Vous êtes sur la page 1sur 11

BAB I

PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang Masalah

Penyelenggaraan pelayanan publik merupakan upaya negara untuk


memenuhi kebutuhan dasar dari hak-hak setiap warga negara atas barang, jasa,
dan pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyedia penyelenggara
pelayanan publik. Terkait dengan pelayanan publik yang dimaksud, UndangUndang Dasar 1945 mengamanatkan kepada negara untuk memenuhi kebutuhan
dasar setiap warga negara demi kesejahteraannya, sehingga efektivitas
penyelenggaraan suatu pemerintahan sangat ditentukan oleh baik buruknya
penyelenggaraan pelayanan publik. Disadari bahwa kondisi penyelenggaraan
pelayanan publik saat ini masih dihadapkan pada sistem pemerintahan yang belum
efektif dan efisien serta kualitas sumber daya aparatur manusia yang belum
memadai. Hal ini terlihat dari masih banyaknya keluhan dan pengaduan dari
masyarakat baik secara langsung maupun melalui media masa, terkait dengan
prosedur yang berbelit-belit, tidak ada kepastian jangka waktu, biaya yang harus
dikeluarkan, persyaratan yang tidak transparan, petugas yang tidak profesional,
sehingga menimbulkan citra yang kurang baik terhadap pemerintah (Marsono,
2009).
Saat ini banyak pelanggan yang sangat menuntut pelayanan prima di
instansi pelayanan publik, baik milik swasta maupun pemerintah. Pelayanan
pelanggan yang bermutu merupakan kunci sukses dan dasar untuk membangun
keberhasilan dan kepercayaan pelanggan. Yang disayangkan, sebagian besar
organisasi masa kini hanya berorientasi pada sisi teknis kinerja instansi dan hanya
meluangkan waktu sangat minim bagi sisi manusiawi. Berinteraksi dengan
pelanggan secara efektif membutuhkan berbagai prinsip, metode, serta keahlian
yang perlu dikenali, dipelajari, dan diterapkan. Sikap dan keahlian akan
menentukan bentuk pelayanan pelanggan yang bermutu (quality customer
service). Motivasi untuk melakukan yang terbaik merupakan bekal paling penting
bagi setiap pegawai dalam meningkatkan quality customer service (Oliver, 1997).
1

Penelitian tentang implikasi desentralisasi kesehatan yang dilakukan di


beberapa rumah sakit di Indonesia menunjukkan bahwa rumah sakit yang
berstatus otonomi (swadana) tidak jauh berbeda dengan rumah sakit yang tidak
swadana. Peningkatan pendapatan pada rumah sakit swadana tidak mengurangi
ketergantungan pada subsidi pemerintah. Tidak ada bukti efisiensi meskipun ada
beberapa indikasi bahwa insentif telah meningkatkan kehadiran dokter dan
perbaikan manajemen. Bahkan dengan otonomi ada beberapa rumah sakit yang
justru mengurangi akses masyarakat miskin pada layanan kesehatan. Hal ini bisa
dilihat dari temuan penelitian yang justru meningkatkan tarif layanan, tidak ada
subsidi silang bagi masyarakat miskin dan membatasi jumlah pasien kelas tiga.
Kejadian tersebut banyak terjadi pada rumah sakit umum yang dikendalikan oleh
pemerintah daripada rumah sakit swasta, disebabkan karena pendapatan
pemerintah daerah yang masih tergantung pada pendapatan rumah sakit. Kejadian
sama juga terjadi pada rumah sakit pusat daripada rumah sakit daerah provinsi
atau kabupaten karena dengan desentralisasi pemerintah daerah lebih mengetahui
akses kesehatan terutama untuk masyarakat miskin (Bossert et al.,1997).
Puskesmas sebagai salah satu institusi pelayanan publik memegang peranan
penting bagi peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Puskesmas dituntut untuk
dapat melayani masyarakat, dapat berkembang dan mandiri serta harus mampu
memberikan pelayanan yang bermutu dan terjangkau bagi masyarakat. Dengan
semakin tingginya tuntutan bagi Puskesmas untuk meningkatkan pelayanannya,
banyak permasalahan yang muncul terkait dengan terbatasnya anggaran yang
tersedia bagi operasional Puskesmas, alur birokrasi yang terlalu panjang dalam
proses pencairan dana, aturan pengelolaan keuangan yang menghambat
kelancaran pelayanan dan sulitnya untuk mengukur kinerja.
Puskemas sebagai Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) berpeluang untuk
dapat meningkatkan pelayanannya ke masyarakat. Puskesmas akan mengelola
sendiri keuangannya, tanpa memiliki ketergantungan operasional ke Pemerintah
Daerah (Pemda). Puskesmas dengan status BLUD seperti yang tertuang dalam
Permendagri Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum Daerah. Dalam hal ini, layanan kesehatan

diberikan keleluasaan dalam konteks mengelola baik dari sisi sumber daya
manusia (SDM) hingga penganggaran. Demi memberikan pelayanan yang lebih
maksimal terhadap masyarakat, maka perubahan Puskesmas menjadi BLUD
bukan tidak mungkin untuk diwujudkan. Melalui konsep pola pengelolaan
keuangan BLUD ini, Puskesmas diharapkan dapat meningkatkan profesionalisme,
mendorong enterpreneureship, transparansi, dan akuntabilitas dalam rangka
pelayanan publik, sesuai dengan tiga pilar yang diharapkan dari pelaksanaan Pola
Pengelolaan Keuangan (PPK) BLUD ini, yaitu mempromosikan peningkatan
kinerja pelayanan publik, fleksibilitas pengelolaan keuangan dan tata kelola yang
baik (Indrawati, 2007).
Penyusunan Standar Pelayanan Minimal (SPM) merupakan langkah awal
untuk melaksanakan janji dalam memperbaiki kualitas dan kinerja pelayanan
publik yang diamanatkan oleh PPK-BLUD. Setelah SPM tersusun, maka seluruh
unit kerja yang bertanggung jawab untuk menyediakan jenis pelayanan yang telah
dituangkan dalam SPM wajib mengupayakan agar SPM tersebut dapat dicapai
dengan menyusun standar-standar teknis yang merupakan panduan untuk
mencapai standar yang telah ditetapkan, dan mengembangkan kegiatan-kegiatan
perbaikan mengikuti siklus Plan-Do-Check-Action (World Health Organization,
1993).
Pemerintah sendiri telah melakukan reformasi keuangan negara yang mulai
bergulir sejak akhir tahun 2003, dengan dikeluarkannya tiga paket peraturan
keuangan negara yang baru, yaitu UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No. 15
Tahun 2005 tentang Pemeriksaan Keuangan Negara. Dengan ketiga paket
peraturan keuangan negara tersebut telah mengubah mindset atau pola pikir yang
lebih efisien, profesionalitas, akuntabel, dan transparan dengan melakukan
perubahan dari penganggaran tradisional menjadi penganggaran berbasis kinerja
yang membuka koridor bagi penerapan basis kinerja di lingkungan pemerintah
(Hag, 2009).
Berdasarkan Undang-undang tersebut, instansi pemerintah yang tugas pokok
dan fungsinya memberikan pelayanan kepada masyarakat dapat menerapkan pola

pengelolaan keuangan yang fleksibel, berupa keleluasaan untuk menerapkan


praktek-praktek bisnis yang sehat dalam rangka memaksimalkan pelayanan
kepada masyarakat dengan tetap menonjolkan produktivitas, efisiensi, dan
efektivitas melalui Badan Layanan Umum.
Sesuai amanat UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN) dan Undang Undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), untuk menuju tercapainya universal
coverage pelayanan kesehatan, maka pemerintah Kabupaten Kulon Progo telah
meluncurkan Program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Program Jamkesda
merupakan salah satu bentuk sistem jaminan kesehatan dan merupakan salah satu
program pembangunan kesehatan yaitu pengobatan gratis bagi penduduk di
Kabupaten Kulon Progo.
Menurut Kepala Bidang Pengembangan Sumber Daya Kesehatan Dinas
Kesehatan Kabupaten Kulon Progo, dengan status sebagai BLUD puskesmas bisa
memberikan pelayanan rawat inap yang optimal seperti halnya dengan rumah
sakit umum. Selain itu dengan beralihnya status puskesmas menjadi BLUD dapat
mendekatkan masyarakat pada layanan kesehatan yang lebih lengkap dan juga
mengurangi beban pada RSUD. RSUD Wates sendiri sering kewalahan
menghadapi meningkatnya jumlah pasien yang harus ditangani. Kesiapan
puskesmas di Kabupaten Kulon Progo menuju penerapan BLUD Puskesmas
mulai

dilaksanakan

dengan

tantangan

yang

semakin

berat,

dengan

diberlakukannya Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan


Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang dimulai tanggal 1 Januari 2014
sebagai amanat UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN). Puskesmas dapat dikonversikan menjadi BLUD sebelum
pemberlakuan SJSN tersebut, atau paling lambat pada awal tahun 2014 puskesmas
sudah menjadi BLUD untuk kelancaran pelaksanaan BPJS nantinya.
Bidang layanan kesehatan yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah
dengan Pola Pengelolaan Keuangan BLUD meliputi kegiatan pemerintah yang
bersifat

operasional

dalam

menyelenggarakan

pelayanan

umum

yang

menghasilkan semi barang/jasa (quasi public goods). Contoh instansi yang

menyelenggarakan penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum adalah


pelayanan bidang kesehatan seperti rumah sakit pusat atau daerah, puskesmas,
penyelenggara pendidikan, serta pelayanan jasa penelitian dan pengujian.
Penggunaan langsung atas pendapatan BLUD diartikan secara bebas
langsung digunakan sesuai dengan kebutuhan yang ada saat itu. Tak ada
pembatasan jenis belanja, asalkan suatu pengeluaran benar-benar dibutuhkan
secara urgent maka pada saat itu pula langsung digunakan. Di sisi lain, beberapa
pengamat memandang perlu ada kehati-hatian dalam menentukan penggunaan
langsung ini, dengan membatasi diri hanya untuk pengeluaran yang bersifat
operasional layanan kesehatan. Sehingga untuk pengeluaran yang bersifat
investasi (belanja modal) dicarikan dari sumber dana lain. Pemikiran terakhir ini
disandarkan pada pemahaman bahwa pendapatan yang diperoleh berasal dari
layanan kesehatan, sehingga sudah sewajarnya belanja yang dikeluarkan juga
untuk belanja layanan. Tetapi karena penggunaan langsung itu sendiri terkait
dengan pendapatan layanan, maka kita harus memiliki persepsi sama tentang
pendapatan yang dapat digunakan langsung. Acuannya tentu saja Permendagri
Nomor 61 Tahun 2007 Pasal 1 angka 10 yang menyebutkan bahwa yang
dimaksudkan pendapatan adalah semua penerimaan dalam bentuk kas dan tagihan
BLUD yang menambah ekuitas dana lancar dalam periode anggaran bersangkutan
yang tidak perlu dibayar kembali.
Penggunaan langsung berbanding lurus dengan aktivitas produktivitas,
efisiensi dan efektifitas. Produktif, karena BLUD paling memahami kebutuhan
apa yang dihadapinya untuk meningkatkan kinerja layanan. Efisiensi, jelas karena
penggunaan langsung memotong rantai birokrasi keuangan pemerintahan daerah.
Efektif, tentu saja karena kecepatan penggunaan langsung akan meminimalkan
kehilangan momentum bisnis (Sasmito, 2008).
Namun perlu diingat bahwa semua usaha-usaha yang mengarah pada
produktivitas, efisiensi dan efektivitas harus dapat dipertanggungjawabkan dalam
kerangka pengendalian internal yang baik. Salah satu bentuk pengendalian
tersebut adalah berupa penganggaran yang biasa kita kenal dengan RBA (Rencana
Bisnis Anggaran). Pasal 62 Permendagri 61/2007 telah mengingatkan hal ini:

Seluruh pendapatan BLUD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 kecuali


yang berasal dari hibah terikat, dapat dikelola langsung untuk membiayai
pengeluaran BLUD sesuai RBA.
Permendagri No. 61 Tahun 2007 tidak membatasi jenis belanja yang
bersumber dari pendapatan layanan ini. Yang penting semua belanja yang
dimaksudkan bersumber dari dana layanan ini harus tercantum dalam RBA yang
menjadi dasar usulan DPA nantinya.
Karena Kementrian Dalam Negeri tidak menerbitkan secara khusus pedoman
penyusunan RBA, maka kita dapat belajar pada daerah yang sudah
menerapkannya. Meski bukan sebuah keharusan namun pedoman penyusunan
RBA untuk BLUD yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan dapat dijadikan
patokan. Dalam Permenkeu Nomor 92/PMK.05/2011, tentang Rencana Bisnis
Anggaran serta pelaksanaan anggaran Badan Layanan Umum disajikan lengkap
mengenai jenis belanja yang boleh bersumber dari jasa layanan (Thabrani, 2005).
Meningkatnya permintaan dari kualitas pelayanan puskesmas harus
berbanding lurus dengan manajemen yang profesional. Manajemen puskesmas,
baik dari aspek manajemen dan operasional sangat dipengaruhi oleh berbagai
tuntutan dari lingkungan, yaitu eksternal dan internal lingkungan. Tuntutan
eksternal antara lain berasal dari stakeholder bahwa puskesmas diminta untuk
memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu, layanan pelanggan (customer
service) sesuai standar, biaya pelayanan kesehatan yang terjangkau sehingga akan
menyebabkan kepuasan pasien. Perlu digaris bawahi bahwa layanan pelanggan
(customer service) memegang peranan yang sangat penting menyangkut
keberlangsungan layanan jangka panjang (Gremler et al, 2000).
Berkaitan dengan hal tersebut Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo saat
ini tengah mengembangkan puskesmas menjadi BLUD. Sebanyak 21 Pusat
Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di wilayah Kulonprogo telah dipersiapkan.
Dengan status BLUD memungkinkan Puskesmas untuk meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan masyarakat, baik pelayanan rawat jalan maupun rawat inap.
Hal ini dikarenakan Puskesmas dengan status BLUD dapat mengelola
keuangannya tanpa terbentur alur birokrasi yang rumit.

Dinas Kesehatan Kulon Progo telah melakukan konsultasi dengan Badan


Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Yogyakarta untuk review hasil
penyusunan instrumen BLUD. Sebanyak 5 (lima) Puskesmas telah direview
BPKP dan dilakukan penilaian oleh Tim Penilai BLUD. Puskesmas tersebut
adalah Puskesmas Sentolo I, Galur II, Wates, Temon I dan Girimulyo II pada
tahun 2011. Pada tahun 2013 menyusul 16 Puskesmas lain di Kabupaten Kulon
Progo telah mempersiapkan persyaratan menjadi Puskesmas BLUD. Sehingga
pada akhir tahun 2013 seluruh Puskesmas di Kabupaten Kulon Progo telah
mempersiapkan persyaratan menjadi Puskesmas BLUD. Selanjutnya pada tahun
2014 diharapkan seluruh Puskesmas di Kabupaten Kulon Progo sudah berstatus
BLUD.
Penelitian ini berdasarkan kenyataan, seluruh Puskesmas di Kabupaten Kulon
Progo telah melakukan kesiapan menjadi BLUD, sesuai dengan Peraturan Menteri
Dalam Negeri (Permendagri) No. 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah. Pada penelitian ini dengan
studi kasus pada Puskesmas Wates dan Girimulyo II. Kedua puskesmas ini
memiliki keunikan dimana biaya operasional Puskesmas tidak lagi disubsidi oleh
Pemda tetapi menggunakan pendapatan puskesmas sendiri dari setoran retribusi
pendapatan puskesmas yang dikembalikan seratus persen. Bisa dikatakan kedua
puskesmas ini sudah bisa mandiri tidak tergantung subsidi dari Pemda. Puskesmas
Wates merupakan puskesmas yang ada di perkotaan (urban) dan Puskesmas
Girimulyo II merupakan puskesmas yang ada di pedesaan (rural). Namun yang
menarik berdasarkan data awal dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo,
Puskesmas Girimulyo II yang ada di pedesaan telah lolos penilaian sebagai BLUD
bertahap terlebih dahulu di tahun 2012 dibandingkan dengan Puskesmas Wates
yang ada di perkotaan baru pada tahun 2013 ini. Hal tersebut mendorong peneliti
untuk mengetahui lebih jauh dalam penelitian ini dan menurut peneliti merupakan
keunikan dari terpilihnya kedua puskesmas ini menjadi studi kasus penelitian.
Kebijakan penerapan BLUD di Puskesmas Kabupaten Kulon Progo, sesuai
dengan visi dan misi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
Kabupaten Kulon Progo Tahun 2011-2016, yaitu:

Terwujudnya masyarakat Kulon Progo yang sehat, mandiri, berprestasi, adil,


aman, dan sejahtera berdasarkan iman dan taqwa, maka keberadaan Puskesmas
BLUD sejalan dengan visi dan misi yang ada.
Saat ini Pemerintah Kabupaten Kulon Progo menurut Kepala Bidang
Pengembangan Sumber Daya Kesehatan Dinas Kesehatan tengah mempersiapkan
kebijakan menyangkut BLUD Puskesmas yang rencana diterapkan di tahun 2014.
Dinas Kesehatan tengah menyusun regulasi Peraturan Bupati tentang pedoman
pengelolaan keuangan, RBA, pedoman rekruitmen pegawai kontrak, remunerasi.
Pembentukan PPK-BLUD berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, PP Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum, Permendagri Nomor 61 Tahun 2007 tentang
Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah, Surat
Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 900/2750/SJ tanggal 10 September 2008
tentang Pedoman Penilaian Penerapan PPK-BLUD.

B.

Perumusan Masalah

Beberapa Puskesmas di Kabupaten Kulon Progo sudah bisa mencukupi


kebutuhan operasionalnya tanpa tergantung subsidi dari Pemda, namun untuk
pencairan dananya sering kali tidak tepat waktu karena masih terkendala alur
birokrasi. Alur birokrasi yang terlalu panjang dan tidak adanya fleksibilitas dalam
penggunaan

dana

menghambat

kelancaran

pelayanan

pada

puskesmas.

Pelaksanaan BPJS nantinya diperlukan pengelolaan keuangan yang juga tidak


boleh terkendala oleh aturan-aturan yang terlalu rumit, dibutuhkan aturan yang
membuat Puskesmas bisa menggunakan langsung hasil pendapatan retribusinya
tanpa terkendala alur birokrasi. Penerapan kebijakan BLUD Puskesmas
merupakan solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Puskesmas dengan
status BLUD, dana pendapatan puskesmas bisa digunakan langsung untuk
operasional (fleksibilitas penggunaan dana) tanpa disetor ke pemda, sehingga bisa
memotong rantai birokrasi pemda dan dengan demikian puskesmas dapat
meningkatkan kinerja pelayanannya secara produktif, efektif, dan efisien dan siap

menyongsong diberlakukannya program BPJS tahun 2014. Bagaimana kesiapan


penerapan kebijakan BLUD Puskesmas di Kabupaten Kulon Progo?

C.

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah adalah untuk menganalisis dan


mengetahui sejauh mana kesiapan penerapan kebijakan BLUD Puskesmas di
Kabupaten Kulon Progo, sebagai strategi untuk meningkatkan kinerja pelayanan
kesehatan di puskesmas.

D.

Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dan pertimbangan bagi
Pemerintah Kabupaten Kulon Progo dalam penerapan kebijakan BLUD di
Puskesmas Kabupaten Kulon Progo.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana pengembangan strategi
bagi Dinas Kesehatan terkait dengan upaya menyiapkan puskesmas untuk
menjadi BLUD, sehingga nantinya dapat menjadi suatu kebijakan pemerintah
daerah Kabupaten Kulon Progo.
3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan acuan Puskesmas daerah lain yang
akan menjadi BLUD.
4. Hasil penelitian ini bagi peneliti dapat digunakan untuk menerapkan teori
didapat ke dalam situasi sesungguhnya yang terdapat di lapangan.

E.

Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian yang membahas masalah kesiapan, pelaksanaan maupun


evaluasi dari pengelolaan BLUD baik pukesmas maupun rumah sakit telah banyak
diteliti. Namun penelitian yang mengambil sebagian subyek maupun obyek judul
di atas pernah dilakukan oleh beberpa peneliti, antara lain:

10

1.

Peneliti

: Surianto (2011)

Judul

: Evaluasi Pelaksanaan Penerapan Badan Layanan


Umum Daerah (BLUD) Di RSUD Undata Provinsi
Sulawesi Tengah.

Tujuan

: Mengevaluasi

pelaksanaan

Penerapan

Badan

Layanan Umum Daerah (BLUD) di RSUD Undata,


Sulawesi Tengah.
Persamaan

: Metode penelitian.

Hasil

: Kinerja RSUD Undata dinilai sudah baik.

Perbedaan

: Variabel dependen (Pelaksanaan BLUD) dan


variabel independen (Evaluasi BLUD), tempat dan
waktu penelitian.

2.

Peneliti
Judul

: Meidyawati (2010)
: Analisis Implementasi Pola Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum (PPK-BLUD) Pada Rumah
Sakit Stroke Nasional Bukit Tinggi.

Tujuan

: Mengetahui implementasi semua persyaratan


administratif PPK-BLUD di Rumah Sakit Stroke
Nasional Bukit Tinggi.

Persamaan

: Metode penelitian.

Hasil

: Rumah Sakit Stroke Nasional Bukit Tinggi telah


menyusun dan mengimplementasikan semua
persyaratan

administratif

PPK-BLUD

yang

meliputi Pola Tata Kelola, Rencana Strategis


Bisnis,

Rencana

Bisnis

Anggaran,

Standar

Pelayanan Minimal, dan Laporan Keuangan.


Implementasi pola tata kelola diwujudkan dalam
bentuk organisasi dan tata laksana, akuntabilitas,
serta transparansi.
Perbedaan

: Variabel dependent (Implementasi) dan variabel

11

independent (persyaratan administarif BLUD),


tempat dan waktu penelitian.
3.

Peneliti

: Ely Trianasari dan Muhammad Syafiie Idrus


(2008)

Judul

: Evaluasi Strategi RSUD Dr. Saiful Anwar (RSSA)


Malang Sebelum dan Sesudah Badan Layanan
Umum Daerah (BLUD).

Tujuan

: Mengetahui evaluasi strategi RSUD Dr. Saiful


Anwar (RSSA) Malang sebelum dan sesudah
Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).

Persamaan

: Metode penelitian.

Hasil

: Perubahan status menjadi BLUD telah


mempengaruhi

kondisi

dan

kinerja

RSSA,

pengaruh baik maupun kurang baik. Sebagai


BLUD masalah yang dihadapi RSSA antara lain
keefektifan, keefisienan dan fleksibilitas masih
terkendala, alur birokrasi/ administrasi yang lama
belum tuntas teratasi; pelanggan mayoritas berasal
dari golongan menengah ke bawah; keramahan
belum diterapkan secara menyeluruh; evaluasi
strategi dilakukan oleh bagian lain, bukan oleh
bagian yang sama dengan yang melakukan
perencanaan strategi; sarana dan prasarana serta
kuantitas tenaga masih kurang memadai. Namun
dengan segala keterbatasan dan tantangan yang
harus dihadapi secara garis besar RSSA cukup
siap dan dapat melaksanakan BLUD.
Perbedaan

: Variabel

dependent

(Evaluasi) dan variabel

independent (Strategi BLUD), tempat dan waktu


penelitian.

Vous aimerez peut-être aussi