Vous êtes sur la page 1sur 22

Ascan F.

Koerner

BAGIAN 18
Komunikasi Keluarga
Abstrak: Bab ini membahas mengenai penelitian-sosial ilmiah tentang komunikasi keluarga.
Perhatian khusus pada penelitian empiris diberikan untuk menguji hipotesis teori dan
penelitian yang termasuk kedalam disiplin ilmu komunikasi. Setelah membahas secara
mendalam mengenai sentralitas keluarga terhadap hubungan manusia dan sentralitas
komunikasi terhadap hubungan keluarga, kedua teori umum dari komunikasi keluarga
direview, diikuti dengan peninjauan teori yang mengerucut pada tipe-tipe dalam komunikasi
keluarga. Penemuan empiris yang menopang pengetahuan tentang komunikasi keluarga akan
dijabarkan. Fokus utamanya berada pada teori-teori pokok atau model yang mendukung
penelitian. Bab ini mencakup ringkasan evaluasi yang menyoroti kekurangan dan kelebihan
penelitan dan prediksi mengenai perkembangan selanjutnya dalam wilayah penelitian
komunikasi keluarga.
Kata Kunci : dampak, hukuman jasmani, pola komuikasi keluarga, konflik keluarga, fungsi
keluarga, rahasia keluarga, tipe-tipe keluarga, kekerasan dalam keluarga, orang tua,
keleluasaan pribadi (privasi)

1 Investigasi Ilmiah Dalam Komunikasi Keluarga


Investigasi dalam keluarga memiliki sejarah panjang dalam ilmu sosial barat, hal tersebut
sebagain besar karena keluarga dianggap sebagai kelompok sosial penting yang menjadi
dasar bagi banyak institusi dan lingkungan sosial. Selain itu, dalam keluarga, sebagian besar
sosialisasi generasi selanjutnya berlangsung. (Harris, 1998) Dengan demikian, memahami
keluarga, dinamika keluarga, dan komunikasi keluarga akan bermanfaat untuk memahami
proses sosial yang lebih besar. Dikarenakan keluarga sebagai suatu institusi berkaitan erat
dengan berbagai institusi sosial lainya, memahami hal tersebut dan bagaimana kaitannya
dengan keluarga akan memberikan wawasan mengenai fungsi keluarga dan dampak
psikososial bagi anggota keluarga. Tidak mengherankan jika, bagian terpenting dari
penelitian-sosial ilmiah tentang keluarga berasal dari disiplin-disiplin dalam pendekatan
sosiologi, ekonomi dan ilmu sosial keluarga.

Penelitian lain mengenai keluarga yang memberikan kontribusi besar terhadap pemahaman
kita mengenai keluarga, dinamika keluarga, dan komunikasi keluarga berasal dari disiplindisiplin yang berorientasi psikologis, seperti ilmu perkembangan anak dan psikologi sosial.
Penelitian dalam disiplin ini berfokus pada peran keluarga dalam perkembangan anak dan
remaja. Fakta menunjukkan bahwa hubungan keluarga bagi kebanyakan orang, adalah
hubungan interperosnal yag paling tahan lama, paling intim, dan paling signifikan.
Konsekuensinya, hubungan keluarga akan sangat mempengaruhi mental dan fungsi
psikologis, serta kesejateraan. Pada saat yang bersamaan, hubungan kebalikan juga hadir
disini. Keluarga terdiri dari anggota keluarga yang mana emosi dan fungsi kognitifnya
terpengaruh oleh proses dan dinamika keluarga, akan tetapi, emosi dan kognitif individu
dalam keluarga dapat mempengaruhi anggota keluarga lainnya dalam dinamika dan proses
keluarga.
Karena diangap penting hubungan dan dinamika keluarga dalam fungsi dan
kesejahteraan individu, institusi dan masyarakat, hubungan keluarga, fungsi hubungan
keluarga, dan keterkaitannya dengan dengan institusi lain diteliti dengan baik. Sayangnya, hal
tersebut tidak semerta-merta menjadikan komunikasi keluarga yang berada didalamnya ikut
diteliti dengan baik. Perbedaan yang jelas ini dapat dilihat melalui bukti bahwa meskipun
dinamika komunikasi keluarga merupakan suatu hal penting dalam mengaitkan anggota
keluarga dan mengolahnya kedalam emosi individu dan kesadaran (cognition), juga kedalam
intitusi (lembaga), proses sosial, dan masyarakat, sebagian besar peneliti sosiologi dan
psikologi cenderung memperlakukan disiplin komunikasi sebagai terminologi primitif, yang
berarti terminologinya tidak dibutuhkan dalam elaborasi teoritis dan konseptualisasi. Dalam
budaya ini, komunikasi tidak dianggap sebagai suatu hal yang jelas dan tidak dapat
dibuktikan atau self-evident1(apa yang kamu lihat adalah apa yang kamu dapatkan)
(Caughlin 2010; Caughlin and Scott 2010; Caughlin dan Vangekisti 2006; Koerner dan
Fitzpatrick

2013).

Oleh

karena

itu,

sementara

diasumsikan

bahwa

komunikasi

menghubungkan individu-individu, keluarga, dan lembaga sosial antara satu sama lain,dari
hasil penelitan yang didapat bagaimana komunikasi dapat melakukan hal tersebut tidaklah
jelas.
Menjadi tugas sarjana komunikasi untuk mendefinisikan dan menciptakan teori komunikasi
keluarga dengan cara yang lebih teoritis dan ilmiah. Dalam disiplin komunikasi, penggunaan
1

Self evident : adalah sesuatu yang dianggap sebagai suatu kebenaran melalui
pemahaman terhadap maknanya dan tidak memiliki bukti-bukti

teori dan metode ilmu sosial untuk mempelajari komunikasi keluarga dan hubungan keluarga
dipublikasikan sejak awal pada jurnal dan buku panduan komunikasi. Asosiasi Komunikasi
Nasional (National Communication Association) telah memiliki divisi komunikasi keluarga
pada tahun 1995 dan Asosiasi Komunikasi Internasional belum memiliki divisi komunikasi
keluarga. Demikian juga, jurnal akademik pertama yang dikhususkan untuk komunikasi
keluarga (the Journal of Family Communication) baru dipublikasikan pada tahun 2001 dan
buku panduan komunikasi keluarga yang pertama baru dipublikasikan pada tahun 2004
(Vangelisti 2004).
Meskipun lambat dalam permulaan, ketertarikan dan publikasi penelitian ilmiah sosial
mengenai komunikasi keluarga semakin bertambah selama dua dekade terakhir, meskipun
bagian dari penelitian empiris dari seluruh penelitian dalam komunikasi keluarga dipublikasi
dalam major komunikasi dan jurnal antar disiplin telah berkurang sekitar 80% pada tahun
1990-1994 menjadi sekitar 68% pada tahun 2005-2009 (Stamp dan Shue 2013). Ketertarikan
dalam penelitian keluarga membawa perkembangan pada beberapa teori dan model dalam
komunikasi keluarga, dan juga peningkatan yang signifikan terhadap ketelitian dari studi ilmu
sosial dalam komunikasi keluarga. Sementara model dan teori ini belum berhenti pada
kedalam dan keluasan dari pengetahuan empiris yang dapat diperbandingkan dengan wilayah
yang telah lebih dulu mapan dalam penelitian komunikasi interpersonal, yang mana terus
mengalami perkembangan dan masa depannya lebih baik. Faktanya, sebagian besar teori
yang berkembang dan diteliti dalam wilayah komunikasi keluarga cenderung lebih ambisius
dalam hal jangkauan dan kedalaman teoritisnya.
Berhubungan dengan sejumlah besar penelitian yang berdasarkan pada ilmu sosial
dalam komunikasi keluarga, adalah hal yang tidak mungkin untuk menyediakan gambaran
umum menyangkut ilmu sosial mengenai komunikasi keluarga pada satu bab. Pembaca yang
tertarik pada tinjauan semacam itu disarankan untuk membaca edisi komunikasi keluarga
yang telah diperbaharui yang dituliskan oleh Braithwaite dan Baxter (2006) dan Vangelisti
(2013). Akan tetapi, tinjauan ini berfokus pada penelitian yang lebih ilmiah dan menuntut
ketelitian dalam komunikasi keluarga; hal tersebut adalah, penelitian yang tidak hanya
empiris, tapi juga bertujuan untuk menguji tingkat perkembangan dan kejelasan artikulasi
model teoritis. Pekerjaan yang berasal dari bidang komunikasi atau yang secara signifikan
telah membentuk penelitian dalam disiplin komunikasi, akan menerima perhatian khusus.
Meskipun hubungan pernikahan mendasari hubungan dalam keluarga dan pernikahan hidup
bersama dengan pasangan yang membentuk keluarga menurut sebagian besar definisi dalam

keluarga (Koerner dan Fitzpatrick 2013), mereka tidak disertakan dalam bab ini dikarenakan
ada bab yang secara spesifik membahas mengenai pernikahan (lihat bab 19, Segrin dan
Flora). Bab tersebut akan dirangkum dengan melihat tren perkembangan di masa depan
dalam bidang komunikais keluarga.

2 Teori Umum Komunikasi Keluarga


Penelitian satu fenomena akan menjadi ilmiah jika objektif, observasi yang dapat dihitung
digunakan untuk menguji prediksi tertentu yang berasal dari model teori yang digambarkan
dengan jelas. Saat ini, hanya beberapa teori komunikasi keluarga yang dapat memenuhi
standar tinggi tersebut, dan bahkan lebih sedikit lagi teori komunikasi keluarga yang
dinyatakan sebagai teori umum dalam komunikasi keluarga dibandingkan dengan menjadi
jenis khusus dalam komunikais keluarga yang sesuai dengan gambaran ini. Teori umum
dalam komunikasi keluarga menggambarkan proses yang diaplikasikan kepada sebagian
besar interaksi dalam keluarga. Oleh karena itu, mereka berfokus pada aspek dasar dari
komunikasi yang menggarisbawahi berbagai interaksi, seperti sense-making dan pencapaian
tujuan, Proses tersebut merupakan hal penting yang mendasar dalam komunikasi secara
umum , dibandingkan dengan mengaplikasikan hanya pada tipe tertentu dari interaksi, seperti
konflik dan dukungan. Mereka membahas secara khusus mengenai keluarga karena mereka
berdasarkan pada proses dasar yang unik, atau secara relevan unik, pada hubungan keluarga.
2.1 Model Circumpleks Olson
Salah satu teori komunikasi keluarga yang muncul dari displin sejenisnya/ sekutu yang
membuat tori tentang peran komunikasi dala proses utama keluarga dan salah satu yang telah
mendapatkan cukup perhatian adalah model circumplex Olsonmengenai fungsi keluarga
(1981, 1993, Olson, Sprenkle and Russell 1979; Olson, Russell danSprankle 1983). Olson
berpendapat fungsi keluarga ditentukan oleh dua dimensi dasar dari keluarga; Yaitu kohesi
dan kemampuan beradaptasi. Berdasarkan teori, level pertengahan pada kedua dimensi
berhubungan dengan fungsi superior . Sedangkan yang ekstrem dari kedua dimensi tersebut
berhubungan dengan fungsi yang kurang optimal. Untuk kohesi, berarti bahwa pemisahan
atau ikatan fungsi keluarga lebih baik dibandingkan dengan disengaged atau keluarga yang
terperangkap (enmeshed family), sedangkan untuk adaptasi fungsi keluarga fleksibel atau
tertata lebih baik dibandingkan dengan keluarga kaku atau tidak teratur (chaotic). Keluarga
yang tergolong moderat dalam kedua dimensi tersebut adalah yang berfungsi paling baik,

diikuti dengan keluarga yang moderat pada salah satu dimensi tetapi ekstrim pada yang
lainnya, sedangkan keluarga yang ekdtrim pada kedua dimensi adalah yang berfungsi paling
rendah.
Olson mengidentifikasi komunikasi keuarga sebagai dimensi ke-3 yang memfasilitasi
keluarga (1981,1993). Komunikasi keluarga utamanya menentukan dimana keluarga akan
diletakkan pada kedua dimensi yaitu kohesi dan kemampuan adaptasi. Komunikasi juga
memungkinkan keluarga mengganti posisi mereka dalam dimensi tersebut, yang mana
merupakan hal penting dalam dalam aplikasi model circumpleks untuk terapi keluarga. Jika
konselor atau psikolog telah menemukan letak disfungsi keluarga pada kedua dimensi
tersebut, konselor dapat menyarankan perilaku komunikasi tertentu yang dapat merubah
posisi keluarga pada tingkatan dimensi yang lebih moderat, dengan demikian hal tersebut
dapat meningkatkan fungsi keluarga.
Meskipun dikatakan penting, peran deterministik komunikasi dalam model Olson,
mekanisme dimana komunikasi memfasilitasi dimensi kohesi dan kemampuan adapatasi,
belum dapat didefinisikan. Meskipun demikian, Olson telah memperkenalkan kemampuan
komunikasi (atau perilaku) yang lebih spesifik sebagai alat untuk meningkakan taraf moderat
dari kedua dimensi tersebut, termasuk diantaranya kemampuan berbicara seperti berbicara
untuk kepentingan diri dan menghindari berbicara untuk orang lain, kemampuan
mendengarkan seperti, pendengar aktif (active listening) dan empati, juga kemampuan umum
berkomunikasi seperti pengungkapan diri (self disclosure), kejelasan, kontinuitas dan
pelacakan (tracking), dan menunjukkan rasa hormat serta pernghargaan terhadap orang lain,
bagaimana dan mengapa perilaku komunikasi ini dapat menuju pada tingkat moderat dari
dimensi kohesi dan kemampuan adaptasi

tidak pernah sepenuhnya dijelaskan. Lebih

bermasalah lagi, penelitian Olson memberikan hasil linear dibandingkan memberikan


prediksi hubungan kurvalinear diantara perilaku komunikasi, kohesi, dan kemampuan
adaptasi, masing-masing. Sebagai konsekuensinya, peneliti komunikasi keluarga yang tertarik
menggunakan model cicumpleks Olson, untuk saat ini.
2.2 Teori Pola Komunikasi Keluarga
Teori umum tentang komunikasi keluarga yang berasal dari dalam disiplin komunikais adalah
Teori Pola Komunikasi Keluarga atau Family Communication Patterns Theory (FCPT)
(Fitzpatrick and Ritchie 1994; Koerner 2007; Koerner dan Fitzpatrick 2002a, 2002bc, 2004,
2006a; Ritchie dan Fitzpatrick 1990). Didasarkan pada teori kognitif, FCPT mengemukakan

bahwa menciptakan realita sosial bersama merupakan proses fundamental salam fungsi
keluarga yang mendefinisikan hubungan keluarga dan menentukan bagaimana keluarga
berkomunikasi. Realita sosial bersama dalam keluarga diciptakan melalui dua perilaku
komunikasi: orientasi percakapan dan keselarasan, yang secara bersama-sama menentukan
pola komunikasi keluarga. Orientasi Percakapan merujuk pada keterbukaan dan frekuensi
komunikasi antara orang tua dan anak, tujuannya adalah untuk menemukan (co-discovering)
dan menentukan bersama (co-determining) makna objek yang membentuk realita sosial. Hal
tersebut berhubungan dengan kehangatan dan komunikasi yang suportif, yang dicirikan
dengan mutual respect dan perhatian terhadap satu sama lain. Orientasi keselarasan,
sebaliknya, merujuk pada komunikasi yang lebih terbatas antara orang tua dan anak dimana
pihak yang memiliki otoritas, biasanya orang tua, menentukan realita sosial keluarga,
Orientais keselarasan berhubungan dengan pengasuhan yang lebih otoriter dan kurangnya
perhatian terhadap pemikiran dan perasaan anak.
Kedua orientasi ortogonal ini yang menuju pada pembentukan realita sosial bersama
menentukan satu ruang konseptual untuk komunikais keluarga, menggambarkan empat tipe
keluarga. Keluarga konsensual (consensual families) tinggi dalam kedua orientasi (orientasi
percakapan dan keselarasan), komunikasi mereka dicirikan dengan adanya ketegangan
diantara ketertarikan dalam komunikasi terbuka dan eksplorasi ide-ide baru, dengan tekanan
untuk setuju dan memlihara hirarki yang ada dalam keluarga. Orang tua berupaya untuk
meredakan ketegangan dengan cara mendengarkan dan menjelaskan nilai-nilai dan
kepercayaan mereka terhadap anak-anak dan berupaya untuk meyakinkan anak-anak mereka
untuk mengadopsi cara berpikir mereka. Anak-anak dalam keluarga ini cenderung bahagia
dan mampu beradaptasi dengan baik.
Keluarga pluralistik (pluralistic families) tinggi dalam orientasi percakapan dan
rendah dalam orientasi keselarasan. Kominikasi mereka dicirikan dengan diskusi terbuka dan
tidak dibatasai, dan mengikutsertakan seluruh anggota keluarga, juga dengan topik
pembahasan yang luas. Orang tua dalam keluarga ini menggunakan sedikit kontrolterhadap
anak mereka dan menerima dengan baik perbedaan keyakinan dan nilai-nilai yang dimiliki
oleh anak-anak, meskipun mereka juga menjelaskan nilai dan keyakinan kepada anak-anak
mereka. Anak-anak dari keluarga ini belajar untuk mandiri dan berotonomi, juga
berkomunikasi secara persuasif, mereka pada umumnya juga bahagia dengan hubungan
keluarganya.

Keluarga protektif (protective families) memiliki keselarasan yang tinggi dan orientasi
percakapan yang rendah. Komunikasi mereka dicirikan dengan kepatuhan pada otoritas orang
tua dan memiliki perhatian rendah untuk persoalan-persoalan konseptual. Orang tua dalam
keluarga ini menekankan kendali yang kuat terhadap anak-anak mereka dan jarang sekali
memberikan penjelasan. Orang tua menunjukksn keyakinan dan nilai-nilai yang mereka anut
dan mengaharapkan anak-anaknya mengadopsi hal tersebut. Anak-anak dalam keluarga
protektif belajar bahwa ada menilai rendah diskusi keluarga dan tidak percaya diri dalam
mengambil keputusan.
Keluarga Laissez-Faire rendah dalam kedua orientasi, komunikasi mereka dicirikan
dengan rendahnya interaksi. Keluarga Laissez-Faire jauh secara emosional dan anggota
keluarganya memiliki ketertarikan yang rendah terhadap perasan dan pemikiran anggota
keluarga yang lain. Anak-anak daam keluarga ini belajar untuk tidak menghargai percakapan
keluarga dan menjadi penentu kebijakan sendiri. Karena tidak menerima dukungan atau
dorongan orang tua, mereka tidak yakin dalam menentukan pilihan dan seringkali lebih
mudah terpengaruh dengan teman-teman seumuran mereka.
Pola komunikasi keluarga berikut berakar dari bagaimana keluarga menciptakan
realita sosial bersama dihubungkan dengan sejumlah proses keluarga, seperti penegasan dan
kasih sayang (Schrodt, Ledbetter, dan Ohrt 2007), resolusi konflik (Koerner dan Fitzpatrick
1997), ritual keluarga (Baxter dan Clark 1996), dan pemahaman (SIllars, Koerner, dan
Fitzpatrick 2005), juga hasil yang berhubungan dengan anak-anak, seperti kepandaian
komunikasi (Elwood and Shrader 1998), konflik dengan pasangan cinta (Koerner dan
Fitzpatrick 2002c), kesehatan fisik dan mental anak (Schrodt dan Ledbetter 2007), dan daya
tahan anak (resiliency) (Fitzpatrick dan Koerner 2005). (0:34, senin)

3 Spesifikasi Teori Komunikasi Keluarga


Hanya beberapa teori komunikasi keluarga yang bertujuan menjadi teori umum dan
diaplikasikan secara virtual pada seluruh konteks komunikasi. Mayoritas teori komunikasi
keluarga menunjukkan tipe yang lebih dibatasi dalam komunikasi keluarga. Keuntungan dari
teori yang lebih fokus ini adalah mereka mampu memberikan prediksi yang lebih tepat dan
pemahaman yang lebih baik tentang proses komunikasi yang mencakup dalam jenis - jenis
spesifik dalam komunikasi.

3.1 Sosialisasi Pengasuhan Orang Tua dan Anak


Karakteristik paling dasar dalam keluarga adalah membesarkan anak-anak (Koerner dan
Fitzpatrick 2013). Dengan begitu, hal tersebut tidaklah mengejutkan jika sebagian besar
penelitian dan teori tentang komunikasi keluarga berfokus pada pengasuhan orang tua dan
sosialisasi dengan anak. Secara umum, pengasuhan dan sosialisasi telah diidentifikasi
memiliki dua fungsi utama. Pertama adalah memungkinkan anak-anak menjadi kompeten
dalam hubungan sosial dan sukses memerankan peran sosial mereka. Untuk memenuhi fungsi
tersebut, keluarga harus melihat dari sudut pandang ekseternal yang berhubungan dengan
kesuksessan dalam hubungan sosial dan dengan itu harus memperhatikan dan patuh terhadap
norma dan aturan sosial. Proses ini secara fundamental bertujuan untuk memenuhi norma dan
aturan sosial. Fungsi lainnya adalah untuk membantu anak-anak mencapai kesejahteraan
yang dapat diidentifikasi melalui mendapatkan kepuasan dalam kehidupan mereka, hubungan
sosial mereke, dan menunjukkan pencapaian kebahagiaan secara umum. Untuk dapat
memenuhi fungsi kedua, keluarga harus berfokus dari dalam dan menekankan untuk
membangun kepecayaan diri anak, hal tersebut berhubungan dengan penerimaan dan proses
untuk menumbuhkan rasa cinta terhadap diri. Proses ini secara fundamental berhubungan
dengan penerimaan penerimaan/dukungan dan kasih sayang (Koerner dan Fitzpatrick 2013).
Pandangan ini digemakan kembali oleh

Steinberg (2001), yang melakukan peninjauan

terhadap dua dekade penelitian tentang pengasuhan orang tua dan berkesimpulan bahwa dua
penemuan yang paling konsisten dalam penelitian ini adalah pengasuhan yang
mengutamakan kehangatan (warm) dan ketegasan2 (firm), juga responsif terhadap kebutuhan
otonomi anak, sangat erat berhubungan dengan ciri-ciri anak posistif (Steinberg 1990; Elmen,
dan Mounts 1989). Generalisasi ini juga didukung oleh penelitian mengenai pengasuhan
keluarga yang didasarkan pada gaya pengasuhan Baumin (Baumin's parenting style) Selama
empat dekade (1967, 1971, 1991), yang mana secara konsisten menunjukkan bahwa
pengasuhan otiritatif yang memadukan warm discipline (disiplin tanpa menghilangkan kesan
hangat), dianggap lebih baik hasilnya (child outcomes) dibandingkan dengan gaya
pengasuhan serba membebaskan (kehangatan tanpa disiplin), gaya pengasuhan otoriter
(disiplin tanpa kehangatan), dan gaya pengasuhan melalaikan (neglecting parenting). Peneliti
lain mungkin menggunakan label yang berbeda untuk menggambarkan kedua konsep inti dari
pengasuhan, akan tetapi, hasilnya akan sama saja.

Firm: akrab, tegas

Kelompok peneliti lainnya meneliti tentang strategi peran orang tua yang digunakan dalam
perkembangan sosial dan kognitif anak (Burleson, Delia dan Applegate 1995). Menurut para
ilmuwan ini, orang tua menggunakan dua strategi yang berbeda untuk mengatur perilaku
anak: pendekatan perorangan (person-centered), orang tua menerapkan pesan peraturan dan
menghibur kepada anak yang menegaskan bagaimana orang lain akan terpengaruh dengan
perilaku anak dan berfokus pada kebutuhan, nilai , perasaan, dan psikologis orang lain.
Sebaliknya, pendekatan kedudukan (position-centered) menerapkan pesan peraturan dan
menghibur dimana menegaskan aturan dan norma yang digunakan tanpa menghiraukan apa
atau bagaimana orang lain akan terpengaruh dengan perilaku mereka (anak). Pendekatan
perorangan akan menuju kepada pengembangan kepampuan komunikasi anak dan
meningkatkan kemampuan berempati dan mempertimbangkan sudut pandang orang lain.
Dengan begitu,

anak-anak akan menggambarkan perkembangan mental yang baik dan

kompleks bagi diri mereka, orang lain dan hubungan interpesonal (Burleson et al. 1995;
Young 2009). Sebaliknya, pendekatan kedudukan membuat anak mengembangkan
kemampuan untuk mengidentifikasi hal yang berhubungan dengan norma dan aturan sosial,
tanpa menghiraukan pandangan orang lain. Komunikasi semacam itu dapat berujung pada
perkembangan yang kurang baik dan kurang kompleks dan menunjukkan mental representasi
yang lebih kaku bagi diri mereka, orang lain, dan dalam hubungan interpersonal (Burleson et
al. 1995; Young 2005).
3.2 Rahasia Keluarga
Penelitian yang didedikasikan untuk mengeksplorasi secara spesifik tipe-tipe dalam
komunikasi keluarga, salah satunya dilakukan oleh Valengisti, yang melakukan penelitian
tentang rahasia keluarga (1994, 1997; Valengisti, Caughlin, dan Timmerman 2001). Menurut
para peneliti ini, rahasia keluarga dapat dibedakan melalui bentuk, topik, dan fungsinya
(Vangelisti 1994). Bentuk mulai dari rahasia keluarga secara keseluruhan (whole- family
secret) (yang berarti seluruh anggota keluarga mengetahui, akan tetapi tidak diketahui orang
luar), kepada rahasia intra-keluarga (intra-family secret) (beberapa anggota keluarga
mengetahui, akan tetapi ada beberapa anggota keluarga dan orang diluar tidak mengetahui),
dan rahasia individu (individual secret) (hanya satu anggota keluarga yang tahu, akan tetapi
anggota keluarga lainnya dan orang luar tidak tahu). Topik dapat berkisar mulai dari topik
konvensional (contoh, peringkat kelas anak, penyakit yang diderita orang tua) kepada
pelanggaran aturan (contoh, konsumsi minuman beralkohol, kehamilan diluar pernikahan
dalah satu dari anggota keluarga) dan kepada hal tabu (contoh, kesulitan dalam rumah tangga,

kekerasan fisik dan seksual). Fungsi dari rahasia termasuk didalamnya ikatan, evaluasi,
pemeliharaan, privacy, defence, dan komunikasi.
Hasil penelitian yang dilakukan Vangelisti ditemukan korelasi antara bentuk, topik,
dan fungsi dan kepuasan keluarga. Sebagai contoh, Rahasia tabu lebih sering menjadi rahasia
keluarga dibandingkan menjadi rahasia individu, sedangkan pelangaran aturan seringkali
menjadi rahasia individu dibangdingkan menjadi rahasia seluruh keluarga. Dalam rahasia
konvensional tidak ditemukan hubungan antara bentuk dan topik. Vangelisti menemukan
bahwa rahasia seluruh keluarga utamanya menyediakan fungsi evaluasi, defense, dan privasi;
Rahasia intra -keluarga pada umumnya memelihara fungsi, sedangkan rahasia individu
menyediakan fungsi evaluasi dan privasi.
Dalam hal mengungkapkan rahasia keluarga kepada orang diluar , Vangelisti (1997;
Vangelisti, Caughlin dan Timmermann 2001) menemukan bahwa kepuasan anggota keluarga
dengan hubungan keluarga memiliki hubungan negatif dengan pengungkapan rahasia
terhadap orang luar , sedangkan kedekatan dan kesamaan dengan orang luar secara posistf
berkaitan dengan pengungkapan rahasia keluarga. Temuan ini mengatakan bahwa rahasia
keluarga digunakan untuk mengatur hubungan interpersonal dalam keluarga dan orang luar.
Pengungkapan rahasia mengurangi perasaan peting dan keintiman dari hubungan keluarga
dan anggota keluarga dapat menggunakan pendekatan semacam itu untuk menggunakan
otonomi yang lebih besar dan kemandirian dari keluarga. Pada saat yang sama,
mengungkapakan

rahasia

keluarga

juga

dapat

meningkatkan

keintiman

dan

kesalingbergantungan dari hubungan anggota keluarga dengan pihak luar, anggota keluarga
juga dapat menjadikan pengungkapan rahasia untuk meningkatkan kedekatan dalam
hubungan.
3.3 Teori Manajemen Privasi
Teori Manajemen Privasi atau privacy management theory (CPMT) berkaitan erat dengan
rahasia keluarga (Petronio 2002, 2010; Petronio dan Caughlin 2006). Meskipun tidak secara
khusus dikembangkan dan diterapkan pada komunikasi keluarga, akan tetapi dalam konteks
ini sangat berguna (Caughlin, Petronio, dan Middleton 2013). Seperti halnya Vangelisti
(1994, 1997), CPMT mengemukakan bahwa informasi pribadi terutama digunakan untuk
mengatur hubungan interpersonal. Menurut Petronio (2002, 2010), informasi pribadi, atau
informasi yang menyangkut diri sendiri/ seseorang, berpotensi bahaya atau memalukan,
"dimiliki" oleh individu, akan tetapi dapat "dibagikan" kepada orang lain yang menjadi

bagian dari informasi tersebut dan menyebarluaskan informasi tersebut dengan tanggung
jawab untuk menjaganya dan menggunakan dengan seharusnya. Pembagian informasi pribadi
menentukan tingkatan dalam batasan-batasan hubungan, mulai dari, tingkat hubungan yang
dapat menyerap, dijalankan, kemudian menjadi mengeras atau melemahkan ikatan hubungan
dan menjadikan orang lain tetap berada di dalam atau diluar hubungan (Petronio, 2010). Hal
lain yang mempengaruhi batasan hubungan, adalah membagi informasi pribadi. Membagi
informasi pribadi juga dapat mempengaruhi kualitas dari hubungan keluarga. Biasanya,
saling berbagi dapat meningkatkan hubungan keluarga dikarenakan hal tersebut menampilkan
ekpresi kedekatan, keintiman, dan kepercayaan (Petronio 2002), akan tetapi hal tersebut juga
dapat mengurangi kepuasan keluarga, khususnya jika informasi yang disebarluaskan
berpotensi buruk mempengaruhi hubungan antar anggota keluarga (Afifi, et al. 2007).
Pandanggan terhadap informasi pribadi dan kegunaanya untuk mengatur hubungan
interpersonal dan hubungan keluarga secara keseluruhan, menunjukkan perkembangan teori
dari teori awal dalam komunikasi dan hubungan interpersonal, yang menjadikan informasi
pribadi sebagai satu hal yang sama pentingnya dengan keintiman dan sekaligus menjadikan
peningkatan keintiman sebagai suatu hal yang utama dalam konseptualisasi hubungan
(contoh, Altman dan Taylor 1973)
3.4 Komunikasi Afektif dalam keluarga
Wilayah penelitian lain dalam lingkup yang lebih fokus memasukkan penelitian mengenai
ekspresi afektif dalam keluarga. Salah satu contoh baik dalam penelitian ilmiah adalah
Affective Exchange Theory (AET) (Floyd 2001; Floyd dan Morman 2003) tidak seperti
kebanyakan teori komunikasi lainnya yang menjelaskan fenomena akan tetapi menjadikan
fenomena itu sendiri sebagai suatu hal yang diberikan , Floyd menawarkan penjelasan teoritis
mengenai bagaimana afektif saling bertukar dalam hubungan keluarga, dengan cara
menerapkan AET dalam teori evolusi. AET berargumen bahwa kemampuan manusia untuk
mengalami dan mengekspresikan efeksi adalah hasil seleksi evolusi dikarenakan hal tersebut
memberikan keuntungan dalam hal bertahan hidup dan reproduksi. Oleh karena itu, AET
terikat dengan kerangka penjelasan yang sangat kuat dibandingkan dengan berdiri sendiri.
Mengaitkan AET kepada teori evolusi tidak hanya menempatkan teori kepada
kerangka penjelasan relevan yang kuat dan lebih luas, dan digunakan oleh beberapa ilmuwan
sosial, hal tersebut juga menciptakan lingkungan yang mendorong formulasi dan menguji
hipotesis yang speisfik. Lebih jauh lagi, tidak seperti hipotesis yang berasal dari kerangka

teori yang dikembangkan secara khusus untuk fenomena yang mereka jelaskan dan
karenanya berpegang erat pada observasi empiris yang dibuat untuk fenomena tersebut.
Hipotesis yang didasarkan pada penjelasan teoritis yang terpencil memiliki kesempatan untuk
counterintuitive. Dengan begitu, data mendukung mereka membuat rangka yang lebih kuat
untuk model teori mereka dibandingkan data yang mendukung hipotesis yang tidak
counterintuitive. Sebagai contoh, jika alasan evolusi dalam hal afeksi orang tua menjadi
salah satu alasan membuat seseorang bertahan hidup dan melanjutkan keturunan, hal tersebut
berarti ayah haruslah lebih sayang terhadap anak kandungnya dibandingkan anak angkatnya
(Floyd dan Morman 2001). Sama halnya dengan, Ayah harus lebih menyayangi anaknya yang
heteroseksual dibandingkan anaknya yang homoseksual ataupun biseksual, dan hubungan ini
harus dimediasi oleh persepsi ayah mengenai orientasi seksual (Floyd 2001; Floyd, Sargent
dan Di Cora 2004).
Penelitian Floyd tentang AFT tidak mendukung kerangka kerja teori evolusi. Melalui
investigasi hubungan ayah-anak laki-laki, Floyd dan rekannya menggambarkan hubungan
kelurga yang tidak dihiraukan dalam rincian yang sangat baik, mereka kemudian menemukan
bahwa, sebagai contoh, kasih sayang dalam hubungan ayah dan anak laki-laki ditunjukkan
lebih banyak melalui perilaku mendukung dibandingkan melalui ucapan (verbal) langsung
atau dalam bentuk ekspresi kasih sayang non-verbal (Floyd, Sargent dan Di Corcia 2004).
Morman dan Floyd (2002, 2006) mampu menunjukkan dampak yang merubah norma-norma
budaya yang dimiliki dalam hirarki keluraga dengan cara membandingkan laporan tentang
hubungan ayah dengan ayahnya dengan laporan anak lakinya-lakinya tentang hubungan ayah
dan anak. Para peneliti menemukan bahwa hubungan kontemporer ayah dan anak laki-laki
menunjukka lebih banyak komunikasi kasih sayang dibandingkan dengan hubungan ayah dan
anak di jaman dulu (Floyd dan Morman 2005). Dengan begitu, proses evolusi psikologis
berperan penting dalam hubungan ayah dan anak laki-laki, sama halnya dengan kekuatan
budaya.
3.5 Konflik Keluarga
Tidak seperti kebanyakan hubungan interpersonal yang bersifat sukarela dan karenannya
jarang merasakan konflik, hubungan keluarga bukanlah hubungan bersifat sukarela dan
seringkali terjadi konflik (Roloff dan Miller 2006; Shantz dan Hobart 1989; lihat bab 8,
Canary dan Canary), dengan angka konflik yang lebih tinggi dalam hubungan keluarga
dibandingkan dalam hubungan rekan kerja (Sillars, Canary dan Tafoya 2004). Salah satu

alasan mengapa hubungan keluarga berkonflik adalah karena bagian yang besar dalam
komunikais orang tua dan anak yang terdiri dari upaya orang tua untuk mengatur perilaku
anak, dan anak biasanya menolak (Laursen 1993; laursen dan Collins 2004; Laursen, Coy dan
Collins 1998) dan membenci upaya tersebut (Collins dan Luebker 1994, Smetana, Yau dan
Hanson 1991). Pada saat yang sama, hubungan keluarga sangat terpengaruh satu sama lain
dnegan anggota keluarga, hal tersebut juga tergantung dari satu sama lain mencapai tujuan
individu dan interpersonal, Peningkatan potensi keluarga dalam mengalami frustasi dan
menghubungkan pengaruh negatif yang biasanya ditemukan dalam konflik atau bentuk
permusuhan lainnya (Clark, Fitness dan Brisette 2001; Fitness 2013)
3.5.1 Fungsi dalam Konflik Keluarga
Konflik orang tua dan anak secara umum harus dilihat sebagai suatu hal yang normal,
meskipun bukan suatu hal yang diharapkan dalam aspek komunikasi. Konflik biasanya terjadi
ketika kepentingan legitimasi orang tua dalam mengatur anak bertubrukan dengan
kepentingan legitimiasi anak untuk mengatur diri sendiri. Anak kecil biasanya tidak banyak
terlibat dalam otonomi diri mereka sendiri dan karenanya membiarkan dan lebih menerima
aturan orang tuanya. Anak remaja, di lain pihak, lebih banyak terlibat dalam otonomi dan
karenanya cenderung untuk menolak aturan orang tua, juga meningkatkan konflik antara
orang tua dan anak remaja (Laursen, Coy dan Collins 1998). Oleh karena itu, konflik orang
tua dan anak tidak terelakkan, konflik tersebut juga berperan penting dalam perkembangan
fungsi, khususnya bagi remaja. Noller (1995) menetapkan lima fungsi, seluruhnya didapatkan
terutama melalui konflik komunikasi, fungsi-fungsi tersebut antara lain, peran negosiasi,
aturan, dan hubungan; pencarian jati diri, meningkatkan kepercayan diri; pengajaran dan
model pemecahan masalah, dan penentuan keputusan.
Konflik keluarga tidak hanya membantu anak-anak berkembang ke tahap dewasa, hal
tersebut juga memperkenalkan anak untuk mengadopsi gaya konflik dalam hubungan
interpersonal extra- family (Koerner dan Fitzpatrick 1997, 2002c; Noller 1995; Rinaldi dan
Howe 2003). Anak-anak akan menerapkan gaya komunikasi yang sama tidak hanya pada
interaksi dalam keluarga mereka, tetapi juga pada hubungan di luar keluarga (Montemayor
dan Hanson 1985) dan dalam hubungan interpersonal mereka sebagai orang dewasa.
(Koerner dan Fitzpatrick 2002c; Palazzolo, Roberto dan Babin 2010).
Terdapat beberapa bukti yang menyatakan bahwa anak-anak mengadopsi gaya konflik
dari orang tua mereka. Montemayor dan Hanson (1985) menemukan bahwa anak remaja

menggunakan gaya konflik yang serupa dalam hubungan dengan orang tua dan saudara
mereka. Dalam studi yang membandingkan gaya konflik antara anggota keluarga dengan
anak remaja dan pasangan romantis mereka, Reese-Weber dan Bertle-Haring

(1998)

menemukan bahwa gaya konflik orang tua dan anak berhubungan secara signifikan. Hasil
dari studi ini juga menunjukkan bahwa konflik inter-parental secara tidak langsung
berhubungan dengan gaya konlik anak dengan saudaranya, dan kelak dengan pasangan
romantisnya. Kesalingterhubungan ini dimediasi oleh gaya konflik antara orang tua dan anak.
Terakhir, penelitian yang dilakukan oleh Palazzolo, Roberto, dan Babin (2010)menunjukkan
korelasi kuat antara laporan agresi verbal yang dilakukan orang tua dengan laporan kekerasan
pada pasangan intim. Secara keseluruhan, penemuan ini menunjukkan bahwa orang tua
menggunakan gaya konflik yang sama terhadap satu sama lain dan terhadap anak-anak
mereka, yang selanjutnya menggunakan gaya konflik yang serupa dalam hubungan
interpersonal mereka di dalam dan di luar keluarga.
Kemiripan antara orang tua dan anak tidak terbatas pada perilaku konflik. Rinaldi dan
Howe (2003) mengumpulkan data mengenai persepsi dan perilaku konflik di dalam dan
diluar keluarga, mereka menemukan bahwa perilaku dan persepsi saling berhubungan. Selain
mempelajari gaya konflik komunikasi dari satu sama lain, anggota keluarga juga saling
berbagi tentang persepsi dalam konlik keluarga. Oleh karena itu, bukan hanya perilaku
konflik yang anak-anak akan kenali dalam keluarga, tetapi keseluruhan persepsi mengenai
bagaimana keluarga berkomunikasi terhadap satu sama lain, juga termasuk peran konflik
salam kehidupan keluarga. Penelitian yang dilakukan oleh Koerner dan rekannya (Koerner
dan Fitzpatrick 1997. 2002c; Koerner dan Maki 2004) juga mendukung pemikiran bahwa
perilaku konflik tidak dipelajari dalam isolasi tetapi merupakan bagian dari pola sosialisasi
komunikasi keluarga secara umum.
3.5.2 Konsekuensi dalam Konflik Keluarga
Meskipun konflik keluarga tidak diragukan lagi mempengaruhi kesejahteraan bagi seluruh
anggota keluarga, Peneliti berfokus pada bagaimana dampaknya terhadap anak-anak;
pengetahuan menyangkut dampaknya terhadap orang tua masih sangat terbatas (Koerner
2013). Bagi anak-anak, bukti-bukti menunjukkan bahwa konflik keluarga yang merusak,
permusuhan, atau bahkan kejam akan berdampak buruk pada remaja (Smetana, Yau dan
Hanson 1991), bahkan bagi anak-anak yang lebih muda (Rhoades 2008). Anak kecil yang
merasakan konflik orang tua yang bersifat destruktif akan mengalami ketakutan, kesedihan,

dan kemarahan (Cummings, Iannotti dan Zahn-Waxler 1985) dan akan merasa tidak aman di
dalam dan luar keluarga (Gordis, Margolin dan John 2001). Anak kecil yang seringkali
terlibat dalam konflik destruktif juga akan mengalami permasalahan di dalam hubungan
mereka dengan saudara dan teman-teman seumuran (Jenskin 2000), juga menunjukkan sikap
agresi dan kemarahan dalam hubungannya dengan guru, saudara, dan teman-teman
(Campione-Barr dan Smetana 2010; Noller 1995).
Sebaliknya, pada tahap dimana keluarga terlibat dalam konflik kostruktif (konflik
membangun) yang rasional dan berfokus pada pemecahan masalah, konflik keluarga akan
berdampak positif bagi anak-anak, dan khususnya bagi remaja. Anak-anak dengan orang tua
yang mendukung pemecahan masalah pada saat konflik keluarga berlangsung menunjukkan
hasil psikologis yang baik (Jenkins 200) dan secara umum lebih mampu menyesuaikan diri
(Tucker, McHale, dan Crouter 2003). Dikarenakan anak-anak merasa aman dan nyaman
dalam hubungan mereka dengan orang tua, mereka secara psikologis lebih mampu
beradaptasi, memiliki kepercayaan diri yang baik dan menganggap dunia sebagai tempat
yang bersahabat dan tidak mencekam. Dampaknya terhadap sosial, gaya konflik yang mereka
pelajari dari orang tua, membantu mereka dengan baik megelola hubungan dengan teman.
3.6 Kekerasan dalam Keluarga
Hubungan keluarga bukan saja hubungan yang paling berkonflik, tetapi juga yang
secara fisik paling keras dalam hubungan interpersonal yang dialami seseorang (Straus 1990,
1994; Straus dan Gelles 1990). Selain perubahan signifikan dalam norma sosial AS selama
hampir 50 tahun yang telah melakukan tindakan hukum menyangkut tindak kekerasan
(mencakup menendang, meninju, dan memukul dengan objek sepeti ikat pinggang) tindakan
yang tidak dapat diterima dan ilegal dalam hubungan suami-istri, orang tua-anak, dan
hubungan antar saudara. Data dari sample nasional tahun 2008 menunjukkan 18% anak-anak
dan remaja pernah mengalami kekerasan fisik di rumah mereka, 10% melihat orang tuanya
dipukul oleh pasangannya (ayah atau ibunya), dan 5% melihat orang tua mereka secara fisik
dianiaya oleh salah satunya (Hamby et al, 2011). Dalam survey yang dilakukan pada
hubungan saudara, 36% anak-anak dan remaja dilaporkan mendapatkan kekerasan fisik
dalam konflik yang terjadi antara saudara (Finkelhor, Turner dan Hamby 2005). (15:09)

3.6.1 Konflik dan kekerasan


Tidak semua konflik keluarga melibatkan kekerasan, akan tetapi konflik dan kekerasan saling
berhubungan, biasanya kekerasan, meskipun tidak selalu, diawali oleh (nonviolent) konflik.
Pada keluarga yang mengalami kekerasan, konflik dalam kekerasan keluarga biasanya
berperan sebagai pertanda. Dalam keluarga, kekerasan fisik merupakan kelanjutan dari
konflik interpersonal dengan beragam maksud. Tidak semua kekerasan dalam keluarga,
ditandai oleh konflik. Beberapa bentuk kekerasan, seperti kekerasan psikologis, fisik atau
kekerasan seksual, terjadi dalam proses keluarga dan tidak memiliki hubungan dengan
konflik.
Konflik keluarga dikonseptualisasikan memiliki rangkaian intensitas, mulai dari
penyelesaian masalah intensitas rendah pada akhir rangkaian, kepada perkelahian fisik
intensitas tinggi pada akhir rangkaian (contoh, Straus 1990, 1994). Dalam konseptualisasi
ini , konflik kekerasan keluarga dapat dijelaskan sebagai satu fungsi dari faktor yang sama,
yang menjadikan intensitas konflik keluarga non-kekerasan lebih tinggi. Faktor-faktor yang
dihubungankan dengan peningkatan intensitas konflik telah menjadi masukan yang penting,
faktor-faktor tersebut antara lain, signifikasi personal atau relasional terhadap isu konflik, dan
frustasi yang berasal dari proses komunikasi itu sendiri (Donohue dan Kolt 1992). Sebagai
contoh, intensitas konflik dapat meningkat karena konflik mencakup kebutuhan angota
keluarga dibandingkan kepentingan, dimana kebutuhan terkait dengan tujuan identitas, dan
personal, sedangkan kepentingan terkait dengan tujuan instrumental. Selain hal tersebut,
peningkatan intensitas dapat terjadi karena satu atau lebih kelompok dalam konflik menjadi
frustasi dengan proses konflik komunikasi (Gottman, 1991, 1993) atau proses tersebut dapat
mempertaruhkan satu kebutuhan penting, seperti kesan baik dan buruk (Brown dan levinson
1987).
3.6.2 Konsekuensi Kekerasan dalam Keluarga
Tujuan penelitian untuk memahami hasil dari kekerasan dalam keluarga berujung pada
penelitian tentang hasil dari kekerasan antar pasangan bagi pasangan yang dipukuli (Contoh,
Johnson dan Ferrraro 2000) atau hasilnya bagi anak-anak (contoh, Gershoff 2002). Hasil
menunjukkan bahwa anak-anak yang mengalami kekerasan dalam keluarga cenderung lebih
mungkin melakukan hal serupa pada hubungan mereka dengan teman seumuran dan pada
hubungan dewasa di masa depan (Carr dan VanDeusen 2002; Salzinger et al. 2002; Simons,
Lin dan Gordon 1998; Straus dan Yordanis 1996; Swinford et al. 2000; Whifield et al. 2003;

Yexley, Borowsky dan Ireland 2002). Sebagai contoh, Salzinger dkk. (2002) menggambarkan
penelitian mengenai pengaruh dari kekerasan pasangan dan kekerasan fisik terhadap anak,
kemudian mereka menemukan bahwa anak-anak yang mengalami tindak kekerasan
menunjukkan secara signifikan tingkat kekasaran dan perkelahian yang tinggi dan enam kali
lebih mungkin dinilai sebagai antisosial oleh teman-teman dan gurunya. Carr dan VanDausen
(2002) meneliti tentang kekerasan antar orang tua dan agresi orang tua-anak sebagai alat
untuk memprediksi kekerasan yang terjadi pada pasangan inti laki-laki muda dalam contoh
satu kampus. Hasilnya mengidentifikasikan bahwa, menyaksikan kekerasan antar orang tua
dan mengalami kekerasan pada saat kanak-kanak dapat mendorong terjadinya kekerasan fisik
pada hubungan percintaan.
Ada beberapa penjelasan teoritis tentang hubungan kekerasan keluarga dengan
dampak negatif bagi psikologis dan sosial anak-anak. Sebagian besar peneliti mencari tahu
tentang pengaruh kekerasan keluarga yang menerapkan satu model dari intergenerational
transmission of violence. Model ini menyatakan bahwa anak-anak yang mengalami atau
menyaksikan kekerasan dalam keluarga mereka akan terbiasa melihat kekerasan interpersonal
sebagai satu hal yang normal dan merupakan bagian yang tidak bisa dihindari hubungan
interpersonal, sehingga mereka akan bertindak lebih keras dalam hubungan interpersonal
mereka (Gil-Gonzlez et al. 2008; Simons et al. 1998; Straus dan Yodanis 1996; Swinford et
al. 2000). Mengalami kekerasan keluarga tidak hanya mendorong anak-anak untuk bertindak
lebih keras dalalam hubungan interpersonal mereka, tetapi juga menjadi lebih toleransi
terhadap kekerasan fisik yang dilakukan oleh pasangan mereka. Oleh karena itu, anak-anak
yang terkena kekerasan fisik dalam keluarga beresiko tinggi untuk melakukan kekerasan
interpersonal sekaligus menjadi korban dari kekerasan tersebut (Whitfield et al. 2003)
3.7 Hukuman Jasmani
Satu bentuk dari kekerasn dalam keluarga yang dinilai unik bagi ubiquitousness (Holden,
Miller dan Hariris 1999) dan Contentiousness dimana penelitian mengenalnya sebgai satu
hak yang diterima oleh publik, adalah hukuman jasmani. Menurut Strauss (1990), hukuman
jasmani biasanya didefinisikan sebagai "penggunaan kekuatan fisik dengan maksud
menyebabkan anak kesakitan, tetapi tidak terluka, dengan tujuan koreksi atau pengendalian
perilaku anak" (hal.4), bedakan dengan kekerasan, yang didefinisikan debagai "tindakan
dengan maksud, atau niat menyakiti fisik atau melukai orang lain" (hal.7). Dikarenakan
perbedaannya tergatung pada niat dari aktor, yang mana berarti tidak terlihat atau ambigu,

akan sulit bagi kedua pihak dan peneliti untuk menentuan apakah satu tindakan merupakan
hukuman jasmani atau kekerasan.
Dikarenakan sulitnya menentukan antara hukuman jasmani dan kekerasan
interpersonal, dampak pengalaman bagi anak, tidak berbeda (tapi lihat Baumrind, Larzelere
dan Cowan 2002). Dalam tinjauan mengenai penelitan terhadap hukuman jasmani, Gershof
(2002) menemukan bahwa meskipun hukuman jasmani biasanya menghasilkan keselarasan
jangka pendek, dampak jangka panjanganya bagi anak-anak akan sama dengan anak-anak
yang mengalami kekerasan dalam keluarga. Hasil semacam itu meningkatkan agresi, perilaku
antisosial, dan penurunan moral, rendahnya kualitas hubungan orang tua-anak, dan masalah
kesehatan mental bagi anak-anak (Gershoff 2002). Dampak yang mengikuti anak-anak
menjelasng usia dewasa antara lain, peningkatan resiko kriminalitas dan perilaku antisosial
dan kekerasan terhadap anak/keturunan sendiri (Gershoff 2002; Straus 1994). Penelitian lain
telah menghubungkan hukuman jasmani untuk meningkatkan perilaku (McKenzie dkk. 2011)
dan menunda perkembangan kognitif (Straus dan Paschall 2009).
Satu penjelasan untuk penemuan dimana konflik kekerasan dalam keluarga dan
hukuman jasmani memiliki hasil yang negatif yang serupa bagi anak-anak, meskipun hal
tersebut tergantung dari niat dan tujuan orang tua, pengalaman emosional dan fisik yang
dialami anak-anak akan sama saja. Meskipun orang tua dapat membedakan antara kekerasan
dan hukuman jasmani dilihat dari niat mereka, anak-anak belum tentu dapat membedakan,
dikarenakan mereka bergantung pada kesimpulan sendiri dalam menilai tujuan perilaku orang
tua mereka (Sillars dan Canary 2013).
Karena sebagian besar hukuman jasmani dilakukan oleh orang tua yang frustasi dan
marah, hal tersebut menampilkan satu bentuk komunikasi yang menyebalkan secara emosinal
dan koersif. Penjelasan lain mengapa pengaruh negatif dari hukuman jasmani tidak
terpisahkan dari kekerasan yang dilakukan orang tua, didasarkan pada korelasi fungsi dari
hukuman jasmani. Penggunaan hukuman jasmani cenderung menghalangi peluang bagi orang
tua untuk memanfaatkan metode pengendalian perilaku lainnya yang lebih berguna. Seperti
memberikan penjelasan

dan refleksi yang akaan mengembangkan kemampuan resolusi

konflik anak-anak (Straus dan Yodanis 1996). Semakin orang tua bergantung pada hukuman
jasmani, akan semakin sedikit peluang yang dapat disaksikan oleh anak-anak dan akan
semakinsedikit pula keterlibatan mereka dalam mengaplikasikan cara-cara non-violent untuk
mempengaruhi perlikau orang lain, dan mereka akan semakin bergantung pada kekerasan

fisik dibandingkan menggunakan strategi yang prososial. Seperti beberapa tipe kekerasan
keluarga lainnya, bukan jasmani mengajarkan anak-anak menggunakan cara penyelesaian
masalah yang tidak akan berhasil jika digunakan diluar keluarga dan karenanya akan
menghalangi perkembangan kompetensi dan fungsi sosial mereka.

4 Kesimpulan dan arahan di masa depan


4.1 Ringkasan
Tinjauan singkat tentang investigasi ilmiah sosial dalam komunikasi keluarga menunjukkan
bahwa sebagai upaya dari peneliti, penelitiaan komunikasi keluarga telah memberikan
kontribusi penting untuk pemahaman kita tentang hubungan dan proses dalam keluarga. Pada
saat yang bersamaan, bidang ini masih jauh dari matang dan mayoritas hasil penelitian
empiris dalam komunikasi keluarga berfokus pada menghasilkan pengetahuan tentang
hubungan antar variabel, khususnya dalam hal perkembangan anak. Sebagian besar, hasil
pekerjaan ini tidaklah ilmiah jika melihatnya dari uji hipotesis yang berasal dari model teori
yang telah mapan. Faktanya, apa yang disebut oleh kebanyakan peneliti sebagai teori atau
metode biasa memiliki frekuensi yang lebih rendah dibandingkan prediksi itu sendiri, dan
biasanya mengecewakan, satu-satunya justifikasi mengenai prediksi tersebut adalah telah
diobservasi

terlebih

dahulu.

Jika

ada

mekasnisme

yang

digarisbawahi

mampu

bertanggungjawab terhadap prediksi yang ditampilkan, hal tersebut biasanya bersifat implisit
dibandingkan diperjelas dengan penjelasan teoritis yang meyakinkan. Bukan berarti bahwa
para peneliti ini tidak memperhatikan teori apa yang harus digunakan. Sebaliknya, mereka
sangat memahami nilai teori dalam keilmuan dan mengetahui perannya di lapangan,
penelitian harus digerakkan oleh teori, bahkan jika pengetahuan empiris kolektif mengenai
komunikasi keluarga diangap tidak mampu untuk mengembangkan teori keilmuan yang
mapan. Oleh karena itu, kekurangan dalam teori komunikasi terutama disebabkan oleh
usianya yang masih sangat muda.
Review ini menunjukkan bahwa, selain anggapan mengenai kurangnya penelitian
hasil penelitian dalam komunikasi keluarga, ada beberapa contoh teori dan hasil empiris yang
telah dihasilkan. Bab ini telah berfokus pada aspek teoritis dan empiris dari program
penelitian ini, mereka biasanya dikembangkan oleh metode yang telah mengalami
perkembangan dan mapan, dan secara keseluruhan ditujukan untuk analisis statistik. Uji
hipotesis dan penelitian empiris lainnya dalam komunikasi keluarga akan sangat menantang

karena banyaknya data yang "berantakan" dan terdapat beragam tipe ketergantungan dalam
observasi yang menggugurkan asumsi dasar tentang metode statistik yang lebih tradisional.
Metode baru, seperti model kumpulan secara hirarki (hierarchically nested model), tidak
hanya mengendalikan kebergantungan semacam itu, tetapi juga dapat mengidentifikasi
tingkat individual dan pengaruh pada tingkat keluarga, dengan perkiraan yang lebih baik
dalam menggambarkan dan menguji keterkaitan antara variabel dan pada tingkat analisis
mana satu proses berjalan (lihat Bab 5, Caughlin dan Basinger; dan Bab 6, Liu).
Terakhir, review ini juga menunjukkan penelitian ilmiah yang menjajikan dalam
komunikasi keluarga. Seluruh teori yang direview pada bab ini bertujuan untuk mencapai
satu level kompleksitas yang sesuai dengan kompleksitas fenomena yang diinvestigasi. Pada
bagian awal dari bab ini, saya menuliskan bahwa terdapat banyak disiplin yang memiliki
kaitan dengan disiplin komunikasi, menganggap komunikasi sebagai satu terminologi yang
primitif. Sebagai sarjana komunikasi kita mengetahui bahwa komunikasi adalah pesan dan
perilaku nonverbal dengan makna yang tergantung tidak hanya dari penggunaan simbol dan
perilaku, tetapi juga proses afeksi dan kognitif individu, ruang fisik dimana interaksi dan
hubungan berlangsung, konteks sosial kultural, dan tuan rumah dari faktor-faktor yang
berdampak pada pemaknaan di dalam interaksi pemaknaan.
Review teori dalam bab ini menunjukkan adanya kompleksitas dan upaya untuk
menghadirkannya. Sebagai contoh, dalam teori manajemen privasi (Petronio 2002, 2010),
batasan hubungan tidak hanya memprediksi dengan siapa informasi pribadi tersebut
dibagikan, tetapi dengan siapa informasi pribadi tersebut disebarkan juga memprediksi
batasan disekitar hubungan keluarga, mengkhususkan pada hubungan berulang atau
hubungan dimana hubungan sebab akibat dapat merubah arah. Secarah lebih jelas, hubungan
sebab akibat satu arah akan lebih jelas secara konseptual dan lebih mudah untuk diteorikan
dan untuk diuji secara empiris, akan tetapi fenomena aktual tidak dapat diringkas menjadi
penjelasan sebab akibat yang linear. Meskipun hal ini membuat teori manajemn privasi
menjadi lebih sulit untuk diuji, hal tersebut juga akan membuat teori ini menjadi lebih valid
dan terutama menjadi teori yang lebih kuat.
Komunikasi keluarga tidaklah berdiri sendiri; namun, berada dalam serangkaian
sistem perintah yang tersusun secara hirarki, yang mana saling bergantung antar satu sama
lain. Teori komunikasi membutuhkan pengakuan dari sistem tersebut dan pengaruh yang
dimiliki pada komunikasi, bahkan jika hal tersebut mengharuskan pembuatan teori tentang

proses yang terlihat jauh dari interaksi atau sistem keluarga. Salah satu contoh teori yang
dimaksud adalah Affective Exchange Theory (AET) (Floyd 2001; Floyd dan Morman 2003),
yang mengatakan bahwa perilaku komunikasi terjepit oleh proses kognitif yang mana telah
berevolusi karena tekanan dan hal tersebut, secara tidak sadar (alam bawah sadar),
mempengaruhi cara kita berpikir dan merasakan tentang anggota keluarga kita, dan sebagai
konsekuensinya, bagaimana cara kita berkomunikasi dengan mereka. Tekanan evolusioner ini
telah terjadi sejak sepulu ribu tahun lalu didalam keluarga yang bekerja dan terorganisir
seperti kondisi keluarga saat ini, akan tetapi masih berdampak pada bagaimana keluarga
modern saat ini berkomunikasi. Pada akhirnya, teori ilmiah terbaik mengetahui dan
menunjukkan kompleksitas komunikasi keluarga dan memberikan penjelasan yang
sederhana.
4.2 Arah di Masa Depan
Meskipun sulit untuk memprediksi masa depan, setidaknya dalam masa singkat dua
perkembangan akan secara signifikan mempengaruhi investigasi ilmiah mengenai
komunikasi keluarga. Pertama adalah teori yang mendukung penelitian tentang komunikasi
keluarga akan menjadi semakin kompleks untuk dapat mengimbangi kompleksitas perilaku
yang ingin deketahui. Dalam proses ini, ada beberapa peluang dimana teori yang mengerucut
akan menjadi meluas dan akan membuat koneksi teoritis dengan teori yang mengerucut
lainnya, dimana satu sama lain akan dapat saling menjelaskan, dan juga pada fenomena yang
berbeda. Sebagai contoh, belum ada alasan teoritis mengenai bagaimana konflik keluarga
harus ditangani berbeda dengan hukuman jasmani, dan mengapa manajemen privasi harus
dibedakan dengan pengasuhan. Sudah jelas, bahwa fenomena ini berhubungan dan
pengetahuan serta teori mengenai satu fenomena harus berguna dalam memahami yang
lainnya. Adalah suatu kemungkinan besar dimana teori yang mengerucut berubah menjadi
model yang lebih luas, lebih komprehensif, dan didasarkan pada "teori besar" mengenai
hubungan, seperti halnya teori evolusi.
Perkembangan kedua yang akan mempengaruhi penelitian di masa depan adalah
kesadaran akan keluarga nontradisional dan penerimaan sosial yang lebih besar dan cara
pandang yang disukai oleh keluarga ini. Peningkatan perhatian yang diberikan oleh peneliti
komunikasi keluarga terhadap keluarga nontradisional dan kompleks seperti, keluarga dengan
orang tua tunggal, keluarga campuran, keluarga angkat, dan keluarga multi generasi dan
keluarga yang dibentuk melalui jalan reproduksi buatan atau adopsi, membuka rangkaian

variabel baru yang membutuhkan perhatian lebih banyak. Contoh variabel tersebut termasuk
norma-norma budaya dan ekspektasi dalam pernikahan dan keluarga, persepsi terhadap
gender dan orientasi seksual, peran identitas diri dan keluarga, hubungan diantara saudara
bukan sekandung dan orang tua serta anak-anak, dan banyak lagi yang belum disebutkan.
Sampai saat ini, sebagian besar penelitian tentang hubungan keluarga berfokus pada
perbandingan dan melihat perbedaan keluarga-keluarga ini dengan bagian yang lebih
tradisional, yaitu keluarga inti. Hasilnya, bagaimana komunikasi dan hubungan dalam
keluarga ini terkonseptualisasikan belum dapat menggapai tingkatan yang sama untuk
kemapanan teori , sebagaimana beberapa hasil kerja yang telah direview pada bab ini, dan hal
tersebut juga bererti bahwa keluarga tradisional memberikan standar fungsi dan kesejahteraan
(Koerner dan Fitzpatric 2013). Trend mengenai penjelasan teoritis yang lebih kompleks
menyangkut komunikasi keluarga, menunjukkan bahwa pemahaman mengenai hubungan ini,
termasuk variabelnya akan mengalami peningkatan yang dramatis di masa depan.

Vous aimerez peut-être aussi