Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
LAPORAN KASUS
MORBUS HANSEN
PENDAHULUAN
Konon, kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM, dan telah dikenal oleh
peradaban Tiongkok kuna, Mesir kuna, dan India. Pada 1995, Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) memperkirakan terdapat dua hingga tiga juta jiwa yang cacat permanen karena kusta.
Walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat dirasakan kurang perlu
dan tidak etis, beberapa kelompok penderita masih dapat ditemukan di berbagai belahan
dunia, seperti India dan Vietnam.
Kusta berasal dari kata kustha di bahasa Sansekerta, yang berarti kumpulan gejalagejala kulit secara umum. Penderita Kusta sebenarnya telah ditemukan sejak tahun 600
Sebelum Masehi. Namun, kuman penyebab penyakit Kusta, yakni Mycobacterium leprae,
ditemukan pertama kali oleh sarjana dari Norwegia GH Armauer Hansen pada tahun 1873,
maka dari itu Kusta ini dikenal juga dengan nama Morbus Hansen, sesuai dengan penemu
kuman penyebab kusta tersebut.
Penyakit ini diduga berasal dari Afrika dan Asia tengah dan kemudian tersebar
melalui perpindahan penduduk di beberapa belahan dunia, penyebaran penyakit tersebut
umumnya dibawa oleh para pedagang yang melintasi batas negara. Sedangkan Kusta masuk
ke Indonesia ini melalui para pedagang dan penyebar agama sekitar abad ke IV-V oleh orang
India.
DEFINISI
Kusta/ Lepra/ Penyakit Morbus Hansen, Penyakit Hansen adalah sebuah penyakit
infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae.[1] Penyakit ini adalah tipe
penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas; dan lesi
pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar.[2] Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat
progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata.
ETIOLOGI
Kusta yang merupakan penyakit kronis ini disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
leprae (M.leprae). Kuman ini adalah kuman aerob, berbentuk batang dengan ukuran 1-8 ,
lebar 0,2 0,5 , sifatnya tahan asam sehingga tidak mudah untuk diwarnai. M.leprae
biasanya berkelompok dan ada pula yang tersebar satu-satu. Kuman ini hidup dalam sel
terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan.
Masa belah diri kuman kusta ini memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan
dengan kuman lain, yaitu 12-21 hari. Sehingga masa tunas pun menjadi lama, yaitu sekitar 2
5 tahun.
Kuman Kusta ini pertama kali menyerang saraf tepi, yang selanjutnya dapat
menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata,
otot, tulang dan juga testis, kecuali susunan saraf pusat. Kusta yang merupakan penyakit
menahun ini dalam jangka panjang dapat menyebabkan anggota tubuh penderita tidak dapat
berfungsi sebagaimana mestinya.
Mikobakteriae merupakan kelompok bakteri berbentuk basil, bersifat aerob yang tidak
membentuk spora. Meskipun mereka tidak terwarnai dengan baik, segera setelah diwarnai
mereka mempertahankan dekolorisasi oleh asam atau alkohol, oleh karena itu dinamakan
basil cepat asam (Brooks, 453:2005). Mycobacterium leprae merupakan agen causal pada
lepra. Kuman ini berbentuk batang tahan asam yang termasuk familia Mycobacteriaeceae
atas dasar morfologik, biokimia, antigenik, dan kemiripan genetik dengan mikobakterium
lainnya (Isselbacher, 808:1999).
Bentuk bentuk kusta yang dapat kita lihat dibawah mikroskop adalah bentuk utuh,
bentuk pecah pecah ( fragmented ), bentuk granular ( granulated ), bentuk globus dan
bentuk clumps. Bentuk utuh , diman dinding selnya masih utuh, mengambil zat warna merata,
dan panjangnya biasanya empat kali lebarnya. Bentuk pecah pecah, dimana dinding selnya
terputus sebagian atau seluruhnya dan pengambilan zat warna tidak merata. Bentuk granular,
dimana kelihatan seperti titik titik tersusun seperti garis lurus atau berkelompok. Bentuk
globus, dimana beberapa bentuk utuh atau fragmented atau granulated mengandung ikatan
atau berkelompok kelompok. Kelompok kecil adalah kelompok yang terdiri dari 40 60
BTA sedangkan kelompok besar adalah kelompok yang terdiri dari 200 300 BTA. Bentuk
clumps, dimana beberapa bentuk granular membentuk pulau pulau tersendiri dan biasanya
lebih dari 500 BTA (Wahyuni, 4-5:2009).
EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan data yang diperoleh dari WHO pada akhir tahun 2006 didapatkan jumlah
pasien kusta yang teregistrasi sebanyak 224.727 penderita. Dari data tersebut didapatkan
jumlah pasien terbanyak dari benua Asia dengan jumlah pasien yang terdaftar sebanyak
116.663 dan dari data didapatkan India merupakan negara dengan jumlah penduduk terkena
kusta terbanyak dengan jumlah 82.901 penderita. Namun Micronesia F. S merupakan negara
dengan jumlah rata-rata prevalensi per 10.000 penduduk terbanyak di dunia, yaitu dengan
9,64 per 10.000 jumlah penduduk. Sementara Indonesia pada 2006 tercatat memiliki jumlah
penderita sebanyak 22.175 (WHO). Pada Poli Kulit dan Kelamin RSUD dr. SOEBANDI,
Jember dari tahun 1999 sampai tahun 2001 didapatkan jumlah pasien sebanyak 140
penderita, dengan 74 pasien dengan tipe multibasiler dan 66 kasus dengan tipe pausibasiler
(Erlan. J.S. et all, 21:2003).
Kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi dapat dilihat
karena faktor geografi. Namun jika diamati dalam satu negara atau wilayah yang sama
kondisi lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi karena faktor etnik.
Di Myanmar kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik Burma
dibandingkan dengan etnik India. Situasi di Malaysia juga mengindikasikan hal yang sama:
kejadian kusta lepromatosa lebih banyak pada etnik China dibandingkan etnik Melayu atau
India. Demikian pula dengan kejadian di Indonesia etnik Madura dan Bugis lebih banyak
menderita kusta dibandingkan etnik Jawa atau Melayu (Depkes RI, 8:2006).
Sudah diketahui bahwa faktor sosial ekonomi berperan penting dalam kejadian kusta.
Hal ini terbukti pada negara-negara di Eropa. Dengan adanya peningkatan sosial ekonomi,
maka kejadian kusta sangat cepat menurun, bahkan hilang. Kasus kusta imor pada negara
tersebut ternyata tidak menularkan kepada orang yang sosial ekonomi tinggi. Kegagalan
kasus kusta impor untuk menularkan pada kasus kedua di Eropa juga disebabkan karena
tingkat sosial ekonomi yang tinggi (Depkes RI, 8:2006).
penularan penyakit kusta. Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang
lama dengan penderita. Penderita yang sudah minum obat sesuai dengan regimen WHO tidak
menjadi sumber penularan bagi orang lain (Depkes RI, 10:2006).
d. Cara Masuk ke Pejamu
Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh pejamu sampai saat ini belum dapat
dipastikan. Diperirakan cara masuknya adalah melalui saluran pernapasan bagian atas dan
melalui kontak kulit yang tidak utuh (Depkes RI, 10:2006).
e. Pejamu
Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak dengan penderita, hal
ini disebabkan karena adanya imunitas. M. leprae termasuk kuman obligat intraseluler dan
sistem kekebalan yang efektif adalah sistem kekebalan seluler. Faktor fisiologik seperti
pubertas, menopause, kehamilan, serta faktor infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan
perubahan klinis penyakit kusta. Dari studi keluarga kembar didapatkan bahwa faktor genetik
mempengaruhi tipe penyakit yang berkembang setelah infeksi (Depkes RI, 10:2009).
Sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap kusta, hampir sebagian kecil (5%) dapat
ditulari. Dari 5% yang tertular tersebut, sekitar 70% dapat sembuh sendiri dan hanya 30%
yang dapat menjadi sakit (Depkes RI, 10:2006).
PATOGENESIS
Masuknya M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen Presenting
Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua. Signal pertama adalah
tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang dipresentasikan oleh
molekul MHC pada permukaan APC sedangkan signal kedua adalah produksi sitokin dan
ekspresinya pada permukaan dari molekul kostimulator APC yang berinteraksi dengan ligan
sel T melalui CD28. Adanya kedua signal ini akan mengaktivasi To sehingga To akan
berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Adanya TNF dan IL 12 akan membantu differensiasi
To menjadi Th1 (Wahyuni, 6:2009).
Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN yang akan meningkatkan fagositosis
makrofag( fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M.leprae akan berikatan dengan
Keluhan utama biasanya sebagai akibat kelainan saraf tepi, yang dalam hal ini dapat
berupa bercak pada kulit yang mati rasa, rasa tebal, kesemutan, kelemahan otot-otot dan kulit
kering akibat gangguan pengeluaran kelenjar keringat. Gejala klinis yang terjadi dapat berupa
kelainan pada saraf tepi, kulit, rambut, otot, tulang, mata, dan testis.
tidak seberat tipe TT dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf
perifer yang menebal.
3. Tipe Mid Borderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai bentuk dismorfik dan
jarang dijumpai. Lesi sangat bervariasi, dapat berbentuk makula infiltratif, permukaan lesi
dapat mengkilap dan batas lesi kurang jelas. Ciri khasnya adalah lesi punched out, yaitu,
suatu lesi hipopigmentasi dengan bagian tengah oval dan berbatas jelas.
4. Tipe Borderline Lepromatosus (BL)
Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan dengan cepat menyebar
ke seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan nodul lebih tegas dengan distribusi lesi
yang hampir simetris dan beberapa nodul nampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi
bagian tengah sering tampak normal dengan infiltrasi di pinggir dan beberapa tampak seperti
punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL.
5. Tipe Lepromatous Leprosy
Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematus,
berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis.
Distribusi lesi khas, yakni di daerah wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga;
sedangkan di badan mengenai bagian badan yang dingin, seperti lengan, punggung tangan,
dan ekstensor tungkai. Pada stadium lanjut, tampak penebalan kulit yang progresif, cuping
telinga menebal, facies leonina, madarosis, iritis, keratitis, deformitas pada hidung,
pembesaran kelenjar limfe, dan orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis.Kerusakan
saraf yang luas menyebabkan gejala stocking and glove anesthesia dan pada stadium lanjut
serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan
anastesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.
Klasifikasi menurut Ridley dan Jopling
Sifat
Lepromatous
Borderline
Mid
Leprosy (LL)
Lepromatous (BL)
(BB)
Borderline
10
Lesi
Bentuk
Makula,
Infiltrat Makula,
Plakat, Plakat,
Dome
Shaped
(Kubah),
Papul
Punched Out
Jumlah
Tidak
praktis
terhitung, Sukar
tidak
ada masih
kulit sehat
sehat
Distribusi
Simetris
Hampir Simetris
Asimetris
Permukaan
Halus Berkilat
Halus Berkilat
Agak Kasar/berkilat
Batas
Tidak Jelas
Agak Jelas
Agak Jelas
Anastesia
Tak Jelas
Lebih Jelas
BTA
Lesi Kulit
Agak Banyak
Sekret Hidung
Negatif
Tes Lepromin
Negatif
Biasanya Negatif
Negatif
Namun ada juga tipe kusta yang tidak termasuk dalam klasifikasi Ridley dan Jopling,
tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta, yaitu tipe Intermediate (I). Lesi biasanya
berupa makula hipopigmentasi dengan sedikit sisik dan kulit disekitarnya normal. Lokasi
biasanya di bagian ekstensor ekstremitas, bokong atau muka, kadang-kadang dapat
ditemukan makula hipostesia atau sedikit penebalan saraf.
Deformitas dapat terjadi pada kusta. Pada kusta sesuai patofisiologinya ada dua yaitu
primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang
terbentuk sebagai reaksi terhadap M.leprae, yang mendesak dan merusak jaringan
disekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang tulang jari, dan wajah.
Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan
keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf.
11
Gejala kerusakan saraf pada nervus ulnaris adalah anestesia pada ujung jari anterior
kelingking dan jari manis, clawing kelingking dan jari manis, dan atrofi hipotenar dan otot
interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial. Pada N.medianus adalah anestesia pada ujung
jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing
ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, ibu jari kontraktur, dan juga atrofi otot tenar dan kedua otot
lumbrikalis lateral. Pada N.radialis adalah anestesi dorsum manus, serta ujung proksimal jari
telunjuk, tangan gantung (wrist drop) dan tak mampu ekstensi jari jari atau pergelangan
tangan. Pada N. Poplitea lateralis adalah anestesi tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum
pedis, kaki gantung (foot drop) dan kelemahan otot peroneus. Pada N.tibialis posterior adalah
anestesi telapak kaki, claw toes , dan paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis. Pada
N. Fasialis adalah cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus dan cabang
bukal, mandibular serta servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan
mengatupkan bibir. Pada N.trigeminus adalah anestesi kulit wajah, kornea dan konjungtiva
mata.
Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia
pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder
disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis
palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya,
menyebabkan kerusakan bagian bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama sama
akan menyebabkan kebutaan.
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas jaringan keringat, kelenjar
palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe
lepromatous dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh
karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis.
Kusta histioid, merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous yang titandai dengan
adanya nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk nodus yang berbatas tegas, dapat
juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus relapse
sensitive atau relape resistent. Relapse sensitive terjadi, bila penyakit kambuh setelah
menyelesaikan pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dapat terjadi oleh karena
kuman yang dorman aktif kembali atau pengobatan yang diselesaikan tisak adekuat, baik
dosis maupun lama pemberiannya.
12
Gejala pada reaksi kusta tipe I adalah perubahan lesi kulit, demam yang tidak begitu
tinggi, gangguan konstitusi, gangguan saraf tepi, multiple small satellite skin makulopapular
skin lesion dan nyeri pada tekan saraf. Reaksi kusta tipe I dapat dibedakan atas reaksi ringan
dan berat.
Pada reaksi kusta tipe II adalah neuritis, gangguan konstitusi, dan komplikasi organ
tubuh. Reaksi kusta tipe II juga dapat dibedakan atas reaksi ringan dan berat.
Fenomena lucio berupa plak atau infiltrat difus, merah muda, bentuk tidak teratur, dan
nyeri. Lesi lebih berat tampak lebih eritematosa, purpura, bula, terjadi nekrosis dan ulserasi
yang nyeri. Lesi lambat sembuh dan terbentuk jaringan parut. Dari hasil histopatologi
ditemukan nekrosis epidermal iskemik, odem, proliferasi endotelial pembuluh darah dan
banyak basil M.leprae di endotel kapiler.
Eritema nodosum lepromatous (ENL), timbul nodul subkutan yang nyeri tekann dan
meradang, biasanya dalam kumpulan. Setiap nodul bertahan selama satua atau dua minggu
tetapi bisa timbul kumpulan nodul baru. Dapat terjadi demam, limfadenopati, dan athralgia.
PEMERIKSAAN PASIEN
Inspeksi pasien dapat dilakukan dengan penerangan yang baik, lesi kulit juga harus
diperhatikan dan juga dilihat kerusakan kulit. Palpasi dan pemeriksaan dengan menggunakan
alat alat sederhana yaitu jarum untuk rasa nyeri, kapas untuk rasa raba, tabung reaksi
masing masing dengan air panas dan es, pensil tinta Gunawan (tanda Gunawan) untuk
melihat ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak dan
sebagainya. Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi, yang kadang kadang dapat
membantu, tetapi bagi penderita yang memiliki kulit berambut sedikit, sangat sukar untuk
menentukannya.
Pemeriksaan Saraf Tepi
Untuk saraf perifer, perlu diperhatikan pembesaran, konsistensi dan nyeri atau tidak.
Hanya beberapa saraf yang diperiksa yaitu N.fasialis, N.aurikularis magnus, N.radialis, N.
Ulnaris, N. Medianus, N. Poplitea lateralis, N. Tibialis posterior. Pada pemeriksaan saraf tepi
dapat dibandingkan saraf bagian kiri dan kanan, adanya pembesaran atau tidak, pembesaran
reguler/irreguler, perabaan keras/kenyal, dan yang terakhir dapat dicari adanya nyeri atau
13
tidak (Daili, 21:2003). Pada tipe lepromatous biasanya kelainan sarafnya billateral dan
menyeluruh sedangkan tipe tuberkoloid terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.
Untuk mendapat kesan saraf mana yang mulai menebal atau sudah menebal dan saraf
mana yang masih normal, diperlukan pengalaman yang banyak (Daili, 21:2003).
akan
menemukan
jaringan
seperti
kabel
atau
kawat.
Jangan
lupa
14
Rasa Raba. Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk memeriksa
perasaan rangsang raba dengan menyinggungkannya pada kulit. Pasien yang diperiksa harus
duduk pada waktu dilakukan pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas menerangkan bahwa
bilamana merasa disinggung bagian tubuhnya dengan kapas, ia harus menunjukkan kulit yang
disinggung dengan jari telunjuknya dan dikerjakan dengan mata terbuka. Bilamana hal ini
telah jelas, maka ia diminta menutup matanya, kalau perlu matanya ditutup dengan sepotong
kain. Selain diperiksa pada lesi di kulit sebaiknya juga diperiksa pada kulit yang sehat.
Bercak pada kulit harus diperiksa pada bagian tengahnya (Daili, 22:2003).
Rasa Nyeri. Diperiksa dengan memakai jarum. Petugas menusuk kulit dengan ujung jarum
yang tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan pasien harus mengatakan
tusukan mana yang tajam dan mana yang tumpul (Daili, 22:2003).
Rasa Suhu. Dilakukan dengan menggunakan 2 tabung reaksi, yang satu berisi air panas
(sebaiknya 400C), yang lainnya air dingin (sebaiknya sekitar 20 0C). Mata pasien ditutup atau
menoleh ke tempat lain, lalu bergantian kedua tabung tersebut ditempelkan pada daerah kulit
yang dicurigai. Sebelumnya dilakukan kontrol pada kulit yang sehat. Bila pada daerah
tersebut pasien salah menyebutkan sensasi suhu, maka dapat disebutkan sensasi suhu di
daerah tersebut terganggu (Daili, 22:2003).
Tes Otonom. Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada penyakit
kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis.
Tes dengan pensil tinta. Pensil tinta digariskan mulai dari bagian tengah lesi yang
dicurigai terus sampai ke daerah kulit normal.
Tes pilokarpin. Daerah kulit pada makula dan perbatasannya disuntik dengan
pilokarpin subkutan. Setelah beberapa menit tampak daerah kulit normal berkeringat,
sedangkan daerah lesi tetap kering.
Tes Motoris (Voluntary muscle test)
Cara memeriksa: Mula-mula periksa gerakan dari motorik yang akan diperiksa:
Periksa fungsi saraf ulnaris dengan merapatkan jari kelingking pasien. Peganglah jari
telunjuk, jari tengah, dan jari manis pasien, lalu mintalah pasien untuk merapatkan jari
15
kelingkingnya. Jika pasien dapat merapatkan jari kelingkingnya, taruhlah kertas diantara jari
kelingking dan jari manis, mintalah pasien untuk menahan kertas tersebut. Bila pasien
mampu menahan coba tarik kertas tersebut perlahan untuk mengetahui ketahanan ototnya.
Periksa fungsi saraf medianus dengan meluruskan ibu jari ke atas. Minta pasien mengangkat
ibu jarinya ke atas. Perhatikan ibu jari apakah benar-benar bergerak ke atas dan jempolnya
lurus. Jika pasien dapat melakukannya, kemudian tekan atau dorong ibu jari pada bagian
telapaknya.
Periksa fungsi saraf radialis dengan meminta pasien untuk menggerakkna pergelangan
tangan ke belakang. Uji kekuatan otot dengan mencoba menahan gerakan tersebut.
Periksa fungsi saraf eroneus communis dengan meminta pasien melakukan gerakan fleksi
pada pergelangan kaki dan minta juga pasien untuk melakukan gerakan ke lateral, lalu nilai
kekuatan ototnya dengan mencoba untuk menahan gerakan tersebut.
PEMERIKSAAN BAKTERIOSKOPIS
Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa
hidung yang diwarnai denganpewarnaan BTA ZIEHL NEELSON. Pertama tama harus
ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu
menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin
sebaiknya minimal 4 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4lesi lain
yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping
telinga tanpa mengiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut oleh karena pengalaman,
pada cuping telinga didapati banyak M.leprae.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak
ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1 + Bila 1 10 BTA dalam 100 LP
2+Bila 1 10 BTA dalam 10 LP
3+Bila 1 10 BTA rata rata dalam 1 LP
16
17
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak
untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap
M.leprae. O,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan
intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari ( reaksi Fernandez) atau 3 4 minggu
( reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritemayang
menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae yaitu respon imun tipe lambat ini
seperti mantoux test ( PPD) pada tuberkolosis.
Reaksi Mitsuda bernilai :
0 Papul berdiameter 3 mm atau kurang
+ 1 Papul berdiameter 4 6 mm
+ 2Papul berdiameter 7 10 mm
+ 3 papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan ulserasi
DIAGNOSIS
Penyakit kusta disebut juga dengan the greatest immitator karena memberikan gejala
yang hampir mirip dengan penyakit lainnya. Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada
penemuan tanda kardinal (cardinal sign), yaitu:
1.Bercak kulit yang mati rasa
Pemeriksaan harus di seluruh tubuh untuk menemukan ditempat tubuh yang lain, maka
akan didapatkan bercak hipopigmentasi atau eritematus, mendatar (makula) atau meninggi
(plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu,
dan rasa nyeri.
18
19
Pada lesi plak, Tinea korporis, Ptiriasis rosea, psoriasis dll. Pada lesi nodul, Acne vulgaris,
neurofibromatosis dll. Pada lesi saraf, Amyloidosis, diabetes, trachoma dll.
Vitiligo, makula putih berbatas tegas dan mengenai seluruh tubuh yang mengandung
sel melanosit. Vitiligo merupakan hipomelanosis idiopatik yang ditandai dengan makula putih
yang dapat meluas. Patogenesis vitiligo ada beberapa yaitu hipotesis autoimun, hipotesis
neurohumoral, hipotesis autotoksik dan pajanan terhadap bahan kimia.
Hipotesis autoimun, ada hubungan dengan hipotiroid Hashimoto, anemia pernisiosa
dan hipoparatiroid. Hipotesis neurohumeral, karena melanosit terbentuk dari neural crest
maka diduga faktor neural berpengaruh. Hasil metabolisme tirosin adalah melanin dan
katekol. Kemungkinan ada produk intermediate dari katekol yang mempunyai efek merusak
melanosit. Pada beberapa lesi ada gangguan keringat, dan pembuluh darah, terhadap respon
transmitter saraf misalnya setilkolin. Hipotesis autotoksik,hasil metabolisme tirosin adalah
DOPA lalu akan diubah menjadi dopaquinon. Produk produk dari DOPA bersifat toksik
terhadap melanin. Pajanan terhadap bahan kimia, adanya monobenzil eter hidrokuinon pada
sarung tangan dan fenol pada detergen.
Gejala klinis vitiligo adalah terdapat repigmentasi perifolikuler. Daerah yang paling
sering terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama bagian atas jari, periofisial pada mata,
mulut dan hidung, tibialis anterior dan pergelangan tangan bagian fleksor.Lesi bilateral atau
simetris. Mukosa jarang terkena, kadang kadang mengenai genitalia eksterna, puting susu,
bibir dan ginggiva.
Vitiligo dapat dibagi atas dua yaitu lokal dan generalisata. Vitiligo lokal dapat dibagi
tiga yaitu vitiligo fokal adalah makula satu atau lebih tetapi tidak segmental, vitiligo
segmental adalah makula satu atau lebih yang distribusinya sesuai dengan dermatom, dan
mukosal yang hanya terdapat pada mukosa. Vitiligo generalisata juga dapat dibagi tiga yaitu
vitiligo acrofasial adalah depigmentasi hanya pada bagian distal ekstremitas dan muka serta
merupakan stadium awal vitiligo generalisata, vitiligo vulgaris adalah makula yang luas tetapi
tidak membentuk satu pola, dan vitiligo campuran adalah makula yang menyeluruh atau
hampir menyeluruh merupakan vitiligo total.
Ptiriasis versikolor,disebabkan oleh Malaize furfur. Patogenesisnya adalah terdpat flora
normal yang berhubungan denganPtiriasis versikolor yaitu Pitysporum orbiculare bulat atau
20
Pitysporum oval. Malaize furfur merupakan fase spora dan miselium. Faktor predisposisi ada
dua yaitu faktor eksogen dan faktor endogen. Faktor endogen adalah akibat rendahnya imun
penderita dsedangkan faktor eksogen adalah suhu, kelembapan udara dan keringat.
Hipopigmentasi dapat disebabkan oleh terjadinya asam dekarbosilat yang diprosuksi oleh
Malaize furfur yang bersifat inhibitor kompetitif terhadap enzim tirosinase dan mempunyai
efek sitotoksik terhadap melanin.
Gejala klinis Ptiriasis versikolor, kelainannya sangat superfisialis, bercak berwarna
warni, bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus, fluoresensi dengan
menggunakan lampu wood akan berwarna kuning muda, papulovesikular dapat ada tetapi
jarang, dan gatal ringan. Secara mikroskopik akan kita peroleh hifa dan spora ( spaghetti and
meat ball).
Tinea korporis, dermatiofitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous skin) .
Gejala klinisnya adalah lesi bulat atau lonjong, eritema, skuama, kadang papul dan vesikel di
pinggir, daerah lebih terang, terkadang erosi dan krusta karena kerokan, lesi umumnya bercak
bercak terpisah satu dengan yang lain, dapat polisiklik, dan ada center healing.
Lichen Planus, ditandai dengan adanya papul papul yang mempunyai warna dan
konfigurasi yang khas. Papul papul berwarna merah, biru, berskuama, dan berbentuk siku
siku. Lokasinya diekstremitas bagian fleksor, selaput lendir, dan alat kelamin. Rasanya sangat
gatal, umumnya membaik 1 2 tahun. Hipotesis mengatakan liken planus merupakan infeksi
virus.
Psoriasis, penyebabnya autoimun bersifat kronik dan residitif. Ditandai dengaadanya
bercak bercak eritema berbatas tegas dengan skuama kasar, berlapis lapis dan transparan
disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz, Koebner. Gejala klinisnya adalah tidak ada pengaru
terhadap keadaan umum, gatal ringan, kelainan pada kulit terdiri bercak bercak eritema
yang meninggi atau plak dengan skuama diatasnya, eritema sirkumskrip dan merata tapi pada
akhir di bagian tengah tidak merata. Kelainan bervariasi yaitu numuler, plakat, lentikulerdan
dapat konfluen.
Akne Vulgaris, penyakit peradangan menahun folikel pilosebaseayang umumnya pada
remaja dan dapat sembuh sendiri. Gejala klinisnya adalah sering polimorf yang terdiri dari
21
berbagai kelainan kulit, berupa komedo, papul, pustul, nodus dan jaringan parut akibat aktif
tersebut, baik jaringan parut yang hipotropik maupun yang hipertopik.
Neuropatik pada diabetes, gejalanyatergantung pada jenis neuropatik dan saraf yang
terkena. Beberapa orang dengan kerusakan saraf tidak menunjukkan gejala apapun. Gejala
ringan muncul lebih awal dan kerusakan saraf terjadi setelah beberapa tahun. Gejala
kerusakan saraf dapat berupa kebas atau nyeri pada kaki, tangan , pergelangan tangan, dan
jari jari tangan, maldigestion, diare, konstipasi, masalah pada urinasi, lemas, disfungsi
ereksi dll.
Defisiensi vitamin B6,gejala klinis termasuk seboroik dermatitis, cheilotis, glossitis,
mual, muntah, dan lemah. Pemeriksaan neurologis menunjukka penurunan propiosepsi dan
vibrasi dengan rasa sakit dan sensasi temperatur, refleks achilles menurun atau tidak ada.
Defisiensi folat, gejala klinisnya tidak dapat dipisahkan dengan defisiensi kobalamin
( vitamin B12) walaupun demensia lebih dominan. Pasien mengalami sensorimotor poly
neuropathy dan demensia.
PENGOBATAN
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden
penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, untuk
mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan
pengobatan penderita.
Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu mengahalangi atau
menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan antagonis kompetitif dari paraaminobezoic acid (PABA) dan mencegah penggunaan PABA untuk sintesis folat oleh bakteri.
Efek samping dari dapson adlah anemia hemolitik, skin rash, anoreksia, nausea, muntah, sakit
kepala, dan vertigo.
Lamprene atauClofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan reaksi kusta.
Clofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor dari NA/K ATPase.Efek
sampingnya adalah warna kulit bisa menjadi berwarna ungu kehitaman,warna kulit akan
kembali normal bila obat tersebut dihentikan, diare, nyeri lambung.
22
Dewasa
Rifampicin
Ofloxacin
Minocyclin
600 mg
400 mg
100 mg
300 mg
200 mg
50 mg
(50-70 kg)
Anak
23
(5-14 th)
PB dengan lesi 2 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-9)
bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti
minum obat.
Dewasa
Rifampicin
Dapson
600 mg/bulan
Diminum
di
depan
petugas kesehatan
Anak-anak
450 mg/bulan
50 mg/hari diminum di
rumah
(10-14 th)
Diminum
di
depan
petugas kesehatan
MB dengan lesi > 5.Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan selama 12-18
bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan RFT/=Realease From Treatment
yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif untuktipe
PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun.
Rifampicin
Dewasa
600
diminum
Dapson
Lamprene
depandi rumah
petugas kesehatan
diminum
petugas
dilanjutkan
mg/bulan
di
depan
kesehatan
dgn 50
mg/hari diminum di
rumah
24
Anak-anak
450
diminum
(10-14 th)
depandi rumah
petugas
diminum
petugas
mg/bulan
di
depan
kesehatan
dilanjutkan dg 50 mg
selang
sehari
diminum di rumah
Pengobatan reaksi kusta. Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka
dapat timbul kecacatan berupa kelumpuhan yang permanen seperticlaw hand , drop foot ,
claw toes , dan kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan pengobatan
Prinsip pengobatan Reaksi Kusta yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan
sedatif, pemberian obat-obat anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan obatobat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 31 selama 3-5 hari, dan
MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik dan
sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian obat-obat anti
reaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya prednison.Obat-obat anti
reaksi,Aspirin dengan dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4 6x/hari ) , Klorokuin dengan dosis
3 x 150 mg/hari, Antimon yaitu stibophen (8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-3 ml
secara selang-seling dan dosis total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai oleh karena
toksik. Thalidomide juga jarang dipakai,terutama padawanita (teratogenik ).Dosis 400
mg/hari kemudian diturunkan sampai mencapai 50 mg/hari.
Pemberian Kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau sedang.Digunakan
prednison atau prednisolon.Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari lebih baik
walaupun dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-lahan (tapering off)
setelah terjadi respon maksimal.
PENGOBATAN KUSTA UNTUK SITUASI KHUSUS
25
Jika MDT-WHO tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alasan, WHO expert
committe pada tahun 1997 mempunyai regimen untuk situasi khusus, yaitu:
a.Penderita tidak dapat diobati dengan rifampisin
Penyebabnya mungkin alergi, gangguan pada fungsi hepar, ada penyakit penyerta atau
resisten terhadap obat ini. Regimen untuk penderita ini, adalah:
Lama Pengobatan
Jenis Obat
Dosis
6 Bulan
Klofazimin
50 mg/hari
Ofloksasin
400 mg/hari
Minosiklin
100 mg.hari
Klofazimin
Ofloksasin atau
dengan 50 mg/hari
400 mg/hari
Minosiklin
100 mg/hari
Pada tahun 1994 WHO Study Group on Chemotherapy of Leprosy menyatakan
klaritromisisn 500 mg/hari dapat menggantikan ofloksasin atau minosiklin pada regimen di
atas.
26
Rifampisin
Klofazimin
Dewasa
600 mg/bln
Anak-anak
450 mg/bln
KOMPLIKASI
Di dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan tangan. Trauma dan infeksi
kronik sekunderdapat menyebabkan hilangnya jari jemari ataupun ekstremitas bagian distal.
Juga sering terjadi kebutaan. Fenomena lucio yang ditandai dengan artitis, terbatas pada
pasien lepromatosus difus, infiltratif dan non noduler. Kasus klinik yang berat lainnya adalah
vaskulitis nekrotikus dan menyebabkan meningkatnya mortalitas. Amiloidos sekunder.
27
PROGNOSIS
Setelah program terapi obat biasanya prognosis baik, yang paling sulit adalah manajemen
dari gejala neurologis, kontraktur dan perubahan pada tangan dan kaki. Ini membutuhkan
tenaga ahli seperti neurologis, ortopedik, ahli bedah, prodratis, oftalmologis, physical
medicine, dan rehabilitasi. Yang tidak umum adalah secondary amyloidosis dengan gagal
ginjal dapat mejadi komplikasi
LAPORAN KASUS
I.
II.
IDENTIFIKASI PASIEN
NAMA
UMUR
JENIS KELAMIN
ALAMAT
TANGGAL PEMERIKSAAN
: Suhaimi
: 35 tahun
: laki-laki
: Kediri
: 7 Juni 2012
ANAMNESIS
Keluhan Utama : bercak putih pada kulit
Riwayat Penyakit Sekarang
28
Pasien mengeluh bercak putih pada kulit sejak 2 bulan yang lalu
awalnyaterdapat bercak kemerahan kecil di daerah lengan kanan bawah semakin
lama semakin membesar dan meluas dan menyebar ke lengan atas, dada, perut,
punggung, wajah dan lutut.
Pasien tidak mengeluh gatal ataupun nyeri pada bercak-bercak tsb, pasien
mengeluh terasa tebal pada bercak-bercak tsb. Pasien merasakan tebal tapi tidak
terlalu jelas dengan daerah kulit normal yang dirasakan. Pasien mengatakan bila
terbentur sesuatu terasa lebih sakit dari pada sebelum pasien muncul bercakbercak ini. Pada malam hari pasien merasakan kulit seperti di tarik-tarik. Pasien
menyangkal adanya rontok bulu mata, alis, dan demam.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa. Riwayat asma, kencing manis,
darah tinggi di sangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien menyangkal ada keluarga atau teman pasien yang mengalami keluhan
yang serupa. Riwayat alergi makanan dan obat pada keluarga di sangkal.
Riwayat Alergi
Pasien mengaku memiliki alergi makanan laut, apabila pasien makananan laut
maka akan timbul bintik-bintik yang gatal. Riwayat alergi obat, cuaca, debu,
disangkal.
Riwayat Pengobatan
Pasien mengaku meminum paracetamol pada saat pasien merasakan nyeri
pada kulitnya.
Riwayat Sosial
Pasien adalah petugas rumah sakit yang bertugas mengantar oksigen, pasien
mengaku pada saat bertugas di RS terdapat penderita yang mengalami gejala kulit
yang sama seperti pasien. Pasien tiap hari bertemu dengan penderita tersebut
selama 2 minggu.
III.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Composmentis
29
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
BTA: Tidak ditemukan kuman BTA
V.
DIAGNOSIS KERJA
Morbus Hansen MultiBasiler reaksi kusta tipe 1
VI.
DIAGNOSIS DIFFRENSIAL
Vitiligo, Ptiriasis Versikolor, Ptiriasis Alba, Tinea korporis
VII.
PENATALAKSANAAN
MB dengan lesi > 5.Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan selama 12-18
bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan RFT/=Realease From
Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan
secara pasif untuk tipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun.
Rifampicin : 600 mg/bulan diminum di depan petugas kesehatan
Dapson
: 100 mg/hari diminum di rumah
Lamprene : 300mg/bulan diminum di depan petugas kesehatan dilanjutkan
dgn 50 mg/hari diminum di rumah
Pengobatan reaksi kusta.
Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan
obat-obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 31 selama 35 hari, dan MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
30