Vous êtes sur la page 1sur 13

PENGELOLAAN DELTA YANG BERKELANJUTAN : BEYOND ICM

Prof. Dr. Ir. H. Tridoyo Kusumastanto, MS


Direktur
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor
(PKSPL-IPB)

I.

Pendahuluan
Sebagai sebuah negara kepulauan (archipelagic country) terbesar di dunia, Indonesia
dikaruniai pulau besar dan kecil yang berjumlah sekitar 17.500an dan dengan garis
pantai sepanjang 95.181 km menempatkan Indonesia sebagai wilayah yang memiliki
sumberdaya pesisir dan laut yang penting di dunia. Dengan panjang pantai yang
merupakan urutan ke 4 dunia setelah Canada, Amerika Serikat dan Rusia (World
Resources Institute, 2001), Indonesia memiliki wilayah pesisir yang sangat luas dan
diantaranya merupakan delta yang memiliki karakteristik khas.

Dalam dasawarsa

terakhir ini, pembangunan berbasiskan pesisir dan lautan mulai mendapat perhatian Hal
ini merupakan suatu hal yang wajar, mengingat demikian besarnya potensi sumberdaya
di wilayah pesisir dan lautan.

Namun demikian, pembangunan yang selama ini

dilakukan sayangnya tidak diiringi oleh tindakan perlindungan lingkungan yang


memadai, sehingga lingkungan sering dikorbankan dan pengembangan ekonomi tidak
seimbang dengan perlindungan lingkungan.
Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memiliki atribut yang khas dan memiliki
karakter tersendiri. Ekosistem pesisir memiliki karakter yang kompleks dimana di
dalamnya berlangsung hubungan timbal balik antar komponen penyusun ekosistem
terrestrial maupun laut. Hal ini dapat dimengerti mengingat letak wilayah pesisir yang
merupakan pertemuan antara sistem daratan dengan sistem perairan laut.

Pertemuan

antara ekosistem daratan dan lautan inilah yang menyebabkan keragaman ekologi
wilayah pesisir menjadi sangat tinggi. Selain memiliki karakter darat dan laut, wilayah
pesisir juga memiliki kekhasan endemik wilayah pesisir yang tidak dijumpai di ekosistem
daratan maupun lautan.

Setidaknya tercatat beberapa ekosistem penting di kawasan

pesisir antara lain : ekosistem mangrove, hutan pantai, hutan rawa pantai, estuaria,
terumbu karang, padang lamun, lahan basah, pantai lumpur, pantai berbatu dan
ekosistem pelagis dangkal.

Keseluruh ekosistem tersebut menyimpan sumberdaya

hayati yang besar dan sekaligus rentan terhadap perubahan yang melebihi kapasitas
daya dukungnya.

Secara historis-demografis, kawasan pesisir merupakan kawasan yang telah lama


dihuni oleh manusia, dikarenakan letaknya yang strategis dan subur.

Kawasan pesisir

selain menyimpan sumberdaya hayati yang tinggi juga menyediakan berbagai jasa
lingkungan, seperti sebagai areal pelabuhan, jalur transportasi, kawasan industri,
kawasan pariwisata dan rekreasi, kawasan tambak dan tempat pembuangan limbah.
Salah satu kawasan pesisir yang perlu segera mendapat perhatian karena tekanan yang
tinggi untuk kepentingan ekonomi adalah delta, sehingga perlu dilakukan upaya untuk
mengelolanya secara berkelanjutan.

2. Urgensi Pengelolaan Delta


Delta adalah area pertemuan air tawar dan air asin, nutrien yang terbawa mendorong
proses ekologi dan produktivitas perairan yang tinggi sehingga membuat delta
merupakan wilayah yang memiliki peran penting baik dalam biodiversitas, maupun
peran sosial ekonomi karena kelimpahan sumberdaya (pulih maupun tidak pulih) serta
sebagai tempat berbagai aktivitas lainnya seperti industri dan transportasi. Wilayah delta
yang merupakan bagian dari wilayah pesisir selama ini juga cenderung mengalami
tekanan ekologi dan kurang mendapat perhatian yang serius untuk mengatasi
kerusakan yang ditimbulkan oleh manusia maupun alam. Kerusakan delta yang terjadi
umumnya meliputi sedimentasi, polusi, turunnya kualitas habitat maupun biodiversitas
(Kusumastanto, 2001). Dengan tipologi yang spesifik, Indonesia dianugerahi berbagai
macam delta, baik dalam kategori city delta maupun rural delta di Sumatera, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi hingga Papua. Tekanan ekonomi dan intensitas pembangunan
menyebabkan hampir semua wilayah delta tersebut mengalami degradasi yang
signifikan. Masalah ini tidak hanya dipicu oleh permasalahan di delta tetapi juga oleh
kerusakan di wilayah hulu daerah aliran sungai yang terkait dengan delta tersebut
maupun pengaruh aktivitas laut serta faktor alam seperti arus, gelombang atau
perubahan iklim. Kepentingan pembangunan ekonomi yang tinggi dalam pemanfaatan
delta menutupi kepentingan lingkungan yang dapat diperankan oleh delta sehingga
aktivitas mengarah hanya kepada pemanfaatan dan eksploitasi tanpa memperhatikan
integritas ekosistem yang sangat penting bagi kesejahteraan masyarakat maupun
keberlanjutan delta. Kondisi pemanfaatan delta saat ini mengarah pada kerusakan
sehingga pengelolaan dan upaya restorasi delta mutlak dilakukan untuk kepentingan
pembangunan secara berkelanjutan.

4. Pengelolaan Delta : Studi Kasus Delta Mahakam


Delta Mahakam secara fisik terdiri dari sejumlah pulau yang telah terbentuk sejak ribuan
tahun lalu, yang berada di sekitar muara Sungai Mahakam, Kabupaten Kutai
Kertanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Dengan demikian maka kawasan Delta
Mahakam memiliki keterkaitan ekologis dengan hulu Sungai Mahakam yang mengalir ke
arah hilir di Selat Makassar. Delta Mahakam adalah wilayah pesisir yang merupakan
tempat pertemuan air tawar dan air asin serta dipengaruhi oleh pasang surut air laut, di
mana komunitas ekosistem yang ada di kawasan seperti ini biasanya merupakan
campuran beberapa spesies dari dua habitat yang berbeda sehingga memiliki
keanaeka- ragaman hayati yang tinggi.
Seiring dengan besarnya potensi ekologis dan ekonomi Delta Mahakam, maka
perkembangan jumlah penduduk di wilayah ini meningkat pesat, khususnya di wilayah
pesisir Delta Mahakam. Perkembangan jumlah penduduk yang didominasi oleh arus
imigrasi ini menimbulkan konsekuensi logis pada perubahan ekosistem pesisir,
khususnya kerusakan hutan mangrove. Kerusakan sistemik ekosistem mangrove yang
dikonversi ke pemanfaatan lain seperti tambak, pemukiman, industri dan lain
sebagainya dapat menyebabkan kerusakan ekosistem keseluruhan Delta Mahakam,
apabila tidak dikendalikan dan dikelola dengan baik. Padahal dari sisi peraturan, Delta
Mahakam adalah Kawasan Budididaya Kehutanan yang tidak dengan begitu saja dapat
dikonversi. Pada saat ini sulit ditemui hutan mangrove dalam kondisi baik di berbagai
wilayah di Indonesia, hal yang sama terjadi di kawasan Delta Mahakam yang saat ini
hutan mangrovenya banyak di konversi untuk pengusahaan tambak atau pemukiman.
Dalam rangka mengembalikan fungsi keberadaan ekosistem hutan mangrove perlu
dilakukan pengelolaan yang baik dan bijaksana, di antaranya dengan cara melakukan
realokasi pemanfaatan/penggunaan lahan di wilayah pesisir, rehabilitasi lingkungan dan
pembuatan sabuk hijau (green belt) mangrove di sepanjang pantai dan tepi sungai.
Kondisi lingkungan Delta Mahakam saat ini sangat kritis, dengan indikasi ekosistem
mangrove yang merupakan ekosistem dominan delta, kini mengalami tekanan yang luar
biasa, karena lebih 80% luasan mangrove yang ada telah dirubah peruntukannya dan
sebagian besar menjadi kawasan pertambakan (Kusumastanto, 2009). Berdasarkan
Citra Satelit SPOT, dapat dilihat kecenderungan penurunan luasan ekosistem mangrove
dan vegetasi yang terus meningkat (Gambar 1) dan berubah fungsi menjadi tambak.

Luas hutan mangrove di Delta Mahakam semula diperkirakan mencapai 120.00 ha,
namun saat ini yang tersisa hanya 20 %-nya (Creocean, 2000). Gambar 1 berikut
adalah gambaran perubahan penggunaan lahan dari tahun 1992-1998.

Gambar 1. Gambaran sebagian Delta Mahakam dari Citra satelit SPOT. Warna merah
mengindikasikan tutupan vegetasi, termasuk hutan mangrove. (a) Tahun
1992, tambak udang hanya meliputi 4 % dari luas hutan mangrove. (b).
Tahun 1998, tambak udang telah merusak 41% dari luas hutan mangrove.
(c) Inset dari daerah di dalam kotak bergaris putih pada gambar (b),
menunjukkan pola tambak yang berkembang di kawasan tersebut.
(Diadaptasi dari berbagai sumber, 2009)
Demikian pula laju perubahan di lahan mangrove di atas diikuti dengan meningkatnya
secara drastis luasan tambak yang dibuka, hal ini menunjukkan keterkaitan kuat bahwa
deforestasi yang terjadi adalah untuk dibuka menjadi tambak dan pemukiman. Laju
deforestasi besar-besaran terjadi sekitar tahun 1991-1996.

Gambar 2 menunjukkan

tren deforestasi mangrove di wilayah ini. Sementara Gambar 3 menunjukan bahwa


seiring dengan berkurangnya luasan hutan nipah (Nypa sp) dan hutan bakau diikuti
dengan meningkatnya luasan tambak.

Luas mangrove (ha)

Gambar 2. Laju Deforestasi Delta Mahakam dari Tahun ke Tahun (Creocean dalam
PKSPL IPB, 2009)

Gambar 3. Proses perubahan lahan secara drastis di Delta Mahakam sebagai dampak
krisis moneter. Perubahan paling besar dialami oleh hutan nipah
(dimodifikasi dari Bourgeois et al., 2002).
Hilangnya hutan mangrove berpengaruh terhadap penurunan daya dukung fisik pesisir,
yang dapat berakibat pada penurunan potensi sumberdaya perikanan, intrusi air laut,

peningkatan laju abrasi dan hilangnya biodiversitas. Semenjak tahun 1996, laju abrasi
diperkirakan mencapai sekitar 1.4 km2 per tahun; sementara sebelumnya hanya sekitar
0.13 km2 per tahun (Levang, 2002).
Akibat laju deforestasi ini juga berupa peningkatan laju abrasi pantai sebesar 10 kali
lipat yang diakibatkan oleh tidak adanya greenbelt. Dampak lainnya yang sekarang
dirasakan adalah intrusi air laut ke sumur-sumur di wilayah-wilayah hilir delta sampai
puluhan kilometer, sehingga air menjadi payau, terutama saat musim kemarau. Hal ini
terjadi karena ekosistem mangrove yang dulu menjadi filter alam sekarang sudah hilang
sehingga air laut jauh masuk ke wilayah delta.
Ancaman terbesar dari hilangnya ekosistem mangrove adalah hilangnya

sumber

kehidupan alami bagi sumberdaya hayati perikanan maupun non perikanan, seperti
hilangnya spesies air tawar, jenis mangrove yang tidak tahan air asin karena masuknya
air laut sampai jauh, hilangnya tempat bertelur, sumber pakan ikan, tempat memijah dan
tempat pengasuhan bagi sumberdaya ikan laut, sehingga stok ikan di laut berkurang.
Bila melihat kondisi nyata Delta Mahakam maka sangat mendesak dilakukan langkahlangkah untuk memperbaiki kondisi yang mengkhawatirkan tersebut. Beberapa program
pengelolaan Delta Mahakam telah diusahakan, namun belum dapat mengatasi masalah
yang dihadapi, diantaranya diakibatkan oleh factor-faktor yang menjadi kendala yakni
belum adanya penataan ruang yang baik dan memiliki kekuatan hukum, tumpang tindih
kewenangan dan kelembagaan dalam pengelolaan, berkembangnya aktivitas yang
merusak kawasan delta, serta rendahnya kesadaran masyarakat dalam mengelola
lingkungan.

4. Pendekatan Pengelolaan Delta: IRCOM


Wilayah delta memiliki hubungan yang sangat erat dengan daerah hulu dan laut
sehingga pendekatan pengelolaan pesisir terpadu (Integrated Coastal ManagementICM) harus diperluas. Sehingga pengelolaan delta tidak akan terlepas dari pengelolaan
daerah aliran sungai (DAS) maupun pengelolaan wilayah laut maupun lautan yang
memiliki keterkaitan ekologis dengan delta. Dengan demikian pengelolaan delta sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari pesisir harus menggunakan dasar pengelolaan

berbasis ekosistem yang luas (large based ecosystem) karena adanya keterkaitan yang
erat antara DAS, pesisir maupun laut/lautan. Sehingga konsepsi ICM dikembangkan
menjadi IRCOM (Integrated River Basin, Coastal and Ocean Management). Konsep
dasar dari IRCOM ini adalah bahwa dalam pengelolaan pesisir, kondisi ekologi, ekonomi
dan sosial yang dikaji tidak hanya wilayah pesisirnya saja, tetapi juga kondisi yang sama
untuk wilayah DAS, karena justru sebagian besar limbah dan partikel tersuspensi yang
masuk ke wilayah pesisir berasal dari DAS. Limbah dan partikel tersuspensi tersebut
tidak saja terbawa oleh aliran air pada saat hujan, tetapi secara terus menerus dibuang
ke sungai melalui saluran pembuangan limbah sehingga andilnya sangat besar terhadap
pencemaran yang terjadi di wilayah delta. Selain hal tersebut, pengelolaan pesisir juga
dipengaruhi oleh aktivitas laut/lautan diantaranya arus, gelombang, polusi maupun
bencana yang berasal dari laut/lautan, perubahan permukaan laut sehingga perspektif
pengelolaan pesisir harus mempertimbangkan laut/lautan sebagai faktor penting bagi
keberhasilan pengelolaan (Kusumastanto, 2008).
Melalui IRCOM, tidak saja akan diketahui tingkat pencemaran yang terjadi di wilayah
pesisir, tetapi juga akan diketahui proses-proses alami yang terjadi di sekitar DAS
seperti siklus air, transfer material dan energi yang terjadi di sekitar DAS serta
pengaruhnya pada wilayah pesisir. Selain itu, akan diketahui pula aktivitas-aktivitas
manusia yang berada di sekitar DAS dan wilayah pesisir yang mempengaruhi prosesproses alami yang terjadi seperti urban development (perumahan, industri dan
sebagainya), rural activities (kehutanan, peternakan, pertanian, perikanan, dan
sebagainya), serta infrastruktur (irigasi, bendungan, pintu air dan dam). Dari sisi laut
dapat diketahui dan sekaligus direncanakan berbagai implikasi dari kegiatan ekonomi
maupun aktivitas laut seperti gelombang, arus serta berbagai aspek perubahan laut
yang diakibatkan oleh perubahan iklim (sea level rise dlsb) serta mitigasi bencana yang
diakibatkan gempa di laut (dampak tsunami), polusi yang berasal dari laut/lautan.
Pendekatan IRCOM bukan pendekatan yang instan dan singkat, tetapi merupakan
sebuah pendekatan yang terintegrasi, menyeluruh dan rinci, karena meliputi beberapa
proses perencanaan pengelolaan lingkungan yang mendetail. Dalam konsep IRCOM,
dilakukan beberapa tahapan antara lain analisis kondisi eksisting, identifikasi konflik dan
peluang, identifikasi tujuan dan alternatif pengelolaan lingkungan untuk rencana aksi,
pengembangan strategi, implementasi dan monitoring serta evaluasi. Dengan demikian

maka penanganan permasalahan melalui pendekatan IRCOM sangat penting sekali


dilakukan, sehingga akar permasalahan tentang pencemaran air, kondisi alam dan
dinamika fisik persebaran bahan pencemar, jenis-jenis pencemaran, penyebab
pencemaran dan efek dari pencemaran terhadap mahluk hidup diharapkan dapat
terjawab melalui pendekatan ini.

Sehingga, langkah-langkah yang dapat diambil

(effective prevention measures) sebagai sebuah jawaban terhadap penyelesaian


permasalahan degradasi delta dapat dilaksanakan dengan tepat.
Pengelolaan yang terpadu antara kawasan pesisir, DAS dan lautan dibutuhkan agar
pemanfaatan secara optimal sumberdaya delta dapat dilakukan. Pengelolaan kawasan
pesisir, DAS, lautan secara terpadu akan mengkaitkan sistem alam, ekonomi, dan
lingkungan serta proses ekologi sehingga tekanan terhadap ekosistem kawasan pesisir,
DAS dan laut yang terkait dengan delta dapat dilakukan secara terintegrasi.
Interkorelasi antar sub-wilayah dalam wilayah DAS, pesisir dan laut yang memiliki tujuan
akhir kepada pengelolaan wilayah yang berkelanjutan disajikan pada Gambar 4 sebagai
berikut:

Gambar 4.
1999)

Kerangka Berkelanjutan Pengelolaan Wilayah ( diadaptasi dari Debance,

5. Pengelolaan Delta Berkelanjutan


Pemecahan permasalahan dalam pengelolaan delta memerlukan pendekatan yang
komprehensif dan terintegrasi serta dalam implementasinya perlu melibatkan seluruh
stakeholders, baik pemerintah daerah, masyarakat maupun pelaku aktifitas ekonomi
(industri, pengusaha, nelayan, dan pihak lainnya).

Pendekatan dalam pemecahan

masalah ini pada prinsipnya dapat dilakukan melalui pendekatan ekosistem, ekonomi,
sosial dan kelembagaan.
5.1. Pendekatan Ekosistem
Pendekatan ekosistem dalam pengelolaan kawasan delta adalah pengelolaan yang
dilakukan dengan berbasiskan kepada pengetahuan dan pemahaman kondisi ekosistem
perairan di kawasan delta.

Seperti diketahui, delta adalah sebuah ekosistem perairan

pesisir, semi tertutup dan merupakan perairan yang sangat dipengaruhi oleh masukan
air dari daratan melalui sungai maupun dari laut. Dalam arti kata, ekosistem perairan
pesisir, delta tidak berdiri sendiri dan sangat dipengaruhi oleh ekosistem daratan melalui
sungai dan laut lepas. Sehingga, pengelolaan kawasan delta tidak bisa di lepaskan dari
pengelolaan kawasan DAS serta lautan.

Pengelolaan kawasan DAS, dan laut/lautan,

sesuai dengan pendekatan IRCOM menjadi penting mengingat, khususnya dalam hal
pencemaran perairan, sumbangan bahan pencemar terbesar nampaknya masih
didominasi oleh masukan dari sistem DAS. Demikian pula ekosistem dan aktivitas
berbasiskan laut juga berpengaruh terhadap pengelolaan delta, misalkan red tide,
dampak perubahan iklim yang mengakibatkan naiknya paras muka laut, tsunami atau
pencemaran minyak yang berasal dari laut (seaborne).

5.2. Pendekatan Sosial-Ekonomi-Budaya


Ditinjau dari aspek sosial ekonomi dan budaya, pengelolaan wilayah delta beserta
sumberdaya alam di dalamnya, seharusnya memberikan manfaat terbesar kepada
masyarakat pesisir sebagai pelaku utama pemanfaat/pengelola sumberdaya tersebut.
Oleh karena itu, segala aktivitas pembangunan di wilayah delta diarahkan untuk
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pesisir tanpa mengorbankan
aspek-aspek sosial budaya masyarakat setempat serta kelestarian sumberdayanya..
Dengan demikian kebijakan pengelolaan pesisir ditinjau dari aspek sosial, ekonomi dan
budaya yang harus diterapkan diantaranya sebagai berikut:

Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pesisir sekitar delta


dan memastikan bahwa mereka mendapatkan manfaat sebesar-besarnya dari
kegiatan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya delta.

Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan dan pengelolaan


sumberdaya delta dalam kerangka pengelolaan berbasis IRCOM.

Memasyarakatkan pengelolaan delta yang berkelanjutan dan diikuti dengan


upaya-upaya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pesisir,
melalui pengembangan mata pencaharian alternatif agar aktivitas pemanfaatan
tidak melebihi daya dukung delta.

Pengelolaan wilayah delta seyogyanya disesuaikan dengan kondisi sosial


budaya masyarakat, kearifan-kearifan yang ada di masyarakat, kebutuhan dan
kemampuan masyarakat pesisir.

5.3.

Pendekatan Sosial-Politik

Suatu kegiatan pembangunan berkelanjutan khususnya di wilayah pesisir dan lautan


hanya dapat dicapai apabila didukung oleh suasana politik yang kondusif dan
transparan.

Agar program pengelolaan delta dapat berjalan dengan baik, maka

kebijakan pengelolaan wilayah delta dalam aspek sosial politik meliputi:

Perencanaan pengelolaan wilayah delta harus dilakukan secara independen


tanpa ada tekanan dari pihak lain. Artinya bahwa pihak perencana harus bebas
menentukan arah pengelolaan wilayah delta berdasarkan kaidah-kaidah

10

pembangunan yang berkelanjutan dengan memrtimbangkan kepentingan


seluruh stakeholders.

Penyusunan perencanaan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya di


wilayah delta hendaknya dilakukan secara bijaksana denga membertimbangkan
aspek ekologis, sosial dan ekonomi.

Proses penyusunan perencanaan pembangunan wilayah delta hendaknya


dilakukan dalam dua arah, yaitu perencanaan yang bersifat bottom up dan
perencanaan yang bersifat top down. Dengan demikian terdapat keseimbangan
antara kepentingan pemerintah dengan kepentingan masyarakat yang lebih luas
serta mendapat dukungan politik sehingga agenda pengelolaan delta diadopsi
oleh eksekutif dan legislatif agar program yang dilaksanakan dapat didukung
oleh stakeholders.

Pembangunan dan pengelolaan sumberdaya pesisir khususnya delta,

juga

harus diikuti pendidikan politik bagi seluruh pelaku pembangunan di wilayah


pesisir, untuk menciptakan kesamaan pandangan terhadap pengelolaan wilayah
delta.
5.4.

Pendekatan Hukum dan Kelembagaan

Pengaturan hukum dan kelembagaan dalam pemanfaatan sumberdaya delta, pada


dasarnya merupakan unsur penting bagi pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir dan
laut.

Oleh karena itu pengaturan hukum dan kelembagaan hanya akan dapat

memberikan peranannya secara maksimal apabila kebijakan pengelolaan sumberdaya


delta telah ditetapkan didasarkan pada aspek legal yang kuat serta dukungan lembaga
yang dapat berperan aktif. Pemilihan kebijakan pengelolaan harus memiliki landasan
teoritis dan praktis dengan mempertimbangkan kemampuan sumberdaya alam yang
tersedia serta proyeksi pemanfaatannya di masa depan, baik untuk sumberdaya pulih,
tidak pulih maupun untuk jasa-jasa lingkungan di wilayah delta. Peranan pengaturan
hukum dan kelembagaan sangat menentukan bagi keberlanjutan pelaksanaan kebijakan
yang telah menjadi pilihan guna mencapai tujuan pengelolaan delta secara
berkelanjutan.

11

6. Penutup
Pengelolaan delta sebagai bagian pengelolaan pesisir sangat mendesak untuk
dilaksanakan mengingat telah terjadi kerusakan ekosistem delta yang tedapat di
berbagai wilayah di Indonesia. Konsepsi pengelolaan delta harus dalam perspektif yang
lebih luas dari pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, mengingat keterkaitan
ekosistem DAS maupun laut/lautan yang sangat erat.

Dengan pendekatan IRCOM

maka berbagai aspek yang meliputi aspek ekosistem, sosial dan ekonomi pada ke tiga
ekosistem utama yang berpengaruh pada pengelolaan delta dipertimbangkan secara
terintegratif sehingga pengelolaan delta dapat lebih komprehensif guna mencapai
keberlanjutan delta serta memberi manfaat pada masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Adrianto, L. and Y. Matsuda. 2002. Developing Economic Vulnerability Indices of
Environmental Disasters in Small Islands Regions. Environmental Impact Assessment
Review 22 : 393-414 pp.
Adrianto, L and Y. Matsuda. 2004. Study on Assessing Economic Vulnerability of Small
Islands Regions. Environment, Development and Sustainability 6 : 317-336 pp.
Briguglio, L. 1995. Small Island Developing States and Their Economic Vulnerabilities.
World Development, 23 (9), 1615-1632.
Briguglio, L. 2000. An Economic Vulnerability Index and Small Island Developing
States : Recent Literatures. Working Paper, Kagoshima University Pacific Islands
Studies Center. Kagoshima, November 29, 2000.
Debance, K.S. 1999. The Challenges of Sustainable Management for Small Island.
[online]. Available online at http://www.insula.org/islands/small-islands.html. Accessed
in May 25, 1999.
Hein, P.L. 1990. Economic Problems and Prospects of Small Islands, in : Beller, W., P.
dAyala and P. Hein (Eds). Sustainable Development and Environmental Management of
Small Islands. The Parthenon Publishing Group. Paris, France, New Jersey, USA. pp. 3544.
Kusumastanto, T. 2001. Management Model in the Implementation of Sustainable
Coastal Develeopment in Kusumastanto et al (Eds.). 2001. Optimizing Development and
Environmental Issues at Coastal Area: Problems and Solutions for Sustainable of
12

Mahakam Delta. Proceeding of International Workshop. Center for Coastal and Marine
Resources Studies. Bogor Agricultural University. Bogor.
Kusumastanto, T, 2003. Ocean Policy dalam Membangun Negara Bahari di Era Otonomi
Daerah, PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Kusumastanto, T. 2008. Current Status of Integrated Coastal Zones Management in
Indonesia. In Mimura, N (Ed.) 2008. Asia Pasific Coasts and Their Management. State of
Environment. Springer and EMECS. The Netherlands.
Kusumastanto, T. 2009. Penyelamatan Delta Mahakam. Seminar Delta Mahakam.
Samarinda, Kalimantan Timur.
Lonergan, S and B. Kavaragh. 1991. Climate Change, Water Resources and Security in
the Middle East. Global Environmental Changes 1 (4), 272-290.

13

Vous aimerez peut-être aussi