Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan berkat dan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan referat
dengan judul MANAJEMEN PADA BENCANA ALAM.
Referat ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan bagian ilmu Kedokteran
Forensi dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/RSUP Dr. Kariadi
Semarang. Kami berharap referat ini dapat dimanfaatkan baik oleh mahasiswa Fakultas
Kedokteran, atau siapapun yang memerlukan.
Kami ucapkan banyak terima kasih kepada dr. Sigid Kirana Lintang Bhima Sp.F,
sebagai dosen pembimbing dan dr. Stephanus Rumancay serta dr. Marlis Tarmizi sebagai
residen pembimbing serta berbagai pihak atas bimbingan, kerja sama, dorongan dan bantuan
baik secara moril maupun materiil dalam penyelesaian referat ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, kami mengharapkan saran dan masukan untuk dapat menyempurnakan referat ini.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................
DAFTAR ISI.......................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN...............................................................................
1.1 Latar belakang..............................................................................
1.2 Perumusan masalah......................................................................
1.3 Tujuan referat...............................................................................
1.3.1 Tujuan umum.....................................................................
1.3.2 Tujuan khusus....................................................................
1.4 Manfaat........................................................................................
1.4.1 Manfaat Teoritis.................................................................
1.4.2 Manfaat Aplikatif...............................................................
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA,....................................................................
2.1 Bencana.......................................................................................
2.1.1 Definisi...............................................................................
2.1.2 Mekanisme Terjadinya Disaster.........................................
2.1.3 Potensi Ancaman Bencana di Indonesia............................
2.2 Sistem Penanggulangan Bencana...............................................
2.2.1 Landasan Hukum...............................................................
2.2.2 Sistem Nasional..................................................................
2.3 Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana ...............................
2.3.1 Pra Bencana........................................................................
2.3.2 Saat Bencana......................................................................
2.3.3 Pasca Bencana....................................................................
2.4 Peran Dokter dalam Bencana ......................................................
2.4.1 Penatalaksanaan pada Korban Hidup.................................
2.4.2 Penatalaksanaan pada Korban Mati...................................
2.4.2.1 DVI..........................................................................
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN........................................................
3.1 Kesimpulan .................................................................................
3.2 Saran............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................
LAMPIRAN........................................................................................................
BAB 1
PENDAHULUAN
I.1 Latar belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 13.667 pulau dengan
batas luasnya sebesar 2.027.087 km2 mempunyai kurang lebih 129 gunung merapi.
Secara geologis Indonesia terletak di pertemuan di antara 3 plat tektonik utama
(Eurasia, IndoAustralia dan Mediterania). Indonesia yang terdiri dari gugusan
kepulauan mempunyai potensi bencana yang sangat tinggi dan juga sangat bervariasi
dari aspek jenis bencana. Kondisi alam tersebut serta adanya keanekaragaman
penduduk dan budaya di Indonesia menyebabkan timbulnya risiko terjadinya bencana
alam, bencana ulah manusia dan kedaruratan kompleks, meskipun disisi lain juga
kaya akan sumberdaya alam. Pada umumnya risiko bencana alam meliputi bencana
akibat faktor geologi (gempabumi, tsunami dan letusan gunung api), bencana akibat
hydrometeorologi (banjir, tanah longsor, kekeringan, angin topan), bencana akibat
faktor biologi (wabah penyakit manusia, penyakit tanaman/ternak, hama tanaman)
serta kegagalan teknologi (kecelakan industri, kecelakaan transportasi, radiasi nuklir,
pencemaran bahan kimia).1
Bencana massal didefinisikan sebagaisuatu peristiwa yang disebabkan oleh
alam atau karena ulah manusia, yang dapat terjadi secara tiba-tiba atau perlahanlahan, yang menyebabkan hilangnya jiwa manusia, kerusakan harta benda dan
lingkungan, serta melampaui kemampuan dan sumber daya masyarakat untuk
menanggulanginya.2
Bencana dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu bencana alam, bencana non
alam, dan bencana sosial. Indonesia merupakan negara yang memiliki tiga jenis
bencana tersebut. Bencana alam yang terjadi di Indonesia antara lain gempa bumi,
tsunami, gunung berapi, pergerakan tanah, banjir, kekeringan, erosi, abrasi, dan cuaca
ekstrim serta gelombang ekstrim. Bencana non alam antara lain kegagalan teknologi,
epidemi dan wabah penyakit. Sedangkan untuk bencana sosial (perbuatan manusia)
antara lain adalah konflik sosial dan terorisme.3
Bencana akibat ulah manusia terkait dengan konflik antar manusia akibat
perebutan sumberdaya yang terbatas, alasan ideologi, religius serta politik. 4-7
Sedangkan kedaruratan kompleks merupakan kombinasi dari situasi bencana pada
suatu daerah konflik. Kompleksitas dari permasalahan bencana tersebut memerlukan
suatu penataan atau perencanaan yang matang dalam penanggulangannya, sehingga
dapat dilaksanakan secara terarah dan terpadu. Penanggulangan yang dilakukan
selama ini belum didasarkan pada langkah-langkah yang sistematis dan terencana,
sehingga seringkali terjadi tumpang tindih dan bahkan terdapat langkah upaya yang
penting tidak tertangani. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana mengamanatkan pada pasal 35 dan 36 agar setiap daerah
dalam upaya penanggulangan bencana, mempunyai perencanaan penanggulangan
bencana.2-6 Secara lebih rinci disebutkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21
Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.8
I.2 Perumusan masalah
I.2.1 Apa yang dimaksud dengan pengertian bencana ?
I.2.2 Apa yang dimaksud dengan jenis bencana?
I.2.3 Apa yang dimaksud dengan daerah potensi ancaman bencana?
I.2.4 Bagaimana sistem penanggulangan bencana di Indonesia?
I.2.5 Apa yang dimaksud dengan siaga bencana?
I.2.6
2.1 Bencana
2.1.1 Definisi Bencana
Definisi bencana sangat bervariasi. Menurut WHO, bencana adalah setiap kejadian
yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia atau
memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang
memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena. Sedangkan menurut
Departemen Kesehatan RI, bencana adalah peristiwa/kejadian pada suatu daerah yang
mengakibatkan kerusakan ekologi, kerugian kehidupan manusia serta memburuknya
kesehatan dan pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan bantuan luar biasa
dari pihak luar. Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 mendefinisikan bencana sebagai
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam
maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.7
Secara singkat, bencana adalah suatu kejadian yang tidak diharapkan, yang dapat
menimbulkan korban luka atau meninggal dengan jumlah cukup banyak. 2-5 Berbagai literatur
memiliki patokan yang berbeda mengenai jumlah korban yang dapat dikatakan massal. Dari
sudut pandang medis, 25 orang, menurut Popzacharieva dan Rao, 10 orang.6,7 Silver dan
Souviron menyatakan patokan ini tentunya akan berbeda-beda tergantung dari lokasi bencana,
terkait dengan sumber daya dan fasilitas yang tersedia.
pendingin yang tersedia untuk menyimpan jenazah akan bervariasi dari 4 hingga 400 unit
antara satu rumah sakit dengan rumah sakit lainnya 2 Dengan demikian, menurut Hadjiiski,
suatu bencana digolongkan sebagai bencana massal apabila jumlah korban melebihi 10% dari
kapasitas tempat yang tersedia di masing-masing rumah sakit.9
Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi
atau menghilangkan risiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana maupun
kerentanan pihak yang terancam bencanaKesiapsiagaan adalah serangkaian yang dilakukan
untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat
guna dan berdaya guna. Badan Nasional Penanggulangan Bencana, yang selanjutnya
disingkat
dengan
BNPB,
adalah
masyarakat dan lingkungan di tempat kejadian (impact) akan berakibat kerusakan (damage)
seperti pada algoritma berikut.10
Manifestasi hazard
bencana. Hazard dapat diartikan sebagai isyarat bahaya sebelum terjadi bencana seperti
turunnya binatang buas dari puncak gunung Merapi akibat temperatur di daerah tersebut
meningkat sebagai tanda gunung itu mulai aktif. Hazard dapat juga diartikan sesuatu yang
berakibat negatif terhadap kesehatan manusia, perumahan, aktivitas dan lingkungan atau
sesuatu yang membahayakan sehingga dapat digolongkan sebagai berikut.10
Gempa
tektonik adalah hazard alam yang terjadi dalam waktu sangat pendek
(beberapa detik atau menit) dengan kerusakan tergantung intensitas, lama, skala atau
magnitud.
Gempa di Yogyakarta pada akhir bulan Mei 2006 adalah hazard alam dengan korban
sangat banyak yang berbeda dengan erupsi Gunung Merapi di Utara Yogyakarta yang
juga hazard alam. Aktivitas gunung tersebut dapat diramal sehingga sistem peringatan
bahaya pada masyarakat sudah dipersiapkan agar korban atau kerusakan dapat
dikurangi
Musim kemarau panjang merupakan hazard kombinasi alam dan perbuatan manusia
sehingga dapat mengakibatkan kelaparan pada masyarakat karena persedian makanan
berkurang.
Separatisme merupakan hazard manusia yang perlu dicari akar permasalahannya agar
Tabrakan langsung antara bencana dan masyarakat serta lingkungan disebut impak.
Kondisi ini merupakan proses realisasi antara bencana dengan masyarakat dan lingkungan
dalam jangka waktu singkat atau lama. Derajat kerusakan tergantung kerawanan atau
kerentanan dan kesiapan masyarakat dan lingkungan. Dampak negatif dapat terlihat pada
kesehatan masyarakat dan lingkungan. Kerusakan pada masyarakat dapat berupa kematian,
orang hilang, terluka, terkena bencana tapi tidak terluka, punya risiko dan tidak terkena
bencana sama sekali. Bencana dapat berakibat kerusakan sumber daya daerah setempat
seperti jalan, sistem komunikasi, pelayanan kesehatan dan lain-lain sehingga kebutuhan
meningkat dan akan mengakibatkan kesedian sumber daya untuk daerah tersebut tidak
mencukupi.10
Menurut laporan WHO, angka probabilitas kematian akibat bencana setiap dekade
dari tahun 1951 sampai 2000 selalu menurun walaupun jumlah kejadian bencana dan korban
mengalami kenaikan. Demikian juga data probabilitas kematian karena bencana gempa dari
tahun 1960 sampai 2001 ikut mengalami penurunan. Penurunan ini kemungkinan disebabkan
oleh perkembangan kedokteran disaster berupa peningkatan aktivitas pencegahan, mitigasi
dan sistem koordinasi, perubahan variasi alam, atau kombinasi antara menajemen dan sistem
koordinasi dengan perubahan variasi alam, tetapi dapat juga akibat data laporan tidak
memadai. Prinsip dasar penanggulangan bencana dapat dilakukan dengan cara meniadakan
bencana (preventif), meniadakan maupun mengurangi kerusakan yang ditimbulkan bencana
tersebut terhadap populasi dan lingkungan (terapi), atau kombinasi preventif dan terapi.
Untuk hal tersebut, tim harus memahami patofisiologi atau mekanisme terjadinya disaster
dari awal adanya hazard sampai terjadinya disaster. Mereka harus dapat mengembangkan
keterampilan dan pengetahuan kedokteran disaster agar tercapai pengelolaan atau manajemen
yang tepat, efektif dan efisien.10
Oleh sebab itu, tujuan manajemen setelah terjadi bencana adalah pengembalian status
kesehatan korban seperti semula atau melawan dampak bencana terhadap kesehatan korban
ataupun mencegah tidak terjadi bencana. Strategi menajemen disaster yang harus dimiliki
oleh tim adalah: (1) memodifikasi hazard agar tidak terjadi bencana atau mengurangi faktor
risiko sehingga terjadi pengurangan efek negatif pada masyarakat dan lingkungan; (2)
mengurangi kerawanan (vulnerability) dan kerentanan masyarakat dan lingkungan untuk
masa depan; dan juga (3) memperbaiki kesiapan menghadapi disaster agar kerusakan
minimal.10
Dapat disimpulkan bahwa tim harus dapat melakukan pencegahan, mitigasi,
menghilangkan faktor risiko agar tidak terjadi bencana atau menyiapkan masyarakat dan
lingkungan agar tidak terjadi korban atau mengurangi kerusakan sehingga tidak menimbulkan
disaster.10
Secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan
empat lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudera
Hindia dan Samudera Pasifik. Pada bagian selatan dan timur Indonesia terdapat sabuk
vulkanik (volcanic arc) yang memanjang dari Pulau Sumatera ? Jawa - Nusa Tenggara ?
Sulawesi, yang sisinya berupa pegunungan vulkanik tua dan dataran rendah yang sebagian
didominasi oleh rawa-rawa. Kondisi tersebut sangat berpotensi sekaligus rawan bencana
seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir dan tanah longsor. Data
menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat
kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan di Amerika
Serikat.11
Wilayah Indonesia terletak di daerah iklim tropis dengan dua musim yaitu panas dan
hujan dengan ciri-ciri adanya perubahan cuaca, suhu dan arah angin yang cukup ekstrim.
Kondisi iklim seperti ini digabungkan dengan kondisi topografi permukaan dan batuan yang
relatif beragam, baik secara fisik maupun kimiawi, menghasilkan kondisi tanah yang subur.
Sebaliknya, kondisi itu dapat menimbulkan beberapa akibat buruk bagi manusia seperti
terjadinya bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan
kekeringan. Seiring dengan berkembangnya waktu dan meningkatnya aktivitas manusia,
kerusakan lingkungan hidup cenderung semakin parah dan memicu meningkatnya jumlah
kejadian dan intensitas bencana hidrometeorologi (banjir, tanah longsor dan kekeringan) yang
terjadi secara silih berganti di banyak daerah di Indonesia. Pada tahun 2006 saja terjadi
bencana tanah longsor dan banjir bandang di Jember, Banjarnegara, Manado, Trenggalek dan
beberapa daerah lainnya. Pada sisi lain laju pembangunan mengakibatkan peningkatan akses
masyarakat terhadap ilmu dan teknologi. Namun, karena kurang tepatnya kebijakan
penerapan teknologi, sering terjadi kegagalan teknologi yang berakibat fatal seperti
kecelakaan transportasi, industri dan terjadinya wabah penyakit akibat mobilisasi manusia
yang semakin tinggi. Potensi bencana lain yang tidak kalah seriusnya adalah faktor
keragaman demografi di Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2004 mencapai
220 juta jiwa yang terdiri dari beragam etnis, kelompok, agama dan adat-istiadat. Keragaman
tersebut merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang tidak dimiliki bangsa lain. Namun
karena pertumbuhan penduduk yang tinggi tidak diimbangi dengan kebijakan dan
pembangunan ekonomi, sosial dan infrastruktur yang merata dan memadai, terjadi
kesenjangan pada beberapa aspek dan terkadang muncul kecemburuan sosial. 11
2.2 Sistem Penanggulangan Bencana
2.2.1 Landasan Hukum
a. UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana7
Pasal 35
Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi
bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a meliputi :
a.
b.
c.
pencegahan;
d.
e.
f.
g.
h.
Pasal 36
(1) Perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 huruf a ditetapkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah
sesuai dengan kewenangannya.
(2) Penyusunan perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh Badan.
(3) Perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui penyusunan data tentang risiko bencana
pada suatu wilayah dalam waktu tertentu berdasarkan dokumen resmi
yang berisi program kegiatan penanggulangan bencana.
(4) Perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
kepada
masyarakat
perundang-undangan
dari
ancaman bencana,
menyelaraskan
peraturan
yang sudah
ada, menjamin
terselenggaranya
menyeluruh, partisipasi dan kemitraan publik serta swasta, mendorong semangat gotong
royong, kesetiakawanan, dan
bencana
yang
mencakup
pencegahan
bencana, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi secara adil dan setara,
menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat, melaporkan penyelenggaraan
penanggulangan bencana
kebijakan pemerintah daerah dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana terhadap usaha
penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan darurat,
rehabilitasi, serta rekonstruksi secara adil dan setara, melaporkan penyelenggaraan
penanggulangan bencana
pendidikan
dan
pelatihan
dan
persyaratan
standar
teknis
penanggulangan bencana.
2. Tanggap darurat
Meliputi pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber
daya, penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana, perlindungan
terhadap kelompok rentan, dan pemulihan dengan segera prasarana dan sarana
vital.
3. Pascabencana
Meliputi rekonstruksi dan rehabilitasi
Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan penganggulangan
bencana.8
Pasal 5
(1)
-5d.
e.
f.
g.
h.
(2)
(1)
(2)
(3)
(5)
Rencana
penanggulangan
bencana
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah atau
pemerintah
daerah sesuai dengan kewenangannya untuk
jangka waktu 5 (lima) tahun.
(6)
(7)
Legislasi
Dari sisi legislasi, Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Produk hukum di bawahnya antara
lain Peraturan Pemerintah , Peraturan Presiden, Peraturan Kepala Kepala Badan, serta
b.
peraturan daerah.12
Kelembagaan
Kelembagaan dapat ditinjau dari sisi formal dan non formal. Secara formal,
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merupakan focal point lembaga
pemerintah di tingkat pusat. Sementara itu, focal point penanggulangan bencana di
tingkat provinsi dan kabupaten/kota adalah Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD). Dari sisi non formal, forum-forum baik di tingkat nasional dan lokal
dibentuk untuk memperkuat penyelenggaran penanggulangan bencana di Indonesia.
Tenggara Timur.12
Pendanaan
Saat ini kebencanaan bukan hanya isu lokal atau nasional, tetapi melibatkan
internasional. Komunitas internasional mendukung Pemerintah Indonesia dalam
membangun manajemen penanggulangan bencana menjadi lebih baik. Di sisi lain,
kepedulian dan keseriusan Pemerintah Indonesia terhadap masalah bencana sangat
tinggi dengan dibuktikan dengan penganggaran yang signifikan khususnya untuk
pengarusutamaan pengurangan risiko bencana dalam pembangunan.12
Pra bencana yang meliputi: situasi tidak terjadi bencana dan situasi terdapat potensi
bencana .
2.
3.
tahapan
dalam
penyelenggaran
penanggulangan
bencana
dan mitigasi bencana tertentu terdapat rencana yang disebut rencana mitigasi
misalnya Rencana Mitigasi Bencana Banjir DKI Jakarta.
2. Pada tahap Prabencana dalam situasi terdapat potensi bencana dilakukan
Saat
Tangap
Darurat
dilakukan
Rencana
Manajemen Bencana
Pra bencana
D
E
S
A
Saat bencana
SAR
Memberi
pertolongan
pertama
Ungsikan korban
Siap dapur umum
Siap
tampung
sementara
Amankan lokasi
Terima,
salurkan
bantuan
Laporkan ke Camat
Pasca Bencana
Inventarisir jumlah
korban
Tempatkan korban
ke
penampungan
sementara
yang
aman
Rujuk korban ke
Puskes/ RS
Rehab/
Rekon
ringan
Laporan ke Camat
K
E
C
A
M
A
T
A
N
SAR
Siap dapur umum
Siap
tempat
penampungan
Ungsikan korban
Amankan daerah
Terima/salurkan
bantuan
Laporkan
ke
Bupati/ Walikota
Inventarisir jumlah
korban
Rehab/rekons
ringan fasum
Penempatan
kembali korban
Terima/salurkan
bantuan
Laporkan
ke
Bupati/ Walikota
K
A
B
U
P
A
T
E
N
Kirim TRC
Rapat koordinasi/
konsolidasi
Siapkan Satgas PB
Kirim Satgas PB
bila diperlukan
Berikan
bantuan
sar/pras
(tempat
penampungan,
pelayanan
kesehatan, pakaiaqn
dan
bahan
makanan)
Laporkan
ke
Gubernur
Laporkan jumlah
korban,
jumlah
kerugian,
kebutuhan
rehabilitasi, rencana
penempatan
kembali
kepada
Gubernur
Berikan
bantuan
dan
laksanakan
rehab/rekons
Dorong terciptanya
situasi dan kondisi
bagi
kelancaran
pemerintahan dan
pembangunan
Kirim TRC
Rapat koordinasi/
konsolidasi
Siapkan Satgas PB
Kirim Satgas PB
bila diperlukan
Berikan
bantuan
sar/pras
(tempat
penampungan,
pelayanan
kesehatan, pakaiaqn
dan
bahan
makanan)
Berikan
suluh/
motivasi
pada
korban
Laporkan
ke
Laporkan jumlah
korban,
jumlah
kerugian,
kebutuhan
rehabilitasi, rencana
penempatan
kembali
kepada
Mendagri
dan
BAKORNAS PB
Berikan
bantuan
dan
laksanakan
rehab/rekons
Dorong terciptanya
situasi dan kondisi
bagi
kelancaran
pemerintahan dan
pembangunan
K
O
T
A
P
R
O
V
I
N
S
I
Mendagri
dan
BAKORNAS PB
dari
daerah
berbahaya
ke
tempat
2. Perawatan di lapangan
Perawatan di lapangan diperlukan jika di daerah terjadi bencana tidak tersedia
fasilitas kesehatan yang cukup untuk menampung dan merawat korban bencana
massal (misalnya hanya tersedia satu Rumah Sakit tipe B/C), memindahkan seluruh
korban ke sarana tersebut hanya akan menimbulkan hambatan bagi perawatan yang
harus segera diberikan kepada korban dengan cedera serius, selain itu akan
mengganggu aktivitas Rumah Sakit tersebut dan membahayakan kondisi para
penderita yang dirawat di sana.
Dalam keadaan di mana dijumpai keterbasan sumber daya, terutama
keterbatasan daya tampung dan kemampuan perawatan, pemindahan korban ke
Rumah Sakit dapat ditunda sementara. Pada kejadian suatu bencana massal,
kenyataannya hanya sedikit korban yang bener-bener memerlukan perawatan segara
di Rumah Sakit. Golden hour di sini hanya diterapkan bagi korban yang menderita
perdarahan
internal
yang
sangat
membutuhkan
pembedahan
segera
untuk
menyelamatkan hidupnya.
a) Triase
Tujuan triase adalah untuk mengindentifikasi secara cepat korban yang
membutuhkan stabilisasi segera (perawatan di lapangan) dan identifikasi korban
yang hanya dapat diselamatkan dengan pembedahan darurat (life saving surgery)
Triase medik
Dilakukan saat korban memasuki pos medis lanjutan oleh tenaga medis
yang paling berpengalaman. Petugas triase sebaiknya dipilih dari dokter
yang bekerja di Unit Gawat Darurat, ahli anestesi, dan dokter bedah.
Tujuan triase medik adalah untuk menentukan tingkat perawatan yang
dibutuhkan korban. Kartu kode warna triase dapat dibedakan menjadi
Merah = korban-korban yang membutuhkan stabilisasi segera dan korban
dengan syok, gangguan napas, trauma kepala dengan pupil anisokor,
perdarahan eskternal masif.
Kuning = korban yang memerlukan pengawasan ketat, tetapi perawatan
dapat ditunda sementara, termasuk korban dengan risiko syok, fraktur
multipel, fraktur femur, luka bakar luas, gangguan kesadaran/trauma
kepala.
Hijau = kelompok korban yang tidak memerlukan pengobatan
seperti isu tsunami pada kejadian gempa di Yogyakarta, sehingga masyarakat yang
tidak terluka berusaha meninggalkan korban ke tempat yang lebih aman dan korban
meninggal tanpa pertolongan.13
2.4.2
ketua tim DVI. Misalnya tim DVI fase I diperuntukkan bagi tim yang telah terlatih
dan mempunyai pengalaman di TKP dibandingkan dengan seorang dokter
forensik/dokter gigi forensik yang lebih berkompeten di DVI fase 2 untuk memeriksa
jenasah.14
Proses Disaster Victim Identification Disaster victim investigation (DVI)
Suatu prosedur standar yang dikembangkan oleh Interpol (International
Criminal Police Organization) untuk mengidentifikasi korban yang meninggal akibat
bencana massal. Masingmasing tim yang bekerja dalam masingmasing fase
mempunyai tanggung jawab, keahlian dan pengalaman yang berbeda. Poses DVI yang
terdiri dari 5 fase yaitu : The Scene, Post Mortem Examination, Ante Mortem
Information Retrieval, Reconciliation dan Debriefing.
2.2.1 Fase TKP
Fase pertama ini dilaksanakan setelah para korban yang terluka telah
dipindahkan dari area TKP dan area tersebut telah diamankan. Fase TKP
dilaksanakan oleh tim DVI unit TKP yang terdiri dari pemeriksa tempat
kejadian perkara, fotografer, dan pencatat kejadian. Ahli patologi dan
odontologi forensik mendukung setiap tim. Tim ini melakukan pemilahan
antara korban hidup dan korban mati selain juga mengamankan barang bukti
yang dapat mengarahkan pada pelaku apabila bencana yang terjadi merupakan
bencana yang diduga akibat ulah manusia.14
2.2.2 Fase Pemeriksaan Postmortem
Fase kedua dalam proses DVI adalah fase pemeriksaan mayat. Pada
fase ini tubuh korban diradiografi dan diotopsi. Fase ini dapat berlangsung
bersamaan dengan fase pertama dan fase ketiga. Pada fase ini, para ahli
identifikasi, dokter forensik dan dokter gigi forensik melakukan pemeriksaan
untuk mencari data postmortem sebanyak-banyaknya. Sidik jari, pemeriksaan
terhadap gigi, seluruh tubuh, dan barang bawaan yang melekat pada mayat.
Dilakukan pula pengambilan sampel jaringan untuk pemeriksaan DNA. Data
ini dimasukkan ke dalam pink form berdasarkan standar Interpol.14
2.2.3 Fase Pengumpulan Data Antemortem
Fase ketiga adalah fase pengumpulan data antemortem dimana ada tim
kecil yang menerima laporan orang yang diduga menjadi korban. Tim ini
meminta masukan data sebanyak-banyaknya dari keluarga korban. Data yang
diminta mulai dari pakaian yang terakhir dikenakan, ciri-ciri khusus (tanda
lahir, tato, tahi lalat, bekas operasi, dan lain-lain), data rekam medis dari
dokter keluarga dan dokter gigi korban, data sidik jari dari pihak berwenang
(kelurahan atau kepolisian), serta sidik DNA apabila keluarga memilikinya.
Apabila tidak ada data sidik DNA korban maka dilakukan pengambilan
sampel darah dari keluarga korban. Data Ante Mortem diisikan ke dalam
yellow form berdasarkan standar Interpol.14
2.2.4 Fase Rekonsiliasi
Form data antemortem dan postmortem yang telah selesai selama fase
pertama dan kedua dibandingkan selama fase rekonsiliasi. Perbandingan ini
dicapai secara sistematis menggunakan bagan rekonsiliasi dan masing- masing
dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, warna kulit, dan umur. Seseorang
dinyatakan teridentifikasi pada fase rekonsiliasi apabila terdapat kecocokan
antara data antemortem dan postmortem dengan kriteria minimal 1 macam
Primary Identifiers atau 2 macam Secondary Identifiers.14
2.2.5 Fase Debriefing
Setelah
selesai
keseluruhan
proses
identifikasi,
dengan
hasil
digunakan
dikenal
sebagai
superimpossed
technique
yaitu
untuk
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bencana adalah setiap kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis,
hilangnya nyawa manusia atau memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan
pada skala tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang
terkena.Pedoman Manajemen Logistik dan Peralatan dalam penanggulangan bencana
dimaksudkan sebagai petunjuk praktis yang dipergunakan oleh semua pihak dalam
melaksanakan upaya penanggulangan bencana sejak prabencana, saat bencana dan
pascabencana. Sehingga dapat mengurangi dampak atau kerugian yang disebabkan oleh
bencana.
Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi
atau menghilangkan risiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana maupun
kerentanan pihak yang terancam bencanaKesiapsiagaan adalah serangkaian yang dilakukan
untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat
guna dan berdaya guna.
3.2 Saran
Pada saat terjadinya bencana biasanya begitu banyak pihak yang menaruh perhatian
dan mengulurkan tangan memberikan bantuan tenaga, moril maupun material. Banyaknya
bantuan yang datang sebenarnya merupakan sebuah keuntungan yang harus dikelola dengan
baik, agar setiap bantuan yang masuk dapat tepat guna, tepat sasaran, tepat manfaat, dan
DAFTAR PUSTAKA
Juli
2016.
Diunduh
dari:
URL:
http://dibi.bnpb.go.id/DesInventar/dashboard.jsp?
countrycode=id&continue=y&lang=ID
2. Singh s.Instalasi/SMF Kedokteran Forensik dan Medicolegal Rumah Sakit Umum.
Majalah Kedokteran Nusantara 2008;41(12);54-258
3. Rahman A.Z. KAJIAN MITIGASI BENCANA TANAH
LONGSOR
DI
9. Hadjiiski O., 1999, Mass disasters. Bulgarian complex programme for medical care
for patients with burns after fire disasters, Annals of Burns and Fire Disasters, 12(4):
224-30.
10. Armis. Kedokteran Disaster. Maj Kedokt Indon 2007;57(6) : 191-7.
11. BNPB. Potensi Ancaman Bencana. Diakses tanggal 3 Juli 2016. Diunduh dari :
http://www.bnpb.go.id/pengetahuan-bencana/potensi-ancaman-bencana.
12. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Sistem Penanggulangan Bencana
Nasional. In : Pedomann Penyusunan Rencana Penanggulangan bencana. 2008.
13. Emami MJ, Tavakoli, AR, Alemzadeh H, Abdimejad F, et al. Strategies in Evaluation
and Management of Bam Earthquake Victims. J Prehosp and Disast Med
2005.20(5):327-30.
14. Henky dan Safitry O. Identifikasi korban bencana massal: praktik DVI antara teori
dan kenyataan. Ind journal of legal & forensic sciences 2012; 2(1): 5-7.