan kemitraan lingkungan, disamping perangkat
hukum dan perundangan, informasi serta pendanaan. Keterkaitan dan keseluruhan aspek
lingkungan telah memberi konsekuensi bahwa pengelolaan lingkungan, termasuk sistem
pendukungnya tidak dapat berdiri sendiri, akan tetapi berintegrasi dengan seluruh
pelaksanaan pembangunan.

Kebijakan daerah dalam mengatasi permasalahan lingkungan hidup khususnya


permasalahan kebijakan dan penegakan hukum yang merupakan salah satu permasalahan
lingkungan hidup di daerah dapat meliputi :
1.
2.
3.
4.

Regulasi Perda tentang Lingkungan.


Penguatan Kelembagaan Lingkungan Hidup.
Penerapan dokumen pengelolaan lingkungan hidup dalam proses perijinan
Sosialisasi/pendidikan tentang peraturan perundangan dan pengetahuan

lingkungan hidup.
5. Meningkatkan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi terkait dan
stakeholders
6. Pengawasan terpadu tentang penegakan hukum lingkungan.
7. Memformulasikan bentuk dan macam sanksi pelanggaran lingkungan hidup.
Peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia.
8. Peningkatan pendanaan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Pemanfaatan SDA secara berlebihan tanpa memperhatikan aspek pelestariannya
dapat meningkatkan tekanan-tekanan terhadap kualitas lingkungan hidup yang pada
akahirnya akan mengancam swasembada atau kecukupan pangan semua penduduk di
Indonesia. Oleh karena peran pemerintah dalam memberikan kebjakan tentang peraturan
pengelolaan SDA menjadi hal yang penting sebagai langkah menjaga SDA yang
berkelanjutan.
Kebijakan yang di buat oleh pemerintah tidak hanya ditetapkan untuk dilaksanakan
masyarakat tanpa pengawasan lebih lanjut dari pemerintah. Pemerintah memiliki peran
agar kebijakan tersebut diterapkan sebagaimana mestinya oleh masyarakat. Sesuai dengan
Undang-undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25 Tahun 2000
tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom,
dalam bidang lingkungan hidup memberikan pengakuan politis melalui transfer otoritas
dari pemerintah pusat kepada daerah:
1.
2.
3.
4.

Meletakkan daerah pada posisi penting dalam pengelolaan lingkungan hidup.


Memerlukan peranan lokal dalam mendesain kebijakan.
Membangun hubungan interdependensi antar daerah.
Menetapkan pendekatan kewilayahan.

Kebijakan nasional dalam bidang lingkungan hidup secara eksplisit PROPENAS


merumuskan program yang disebut sebagai pembangunan sumberdaya alam dan
lingkungan hidup. Program itu mencakup :
1. Program Pengembangaan dan Peningkatan Akses Informasi Sumber Daya Alam
dan Lingkungan Hidup.
Program ini bertujuan untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi yang lengkap
mengenai potensi dan produktivitas sumberdaya alam dan lingkungan hidup melalui

inventarisasi dan evaluasi, serta penguatan sistem informasi. Sasaran yang ingin dicapai
melalui program ini adalah tersedia dan teraksesnya informasi sumberdaya alam dan
lingkungan hidup, baik berupa infrastruktur data spasial, nilai dan neraca sumberdaya
alam dan lingkungan hidup oleh masyarakat luas di setiap daerah.
2. Program Peningkatan Efektifitas Pengelolaan, Konservasi dan Rehabilitasi
Sumber Daya Alam.
Tujuan dari program ini adalah menjaga keseimbangan pemanfaatan dan pelestarian
sumberdaya alam dan lingkungan hidup hutan, laut, air udara dan mineral. Sasaran yang
akan dicapai dalam program ini adalah termanfaatkannya, sumber daya alam untuk
mendukung kebutuhan bahan baku industri secara efisien dan berkelanjutan. Sasaran
lain di program adalah terlindunginya kawasan-kawasan konservasi dari kerusakan
akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak terkendali dan eksploitatif
3. Program Pencegahan dan Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan
Hidup.
Tujuan program ini adalah meningkatkan kualitas lingkungan hidup dalam upaya
mencegah kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan dan pemulihan kualitas
lingkungan yang rusak akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan, serta
kegiatan industri dan transportasi. Sasaran program ini adalah tercapainya kualitas
lingkungan hidup yang bersih dan sehat adalah tercapainya kualitas lingkungan hidup
yang bersih dan sehat sesuai dengan baku mutu lingkungan yang ditetapkan.
4. Program Penataan Kelembagaan dan Penegakan Hukum, Pengelolaan Sumber
Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup.
Program ini bertujuan untuk mengembangkan kelembagaan, menata sistem hukum,
perangkat hukum dan kebijakan, serta menegakkan hukum untuk mewujudkan
pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan hidup yang efektif dan
berkeadilan. Sasaran program ini adalah tersedianya kelembagaan bidang sumber daya
alam dan lingkungan hidup yang kuat dengan didukung oleh perangkat hukum dan
perundangan serta terlaksannya upaya penegakan hukum secara adil dan konsisten.
5. Progam Peningkatan Peranan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya alam
dan Pelestarian fungsi Lingkungan Hidup.
Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan peranan dan kepedulian pihakpihak yang berkepentingan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi
lingkungan hidup. Sasaran program ini adalah tersediaanya sarana bagi masyarakat
dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup sejak
proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan
sampai pengawasan.

2.5.2

Biaya dan Manfaat dalam Mengelola Lingkungan Akuntansi Lingkungan


(Environment Accounting/EA)
Praktek-praktek akuntansi tradisional seringkali melihat biaya lingkungan sebagai

biaya mengoperasikan bisnis, meskipun biaya-biaya tersebut signifikan, meliputi: biaya


sumber daya, yaitu mereka yang secara langsung berhubungan dengan produksi dan
mereka yang terlibat dalam operasi bisnis umum, pengolahan limbah, dan biaya
pembuangan. Biaya reputasi lingkungan, dan biaya membayar premi asuransi risiko
lingkungan.
Dalam banyak kasus, biaya-biaya lingkungan seperti yang berkaitan dengan
sumber daya alam (energi, udara, air) dimasukkan ke dalam satu jalur biaya operasi atau
biaya administrasi yang diperlakukan independen dengan proses produksi. Juga biaya
lingkungan sering didefinisikan secara sempit sebagai biaya yang terjadi dalam upaya
pemenuhan dengan atau kaitan dengan hukum atau peraturan lingkungan. Hal ini karena
sistem akuntansi cenderung berfokus pada biaya bisnis yang teridentifikasi secara jelas,
bukan pada biaya dan manfaat pilihan alternatif.
Akuntansi Lingkungan (Environment Accounting) adalah biaya-biaya lingkungan
yang dimasukkannya ke dalam praktik akuntansi perusahaan atau lembaga pemerintah.
Sedangkan, menurut Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat atau United States
Environment Protection Agency (US EPA), akuntansi lingkungan merupakan fungsi yang
menggambarkan biaya-biaya lingkungan yang harus diperhatikan oleh pemangku
kepentingan perusahaan di dalam pengidentifikasian cara-cara yang dapat mengurangi atau
menghindari biaya-biaya pada waktu yang bersamaan dengan usaha memperbaiki kualitas
lingkungan. Oleh karena itu, akuntansi lingkungan mempunyai pengertian yang sama
dengan akuntansi biaya lingkungan yaitu sebagai penggabungan informasi manfaat dan
biaya lingkungan kedalam praktik akuntansi perusahaan atau pemerintah dengan
mengidentifikasikan cara-cara yang dapat mengurangi atau menghindari biaya perbaikan.
Akuntansi Lingkungan secara spesifik mendefinisikan dan menggabungkan semua
biaya lingkungan ke dalam laporan keuangan perusahaan. Bila biaya-biaya tersebut secara
jelas teridentifikasi, perusahaan akan cenderung mengambil keuntungan dari peluangpeluang untuk mengurangi dampak lingkungan. Manfaat-manfaat dari mengadopsi
akuntansi lingkungan dapat meliputi:
1. Perkiraan yang lebih baik dari biaya sebenarnya pada perusahaan untuk
memproduksi produk atau jasa. Ini bermuara memperbaiki harga dan
profitabilitas.
2. Mengidentifikasi biaya-biaya sebenarnya dari produk, proses, sistem, atau
fasilitas dan menjabarkan biaya-biaya tersebut pada tanggungjawab manajer.

3. Membantu manajer untuk menargetkan area operasi bagi pengurangan biaya


dan perbaikan dalam ukuran lingkungan dan kualitas.
4. Membantu dengan penanganan keefektifan biaya lingkungan atau ukuran
perbaikan kualitas.
5. Memotivasi staf untuk mencari cara yang kreatif untuk mengurangi biayabiaya lingkungan.
6. Mendorong perubahan dalam proses untuk mengurangi penggunaan sumber
daya dan mengurangi, mendaur ulang, atau mengidentifikasi pasar bagi
limbah.
7. Meningkatkan kepedulian staf terhadap isu-isu lingkungan, kesehatan, dan
keselamatan kerja.
8. Meningkatkan penerimaan konsumen pada produk atau jasa perusahaan dan
sekaligus meningkatkan daya kompetitif.
Biaya Lingkungan
Biaya lingkungan adalah biaya yang ditimbulkan akibat adanya kualitas lingkungan
yang rendah, sebagai akibat dari proses produksi yang dilakukan perusahaan. Biaya
lingkungan juga diartikan sebagai dampak, baik moneter atau non-moneter yang terjadi
oleh hasil aktifitas perusahaan yang berpengaruh pada kualitas lingkungan.
Biaya lingkungan juga merupakan pengorbanan untuk menjaga kelestarian
perusahaan. Yang dimaksud lingkungan perusahaan adalah objek di luar perusahaan yang
terdiri dari:
1. Lingkungan alam : Polusi udara dan air, kerusakan alam, biaya kerusakan
alam,
2. Lingkungan Ekonomi : Agraris subsistens, agraris komersial, perdagangan dan
industri, biaya krisis ekonomi (buruh mogok, dsb),
3. Lingkungan Sosial : Pranata sosial, lembaga sosial, biaya krisis sosial (protes
masyarakat),
4. Lingkungan politik : Pajak dan pungutan lainnya, kebijakan fiskal dan
moneter, ideologi, biaya kebijakan politik (BBM, Pajak, dan sebagainya),
5. Lingkungan budaya : Adat-istiadat, kepercayaan, biaya kerusakan budaya
(dekadensi moral).
Kelima lingkungan itu harus dikelola oleh perusahaan agar dampaknya tidak
menimbulkan kerugian.
Kerusakan lingkungan akan berdampak terhadap biaya perusahaan, dan akhirnya
akan mengakibatkan kerugian perusahaan. Misalnya, lingkungan alam yang rusak (polusi
udara, air, kerusakan tanah), mengakibatkan naiknya biaya, lingkungan ekonomi yang
rusak (kenaikan valuta asing) akan menaikkan biaya, lingkungan sosial yang rusak (huruhara) mengakibatkan biaya produksi naik, lingkungan politik yang rusak karena adanya

pungutan liar, mengakibatkan naiknya biaya overhead perusahaan, dan lingkungan budaya
yang rusak karena pengaruh narkoba, mengakibatkan produktivitas kerja rendah.
Semuanya itu berdampak pada naiknya biaya dan penurunan pendapatan perusahaan, yang
berakibat kerugian.
Bagaimana perusahaan menjelaskan biaya lingkungan tergantung pada bagaimana
perusahaan menggunakan informasi biaya tersebut (alokasi biaya, penganggaran modal,
desain proses/produk, keputusan manajemen lain), dan skala atau cakupan aplikasinya.
Tidak selalu jelas apakah biaya itu masuk lingkungan atau tidak, beberapa masuk zona
abu-abu atau mungkin diklasifikasikan sebagian lingkungan sebagian lagi tidak.
Terminologi akuntansi lingkungan menggunakan ungkapan seperti full, total, true,
dan life cycle untuk menegaskan bahwa pendekatan tradisional adalah tidak lengkap
cakupannya karena mereka mengabaikan biaya lingkungan penting (serta pendapatan dan
penghematan biaya).
Klasifikasi Biaya Lingkungan
Ronald Hilton membagi jenis biaya lingkungan sebagai berikut:
1.

Biaya lingkungan Private vs Sosial.


Satu perbedaan penting antara biaya privat dan sosial (atau biaya publik).
Biaya lingkungan private yang ditanggung oleh perusahaan atau individu.
Contohnya biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk mematuhi
peraturan EPA atau untuk membersihkan danau yang tercemar. Biaya
lingkungan sosial yang ditanggung oleh masyarakat luas. Contoh ini meliputi
biaya-biaya yang ditanggung oleh pembayar pajak kepada staf EPA, biaya
ditanggung oleh pembayar pajak untuk membersihkan sebuah danau atau
sungai tercemar, biaya ditanggung oleh individu, perusahaan asuransi dan
Medicare karena masalah kesehatan yang disebabkan oleh polutan, dan
kualitas hidup unquantifiable, kita menanggung semua biaya dari lingkungan
yang rusak. Sementara biaya-biaya lingkungan sosial penting bagi kita
semua, kita akan memusatkan perhatian pada manajemen biaya lingkungan
(environmental cost management), yang merupakan upaya sistematis untuk
mengukur dan mengendalikan atau mengurangi biaya lingkungan private

2.

yang ditanggung oleh perusahaan atau organisasi lainnya.


Biaya Lingkungan Terlihat (Visible ) vs Tersembunyi (Hidden).
Biaya lingkungan sosial dan private dapat terlihat atau tersembunyi. Biaya
lingkungan sosial terlihat (Visible) adalah yang dikenal dan diidentifikasi
dengan jelas terkait dengan isu-isu lingkungan, seperti biaya pembayar pajak
dari staf EPA atau membersihkan danau yang tercemar. Biaya lingkungan
sosial tersembunyi (hidden) termasuk yang disebabkan oleh isu-isu

lingkungan tetapi belum begitu diidentifikasi, seperti biaya yang ditanggung


oleh individu, perusahaan asuransi, atau Medicare karena kanker yang
disebabkan oleh polusi, tetapi tidak diidentifikasi dengan jelas seperti itu.
Sebagai contoh, adalah melanoma (jenis kanker kulit serius) yang disebabkan
oleh kecenderungan keturunan, kegagalan dalam menggunakan sun block,
atau

penipisan

lapisan

ozon

yang

dihasilkan

dari

emisi

industri

chlorofluorocarbons.
United States Environmental Protection Agency (EPA) mengklasifikasikan biaya
lingkungan dalam biaya konvensional, biaya tersembunyi, biaya kontingen, biaya image
dan biaya sosial:
1. Biaya konvensional: biaya penggunaan material, utilitas, barang modal, dan
bahan pembantu yang dimasukkan sebagai harga barang jadi tetapi seringkali
tidak dimasukkan sebagai biaya lingkungan. Akan tetapi, penggunaan yang
berkurang dari bahan-bahan di atas dan limbah yang berkurang lebih
menguntungkan secara lingkungan.
2. Biaya tersembunyi adalah biaya tidak langsung yang berkaitan dengan desain
produk dan proses yang ramah lingkungan, dan lain-lain.
3. Biaya kontingen adalah biaya yang mungkin termasuk atau tidak termasuk pada
waktu yang akan datang, misalnya: biaya kompensasi karena kecelakaan
lingkungan, denda dan lain-lain.
4. Biaya Image adalah biaya lingkungan yang bersifat intangible karena dinilai
secara subyektif.
5. Biaya sosial merupakan biaya dari pengaruh bisnis pada lingkungan dan
masyarakat disekitarnya, biaya ini juga disebut biaya eksternal atau externalities.
Biaya lingkungan menurut Schaltegger terbagi menjadi dua, yaitu biaya internal
perusahaan dan biaya eksternal.
1. Biaya lingkungan yang bersifat internal perusahaan meliputi biaya penanganan
limbah, biaya pelatihan yang berhubungan dengan permasalahan lingkungan, biaya
pelabelan yang berhubungan dengan lingkungan, biaya pengurusan perijinan, biaya
sertifikasi lingkungan, dan sebagainya.
2. Biaya lingkungan yang bersifat eksternal meliputi biaya berkurangnya sumber daya
alam, biaya polusi suara, biaya tercemarnya air, dan sebagainya.
Biaya lingkungan juga dapat dibedakan menjadi dua secara akuntansi, yaitu menjadi
biaya langsung dan biaya tidak langsung.

1. Biaya lingkungan langsung adalah biaya-biaya yang dapat ditelusuri secara


langsung pada objek (misalnya biaya tenaga kerja akibat proses, biaya manajer
untuk suatu produk, biaya penggunaan energi untuk produk, dan lain-lain).
2. Biaya lingkungan tidak langsung adalah biaya yang dialokasikan untuk biaya obyek
(biaya pelatihan mengenai lingkungan, biaya gaji manajer lingkungan, biaya
pembelian produk yang tidak berpengaruh langsung terhadap proses, dan
sebagainya).
Strategi Biaya Lingkungan
Ada tiga strategi untuk mengelola biaya lingkungan:
1. Strategi Akhir dari pipa (End of pipe strategy). Dalam pendekatan ini,
perusahaan menghasilkan limbah atau polutan, dan kemudian membersihkannya
sebelum dibuang ke lingkungan. Scrubber cerobong asap, pengolahan air
limbah, dan filter karbon udara adalah contoh-contoh strategi akhir pipa.
2. Strategi Proses perbaikan (Process improvement strategy). Dalam pendekatan
ini, perusahaan memodifikasi produk dan proses produksi untuk menghasilkan
polutan sedikit atau tidak ada, atau mencari cara untuk mendaur ulang limbah
internal.
3. Strategi

pencegahan

(Prevention

strategy).

"Strategi

utama

untuk

memaksimalkan nilai dari kegiatan pencemaran yang berhubungan dengan tidak


menghasilkan polutan apapun di tempat pertama. Dengan strategi ini,
perusahaan menghindari semua masalah dengan pihak berwenang dan dalam
banyak kasus, menghasilkan perbaikan laba yang signifikan. "
Environmental Management Accounting (EMA)
Guna menanggulangi masalah pengelolaan lingkungan, kini telah mulai
dikembangkan Environmental Management Accounting (EMA) sebagai perangkat untuk
membantu usaha para manajer dalam meningkatkan performa finansial sekaligus kinerja
lingkungannya. Secara sistematis, EMA mengintegrasikan aspek lingkungan dari
perusahaan ke dalam akuntasi manajemen dan proses pengambilan keputusan.
Definisi Environmental Management Accounting (EMA) menurut

The

International Federation of Accountants adalah manajemen lingkungan dan performansi


ekonomi melalui pengembangan dan implementasi sistem akuntansi yang berhubungan
dengan lingkungan dan prakteknya secara tepat.
Beberapa keuntungan yang dapat dicapai oleh usaha/kegiatan yang menerapkan
EMA antara lain:
1. EMA dapat menghemat pengeluaran usaha. Dampak dari isu-isu lingkungan
dalam biaya produksi seringkali tidak diperkirakan sebelumnya. Hal ini
digambarkan sebagai gunung es (ice-berg) yang bisa menenggelamkan laju

kapal. EMA dapat membantu untuk mengidentifikasi dan menganalisa biaya


tersembunyi (hidden cost), misalnya biaya minimisasi limbah yang hanya
memasukkan biaya insenerasi dan pembuangan limbah, namun juga
memasukkan biaya material, opearsional, buruh dan administrasi.
2. EMA dapat membantu pengambilan keputusan. Keputusan

yang

menguntungkan harus didasarkan pada berbagai informasi penting. EMA


membantu pengambil keputusan dengan informasi penting tentang biaya
tambahan yang disebabkan oleh isu-isu lingkungan. EMA membuka kembali
biaya produk dan proses spesifik yang seringkali tersembunyi dalam bagian
overhead cost usaha/kegiatan.
3. EMA meningkatkan performa ekonomi dan lingkungan usaha. Ada banyak
cara positif untuk meningkatkan performa usaha/kegiatan atau organisasi,
seperti investasi teknologi bersih, kampanye minimalisasi limbah, pengenalan
sistem pengendalian pencemaran udara, dll. Dari sekian banyak cara tersebut,
mana yang menguntungkan? Guna mengidentifikasi perangkat-perangkat
tersebut dalam meningkatkan pembagian tingkat keuntungan usaha/kegiatan
dengan menurunkan dampak lingkungan dari produk dan proses produksi,
EMA memberikan solusi saling menguntungkan (win-win situations).
Usaha/kegiatan diharapkan akan mempunyai performa lebih baik baik pada
sisi ekonomi maupun sisi lingkungan.
4. EMA akan mampu memuaskan semua pihak terkait. Penerapan EMA pada
usaha/kegiatan secara simultan dapat meningkatkan performa ekonomi dan
kinerja lingkungan. Oleh karena itu akan berimplikasi pada kepuasan
pelanggan dan investor, hubungan baik antara Pemerintah Daerah dan
masyarakat sekitar, serta memenuhi ketentuan regulasi. Usaha/kegiatan
berpeluang untuk memenuhi keuntungan usaha, mengurangi resiko dari
berbagai pelanggaran hukum dan meningkatkan hubungan baik secara
menyeluruh dengan stakeholders lainnya.
5. EMA memberikan keunggulan usaha/kegiatan.

EMA

meningkatkan

keseluruhan berbagai metoda dan perangkat yang membantu usaha/kegiatan


dalam meningkatkan laba usaha dan pengambilan keputusan. Sangat mudah
dalam penerapannya baik pada usaha menengah keatas maupun usaha kecil.
EMA membantu salah satu pengambilan keputusan penting seperti investasi
baru dalam fungsi pengelolaan usaha seperti akuntasi biaya. Hal ini sangat
memungkinkan diaplikasikan pada semua jenis sector industri dan kegiatan.

Para pengambil keputusan di perusahaan dapat menggunakan informasi dan data


yang diperoleh dari EMA sehingga dapat mengambil keputusan dengan lebih baik, dengan
mempertimbangkan perhitungan fisik (dari material dan energi) dan juga kinerja finansial.
Jika perusahaan berupaya untuk meminimalkan biaya berbarengan dengan meningkatkan
kinerja lingkungan (misalnya mengurangi limbah), EMA dapat memberikan informasi
penting yang berkaitan dengan kedua hal tersebut.
Data dan informasi yang diperoleh dengan melakukan EMA di perusahaan dapat
memberikan keuntungan untuk kegiatan-kegiatan pro-lingkungan sebagai berikut:
a.
Pencegahan Pencemaran
b.
Design for Environment
c.
Penilaian / Pembiayaan / Desain Daur Hidup Lingkungan
d.
Manajemen Supply Chain
e.
Pembelian dengan pertimbangan lingkungan
f.
Sistem Manajemen Lingkungan (ISO 14001)
g.
Evaluasi Kinerja Lingkungan & Benchmarking
h.
Reporting (CSR Reporting maupun Environmental Performance Reporting)
2.5.3

Manajemen Berbasis Lingkungan sebagai Keunggulan Kompetitif


Perusahaan adalah suatu sistem fisik yang menggunakan suatu sistem konseptual.

Sistem Fisik Perusahaan adalah sistem lingkaran tertutup dalam artian kata dikendalikan
oleh manajemen menggunakan informasi umpan balik untuk meyakinkan bahwa tujuan
suatu perusahaan itu tercapai. Perusahaan mengambil sumber daya dari lingkungannnya
kemudian mengubah sumber daya tersebut menjadi barang dan jasa kemudian
mengembalikannya kepada lingkungannya. Lingkungan merupakan alasan utama dari
suatu perusahaan. Perusahaan melihat perlunya penyediaan barang dan jasa untuk
kebutuhan lingkungan tertentu dan menanamkan modalnya sehingga perusahaan
melaksanakan aktivitasnya.
1. Lingkungan Perusahaan
Perusahaan dalam lingkungannya dan sumber daya:
a. Uang
b. Material
c. Personil
2. Keunggulan Kompetitif
Banyak cara untuk mencapai keunggulan kompetitif diantaranya:
a. Menyediakan barang dan jasa dengan harga murah;
b. Menyediakan barang dan jasa lebih baik daripada pesaing; dan
c. Memenuhi kebutuhan khusus suatu segmen pasar tertentu.
Pada bidang komputer, keunggulan kompetitif mengacu pada penggunaan
informasi untuk mendapatkan leverage di pasaran. Artinya, perusahaan tidak selamanya
mengandalkan pada sumber daya fisik, tetapi pada sumber daya konseptual yang unggul
data dan informasi yang dapat digunakan sama baiknya.

Ada 3 pokok penting mengenai 3 contoh keunggulan kompetitif di atas:


a. Tidak satupun perusahaan di atas yang puas hanya mengandalkan sumber daya
fisik untuk menjadi pesaing yang tangguh.
b. Tidak ada aplikasi komputer inovatif yang memberikan kompetitif bagi perusahaan
secara terus menerus.
c. Ketiga perusahaan tersebut memusatkan sumber daya informasi mereka pada para
pelanggannya.
BAB III
PENUTUP
3.1

Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan makalah diatas antara lain :
1. Dalam konteks global, istilah Corporate Social Responsibility (CSR) mulai
digunakan sejak tahun 1970-an dan semakin populer terutama setelah kehadiran
buku Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business
(1998), karya John Elkington. Mengembangkan tiga komponen penting sustainable
development, yakni economic growth, environmental protection, dan social equity,
yang digagas the World Commission on Environment and Development (WCED)
dalam Brundtland Report (1987), Elkington mengemas CSR ke dalam tiga fokus:
3P, singkatan dari profit, planet dan people. Perusahaan yang baik tidak hanya
memburu keuntungan ekonomi belaka (profit) melainkan pula memiliki kepedulian
terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people).
2. Terdapat dua jenis konsep CSR, yaitu dalam pengertian luas dan dalam pengertian
sempit. CSR dalam pengertian luas, berkaitan erat dengan tujuan mencapai
kegiatan ekonomi berkelanjutan (sustainable economic activity). Keberlanjutan
kegiatan ekonomi bukan hanya terkait soal tanggungjawab sosial tetapi juga
menyangkut akuntabilitas (accountability) perusahaan terhadap masyarakat dan
bangsa serta dunia internasional.
3. CSR bukan saja sebagai tanggung jawab, tetapi juga sebuah kewajiban. CSR
adalah suatu peran bisnis dan harus menjadi bagian dari kebijakan bisnis.
Maka,bisnis tidak hanya mengurus permasalahan laba , tapi juga sebagai sebuah
institusi pembelajaran. Bisnis harus mengandung kesadara
terhadap lingkungan sekitar.

m n sosial

4. Isu dari adanya pembangunan berkelanjutan mengemuka di dunia ketika adanya


Brundtland Report pada tahun 1980, semakin diintensifkan dengan Konferensi
PBB mengenai Lingkungan Hidup dan Pembangunan di Rio de Janeiro tahun
1992.
5. Pengelolaan lingkungan termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan dan
pencemaran serta pemulihan kualitas lingkungan telah menuntut dikembangkannya
berbagai perangkat kebijakan dan program serta kegiatan yang didukung oleh
sistem pendukung pengelolaan lingkungan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Kartasasmita, G. (1996). Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan
Pemerataan. Jakarta: PT. Pustaka CIDESINDO.
Kotler, P., & Nance, L. (2005). Corporate Social Responsibility: Doing The Most
Good for Your Company and Your Cause: John Wiley & Sons Inc.
Rahmat, G.
(2009).
Corporate
Social
Responsibility.
Retrieved
from
www.ginooo.wordpress.com
Sulistyaningtyas, I. D. (2006). Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Program
Kampanye Sosial. Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol. 3 No. 1, 63-76.
Widjaja, G., & Yani, A. (2006). Perseroan Terbatas. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Widjaja, G., & Yeremia, A. P. (2008).Risiko Hukum dan Bisnis Perusahaan
Tanpa CSR. Jakarta: Forum Sahabat
John Elkington, Cannibals with Forks,The Triple Bottom Line of Twentieth Century
Business, dikutip dari Teguh Sri Pembudi, CSR, Sebuah Keharusan dalam Investasi Sosial,
Pusat Penyuluhan Sosial (PUSENSOS) Departemen Sosial RI, Jakarta, La Tofi Enterprise,
2005.
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional,
Binacipta, Bandung
Roscoe Pound dalam Mas Soebagio dan Slamet Supriatna, Dasar-Dasar Filsafat, Suatu
Pengantar ke Filsafat Hukum, Akademika Presindo, Jakarta, 1992
Sonny A . Keraf, Etika BIsnis : Tuntutan dan Relevansinya, Yogyakarta, Kanisius, 1998,
B. Jurnal, Tulisan Ilmiah dan Makalah
Gurvy Kavei dalam Teguh , Tanggung Jawab Sosial Harus Dilakukan, Makalah pada
seminar Corporate Social Responsibility: Integrating Social Acpect into The Business,
Yogyajarta, 2006.
Suprapto, Siti Adipringadi Adiwoso, 2006, Pola Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Lokal di Jakarta, Galang vol. 1 No. 2, Januari 2006.

C. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
D. Situs
http://www.scribd.com/doc/39325003/Makalah-CSR
http://wayangputra.blogspot.com/2012/11/pengertian-corporate-social.html
http://www.mediaqitafoundation.org/CSR.html
http://achmadsaerozi.wordpress.com/2011/10/17/corporate-social-responsibility-csr/

Vous aimerez peut-être aussi