Vous êtes sur la page 1sur 78

Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Tutorial Kasus Nefro-Kardiologi

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

Atrial Septal Defect (ASD) & Gagal Jantung Kongestif

Disusun oleh:
Rheza Giovanni (1510029012)

Pembimbing:
dr. Sherly Yuniarchan, Sp. A
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2015

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME, karena hanya
berkat limpahan berkat dan karunia-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan
refleksi kasus dengan judul Atrial Septal Defect & Gagal jantung kongestif.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan
penghargaan yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah banyak
membantu penulis dalam pelaksanaan hingga terselesaikannya tutorial kasus ini,
diantaranya:
1.

Prof. Dr. H. Masjaya, M.Si selaku Rektor Universitas Mulawarman

2.

Bapak dr. H. Emil Bachtiar Moerad, Sp.P, selaku Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Mulawarman.


3.

dr. Sukartini, Sp. A selaku Ketua Program Studi Pendidikan Profesi Dokter

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman selaku Ketua Lab/SMF Ilmu


Kesehatan Anak FK Unmul serta.
4.

dr. Sherly Yuniarchan, Sp.A, selaku dosen Pembimbing Klinik yang dengan

sabar memberikan arahan, motivasi, saran dan solusi yang sangat berharga dalam
penyusunan laporan kasus ini dan juga yang selalu bersedia meluangkan waktu
untuk memberikan bimbingan, saran, dan solusi selama penulis menjalani
co.assisten di lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak.
6.

Dosen-dosen klinik dan preklinik FK UNMUL khususnya staf pengajar

Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak, terima kasih atas ilmu yang telah diajarkan
kepada kami.
7.

Rekan-rekan dokter muda di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD

AWS/FK UNMUL dan semua pihak yang telah membantu.


Akhir kata penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari para pembaca untuk perbaikan kepenulisan di masa mendatang..
Samarinda, 30 November 2015
Penulis

Tutorial

ATRIAL SEPTAL DEFECT (ASD)


& GAGAL JANTUNG KONGESTIF
Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian stase Ilmu Kesehatan Anak
RHEZA GIOVANNI

Menyetujui,

dr. Sherly Yuniarchan, Sp. A

LABORATORIUM ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
DESEMBER 2015

RESUME KASUS
Pasien masuk RS pada tanggal 11 Desember 2015 dari IGD RSUD A.W.
Sjahranie Samarinda. Anak dirawat di ruang melati pada tanggal yang sama. Anak
masuk dengan keluhan demam 5 hari disertai BAB cair sejak 5 hari yang lalu.
Pasien masuk dengan diagnosis GEA dehidrasi ringan sedang disertai TB paru
dalam terapi. Setelah dirawat 3 hari dengan GEA, pasien dilakukuan pemeriksaan
foto thoraks dan dirujuk ke divisi kardiologi.
A. RESUME RUANGAN
Identitas pasien
- Nama

: An. Haidar Al Raisyikhib

- Jenis kelamin

: Laki-laki

- Umur

: 1 tahun

- Alamat

: Jl. Sidomulyo, Kecamatan Anggana

- Anak ke

: 2 dari 2 bersaudara

- MRS

: Jumat 11 Desember 2015

Identitas Orang Tua


- Nama Ayah

: Tn. Fariz Setiawan

- Umur

: 32 tahun

- Alamat

: Jl. Sidomulyo, Kecamatan Anggana

- Pekerjaan

: Pegawai Swasta

- Agama

: Islam

- Suku

: Jawa

- Nama Ibu

: Ny. Ponisri

- Umur

: 32 tahun

- Alamat

: Jl. Sidomulyo, Kecamatan Anggana

- Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

- Agama

: Islam

- Suku

: Jawa

Keluhan Utama :
demam (+) mencret (+) 5x
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang bersama orang tuanya dengan keluhan demam serta BAB cair
sekitar 5x yang telah terjadi sejak 5 hari yang lalu. Volume feses tiap BAB sekitar
glas aqua, warna kuning, tidak berlendir dan berdarah. Pasien mengalami
muntah setiap habis minum susu. Pasien sedang menjalani pengobatan TB dan
control di poli anak. Karena keluhan tsb pasien dibawa ke IGD RS AWS
Samarinda. Pasien masuk dengan diagnosis GEA dehidrasi ringan sedang disertai
TB paru dalam terapi. Pasien dirawat selama 7 hari dengan GEA. Selama
perawatan pasien mengalami batuk sesak dan demam, pasien di rawat bersama
dengan divisi respirologi. Pasien kemudian dialih rawat respirologi dengan
diagnosis Bronkopneumoni setelah pengobatan GEA selesai. Dirawat 3 hari
dibagian respirologi. Selama pasien dirawat di bagian respirologi dilakukan
pemmeriksaan foto thoraks dan didapatkan CTR 64%. Kemudian pasien dialih
rawat kembali ke kardiologi dengan diagnosis Atrial septal defect dan decomp
kordis.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien pernah dirawat di RS Aisyah Samarinda pada usia 5 bulan dengan keluhan
batuk, pilek, dan sesak. Pasien kemudian dirujuk ke RS AWS untuk dilakukan
Echo. Setelah dilakukan echocardiography oleh sp. JP pasien didiagnosis ASD
dan diberi captopril. Kemudian pada usia 7 bulan pasien masuk lagi ke RS AWS
dengan keluhan yang sama, dirawat selama 4 hari, diberi furosemide dan
ambroksol kemudian pasien dipulangkan. Pasien diminta control di poli BTKV
dan direncanakan echo ulang. Setelah diecho ulang oleh sp. JP pasien hasilnya
dinyatakan normal dan diminta rawat jalan. Pada usia 9 bulan kembali dirawat di
RS tentara Samarinda dengan keluhan mencret, muntah dan sesak. Pasien
kemudian dirujuk ke RS AWS akibat sesak yang tidak hilang. Di RS AWS masuk
didiagnosis dengan TBC. Setelah dirawat pasien diperbolehkan pulang dengan

pengobatan KDT. Kemudian pasien kembali masuk pada tanggal 11 Desember


2015.
Riwayat Penyakit Keluarga :.
Tidak ada keluarga yang memiliki gejala/riwayat penyakit serupa, baik keluarga
dari ayah ataupun ibu pasien tidak mempunyai penyakit atau gangguan jantung.
Riwayat Saudara-Saudaranya :
Hami

Kondisi

Jenis

Usia

Sehat/ti

Umur

Sebab

l ke

saat

persalina

(tahun)

dak

meninggal

meninggal

lahir
Aterm

n
Spontan

25 Juli

Sehat

SC

2008
16

sehat

Aterm

Desember
2015
Pertumbuhan Dan Perkembangan Anak :
Berat badan lahir

: 2500 gram

Panjang badan lahir

: 49 cm

Berat badan sekarang

: 6700 gram

Panjang badan sekarang

: 65 cm

Gigi keluar

: 7 bulan

Tersenyum

: 3 bulan

Miring

: 3 bulan

Tengkurap

: 5 bulan

Duduk

: 11 bulan

Merangkak

: -

Berdiri

: -

Berjalan

: -

Berbicara 2 suku kata

: -

Makan dan minum anak


6

ASI

: Mendapat ASI ekslusif hingga usia 4


bulan, kemudian dilajutkan susu bebelac
karena ASI tidak keluar lagi

Susu sapi

: Sejak usia 4 bulan

Bubur susu

: -

Tim saring

: -

Buah

: -

Lauk dan makan padat

: -

Pemeliharaan Prenatal
Periksa di

: Klinik Bidan

Penyakit Kehamilan

: -

Obat-obatan yang sering diminum

: Vitamin, kalsium, obat-obatan penambah


darah dan peningkat nafsu makan

Riwayat Kelahiran :
Lahir di

: Rumah Sakit

Persalinan ditolong oleh

: Sp. OG

Berapa bulan dalam kandungan

: 9 bulan

Jenis partus

: Sectio Cesar

Lain lain

: Keterlambatan evakuasi meconium (-)

Pemeliharaan postnatal :
Periksa di

: Puskesmas

Keadaan anak

: Sehat

Keluarga berencana

: Tidak

IMUNISASI

Imunisasi
BCG
Polio
Campak
DPT
Hepatitis B

I
+
+
+
+

II
////////
+
+
+

Usia saat imunisasi


III
IV
Booster I
///////
///////
///////
+
///////
///////
///////
///////
///////
-

Booster II
///////
///////
-

PEMERIKSAAN FISIK
Kesan umum

: Komposmentis

Kesadaran

: E4 V5 M6

Tanda Vital
Frekuensi nadi

: 100 x/menit, isi cukup, reguler

Frekuensi napas

: 46 x/menit

Temperatur

: 36,6o C per axila

Antropometri
Berat badan

: 6,6 kg

Panjang Badan

: 65 cm

Status Gizi

: BB/U

: < - 3 SD

TB/U

: < - 3 SD

BB/TB : -2 < BB/TB < 1 (Gizi Baik)

Kepala
Rambut

: Hitam

Mata

: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks


cahaya (+/+), pupil isokor 2mm/2mm, mata cowong
(-/-)

Mulut

: lidah besar (-), lidah kotor (-), sariawan (-), faring


hiperemis (-), mukosa bibir basah, pembesaran tonsil
(-/-), gusi berdarah (-)

Leher
Pembesaran Kelenjar : Pembesaran KGB submandibular (-/-),
Thoraks
Inspeksi

: Bentuk dan gerak dinding dada simetris dekstra =


sinistra, retraksi (+/+), iktus cordis tidak tampak

Palpasi

: Gerakan dinding dada dekstra = sinistra, iktus cordis


teraba pada ICS V mid clavicula line sinistra

Perkusi

: Sonor di semua lapangan paru

Auskultasi

: Vesikuler (+/+), rhonki (+/+), wheezing (-/-), S1S2


tunggal reguler

10

Abdomen
Inspeksi

: Umbilikus sedikit menonjol

Palpasi

: Soefl, nyeri tekan (-), distensi (-), hepatomegali (-),


splenomegali (-), turgor kulit kembali cepat

Perkusi

: Timpani

Auskultasi

: Bising usus (+) normal

Ekstremitas

: Akral hangat (+), oedem (-), capillary refill test < 2 detik,
sianosis (-), pembesaran KGB aksiler (-/-), pembesaran
KGB inguinal (-/-)

Lain lain

: Undecensus Testis Sinistra (testis belum masuk ke


kantung skrotum)

Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan darah lengkap (tanggal 11 Desember 2015)
Pemeriksaan

Pemeriksaan

Nilai normal

(11/12/15)
Leukosit : 11500
Hb : 10,8
HCT : 32,8 %
MCV : 74,8
MCH : 24,7
MCHC : 33,0
Platelet : 195.000

(18/12/15)
Leukosit: 7440
Hb: 11,1
HCT: 33,3 %
MCV: 80,0
MCH: 26,7
MCHC: 33,3
Platelet: 286.000

4.000-10.000 /uL
11,0-16,0 gr/dl
37,0 54,0 %
80-100
27-34
32-36
150.000-450.000

Procalcitonin: 0,11

< 0,05

Hasil pemeriksaan kimia darah (tanggal 11 Desember 2015)


Pemeriksaan
GDS
Serum Elektrolit
Natrium
Kalium
Chloride

Hasil
104

Nilai normal
50 150

127
3,2
101

135-155
3,6-5,5
95-108

Hasil pemeriksaan kimia darah serial


Pemeriksaan

Tanggal 12

Tanggal 14

Nilai normal
11

Natrium
Kalium
Klorida

126
4,8
100

131
4,3
101

135-155
3,6-5,5
95-108

Hasil pemeriksaan urine lengkap (tanggal 16 Desember 2015)


Jenis pemeriksaan
Berat jenis
warna
Kejernihan
pH
Leukosit
Eritrosit

Hasil
1,004
Kuning
Jernih
7,0
0-1
0-1

Nilai normal
1,003 1,30
Jernih
4,8 7,8
10/lpb
0-1/lpb

Hasil pemeriksaan Feses


Tinja
Makroskopis
Warna
Konsistensi
Darah
Lendir
Mikroskopis
Eritrosit
Leukosit
Amuba
Kista
Telur cacing
Diagnosis Kerja :

Porsi

Porsi

(17/12/2015)

(20/12/2015)

Kuning
Lembek
+

Kuning
Lembek
+

0-1
1-3
0-1
0-2
Bronchopneumonia + ASD dd PFO + Decomp
Cordis + TB paru + Post GEA

Penatalaksanaan:
-

D5 NS 400 cc / 24 jam pakai soloset/ poset


Minum maksimal 240 cc/ hari (8 x 30 cc atau 6 x 40 cc)
Inj. Ceftriaxone 3 x 200 mg (hari ke 2)
Inj. Furosemide 2 x 6 mg IV
Spironolakton 1 x 6 mg PO
Captopril 3 x 2 mg PO
Inj. Deksametason loading dose 3 mg IV lanjut maintenance 3 x 1 mg IV
Inj. Paracetamol 4 x 80 mg IV
Inj. Gentamisin 1 x 30 mg IV
Nebul ventolin 1 cc + PZ 1,5 cc 3x/ hari
Ambroxol 3 x 3 mg PO KDT lanjut 1 x 1 tab

12

Pemeriksaan Radiologis:
Tgl. 15 september 2015

Tgl. 14 Desember 2015

Tgl. 22 Desember 2015

13

Hasil Interpretasi:
-

Suspect congenital heart disease


Bronchopneumonia paru
Pachypleural basal dekstra
DD: Ebstein Heart Disease
CTR: 74 %

Tgl. 29 Desember 2015

Hasil Interpretasi:

14

Large cordis
Pneumonal knop prominent
Bronchopneumoni parenchymal
Pulmo effusion basis right hemithoraks
CTR 64 %

Kesan: Congenital heart disease (VSD / ASD) + Bronchopneumonia


Hasil pemeriksaan EKG:
- Sinus takikardia
- Right superior axis deviation
- Pulmonary disease pattern

Pemeriksaan Echocardiography:
Tgl. 16/12/2015

Hasil pemeriksaan:
-

Atrial sinus solitus


AV-VA Concordance
Normal systemic and pulmonal venous drainage
Balance 4 chambers
No PDA, VSD
ASD dd PFO Left to right shunt
15

- Mild PH 23 mmHg, Mild TR


- Well contracted ventricle
Kesan: ASD dd PFO
Follow Up
Tanggal
Hari ke- 11
22-12-2015
Melati

Subjektif & Objektif


Assesment & Planning
S: Sesak (+), demam (+), batuk A: Bronchopneumonia + ASD
pilek (+)
dd PFO + Decomp Cordis +
O: T:38,0 oC Nadi 112x/i kuat
TB paru + Post GEA
angkat RR 46 x/i, Ane (-/-),
P: - D5 NS 400 cc / 24 jam
ikt (-/-), Rh (+/+), Wh (-/-),
pakai soloset/ poset
retraksi
(+|+)
subcosta,
- Minum maksimal 240 cc/
BU(+)N,
hepatomegali(-),
hari (8 x 30 cc atau 6 x 40
splenomegali (-), akral hangat
cc)
(+)
- Inj. Ceftriaxone 3 x 200 mg
(hari ke 2)
- Inj. Furosemide 2 x 6 mg
IV
- Spironolakton 1 x 6 mg
PO
- Captopril 3 x 2 mg PO
- Inj. Deksametason loading
dose 3 mg IV lanjut
maintenance 3 x 1 mg IV
- Inj. Paracetamol 4 x 80 mg
IV
- Inj. Gentamisin 1 x 30 mg
IV
- Nebul ventolin 1 cc + PZ
1,5 cc 3x/ hari

Hari ke-12
23-12-2015
Melati

- Ambroxol 3 x 3 mg PO
- KDT lanjut 1 x 1 tab
S: Batuk (+), pilek (-), sesak (-) A: Bronchopneumonia + ASD
demam (-), BAK dbn
dd PFO + Decomp Cordis +
O: T:37,0 oC Nadi 118x/i kuat
16

angkat RR 44 x/i, Ane (-/-),

TB paru + Post GEA

ikt(-/-, Rh (+/+), Wh (-/-), P: - Tx lanjut


retraksi

(+|+)

subcosta,

BU(+)N, hepatomegali (-),

- Inj. Furosemide dosis naik:


3 x 6 mg

splenomegali (-), akral hangat


Hari ke- 17
28-12-2015
Melati

(-)
S: Batuk (+), pilek (-), sesak (-) A: Bronchopneumonia + ASD
demam (-), BAK dbn
dd PFO + Decomp Cordis +
O: T:37,7 oC Nadi 123x/i kuat
angkat RR 50 x/i, Ane (-/-),
TB paru + Post GEA
ikt(-/-, Rh (+/+) berkurang,
P: - Tx lanjut
Wh (-/-), retraksi (+|+)
subcosta,
BU(+)N,
hepatomegali
(-),
splenomegali
(-),
akral
hangat (-)

17

TINJAUAN PUSTAKA

I.
2.1

ATRIAL SEPTAL DEFECT (ASD)


Definisi
Atrial Septal Defect merupakan anomali jantung kongenital dimana

terdapat lubang menetap pada septum atrium akibat kegagalan penyatuan baik
septum sekundum atau septum primum dengan bantalan endocardium. Hal ini
menyebabkan aliran darah dari vena pulmonalis yang mengalir masuk ke atrium
kiri mengalir kembali ke atrium kanan. (1,2)
Pada awal perkembangan janin, jantung mulai terbentuk sebagai tabung
tunggal yang berdiferensiasi secara bertahap menjadi empat ruang. Kelainan dapat
timbul pada berbagai tahap sepanjang proses tersebut, mengakibatkan kelainan
pada dinding otot yang biasanya memisahkan kedua atrium. Sekitar 80% dari
ASD akan menutup pada 18 bulan pertama kehidupan, jika ASD belum menutup
sampai usia 3 tahun, maka ASD akan menetap dan perlu diterapi. Defek ini
mungkin tidak terdeteksi pada masa kanak-kanak, tetapi bila defek ukup besar
biasanya menjadi jelas pada umur 30 tahun. ASD yang kecil mungkin tidak
terdeteksi sampai usia pertengahan atau setelahnya, dan biasanya terdeteksi
karena adanya pembesaran jantung dan suara jantung yang spesifik (suara jantung
kedua terpisah secara menetap). Anak-anak dengan ASD yang bergejala bisa
mempunyai gejala seperti mudah lelah, pernapasan cepat disertai dengan sesak
napas, dan pertumbuhan yang lambat.(3)
2.2 Epidemiologi (2,4)
Defek septum atrium (ASD) meliputi 10% dari semua penyakit jantung
bawaaan dan sebanyak 20-40% penyakit jantung bawaan yang tampak di masa
dewasa.
Terdapat tiga jenis utama dari ASD meliputi:
Ostium secundum: jenis yang paling sering dari ASD meliputi
75 % dari semua kasus ASD, mewakili sekitar 7% dari semua
kelainan defek jantung bawaan dan 30-40% dari semua
penyakit jantung bawaaan pada pasien yang berumur lebih dari
40 tahun.
18

Ostium primum: jenis kedua paling sering dari ASD meliputi


15-20% dari semua ASD. ASD primum adalah bentuk kelainan
defek septum atrioventrikuler dan umumnya berhubungan

dengan kelainan katup mitral.


Sinus venosus: yang paling jarang terjadi antara ketiga jenis
ASD, ASD sinus venosus (SV) terlihat pada 5-10% dari semua
kasus ASD. Kelainan terletak di bagian superior dari septum
atrium, dekat dengan persambungan dengan vena cava
superior. Sering berhubungan dengan kelainan vena pulmonalis

yang bermuara ke atrium kanan.


Rasio ASD pada perempuan disbanding laki-laki sekitar 2:1. Pasien
dengan ASD dapat asimtomatik pada masa bayi dan anak, waktu munculnya
gejala klinis bergantung pada derajat pirau (shunt) kiri-ke-kanan. Gejala lebih
sering terjadi pada usia lanjut. Pada usia 40 tahun, 90% dari pasien yang tidak
diobati memiliki gejala sesak saat beraktivitas, kelelahan, palpitasi, aritmia
berulang, atau gagal jantung.
2.3 Anatomi Jantung(5)
Jantung merupakan organ muscular berongga yang bentuknya sedikit
mirip piramida dan terletak dalam pericardium di mediastinum. Pada basisnya
jantung dihubungkan dengan pembuluh-pembuluh darah besar tetapi berada
dalam keadaan bebas dalam pericardium.
Jatung mempunyai 3 permukaan:
Facies sternocostalis di anterior, terutama dibentuk oleh atrium
kanan dan ventrikel kanan, yang satu sama lain dipisahkan oleh

sulcus atrioventriculare yang terletak vertikal.


Facies diaphragmatica, terutama dibentuk oleh ventrikel kanan dan
kiri yang dipisahkan oleh sulcus interventricularis posterior.
Permukaan inferior atrium kanan, dimana vena

cava inferior

bemuara, juga membentuk sebagian facies diaphragmatica.


Basis cordis/facies posterior, terutama dibentuk oleh atrium kiri,

dimana bermuara 4 vena pulmonalis.


Apex cordis, terutama dibentuk oleh ventrikel kiri. Arahnya ke
bawah, depan dan kiri. Apex cordis terletak setingi intercostalis VI,
9 cm dari garis tengah.

19

Jantung dibagi oleh septa vertical dalam 4 ruang, atrium kanan dan kiri
serta ventrikel kanan dan kiri. Atrium kanan tereak anterior terhadap atrium kiri
dan ventrikel kanan terletak anterior terhadap ventrikel kiri.
Pada atrium kanan bermuara:
- Vena cava superior, bermuara di bagian atas atrium, tidak
mempunyai katup.
-

Ia mengembalikan darah ke jantung dari

separuh atas tubuh.


Vena cava inferior, bermuara di bagian bawah atrium, dilindungi
oleh katup rudimenter yang tidak berfungsi. Ia mengembalikan

darah ke jantung dari separuh bawah tubuh.


Sinus coronarius, bermuara di antara vena cava inferior dan ostium
atrioventriculare yang terletak anterior terhadap muara vena cava
inferior. Ostium ini dilindungi oleh valve/katup tricuspidalis.

Ventrikel kanan berhubungan dengan atrium kanan melalui ostium


atrioventriculare dextrum dan dengan truncus pulmonalis melalui ostium trunci
pulmonalis dimana ostium yang terakhir ini dilindungi oleh valve/katup
pulmonalis.
Pada atrium kiri bermuara 4 vena pulmonalis, 2 dari masing-masing paruparu bermuara pada dinding posterior dan tidak berkatup. Ostium atroventriculare
kiri dilindungi oleh valve /katup mitralis.
Ventrikel kiri berhubungan dengan atrium kiri melalui Ostium
atroventriculare kiri dan dengan aorta melalui ostium aortae, ostium aortae
dilindungi oleh valve/katup aortae.
2.4 Fisiologi Jantung(6,7)
SIRKULASI LAHIR
Jantung pada kenyataannya merupakan 2 buah pompa yang terpisah:
jantung kanan memompakan darah ke paru-paru dan jantung kiri
memompakan darah ke organ-organ perifer.
Masing-masing jantung merupakan pompa berdenyut yang memiliki
2 ruang yang terdiri dari atrium dan ventrikel. Atrium-atrium tersebut
merupakan pompa primer yang lemah bagi ventrikel, benfungsi memompakan
darah ke ventrikel. Ventrikel-ventrikel merupakan kekuatan utama dari

20

pompa-pompa tersebut, yang mendorong darah baik ke sirkulasi pulmonal


oleh ventrikel kanan maupun sirkulasi sistemik oleh ventrikel kiri.
Pembuluh-pembuluh darah yang mengembalikan darah dari jaringan
ke atrium adalah vena, dan pembuluh-pembuluh darah yang mengangkut
darah menjauhi ventrikel menuju ke jaringan adalah arteri. Kedua belahan
jantung dipisahkan oleh septum yaitu suatu otot otonom yang mencegah
pencampuran darah dari kedua sisi jantung. Pemisahan ini sangat penting
karena sisi kanan jantung menerima dan memompa darah ber-oksigen rendah
sementara sisi kiri jantung menerima dan memompa darah beroksigenasi
tinggi.
Darah yang kembali dari sirkulasi sistemik masuk ke atrium kanan
melalui vena cava. Darah ini mengandung CO2 dan mengalami deoksigenasi
parsial mengalir dari atrium kanan ke dalam ventrikel kanan, yang
memompanya ke paru-paru melalui arteri pulmonalis. Dengan demikian sisi
kanan jantung memompa darah ke dalam sirkulasi paru. Di dalam paru, darah
tersebut kehilangan CO2 dan menyerap O2 segar sebelum dikembalikan ke
atrium kiri melalui vena pulmonalis. Darah kaya oksigen yang kembali ke
atrium kiri ini kemudian mengalir ke dalam ventrikel kiri yang memompa
darah ke dalam sirkulasi sistemik melalui aorta.
Kedua sisi jantung secara simultan memompa darah dalam jumlah
yang sama. Volume darah ber-oksigen rendah yang dipompa ke paru oleh sisi
kanan jantung segera memiliki volume yang sama dengan darah ber-oksigen
tinggi yang dipompa ke jaringan oleh sisi kiri jantung.

Gambar 1. Struktur jantung dan alur aliran darah


melalui ruang-ruang jantung dan katup-katup. (7)

21

SIRKULASI JANIN
Perbedaan utama antara sirkulasi janin dan sirkulasi lahir adalah

penyesuaian terhadap kenyataan bahwa janin tidak bernafas sehnga paru tidak
berfungsi. Janin memperoleh O2 dan mengeluarkan CO2 melalui pertukaran
dengan darah ibu menembus plasenta. Karena darah tidak perlu mengalir ke
paru-paru untuk menyerap O2 dan mengeluarkan CO2, pada sirkulasi janin
terdapat 2 jalan pintas, yaitu foramen ovale (suatu libang di septum antara
atrium kanan dan kiri) dan duktus arteriosus (suatu pembuluh yang
menghubungkan arteri pulmonalis dan aorta ketika keduanya keluar dari
jantung).
Darah beroksigen tinggi dibawa dari plasenta melalui vena
umbilicalis dan diteruskan ke dalam vena cava inferior. Dengan demikian,
ketika dikembalikan ke atrium kanan dari sirkulasi sitemik, darah adalah
campuran dari darah beroksigenasi tinggi dari vena umbilucalis dan darah
vena yang beroksigenasi rendah yang kembali dari jaringan janin. Selama
masa janin karena tingginya resistensi diakibatkan oleh paru yang kolaps,
tekanan di separuh kanan jantung dan sirkulasi paru lebih tinggi daripada di
separuh kiri jantung dan sirkulasi sistemik. Situasi ini terbalik dibandingkan
dengan setelah lahir. Karena perbedaan tekanan antara atrium kanan dan kiri,
sebagian darah campuran yang beroksigenasi cukup yang kembali ke atrium
kanan segera disalurkan ke atrium kiri melalui forame ovale. Darah ini
kemudian mengalir ke dalam ventrikel kiri dan dipompa keluar ke sirkulasi
sistemik. Selain memperdarahni jaringan, sirkulasi sistemik janin juga
mengalirkan darah melalui arteri umbilicalis agar trejadi pertukaran dengan
darah ibu melalui placenta. Sisa darah di atrium kanan yang tidak segera
dialihkan ke atrium kiri mengalir ke ventrikel kanan, yang memompa darah ke
arteri pulmonalis. Karena tekanan di arteri pulmonalis lebih tinggi daripada
tekanan di aorta, darah dialirkan melalui duktus arteriosus mengikut gradient
tekanan. Dengan demikian, sebagian besar darah yang dipompa ke luar dari
ventrikel kanan yang ditujukan ke sirkulais paru segera dialihkan ke dalam

22

aorta dan disalurkan ke sirkulasi sistemik, yang mengabaikan paru yang non
fungsional.(6)

Gambar 2. Sirkulasi janin(8)


2.5 Embriologi(9,10)
Septum atrium terbentuk antara minggu keempat dan keenam masa
mudigah. Fase awal ditandai dengan pertumbuhan suatu septum primer (septum
primum) dari dinding dorsal rongga atrium komunis ke arah bantalan
endocardium yang sedang tumbuh sewaktu yang terakhir memisahkan rongga
atrium dan ventrikel. Suatu celah, yang disebut ostium primum, mula-mula
memisahkan septum primum yang sedang tumbuh dari bantalan endocardium.
Pertumbuhan berlanjut dan fusi septum dengan bantalan endocardium akhirnya
melenyapkan ostium primum; namun, sebelum menutup sempurna, kematian sel
akan menyebabkan perforasi pada bagian atas dari septum primum yang akan
membentuk ostium sekundum. Hal ini memungkinkan berlanjutnya aliran darah
teroksigenasi dari atrium kanan ke atrium kiri yang esensial untuk kehidupan
janin

23

Gambar 3. Septum artrium dari berbagai tahap perkembangan


A. 30 hari (6 mm). B. Tahap yang sama dengan A. dilihat dari kanan
C. 33 hari (9 mm). D. Tahap yang sama dengan C, dilihat dari kanan
E. 37 hari (14 mm).F. Baru lahir.
(9)
Seiring
dengan
membesarnya
ostiumyang
sekundum,
sebuah
sekunder
G.
Septum
atrium
dari kanan ; tahap
sama dengan
F. septum
(septum sekundum) muncul tepat di sisi kanan septum rpimum. Septum
sekundum berproliferasi untuk membentuk struktur mirip bulan sabit yang
mengelilingi suatu raung yang disebut foramen ovale foramen ovale dijaga di sisi
kirinya oleh sebuah flap jaringan yang berasal dari septum primer, yang berfungsi
sebagai katup satu arah dan memungkinkan darah terus mengalir dari kanan ke
kiri selama kehidupan intrauterine. Saat lahir, seiring dengan turunnya resistensi
vascular paru dan meningkatnya tekanan arteri sistemik, tekanan di atrium kiri
meningkat melebihi tekanan atrium kanan sehingga terjadi penutupan fungsional
foramen ovale.
Kelainan pada rangkaian kejadian ini dapatmenimbulkan berbagai ASD,
yang memungkinkan komunikasi bebas antara atrium kiri dan kanan.
2.6 Etiopatogenesis(2)

24

ASD merupakan kelainan kongenital jantung yang disebabkan oleh


malformasi spontan dari septum interatrial. Dapat terjadi pada keluarga yang
mempunyai riwayat ASD.
ASD ostium sekundum merupakan akibat dari:
Adhesi inkomplit antara katup penutup foramen ovale dengan septum

sekundum pada saat lahir.


Foramen ovale yang menetap. Biasanya terjadi akibat resorbsi abnormal
dari septum primum pada saat pembentukan foramen sekundum. Resopsi
pada lokasi abnormal menyebabkan septum primum berlubang atau

berbentuk menyerupai jala.


Resorpsi septum primum yang berlebihan menyebabkan septum primum

menjadi pendek dan tidak dapat menutup foramen ovale.


Abnormalitas yang besar dari foramen ovale dapat terjadi sebagai akibat
gangguan pembentukan septum sekundum. Septum primum yang normal

tidak dapat menutup foramen ovale saat lahir.


Suatu kombinasi dari resorpsi yang berlebihan dari septum primum
dengan foramen ovale yang besar mengakibatkan ASD septum sekundum
yang besar.
ASD septum primum, merupakan akibat dari penyatuan inkomplit
septum primum dengan bantalan endokardial. Defek terjadi di
dekat katup atrioventrikular. Katup mitral biasanya terlibat berupa
abnormalitas dalam bentuk atau fungsi. Katup trikuspid biasaya
tidak terlibat.
ASD sinus venosus: terjadi karena penyatuan yang abnormal dari
sinus venosus masa embrio dengan atrium. Pada kebanyakan
kasus, defek terletak di bagian superior dari septum atrial, dekat
persambungannya

dengan

vena

cava

superior.

Biasanya

berhubungan dengan muara abnormal dari vena pulmonalis kanan


superior. Tipe yang relatif jarang yaitu tipe inferior yang
berhubungan dengan muara abnormal dari vena pulmonalis kanan
inferior. Vena ini dapat bermuara ke atrium kanan, v.cava superior
atau ke v.cava inferior.
Akibat yang timbul karena adanya defek septum atrium sangat bergantung
dari besar dan lamanya pirau serta resistensi vaskuler paru. Ukuran defek sendiri

25

tidak banyak berperan dalam menentukan besaran arah pirau. Darah mengalir
kembali dari atrium kiri ke atrium kanan karena tekann atrium kiri biasanya
sedikit lebih tinggi dari tekanan atrium kanan. Perbedaan ini memaksa sejumlah
besar darah melalui defek pada septum yang menyebabkan volume berlebih pada
jantung kanan, yang melibatkan atrium knan, ventrikel kanan, dan arteri paru
Akibatnya, atrium kanan membesar dan ventrikel kanan berdilatasi sebagai usaha
untuk menampung volume darah yang meningkat. Jika terjadi hipertensi arteri
pulmonalis, maka akan terjadi peningkatan resistensi vaskuler paru dan kemudian
diikuti hipertrofi vetrikel kanan.(11,12)
2.7 Diagnosis
A. Gambaran Klinis
Pada ASD gambaran klinisnya agak berbeda karena defek berada di
septum atrium dan aliran dari kiri ke kanan yang terjadi selain menyebabkan
aliran ke paru yang berlebihan juga menyebabkan peningkatan beban volume
pada jantung kanan. Defek septum atrium sering tidak terdeteksi pada anak-anak
walaupun pirau cukup besar karena asimtomatik, dan tidak memberi gambaran
diagnostis fisis yang khas. Keluhan baru timbul saat usia dewasa. Lebih sering
ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan rutin foto thorax atau
ekokardiografi. (11,13)
Hanya sebagian kecil bayi atau anak dengan ASD besar yang simptomatik
dan gejalanya sama seperti pada umumnya kelainan dengan aliran ke paru yang
berlebihan. (13)
Sesak napas dan rasa capek paling sering merupakan keluhan awal,
demikian pula infeksi napas yang berulang. Pasien dapat sesak pada saat
beraktivitas, dan berdebar-debar akibat takiaritmia atrium.(11)
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan pulsasi ventrikel kanan pada
daerah sternal kanan, auskultasi jantung cukup khas yaitu bunyi jantung dua yang
terpisah lebar dan menetap tidak mengikuti variasi pernapasan (wide fixed
splitting) walaupun tidak selalu ada, serta bising sistolik tipe ejeksi pada daerah
pulmonal pada garis sternal kiri. Bila aliran piraunya besar mungkin akan
terdengar bising diastolik di parasternal iga 4 kiri akibat aliran deras melalui katup
tricuspid, dapat menyebar ke apeks. Bunyi jantung kedua mengeras di daerah
pulmonal, oleh karena kenaikan tekanan pulmonal, dan pelu diingat bahwa bisingbising yang terjadi pada ASD merupakan bising fungsional akibat adanya beban
26

volume yang besar pada jantung kanan. Sianosis jarang ditemukan, kecuali bila
defek besar atau common atrium, defek sinus koronarius, kelainan vascular paru,
stenosis pulmonal, atau bila disertai anomali Ebstein. Juga dapat ditemukan
Clubbing of nails(11,13,14)
Simptom dan hipertensi paru umumnya baru timbul saat usia 30-40 tahun
sehingga pada keadaan ini mungkin sudah terjadi penyakit obstruktif vaskuler
paru.(13)
B. Gambaran Radiologis
1. Foto Thorax
Gambaran dari kelainan ASD tergantung pada besarnya defek dan
komplikasi yang mungkin timbul pada pembuluh darah paru. (19)
Dalam keadaan sebelum timbulnya hipertensi pulmonal, pada foto
thoraks posisi posteroanterior (PA) tampak jantung membesar ke kiri dengan
apeks di atas diafragma. Hilus melebar, arteri pulmonalis dan cabang-cabang
dalam paru melebar. Pembuluh darah di bagian perifer masih nampak jelas.
Vena pulmonalis tampak melebar di daerah suprahilar dan sekitar hilus,
sehingga corakan pembuluh darah paru bertambah. Konus (segmen) pulmonal
nampak menonjol. Arkus aorta nampak menjadi kecil. (11,15)
Pada foto lateral, daerah retrosternal terisi akibat pembesaran ventrikel
kanan, dilatasi atrium kanan, segmen pulmonal menonjol, serta corakan
vaskuler paru prominen.(11)
Dalam keadaan hipertensi pulmonal, pada foto thoraks posisi
posteroanterior (PA) tampak jantung yang membesar ke kiri dan juga ke
kanan. Hilus sangat melebar di bagian sentral dan menguncup menjadi kecil
ke arah tepi. Segmen arteri pulmonalis menjadi menonjol sekali. Aorta
nampak kecil. Vena-vena sukar dilihat. Paru-paru di bagian tepi menjadi lebih
radiolusen karena pembuluh darah berkurang. Bentuk thoraks emfisematus
(bentuk tong, barrel chest). Sedangkan pada foto thoraks posisi lateral tampak
pembesaran dari ventrikel kanan yang menempel jauh ke atas sternum.
Tampak hilus yang terpotong ortograd dan berukuran besar. Kadang-kadang
jantung belakang bawah berhmpit dengan kolumna vertebralis. Hal ini
disebabkan karena ventrikel kanan begitu besar dan mendorong jantung ke
belakang tanpa ada pembesaran dari ventrikel kiri.(15)

27

Gambar 4.

Gambaran foto

thorax

pasien

pada

dengan

derajat pirau kiri ke kanan yang


besar akibat ASD sekundum.
Terdapat
dengan

pembesaran
pembesaran

jantung
ventrikel

kanan, arteri pulmonalis yang


sangat prominen dan corakan
paru-paru yang kasar. (14)

Gambar 5. Foto thorax yang


menunjukkan

gambaran

khas

ASD. Jantung membesar, apeks


terangkat, atrium kanan yang
prominen

[1]

dan

arteri

pulmonalis yang disertai dilatasi


[2] akibat dari peningkatan aliran
darah paru (16)

28

Gambar 6. ASD. Aliran darah tambahan dari sisi kiri jantung kembali ke sisi
kanan menambah ukuran arteri pulmonalis utama (terlihat jelas pada foto
thoraks PA) (A). Penambahan ukuran ventrikel kanan (terlihat jelas pada foto
lateral (B). karena pengisian jaringan lunak pada bagian bawah dan tengah
ruang retrosternal. (17)
2. USG Jantung (Ekordiografi)
Ekokardiografi menunjukkan dilatasi atrium dan ventrikel kanan, dan
dilatasi arteri pulmonalis dengan gerakan septum ventrikel yang abnormal
(paradox) karena adanya kelebihan beban volume yang signifikan pada
jantung kanan. Defek septum atrium dapat divisualisasikan secara langsung
oleh pencitraan dua-dimensi, USG Doppler atau ekokontras. Dengan
menggunakan ekokardiografi transtorakal (ETT) dan Doppler berwarna dapat
ditentukan lokasi defek septum, arah pirau, ukuran atrium dan ventrikel kanan,
keterlibatan katup mitral misalnya prolapse yang memang sering terjadi pada
ASD.(11,18)
Ekokardiografi transesofageal (ETE) diindikasikan jika ETT diragukan,
serta sangat bermanfaat karena dapat dilakukan pengukuran defek secara
presisi, sehingga dapat membantu dalam tindakan penutupan ASD perkutan,
juga kelainan yang menyertai.(11,18)

Gambar

7.

Defek

septum

atrium

ini

ditunjukkan

menggunakan

ekokardiografi Doppler berwarna. (4)

29

Gambar

8.

Ekokardiogram

menunjukkan defek septum atrium


sekundum antara atrium kiri dan
atrium kanan. (18)
3. CT Scan
Ultrafast CT scan cukup akurat dalam menilai defek septum atrium.
Tomografi potongan axial memberikan pemisahan jarak yang jelas dari bagian
inflow dan outflow dari septum atrium dan ventrikel. Akibat dari tidak adanya
struktur diatasnya yang menutupi pada gambaran CT scan dan 3-dimensi (3D)
ultrafast CT, ukuran atrium dan ventrikel dapat diukur. (4)

Gambar 9. CT Scan Atrial Septal


Defect. Defect septum atrium terlihat
jelas. (19)

Gambar 10. CT scan dengan kontras


menunjukkan defek septum atrium. (4)

4. MRI

30

MRI memiliki peran yang penting dalam menegakkan diagnosa


kardiovaskuler. Kemampuan lain dari MRI meliputi:
Dapat menyajikan beberapa gambar per siklus jantung

sehingga fungsi ventrikel dapat dievaluasi.


Memungkinkan pengukuran aliran dan kecepatan darah
dalam aorta, arteri pulmonalis dan saat melewati katup-

katup.
MR angiografi

memungkinkan

berresolusi tinggi

pemeriksaan

3D

dari pembuluh darah dan secara

noninvasif dapat menetapkan adanya anomali vena paru


yang menyebabkan terjadinya pirau.(4)

Gambar 11. MRI ASD secundum


dengan pembesaran ventrikel dan
atrium kanan. (19)

Gambar 12. MRI ASD secundum


(panah hitam). (20)
5. KATETERISASI JANTUNG
Kateterisasi jantung dilakukan bila

defek

intraarterial

pada

ekokardiogram tidak jelas terlihat atau bila terdapat hipertensi pulmonal.


Pada kateterisasi jantung terdapat peningkatan saturasi oksigen di atrium

31

kanan dengan peningkatan ringan tekanan ventrikel kanan dan arteri


pulmonalis. Bila telah terjadi penyakit vaskuler paru, tekanan arteri
pulmonalis sangat meningkat sehingga perlu dilakukan tes dengan pemberian
oksigen 100% untuk menilai reversiblitas vaskuler paru. Pada atrial septal
defect primum, terlihat gambaran leher angsa (goose-neck appearance) pada
kasus dengan defek pada septum primum, hal ini akibat posisi katup mitral
yang abnormal. Regurgitasi melalui celah pada katup mitral juga dapat
terlihat. Angiogram pada vena pulmonalis kanan atas, dapat memperlihatkan
besarnya atrial septal defect.(4,21)
2.8 Diagnosa Banding
a. VENTRICULAR SEPTAL DEFECT (VSD)
VSD merupakan kelainan jantung non-sianotik yang paling sering
dijumpai. Pada penderita VSD, di jantungnya terdapat suatu defek yang
letaknya tinggi atau rendah pada septum antara ventrikel kanan dan kiri.
Karena tekanan dalam ventrikel kiri memang lebih tinggi, terjadilah left-toright shunt.(22)
Gambaran radiologi penderita VSD dapat berbeda-beda tergantung
pada ada atau tidaknya ganggaun pada pembuluh darah paru (hipertensi
pulmonal) dan besarnya kebocoran. Makin kecil kebocoran, makin sedikit
kelainan yang dapat dilihat pada radiografi polos. (15,21)
Kebocoran yang sangat kecil: Kelainan ini disebut Maladi de
Roger, jantung tidak membesar dan pembuluh darah paru-paru

normal.
Kebocoran yang ringan: antung membesar ke kiri karena adanya
pembesaran dari ventrikel kiri, apex jantung tertanam, ventrikel
kanan belum jelas membesar, atrium kiri dilatasi, dan pembuluh
darah paru nampak bertambah.

32

Gambar 13. Foto thorax PA pada kasus VSD dengan moderate left to
right shunt. Tampak penonjoloan conus pulmonalis dan corakan
bronchovaskular meningkat. Pada foto thorax lateral, tampak
pendorongan esophagus ke posterior. Hal ini mengindikasikan adanya
Kebocoran yang sedang-berat: ventrikel kanan dilatasi dan
dilatasi atrium kiri dan pembesaran ventrikel kanan dan kiri. (23)
hipertrofi, atrium kiri dilatasi, arteri pulmonalis dengan cabangcabangnya melebar, atrium kanan tidak nampak kelainan dan

ventrikel kiri membesar serta aorta kecil.


Kebocoran dengan hipertensi pumonal: Ventrikel kanan tampak
semakin besar, arteri pulmonalis dan cabang-cabangnya di bagian
sentral melebar, segmen pulmonal menonjol, atrium kiri normal,
aorta mengecil, pembuluh darah paru bagian perifer sangat
berkurang dan thorax menjadi emfisematus.

Gambar 14. Gambar pada level apical 4 chamber. Gambar


A. tampak defek yang besar di posterior pada level katup
atrioventricular. Gambar B. tampak VSD yang kecil pada
bagian tengan septum interventrikel (24)
33

b. PATENT DUCTUS ARTERIOSUS (PDA)


Ductus arteriosus bermula di dekat pangkal a. pulmonalis dan bermuara di
aorta, tepat di distal a. subclavia sisnitra. Ductus arteriosus mengalirkan darah ke
sirkulasi sistemik dari arteria pulmonalis pada masa intrauterine. Ductus ini
kemudian biasanya sudah menutup pada umur 2 bulan, kadang sampai 6 bulan.
Pada PDA, ductus ini tetap ada terus (tidak menutup).(22)
Adanya PDA memungkinkan aliran pirau dari kiri ke kanan (dari aorta ke
arteri pulmonalis/ left-to-right shunt). (21)
Gambaran radiologis tergantung pada besar kecilnya PDA.(15)
- PDA kecil sekali: gambaran jantung dan pembuluh darah paru normal.
- PDA cukup besar: Aorta ascendens dan arkus nampak normal atau
membesar sedikit, dan nampak menonjol pada proyeksi PA. Arteri
pulmonalis nampak menonjol dan melebar di samping aorta. Pembuluh
darah paru-paru dan hilus nampak melebar, karena volume darah yang
bertambah. Pembesaran atrium kiri dan pembesaran dari ventrikel kanan
-

dan kiri.
PDA dengan hipertensi pulmonal: Pembuluh paru bagian sentral melebar,
hilus melebar, pembuluh darah perifer berkurang. Ventrikel kanan makin
besar krena adanya hipertrofi dan dilatasi. Arteri pulmonalis menonjol,
aorta ascendens melebr dengan arkus yang menonjol. Atrium kiri nampak
normal kembali.

Gambar 15. Foto thorax Patent Ductus Arteriosis (PDA). Gambar


(A) menunjukkan adanya pembesaran siluet cardiomediastinal dan
trunkus pulmonalis serta pembuluh darah perifer yang mengecil
secara mendadak.

Gambar (B) menunjukkan ruang retrosternal

yang terisi oleh ventrikel kanan yang membesar.(25)


34

Gambar 16 C-I. CT scan dengan


kontras dari pasien yang sama dengan gambar di atas, mengkonfirmasi adanya
pembesaran jantung, dilatasi dan hipertrofi ventrikel kanan.(25)
2.9 Penatalaksanaan
Bedah penutupan defek septum atrium dilakukan bila rasio aliran
pulmonal terhadap aliran sistemik lebih dari 2. Bila pemeriksaan klinis dan
elektrokardiografi sudah dapat memastikan adanya defek septum atrium dengan
aliran pirau yang bermakna, maka penderita dapat diajukan untuk operasi tanpa
didahului pemeriksaan kateterisasi jantung. Bila terjadi hipertensi pulmonal dan
penyakit vaskuler paru, serta pada kateterisasi jantung didapatkan tahanan arteri
pulmonalis lebih dari 10 U.m2 yang tidak responsive dengan pemberian oksigen
100%, maka penutupan defek septum atrium merupakan indikasi kontra.(21)
2.10 Komplikasi
Berikut ini adalah komplikasi yang berhubungan dengan ASD:
Gagal jantung kongestif
Aritmia
Hipertensi pulmonal
Sianosis
Paradoxical embolization
Stroke
Infective endocarditis.(2)
2.11

Prognosis
Pasien dengan ASD biasanya bertahan hidup sampai dewasa tanpa bedah

atau intervensi perkutan, dan banyak pasien hidup sampai usia lanjut. Namun,
kelangsungan hidup secara alamiah setelah usia 40-50 tahun kurang dari 50%, dan
tingkat kelemahan dari jantung setelah 40 tahun adalah sekitar 6% per tahun.
Hipertensi pulmonal jarang terjadi sebelum dekade ketiga.(2)

G
a
m
b
a

35

GAGAL JANTUNG PADA ANAK


PENDAHULUAN
Peristiwa gagal jantung pada bayi dan anak merupakan keadaan patologis
dimana jantung tidak mampu memompa darah cukup untuk memenuhi kebutuhan
metabolik tubuh. Dalam hubungan yang luas ada dua sebab gagal jantung: (1)
gangguan dari beban kerja yang berlebihan, biasanya kelebihan beban volume
atau tekanan akibat penyakit jantung congenital atau yang didapat, pada awalnya
miokardium normal, atau (2) beban kerja normal dihadapi oleh miokardium yang
telah tercedera oleh misalnya penyakit radang (Freed, 1996). Pada stadium awal
gagal

jantung,

berbagai

mekanisme

kompensatoir

dibangkitkan

untuk

mempertahankan fungsi metabolik normal (cadangan jantung). Ketika mekanisme


ini menjadi tidak efektif, akibatnya manifestasi klinisnya makin bertambah berat
(Behrman, 1996).
Sampai saat ini belum ada data yang valid mengenai insidens gagal
jantung akut pada anak. Gagal jantung memberi kontribusi terhadap estimasi 15
juta kematian anak tiap tahun di dunia, penyebab tersering adalah PJB. Menurut
dr.Sukman Tulus Putra, SpA, Ketua Divisi Kardiologi Anak RSCM, penderita
PJB 90% meninggal karena gagal jantung dalam usia kurang dari satu tahun,
sedangkan sisanya terjadi pada umur 1-5 tahun. Penyebab gagal jantung pada
umur 5-15 tahun umumnya kelainan jantung di dapat (diantaranya demam
reumatik) (Supriyatno, 2009).
Saat ini penentuan derajat gagal jantung masih menggunakan kriteria
klinis gagal jantung yaitu kriteria Ross (kemampuan minum, laju jantung, laju
nafas, dan keringat yang berlebihan).
Definisi
Gagal jantung merupakan suatu sindroma klinis yang disebabkan oleh
gagalnya mekanisme kompensasi otot jantung dalam mengantisipasi peningkatan
beban volume ataupun beban tekanan yang berlebihan yang sedang dihadapinya,
sehingga tidak mampu memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan tubuh

36

ditentukan oleh curah jantung yang dipengaruhi oleh empat factor, (Sofyani S,
2002)
1) Preload (volume work) yang setara dengan isi diasolik akhir
2) After load (pressure work) yaitu jumlah resistensi total yang harus dilawan
saat ventrikel berkontraksi
3) Kontraktilitas miokardium, yaitu kemampuan intrinsik otot jantung untuk
menghasilkan tenaga dan berkontraksi tanpa tergantung kepada preload
maupun after load serta
4) Frekuensi denyut jantung

Curah
jantung
Frekuensi
jantung
preload

Isi
sekuncup
afterload

Kontraktili
tas
miokardiu
m

Gambar.1. Skema factor-faktor yang mempengaruhi curah jantung


Etiologi
1. Etiologi Gagal Jantung pada Janin
Tabel 1. Etiologi Gagal Jantung dalam Kandungan (Bernstein, 2003)
Anemia
Hemolitik akibat sensitisasi RH
Transfusi ibu janin
Anemia hipoplastik
Anemia akibat parvovirus B-19
Aritmia
Takikardi supraventrikular
Flutter atrium
Fibrilasi atrium
Takikardi ventrikel

37

Blokade jantung total

Beban volume berlebih (volume overload)


Regurgitasi katup atrioventrikular pada kanal AV
Regurgitasi trikuspidal pada penyakit Ebstein
Fistula arteriovenosa
Miokarditis

2. Etiologi Gagal Jantung Masa Neonatal


Tabel 2. Etiologi Gagal Jantung pada Neonatus
Disfungsi Miokardium
Asfiksia
Sepsis
Hipoglikemia
Miokarditis
Beban tekanan berlebih (pressure overload)
Stenosis aorta
Koarktasio aorta
Sindrom hipoplastik Jantung kiri
Beban volume berlebih (volume overload)
Pirau setinggi pembuluh darah besar
Duktus arteriosus paten
Trunkus arteriosus
Jendela aorta pulmonal
Pirau setinggi ventrikel
Defek sekat ventrikel
Ventrikel tunggal tanpa sianosis pulmonal
Kanal atrioventrikular
Fistula arteriovenosus
Takiaritmia
Takikardia supraventrikular
Flutter atrium

38

Fibrilasi atrium
Bradiaritmia
Blokade jantung total congenital

3. Etiologi Gagal Jantung Masa Bayi


Tabel 3. Etiologi Gagal Jantung Pada Bayi
Beban volume berlebih
Pirau setinggi pembuluh darah besar
Duktus arteriosus paten
Trunkus arteriosus
Jendela aorta pulmonal
Pirau setinggi ventrikel
VSD
VSD dengan transposisi
VSD dengan atresia trikuspidal
Ventrikel tunggal
Pirau setinggi atrium
Anomali total muara vena pulmonalis
Kelainan otot jantung
Gagal jantung sekunder
Penyakit ginjal
Hipertensi
Hipotirodisme
Sepsis

4. Etiologi Gagal Jantung Masa Anak-anak


Tabel 4. Etiologi Gagal Jantung Pada Masa Anak-anak
Penyakit jantung congenital yang diperingan (palliated)
Regurgitasi katup atrioventrikular
Demam reumatik
Miokarditis virus
Endokarditis bacterial

39

Sebab-sebab Sekunder
Hipertensi akibat glomerulonefritis
Tirotoksikosis
Kardiomiopati doksosrubisin (adriamycin)
Anemia sel sabit
Kormulmonale akibat kistik fibrosis

Patofisiologi
Jantung dapat dipandang sebagai pompa dengan curah yang sebanding
dengan volum pengisiannya dan berbanding terbalik dengan tahanan yang
melawan pompanya. Ketika volume akhir diastolic ventrikel naik, jantung sehat
akan menaikkan curah jantung sampai suatu maksimum dicapai dan curah jantung
sampai suatu maksimum dicapai dan curah jantung tidak dapat diperbesar lagi
(prinsip Frank starling). Kenaikan volume sekuncup yang dicapai dengan cara ini
disebabkan oleh regangan serabut-serabut miokardium, tetapi menaikkan
tegangan dinding juga, dan menaikkan konsumsi oksigen miokardium. Jantung
yang bekerja dibawah pengaruh berbagai jenis stess akan berfungsi sepanjang
kurva Frank-Starling yang berbeda. Otot jantung dengan kontraktilitas intrinsic
yang terganggu akan memerlukan derajat dilatasi yang lebih besar untuk
menghasilkan kenaikan volume sekuncup dan tidak akan mencapai curah jantung
yang maksimal sama seperti miokard normal. Jika rongga jantung dilatasi karena
lesi yang menyebabkan kenaikan prabeban (preload) (misal, shunt dari kiri ke
kanan atau insufisiensi katup), hanya akan ada sedikit ruangan untuk dilatasi dan
memperbesar curah jantung selanjutnya. Adanya lesi yang mengakibatkan
kenaikan beban pasca (afterload) terhadap ventrikel (stenosis aorta atau pulmonal,
koartasio aorta) akan mengurangi kinerja jantung, sehingga menyebabkan
hubungan Frank-Sterling tertekan. Kemampuan jantung imatur untuk menaikkan
curah jantung dalam responsnya terhadap kenaikan prabeban agak kurang
daripada kemampuan jantung dewasa (matur). Dengan demikian, bayi premature
akan lebih terganggu oleh shunt setinggi duktus dari kiri ke kanan daripada bayi
yang cukup bulan. (Behrman, 1996)

40

Gambar 1. Kurva Frank-Starling


Transport oksigen sistemik (TOS) dihitung sebagai hasil kali curah
jantung (CJ) dan kadar oksigen sistemik (KO 2). Curah jantung dapat dihitung
sebagai hasil kali frekuensi jantung dan volume sekuncup (FJxVS). Penentu
utama volume sekuncup adalah beban pasca (beban tekanan), prabeban (beban
volume), dan kontraktilitas (fungsi miokard intrinsik), kelainan frekuensi jantung
dapat juga mengganggu curah jantung, termasuk bradiartmia maupun takiaritmia,
yang memperpendek interval waktu diastole selama pengisian ventrikel.
Perubahan dalam kemampuan darah membawa oksigen (missal anemia atau
hipoksemia) akan juga menyebabkan penurunan dala TOS, dan jika mekanisme
kompensatoir tidak cukup, dapat juga berakibat penurunan penghantaran substrat
ke jaringan, suatu bentuk gagal jantung. Pada beberapa kasus gagal jantung, CJ
normal atau naik, tetapi karena kadar oksigen sistemik menurun (akibat anemia)
atau bertambahnya kebutuhan oksigen (akibat hipoventilasi, hipertiroidism atau
hipermetabolisme) jumlah oksigen yang dihantarkan tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan tubuh. Keadaan ini, disebut gagal-curah tinggi, berakibat timbulnya
tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantung kongestif bila tidak ada kelaianan
dasar pada fungsi miokardium dan curah jantung lebih besar daripada normal.
Keadaan ini juga tampak pada fistulaarteriovenosa sistemik besar. Penyakit ini
mengurangi tahanan vaskuler perifer dan beban pasca jantung, dan menambahkan
41

kontraktilitas miokardium. Menghasilkan gagal jantung bila kebutuhan untuk


curah jantung melebihi kemampuan jantung untuk berespons. Gagal curah-tinggi
berat kronis akhirnya dapat menyebabkan penurunan kinerja miokardium karena
kebutuhan metabolic miokardium sendiri tidak terpenuhi.
Satu mekanisme kompensatoir utama untuk menaikkan curah jantung
adalah naiknya tonus simpatis, akibatnya bertambahnya sekresi epinefrin adrenal
dalam sirkulasi dan bertambahnya pelepasan norepinefrin saraf. Pengaruh
manfaat awal rangsangan simpatis adalah kenaikan frekuensi jantung dan
kontraktilitas miokardium, yang keduanya berperan menaikkan curah jantung.
Karena vasokontriksi yang terlokalisasi, aliran darah dapat didistribusikan lagi
dari kulit, visceral, dan bantalan kapiler ginjal ke jantung dan otak. Namun,
kenaikan rangsangan simpatis yang lama dapat mempunyai pengaruh yang
merugikan

juga.,

termasuk

hipermetabolisme,

kenaikan

beban

pasca,

aritmogenesis, kenaikan kebutuhan oksigen miokardium, dan toksisitas miokard


langsung. Vasokontriksi perifer dapat berakibat penurunan fungsi ginjal, hati, dan
saluran gastrointestinal. (Behrman, 1996)
Gagal Jantung Kanan
Jantung kanan yang telah lemah, tidak kuat lagi memindahkan darah yang
cukup banyak dari susunan pembuluh darah venosa (vena kava, atrium, dan
ventrikel kanan) ke susunan pembuluh darah arteriosa (arteri pulmonalis). Oleh
karena itu, darah akan tertimbun di dalam ventrikel kanan, atrium kanan, dan di
dalam vena kava sehingga desakan darah dalam atrium kanan dan vena tersebut
meninggi. Makin tinggi desakan darah dalam vena, vena makin mengembang
(dilatasi) (Wahab, 2003).
Dalam praktik, desakan venosa yang meninggi ini dapat dilihat pada
peningkatan vena jugularis eksterna. Penimbunan darah venosa sistemik akan
menyebabkan pembengkakan hepar atau hepatomegali. Pada gagal jantung yang
sangat, pinggir bawah hati dapat mencapai umbilikus. Hati yang membengkak ini
konsistensinya keras, permukaannya licin, dan sering sakit tekan terutama pada
linea mediana. Hepatomegali merupakan suatu gejala yang penting sekali pada
gagal jantung kanan.

42

Timbunan darah venosa pada vena-vena di bagian bawah badan akan


menyebabkan terjadinya udem. Mula-mula udem timbul pada tempat mata kaki
(pada anak yang sudah berdiri), jadi pada tempat terendah, karena meningginya
tekanan hidrostatis merupakan suatu faktor bagi timbulnya udem. Mula-mula,
udem timbul hanya pada malam hari, waktu tidur, dan paginya udem menghilang.
Pada stadium yang lebih lanjut, udem tetap ada pada waktu siang hari, dan udem
tidak timbul pada mata kaki saja, tetapi dapat juga terjadi pada punggung kaki,
paha, kulit perut, dan akhirnya pada lengan dan muka. Akibat selanjutnya dari
timbunan darah ini adalah asites, dan asites ini sangat sering dijumpai pada anak
yang menderita gagal jantung. Dapat juga terjadi hidrotoraks, meskipun pada
anak agak jarang dijumpai. Bila hidrotoraks, terlalu banyak akan memperberat
keadaan dispnea penderita.
Adanya kelemahan jantung kanan mula-mula dikompensasi dengan
dilatasi dinding jantung kanan, terutama dinding ventrikel kanan. Adanya dilatasi
dinding ventrikel akan menambah keregangan miokardium sehingga akan
memperkuat sistole yang berakibat penambahan curah jantung. Adanya dilatasi
dan juga sedikit hipertrofi jantung akan menyebabkan pembesaran jantung atau
disebut kardiomegali.
Upaya penambahan curah jantung karena kelemahan juga dilakukan
dengan menaikkan frekuensi jantung (takikardi).

Pada akhirnya kelemahan

jantung kanan ini tidak dapat dikompensasi lagi, sehingga darah yang masuk
kedalam paru akan berkurang dan ini tentunya akan merangsang paru untuk
bernapas lebih cepat guna mengimbangi kebutuhan oksigen, akibatnya terjadi
takipnea.
Gagal Jantung Kiri
Jika darah dari atrium kiri untuk masuk ke ventrikel kiri pada waktu
diastole mengalami hambatan akan menyebabkan tekanan pada atrium meninggi
sehingga atrium kiri mengalami sedikit dilatasi. Makin lama dilatasi ini semakin
berat sehingga atrium kiri, disamping dilatasi juga mengalami hipertrofi karena
otot atrium ini terus menerus harus mendorong darah yang lebih banyak dengan
hambatan yang makin besar. Oleh karena dinding atrium tipis, dalam waktu yang

43

relatif singkat otot atrium kiri tidak lagi dapat memenuhi kewajibannya untuk
mengosongkan atrium kiri. Menurut pengukuran, tekanan ini mencapai 24-34
mmHg, padahal tekanan normal hanya 6 mmHg atau ketika ventrikel kiri tidak
mampu memompa darah ke aorta (karena kelemahan ventrikel kiri), darah
tertumpuk di ventrikel kiri, akibatnya darah dari atrium kiri tidak tertampung di
ventrikel kiri, kemudian makin lama makin memenuhi vena pulmonalis dan
akhirnya terjadi udem pulmonum (Wahab, 2003).
Pengosongan atrium kiri yang tidak sempurna ini ditambah meningginya
tekanan didalamnya, menyebabkan aliran di dalamnya, menyebabkan aliran darah
dari paru ke dalam atrium kiri terganggu atau terbendung. Akibatnya tekanan
dalam vv.pulmonales meninggi, dan ini juga akan menjalar ke dalam kapiler di
dalam paru, ke dalam arteri pulmonalis dan akhirnya ke dalam ventrikel kanan.
Akhirnya atrium kiri makin tidak mampu mengosongkan darah,
bendungan dalam paru semakin berat, terjadilah kongesti paru. Akibatnya,
ruangan di dalam paru yang disediakan untuk udara, berkurang dan terjadilah
suatu gejala sesak napas pada waktu bekerja (dyspnoe deffort). Disini, ventrikel
kanan masih kuat sehingga dorongan darah dari ventrikel kanan tetap besar,
sedangkan atrium kiri tetap tidak mampu menyalurkan darah, akibatnya
bendungan paru semakin berat sehingga akan terjadi sesak napas meskipun dalam
keadaan istirahat (orthopnea). Pada anak, adanya kongesti paru ini akan
memudahkan terjadinya bronkitis sehingga anak sering batuk-batuk.
Darah yang banyak tertimbun dalam ventrikel kanan menyebabkan
ventrikel kanan dilatasi, kemudian diikuti dengan hipertrofi, yang akibatnya akan
terjadi kardiomegali. Dalam rangka memperbesar curah jantung, selain jantung
memperkuat sistol karena adanya keregangan otot berlebihan, jantung juga
bekerja lebih cepat, artinya frekuensi naik. Dengan demikian, terjadi takikardi.
Oleh karena yang lemah adalah atrium kiri dan atau ventrikel kiri maka disebut
gagal jantung kiri.

44

Klasifikasi
Tabel 5. Klasifikasi Ross untuk gagal jantung pada bayi sesuai NYHA
Kelas I Asimptomatik
Kelas II Takipneu ringan atau bayi saat minum tampak berkeringat.
Pada anak yang lebih besar tampak sesak bila
beraktivitas.
Kelas III Takipneu tampak jelas atau bayi tampak berkeringat saat
minum.

Sesak

yang

nyata

saat

berkativitas.

Pemanjangan waktu pemberikan makan dengan


kegagalan pertumbuhan
Kelas IV Tampak gejala seperti takipneu, retraksi, merintih atau
berkeringat saat istirahat
Ross

dkk

tahun

1922

mempublikasikan

sistem

skor

untuk

mengklasifikasikan gagal jantung secara klinis pada bayi (Tabel 6). Skor Ross ini
disejajarkan dengan klasifikasi New York Heart Association (NYHA) (Tabel 5)
dapat memberikan gambaran yang lebih rinci oleh karena peningkatan derajat

45

beratnya gagal jantung sesuai dengan peningkatan kadar norepinefrin plasma dan
kadar ini akan menurun setelah dilakukan koreksi ataupun setelah pemberian obat
anti gagal jantung (Guyton, 2006).
Tabel 6. Sistem skor Ross untuk gagal jantung pada bayi
Volume

0 poin
sekali >115

1 poin
75-115

2 poin
<25

50-60x/menit
Abnormal
Menurun
Ada

>60x/menit

2-3 cm

>3cm

minum (cc)
Waktu persekali <40 menit
minum (menit)
Laju Nafas
Pola Nafas
Perfusi perifer
S3 atau diastolic

<50/menit
Normal
Normal
Tidak ada

rumble
Jarak tepi hepar <2 cm
dari batas kostae
TOTAL:
Tanpa gagal jantung : 0-2 poin

Gagal jantung ringan : 3-6 poin

Gagal jantung sedang : 7-9 poin

Gagal jantung berat : 10-12 poin

Untuk anak lebih dari 1 tahun sampai remaja, Reittmann dkk


menganjurkan menggunakan klasifikasi lain (Tabel 7). Dengan menggunakan
skor ini bila skor lebih dari 6 mempunyai korelasi yang bermakna terhadap
menurunnya aktivitas adenilat siklase.

Tabel 7. Sistem klinis gagal jantung pada anak


Kriteria
Riwayat

0
Hanya di kepala

Skor
1
2
Kepala dan badan Kepala dan badan

46

diaphoresis
(berkeringat)
Takipneau
Pemeriksaan Fisik
Pernafasan
Laju Nafas/menit
1-6 th
7-10 th
11-14 th
Laju jantung/menit
1-6 th
7-10 th
11-14 th
Hepatomegali (tepi
hepar

dari

saat beraktivitas

saat istirahat

Jarang

Kadang-kadang

Sering

Normal

Retraksi

Dispneua

<35
<25
<18

35-45
25-35
18-28

>45
>35
>28

<105
<90
<80
<2 cm

105-115
90-100
80-90
2-3 cm

>115
>100
>90
>3 cm

tepi

kostae kanan)
Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis ini tergantung pada tingkat cadangan jantung pada
berbagai keadaan. Bayi yang sakit berat atau anak yang mekanisme
kompensatornya telah sangat lelah pada saat dimana ia tidak mungkin lagi
memperoleh curah jantung yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
basal tubuh akan bergejala pada saat istirahat. ( Nelson,2007)
1. Manifestasi Klinis Gagal Jantung pada Masa Bayi
Pada bayi, gagal jantung mungkin lebih sukar ditentukan. Manifestasi
klinis yang menonjol adalah takipnea, kesukaran makan, pertambahan berat jelek,
keringat berlebihan, iritabilitas, menangis lemah, dan pernapasan berisik, berat
dengan retraksi interkostal dan subkostal serta cuping hidung mengembang.
Tanda-tanda kongesti kardiopulmonal mungkin tidak dapat dibedakan
dengan tanda-tanda bronkiolitis , termasuk mengi sebagai tanda yang paling
mencolok. Pneumonitis dengan atau tanpa atelektase sering ada, terutama lobus
medius dan bawah kanan, karena kompresi bronkus oleh jantung yang membesar.
Hepatomegali hampir selalu terjadi, dan selalu ada kardiomegali. Walaupun
takikardia mencolok, irama gallop seringkali dapat dikenali. Tanda-tanda
auskultasi lain adalah tanda-tanda yang dihasilkan oleh lesi jantung yang

47

mendasari. Penilaian klinis tekanan vena jugularis pada bayi mungkn sukar
karena leher pendek dan sukar diamati pada keadaan relaks. Edema dapat
menyeluruh, biasanya melibatkan kelopak mata serta sacrum, dan jarang, kaki
maupun telapak kaki. Diagnosis bandingnya tergantung umur (Berstein, 2003)
Kesukaran makan adalah gejala yang paling mencolok pada bayi dengan
gagal jantung. Sementara bayi normal makan dengan penuh semangat, sering
menyelesaikan makan dalam 15 atau 20 menit, bayi dengan gagal jantung makan
lebih sukar. Perawatan diperpanjang dan dihubungkan dengan takipnea yang
nyata dan keringat bertambah. Beberapa bayi berjuang selama 5-10 menit dan
tertidur, hanya bangun satu jam atau lebih lama dengan tidak puas-puasnya lapar
lagi. Yang lain agaknya lelah dan tertidur sesudah makan hanya 1 atau 2 oz.
Agaknya kesukaran makan akibat dari gabungan antara upaya mengisap dan
mempertahankan frekuensi pernapasan cepat, juga akibat dari cadangan jantung
yang terbatas. Masukan kalori total pada keadaan ini dapat turun sampai dibawah
75 kkal/ kg/ hari, ini tidak cukup untuk mempertahankan pertumbuhan (Freed,
1996)
Orangtua sering melihat keringat berlebihan (terutama ketika makan) yang
tidak sebanding dengan suhu sekeliling atau pakaian. Ini disebabkan oleh
bertambahnya aktivitas sistem saraf autonom dalam upaya memperbaiki kinerja
(performance) miokardium.
Pada pemeriksaan fisik anak hampir selalu takikardi dengan frekuensi
jantung anak istirahat lebih dari 160 denyut permenit pada neonatus dan lebih dari
120 pada bayi yang lebih tua. Takikardi juga merupakan akibat bertambahnya
katekolamin yang bersirkulasi yang memperbesar curah jantung dengan
menambah kontraktilitas miokardium dan frekuensi jantung.
Takipnea (frekuensi pernapasan istirahat lebih dari 60 pada neonatus atau
lebih dari 40 pada bayi lebih tua) biasanya ada dan dikaitkan dengan bertambah
kakunya paru-paru akibat bertambahnya cairan interstitial dari tekanan venosa
paru-paru yang naik (udem pulmonal) atau aliran pirau besar dari kiri ke kanan.
Ketika gagal jantung menjadi lebih berat, fungsi ventilasi dapat menjadi lebih
terganggu dan dapat ditemukan kembang kempis cuping hidung (alae nasi),
retraksi interkostal, dan dengkur. distensi vena leher tidak sering ditemukan pada

48

neonatus, tetapi mungkin ditemukan pada bayi yang lebih besar. Tekanan vena
sistemik naik akibat pembesaran hati, tetapi udem perifer tidak sering pada bayi
dan hanya bersama dengan gagal jantung yang amat berat. Ekstrimitas dingin,
nadi teraba lemah, dan tekanan darah arterial rendah dengan tekanan nadi sempit
dapat ditemukan sebagai manifestasi dari curah jantung rendah. Ekstrimitas
berbintik-bintik dan pengisian kembali kapiler lambat merupakan tanda-tanda
gangguan vaskular yang lebih berat (Freed, 1996)
Kadang-kadang, pemeriksaan dada menunjukkan mengi (wheezing)
ringan yang dapat dirancukan dengan bronkiolitis atau pneumonia dan dapat
diperburuk dari penekanan jalan nafas oleh pembuluh darah paru yang
mengembang. Ronki tidak sering kecuali bersama pneumonia, suatu hubungan
yang tidak jarang.
2. Manifestasi Klinis Gagal Jantung pada Masa Anak-anak
Tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantung pada anak yang lebih tua
sangat serupa dengan tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantung pada orang
dewasa. Tanda-tanda ini meliputi kelelahan, tidak tahan kerja fisik, batuk,
anoreksia, dan nyeri abdomen (Berstein, 2003). Kesukaran bernafas merupakan
tanda yang biasa dari dekompensasi ventrikel kiri pada anak akibat kongesti paru.
Ini biasanya tampak sebagai dispneu pada waktu pengerahan tenaga dan respon
kesukaran bernafas yang bertambah berat pada pengerahan tenaga yang berat.
Mula-mula penurunan kemampuan mungkin masih dalam kisaran variasi normal,
tetapi akhirnya, ketika gagal jantung bertambah berat, anak mungkin mendapat
kesukaran dengan tuntutan hidup sehari-hari, termasuk naik tangga di sekolah.
Batuk pendek kronik, akibat kongesti mukosa bronkus dan ronki basal,
dapat juga ada pada beberapa anak. Ketika tekanan atrium kiri bertambah, anak
dapat menderita ortopnea, memerlukan peninggian kepala diatas beberapa bantal
pada malam hari. Kelelahan dan kelemahan merupakan manifestasi yang relative
lambat (Freed, 1996)
Pada pemeriksaan fisik, anak dengan gagal jantung ringan atau sedang
tampak tidak dalam keadaan distres, tetapi mereka yang menderita gagal jantung
berat mungkin dispneu pada waktu istirahat. Jika mulainya gagal jantung relative

49

mendadak, anak mungkin tampak cemas tetapi perkembangan baik dan gizi baik;
mereka yang mengalami proses lebih kronik biasanya tidak tampak cemas tetapi
mungkin kurang gizi dan kurang energi.
Seperti bayi, anak dengan gagal jantung biasanya takikardi karena naiknya
aktifitas simpatis dan takipneu karena bertambahnya air dalam paru-paru . Curah
jantung yang rendah dapat menyebabkan vasokonstriksi perifer, berakibat dingin,
pucat dan sianosis jari, dengan pengisian kapiler jelek.
Kenaikan tekanan venosa sistemik dapat diukur dengan penilaian klinis
tekanan vena jugularis dan pembesaran hati. Tekanan vena sistemik yang naik
mungkin dideteksi oleh pelebaran (dilatasi) vena-vena leher dengan pulsasi vena
dapat tampak di atas klavikula sementara penderita duduk. Hati mungkin
membesar pada palpasi atau perkusi, dan jika pembesaran relative akut, mungkin
tepinya lunak karena meregangnya kapsul hati.
Anak-anak dapat juga menderita udem perifer. Mula-mula tanda-tandanya
mungkin tidak kentara, tetapi bila telah ada kenaikan berat badan 10%, muka
terutama kelopak mata, mulai tampak bengkak dan udem terjadi pada bagian
tubuh yang tergantung atau dapat anasarka. Udem yang sudah berjalan lama dapat
menimbulkan kemerahan dan indurasi kulit., biasanya diatas betis dan
pergelangan kaki. Eksudasi cairan ke dalam rongga-rongga tubuh dapat
ditemukan sebagai asites dan kadang-kadang hidrothoraks.
Pada pemeriksaan jantung hampir selalu ada kardiomegali. Sering ada irama
gallop, tanda-tanda auskultasi lain khas untuk lesi jantung spesifik. Impuls
jantung mungkin tenang bila ada penyakit otot jantung primer (misal, miokarditis
atau kardiomiopati), tetapi biasanya hiperaktif bila gagal kongestif disebabkan
oleh beban volume berlebih dari pirau kiri ke kanan atau regurgitasi katup
atrioventrikula. Suara jantung ketiga yang terjadi dalam mid diastol mungkin
merupakan tanda normal pada anak tetapi sering bersama dengan bertambahnya
kekakuan ventrikel pada mereka yang dengan penyakit jantung. Pulsus alternans
ditandai irama teratur dengan pulsasi kuat dan lemah berselang-seling,
kadangkadang dapat dirasakan, tetapi lebih mudah dinilai sementara mengukur
tekanan darah sistemik atau pemantauan tekanan darah. Pulsus alternans diduga
disebabkan oleh perubahan pada volume ventrikel kiri, akibat pemulihan

50

miokardiumnya tidak sempurna pada denyut yang berselang-seling. Pulsus


paradoksus (turunnya tekanan darah pada inspirasi dan naik pada ekspirasi),
akibat irama tekanan intrapulmoner yang mencolok yang mempengaruhi
pengisian ventrikel (seperti pada tamponade pericardium), kadang-kadang
ditemukan pada anak yang lebih tua.
Anamnesis
Dari anamnesis dapat ditanyakan mengenai adanya:
1. Kelahiran
bayi sianotik? keadaan bayi hari pertama kehidupan? perlukah oksigen? jika
menggunakan oksigen, menolongkah?
2. Pertumbuhan
Apakah tinggi dan beratnya tidak seimbang? Berapa persentil yang
sebenarnya?
3. Toleransi terhadap pengerahan tenaga
Dapatkah bayi makan makanan pada waktu yang sesuai? Apakah ia lelah,
menjadi bernapas pendek (sesak napas) atau perlu istirahat disela-sela makan?
Apakah kegiatan menyebabkan napas pendek? Bagaimana keterlibatan anak
dan kemampuan dalam olahraga? Berapa jauh ia dapat berjalan pada
langkahnya sendiri?
4. Berdebar-debar (palpitasi)
Beberapa waktu sesudah berumur 2 tahun anak mulai mengatakan kejadian
takikardia dan kadang-kadang denyut tidak teratur.
5. Sianosis
Pada penderita yang sianosis adanya kecenderungan jongkok memberikan
kesan saturasi oksigen darah labil.
6. Sinkop (pingsan)
Apa kejadian yang tepat mendahului episode? Berapa lama berlangsung?
Adakah suatu jejas? Adakah suatu gerakan-gerakan konvulsi? Serangan
pusing? (hampir sinkop)
Pemeriksaan Fisik

51

Dari pemeriksaan fisik, antara lain:


1. Respirasi
-

frekuensi pernapasan

retraksi subcostal

cuping hidung

2. Pertumbuhan
Biasanya penyakit jantung yang dimulai sejka lahir mempengaruhi berat
badan sebelum mempengaruhi tingginya, menghasilkan bayi yang kurus. Pada
mereka yang menderita lesi bersama gagal jantung kongestif, seperti shunt dari
kiri ke kanan (defek sekat), berat badan lebih dipengaruhi daripada tinggi badan.
Penghentian pertumbuhan sempurna, bahkan kehilangan berat badan, terjadi pada
penderita dengan gagal jantung kongestif berat.
3. Oedema
Bengkak pada palpebra dan muka bulat sering merupakan manifestasi
gagal jantung kongestif sebelah kanan pada anak kecil, sedangkan pitting oedema
pada ekstremitas jarang.
4. Tekanan Venosa
Pada anak yang kooperatif, terutama anak yang lebih tua, inspeksi vena
jugularis penderita ketika ia duduk tegak. Pada anak setinggi anak umur 6 tahun
biasa, distensi vena atau pulsasi seharusnya tidak dapat dilihat di atas klavikula
kecuali kalau tekanan venosa naik.
Pulsasi jugularis interna biasanya dapat dilihat pada penderita telentang
datar, jika tetap ada ketika penderita berada pada posisi duduk atau tegak, pulsus
ini abnormal.
5. Auskultasi
Suara jantung ketiga, dalam hubungannya dengan gallop, terdengar pada
penderita gagal jantung kongestif, terutama mereka dengan penyakit miokardium.
Suara ini terdengar selama diastole pada periode pertama aliran masuk cepat ke
dalam ventrikel. Banyak anak normal kurus mempunyai yang dengan mudah
dapat didengar.
Suara jantung keempat, bunyi jantung lemah dan pendek, jauh sebelum
suara jantung pertama biasanya suara jantung keempat dan jarang merupakan

52

tanda normal pada umur berapa pun. Suara ini terkait dengan kontraksi atrium,
dengan aliran yang berlebihan meleati katup atrioventrikular, dan dengan
hipertensi atrial (misalnya gagal jantung kongestif)
Bising sistolik, bising ini berkaitan dengan lewatnya darah melalui lubang
yang terbatas misalnya (stenosis katup semilunaris, katup atrioventrikular
regurgitan, defek sekat ventrikel, atau obstruksi ringan dalam arteri pulmonalis
atau aorta, seperti pada koarktasio aorta). Bising yang sangat keras dapat
menimbulkan getaran (thrill) (vibrasi yang dapat diraba pada dinding dada).
Bising diastolic, bising diastolic awal regurgitasi aorta bernada tinggi, dan
berkualitas meniup. Bising ini terbaik didengar sepanjang linea parasternal kiri,
dengan penderita dalam posisi duduk, dalam ekspirasi dan condong ke depan,
diafragma digunakan untuk mengesampingkan suara nada rendah. Bising
regurgtasi pulmonal pada penderita dengan tekanan arteri pulmonalis normal
bernada rendah dan didengar terbaik pada daerah pulmonal atau linae
parasternalis kiri bawah.
Bising kontinu, bising yang meluas dari sistol ke diastole, melalui suara
jantung kedua (tanpa sela) dan kadang-kadang bahkan seluruh siklus jantung,
disebut sebagai kontinu. Contoh klasik adalah, duktus arteriousus paten, paling
baik didengar pada sela iga kedua kiri.
6. Paru-paru
Dispnea atau takipnea sering merupakan petunjuk adanya aliran darah
paru-paru berlebihan atau tekanan bantalan kapiler paru-paru naik. Auskultasi
tidak hanya menunjukan wheezing atau rhonki yang khas untuk infeksi atau
bendungan (kongesti), tetapi juga memberikan informasi dasar apakah udara yang
ditukar terlalu sedikit, cukup atau terlalu banyak.
7. Hati (hepar)
Salah satu bukti naiknya tekanan vena sentral adalah hepatomegali. Tepi
hati yang lebih rendah daripada 3 cm di bawah tepi kosta kanan adalah abnormal.
Pemeriksaan Penunjang
Dari pemeriksaan penunjang, meliputi:
1. Roentgenogram dada

53

Roentgenogram menampakkan pembesaran jantung. Vaskularisasi paru


bervariasi tergantung dari penyebab gagal jantung. Bayi dan anak yang
mempunyai shunt dari kiri ke kanan akan mengalai pembesaran pembuluh darah
arteri pulmonalis sampai tepi lapangan paru, sedangkan penderita yang menderita
kardiomiopati dapat mempunyai bantalan vaskuler pulmonal relative normal pada
awal perjalanan penyakit. Corak perihiler pulmonal alus member kesan kongesti
vena dan edema paru akut yang biasanya tampak hanya pada gagal jantung akut
yang lebih berat.

Gambar 3. Foto thoraks gagal jantung pada bayi


2. Elektrokardiografi
Hipertrofi ruangan jantung dapat membantu dalam penilaian penyebab
gagal jantung kongestif tetapi tidak menegakkan diagnosis. Pada kadiomiopati,
perubahan iskemia ventrikel kiri atau kanan dapat berkorelasi baik dengan
parameter klinis dan parameter noninvasif lain fungsi ventrikel. Morfologi QRS
voltase rendah dengan kelainan gelombang ST-T dapat juga member kesan
penyakit radang miokardium tetapi ditemukan juga pada perikarditis.
54

3. Ekokardiografi
Sangat berguna dalam menilai fungsi ventrikel. Parameter yang paling
sering digunakan adalah pemendekan fraksional, yang ditentukan sebagai
perbedaan antara diameter akhir-sistol dan akhir-diastol. Pemendekan fraksional
awal normal adalah 28% dan 40%, dibandingkan dengan fraksi ejeksi normal
(yang mengukur volume) 55-65 % yang diukur dengan angiografi: rasio periode
pre-ejeksi/ejeksi (PEP/EP), diukur dengan echo M-mode harus kurang daripada
40%. Waktu pre-ejeksi yang lama dengan waktu ejeksi yang amat pendek
biasanya menunjukkan kegagalan miokardium. Pemeriksaan Doppler dapat
digunakan untuk menghitung curah jantung.
4. Gas Darah
Kadar oksigen arteri dapat menurun bila ketidaksamaan ventilasi/perfusi
terjadi akibat edema paru. Bila gagal jantung berat, dapat ada asidosis respiratorik
dan/atau metabolic.
5. Penghitungan sel darah lengkap
Leukositosis sedang mungkin ada pada gagal jantung, endokarditis
bacterial dan demam rematik akut, dengan atau tanpa gagal jantung.
TATALAKSANA
Keberhasilan pengobatan gagal jantung pada anak didasarkan pada
pengertian mengenai sifat dan akibat fisiologis cacat jantung spesifik yang
menyebabkan kegagalan jantung, dan tersedianya cara-cara pengobatan.. Jika ada
lesi anatomik spesifik yang dapat dipertanggungjawabkan untuk tindakan
pembedahan paliatif atau pembedahan koreksi, upaya farmakologik atau upaya
lain yang memperbaiki tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantung mungkin
berlebih, masalah mekanik sering memerlukan penyelesaian mekanik. Namun jika
pembedahan tidak tersedia atau tidak memadai, tersedia bermacam-macam cara
umum dan farmakologis untuk memperbaiki keadaan klinik penderita (Freed,
1996)
Penatalaksanaan Umum:
1. Tirah baring, posisi setengah duduk

55

Saat masa tirah baring seharian, sebaiknya menyibukkan mereka dengan


kegiatan ringan yang mereka sukai yang dapat dikerjakan diatas tempat tidur
(menghindari anak berteriak-teriak tidak terkendali) (Freed, 1996) Sedasi kadang
diperlukan: luminal 2-3 mg/kgBB/dosis tiap 8 jam selama 1-2 hari (Pusponegoro,
2004)
2. Penggunaan oksigen.
Penggunaan oksigen mungkin sangat membantu untuk penderita gagal
jantung dengan udem paru-paru, terutama jika terdapat pirau dari kanan ke kiri
yang mendasari dengan hipoksemia kronik. Diberikan oksigen 30-50% dengan
kelembaban tinggi supaya jalan nafas tidak kering dan memudahkan sekresi
saluran nafas keluar (Pusponegoro, 2004).
3. Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit.
4. Pembatasan cairan dan garam.
Dianjurkan pemberian cairan sekitar 70-80% (2/3) dari kebutuhan.
Sebelum ada agen diuretik kuat, pembatasan diet natrium memainkan peran
penting dalam penatalaksanaan gagal jantung. Makanan rendah garam hampir
selalu tidak sedap, lebih baik untuk mempertahankan diet adekuat dengan
menambah dosis diuretik jika diperlukan. Sebaiknya tidak menyarankan untuk
membatasi konsumsi air kecuali pada gagal jantung yang parah (Freed, 1996)
5. Diet makanan berkalori tinggi
Bayi yang sedang menderita gagal jantung kongestif banyak kekurangan
kalori karena kebutuhan metabolisme bertambah dan pemasukan kalori
berkurang. Oleh karena itu, perlu menambah kalori harian. (Wahab, 2003).
6. Pemantauan hemodinamik yang ketat.
Pengamatan dan pencatatan secara teratur terhadap denyut jantung, napas,
nadi, tekanan darah, berat badan, hepar, desakan vena sentralis, kelainan paru,
derajat edema, sianosis, kesadaran dan keseimbangan asam basa (Pusponegoro,
2004).
7. Hilangkan faktor yang memperberat (misalnya demam, anemia, infeksi) jika
ada
Peningkatan temperatur, seperti yang terjadi saat seorang menderita
demam, akan sangat meningkatkan frekuensi denyut jantung, kadang-kadang dua

56

kali dari frekuensi denyut normal. Penyebab pengaruh ini kemungkinan karena
panas meningkatkan permeabilitas membran otot ion yang menghasilkan
peningkatan perangsangan sendiri. Anemia dapat memperburuk gagal jantung,
jika Hb < 7 gr % berikan transfusi PRC. Antibiotika sering diberikan sebagai
upaya pencegahan terhadap miokarditis/endokarditis, mengingat tingginya
frekuensi ISPA (Bronkopneumoni) akibat udem paru pada bayi/anak yg
mengalami gagal jantung kiri.(Berstein, 2003). Pemberian antibiotika tersebut
boleh dihentikan jika udem paru sudah teratasi. Selain itu, antibiotika profilaksis
tersebut juga diberikan jika akan dilakukan tindakan-tindakan khusus misalnya
mencabut gigi dan operasi. Jika seorang anak dengan gagal jantung atau kelainan
jantung akan dilakukan operasi, maka tiga hari sebelumnya diberikan antibiotika
profilaksis dan boleh dihentikan tiga hari setelah operasi.
8. Penatalaksanaan diet pada penderita yang disertai malnutrisi, memberikan
gambaran perbaikan pertumbuhan tanpa memperburuk gagal jantung bila
diberikan makanan pipa yang terus-menerus.
Pendekatan pertama adalah memperbaiki kinerja pompa dengan
menggunakan digitalis, jika gagal jantung tetap tidak terkendali maka digunakan
diuretik (pengurangan prabeban) untuk mengendalikan retensi garam dan air yang
berlebihan. Jika kedua cara tersebut tidak efektif, biasanya dicoba pengurangan
beban kerja jantung dengan vasodilator sistemik (pengurangan beban pasca). Jika
pendekatan ini tidak efektif, upaya lebih lanjut memperbaiki kinerja pompa
jantung dapat dicoba dengan agen simpatomimetik atau agen inotropik positif
lain. Jika tidak ada dari cara-cara tersebut yang efektif, mungkin diperlukan
transplantasi jantung. (Freed, 1996). Untuk menilai hasilnya harus ada pencatatan
yang teliti dan berulangkali terhadap denyut jantung, napas, nadi, tekanan darah,
berat badan, hepar, desakan vena sentralis, kelainan paru, derajat edema, sianosis,
dan kesadaran (Pusponegoro, 2004)
Tabel 8. Dosis Obat-Obat Yang Biasa Digunakan Untuk Pengobatan
Obat
Digoksin
Digitalisasi (PO) (dosis

Dosis

Sediaan

Prematur/Neonatus 0,03-

Tablet 0,25

dibagi 3)

0,04 mg/kg

Mg

57

Umur 2 minggu-2 tahun


0,04-0,08 mg/kg
Lebih dari 2 tahun 0,04Digitalisasi (IV) (waktu
dosis

0,06 mg/kg
Prematur/Neonatus 0,02-

bervariasi, 0,03 mg/kg

tergantung pada indikasi

Umur 2 minggu-2 tahun

klinis

0,04-0,06 mg/kg

Ampul (2ml) 0,25 mg/


ml

Lebih dari 2 tahun 0,02Rumatan

0,04 mg/kg
dari dosis digitalisasi
dibagi setiap 12 jam

Furosemid
IV
PO

1-2 mg/dosis
4 mg/kg/24 qd, bid, atau

Klorotiazid (PO)

Qid
20-25 mg/kg/24 jam dua

Spironolakton (PO)

Kali
2-3mg/kg/24 jam,bid, atau

Tablet 25 mg

Qid

dan 100 mg

Agen penurun beban


Nitroprusid (IV)
Hidralazin

0,5-8

IV

0,1-0,5 mg/kg

PO
Kaptopril(PO)
Agonis- (IV)
Isoproterenol

0,5-7,5 mg/kg/24 jam tid


0,5-6 mg/kg/24 jam qid

Dopamin

2-20

Dobutamin
Amniron (IV)

2-20 g/kg/menit
,75 mg/kg/bolus selama

Ampul (2 ml) 10 mg/ml


Tablet 40 mg

g/kg/menit

0,01-0,5 Kg/kg/menit
g/kg/menit

2-3 menit
5-10

/kg/menit

Digitalis merupakan obat anti gagal jantung yang paling banyak dipakai
pada bayi dan anak. Prinsip efek farmakologik digitalis ialah meningkatkan
kontraksi otot jantung (inotropik positif) dan memperlambat frekuensi denyut

58

jantung (kronotopik negatif). Efek ini menyebabkan curah jantung meningkat,


desakan vena sentralis menurun dan ruangan jantung mengecil (Berstein, 2003).
Dengan membaiknya sirkulasi terjadi diuresis (pra beban menurun)
sehingga curah sekuncup meningkat. Dianjurkan supaya selalu memakai satu
macam preparat saja yang dapat diberikan peroral maupun parenteral supaya
memperoleh pengalaman dan mudah mengenal tanda-tanda intoksikasinya.
Preparat yang dianjurkan untuk bayi dan anak ialah digoksin, karena preparat ini
dapat digunakan secara oral maupun parenteral. Secara oral, digoksin dapat
diserap antara 60-85%. Juga dapat digunakan pada keadaan gawat darurat
maupun dalam keadaan kronis. Efek maksimal terjadi pada sekitar 2-6 jam
sesudah pemberian per oral, efek awal dapat dilihat sesudah 30 menit pemberian.
Bila obat diberikan secara intravena, efek awal terlihat pada sekitar 15-30 menit,
dan efek puncak terjadi pada sekitar 1-4 jam. Sebagian terbanyak dari dosis inisial
dieksresikan melalui ginjal dalam waktu 24 jam dan menghilang dari tubuh dalam
waktu 48-72 jam (Pusponegoro, 2004).
Pemakaian digitalis harus hati-hati karena respons dan toksisitas bersifat
individu dan juga sempitnya batas antara dosis terapi dan dosis toksis. Dosis
disesuaikan dengan respons penderita. Pada inflamasi miokardium, pasca operasi
jantung dan bayi prematur, umumnya sensitivitas miokardium meningkat terhadap
digitalis. Untuk menghindari efek buruk digitalis maka perlu diperhatikan
beberapa hal berikut:
1. Instruksi harus jelas tentang macam preparat dan cara pemberian, harus ditulis.
2. Lakukan EKG sebelum pemberian digoksin untuk membedakan apakah
perubahan EKG yang mungkin terjadi akibat digitalis atau akibat penyakitnya.
3. Jika mungkin periksa kadar K dan Ca++ karena pada hipokalemi dan
hiperkalsemi, mempercepat keracunan digitalis. Karena hipokalemi relative
sering pada penderita yang mendapat diuretik, maka diuretik harus dipantau
dengan ketat pada penderita yang mendapat diuretik yang memboroskan
kalium (furosemid).
4. Untuk penderita gagal jantung dengan udem, gunakan cara suntikan intravena.
5. Gunakan dosis efektif paling rendah.
6. Perhitungan dosis harus juga cermat. Dikenal 2 cara pemberian: dosis

59

digitalisasi (dosis inisial) dan rumatan.


a. Pada digitalisasi (dosis inisial), setengah dosis digitalisasi total diberikan segera
pada permulaan, 6-8 jam kemudian seperempat dosis digitalisasi total dan
sisanya 6-8 jam kemudian.10 Kadang-kadang untuk memperoleh efek
digitalisasi yang maksimal diperlukan dosis keempat yang sama dengan dosis
ketiga. EKG harus dipantau dengan ketat dan irama ekg diambil sebelum setiap
pemberian masing-masing pemberian digitalisasi tersebut. Digoksin harus
dihentikan jika ditemukan gangguan irama baru (Berstein, 2003).
b. Rumatan
Terapi digitalis rumat dimulai sekitar 12 jam sesudah digitalisasi penuh.1
Dosis harian dibagi dalam dua bagian dan diberikan pada interval 12 jam agar
kadar darah kurang lebih tetap dan fleksibilitasnya lebih besar pada kasus
keracunan. Dosis rumat adalah 1/5-1/3 dari dosis digitalisasi total. Dosis
maksimum untuk rumatan adalah 2 x 0,125 mg atau 2 x tablet digoksin.
(Wahab, 2003).
Untuk penderita yang yang pada mulanya didigitalisasi secara intravena,
digoksin rumat dapat diberikan secara oral jika makanan oral dapat diterima.
Karena penyerapan dari saluran pencernaan kurangpasti, dosis rumat oral
biasanya 20-25% lebih tinggi daripada jika digoksin digunakan secara parenteral.
Dosis digoksin harian normal untuk anak yang yang lebih tua (umur lebih dari 5
tahun) yang dihitung dengan berat badan harus tidak melebihi dosis dewasa biasa
0,2-0,5 mg/24 jam (Beirstein, 2003).
7. Pada kasus yang tidak begitu berat,pemberian digitalis dapat langsung dengan
dosis rumatan.
Tanda bahwa digitalis berefek antara lain:
1. Frekuensi jantung dan respirasi berkurang
2. Hepar mengecil
3. Perasaan lebih enak
4. Volume urin 24 jam bertambah
Keracunan digitalis yang mudah terjadi karena sempitnya batas dosis
optimum dan dosis toksik, dapat menyebabkan kematian. Faktor predisposisi
keracunan digitalis adalah hipokalemia. Hipokalemia sering terjadi pada

60

pemberian diuretik yang kuat, pada anak dengan muntah-muntah, pada terapi
steroid. Oleh karena itu, bila pada anak diberi digitalis kombinasi dengan diuretik,
jangan lupa memberi preparat kalium (Wahab, 2003).
Kadar kalsium yang tinggi juga dianggap menambah sensitivitas
miokardium terhadap digitalis. Oleh karena itu, pada waktu pemberian digitalis
jangan sekali-kali diberi kalsium secara intravena, pemberian ini dapat
menyebabkan henti jantung mendadak. Gejala klinik keracunan digitalis antara
lain:
- Mual muntah
- Takiaritmia, blokade atrioventrikular
Penanganan intoksikasi digitalis antara lain:
1. Hentikan pemberian digitalis
2. Hentikan pemberian diuretik
3. Lakukan pemantauan EKG terus menerus
4. Obati segala aritmia yang timbul, bradikardia bila ada dapat diatasi
denganatropin 0,01 mg/kg/dosis im. Jika tidak ada perbaikan, dapat diberikan
dilantin 1 mg/kg iv perlahan-lahan dalam 12 menit yang dapat diulangi tiap
5 menit sampai ada perbaikan atau telah mencapai 10 dosis.
5. Periksa kadar elektrolit dan beri kalium seperlunya sampai kadar kalium
mencapai harga normal, kalium diberikan per os 12 gr/hari. Pada keracunan
berat dapat diberikan infus yang mengandung kalium, jangan melebihi 80
mEq/kg/jam.
6. Pikirkan untuk melakukan transfusi tukar
Sampai kapan digitalis harus diberikan, belum ada persesuaian pendapat.
Pada bayi setelah gagal jantung teratasi, digitalis dilanjutkan kadang -kadang
sampai 2 tahun. Keadaan klinik dan penyakit primer sangat penting sebagai
patokan pemberhentian pengobatan. Penderita yang tidak sakit berat dapat
didigitalisasi pada mulanya dengan secara oral, dan pada kebanyakan
digitalisasi diselesaikan dalam 24 jam. Bila diinginkan digitalisasi lambat,
misalnya pada masa segera pasca bedah, skema memulai rumat digoksin tanpa

61

dosis inisial sebelumnya, akan mencapai digitalisasi dalam 7-10 hari. Hal ini
sering dapat dilakukan pada penderita rawat jalan (Beirstein, 2003).
Jika bayi membaik dengan memuaskan dengan digitalis selama beberapa
bulan dan kebutuhan obat tampak mengurang (misal, VSD yang menjadi semakin
kecil), dosis tidak ditambah meskipun berat anak bertambah. Jika keadaan klinis
menguatkan, obat akhirnya dihentikan.
Pengukuran kadar digoksin serum berguna pada beberapa keadaan:
1. Bila dosis baku digoksin tidak mempunyai pengaruh terapeutik yang
bermanfaat
2. Bila jumlah digoksin yang diberikan tidak diketahui atau tertelan secara tidak
sengaja
3. Bla fungsi ginjal terganggu atau jika ada kemungkinan interaksi obat (misal
quinidin)
4. Bila ada masalah berkenaan dengan kepatuhan
5. Bila dicurigai ada keracunan.
Darah biasanya diambil segera sebelum satu dosis tetapi minimum 4 jam
sesudah dosis terakhir sehingga telah terjadi keseimbangan jaringan/ plasma.
Kadar darah normal pada bayi sekitar 2-4 ng/ml dan pada anak yang lebih tua 1-2
ng/ml melebihi kadar ini biasanya tidak aka nada tambahan yang berarti pada
manjemen gagal jantung dan hanya akan menambah risiko keracunan. Pada
kecurigaan adanya keracunan, kadar digoksin serum yang tinggi tidak dengan
sendirinya didiagnosis keracunan tetapi harus diartikan sebagai pelengkap
terhadap tanda-tanda klinis dan EKG lain (gambaran irama dan hantaran). Nausea
dan muntah agak kurang sering pada penderita pediatri. Hipokalemia,
hipomagnesia,

hiperkalsemia,

radang

jantung

karena

miokarditis,

dan

prematuritas semuanya dapat memperkuat keracunan digitalis. Aritmia jantung


yang terjadi pada anak

yang minum digitalis juga dapat akibat penyakit

primernya bukannya akibat obat. Namun setiap bentuk aritmia pasca pemberian
terapi digitalis harus dianggap obat sampai terbukti lain. Dosis berikutnya harus
dihentikan sampai masalahnya teratasi (Beirtein, 2003).

62

Mengurangi Beban Kerja Jantung


Istirahat setengah duduk (45) bertujuan untuk menurunkan prabeban
sehingga bendungan yang terjadi akan berkurang. Vasodilator bekerja dengan cara
mengurangi prabeban (golongan venodilator) karena dapat menurunkan tonus
vena sistemik,dan/ atau beban pasca (golongan arteriodilator) dengan cara
mengurangi tahanan vaskuler perifer, sehingga dapat memperbaiki kinerja
miokardium. Pemberian vasodilator memerlukan pengamatan yang ketat terhadap
pengisian jantung dan tekanan darah arteri. Pengurang beban pasca terutama
berguna pada anak dengan gagal jantung akibat kardiomiopati dan pada beberapa
penderita dengan insufisiensi mitral dan aorta berat. Mereka dapat juga efektif
pada penderita dengan gagal jantung akibat pirau dari kiri ke kanan. Obat
inibiasanya tidak digunakan bila ada lesi stenosis saluran aliran keluar ventrikel
kiri. Obat pengurang beban pasca paling sering digunakan bersama dengan obatobat anti kongestif lainnya, seperti digoksin dan diuretic (Beirstein, 2003)
Vasodilator terdiri dari:
- vasodilator arterioral (hidralazin),
- vasodilator venodilator (nitrogliserin, isosorbid dinitrat), dan
- gabungan (ACE inhibitor).
1. Nitroprusid
Nitroprusid hanya diberikan pada pelayanan di ruangan intensif dan
sependek mungkin. Waktu paruh intravenanya yang pendek membuatnya ideal
untuk memberikan dosis sedikit demi sedikit pada penderita yang sakit berat.
Vasodilatasi arteri perifer dan pengurangan beban pasca merupakan pengaruh
utamanya, tetapi dilatasi vena menyebabkan pengurangan aliran vena balik pada
jantung yang mungkin menguntungkan. Tekanan darah harus terus menerus
dipantau dengan cara-cara intra arterial, karena hipotensi mendadak dapat terjadi
pada kelebihan dosis. Nitroprusid terkontraindikasi bila sebelumnya telah ada
hipotensi. Ketika obat dimetabolisasi, dihasilkan sejumlah kecil sianida dalam
sirkulasi, yang didetoksifikasi dalam hati menjadi tiosianat yang dieksresikan
dalam urin. Namun, bila diberikan dosis tinggi nitroprusid selama beberapa hari,

63

gejala-gejala keracunan akibat racun tiosianat dapat terjadi, seperti kelelahan,


nausea, kehilangan orientasi, dan spasme otot. Dosis untuk anak 0,5-8

g/kg/menit. Jika peggunaan nitroprusid lama, kadar tiosianat darah harus


dipantau: nilai > 10Kg/dL sesuai dengan gejala klinis keracunan (Beirstein, 2003).
2. Hidralazin
Hidralazin merupakan relaksan otot polos arterioler langsung dan
sebenarnya tidak berpengaruh pada prabeban. Kadang-kadang diberikan bersama
dengan obat venodilatasi, seperti salah satunya adalah derivate nitrat. Dosis
hidralazin oral yang biasa adalah 0,5-7,5 mg/Kg/24 jam dalam tiga dosis terbagi.
Banyak penderita yang semakin lama memerlukan dosis yang semakin lama
semakin besar agar pengaruh dilatasi perifernya bertahan (takifilaksis). Reaksi
yang merugikan pada hidralazin adalah nyeri kepala, palpitasi, nausea, dan
muntah. Lagipula lupus eritematous sistemik kadang-kadang terjadi sesudah
pemberian dosis besar hidralazin selama masa yang lama, manifestasi ini
refersibel bila obat dihentikan.
3. Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor
Penghambat ACE harus selalu dimulai dengan dosis rendah dan dititrasi
sampai dosis target. Untuk memulai pengobatan gagal jantung dengan
penghambat ACE, dianjurkan prosedur berikut:
1. Jika pasien telah menggunakan diuretik, turunkan dosisnya atau hentikan
selama 24 jam
2. Pengobatan dimulai di petang hari, sewaktu berbaring, untuk menghindari
terjadinya hipotensi
3. Pengobatan dimulai dengan dosis rendah dan dititrasi sampai dosis target,
biasanya dengan peningkatan 2 kali lipat setiap kalinya
4. Jika fungsi ginjal memperburuk bermakna hentikan pengobatan
5. Diuretik hemat kalium harus dihindari selama awal terapi
6. Tekanan darah, fungsi ginjal dan kadar K harus diperiksa 1-2 minggu setelah
pengobatan dimulai dan tiap peningkatan dosis. Pada 3 bulan dan
selanjutnya tiap 6 bulan.

64

Efek samping yang penting adalah batuk, hipotensi, gangguan fungsi


ginjal, hiperkalemia, dan angioedema. Yang termasuk golongan penghambat ACE
antara lain, kaptopril dengan dosis pada anak 0,5-6 mg/kg/24 jam, enalapril
0,08mg/kgBB 1 kali sehari, lisinopril untuk 6 tahun-12 tahun 70 /kgBB 1 kali
sehari.
Kaptopril merupakan penghambat enzim pengubah angiotensin yang aktif
secara oral (angiotensin-converting-enzyme= ACE) yang menyebabkan dilatasi
arteria yang mencolok. Dengan memblokade angiotensin II, berakibat
pengurangan beban pasca yang bermakna. Venodilatasi dan akibatnya
pengurangan prabeban telah dilaporkan juga. Obat ini juga mengganggu produksi
aldosteron dan karenanya juga membantu mengendalikan retensi garam dan air.
Dosis oral adalah 0,5-6 mg/kg/ 24 jam dierikan pada dosis terbagi 2-3 kali.1 Obat
ini biasanya diberikan pada gagal jantung akibat beban volume, kardiomiopati,
insufisiensi mitral atau aorta berat, pirau dari kiri ke kanan yang besar. Obat ini
menyebabkan retensi kalium sehingga dianjurkan untuk tidak diberikan
bersamaan dengan diuretik yang bersifat penahan kalium (spironolakton)

.2

Reaksi kaptopril yang merugikan adalah hipotensi dan sekuelenya (misalnya


sinkop, lemah dan pusing). Ruam pruritis makulopapuler ditemukan pada 5-8%
penderita, tetapi obat dapat dilanjutkan karena ruam seringkali menghilang secara
spontan dikemudian. Neutropenia dan keracunan ginjal juga terjadi (Beirstein,
2003).
Mengurangi Beban Volume
Diuretik

dipergunakan

untuk

mengurangi

prabeban.

Obat

ini

mengganggupenyerapan kembali air dan natrium oleh ginjal, yang berakibat


penurunan volume darah yang bersirkulasi dan karenanya mengurangi kelebihan
cairan dalam paru-paru dan tekanan pengisian ventrikel. Obat ini sering harus
digunakan bersama dengan terapi digitalis pada penderita dengan gagal jantung
berat. Obat yang dapat digunakan diantaranya:
1. Furosemid
Furosemid adalah diuretik yang paling sering digunakan pada penderita gagal
jantung. Obat ini menghambat penyerapan kembali natrium dan klorida pada
tubulus distal dan lengkung henle. Penderita yang memerlukan dieresis akut
65

harus diberikan furosemid intravena atau intramuskuler pada dosis awal 1-2
mg/kg. Hal ini biasanya menyebabkan dieresis cepat dan perbaikan segera
status klinis, terutama jika ada gejala kongestif paru. Terapi furosemid lama
diresepkan pada dosis 1-4 mg/kg/ 24 jam diberikan antara 1 dan 4 kali sehari.
Pemantauan elektrolit yang teliti perlu pada terapi furosemid jangka lama
karena mungkin ada kehilangan kalium yang berarti. Penambahan kalium
klorida biasanya diperlukan, kecuali kalau diuretik penghemat kalium
spironolakton diberikan bersama-sama. Bila furosemid diberikan setiap selang
sehari, penambahan kalium dalam diet mungkin cukup untuk mempertahankan
kadar kalium serum normal. Pemberian furosemid lama dapat menyebabkan
kontraksi ruangan cairan ekstraseluler, menimbulkan alkalosis kontraksi.
Pada keadaan ini asetazolamid, inhibitor karbonik anhidrase mungkin berguna
(Beristein, 2003)
2. Spironolakton
Spironolakton merupakan inhibitor aldosteron dan memperbesar retensi
kalium. Biasanya diberikan secara oral 2-3 mg/kgBB/24 jam dalam 2-3 dosis
terbagi, merupakan diuretik hemat kalium. Kombinasi spirnolakton dan
klorotiazid

biasanya

digunakan

untuk

kenyamanan

karena

mereka

menghilangkan kebutuhan penambahan kalium yang sering kurang ditoleransi.


3. Klorotiazid
Klorotiazid kadang-kadang digunakan untuk dieresis pada anak dengan gagal
jantung kurang berat. Kerjanya obat ini kurang cepat dan kurang poten
dibanding dengan furosemid dan obat ini mempengaruhi penyerapan kembali
elektrolit hanya dalam tubulus ginjal. Dosis biasanya adalah 20-50 mg/ kg/ 24
jam dalam dosis terbagi. Penambahan kalium sering diperlukan jika obat ini
digunakan sendirian.

66

Agen Inotropik Lain


Amin simpatomimetik, katekolamin, dan simpatomimetik lain dapat
memperbaiki curah jantung yang rendah dengan berinteraksi dengan reseptor
beta, menyebabkan kenaikan kontraktilitas dan frekuensi jantung.
1. Agonis Adrenergik-
Isoproterenol, suatu preparat intravena yang digunakan untuk mengobati
curah jantung rendah, mempunyai pengaruh adrenergik- sentral maupun
perifer, juga mengurangi beban pasca jantung, memperbesar kontraktilitas,
menaikkan frekuensi jantung, dan menyebabkan vasodilatasi. Obat diberikan di
dalam ruang perawatan intensif, padanya dosis dititrasikan antara 0,01 dan 0,5
Kg/kg/menit. Penentuan tekanan darah arterial dan frekuensi jantung terus
menerus merupakan keharusan, dan pengukuran curah jantung dengan kateter
termodilusi pulmonal dapat juga membantu penilaian kemanjuran obat.
Kerugian utama isoproterenol adalah mempunyai pengaruh kronotropik yang
kuat sehingga menyebabkan takikardi yang bermakna, yang dapat mengganggu
perfusi koroner, oleh karena itu, ia tidak boleh digunakan pada penderita yang
telah menderita takikardia bermakna. Kerugian inilah yang membatasi
penggunaan kliniknya (Fred, 1996). Anak-anak yang mendapat isoproterenol
harus dipantau secara teliti untuk depolarisasi prematur atrium atau ventrikel.
Seringkali, saat pengobatan isoproterenol atau agonis adrenergik- dihentikan,
terapi digoksin ditambahkan untuk pengaruh inotropik selanjutnya.
Dopamin mempunyai pengaruh kronotropik dan aritmogenik lebih kecil
daripada isoproterenol. Obat ini menimbulkan vasodilatasi ginjal selektif,
terutama berguna pada penderita dengan fungsi ginjal terganggu yang sering
dijumpai dengan curah jantung rendah. Pada dosis 2-10 Kg/kg/menit,
dopamine menyebabkan kenaikan kontraktilitas dengan sedikit vasokonstriksi
perifer. Namun jika dosis ditambah diatas 15 Kg/kg/menit, pengaruh
adrenergik- perifernya dapat menyebabkan vasokonstriksi. Pada dopamin
dosis tinggi dapat juga menyebabkan kenaikan tahanan vaskuler pulmonal.1
Pemberian dopamine tersebut biasanya dilakukan di ruang intensif dengan
menggunakan infusion pump. Dobutamin, derivat dopamin, juga digunakan

67

untuk mengobati curah jantung rendah. Obat ini menimbulkan pengaruh


inotropik langsung dengan pengurangan sedang pada tahanan vaskuler perifer.
Dobutamin dapat diberikan sebagai tambahan pada terapi dopamin agar
menghindari vasokonstriksi dopamine dosis tinggi. Dobutamin juga agaknya
kurang menyebabkan gangguan irama jantung. Dosis biasanya 2-20
Kg/kg/menit. Epinefrin mempunyai aktivitas alfa perifer maupun beta-1
jantung. Kadang-kadang obat ini digunakan pasca bedah jantung, dimana
rangsangan inotropiknya yang sangat kuat membuat ia berguna pada keadaan
curah jantung rendah dengan vasokonstriksi yang kadang-kadang menyertai
pembedahan. Kekurangan utama berupa seringnya terjadi kenaikan frekuensi
jantung yang mencolok, membatasi penggunaanya.
2. Penghambat Fosfodiesterase
Amrinon adalah obat kelas baru pertama, tidak sama dengan katekolamin
maupun digitalis, berguna dalam mengobati penderita dengan curah jantung
rendah yang refrakter terhadap terapi standar. Obat ini bekerja dengan
menghambat fosfodiesterase, mencegah penghancuran cAMP intraseluler.
Amrinon mempunyai pengaruh inotropik positif pada jantung maupun
pengaruh vasodilator perifer yang berarti dan biasanya digunakan sebagai
tambahan terapi dopamin dan dobutamin dalam unit perawatan intensif. Obat
ini diberikan dengan dosis pembebanan awal (loading dose) 0,75 mg/kg/menit.
Efek samping utama adalah hipotensi akibat vasodilatasi perifer. Hipotensi
biasanya dapat ditatalaksana dengan pemberian cairan intravena untuk
mencukupi volume intravaskuler. Efek samping kedua adalah trombositopenia,
keparahannya tampak terkait dengan kecepatan infus dan lama terapi. Efek
samping ini reversibel bila obat dihentikan atau kecepatan infus dikurangi
(Beirstein, 2003).
Terapi Bedah
Terapi bedah pada gagal jantung oleh karena defek intrakardiak dapat
bersifat paliatif atau koreksi (penutupan defek). Terapi paliatif berupa penjeratan
(banding) arteri pulmonalis ditujukan pada bayi kecil dengan keadaan kritis yang
tidak memungkinkan menggunakan mesin pintas jantung paru. Kerugian banding

68

arteri pulmonalis ini meliputi mortalitas dini post operasi, gagal jantung kongestif
persisten, tehnik debanding yang sulit pada saat operasi koreksi, dan
kemungkinan terjadi stenosis subaortik. Terapi koreksi pada bayi dilakukan
dengan tujuan untuk menanggulangi gagal jantung yang tidak dapat diatasi
dengan medikamentosa, termasuk didalamnya saluran nafas bagian bawah
berulang dan gagal tumbuh (supriyatno, 2009).
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita gagal jantung antara lain:
1. Gangguan pertumbuhan,; pada bayi dan anak yang menderita gagal jantung
yang lama biasanya mengalami gangguan pertumbuhan. Berat badan lebih
terhambat daripada tinggi badan.
2. Dispneu; pada gagal jantung kiri dengan gangguan pemompaan pada ventrikel
kiri dapat mengakibatkan bendungan paru dan selanjutnya dapat menyebabkan
ventrikel kanan berkompensasi dengan mengalami hipertrofi dan menimbulkan
dispnea dan gangguan pada sistem pernapasan lainnya.
3. Gagal ginjal; gagal jantung dapat mengurangi aliran darah pada ginjal,
sehingga akan dapat menyebabkan gagal ginjal jika tidak ditangani.
4. Hepatomegali, ascites, bendungan pada vena perifer dan gangguan
gastrointestinal pada gagal jantung kanan.
5. Serangan jantung dan stroke; disebabkan karea aliran darah pada jantung
rendah, sehingga menimbulkan terjadinya jendalan darah yang dapat
meningkatkan resiko serangan jantung dan stroke.
6. Syok kardiogenik; akibat ketidak mampuan jantung mengalirkan cukup darah
ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolism. Biasanya terjadi pada
gagal jantung refrakter
7. Infeksi Saluran pernafasan.

69

Prognosis
Prognosis gagal jantung tergantung:
1.

Umur
Pada sebagian kecil pasien, gagal jantung yang berat terjadi pada hari/

minggu-minggu pertama pasca lahir, misalnya sindrom hipoplasia jantung kiri,


atresia aorta, koarktasio aorta atau anomali total drainase vena pulmonalis dengan
obstruksi. Terhadap mereka, terapi medikamentosa saja sulit memberikan hasil,
tindakan invasif diperlukan segera setelah pasien stabil. Kegagalan untuk
melakukan operasi pada golongan pasien ini hampir selalu akan berakhir dengan
kematian.
2.

Berat ringannya penyakit primer


Pada gagal jantung akibat PJB yang kurang berat, pendekatan awal adalah

dengan terapi medis adekuat, bila ini terlihat menolong maka dapat diteruskan
sambil menunggu saat yang bik untuk koreksi bedah. Pada pasien penyakit
jantung rematik yang berat yang disertai gagal jantung, obat-obat gagal jantung
terus diberikan sementara pasien memperoleh profilaksis sekunder, pengobatan
dengan profilaksis sekunder mungkin dapat memperbaiki keadaan jantung.
3. Cepatnya pertolongan pertama
4. Hasil terapi digitalis
5. Seringnya kambuh akibat etiologi yang tidak dikoreksi.

PEMBAHASAN
Anamnesis
Teori
Atrial Septal Defect (ASD)
-

Sesak nafas (terutama saat aktifitas)

Kasus
-

Sesak nafas

70

Rasa lelah

Infeksi saluran nafas yang berulang

Palpitasi

Takikardia

Tampak lemah dan

aktifitas berkurang
Infeksi saluran nafas
berulang (riwayat

Tidak sianosis

Berat

bronchopneumonia

badan

yang

bertambah sedikit atau


tidak

bertambah

berulang pada pasien)


Takikardi
Tidak ada riwayat
sianosis

atau

bahkan berkurang
Gagal Jantung (Decomp Cordis)
-

Mempunyai

penyakit

jantung

bawaan sebelumnya (eks: ASD)


-

ASD
Sesak nafas
Kesulitan makan dan

Sesak nafas terutama saat aktifitas

riwayat menghabiskan

fisik

minum dalam waktu

Kesulitan makan dan minum

Failure to thrive (pertambahan berat

lama
Berkeringat berlebihan
Irritable
Menangis lemah

badan yang jelek)


-

Riwayat

berkeringat

banyak

(merintih)

(sering)
-

Ortopnea

Edem perifer, pada bayi terutama di


palpebral

Iritable

Menangis lemah

Pemeriksaan Fisik
Teori

Kasus

71

Atrial Septal Defect (ASD)


-

Pasien tampak sangat


kurus

pulsasi ventrikel kanan

daerah

parasternal

kanan
Kontraksi

ventrikel

kanan
Kontraksi Ventrikel kanan yang
meningkat di daerah parasternal

kanan
Suara jantung 2 di katup

pulmonal meningkat
Bising sistolik di parasternal
line dekstra ICS 2, Parasternal

kanan yang meningkat

line sinsitra ICS 2,3,4 dan ictus

pada parasternal dekstra


-

Pulsasi ventrikel kanan


ditemukan di daerah parasternal

(tergantung

derajat ASD)
Clubbing nails
Inspeksi
ditemukan
di

cordis

atau sinistra
Suara jantung

di

daerah katup pulmonal


-

meningkat
Bising ejeksi sistolik di daerah

pulmonal
Bising diastolik
parasternal

pada

sinistra

sisi

bagian

bawah (ICS 4) dapat ditemukan


S2 melebar dan menetap pada
saat inspirasi dan ekspirasi

(wide splitting fixed)


Gagal Jantung (Decomp Cordis)
160 x/ menit, pada bayi > 100

- Takikardia: Heart rate > 150 x


- Kardiomegali
Batas kanan: ICS 4 midclavicula

x/menit
Kardiomegali pada pemeriksaan

line dekstra
Batas kiri: ICS 5 midclavicula

fisik dan foto thoraks


Peningkatan tonus simpatik :

dekstra
Batas atas: ICS parasternal line

FTT dan berkeringat


Irama gallop

sinistra
Batas bawah: iktus kordis
- Berkeringat banyak tidak sesuai

Takikardia : pada neonatus >

Tanda gagal jantung kiri:


-

Takipneu
Sesak nafas,

terutama

saat

dengan suhu ruangan


Sesak nafas
Takipneu
72

aktifitas
Ortopnea
Mengi atau rhonki
Batuk

Rhonki (+/+)
Hepatomegali 1 jari dibawah
arcus kosta

Tanda gagal jantung kanan:


-

Hepatomegali

(teraba

batas

tumpul dan kenyal)


Peningkatan
tekanan

vena

juguler
Edem perifer
Edem palpebra

Pemeriksaan Penunjang
Teori
Atrial Septal Defect (ASD)
- EKG:
Deviasi sumbu QRS ke kanan (+90
sampai +180), hipertrofi ventrikel
kanan, BBB
- Foto thoraks:
Kardiomegali dengan pembesaran
atrium kanan dan ventrikel kanan.
Arteri pulmonalis tampak menonjol
dan disertai peningkatan vascular
paru
- Echocardiography:
Terdapat defek pada dinding atrium

Kasus
- EKG:
Deviasi sumbu QRS kea rah Right
superior, hipertrofi ventrikel kanan
- Foto thoraks:
Large cordis
Pneumonal knop prominent
Bronchopneumoni parenchymal
Pulmo effusion basis right
hemithoraks
CTR 64 %
- Echocardiography:
Atrial sinus solitus
AV-VA Concordance
Normal systemic and pulmonal

dan dilatasi arteri pulmonalis

venous drainage
Balance 4 chambers
No PDA, VSD
ASD dd PFO Left to right shunt
Mild PH 23 mmHg, Mild TR
Well contracted ventricle

73

Gagal Jantung (Decomp Cordis):


- Foto thoraks:
Hampir selalu ada kardiomegali
- EKG:
Tergantung penyebab, yang utama

Sama dengan diatas

adanya hipertrofi ventrikel atau


atrium, disertai dengan gangguan
irama jantung berupa takikardi
supraventricular
- Echocardiography:
Melihat penyebab kelainan apakah
ada defek atau tidak pada septum
jantung

Penatalaksanaan
Teori
Atrial Septal Defect (ASD)
-

Kasus
- D5 NS 400 cc / 24 jam pakai

Pada ASD yang disertai gagal


jantung digunakan obat inotropic

yang sesuai dan diuretic


Profilaksis
endocarditis

terindikasi pada ASD


Pembedahan (konsul BTKV)

tidak

soloset/ poset
- Minum maksimal 240 cc/ hari (8 x
30 cc atau 6 x 40 cc)
- Inj. Ceftriaxone 3 x 200 mg (hari ke
-

2)
Inj. Furosemide 2 x 6 mg IV
Spironolakton 1 x 6 mg PO
Captopril 3 x 2 mg PO
Inj. Deksametason loading dose 3
mg IV lanjut maintenance 3 x 1 mg

IV
- Inj. Paracetamol 4 x 80 mg IV
- Inj. Gentamisin 1 x 30 mg IV
- Nebul ventolin 1 cc + PZ 1,5 cc 3x/
hari
- Ambroxol 3 x 3 mg PO KDT lanjut 1
x 1 tab

74

Gagal Jantung (Decomp Cordis)


-

Inotropik
Diuretik
Vasdodilator
Pembedahan
Suportif

- Diuretik

(spironolakton

dan

furosemide)
- Vasodilator : Kaptopril
- Suportif (nebul, AB, ambroksol, Pct,
Deksa)

75

DAFTAR PUSTAKA
1. Dorland, W.A. Newman. Kamus Kedokteran Dorland. Ed. Ke-29.
Jakarta: ECG;2002.
2. Markham L.W. Atrial Septal Defect [online]. Updated on Sep 20,
2012. (diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/162914
(diakses Minggu, 17 Maret 2013).
3. Grech E.D. ABC of Interventional Cardiology. London: BMJ
Publishing Group;2004. P.31.
4. Singh V.N.. Imaging in Atrial Septal Defect [online]. Updated on
May

25

2011.

(diunduh

dari

http://emedicine.medscape.com/article/348121-overview

diakses

Minggu 17 Maret 2013).


5. Snell RS. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedoteran bagian I.
edisi 3, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1992. Halaman
107-14
6. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2. Jakarta:
ECG;1996.Hal. 259-61.
7. Guyton C.A, Hall. E.J. The Heart in Textbook of Medical
physiology 11th Edition. Pennysyvania: Elsevier Saunders;2006. P.
104
8. Anonymous. Yale Medical Group [cited 2013, June 09]. Available
from:

http://www.yalemedicalgroup.org/stw/Page.asp?

PageID=STW026200
9. Sadler, Thomas W. Cardiovascular System in Langmans Medical
Embryology

9th

Edition.

USA:

Lippincott

Williams

&

Wilkins;2003.
10. Kumar, Vinay,dkk. Penyakit Jantung Kongenital dalam Robbins
Patologi Edisi 7. Jakarta: ECG;2007.
11. Ghanie, Ali. Penyakit Jantung Kongenital pada Dewasa dalam Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia;2006
12. Conroy m.L. et.al. Atlas of Pathophysiology 3nd Edition.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins;2010. P.46-47.
13. Roebiono,P.S. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Jantung
Bawaan

[online].

(diunduh

dari

76

http://repository.ui.ac.id/koleksi/11.pdf diakses Kamis, 7 Maret


2013)
14. Habermann T.M, Gosh A.K. Mayo Clinic Internal Medicine
Concise Textbook. USA: Mayo Clinic Scientific Press;2008.P.4849.
15. Purwohudoyo,

S.S.

Pemeriksaan

Kelainan-Kelainan

Kardiovaskular dengan Radiografi Polos. Jakarta: UI Press;1984.


Hal. 41,45,50-56.
16. Corne J. et.al. Chest X-Ray Made Easy. London: Churchill
Livingstone;2001.P. 88-89.
17. Mettler, Fred A. Congenital Cardiac Disease in Essentials of
Radiology 2nd Edition. USA:Saunders;2005.
18. Fauci et. Al. Harrisons Principles of Internal Medicine 17th Edition.
USA: McGraw-Hills Companies;2008.
19. Budoff J.M, Shinbane S.J. Cardiac CT Imaging Diagnosis of
Cardiovascular Disease. London; Springer, 2006. P. 34-35,211.
20. Naidich D.P. Computes Tomography and Magnetic Resonance of
the Thorax 4th Edition. New York: Lippincott Williams &
Wilkins;2007.P.62-64.
21. Lily Ismudiati Rilantono et.al. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;1996. Hal.230.
22. Rusdy Ghazali Malueka. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta:
Pustaka Cendekia Press;2011. Hal 68-70.
23. McMahon C, Singleton E. Plain radiographic Diagnosis of
Congenital

Heart

Disease

[online].

(diunduh

http://www.bcm.edu/radiology/cases/pediatric/start.htm

dari
diakses

Jumat, 8 Maret 2013).


24. http://emedicine.medscape.com/article/892980-workup#showall
25. http://www.vcuthoracicimaging.com/Historyanswer.aspx?
qid=40&fid=1
26. Bernstein, Daniel. 2003. Heart Failure dalam Nelson Textbook of
Pediatrics 17th edition. USA: Elsevier Science (USA).
27. Pusponegoro, H. D dkk. 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan
Anak edisi I. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
28. Fred, M, D. 1996. Gagal Jantung Kongestif dalam Kardiologi
Anak Nadas.Yogyakarta: Gajah Mada University press.

77

29. Supriyatno, Bambang. 2009. Management of Pediatric Heart


Disease for practitioner: From Early Detection to Intervention.
Jakarta: Departemen IKA FKUI-RSCM.
30. SMF Ilmu Anak. 2008. Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu
Kesehatan Anak. Jember: RSUD. Dr. Soebandi.
31. Wahab, Samik. 2003. Penyakit Jantung Anak Edisi 3. Jakarta:
EGC.
32. Syarif, Amir dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta:
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI.
33. Sitompul, Barita dan Irawan Sugeng. 2004. Gagal Jantung dalam
Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

78

Vous aimerez peut-être aussi