Vous êtes sur la page 1sur 29

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan berkat dan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan referat
dengan judul MANAJEMEN PADA BENCANA ALAM.
Referat ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan bagian ilmu Kedokteran
Forensi dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/RSUP Dr. Kariadi
Semarang. Kami berharap referat ini dapat dimanfaatkan baik oleh mahasiswa Fakultas
Kedokteran, atau siapapun yang memerlukan.
Kami ucapkan banyak terima kasih kepada dr. Sigid Kirana Lintang Bhima Sp.F,
sebagai dosen pembimbing dan dr. Stephanus Rumancay serta dr. Marlis Tarmizi sebagai
residen pembimbing serta berbagai pihak atas bimbingan, kerja sama, dorongan dan bantuan
baik secara moril maupun materiil dalam penyelesaian referat ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, kami mengharapkan saran dan masukan untuk dapat menyempurnakan referat ini.

Semarang, Juli 2016

Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................
DAFTAR ISI.......................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN...............................................................................
1.1 Latar belakang..............................................................................
1.2 Perumusan masalah......................................................................
1.3 Tujuan referat...............................................................................
1.3.1 Tujuan umum.....................................................................
1.3.2 Tujuan khusus....................................................................
1.4 Manfaat........................................................................................
1.4.1 Manfaat Teoritis.................................................................
1.4.2 Manfaat Aplikatif...............................................................

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA,....................................................................
2.1 Bencana.......................................................................................
2.1.1 Definisi...............................................................................
2.1.2 Mekanisme Terjadinya Disaster.........................................
2.1.3 Potensi Ancaman Bencana di Indonesia............................
2.2 Sistem Penanggulangan Bencana...............................................
2.2.1 Landasan Hukum...............................................................
2.2.2 Sistem Nasional..................................................................
2.3 Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana ...............................
2.3.1 Pra Bencana........................................................................
2.3.2 Saat Bencana......................................................................
2.3.3 Pasca Bencana....................................................................
2.4 Peran Dokter dalam Bencana ......................................................
2.4.1 Penatalaksanaan pada Korban Hidup.................................
2.4.2 Penatalaksanaan pada Korban Mati...................................
2.4.2.1 DVI..........................................................................
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN........................................................
3.1 Kesimpulan .................................................................................
3.2 Saran............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................
LAMPIRAN........................................................................................................

BAB 1
PENDAHULUAN
I.1 Latar belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 13.667 pulau dengan
batas luasnya sebesar 2.027.087 km2 mempunyai kurang lebih 129 gunung merapi.
Secara geologis Indonesia terletak di pertemuan di antara 3 plat tektonik utama
(Eurasia, IndoAustralia dan Mediterania). Indonesia yang terdiri dari gugusan
kepulauan mempunyai potensi bencana yang sangat tinggi dan juga sangat bervariasi
dari aspek jenis bencana. Kondisi alam tersebut serta adanya keanekaragaman
penduduk dan budaya di Indonesia menyebabkan timbulnya risiko terjadinya bencana
alam, bencana ulah manusia dan kedaruratan kompleks, meskipun disisi lain juga

kaya akan sumberdaya alam. Pada umumnya risiko bencana alam meliputi bencana
akibat faktor geologi (gempabumi, tsunami dan letusan gunung api), bencana akibat
hydrometeorologi (banjir, tanah longsor, kekeringan, angin topan), bencana akibat
faktor biologi (wabah penyakit manusia, penyakit tanaman/ternak, hama tanaman)
serta kegagalan teknologi (kecelakan industri, kecelakaan transportasi, radiasi nuklir,
pencemaran bahan kimia).1
Bencana massal didefinisikan sebagaisuatu peristiwa yang disebabkan oleh
alam atau karena ulah manusia, yang dapat terjadi secara tiba-tiba atau perlahanlahan, yang menyebabkan hilangnya jiwa manusia, kerusakan harta benda dan
lingkungan, serta melampaui kemampuan dan sumber daya masyarakat untuk
menanggulanginya.2
Bencana dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu bencana alam, bencana non
alam, dan bencana sosial. Indonesia merupakan negara yang memiliki tiga jenis
bencana tersebut. Bencana alam yang terjadi di Indonesia antara lain gempa bumi,
tsunami, gunung berapi, pergerakan tanah, banjir, kekeringan, erosi, abrasi, dan cuaca
ekstrim serta gelombang ekstrim. Bencana non alam antara lain kegagalan teknologi,
epidemi dan wabah penyakit. Sedangkan untuk bencana sosial (perbuatan manusia)
antara lain adalah konflik sosial dan terorisme.3
Bencana akibat ulah manusia terkait dengan konflik antar manusia akibat
perebutan sumberdaya yang terbatas, alasan ideologi, religius serta politik. 4-7
Sedangkan kedaruratan kompleks merupakan kombinasi dari situasi bencana pada
suatu daerah konflik. Kompleksitas dari permasalahan bencana tersebut memerlukan
suatu penataan atau perencanaan yang matang dalam penanggulangannya, sehingga
dapat dilaksanakan secara terarah dan terpadu. Penanggulangan yang dilakukan
selama ini belum didasarkan pada langkah-langkah yang sistematis dan terencana,
sehingga seringkali terjadi tumpang tindih dan bahkan terdapat langkah upaya yang
penting tidak tertangani. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana mengamanatkan pada pasal 35 dan 36 agar setiap daerah
dalam upaya penanggulangan bencana, mempunyai perencanaan penanggulangan
bencana.2-6 Secara lebih rinci disebutkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21
Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.8
I.2 Perumusan masalah
I.2.1 Apa yang dimaksud dengan pengertian bencana ?
I.2.2 Apa yang dimaksud dengan jenis bencana?
I.2.3 Apa yang dimaksud dengan daerah potensi ancaman bencana?
I.2.4 Bagaimana sistem penanggulangan bencana di Indonesia?
I.2.5 Apa yang dimaksud dengan siaga bencana?

I.2.6

Bagaimana penatalaksanaan korban bencana ?

I.3 Tujuan penelitian


I.3.1 Tujuan umum :
Mengetahui peran dokter dalam manajemen pada bencana di Indonesia
I.3.2 Tujuan khusus :
a) Mengetahui pengertian dan jenis bencana.
b) Mengetahui daerah potensi ancaman bencana.
c) Mengetahui sistem penanggulangan bencana di Indonesia.
d) Mengetahui definisi dari siaga bencana.
e) Mengetahui penatalaksanaan korban bencana.
I.4 Manfaat penelitian
I.4.1 Teoritis
Menambah pengetahuan dan wawasan tentang manajemen penanggulangan
bencana di Indonesia.
I.4.2 Aplikatif
Memberikan gambaran tentang peran dokter dalam penanganan bencana di
Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bencana
2.1.1 Definisi Bencana
Definisi bencana sangat bervariasi. Menurut WHO, bencana adalah setiap kejadian
yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia atau
memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang
memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena. Sedangkan menurut
Departemen Kesehatan RI, bencana adalah peristiwa/kejadian pada suatu daerah yang
mengakibatkan kerusakan ekologi, kerugian kehidupan manusia serta memburuknya
kesehatan dan pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan bantuan luar biasa
dari pihak luar. Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 mendefinisikan bencana sebagai
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam
maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.7

Secara singkat, bencana adalah suatu kejadian yang tidak diharapkan, yang dapat
menimbulkan korban luka atau meninggal dengan jumlah cukup banyak. 2-5 Berbagai literatur
memiliki patokan yang berbeda mengenai jumlah korban yang dapat dikatakan massal. Dari
sudut pandang medis, 25 orang, menurut Popzacharieva dan Rao, 10 orang.6,7 Silver dan
Souviron menyatakan patokan ini tentunya akan berbeda-beda tergantung dari lokasi bencana,
terkait dengan sumber daya dan fasilitas yang tersedia.

Sebagai contoh, jumlah lemari

pendingin yang tersedia untuk menyimpan jenazah akan bervariasi dari 4 hingga 400 unit
antara satu rumah sakit dengan rumah sakit lainnya 2 Dengan demikian, menurut Hadjiiski,
suatu bencana digolongkan sebagai bencana massal apabila jumlah korban melebihi 10% dari
kapasitas tempat yang tersedia di masing-masing rumah sakit.9
Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi
atau menghilangkan risiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana maupun
kerentanan pihak yang terancam bencanaKesiapsiagaan adalah serangkaian yang dilakukan
untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat
guna dan berdaya guna. Badan Nasional Penanggulangan Bencana, yang selanjutnya
disingkat

dengan

BNPB,

adalah

lembaga pemerintah nondepartemen sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang


Penanggulangan Bencana mengamanatkan pada pasal 35 dan 36 agar setiap daerah dalam
upaya penanggulangan bencana, mempunyai perencanaan penanggulangan bencana. Secara
lebih rinci disebutkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.7,8
2.1.2. Mekanisme Terjadinya Disaster
Patofisiologi atau mekanisme kejadian disaster selalu dimulai dengan hazard untuk
menimbulkan

bencana (event) dan apabila bencana tersebut mengalami kontak dengan

masyarakat dan lingkungan di tempat kejadian (impact) akan berakibat kerusakan (damage)
seperti pada algoritma berikut.10

Manifestasi hazard

akan berdampak pada kehidupan dan lingkungan yang disebut

bencana. Hazard dapat diartikan sebagai isyarat bahaya sebelum terjadi bencana seperti
turunnya binatang buas dari puncak gunung Merapi akibat temperatur di daerah tersebut
meningkat sebagai tanda gunung itu mulai aktif. Hazard dapat juga diartikan sesuatu yang
berakibat negatif terhadap kesehatan manusia, perumahan, aktivitas dan lingkungan atau
sesuatu yang membahayakan sehingga dapat digolongkan sebagai berikut.10

Gempa

tektonik adalah hazard alam yang terjadi dalam waktu sangat pendek

(beberapa detik atau menit) dengan kerusakan tergantung intensitas, lama, skala atau

magnitud.
Gempa di Yogyakarta pada akhir bulan Mei 2006 adalah hazard alam dengan korban
sangat banyak yang berbeda dengan erupsi Gunung Merapi di Utara Yogyakarta yang
juga hazard alam. Aktivitas gunung tersebut dapat diramal sehingga sistem peringatan
bahaya pada masyarakat sudah dipersiapkan agar korban atau kerusakan dapat

dikurangi
Musim kemarau panjang merupakan hazard kombinasi alam dan perbuatan manusia
sehingga dapat mengakibatkan kelaparan pada masyarakat karena persedian makanan

berkurang.
Separatisme merupakan hazard manusia yang perlu dicari akar permasalahannya agar

tidak terjadi bencana pada populasi dan lingkungan.


Radiasi radioaktif akibat bocornya instalasi nuklir seperti di Rusia menelan korban
cukup banyak pada masyarakat di sekitar wilayah tersebut.

Tabrakan langsung antara bencana dan masyarakat serta lingkungan disebut impak.
Kondisi ini merupakan proses realisasi antara bencana dengan masyarakat dan lingkungan
dalam jangka waktu singkat atau lama. Derajat kerusakan tergantung kerawanan atau
kerentanan dan kesiapan masyarakat dan lingkungan. Dampak negatif dapat terlihat pada
kesehatan masyarakat dan lingkungan. Kerusakan pada masyarakat dapat berupa kematian,
orang hilang, terluka, terkena bencana tapi tidak terluka, punya risiko dan tidak terkena
bencana sama sekali. Bencana dapat berakibat kerusakan sumber daya daerah setempat
seperti jalan, sistem komunikasi, pelayanan kesehatan dan lain-lain sehingga kebutuhan
meningkat dan akan mengakibatkan kesedian sumber daya untuk daerah tersebut tidak
mencukupi.10

Menurut laporan WHO, angka probabilitas kematian akibat bencana setiap dekade
dari tahun 1951 sampai 2000 selalu menurun walaupun jumlah kejadian bencana dan korban
mengalami kenaikan. Demikian juga data probabilitas kematian karena bencana gempa dari
tahun 1960 sampai 2001 ikut mengalami penurunan. Penurunan ini kemungkinan disebabkan
oleh perkembangan kedokteran disaster berupa peningkatan aktivitas pencegahan, mitigasi
dan sistem koordinasi, perubahan variasi alam, atau kombinasi antara menajemen dan sistem
koordinasi dengan perubahan variasi alam, tetapi dapat juga akibat data laporan tidak
memadai. Prinsip dasar penanggulangan bencana dapat dilakukan dengan cara meniadakan
bencana (preventif), meniadakan maupun mengurangi kerusakan yang ditimbulkan bencana
tersebut terhadap populasi dan lingkungan (terapi), atau kombinasi preventif dan terapi.
Untuk hal tersebut, tim harus memahami patofisiologi atau mekanisme terjadinya disaster
dari awal adanya hazard sampai terjadinya disaster. Mereka harus dapat mengembangkan
keterampilan dan pengetahuan kedokteran disaster agar tercapai pengelolaan atau manajemen
yang tepat, efektif dan efisien.10
Oleh sebab itu, tujuan manajemen setelah terjadi bencana adalah pengembalian status
kesehatan korban seperti semula atau melawan dampak bencana terhadap kesehatan korban
ataupun mencegah tidak terjadi bencana. Strategi menajemen disaster yang harus dimiliki
oleh tim adalah: (1) memodifikasi hazard agar tidak terjadi bencana atau mengurangi faktor
risiko sehingga terjadi pengurangan efek negatif pada masyarakat dan lingkungan; (2)
mengurangi kerawanan (vulnerability) dan kerentanan masyarakat dan lingkungan untuk
masa depan; dan juga (3) memperbaiki kesiapan menghadapi disaster agar kerusakan
minimal.10
Dapat disimpulkan bahwa tim harus dapat melakukan pencegahan, mitigasi,
menghilangkan faktor risiko agar tidak terjadi bencana atau menyiapkan masyarakat dan
lingkungan agar tidak terjadi korban atau mengurangi kerusakan sehingga tidak menimbulkan
disaster.10

2.1.3 Potensi Ancaman Bencana

Secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan
empat lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudera
Hindia dan Samudera Pasifik. Pada bagian selatan dan timur Indonesia terdapat sabuk
vulkanik (volcanic arc) yang memanjang dari Pulau Sumatera ? Jawa - Nusa Tenggara ?
Sulawesi, yang sisinya berupa pegunungan vulkanik tua dan dataran rendah yang sebagian
didominasi oleh rawa-rawa. Kondisi tersebut sangat berpotensi sekaligus rawan bencana
seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir dan tanah longsor. Data
menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat
kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan di Amerika
Serikat.11

Wilayah Indonesia terletak di daerah iklim tropis dengan dua musim yaitu panas dan
hujan dengan ciri-ciri adanya perubahan cuaca, suhu dan arah angin yang cukup ekstrim.
Kondisi iklim seperti ini digabungkan dengan kondisi topografi permukaan dan batuan yang
relatif beragam, baik secara fisik maupun kimiawi, menghasilkan kondisi tanah yang subur.
Sebaliknya, kondisi itu dapat menimbulkan beberapa akibat buruk bagi manusia seperti
terjadinya bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan
kekeringan. Seiring dengan berkembangnya waktu dan meningkatnya aktivitas manusia,
kerusakan lingkungan hidup cenderung semakin parah dan memicu meningkatnya jumlah
kejadian dan intensitas bencana hidrometeorologi (banjir, tanah longsor dan kekeringan) yang
terjadi secara silih berganti di banyak daerah di Indonesia. Pada tahun 2006 saja terjadi
bencana tanah longsor dan banjir bandang di Jember, Banjarnegara, Manado, Trenggalek dan
beberapa daerah lainnya. Pada sisi lain laju pembangunan mengakibatkan peningkatan akses
masyarakat terhadap ilmu dan teknologi. Namun, karena kurang tepatnya kebijakan
penerapan teknologi, sering terjadi kegagalan teknologi yang berakibat fatal seperti
kecelakaan transportasi, industri dan terjadinya wabah penyakit akibat mobilisasi manusia
yang semakin tinggi. Potensi bencana lain yang tidak kalah seriusnya adalah faktor
keragaman demografi di Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2004 mencapai
220 juta jiwa yang terdiri dari beragam etnis, kelompok, agama dan adat-istiadat. Keragaman
tersebut merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang tidak dimiliki bangsa lain. Namun
karena pertumbuhan penduduk yang tinggi tidak diimbangi dengan kebijakan dan
pembangunan ekonomi, sosial dan infrastruktur yang merata dan memadai, terjadi
kesenjangan pada beberapa aspek dan terkadang muncul kecemburuan sosial. 11
2.2 Sistem Penanggulangan Bencana
2.2.1 Landasan Hukum
a. UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana7
Pasal 35
Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi
bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a meliputi :
a.

perencanaan penanggulangan bencana;

b.

pengurangan risiko bencana;

c.

pencegahan;

d.

pemaduan dalam perencanaan pembangunan;

e.

persyaratan analisis risiko bencana;

f.

penegakan rencana tata ruang;

g.

pendidikan dan pelatihan; dan

h.

persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.

Pasal 36
(1) Perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 huruf a ditetapkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah
sesuai dengan kewenangannya.
(2) Penyusunan perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh Badan.
(3) Perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui penyusunan data tentang risiko bencana
pada suatu wilayah dalam waktu tertentu berdasarkan dokumen resmi
yang berisi program kegiatan penanggulangan bencana.
(4) Perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi :
a.

pengenalan dan pengkajian ancaman bencana;

b.

pemahaman tentang kerentanan masyarakat;

c.

analisis kemungkinan dampak bencana;

d.

pilihan tindakan pengurangan risiko bencana;

e.

penentuan mekanisme kesiapan dan penanggulangan dampak


bencana; dan

f.

alokasi tugas, kewenangan, dan sumber daya yang tersedia.

(5) Pemerintah dan pemerintah daerah dalam waktu tertentu meninjau


dokumen perencanaan penanggulangan bencana secara berkala.
(6) Dalam usaha menyelaraskan kegiatan perencanaan penanggulangan
bencana, Pemerintah dan pemerintah daerah dapat mewajibkan pelaku
penanggulangan bencana untuk melaksanakan perencanaan
penanggulangan bencana.
Pasal 40
(1) Rencana penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 ayat (3) ditinjau secara berkala.
(2) Penyusunan rencana penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikoordinasikan oleh Badan.
(3) Setiap kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi yang
menimbulkan bencana dilengkapi dengan analisis risiko bencana
sebagai bagian dari usaha penanggulangan bencana sesuai dengan
kewenangannya.

Sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut bahwa tujuan penanggulangan


bencana meliputi pemberian perlindungan

kepada

masyarakat

perundang-undangan

dari

ancaman bencana,

menyelaraskan

peraturan

yang sudah

ada, menjamin

terselenggaranya

penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan

menyeluruh, partisipasi dan kemitraan publik serta swasta, mendorong semangat gotong
royong, kesetiakawanan, dan

kedermawanan, menciptakan perdamaian dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.


Kelembagaan terkait yang mengatur dalam penanggulangan bencana antara lain
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNBP) yang merupakan lembaga pemerintah non
departemen setingkat menteri. Tugas BNPB antara lain memberikan pedoman dan
pengarahan terhadap usaha penanggulangan

bencana

yang

mencakup

pencegahan

bencana, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi secara adil dan setara,
menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat, melaporkan penyelenggaraan
penanggulangan bencana

kepada Presiden setiap sebulan sekali dalam kondisi normal

dan pada setiap saat dalam kondisi darurat bencana.


Sedangkan pada tingkat provinsi yakni Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD). Tugas BPBD adalah

menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai dengan

kebijakan pemerintah daerah dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana terhadap usaha
penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan darurat,
rehabilitasi, serta rekonstruksi secara adil dan setara, melaporkan penyelenggaraan
penanggulangan bencana

kepada kepala daerah setiap sebulan sekali dalam kondisi

normal dan setiap saat dalam kondisi darurat bencana.


Penyelenggaraan penanggulan bencana meliputi berbagai tahap, antara lain:
1. Prabencana
Meliputi perencanaan penanggulangan bencana, pengurangan risiko bencana,
pencegahan,

pendidikan

dan

pelatihan

dan

persyaratan

standar

teknis

penanggulangan bencana.
2. Tanggap darurat
Meliputi pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber
daya, penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana, perlindungan
terhadap kelompok rentan, dan pemulihan dengan segera prasarana dan sarana
vital.

3. Pascabencana
Meliputi rekonstruksi dan rehabilitasi
Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan penganggulangan
bencana.8
Pasal 5
(1)

Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak


terjadi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a
meliputi:
a. perencanaan penanggulangan bencana;
b. pengurangan risiko bencana;
c. pencegahan;
d. pemaduan . . .

-5d.
e.
f.
g.
h.
(2)

pemaduan dalam perencanaan pembangunan;


persyaratan analisis risiko bencana;
pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang;
pendidikan dan pelatihan; dan
persyaratan
standar
teknis penanggulangan bencana.

Untuk mendukung penyelenggaraan penanggulangan bencana


dalam situasi tidak terjadi bencana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan melalui penelitian dan pengembangan di
bidang kebencanaan.
Pasal 6

(1)

(2)

(3)

Perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 5 huruf a merupakan bagian dari perencanaan
pembangunan.
Perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disusun berdasarkan hasil analisis risiko bencana dan upaya
penanggulangan bencana yang dijabarkan dalam program kegiatan
penanggulangan bencana dan rincian anggarannya.
Perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. pengenalan dan pengkajian ancaman bencana;
b. pemahaman tentang kerentanan masyarakat;
c. analisis kemungkinan dampak bencana;
d. pilihan tindakan pengurangan risiko bencana;
e. penentuan
mekanisme kesiapan
dan
penanggulangan dampak bencana; dan

f. alokasi tugas, kewenangan, dan sumber daya yang tersedia.


(4)

Penyusunan rencana penanggulangan bencana dikoordinasikan


oleh:
a. BNPB untuk tingkat nasional;
b. BPBD provinsi untuk tingkat provinsi; dan
c. BPBD kabupaten/kota
untuk tingkat kabupaten/kota.

(5)

Rencana
penanggulangan
bencana
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah atau
pemerintah
daerah sesuai dengan kewenangannya untuk
jangka waktu 5 (lima) tahun.

(6)

Rencana penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat


(5) ditinjau secara berkala setiap 2 (dua) tahun atau sewaktu-waktu
apabila terjadi bencana.
Penyusunan rencana penanggulangan bencana sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dilakukan berdasarkan pedoman yang
ditetapkan oleh Kepala BNPB.

(7)

2.2.2 Sistem Nasional


Indonesia menyadari bahwa masalah kebencanaan harus ditangani secara serius sejak
terjadinya gempa bumi dan disusul tsunami yang menerjang Aceh dan sekitarnya pada 2004.
Kebencanaan merupakan pembahasan yang sangat komprehensif dan multi dimensi.
Menyikapi kebencanaan yang frekuensinya terus meningkat setiap tahun, pemikiran terhadap
penanggulangan bencana harus dipahami dan diimplementasikan oleh semua pihak. Bencana
adalah urusan semua pihak. Secara periodik, Indonesia membangun sistem nasional
penanggulangan bencana. Sistem nasional ini mencakup beberapa aspek antara lain12:
a.

Legislasi
Dari sisi legislasi, Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Produk hukum di bawahnya antara
lain Peraturan Pemerintah , Peraturan Presiden, Peraturan Kepala Kepala Badan, serta

b.

peraturan daerah.12
Kelembagaan
Kelembagaan dapat ditinjau dari sisi formal dan non formal. Secara formal,
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merupakan focal point lembaga
pemerintah di tingkat pusat. Sementara itu, focal point penanggulangan bencana di
tingkat provinsi dan kabupaten/kota adalah Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD). Dari sisi non formal, forum-forum baik di tingkat nasional dan lokal
dibentuk untuk memperkuat penyelenggaran penanggulangan bencana di Indonesia.

Di tingkat nasional, terbentuk Platform Nasional (Planas) yang terdiri unsur


masyarakat sipil, dunia usaha, perguruan tinggi, media dan lembaga internasional.
Pada tingkat lokal, kita mengenal Forum PRB Yogyakarta dan Forum PRB Nusa
c.

Tenggara Timur.12
Pendanaan
Saat ini kebencanaan bukan hanya isu lokal atau nasional, tetapi melibatkan
internasional. Komunitas internasional mendukung Pemerintah Indonesia dalam
membangun manajemen penanggulangan bencana menjadi lebih baik. Di sisi lain,
kepedulian dan keseriusan Pemerintah Indonesia terhadap masalah bencana sangat
tinggi dengan dibuktikan dengan penganggaran yang signifikan khususnya untuk
pengarusutamaan pengurangan risiko bencana dalam pembangunan.12

2.3 Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana


Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana. Sebagaimana didefinisikan dalam UU 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana, penyelenggaraan Penanggulangan Bencana adalah serangkaian
upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana,
kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
Secara umum, manajemen bencana bertujuan untuk :
Mencegah dan membatasi jumlah korban manusia serta kerusakan harta benda dan
lingkungan hidup
Menghilangkan kesengsaraan dan kesulitan dalam kehidupan dan penghidupan korban
Mengembalikan korban bencana dari daerah penampungan/ pengungsian ke daerah asal bila
memungkinkan atau merelokasi ke daerah baru yang layak huni dan aman.
Mengembalikan fungsi fasilitas umum utama, seperti komunikasi/ transportasi, air minum,
listrik, dan telepon, termasuk mengembalikan kehidupan ekonomi dan sosial daerah yang
terkena bencana.
Mengurangi kerusakan dan kerugian lebih lanjut.
Meletakkan dasar-dasar yang diperlukan guna pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan
rekonstruksi dalam konteks pembangunan
Berikut merupakan siklus penanggulangan bencana:
1.

Pra bencana yang meliputi: situasi tidak terjadi bencana dan situasi terdapat potensi
bencana .

2.

Saat Tanggap Darurat yang dilakukan dalam situasi terjadi bencana

3.

Pasca bencana yang dilakukan dalam saat setelah terjadi bencana

Secara umum perencanaan dalam penanggulangan bencana dilakukan pada


setiap

tahapan

dalam

penyelenggaran

penanggulangan

bencana

Dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, agar setiap kegiatan dalam


setiap tahapan dapat berjalan dengan terarah, maka disusun suatu rencana yang
spesifik pada setiap tahapan penyelenggaraan penanggulangan bencana.
1. Pada tahap Prabencana dalam situasi tidak terjadi bencana, dilakukan

penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (Disaster Management Plan),


yang merupakan rencana umum dan menyeluruh yang meliputi seluruh
tahapan / bidang kerja kebencanaan. Secara khusus untuk upaya pencegahan

dan mitigasi bencana tertentu terdapat rencana yang disebut rencana mitigasi
misalnya Rencana Mitigasi Bencana Banjir DKI Jakarta.
2. Pada tahap Prabencana dalam situasi terdapat potensi bencana dilakukan

penyusunan Rencana Kesiapsiagaan untuk menghadapi keadaan darurat yang


didasarkan atas skenario menghadapi bencana tertentu (single hazard) maka
disusun satu rencana yang disebut Rencana Kontinjensi (Contingency Plan).
3. Pada

Saat

Tangap

Darurat

dilakukan

Rencana

Operasi (Operational Plan) yang merupakan operasionalisasi/aktivasi dari


rencana Kedaruratan atau rencana Kontinjensi yang telah disusun
sebelumnya.
4. Pada Tahap Pemulihan dilakukan Penyusunan Rencana Pemulihan (Recovery

Plan) yang meliputi rencana rehabilitasi dan rekonstruksi yang dilakukan


pada pasca bencana. Sedangkan jika bencana belum terjadi, maka untuk
mengantisipasi kejadian bencana dimasa mendatang dilakukan penyusunan
petunjuk /pedoman mekanisme penanggulangan pasca bencana.

Manajemen Bencana
Pra bencana
D
E
S
A

Buat Peta Rawan


Bencana
Buat data potensi
Hansip/ Linmas
Siapkan
data
paramedis/
Fasilitasi P3K
Siapkan
potensi
Hansip/ Linmas utk
PB
Koord masyarakat
dalam
penyiapan
alat/ fasilitas PB
Laks
suluh
gladi/latih PB
Tetapkan
lokasi
pengungsian
Tingkat was melalui
upaya
peringatan
dini.

Saat bencana
SAR
Memberi
pertolongan
pertama
Ungsikan korban
Siap dapur umum
Siap
tampung
sementara
Amankan lokasi
Terima,
salurkan
bantuan
Laporkan ke Camat

Pasca Bencana
Inventarisir jumlah
korban
Tempatkan korban
ke
penampungan
sementara
yang
aman
Rujuk korban ke
Puskes/ RS
Rehab/
Rekon
ringan
Laporan ke Camat

K
E
C
A
M
A
T
A
N

Buat peta rawan


bencana
Info daerah rawan
bencana
Info
daerah
evakuasi
Info
Potensi
Hansip/ Linmas
Adakan bimbingan/
suluh kpd Hansip/
Linmas
dan
masyarakat
Berikan peringatan
dini

SAR
Siap dapur umum
Siap
tempat
penampungan
Ungsikan korban
Amankan daerah
Terima/salurkan
bantuan
Laporkan
ke
Bupati/ Walikota

Inventarisir jumlah
korban
Rehab/rekons
ringan fasum
Penempatan
kembali korban
Terima/salurkan
bantuan
Laporkan
ke
Bupati/ Walikota

K
A
B
U
P
A
T
E
N

Buat peta rawan


bencana
Info daerah rawan
bencana
Tetapkan
daerah
alternativ
pengungsian
Susun program PB
(Pelatihan,
pendidikan,
gladi
dan protap)
Tetapkan anggaran
PB dalam APBD

Kirim TRC
Rapat koordinasi/
konsolidasi
Siapkan Satgas PB
Kirim Satgas PB
bila diperlukan
Berikan
bantuan
sar/pras
(tempat
penampungan,
pelayanan
kesehatan, pakaiaqn
dan
bahan
makanan)
Laporkan
ke
Gubernur

Laporkan jumlah
korban,
jumlah
kerugian,
kebutuhan
rehabilitasi, rencana
penempatan
kembali
kepada
Gubernur
Berikan
bantuan
dan
laksanakan
rehab/rekons
Dorong terciptanya
situasi dan kondisi
bagi
kelancaran
pemerintahan dan
pembangunan

Buat peta rawan


bencana
Info daerah rawan
bencana
Tetapkan
daerah
alternativ
pengungsian
Susun program PB
(Pelatihan,
pendidikan,
gladi
dan protap)
Tetapkan anggaran
PB dalam APBD

Kirim TRC
Rapat koordinasi/
konsolidasi
Siapkan Satgas PB
Kirim Satgas PB
bila diperlukan
Berikan
bantuan
sar/pras
(tempat
penampungan,
pelayanan
kesehatan, pakaiaqn
dan
bahan
makanan)
Berikan
suluh/
motivasi
pada
korban
Laporkan
ke

Laporkan jumlah
korban,
jumlah
kerugian,
kebutuhan
rehabilitasi, rencana
penempatan
kembali
kepada
Mendagri
dan
BAKORNAS PB
Berikan
bantuan
dan
laksanakan
rehab/rekons
Dorong terciptanya
situasi dan kondisi
bagi
kelancaran
pemerintahan dan
pembangunan

K
O
T
A

P
R
O
V
I
N
S
I

Mendagri
dan
BAKORNAS PB

2.4 Peran Dokter


2.4.1 Penanganan Pada Korban Hidup
1. Pencarian dan penyelamatan (SAR)
Kegiatan SAR sangat bergantungpada keahlian anggota tim yang berasal dari Dinas
Pemadam Kebakaran dan unit-unit khusus lainnya dari tenaga sukarela bila
dibutuhkan. Tim ini akan bekerja di daerah pusat bencana, yang akan dilakukan antara
lain :
Melokalisasi korban
Memindahkan
korban

dari

daerah

berbahaya

ke

tempat

pengumpulan/penampungan jika diperlukan


Memeriksa status kesehatan korban (triase di tempat kejadian)
Memberi pertolongan pertama jika diperlukan
Memindahkan korban ke pos medis lanjutan jika diperlukan

2. Perawatan di lapangan
Perawatan di lapangan diperlukan jika di daerah terjadi bencana tidak tersedia
fasilitas kesehatan yang cukup untuk menampung dan merawat korban bencana
massal (misalnya hanya tersedia satu Rumah Sakit tipe B/C), memindahkan seluruh
korban ke sarana tersebut hanya akan menimbulkan hambatan bagi perawatan yang
harus segera diberikan kepada korban dengan cedera serius, selain itu akan
mengganggu aktivitas Rumah Sakit tersebut dan membahayakan kondisi para
penderita yang dirawat di sana.
Dalam keadaan di mana dijumpai keterbasan sumber daya, terutama
keterbatasan daya tampung dan kemampuan perawatan, pemindahan korban ke
Rumah Sakit dapat ditunda sementara. Pada kejadian suatu bencana massal,
kenyataannya hanya sedikit korban yang bener-bener memerlukan perawatan segara
di Rumah Sakit. Golden hour di sini hanya diterapkan bagi korban yang menderita
perdarahan

internal

yang

sangat

membutuhkan

pembedahan

segera

untuk

menyelamatkan hidupnya.
a) Triase
Tujuan triase adalah untuk mengindentifikasi secara cepat korban yang
membutuhkan stabilisasi segera (perawatan di lapangan) dan identifikasi korban
yang hanya dapat diselamatkan dengan pembedahan darurat (life saving surgery)

Triase di tempat (triase satu)


Dilakukan di tempat di mana korban ditemukan atau tempat penampungan.
Umumnya dilakukan oleh tim Pertolongan Pertama atau Tenaga Medis
Gawat Darurat. Untuk meminimalisir kesalahan dan meningkatkan
efisiensi waktu dalam bekerja dapat digunakan kode warna triase. Jika
korban dengan status merah dan kuning dikelompokkan sebagai gawat
darurat (kondisi akut) dan korban dengan status hijau sebagai non gawat
darurat (kondisi non akut). Dengan cara ini waktu yang dibutuhkan untuk
triase di tempat yang mencakup pemeriksaan, klasifikasi, pemberian
tanda , dan pemindahan korban ke pos medis lanjutan akan sangat
berkurang dan tingkat kesalahan klasifikasi turut berkurang.

Triase medik
Dilakukan saat korban memasuki pos medis lanjutan oleh tenaga medis
yang paling berpengalaman. Petugas triase sebaiknya dipilih dari dokter
yang bekerja di Unit Gawat Darurat, ahli anestesi, dan dokter bedah.
Tujuan triase medik adalah untuk menentukan tingkat perawatan yang
dibutuhkan korban. Kartu kode warna triase dapat dibedakan menjadi
Merah = korban-korban yang membutuhkan stabilisasi segera dan korban
dengan syok, gangguan napas, trauma kepala dengan pupil anisokor,
perdarahan eskternal masif.
Kuning = korban yang memerlukan pengawasan ketat, tetapi perawatan
dapat ditunda sementara, termasuk korban dengan risiko syok, fraktur
multipel, fraktur femur, luka bakar luas, gangguan kesadaran/trauma
kepala.
Hijau = kelompok korban yang tidak memerlukan pengobatan

Tim perlu menentukan katagori korban pada pengelolaan disaster sebagai


berikut: (a) korban luka ringan (walking wounded); (b) korban luka berat (severe
wounded ) atau korban terhimpit di bawah benda berat atau bangunan (buried deeply
under rubble); dan (c) korban meninggal. Tim sebagai triase harus dapat menyeleksi
korban berdasarkan jumlah skor. Skor tertinggi harus segera diberikan pertolongan
dan kemudian dipindahkan ke rumah sakit setelah korban teratasi kegawatannya.13

a. Korban Luka Ringan


Umumnya korban luka ringan diakibatkan benturan atau himpitan benda yang
ringan. Korban meninggalkan daerah bencana ke tempat yang lebih aman atau
keluarga maupun masyarakat/relawan membawanya ke tempat pelayanan kesehatan
yang telah disediakan oleh tim maupun rumah sakit terdekat. Lesi kebanyakan adalah
kontusi, laserasi, fraktur maupun dislokasi, strain, sprain, trauma kepala ringan,
sindrom kompartemen dan adanya benda asing di luka seperti kayu, pasir atau
pecahan kaca. Tim harus dapat melakukan pengobatan pada korban seperti perawatan
luka, pemberian antibiotik, anti tetanus atau analgetik, immobilisasi dan resusitasi
serta pengobatan komorbiditas korban itu sendiri.10
b. Korban Luka Berat atau Terhimpit oleh Benda Berat atau Bangunan
Korban luka berat atau korban terhimpit oleh benda berat atau bangunan sangat
memerlukan pertolongan resusitasi secepatnya. Artinya, tim harus mempunyai
ketrampilan melakukan resusitasi sebagai life-saving bersamaan dengan pembebasan
korban dari himpitan benda berat dan membawa ke tempat pelayanan yang telah
disiapkan. Khusus pada pembebasan korban yang terisolasi di tempat reruntuhan
akibat gempa harus selalu dibarengi dengan prosedur resusitasi. Prosedur ini memiliki
beberapa kesulitan seperti posisi korban dan ruangan yang sangat terbatas untuk
melakukan manuver oksigenasi. Oleh karena itu tim harus mempunyai ketrampilan
dan alat khusus untuk membebaskannya. Masalah lain yang perlu dipikirkan bila
terhimpit bangunan adalah stabilitas bangunan tersebut, karena sewaktu-waktu dapat
roboh lagi. Bantul adalah daerah dengan sistem arsitektur tradisional terdiri dari
bambu dan kayu, sebagian tembok tanpa beton bertulang. Kebanyakan korban
kejatuhan bahan tersebut atau tembok rumah yang lantai dasarnya beralas tanah
sehingga terjadi inhalasi debu pada korban. Keluarga korban atau tetangga yang tidak
terluka secara otomatis membebaskan korban dengan alat seadanya dan tanpa
pengetahuan kedokteran disaster. Korban segera dibawa ke tempat yang lebih aman
atau ke tempat pelayanan kesehatan yang telah dipersiapkan oleh tim tanpa
memikirkan resusitasi. Tim sebagai triase mengirim korban ke rumah sakit yang tidak
sesuai dengan pengetahuan life saving atau tanpa fasilitas yang memadai. Sebagian
masyarakat juga membawa korban ke rumah sakit dengan transportasi memakai
kendaraan pribadi, truk atau bus tanpa memikirkan pertolongan pertama. Terdapat
pula Isu yang mengakibatkan korban terlambat mendapatkan bantuan life saving,

seperti isu tsunami pada kejadian gempa di Yogyakarta, sehingga masyarakat yang
tidak terluka berusaha meninggalkan korban ke tempat yang lebih aman dan korban
meninggal tanpa pertolongan.13
2.4.2

Penatalaksanaan Korban Mati


Untuk penatalaksanaan korban mati akibat bencana mengacu pada Surat

Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Kapolri No. 1087/Menkes/SKB/IX/2004


dan No. Pol Kep/40/IX/2004 Pedoman Pelaksanaan Identifikasi Korban Mati pada
Bencana Massal. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah
memberikan amanat kepada pemerintah dan masyarakat untuk melakukan upaya
identifikasi terhadap mayat yang tidak dikenal. Identifikasi korban mati dilakukan
untuk memenuhi hak korban agar dapat dikembalikan kepada keluarga dan dikubur
secara layak sesuai dengan keyakinannya semasa hidup. Ada dampak hukum dengan
meninggalnya seseorang seperti waris, asuransi, serta pada kasus kriminal, maka akan
dapat dihentikan apabila pelaku telah meninggal dunia. Untuk identifikasi korban
mati akibat bencana tersebut dilakukan oleh Tim Disaster Victim Identification (DVI).

Struktur Organisasi Tim DVI


Disaster Victim Identification (DVI) adalah istilah yang telah disepakati
secara internasional untuk menggambarkan proses dan prosedur penemuan dan
identifikasi korban mati akibat suatu bencana. Proses dan prosedur DVI atau
identifikasi korban mati pada bencana massal mengacu pada prosedur DVI Interpol
yang disesuaikan dengan kebijakan nasional. Penanggung jawab DVI adalah
kepolisian yang dalam pelaksanaan operasinya dapat bekerjasama dengan berbagai
pihak lintas institusi, sektoral dan fungsi. Ketua tim dan koordinator fase berasal
pihak kepolisian. Pada kasus yang lebih mementingkan aspek penyidikan, kecepatan
dan hot issues seperti pada man made disaster, ketua tim DVI lebih mengedepankan
timnya sesuai dengan keahlian dan pengalaman, sedangkan pada kasus yang lebih
mengedepankan aspek kemanusiaan pada natural disaster maka ketua DVI dapat
melibatkan beberapa tim dari berbagai institusi. Prinsip dalam bekerja bagi tim DVI
adalah team work sesuai dengan keahlian/kompetensi dan pengalaman. Masing
masing tim yang bekerja dalam masingmasing fase mempunyai tanggung jawab,
keahlian dan pengalaman yang berbeda yang menjadi pertimbangan bagi seorang

ketua tim DVI. Misalnya tim DVI fase I diperuntukkan bagi tim yang telah terlatih
dan mempunyai pengalaman di TKP dibandingkan dengan seorang dokter
forensik/dokter gigi forensik yang lebih berkompeten di DVI fase 2 untuk memeriksa
jenasah.14
Proses Disaster Victim Identification Disaster victim investigation (DVI)
Suatu prosedur standar yang dikembangkan oleh Interpol (International
Criminal Police Organization) untuk mengidentifikasi korban yang meninggal akibat
bencana massal. Masingmasing tim yang bekerja dalam masingmasing fase
mempunyai tanggung jawab, keahlian dan pengalaman yang berbeda. Poses DVI yang
terdiri dari 5 fase yaitu : The Scene, Post Mortem Examination, Ante Mortem
Information Retrieval, Reconciliation dan Debriefing.
2.2.1 Fase TKP
Fase pertama ini dilaksanakan setelah para korban yang terluka telah
dipindahkan dari area TKP dan area tersebut telah diamankan. Fase TKP
dilaksanakan oleh tim DVI unit TKP yang terdiri dari pemeriksa tempat
kejadian perkara, fotografer, dan pencatat kejadian. Ahli patologi dan
odontologi forensik mendukung setiap tim. Tim ini melakukan pemilahan
antara korban hidup dan korban mati selain juga mengamankan barang bukti
yang dapat mengarahkan pada pelaku apabila bencana yang terjadi merupakan
bencana yang diduga akibat ulah manusia.14
2.2.2 Fase Pemeriksaan Postmortem
Fase kedua dalam proses DVI adalah fase pemeriksaan mayat. Pada
fase ini tubuh korban diradiografi dan diotopsi. Fase ini dapat berlangsung
bersamaan dengan fase pertama dan fase ketiga. Pada fase ini, para ahli
identifikasi, dokter forensik dan dokter gigi forensik melakukan pemeriksaan
untuk mencari data postmortem sebanyak-banyaknya. Sidik jari, pemeriksaan
terhadap gigi, seluruh tubuh, dan barang bawaan yang melekat pada mayat.
Dilakukan pula pengambilan sampel jaringan untuk pemeriksaan DNA. Data
ini dimasukkan ke dalam pink form berdasarkan standar Interpol.14
2.2.3 Fase Pengumpulan Data Antemortem

Fase ketiga adalah fase pengumpulan data antemortem dimana ada tim
kecil yang menerima laporan orang yang diduga menjadi korban. Tim ini
meminta masukan data sebanyak-banyaknya dari keluarga korban. Data yang
diminta mulai dari pakaian yang terakhir dikenakan, ciri-ciri khusus (tanda
lahir, tato, tahi lalat, bekas operasi, dan lain-lain), data rekam medis dari
dokter keluarga dan dokter gigi korban, data sidik jari dari pihak berwenang
(kelurahan atau kepolisian), serta sidik DNA apabila keluarga memilikinya.
Apabila tidak ada data sidik DNA korban maka dilakukan pengambilan
sampel darah dari keluarga korban. Data Ante Mortem diisikan ke dalam
yellow form berdasarkan standar Interpol.14
2.2.4 Fase Rekonsiliasi
Form data antemortem dan postmortem yang telah selesai selama fase
pertama dan kedua dibandingkan selama fase rekonsiliasi. Perbandingan ini
dicapai secara sistematis menggunakan bagan rekonsiliasi dan masing- masing
dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, warna kulit, dan umur. Seseorang
dinyatakan teridentifikasi pada fase rekonsiliasi apabila terdapat kecocokan
antara data antemortem dan postmortem dengan kriteria minimal 1 macam
Primary Identifiers atau 2 macam Secondary Identifiers.14
2.2.5 Fase Debriefing
Setelah

selesai

keseluruhan

proses

identifikasi,

dengan

hasil

memuaskan maupun tidak, proses identifikasi korban bencana ini belumlah


selesai. Masih ada satu fase lagi yaitu fase kelima yang disebut fase
debriefing. Fase ini dilakukan 3-6 bulan setelah proses identifikasi selesai.
Pada fase debriefing, semua orang yang terlibat dalam proses identifikasi
berkumpul untuk melakukan evaluasi terhadap semua hal yang berkaitan
dengan pelaksanaan proses identifikasi korban bencana, baik sarana,
prasarana, kinerja, prosedur, serta hasil identifikasi.14
Metode dan Teknik Identifikasi
Dahulu dikenal 2 metode pokok identifikasi yaitu :
a) Metode Sederhana Visual Kepemilikan (perhiasan dan pakaian)
Dokumentasi

b) Metode Ilmiah Sidik jari Serologi Odontologi Antropologi Biologi


molekuler.
Saat ini berdasarkan standar Interpol untuk proses identifikasi pada DVI telah
ditentukan metode identifikasi yang dipakai yaitu :
a) Metode Identifikasi Primer: Sidik jari Gigi geligi DNA.
b) Metode Identifikasi Sekunder: Medik Properti.
Metode visual tidak dipakai di dalam metode identifikasi untuk DVI saat ini
karena metode ini tidak dapat diterapkan bila mayat telah busuk, terbakar, mutilasi
serta tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah oleh karena melibatkan faktor
psikologi keluarga yang melakukannya (sedang berduka, stress, sedih dll). Gigi
merupakan suatu sarana identifikasi yang dapat dipercaya, khususnya bila rekam dan
foto gigi pada waktu masih hidup yang pernah dibuat masih tersimpan dengan baik.
Pemeriksaan gigi ini menjadi amat penting apabila mayat sudah dalam keadaan
membusuk atau rusak, seperti halnya kebakaran. Adapun dalam melaksanakan
identifikasi manusia melalui gigi, kita dapatkan dua kemungkinan :
1) Memperoleh informasi melalui data gigi dan mulut untuk membatasi atau
menyempitkan identifikasi; Informasi ini dapat diperoleh antara lain mengenai umur,
jenis kelamin, ras, golongan darah, bentuk wajah dan salah satu sampel DNA. Dengan
adanya informasi mengenai perkiraan batasbatas umur korban misalnya, maka
pencarian dapat dibatasi pada datadata orang hilang yang berada di sekitar umur
korban. Dengan demikian penyidikan akan menjadi lebih terarah.
2) Mencari ciriciri yang merupakan tanda khusus pada korban tersebut; Disini dicatat
ciriciri yang diharapkan dapat menentukan identifikasi secara lebih akurat dari pada
sekedar mencari informasi tentang umur atau jenis kelamin. Ciriciri demikian antara
lain : misalnya adanya gigi yang dibungkus logam, gigi yang ompong atau patah,
lubang pada bagian depan biasanya dapat lebih mudah dikenali oleh kenalan atau
teman dekat atau keluarga korban. Disamping ciriciri di atas, juga dapat dilakukan
pencocokan antara tengkorak korban dengan foto korban semasa hidupnya. Tehnik
yang

digunakan

dikenal

sebagai

superimpossed

technique

membandingkan antara tengkorak korban dengan foto semasa hidupnya.


Prinsip Identifikasi

yaitu

untuk

Prinsip dari proses identifikasi adalah mudah yaitu dengan membandingkan


datadata korban (data postmortem) dengan data dari keluarga (data antemortem),
semakin banyak kecocokan akan semakin baik. Data gigi, sidik jari, atau DNA secara
tersendiri sudah dapat digunakan sebagai faktor determinan primer, sedangkan data
medis, property harus dikombinasikan untuk dianggap sebagai ciri identitas yang
pasti. Identifikasi terhadap mayat dapat dikatakan positif apabila minimal satu dari
metode identifikasi primer adalah cocok atau jika tidak ada yang cocok dari metode
identifikasi primer, maka seluruh metode identifikasi sekunder harus cocok.
Penentuan identifikasi ini dilakukan di dalam rapat rekonsiliasi. Adalah sangat
penting untuk tetap memperhatikan file record dan segala informasi yang telah dibuat
untuk dikelompokkan dan disimpan dengan baik. Dokumentasi berkas yang baik juga
berkepentingan agar pihak lain (Interpol misalnya) dapat melihat, mereview
kasusnya, sehingga menunjukkan bahwa proses identifikasi ini dikerjakan sesuai
prosedur dan berdasarkan prinsip ilmiah.14

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bencana adalah setiap kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis,
hilangnya nyawa manusia atau memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan
pada skala tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang
terkena.Pedoman Manajemen Logistik dan Peralatan dalam penanggulangan bencana
dimaksudkan sebagai petunjuk praktis yang dipergunakan oleh semua pihak dalam
melaksanakan upaya penanggulangan bencana sejak prabencana, saat bencana dan
pascabencana. Sehingga dapat mengurangi dampak atau kerugian yang disebabkan oleh
bencana.
Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi
atau menghilangkan risiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana maupun
kerentanan pihak yang terancam bencanaKesiapsiagaan adalah serangkaian yang dilakukan
untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat
guna dan berdaya guna.
3.2 Saran
Pada saat terjadinya bencana biasanya begitu banyak pihak yang menaruh perhatian
dan mengulurkan tangan memberikan bantuan tenaga, moril maupun material. Banyaknya
bantuan yang datang sebenarnya merupakan sebuah keuntungan yang harus dikelola dengan
baik, agar setiap bantuan yang masuk dapat tepat guna, tepat sasaran, tepat manfaat, dan

terjadi efisiensi.Dengan demikian diharapkan pelaksanaan manajemen logistik dapat berjalan


secara efektif dan efisien dan terkoordinasi dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Data dan informasi bencana Indonesia.


Diakses

Juli

2016.

Diunduh

dari:

URL:

http://dibi.bnpb.go.id/DesInventar/dashboard.jsp?
countrycode=id&continue=y&lang=ID
2. Singh s.Instalasi/SMF Kedokteran Forensik dan Medicolegal Rumah Sakit Umum.
Majalah Kedokteran Nusantara 2008;41(12);54-258
3. Rahman A.Z. KAJIAN MITIGASI BENCANA TANAH

LONGSOR

DI

KABUPATEN BANJARNEGARA. JURNAL MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN


PUBLIK 2015;1(10):1-14
4. Silver WE, Souviron RR., 2009, Mass disaster. In: Dental autopsy, CRC Press Taylor
& Francis Group, Boca Raton, pages 133-43
5. Pusponegoro AD, dkk., 2006, Identifikasi korban bencana massal. In: Paturusi IA,
Pusponegoro AD, Hamuworno GB, (Eds)., Penatalaksanaan korban bencana massal.
3rd ed, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, pages 123-30.
6. Mulyono A, dkk., 2006, Pedoman penatalaksanaan identifikasi korban mati pada
bencana massal. 2nd ed. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta
7. Anonim. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana.
8. Kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Peraturan
Pemerintah No. 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.
Jakarta; 2008.

9. Hadjiiski O., 1999, Mass disasters. Bulgarian complex programme for medical care
for patients with burns after fire disasters, Annals of Burns and Fire Disasters, 12(4):
224-30.
10. Armis. Kedokteran Disaster. Maj Kedokt Indon 2007;57(6) : 191-7.
11. BNPB. Potensi Ancaman Bencana. Diakses tanggal 3 Juli 2016. Diunduh dari :
http://www.bnpb.go.id/pengetahuan-bencana/potensi-ancaman-bencana.
12. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Sistem Penanggulangan Bencana
Nasional. In : Pedomann Penyusunan Rencana Penanggulangan bencana. 2008.
13. Emami MJ, Tavakoli, AR, Alemzadeh H, Abdimejad F, et al. Strategies in Evaluation
and Management of Bam Earthquake Victims. J Prehosp and Disast Med
2005.20(5):327-30.
14. Henky dan Safitry O. Identifikasi korban bencana massal: praktik DVI antara teori
dan kenyataan. Ind journal of legal & forensic sciences 2012; 2(1): 5-7.

Vous aimerez peut-être aussi