Vous êtes sur la page 1sur 18

LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT

Leukimia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari seri mieloid. Bila
tidak diobati, penyakit ini akan mengakibatkan kematian secara cepat dalam waktu beberapa
minggu sampai bulan sesudah diagnosis. Sebelum tahun 1960 pengobatan LMA terutam
bersifat paliatif, tetapi sejak sekitar 40 tahun yang lalu pengobatan penyakit ini berkembang
secara cepat dan dewasa ini banyak pasien LMA yang dapat disembuhkan dari penyakitnya.
Kemajuan pengobatan LMA ini dicapai dengan regimen kemoterapi yang lebih baik,
kemoterapi dosis tinggi dengan dukungan cangkok sumsum tulang dan terapi suportif yang
lebih baik seperti antibiotik generasi baru dan transfusi komponen darah untuk mengatasi
efek samping pengobatan. (Sudoyo, 2009).
Etiologi
Pada sebagian besar kasus, etiologi dari LMA tidak diketahui. Meskipun demikian ada
beberapa faktor yang diketahui dapat menyebabkan atau setidaknya menjadi faktor
prediposisi LMA pada populasi tertentu. Benzene, suatu senyawa kimia yang banyak
digunakan pada insidens penyamakan kulit di negara berkembang, diketahui merupakan zat
leukomogenik untuk LMA. Selain itu radiasi ionik juga diketahui dapat menyebabkan LMA.
Ini diketahui dari penelitian tentang tingginya insidensi kasus leukemia, termasuk LMA, pada
orang-orang yang selamat bom atom di Hirosima dan Nagasaki pada 1945. Efek
leukomogenik dari paparan ion radiasi tersebut mulai tampak sejak 1,5 tahun sesudah
pengeboman dan mencapai puncaknya 6 atau 7 tahun sesudah pengeboman. Faktor lain yang
diketahui sebagai predisposisi untuk LMA adalah trisomi kromosom 21 yang dijumpai pada
penyakit herediter sindrom down. Pasien Sindrom Down dengan trisommi kromosom 21
mempunyai resiko 10 hingga 18 kali lebih tinggi untuk menderita leukemia, khususnya LMA
tipe M7. Selain itu pada beberapa pasien sindrom genetik seperti sindrom bloom dan anemia
Fanconi juga diketahui mempunyai resiko yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi
normal untuk menderita LMA (Sudoyo, 2009).
Faktor lain yang dapat memicu terjadinya LMA adalah pengobatan dengan kemoterapi
sitotoksik pada pasien tumor padat. LMA akibat terapi adalah komplikasi jangka panjang
yang serius dari pengobatan limfoma, mieloma multipel, kanker payudara, kanker ovarium,
dan kanker testis. Jenis terapi yang paling sering memicu timbulnya LMA adalah golongan
alkylating agent dan topoisomerase II inhibitor (Sudoyo, 2009).

Patogenesis
Patogenesis utama LMA adalah adanya blokade maturitas yang menyebabkan proses
diferensiasi sel-sel seri mieloid terhenti pada sel-sel muda (blast) dengan akibat terjadi
akumulasi blast di sumsum tulang. Akumulasi Blast di dalam sumsum tulang akan
menyebabkan gangguan hematopoesis normal dan pada gilirannya akan mengakibatkan
sindrom kegagalan sumsum tulang (bone marrow failure syndrome) yang ditandai dengan
adanya sitopenia (anemia, leukopeni, trombositopeni). Adanya anemia akan menyebabkan
pasien mudah lelah dan pada kasus yang lebih berat akan sesak nafas, adanya
trombositopenia akan menyebabkan tanda-tanda perdarahan, sedang adanya leukopenia akan
menyebabkan pasien rentan terhadap infeksi, termausk infeksi oportunis dari flora normal
bakteri yang ada di dalam tubuh manusia. Selain itu, sel-sel blast yang terbentuk juga punya
kemampuan untuk migrasi keluar sumsum tulang dan berinfiltrasi ke organ-organ lain seperti
kulit, tulang, jaringan lunak dan sistem syaraf pusat dan merusak organ-organ tersebut
dengan segala akibatnya (Sudoyo, 2009).
Sel ganas pada AML myeloblast tersebut. Dalam hematopoiesis normal, myeloblast
merupakan prekursor belum matang myeloid sel darah putih, sebuah myeloblast yang normal
secara bertahap akan tumbuh menjadi sel darah dewasa putih. Namun, dalam AML, sebuah
myeloblast tunggal akumulasi perubahan genetik yang "membekukan" sel dalam keadaan
imatur dan mencegah diferensiasi.Seperti mutasi saja tidak menyebabkan leukemia, namun
ketika seperti "penangkapan diferensiasi" dikombinasikan dengan mutasi gen lain yang
mengganggu pengendalian proliferasi, hasilnya adalah pertumbuhan tidak terkendali dari
klon

belum

menghasilkan

sel,

yang

mengarah

ke

entitas

klinis

AML.

Sebagian besar keragaman dan heterogenitas AML berasal dari kenyataan bahwa
transformasi leukemia dapat terjadi di sejumlah langkah yang berbeda di sepanjang jalur
diferensiasi. Skema klasifikasi modern untuk AML mengakui bahwa karakteristik dan
perilaku dari sel leukemia (dan leukemia) mungkin tergantung pada tahap di mana
diferensiasi dihentikan (Hoffbrand, 2005).
Spesifik sitogenetika kelainan dapat ditemukan pada banyak pasien dengan AML,
jenis kelainan kromosom sering memiliki makna prognostik. Para translokasi kromosom
yang abnormal menyandikan protein fusi, biasanya faktor transkripsi yang mengubah sifat
dapat

menyebabkan

"penangkapan

diferensiasi."

Sebagai

contoh,

pada

leukemia

promyelocytic akut, t (15; 17) translokasi menghasilkan protein fusi PML-RAR yang

mengikat ke reseptor unsur asam retinoat dalam beberapa promotor myeloid-gen spesifik dan
menghambat diferensiasi myeloid. Klinis tanda dan gejala hasil AML dari kenyataan bahwa,
sebagai klon leukemia sel tumbuh, ia cenderung untuk menggantikan atau mengganggu
perkembangan sel-sel darah normal dalam sumsum tulang. Hal ini menyebabkan neutropenia,
anemia, dan trombositopenia (Hoffbrand, 2005).

Gejala klinis
Berbeda dengan anggapan umum selama ini, pada pasien LMA tidak selalu dijumpai
leukositosis.

Leukositosis

terjadi

pada

sekitar

50%

kasus

LMA,

sedang

15%

pasien mempunyai angka leukosit yang normal dan sekitar 35% mengalami netropenia.
Meskipun demikian, sel-sel blast dalam jumlah yang signifikan di darah tepi akan ditemukan
pada 85% kasus LMA. Oleh karena itu sangat penting untuk memeriksa rincian jenis sel-sel
leukosit di darah tepi sebagai pemeriksaan awal, untuk menghindari kesalahan diagnosis pada
orang yang diduga menderita LMA (Sudoyo, 2009).
Tanda dan gejala utama LMA adalah adanya rasa lelah, perdarahan dan infeksi yang
disebabkan oleh sindrom kegagalan sumsum tulang sebagaimana telah disebutkan di atas.
Perdarahan biasanya terjadi dalam bentuk purpura atau petekia yang sering dijumpai di
ekstremitas bawah atau berupa epistaksis, perdarahan gusi dan retina. Perdarahan yang lebih
berat jarang terjadi kecuali pada kasus yang disertai dengan DIC. Kasus DIC ini pling sering
dijumpai pada kasus LMA tipe M3. Infeksi sering terjadi di tenggorokan, paru-paru, kulit dan
daerah peri rektl, sehingga organ-organ tersebut harus diperiksa secara teliti pada pasien
LMA dengan demam (Sudoyo, 2009).
Pada pasien dengan angka leukosit yang sangat tinggi (lebih dari 100 ribu/mm3), sering
terjadi leukositosis, yaitu gumpalan leukosit yang menyumbat aliran pembuluh darah vena
maupun arteri. Gejala leukositosis sangat bervariasi, tergantung lokasi sumbatannya. Gejala
yang sering dijumpai adalah gangguan kesadaran, sesak nafas, nyeri dada dan priapismus
(Sudoyo, 2009).
Infiltrasi sel-sel blast akan menyebabkan tanda/gejala yang bervariasi tergantung organ
yang di infiltrasi. Infiltrasi sel-sel blast di kulit akan menyebabkan leukemia kutis yaitu
berupa benjolan yang tidak berpigmen dan tanpa rasa sakit, sedang infiltrasi sel-sel blast di
jaringan lunak akan menyebabkan nodul di bawah kulit (kloroma). Infiltrasi sel-sel blast di

dalam tulang akan meninbulkan nyeri tulang yang spontan atau dengan stimulasi ringan.
Pembengkakkan gusi sering dijumpai sebagai manifestasi infiltrasi sel-sel blast ke dalam
gusi. Meskipun jarang, pada LMA juga dapat dijumpai infiltrasi sel-sel blast ke daerah
menings dan untuk penegakan diagnosis diperlukan pemeriksaan sitologi dari cairan serebro
spinal yang diambil melalui prosedur pungsi lumbal (Sudoyo, 2009).
Diagnosis
Secara klasik diagnosis LMA ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik, morfologi sel
dan pengecatan sitokimia. Seperti sudah disebutkan, sejak sekitar dua dekade tahun yang lalu
berkembang 2 (dua) teknik pemeriksaan terbaru: immunophenotyping dan analisis sitogenik.
Berdasarkan pemeriksaan morfologi sel dan pengecatan sitokimia, gabungan ahli hematologi
Amerika, Perancis dan Inggris pada tahun 1976 menetapkan klasifikasi LMA yang terdiri dari
8 subtipe (M0 sampai dengan M7). Klasifikasi ini dikenal dengan nama klasifikasi FAB
(French American British). Klasifikasi FAB hingga saat ini masih menjadi diagnosis dasar
LMA. Pengecatan sitokimia yang penting untuk pasien LMA adalah Sudan Black B (SSB)
dan mieloperoksidase (MPO). Kedua pengecatan sitokimia tersebut akan memberikan hasil
positif pada pasien LMA tipe M1, M2, M3, M4, dan M6 (Sudoyo, 2009).

Pertama, tes darah dilakukan untuk menghitung jumlah setiap jenis sel darah yang
berbeda dan melihat apakah mereka berada dalam batas normal. Dalam AML, tingkat sel
darah merah mungkin rendah, menyebabkan anemia, tingkat-tingkat platelet mungkin rendah,
menyebabkan perdarahan dan memar, dan tingkat sel darah putih mungkin rendah,
menyebabkan infeksi (Bakta, 2006).
Biopsi sumsum tulang atau aspirasi (penyedotan) dari sumsum tulang mungkin
dilakukan jika hasil tes darah abnormal. Selama biopsi sumsum tulang, jarum berongga
dimasukkan ke tulang pinggul untuk mengeluarkan sejumlah kecil dari sumsum dan tulang
untuk pengujian di bawah mikroskop. Pada aspirasi sumsum tulang, sampel kecil dari
sumsum tulang ditarik melalui cairan injeksi (Bakta, 2006).
Pungsi lumbal, atau tekan tulang belakang, dapat dilakukan untuk melihat apakah
penyakit ini telah menyebar ke dalam cairan cerebrospinal, yang mengelilingi sistem saraf
pusat atau sistem saraf pusat (SSP) - otak dan sumsum tulang belakang. Tes diagnostik
mungkin termasuk flow cytometry penting lainnya (dimana sel-sel melewati sinar laser untuk
analisa), imunohistokimia (menggunakan antibodi untuk membedakan antara jenis sel

kanker), Sitogenetika (untuk menentukan perubahan dalam kromosom dalam sel), dan studi
genetika molekuler (tes DNA dan RNA dari sel-sel kanker) (Bakta, 2006).
Penyakit Leukemia dapat dipastikan dengan beberapa pemeriksaan, diantaranya adalah ;
Biopsy, Pemeriksaan darah {complete blood count (CBC)}, CT or CAT scan, magnetic
resonance imaging (MRI), X-ray, Ultrasound, Spinal tap/lumbar puncture (Bakta, 2006).

Kelainan hematologis
Anemia dengan jumlah eritrosit yang menurun sekitar 1-3 x 106/mm3.
Leukositosis dengan jumlah leukosit antara 50-100 x 10 3 /mm3. Leukosit yang ada dalam
darah tepi terbanyak adalah myeloblas.
Trombosit jumlah menurun. Mieloblas yang tampak kadang-kadang mengandung badan
auer suatu kelainan yang pathogonomis untuk LMA.

Sumsum tulang hiperseluler karena mengandung mieloblas yang masif, sedang


megakariosit dan pronormoblas dijumpai sangat jarang. Kelainan sumsum tulang ini sudah
akan jelas meskipun myeloblas belum tampak dalam darah tepi. Jadi kadang-kadang
ditemukan kasus dengan pansitopenia perifer akan tetapi sumsum tulang sudah jelas
hiperseluler karena infiltrasi dengan myeloblas. Kadan-kadang ditemukan Auer body
dalam mieloblas. Kadang manifestasi pertama sebagai eritroleukemia (ploriferasi eritroblas
dan mieloblas dalam sumsum tulang) yang berlangsung beberapa bulan/tahun sebelum
gambaran mieloblastiknya menjadi jelas benar (Price, 2006).

Diagnosis banding
Leukemia mieloblastik akut harus dibuat diagnosa banding dan semua leukemia akut
dan anemia aplastik. Apabila ditemukan Auer body maka diagnosabandin g tidak sulit
ditegakkan, oleh karena kelainan ini patogonomis untuk leukemia mieloblastik akut (Sudoyo,
2009).
Apabila tidak ditemukan Auer body maka harus dikerjakan reaksi peroksidase dimana
pada mieloblas pereksidase akan positif.

Anemia aplastik dengan mieloblastik akut yang alekemik di bedakan atas dasar
pemeriksaan sumsum tulang. Secara klinis endokarditis bakterialis mirip leukemia
mieloblastik akaut karena adanya febris, anemi, splenomegali, dan ptechiae. Tentu adanya
riwayat penyakit jantung, splenomegali yang lebih besar dan tidak adanya kelainan pada gusi
dapat membedakan kedua keadaan ini.
Anemia pernisiosa yang disertai splenomegali dan ptechiae dapat menyerupai
leukemia mieloblastik akut. Pada anemia pernisiosa biasanya pasien tidak tampak sakit berat,
terdapat ikterus dan tidak ada kelainan pada gusi.

Komplikasi
Dua macam komplikasi yang sering bersifat fatal yaitu perdarahan serebelar dan
infeksi. Komplikasi yang jarang terjadi adalah keluhan akibat tekanan oleh suatu tumor
leukemia.
Penatalaksanaan
Perbaiki keadaan umum yaitu : anemia diberikan tranfusi darah dengan PCR (Packed red
cell) atau darah lengkap. Trombositopeni yang mengancam diatasi dengan transfusi konsetrat
trombosit. Apa bila ada infeksi diberikan antibiotika yang adekwat. Terapi spesifik seperti
terapi leukemia pada umumnya dimulai dengan tahap induksi dengan : Doxorubicin 40
mg/mm2 berat badan hari 1-5. Dilanjutkan denagan Ara C 100 mg IV, tiap 12 jam hari 1-7.
Untuk pasien usia di atas 50 tahun dosis dikurangi dengan Adriamycin hanya 3 hari dan Ara
C 5 hari. Obat pengganti adriamycin adalah Farmorubicin. Dilakukan evaluasi klinis dan
hematologis. Pemeriksaan sumsum tulang pada akhir mimggu ketiga. Apabila tidak terjadi
remisi atau remisi hanya bersifat parsiil maka terapi harus diganti dengan regimen lain
(Bakta, 2006).
Apabila terjadi remisi lengkap (klinis dan hematologis) maka dimulai tahap konsolidasi.
Pada tahap ini diberikan doxorubicin 40 mg/mm2 hari 1-2 dan Ara C 1-5. Refimen ini
diberikan 2 kali dengan interval 4 minggu (Bakta, 2006).
Apabila keadaan memungkinkan maka diberikan cangkok sumsum tulang pada saat
terjadi remisi lengkap. (Bakta, 2006).

Terapi standar adalah kemoterapi induksi dengan regimen sitarabin dan daunorubisin
dengan protokol sitarabin 100 mg/m2 diberikan secara infus kontinyu selama 7 hari dan
daunorubisin 45-60 mg/m2/hari iv selama 3 hari. Sekitar 30-40% pasien mengalami remisi
komplit dengan terapi sitarabin dan dounorubisin yang diberikan sebagai obat tunggal,
sedangkan bila diberikan sebagai obat kombinasi remisi komplit dicapai oleh lebih dari 60%
pasien (Bakta, 2006).
Prognosis
Dengan terapi agresif, 40 -50 % penderita yang mencapai remisi akan hidup lama (3040% angka kesembuhan keseluruhan). Penderit yang mengalami relaps setelah mendapat
kemoterapi atau transplantasi autolog dapat diterapi dengan CST allogenetik sebagai terapi
penyelamatan. Beberapa subtipe morfologi atau genetik LMA mempunyai prognosis lebih
baik (Bakta, 2006).

LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT


Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) adalah suatu keganasan pada sel-sel prekursor limfoid,
yakni sel darah yang nantinya akan berdiferensiasi menjadi limfosit T dan limfosit B. LLA ini
banyak terjadi pada anak-anak yakni 75%, sedangkan sisanya terjadi pada orang dewasa.
Lebih dari 80% dari kasus LLA adalah terjadinya keganasan pada sel T, dan sisanya adalah
keganasan pada sel B. Insidennya 1 : 60.000 orang/tahun dan didominasi oleh anak-anak usia
< 15 tahun, dengan insiden tertinggi pada usia 3-5 tahun (Sudoyo, 2009).
Etiologi
Sampai saat ini LLA belum diketahui penyebabnya, alias idiopatik. Akan tetapi para peneliti
telah mengemukakan beberapa teori kemungkinan penyebab LLA ini. Ada dua teori, yaitu
genetik dan lingkungan.
a. Genetik, seperti pada penderita Sindrom Down dan Wiskott Aldrich yang juga
mengalami leukemia.
b. Lingkungan, yakni ada beberapa hal yang mendasari teori ini, diantaranya: (1) radiasi
ionik, seperti pasca pemboman Hiroshima-Nagasaki di Jepang, insiden leukemia
meningkat tajam; (2) bahan kimia, seperti senyawa benzena; (3) kebiasaan merokok;

(4) obat-obat kemoterapi; (5) infeksi virus semisal virus EBV; dan lain-lain (Sudoyo,
2009).
Patogenesis dan Patofisiologi
Pada pasien LLA terjadi proliferasi patologis sel-sel limfoid muda di sumsum tulang. Ia akan
mendesak sistem hemopoietik normal lainnya, seperti eritropoietik, trombopoietik dan
granulopoietik, sehingga sumsum tulang didominasi sel blast dan sel-sel leukemia hingga
mereka menyebar (berinfiltrasi) sampai ke darah tepi dan organ tubuh lainnya.
Kelainan sitogenetik yang sering ditemukan, teruatama pada pasien dewasa adalah: t(9;22)/
translokasi kromosom 9 dan 22/ fusi gen BCR-ABL/ kromosom philadelphia (CML); atau
t(4;11)/ translokasi kromosom 4 dan 11/ ALL1-AF4. Jika terjadi translokasi semacam ini
maka ia akan mengaktifkan jalur proliferasi dan pertumbuhan sel secara abnormal sehingga
terjadi leukemia. Kelainan yang lain bisa pada karyotipe hipdiploid dan t(10;14), atau karena
hilangnya atau inaktivnya gen supresor tumor seperti p16 dan p15, Rb dan p53 (Sudoyo,
2009).
Klasifikasi
Berdasarkan sistem French-American-British (FAB), LLA dibagi menjadi 3 tipe:
1.

L1, ditandai dengan sel blast yang berukuran kecil, homogen (relatif sama besar),
dengan sitoplasma sel yang sedikit dan nukleoli (anak inti) yang samar/ tidak jelas. L1 ini
adalah LLA yang paling banyak terjadi dibanding jenis LLA lainnya, dan pada umumnya
terjadi pada anak-anak.

2.

L2, ditandai dengan sel blast yang berukuran lebih besar, heterogen (tidak seragam),
nukleolinya terlihat jelas dan rasio inti-sitoplasmanya rendah. Biasanya LLA tipe ini
terjadi pada orang dewasa.

3.

L3, ditandai dengan sel blast yang besar, sitoplasmanya bervakuol, dan terlihat pekat
(basofilik). Prognosisnya buruk akan tetapi insidennya sedikit (Sudoyo, 2009)

Gambaran Klinis
Pada pasien LLA akan terlihat tanda-tanda anemia seperti pucat, lelah, lesu, kemudian
anoreksia, osteoartritis akibat infiltrasi sel leukemi ke sumsum tulang, demam, infeksi akibat

penurunan daya tahan tubuh akibat aktifitas sel limfosit yang tidak normal, perdarahan kulit,
gusi, hematuria, perdarahan saluran cerna, hingga perdarahan otak. Selain itu ditemukan juga
hepatomegali, splenomegali, limfadenopati, dan massa di mediastinum (Sudoyo, 2009).
Diagnosis dan Diagnosis Banding
Untuk menegakkan diagnosis LLA, tetap dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan lab yang meliputi: Hitung darah lengkap, sediaan apus darah tepi, kadar
fibrinogen, kimia darah, golongan darah dan HLA (human leukocyte antigen). Bisa juga
dilakukan pemeriksaan foto toraks, punksi lumbal dan aspirasi serta biopsi sumsum tulang
untuk diagnosis pastinya. Sementara untuk diagnosis banding, LLA perlu dibedakan dengan
limfositosis murni, limfadenopati, hepatosplenomegali akibat infeksi, dan anemia aplastik.
Gambaran Laboratorium
Untuk hitung darah lengkap dan apusan darah tepi, biasanya ditemukan kadar leukosit
meningkat drastis, tetapi bisa juga normal dan bahkan menurun. Hb dan trombosit turun
hingga dibawah normal, dan terdapat sel blast di darah tepi yang bervariasi, mulai dari 0100%.
Penampakan llimfoblast pada apusan darah tepi
Untuk aspirasi dan biopsi sumsum tulang, ditemukan gambaran hiperseluler dengan
peningkatan limfoblas. Hasil pemeriksaan sitokimia akan negatif pada pewarnaan Sudan
Black dan Mieloperoksidase (senyawa yang digunakan untuk mewarnai granul, agar dapat
dibedakan antara sel limfoblas dan mieloblas yang strukturnya hampir mirip, akan tetapi sel
limfoblas tidak bergranul sehingga hasilnya negatif). Untuk membedakan apakah
keganasannya terdapat pada sel B atau sel T, bisa dilakukan pemeriksaan dengan senyawa
fosfatase asam (positif pada sel T ganas), atau Periodic Acid Schiff (PAS) (Positif pada sel B
ganas). Selain itu bisa juga dilakukan pemeriksaan imunofenotip dan sitogenetik untuk
membedakan apakah keganasannya terjadi di sel T atau sel B.
Terapi
Untuk penatalaksanaannya, terlebih dahulu perlu diperhatikan beberapa kondisi sebagai
berikut:
a. kondisi metabolik, perlu diperhatikan juga pada pasien LLA ini apabila terjadi
hiperurisemia, hiperfosfatemia atau hipokalsemia sekunder yang sebelumnya harus

diterapi dulu dengan hidrasi intravena, alkalinisasi urin atau pemberian alupurionol
untuk mencegah akumulasi asam urat.
b. infeksi, akibat imunosupresi. Perlu diberi pencegahan terhadap agen infeksi
berbahaya seperti virus herpes, pneumoni, dsb.
c. kondisi hematologik, dimana terjadi anemia dan trombositopenia. Perlu juga diberi
tranfusi jika kondisinya memang sangat buruk, kecuali pada pasien yang
hiperleukositosis (leukosit > 100.000/mm3) karena bisa meningkatkan viskositas
darah secara mendadak dan mempresipitasi leukostasis (Sudoyo, 2009).
Terapi utama untuk LLA ada 4:
a. Terapi induksi remisi. Gunanya untuk mengeliminasi/ eradikasi sel-sel leukemia yang
bisa dideteksi secara morfologi di dalam darah dan sumsum tulang, kemudian agar
hematopoiesis kembali normal. Bisa digunakan obat seperti prednison, vinkristin,
daunorubisin dan lain-lain.
b. Terapi konsolidasi atau intensifikasi. Gunanya untuk benar-benar melibas habis sel-sel
leukemia yang tersisa setelah pemberian terapi induksi, agar tidak terjadi relaps.
c. Profilaksis sistem saraf pusat, untuk mencegah relaps.
d. Maintenance/ pemeliharan jangka panjang. Bisa dengan preparat 6-merkaptopurin
tiap hari dan metotreksat setiap minggu selama 2-3 tahun.
Keempat terapi utama di atas menggunakan obat-obat yang bisa disesuaikan dengan
protokol yang digunakan. Ada beberapa protokol pengobatan yang tersedia, seperti
Protokol OPAL, Hyper-CVAD, LALA 87, CALGB, dan lain-lain (Sudoyo, 2009).
Terapi lain yang bisa diberikan adalah terapi suportif, seperti anti infeksi, pemberian nutrisi
yang cukup, dukungan psikologi, dan pemantauan kondisi komponen darah secara rutin.
Kemudian ada juga terapi sitostatik seperti radiasi tapi sekarang tidak digunakan lagi. Cara
lain adalah dengan transplantasi sumsum tulang pada pasien yang mempunyai risiko tinggi
untuk relaps, misalkan pasien dengan kromosom Philadelphia, perubahan susunan gen MLL
(salah satu jenis gen yang terlibat dalam pemeliharaan epigenetik memori transkripsi)
hiperleukositosis, dan gagal mencapai remisi komplit dalam waktu 4 minggu (Sudoyo, 2009).
Prognosis
Prognosis LLA untuk pasien dewasa biasanya lebih buruk dari yang berusia lebih muda.
Untuk yang berusia 15-20 tahun prognosisnya baik dan bisa sembuh dengan kemoterapi jika

disertai faktor prognostik yang baik. Tapi pada pasien LLA dewasa sebenarnya juga
tergantung dari intensifnya terapi yang diberikan, seperti transplantasi sumsum tulang. Untuk
usia > 60 tahun prognosisnya agak buruk, karena survival ratenya biasanya hanya 10%
setelah remisi komplit (Sudoyo, 2009).
Untuk faktor prognostiknya adalah sebagai berikut:
1.

Usia >30 tahun > buruk.

2.

Jumlah leukosit >30.000/mm3 > buruk

3.

Immunofenotip:

T-cell ALL > baik;

Mature B-cell ALL, early T-cell ALL > buruk

4.

Sitogenetik:

Kelainan 12 p; t(10;14)(a24;q11) > baik

normal; hiperdiploid > sedang

t(9;22), t(4;11), t(1;19), hipodiploid, -7, +8 > buruk

5.

Respon terapi

remisi komplit dalam 4 minggu > baik

minimal residual disease persisten > buruk

LEUKEMIA LIMFOSITIK KRONIK


Leukemia limfositik kronik adalah suatu keganasan hematologik yang ditandai oleh
proliferasi klonal dan penumpukan limfosit B neoplastik dalam darah, sumsum tulang,
limfonodi, limpa, hati, dan organ lain.
Etiologi
Penyebab LLK belum diketahui. Kemungkinan yang berperan adalah abnormalitas
kromosom, onkogen, dan retrovirus (RNA tumour virus). Penelitian awal menunjukkan
keterlibatan gen bcl-1 dan bcl-2 pada 5-15% pasien, sedangkan gen bcl-3 hanya kadangkadang terlibat. Protoonkogen lcr dan c-fgr, yang menkode protein kinase tirosin
diekspresikan pada limfosit yang terkena LLK tetapi tidak pada sel B murni yang normal.

Saat ini pada pasien LLK didapatkan delesi homozigot dan region genom telomerik gen
retinoblastoma tipe-1 d13s25. Hal ini menunjukkan bahwa adanya gen suppressor tumor baru
terlibat dalam LLK (Sudoyo, 2009).
Patogenesis
Sel B darah tepi normal adalah subpopulasi limfosit B CD5+ matur (sama dengan sel
B-1a) yang terdapat pada zona mantel limfonodi dan dalam jumlah kecil di darah. Sel B LLK
mengekpresikan immunoglobulin membrane permukaan yang umumnya rendah kadarnya,
kebanyakan IgM, IgD dibandingkan sel B darah tepi normal, dan single light chain (kappa
dan lambda). Juga mengekspresi antigen T CD5, antigen HLA-DR dan antigen B (CD19 dan
CD20) mempunyai reseptor untuk sel darah tikus, dan menghasilkan autoantibodi polireaktif
(Sudoyo, 2009).
Ekpresi gen VH dan VL terbatas pada sel-sel tersebut. Berdasarkan karakteristik
tersebut, LLK kemungkinan merupakan suatu proses bertahap, dimulai dengan ekspansi
poliklonal yang ditimbulkan oleh antigen terhadap limfosit B CD5+ yang dibawah pengaruh
agen mutasi pada akhirnya ditransformasi menjadi proliferasi monoklonal. Limfosit B CD5+
neoplastik mengumpul akibat hambatan apoptosis (kematian sel terprogram) (Sudoyo, 2009).
Meskipun gen bcl-2 jarang mengalami translokasi , tetapi terus menerus diekspresikan
secara berlebihan, yang mengakibatkan bertambah panjangnya kelangsungan hidup sel LLK.
Selain itu sitokin terlibat dalam pengaturan pertumbuhan dan sel-sel tersebut. Pada LLK,
TNF alfa dan IL-10 berperan sebagai growth factor. Dalam perjalanan penyakit, ekspresi
berlebihan CD38, onko gen c-myc, delesi gen RB-1, dan mutasi gen supresor tumor p53 juga
terjadi (Sudoyo, 2009).
Sekitar 55% pasien LLK mempunyai abnormalitas sitogenik, khususnya trisomi 12,
kelainan kromosom 13 pada lajur q14 (lokasi gen supresor RB-1), 14q+, delesi kromosom 6
dan kromosom 11. Hal ini baik dideteksi melalui fluoresensi in situ, hibridisasi dibandingkan
analisis sitogenik konvensional. Belum jelas makna kelainan tersebut pada tingkat molekuler
(Sudoyo, 2009).
Kelainan kariotipik bertambah pada LLK stadium lanjut dan menunjukkan
abnormalitas yang didapat. Evolusi kariotipik umumnya berhubungan dengan perjalanan
penyakit, terjadi pada 15-40% pasien LLK (Sudoyo, 2009).
Manifestasi klinis

Pada awal diagnosis, kebanyakan pasien LLK tidak menimbulkan gejala,. Pada pasien
dengan gejala, paling sering ditemukan limfadenopati generalisata, penurunan berat badan
dan kelelahan. Gejala lain meliputi hilangnya nafsu makan dan penurunan kemampuan
latihan/ olahraga. Demam, keringat malam dan infeksi jarang terjadi pada awalnya, tetapi
semakin mencolok sejalan dengan perjalanan penyakitnya. Akibat penumpukan sel B
neoplastik, pasien yang asimptomatik pada saat diagnosis pada akhirnya akan mengalami
limfadenopati, splenomegali, dan hepatomegali (Mehta, 2008).
Hasil pemeriksaan fisis
20-30% pasien tidak menunjukkan kelainan fisik. Kelainan fisik yang dijumpai adalah
limfadenopati. Sekitar 50% pasien mengalami limfadenopati dan/atau hepatosplenomegali.
Pembesaran limfonodi dapat terlokalisir atau merata dan bervariasi dalam ukuran.
Splenomegali dan/atau hepatomegali ditemukan pada 25-50% kasus. Infiltrasi pada kulit,
kelopak mata, jantung, pleura, paru, dan saluran cerna umumnya jarang, dan timbul pada
akhir perjalanan penyakit. Sejalan dengan perjalanan penyakit, limfadenopati massif dapat
menimbulkan obstruksi lumen termasuk ikterus obstruktif, disfagia uropati obstruktif, edema
ekstremitas bawah, dan obtruksi usus parsial. Timbulnya efusi pleura atau asites berhubungan
dengan prognosis yang buruk (Sudoyo, 2009).
Kriteria Diagnosis
Tanda patognomonik LLK adalah peningkatan jumlah leukosit dengan limfositosis
kecil sekitar 95%. Untuk menegakkan diagnosis, sebaiknya dilakuakan pemeriksaan
gambaran darah tepi secara hati-hati dan cermat. Gambaran darah tepi tampak limfositosis
dengan gambaran limfositosis kecil matur dan smudge cell yang dominan; imunofenotip khas
limfosit (CD5+, CD19+, CD20+, CD23+, FMC7-/+, dan CD22-/+); dan infiltrasi limfosit ke
sumsum tulang bervariasi dalam 4 gambaran yaitu interstisial (33%), nodular (10%),
campuran intertisial dan nodular (25%) serta infiltrasi difus (25%). Meskipun telah
didapatkan limfositosis dan infiltrasi limfosit ke sumsum tulang belum berarti pasti LLK.
LLK dapat didiagnosis jikan ditemukan peningkatan absolute limfosit didalam darah
(>5000/uL) dan morfologi dan imunofenotipnya menunjukkan gamabaran khas.
Klasifikasi France-America-British (FAB), membagi tiga tipe morfologi berdasarkan
perbandingan limfosit atipikal didalam darah, yaitu:
1) LLK tipikal terdiri dari 90% limfosit kecil
2) LLK tipe prolimfositik (sel prolimfositik 11-54%)

3) LLK atipikal yang ditandai dengan morfologi sel limfosit yang heterogen tetapi
proporsi prolimfosit kurang dari 10%
Kriteria ini tidak selalu menetap. Pada kasus LLK atipikal, gangguan limfoproliferatif
lainnya harus dipertimbangkan dulu sebelum membuat diagnosis LLK atipikal; oleh
karena itu analisis imunofenotip sel B neoplastik, data sitogenetik dan molecular dapat
bermanfaat (Sudoyo, 2009).
Stadium

Tabel 1 Stadium LLK menurut RAI


Stadiu
m

Median
Gejala klinis dan laboratorium

survival
(bulan)

O
I
II

III

IV

Limfositosis darah tepi dan sumsum


tulang
Limfositosis + pembesaran limfonodi
Limfositosis splenomegali/
hepatomegali
Limfositosis + anemia
(Hb<11gram/dl)
Limfositosis dan trombositopenia
(trombosit < 100.000/uL)

>150
101
>71

19

19

(Sudoyo, 2009)

Tabel 2 Stadium LLK menurut Binet


Stadiu
m

Median
Gejala klinis dan laboratorium

survival
(bulan)

Limfositosis darah tepid an sumsum


tulang + <3 daerah limfoid yang

>7

membesar
Limfositosis darah tepid an sumsum
B

tulang + 3 daerah limfoid yang

<5

membesar
Stadium B + anemia (Hb < 11g/dl
C

pada pria dan <10 g/dl pada


perempuan atau trombositopenia

<2

(<100.000/uL)
(Sudoyo, 2009)

Diagnosis Banding
Adapun diagnosis banding dari LLK adalah:
a. Leukemia granulositi/mielositik kronik
b. Hairy cell leukemia

Komplikasi
a. Infeksi
b. Hipogamaglobulinemia
c. Transformasi menjadi keganasan limfoid yang agresif
d. Komplikasi akibat penyakit autoimun
e. Keganasan sekunder
Penatalaksanaan
Diagnosis LLK tidak menandakan perlunya pengobatan. Saat ini tidak terdapat terapi
kuratif LLK. Tujuan terapi pada kebanyhakan pasien LLK adalah meredakan gejala dan
memperpanjang kelangsungan hidup. Tetapi pada pasien lebih muda dengan faktor risiko
buruk, pendekatan eksperimental dengan tujuan penyembuhan yang dipilih. Kemoterapi yang
diberikan terlalu dini dapat memperpendek harapan hidup dan bukannya memperpanjang.
Pengobatan diberikan bila terdapat organomegali yang bermasalah; episode hemolitik, dan
supresi sumsum tulang. Pasien dalam stadium Binet C akan memerlukan pengobatan, seperti
juga beberapa pasien dalam stadium B.

Kemoterapi
a. Klorambusil
Pengobatan tradisional untuk LLK adalah dengan zat pengalkil oral klorambusil.
Efektif mengurangi beratnya penyakit pada sebagian besar kasus. Dapat timbul
resistensi.
b. Analog purin
Efektif untuk pengobatan LLK dan limfoma. Oabt yang paling efektif tampaknya
fludarabin.
c. Kortikosteroid
Pasien dengan kegagalan sumsum tulang harus diobati sejak awal dengan prednisolon
saja, sampai terdapat pemulihan jumlah trombosit, neutrofil, dan hemoglobin yang
bermakana.
Juga diindikasikan pada anemia hemolitik autoimun atau trombositopenia.

Prognosis

Faktor Prognosis
Risiko

Jenis kelamin

Stadium klinik
Morfologi limfosit

rendah

Risiko tinggi

Wanita

Perempuan

Binet A

Binet B/C

RAI O, I

RAI II, III, IV

Tipikal

Atipikal

Non difus

Difus

>12 bulan

<12 bulan

Normal

Meningkat

Gambaran dari infiltrasi


sumsum tulang
Waktu pengandaan limfosit

Penanda serum

< 20-30%

>20-30%

Ekspresi CD38

Tidak ada

Delesi 11q23
Loss/ mutation
p 53

Abnormalitas gen
Status gen IgVH

Mutasi (-)
Mutasi

(Sudoyo, 2009)

Perjalanan penyakit bervariasi. Kondidi penyakit sel B dapat diramal kelangsungan


hidupnya antara lebih dari 10 tahun sampai kurang dari 19 bulan, dan 9 tahun untuk seluruh
populasi pasien LLK. Beberapa pasien dengan LLK mempunyai masa hidup normal dan yang
lain meninggal dalam waktu 5 tahun setelah diagnosis. Beberapa tahun terakhir kemajuan
penting ndicapai dalam pemahaman biologi, perjalanan alami dan pengobatan.

Dapus
Mehta, A, Hoffbrand, V. At a Glance Hematologi. Edisi II. Jakarta: EMS.2008.
Hoffbrand AV, Pettit JE, Moss PAH. Kapita selekta: hematologi. Edisi IV. Jakarta: EGC. 2005.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II.
Edisi IV. Jakarta: FKUI. 2009

Bakta, I made. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC, 2006


Price SA, Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Ed. 6. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2006

Vous aimerez peut-être aussi