Vous êtes sur la page 1sur 31

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Lansia (Lanjut Usia) adalah fase menurunnya kemampuan akal dan fisik, yang di
mulai dengan adanya beberapa perubahan dalam hidup. Sebagai mana di ketahui, ketika
manusia mencapai usia dewasa, ia mempunyai kemampuan reproduksi dan melahirkan
anak. Ketika kondisi hidup berubah, seseorang akan kehilangan tugas dan fungsi ini, dan
memasuki selanjutnya, yaitu usia lanjut, kemudian mati. Bagi manusia yang normal,
siapa orangnya, tentu telah siap menerima keadaan baru dalam setiap fase hidupnya dan
mencoba menyesuaikan diri dengan kondisi lingkunganya (Darmojo, 2004 dalam
Psychologymania, 2013).
Tidak hanya mengalami perubahan psikologis dan fungsi hidupnya, tetapi lansia
juga mengalami kemunduran atau perubahan dalam fungsi fisiknya. Baik pada fungsi
sistem kardiovaskular, sistem integumen, sistem neurobehaviour, sistem sensori persepsi,
sistem pernafasan, sistem endokrin, dan sistem muskuloskeletal. Terkait sistem
muskuloskeletal lansia mengalami beberapa masalah, di mana banyak di antara lansia
yang mengalami masalah pada meningkatnya purin dalam tubuh yang biasa disebut
dengan asam urat.
Gout merupakan penyakit dominan pada pria dewasa. Sebagai mana yang
disampaikan oleh Hipocrates bahwa gout jarang pada pria sebelum masa remaja
sedangkan pada wanita jarang sebelum menopause. Pada tahun 1986 dilaporkan
prevalensi gout di Amerika Serikat adalah 13,6/1000 pria dan 6,4/1000 perempuan.
Prevalensi gout bertambah dengan meningkatnya taraf hidup. Prevalensi diantara pria
African American lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok pria Caucasian. ( Edward
Stefanus, 2010 )
Di Indonesia belum banyak publikasi epidemiologi tentang artitis pirai (AP). Pada
tahun 1935 seorang dokter kebangsaan belanda bernama Van der Horst telah melaporkan
15 pasien artitis pirai dengan kecacatan dari suatu daerah di Jawa Tengah. Penilaian lain
mendapatkan bahwa pasien gout yang berobat rata-rata sudah mengidap penyakit selama
lebih dari 5 tahun. Hal ini mungkin disebabkan banyak pasien gout yang mengobati
sendiri. Satu study yang lama di Massachusetts mendapat lebih dari 1% dari populasi
dengan kadar asam urat kurang dari 7 mg/100ml pernah mendapat serangan artitis gout
akut. ( Edward Stefanus, 2010 )

Artritis pirai ( Gout ) adalah kelompok penyakit heterogen sebagai akibat deposisi
kristal monosodium urat pada jaringan atau akibat supersaturasi asam urat didalam
cairan ekstraselular. (Stefanus, 2010 ). Faktor-faktor yang berpengaruh sebagai penyebab
gout adalah faktor keturunan dengan adanya riwayat gout dalam silsilah keluarga,
meningkatnya kadar asam urat karena diet tinggi protein dan makanan kaya senyawa
purin lainnya, purin adalah senyawa yang akan dirombak menjadi asam urat dalam tubuh,
konsumsi alkohol berlebih, karena alkohol merupakan salah satu sumber purin yang juga
dapat menghambat pembuangan urin melalui ginjal, hambatan dari pembuangan asam
urat karena penyakit tertentu, terutama gangguan ginjal. Pasien disarankan meminum
cairan dalam jumlah banyak . minum air sebanyak 2 liter atau lebih tiap harinya
membantu pembuangan urat, dan meminimalkan pengendapan urat dalam saluran kemih,
penggunaan obat tertentu yang meningkatkan kadar asam urat. (VitaHealth, 2007)
Tanda dan gejala asam urat sendiri adalah nyeri hebat yang tiba-tiba menyerang
sendi pada saat tengah malam, biasanya pada ibu jari kaki ( sendi metatarsofalangeal
pertama ) atau jari kaki ( sendi tarsal ), jumlah sendi yang meradang kurang dari empat
( oligoartritis ) dan serangannya pada satu sisi ( unilateral ), kulit berwarna kemerahan,
terasa panas, bengkak, dan sangat nyeri, pembengkakan sendi umumnya terjadi secara
asimetris ( satu sisi tubuh ), demam, dengan suhu tubuh 38,30C atau lebih, tidak menurun
lebih dari tiga hari walau telah dilakukan perawatan, ruam kulit, sakit tenggorokan, lidah
berwarna merah atau gusi berdarah, bengkak pada kaki dan peningkatan berat badan yang
tiba-tiba, diare atau muntah. ( Vita Health, 2007 )
Pada lansia asam urat sendiri terjadi karena terjadinya gangguan metabolisme di
mana terjadi pengendapan urat di saluran kemih sampai ke ginjal. Selain karena
pengendapan di ginjal, pada lansia terjadi juga penurunan fungsi ginjal yang
menyebabkan penyerapan dan pembuangan urat dalam urin tidak maksimal atau
terjadinya hiperurisemia. Urat yang berlebih dalam ginjal akan terbawa oleh darah
menuju ke jaringan-jaringan lunak, salah satunya adalah sendi-sendi (Hadibroto, 2007)
Dari berbagai pemaparan diatas maka kami tertarik membahas tentang asam urat
pada lansia.
B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mengetahui asuhan keperawatan pada lansia dengan asam urat
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui tenteng anatomi fisiologi organ muskuloskeletal
b. Mengetahui tentang proses menua

c.
d.
e.
f.

Mengetahui tentang sistem penuaan organ muskuloskeletal


Mengetahui tentang masalah kesehatan penuaan pada asam urat
Mengetahui tentang pathway asam urat
Mengetahui asuhan keperawatan asam urat

BAB II
TINJAUAN TEORI
I.

ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM TERKAIT


Tulang adalah suatu jaringan dinamis yang tersusun dari tiga jenis sel: osteoblas,
osteosit, dan osteoklas. Tulang mempertahankan jaringannya dengan siklus pemeliharaan,
jaringan tulang secara kostan menjalani proses turn over, dengan membuang jaringan
lama dan menggantikannya dengan jaringan baru.

Lane Nancy (2003) mengatakan

bahwa siklus remodeling tulang terjadi ketika

sejumlah kecil tulang hilang atau pecah karena sel yang dikenal dengan osteoclas.
Setelah sejumlah sel tulang ini hilang atau mengalami proses resorpsi, osteoblas bergerak
ke dalam daerah tulang yang hilang dan mengantikannya dengan tulang baru. Proses ini
berlanjut pada bagian kecil seluruh tulang sepanjang hidup manusia. Proses resorpsi
berlangsung cepat, hanya membutuhkan 4-6 minggu, sedangkan proses pembentukan
tulang baru berlangsung lambat membutuhkan waktu 2 bulan untuk setiap siklus
remodeling .
Sistem muskuloskeletal adalah penunjang bentuk tubuh dan berperan dalam
pergerakan. Sistem ini terdiri dari tulang, sendi, otot rangka, tendon, ligament, bursa, dan
jaringan jaringan khusus yang menghubungkan struktur tersebut.
a. Sendi
Sendi adalah pertemuan dua atau lebih tulang. Tulang-tulang ini dipadukan dengan
berbagai cara, misalnya dengan kapsul sendi, pita fibrosa, ligamen, tendon, fasia, atau
otot.
Ada tiga tipe sendi, yaitu :
1) Sendi fibrosa (sinarthroidal), merupakan sendi yang tidak dapat bergerak.
Sendi ini tidak memiliki lapisan tulang rawan, dan tulang yang satu
dengan yang lainnya dihubungkan oleh jaringan penyambung fibrosa. Contohnya
terdapat pada sutura tulang-tulang tengkorak. Yang kedua disebut sindesmosis, dan
terdiri dari suatu membrane interosseus atau suatu ligament antara tulang.
Hubungan ini memungkinkan sedikit gerakan, tetapi bukan gerakan sejati.
Contohnya ialah perlekatan tulang tibia dan fibula bagian distal.
2) Sendi kartilaginosa (amphiarthroidal), merupakan sendi yang sedikit bergerak.
Sendi kartilaginosa adalah sendi dimana ujung ujung tulangnya dibungkus oleh
rawan hialin dan disokong oleh ligamen, sehingga hanya memungkinkan suatu
gerakan yang terbatas. Ada dua tipe sendi kartilaginosa, Sinkondrosis adalah sendisendi yang seluruh persendiannya diliputi oleh tulang rawan hialin Sendi-sendi
kostokondral adalah contoh dari sinkondrosis. Simfisis adalah sendi yang tulangtulangnya memiliki suatu hubungan fibrokartilago, dan selapis tipis tulang rawan
hialin yang menyelimuti permukaan sendi. Simfisis pubis dan sendi-sendi pada
tulang punggung adalah contoh-contohnya.
3) Sendi sinovial (diarthroidal), merupakan sendi yang dapat bergerak dengan bebas.
Sendi sinovial adalah sendi-sendi tubuh yang dapat digerakkan. Sendi-sendi ini
memiliki rongga sendi dan permukaan rongga sendi dilapisi tulang rawan hialin.

Kapsul sendi terdiri dari suatu selaput penutup fibrosa padat, suatu lapisan dalam
yang terbentuk dari jaringan penyambung berpembuluh darah banyak dan sinovium
yang membentuk suatu kantung yang melapisi seluruh sendi, dan membungkus
tendon-tendon yang melintasi sendi. Sinovium tidak meluas melampaui permukaan
sendi, tetapi terlipat sehingga memungkinkan gerakan sendi secara penuh. Lapisanlapisan bursa diseluruh persendian membentuk sinovium. Periosteum tidak
melewati kapsul.
Sinovium menghasilkan cairan yang sangat kental yang membasahi permukaan
sendi. Cairan sinovial normalnya bening, tidak membeku dan tidak berwarna.
Jumlah yang ditemukan pada tiap-tiap sendi relatif kecil (1 sampai 3 ml). Hitung sel
darah putih pada cairan ini normalnya kurang dari 200 sel/ml dan terutama adalah
sel-sel mononuklear. Asam hialuronidase adalah senyawa yang bertanggung jawab
atas viskositas cairan sinovial dan disintesis oleh sel-sel pembungkus sinovial.
Bagian cair dari cairan sinovial diperkirakan berasal dari transudat plasma. Cairan
sinovial juga bertindak sebagai sumber nutrisi bagi tulang rawan sendi. Kartilago
hialin menutupi bagian tulang yang menanggung beban tubuh pada sendi sinovial.
Tulang rawan ini memegang peranan penting dalam membagi beban tubuh. Rawan
sendi tersusun dari sedikit sel dan sebagian besar substansi dasar. Substansi dasar
ini terdiri dari kolagen tipe II dan proteoglikan yang berasal dari sel-sel tulang
rawan. Proteoglikan yang ditemukan pada tulang rawan sendi sangat hidrofilik
sehingga memungkinkan tulang rawan tersebut menerima beban yang berat.
Tulang rawan sendi pada orang dewasa tidak mendapat aliran darah, limfe,
atau persarafan. Oksigen dan bahan-bahan metabolisme lain dibawa oleh cairan
sendi yang membasahi tulang rawan tersebut. Perubahan susunan kolagen
pembentukan proteoglikan dapat terjadi setelah cedera atau usia yang bertambah.
Beberapa kolagen baru pada tahap ini mulai membentuk kolagen tipe I yang lebih
fibrosa. Proteoglikan dapat kehilangan sebagian kemampuan hidrofiliknya.
Perubahan-perubahan ini berarti tulang rawan akan kehilangan kemampuannya
untuk menahan kerusakan bila diberi beban berat.
Sendi dilumasi oleh cairan sinovial dan oleh perubahan-perubahan hidrostatik
yang terjadi pada cairan interstitial tulang rawan. Tekanan yang terjadi pada tulang
rawan akan mengakibatkan pergeseran cairan kebagian yang kurang mendapat
tekanan. Sejalan dengan pergeseran sendi ke depan, cairan yang bergerak ini juga

bergeser ke depan mendahului beban. Cairan kemudian akan bergerak kebelakang


ke bagian tulang rawan ketika tekanan berkurang. Tulang rawan sendi dan tulangtulang yang membentuk sendi biasanya terpisah selama gerakan selaput cairan ini.
Selama terdapat cukup selaput atau cairan, tulang rawan tidak dapat aus meskipun
dipakai terlalu banyak.
Aliran darah ke sendi banyak yang menuju ke sinovium. Pembuluh darah
mulai masuk melalui tulang subkondral pada tingkat tepi kapsul. Jaringan kapiler
sangat tebal di bagian sinovium yang menempel langsung pada ruang sendi. Hal ini
memungkinkan bahan-bahan di dalam plasma berdifusi dengan mudah ke dalam
ruang sendi. Proses peradangan dapat sangat menonjol di sinovium karena di dalam
daerah tersebut banyak mengandung aliran darah, dan disamping itu juga terdapat
banyak sel mast dan sel lain dan zat kimia yang secara dinamis berinteraksi untuk
merangsang dan memperkuat respons peradangan.
Saraf-saraf otonom dan sensorik tersebar luas pada ligamen, kapsul sendi, dan
sinovium. Saraf-saraf ini berfungsi untuk memberikan sensitivitas pada strukturstruktur ini terhadap posisi dan pergerakan. Ujung-ujung saraf pada kapsul,
ligamen, dan adventisia pembuluh darah sangat sensitif terhadap peregangan dan
perputaran. Nyeri yang timbul dari kapsul sendi atau sinovium cenderung difus dan
tidak terlokalisasi. Sendi dipersarafi oleh saraf-saraf perifer yang menyeberangi
sendi. Ini berarti nyeri yang berasal dari satu sendi mungkin dapat dirasakan pada
sendi yang lainnya, misalnya nyeri pada sendi panggul dapat dirasakan sebagai
nyeri lutut.
b. Jaringan Penyambung
Jaringan yang ditemukan pada sendi dan daerah-daerah yang berdekatan
terutama adalah jaringan penyambung yang tersusun dari sel-sel dan substansi dasar.
Dua macam sel yang ditemukan pada jaringan penyambung adalah sel-sel yang tidak
dibuat dan tetap berada pada pada jaringan penyambung seperti pada sel mast, sel
plasma, limfosit, monosit, dan leukosit polimorfonuklear. Sel-sel ini memegang
peranan penting pada reaksi-reaksi imunitas dan peradangan yang terlihat pada
penyakit-penyakit rheumatik. Jenis sel yang kedua dalam jaringan penyambung ini
adalah sel-sel yang tetap berada dalam jaringan, seperti kondrosit, fibroblas, dan
osteoblas. Sel-sel ini mensintesis berbagai macam serat dan proteoglikan dari

substansi dasar dan membuat tiap jenis jaringan penyambung memiliki susunan sel
yang tersendiri.
Serat-serat yang didapatkan di dalam substansi dasar adalah kolagen dan
elastin. Setidaknya terdapat 11 bentuk kolagen yang dapat diklasifikasikan menurut
rantai molekul, lokasi dan fungsinya. Kolagen dapat dipecahkan oleh kerja
kolagenase. Enzim proteolitik ini membuat molekul stabil berubah menjadi molekul
tidak stabil pada suhu fisiologik dan selanjutnya dihidrolisis oleh proses lain.
Perubahan sintesis kolagen tulang rawan terjadi pada orang-orang yang usianya makin
lanjut. Peningkatan aktivitas kolagenase terlihat pada bentuk-bentuk penyakit reumatik
yang diperantarai oleh imunitas seperti pada arthritis reumatoid.
Serat-serat elastin memiliki sifat elastin yang penting. Serat ini didapat dalam
ligamen, dinding pembuluh darah besar dan kulit. Elastin dipecah-pecah oleh enzim
yang disebut elastase. Elastase dapat menjadi penting pada proses pembentukan
arteriosklerosis dan emfisema. Ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa perubahan
dalam sistem kardiovaskuler karena penuaan, dapat terjadi oleh karena peningkatan
pemecahan serat elastin. Selain serat-serat, proteoglikan adalah zat penting yang
ditemukan dalam substansi dasar. Proteoglikan adalah molekul besar terbuat dari
rantai polisakarida panjang yang melekat pada pusat polipeptida. Proteoglikan pada
tulang rawan sendi berfungsi sebagai bantalan pada sendi sehingga sendi dapat
menahan beban-beban fisik yang berat. Hubungan proteoglikan dan dengan proses
imunologi dengan proses peradangan adalah kompleks. Limfokin dapat menginduksi
sel-sel jaringan penyambung untuk memproduksi proteoglikan baru, menghambat
produksi, atau meningkatkan pemecahan. Proteoglikan dapat menjadi fokus aksi
autoimun pada gangguan seperti arthritis reumatoid. Pertambahan usia mengubah
proteoglikan di dalam tulang rawan, proteoglikan ini akan kurang melekat satu dengan
lainnya dan berinteraksi dengan kolagen. Perubahan fungsional dan struktural utama
yang menjadi bagian dari proses penuaan normal menyebabkan perubahan biokimia
dari jaringan penyambung dan terjadi terutama pada serat dan proteoglikan.

II.

PROSES MENUA
a. Definisi Lansia

Masa tua (lansia) dimulai setelah pensiun, biasanya antara 65-75 tahun (Potter
& Perry, 2005).
Pengertian lansia (Lanjut Usia) adalah fase menurunnya kemampuan akal dan
fisik, yang di mulai dengan adanya beberapa perubahan dalam hidup. Sebagai mana
di ketahui, ketika manusia mencapai usia dewasa, ia mempunyai kemampuan
reproduksi dan melahirkan anak. Ketika kondisi hidup berubah, seseorang akan
kehilangan tugas dan fungsi ini, dan memasuki selanjutnya, yaitu usia lanjut,
kemudian mati. Bagi manusia yang normal, siapa orangnya, tentu telah siap
menerima keadaan baru dalam setiap fase hidupnya dan mencoba menyesuaikan
diri dengan kondisi lingkunganya (Darmojo, 2004 dalam Psychologymania, 2013).
b. Klasifikasi Lansia
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia WHOdalam Psychologymania, 2013 batasan
lanjut usia meliputi :
Usia pertengahan (middle age) adalah kolompok usia 45-59 tahun.
Lanjut usia (elderly) antara usia 60-74 tahun.
Lanjut usia tua (old) antara 75-90 tahun.
Usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun
c. Teori Penuaan
Teori proses menua menurut Potter dan Perry (2005) yaitu sebagai berikut :
Teori Biologis
1. Teori radikal bebas
Radikal bebas merupakan contoh produk sampah metabolisme yang dapat
menyebabkan kerusakan apabila terjadi akumulasi. Normalnya radikal
bebas akan dihancurkan oleh enzim pelindung, namun beberapa berhasil
lolos dan berakumulasi di dalam organ tubuh. Radikal bebas yang terdapat
di lingkungan seperti kendaraan bermotor, radiasi, sinar ultraviolet,
mengakibatkan perubahan pigmen dan kolagen pada proses penuaan.
Radikal bebas tidak mengandung DNA. Oleh karena itu, radikal bebas dapat
menyebabkan gangguan genetik dan menghasilkan produk-produk limbah
yang menumpuk di dalam inti dan sitoplasma. Ketika radikal bebas
menyerang molekul, akan terjadi kerusakan membran sel; penuaan
diperkirakan karena kerusakan sel akumulatif yang pada akhirnya
mengganggu fungsi. Dukungan untuk teori radikal bebas ditemukan dalam
lipofusin, bahan limbah berpigmen yang kaya lemak dan protein. Peran

lipofusin pada penuaan mungkin kemampuannya untuk mengganggu


transportasi sel dan replikasi DNA. Lipofusin, yang menyebabkan bintikbintik penuaan, adalah dengan produk oksidasi dan oleh karena itu
tampaknya terkait dengan radikal bebas.
2. Teori cross-link
Teori cross-link dan jaringan ikat menyatakan bahwa molekul kolagen dan
elastin, komponen jaringan ikat, membentuk senyawa yang lama
meningkatkan regiditas sel, cross-linkage diperkirakan akibat reaksi kimia
yang menimbulkan senyawa antara melokul-melokul yang normalnya
terpisah (Ebersole & Hess, 1994 dalam Potter & Perry, 2005).
3. Teori imunologis
Teori imunitas berhubungan langsung dengan proses penuaan. Selama
proses penuaan, sistem imun juga akan mengalami kemunduran dalam
pertahanan terhadap organisme asing yang masuk ke dalam tubuh sehingga
pada lamsia akan sangat mudah mengalami infeksi dan kanker.perubahan
sistem imun ini diakibatkan perubahan pada jaringan limfoid sehingga tidak
adanya keseimbangan dalam sel T intuk memproduksi antibodi dan
kekebalan tubuh menurun. Pada sistem imun akan terbentuk autoimun
tubuh. Perubahan yang terjadi merupakan pengalihan integritas sistem tubuh
untuk melawan sistem imun itu sendiri.
Teori Psikososial
1. Teori Disengagement (Penarikan Diri)
Teori ini menggambarkan penarikan diri oleh lansia dari peran masyarakat
dan tanggung jawabnya. Lansia akan dikatakan bahagia apabila kontak
sosial telah berkurang dan tanggungjawab telah diambil oleh generasi yang
lebih muda. Manfaat dari pengurangan kontak sosial bagi lansia adalah
agar dapat menyediakan eaktu untuk mengrefleksi kembali pencapaian
yang telah dialami dan untuk menghadapi harapan yang belum dicapai.
2. Teori Aktivitas
Teori ini berpendapat apabila seorang lansia menuju penuaan yang sukses
maka ia harus tetap beraktivitas.kesempatan untuk turut berperan dengan
cara yang penuh arti bagi kehidupan seseorang yang penting bagi dirinya
adalah suatu komponen kesejahteraan yang penting bagi lansia. Penelitian
menunjukkan bahwa hilangnya fungsi peran lansia secara negatif

mempengaruhi kepuasan hidup, dan aktivitas mental serta fisik yang


berkesinambungan akan memelihara kesehatan sepanjang kehidupan.
3. Teori Kontinuitas
Teori kontinuitas mencoba menjelaskan mengenai kemungkinan
kelanjutan dari perilaku yang sering dilakukan klien pada usia dewasa.
Perilaku hidup yang membahayakan kesehatan dapat berlangsung hingga
usia lanjut dan akan semakin menurunkan kualitas hidup.
III.

PENUAAN SISTEM TERKAIT


Efek dari Penuaan dan Disuse Terhadap Tubuh
a. Sistem Otot
Hampir tidak mungkin dibedakan efek dari ketuaan dengan disuse pada tubuh manusia
karena keduanya saling berkaitan. Pada umumnya, seseorang yang mulai tua akan
berefek pada menurunnya aktivitas. Penurunan aktivitas akan menyebabkan
kelemahan serta atropi dan mengakibatkan kesulitan untuk mempertahankan serta
menyelesaikan suatu aktivitas. Selain itu, berbagai kondisi medis yang lebih prevalen
di saat usia lanjut cenderung akan menghambat aktivitas rutin pada individu tersebut.
Perubahan yang jelas pada sistem otot saat usia lanjut adalah berkurangnya massa otot,
terutama mengenai serabut otot tipe II. Penurunan massa otot ini lebih disebabkan oleh
atropi. Namun demikian, kehilangan dari serabut otot juga dijumpai.
Perubahan ini akan menyebabkan laju metabolik basal dan laju konsumsi oksigen
maksimal berkurang. Otot menjadi lebih mudah capek dan kecepatan kontraksi akan
melambat. Selain dijumpai penurunan massa otot, juga dijumpai berkurangnya rasio
otot dengan jaringan lemak. Perubahan-perubahan yang timbul pada sistem otot lebih
disebabkan oleh disuse. Seseorang yang selalu aktif sepanjang umurnya, cenderung
lebih dapat mempertahankan massa otot, kekuatan otot, dan koordinasi dibanding
dengan mereka yang pola hidupnya santai (sedentary). Tetapi, harus diingat bahwa
latihan/olah raga yang sangat rutin pun tidak dapat mencegah secara sempurna proses
penurunan massa otot. Individu yang berpola hidup santai dapat memperoleh kembali
massa otot, kekuatan, dan ketahanan tubuhnya setelah terlibat pola latihan yang rutin
walau pada usia yang lanjut. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa program
latihan

dan

olah

raga

dapat

mencegah

penurunan

massa

otot,

bahkan

mengembalikannya, tetapi pada kenyataannya tidak semua program tersebut berhasil.


Penjelasan yang akurat mengenai keadaan tersebut belum dapat diterangkan dan tidak
diketahui. Beberapa hipotesa menjelaskan bahwa efek kumulatif dari diet, kafein,

merokok, dan alkohol dapat mempengaruhi proses perubahan sistem otot. Faktor lain
seperti sistem endokrin dan perubahan pada susunan saraf pusat juga memegang
peranan penting.
b. Sistem Tulang
Pada usia lanjut dijumpai proses kehilangan massa tulang dan kandungan kalsium
tubuh, serta perlambatan remodelling dari tulang. Massa tulang akan mencapai puncak
pada pertengahan usia duapuluhan (di bawah usia 30 tahun). Penurunan massa tulang
lebih dipercepat pada wanita pasca menopause. Sama halnya dengan sistem otot,
proses penurunan massa tulang ini sebagian disebabkan oleh usia dan disuse. Dengan
menambah aktivitas tubuh, dapat memperlambat proses kehilangan massa tulang,
bahkan mengembalikannya secara temporer. Tetapi, tidak terdapat bukti nyata bahwa
aktivitas yang intensif dapat mencegah secara sempurna kehilangan massa tulang
tersebut. Latihan yang teratur hanya dapat memperlambat laju kehilangan massa
tulang. Dengan demikian, hanya mereka yang mampu hidup pada usia yang sangat
lanjut yang mungkin akan menderita berbagai komplikasi dari hilangnya massa tulang
seperti osteoporosis dan fraktur.
c. Jaringan Ikat
Kelenturan merupakan salah satu komponen dari kebugaran. Jaringan ikat yang tidak
fleksibel lebih mudah timbul trauma. Pada manusia usia lanjut, dijumpai kehilangan
sifat elastisitas dari jaringan ikat. Proses disuse dapat menyebabkan pengerutan dari
jaringan ikat sehingga kurang mampu mengakomodasikan berbagai pergerakan.
Karena menjadi tidak fleksibel maka kelompok usia lanjut ini kurang dapat
mentoleransi berbagai pergerakan yang berpotensi membawa kecelakaan dan lebih
mudah terjatuh. Pada manusia berusia muda, diperkirakan kelenturan, kekuatan otot,
dan koordinasi merupakan bufer dari kemungkinan trauma, tetapi bufer ini jelas
berkurang, bahkan hilang pada kaum usia lanjut.
d. Sistem Persarafan
Selain dijumpai penurunan fungsi muskuloskeletal pada usia lanjut, sistem persarafan
terutama kendali saraf juga mulai kurang berfungsi dengan baik dan bahkan hilang.
Proses ketuaan akan menyebabkan hilangnya sel-sel otak secara perlahan. Ini
bermanifestasi pada penurunan gerakan motorik halus dan koordinasi. Selain itu, juga
ditemukan penurunan kecepatan konduksi saraf, pemanjangan waktu reaksi,
perlambatan pengolahan data oleh sistem saraf pusat, dan penurunan fungsi

propiosepsi serta keseimbangan. Disuse dapat mengeksaserbasi proses ini walau bukan
merupakan satu-satunya penyebab penurunan fungsi saraf.
e. Sendi
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sendi akibat proses menua
(Staenly, 2007):
1) Pecahnya komponen kapsul sendi dan kolagen. Implikasi dari hal ini adalah
nyeri, inflamasi, penurunan mobilitas sendi da deformitas.
2) Kekakuan ligamen dan sendi. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan risiko
cedera.
IV.

MASALAH KESEHATAN YANG DAPAT MUNCUL AKIBAT PROSES


PENUAAN GOUT atau ASAM URAT
A. Pengertian
Artritis pirai ( Gout ) adalah kelompok penyakit heterogen sebagai akibat
deposisi kristal monosodium urat pada jaringan atau akibat supersaturasi asam
urat didalam cairan ekstraselular. (Stefanus, 2010 )
Gout merupakan kelainan metabolisme purin bawaan yang ditandai dengan
peningkatan kadar asam urat serum dengan akibat penimbunan kristal asam urat di
sendi.( Syamsuhidayat dan Wim de Jong, 2004 )
Arthritis pirai atau gout adalah suatu proses inflamasi yang terjadi karena
deposisi kristal asam urat pada jaringan sekitar sendi. ( Misnadiarly, 2009 )
Arthritis gout adalah penyakit dimana terjadi penumpukan asam urat ( uric
acid ) dalam tubuh secara berlebihan. ( VitaHealth, 2007 )
B. Etiologi
Faktor-faktor yang berpengaruh sebagai penyebab gout adalah:
1) Faktor keturunan dengan adanya riwayat gout dalam silsilah keluarga
2) Meningkatnya kadar asam urat karena diet tinggi protein dan makanan kaya
senyawa purin lainnya. Purin adalah senyawa yang akan dirombak menjadi
asam urat dalam tubuh
3) Konsumsi alkohol berlebih, karena alkohol merupakan salah satu sumber
purin yang juga dapat menghambat pembuangan urin melalui ginjal.
4) Hambatan dari pembuangan asam urat karena penyakit tertentu, terutama
gangguan ginjal. Pasien disarankan meminum cairan dalam jumlah banyak .
minum air sebanyak 2 liter atau lebih tiap harinya membantu pembuangan
urat, dan meminimalkan pengendapan urat dalam saluran kemih.
5) Penggunaan obat tertentu yang meningkatkan kadar asam urat, terutama
diuretika ( furosemid dan hidroklorotiazida )

6) Penggunaan antibiotika berlebihan yang menyebabkan berkembangnya


jamur, bakteri dan virus yang lebih ganas.
7) Penyakit tertentu dalam darah ( anemia kronis ) yang menyebabkan terjadinya
gangguan metabolism tubuh, missal berupa gejala polisitomia dan leukemia.
8) Faktor lain seperti stress, diet ketat, cidera sendi, darah tinggi dan olahraga
berlebihan.( VitaHealth, 2007 )
C. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala arthritis gout secara umum adalah sebagai berikut:
1) Nyeri hebat yang tiba-tiba menyerang sendi pada saat tengah malam, biasanya
pada ibu jari kaki ( sendi metatarsofalangeal pertama ) atau jari kaki ( sendi
tarsal )
2) Jumlah sendi yang meradang kurang dari empat ( oligoartritis ) dan
serangannya pada satu sisi ( unilateral )
3) Kulit berwarna kemerahan, terasa panas, bengkak, dan sangat nyeri
4) Pembengkakan sendi umumnya terjadi secara asimetris ( satu sisi tubuh )
5) Demam, dengan suhu tubuh 38,30C atau lebih, tidak menurun lebih dari tiga
hari walau telah dilakukan perawatan
6) Ruam kulit, sakit tenggorokan, lidah berwarna merah atau gusi berdarah
7) Bengkak pada kaki dan peningkatan berat badan yang tiba-tiba
8) Diare atau muntah. ( VitaHealth, 2007 )
D. Patofisiologi
Banyak faktor yang berperan dalam mekanisme serangan gout. Salah satunya yang
telah diketahui peranannya adalah kosentrasi asam urat dalam darah. Mekanisme
serangan gout akut berlangsung melalui beberapa fase secara berurutan.
1. Presipitasi kristal monosodium urat.
Presipitasi monosodium urat dapat terjadi di jaringan bila kosentrasi dalam
plasma lebih dari 9 mg/dl. Presipitasi ini terjadi di rawan, sonovium, jaringan
para- artikuler misalnya bursa, tendon, dan selaputnya. Kristal urat yang
bermuatan negatif akan dibungkus (coate) oleh berbagai macam protein.
Pembungkusan dengan IgG akan merangsang netrofil untuk berespon terhadap
pembentukan kristal.
2. Respon leukosit polimorfonukuler (PMN)
Pembentukan kristal menghasilkan faktor kemotaksis yang menimbulkan
respon leukosit PMN dan selanjutnya akan terjadi fagositosis kristal oleh
leukosit.
3. Fagositosis

Kristal difagositosis olah leukosit membentuk fagolisosom dan akhirnya


membram vakuala disekeliling kristal bersatu dan membram leukositik
lisosom.
4. Kerusakan lisosom
Terjadi kerusakn lisosom, sesudah selaput protein dirusak, terjadi ikatan
hidrogen

antara

permukan

kristal

membram

lisosom,

peristiwa

ini

menyebabkan robekan membram dan pelepasan enzim-enzim dan oksidase


radikal kedalam sitoplasma.
5. Kerusakan sel
Setelah terjadi kerusakan sel, enzim-enzim lisosom dilepaskan kedalam cairan
sinovial, yang menyebabkan kenaikan intensitas inflamasi dan kerusakan
jaringan.( Khaidir Muhaj, 2010 )
E. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan dilakukan secara dini agar tidak terjadi kerusakan sendi atau
komplikasi lain misalnya pada ginjal. Pengobatan arthritis gout akan bertujuan
menghilangkan keluhan nyeri sendi dan peradangan dengan obat-obatan,
antara lain:
a. Kolkisin
Indikasi : penyakit gout (spesifik).
Mekanisme kerja : Menghambat migrasi granulosit ke tempat radang
menyebabkan mediator berkurang dan selanjutnya mengurangi
peradangan. Kolkisin juga menghambat pelepasan glikoprotein dari
leukosit yang merupakan penyebab terjadinya nyeri dan radang sendi

pada gout.
Dosis : 0,5 0,6 mg tiap satu jam atau 1,2 mg sebagai dosis awal dan
diikuti 0,5 0,6 mg tiap 2 jam sampai gejala penyakit hilang atau
mulai timbul gejala saluran cerna, misalnya muntah dan diare.Dapat
diberikan dosis maksimum sampai 7 8 mg tetapi tidak melebihi 7,5
mg dalam waktu 24 jam.Untuk profilaksis diberikan 0,5 1,0 mg
sehari. Pemberian IV : 1-2 mg dilanjutkan dengan 0,5 mg tiap 12 24
jam dan tidak melebihi 4 mg dengan satu regimen pengobatan. Indikasi
pemberian secara intravena :terjadi komplikasi saluran cerna, serangan
akut pada pasca operatif, bila pemberian oral pasca akut tidak
menunjukkan perubahan positif.

Efek samping : muntah, mual, diare dan pengobatan harus dihentikan


bila efek samping ini terjadi walaupun belum mencapai efek terapi.
Bila terjadi ekstravasasi dapat menimbulkan peradangan dan nekrosis
kulit dan jaringan lemak. Pada keracunan kolkisin yang berat terjadi

koagulasi intravascular diseminata.


b. Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS)
1) Indometasin
Indikasi : penyakit arthritis reumatid, gout, dan sejenisnya.Mekanisme
kerja : efektif dalam pengobatan penyakit arthritis reumatid dan
sejenisnya karena memiliki efek anti-inflamasi dan analgesikantipiretik yang sebanding dengan aspirin. Indometasin dapat
menghambat motilitas leukosit polimorfonuklear (PMN). Absorpsi
indometasi cukup baik dengan pemberian oral dengan 92 99% terikat
pada protein plasma. Metabolismenya terjadi di hati dan diekskresi
dalam bentuk asal maupun metabolit lewat urin dan hempedu. Waktu
parah plasma kira-kira 2 4 jam.Dosis : 2 4 kali 25 mg sehariKontra
indikasi : anak, wanita hamil, pasien gangguan psikiatri, pasien dengan
penyakit lambung. Efek samping : amat toksik sehingga dapat
menyebabkan nyeri abdomen, diare, pendarahan lambung, pancreatitis,
sakit kepala yang hebat disertai pusing, depresi, rasa bingung,
halusinasi, psikosis, agranulositosis, anemia aplastik, trombositopena,
hiperkalemia, alergi
2) Fenilbutazon
Dosis : bergantung pada beratnya serangan. Pada serangan berat : 3 x
200 mg selama 24 jam pertama, kemudian dosis dikurangi menjadi 500
mg sehari pada hari kedua, 400 mg pada hari ketiga, selanjutnya 100
mg sehari sampai sembuh. Pemberian secara suntikan adalah 600 mg
dosis tunggal. Pemberian secara ini biasanya untuk penderita dioperasi.
3) Kortikosteroid
Indikasi : penderita dengan arthritis gout yang recurrent, bila tidak ada
perbaikan dengan obat-obat lain, dan pada penderita intoleran terhadap
obat lain. Dosis : 0,5 mg pada pemberian intramuscular. Pada kasus
resisten, dosis dinaikkan antara 0,75 1,0 mg dan kemudian diturunkkan
secara bertahap samapi 0,1 mg. Efek obat jelas tampak dalam 3 hari
pengobatan.

c. Golongan urikosurik; untuk menurunkan kadar asam urat


1) Allopurinol
Penggunaan jangka panjang dapat mengurangi frekuensi serangan,
menghambat

pembentukan

tofi,

memobilisasi

asam

urat

dan

mengurangi besarnya tofi. Dapat juga digunakan untuk pengobatan


pirai sekunder akibat polisitemia vera, metaplasia myeloid, leukemia,
limfoma, psoriasis, hiperurisemia akibat obat dan radiasi.Mekanisme
kerja: menghambat xantin oksidase agar hipoxantin tidak dikonversi
menjadi xantin dan selanjutnya menjadi asam urat. Mengalami
biotransformasi oleh enzim xantin oksidase menjadi aloxantin yang
mempunyai masa paruh yang lebih panjang.
Efek allopurinol dilawan oleh salisilat, berkurang pada insufficient
ginjal, dan tidak menyebabkan batu ginjal.
Dosis :
Pirai ringan : 200 400 mg sehari
Pirai berat : 400 600 mg sehari
Pasien dengan gangguan fungsi ginjal : 100 200 mg sehari
Anak (6 10 tahun) : 300 mg sehari
2) Probenesid
Indikasi : penyakit gout stadium menahun, hiperurisemia sekunder.
Mekanisme kerja : mencegah dan mengurangi kerusakan sendi serta
pembentukan tofi pada penyakit gout, tidak efektif untuk mengatasi
serangan

akut.

Probenasid

tidak

efektif

bila

laju

filtrasi

glomerulus.Dosis : 2 x 250 mg/hari selama seminggu diikuti dengan 2


x 500 mg/hari.Kontra indikasi : adanya riwayat batu ginjal, penderita
dengan jumlah urin yang berkurang, hipersensitivitas terhadap
probenesid.Efek samping : gangguan saluran cerna yang lebih ringan,
nyeri kepala, reaksi alergi.
3) Sulfipirazon
Mekanisme kerja: mencegah dan mengurangi kelainan sendi dan tofi
pada penyakit pirai kronik, berdasarkan hambatan reabsorpsi tubular
asam urat. Kurang efektif untuk menurunkan asam urat dan tidak
efektif untuk mengatasi serangan pirai akut, meningkatkan frekuensi
serangan pada fase akut.Dosis : 2 x 100 200 mg sehari, ditingkatkan
sampai 400 800 mg kemudian dikurangi sampai dosis efektif
minimalKontra indikasi : pasien dengan riwayat ulkus peptic. Efek

samping

gangguan

cerna

agranulositosis (Emir Afif, 2010 )


2. Penatalaksanaan Keperawatan

V.

VI.

PATHWAY PENUAAN SISTEM TERKAIT

ASUHAN KEPERAWATAN
a. Pengkajian
b. Analisa Data
c. Rencana Tindakan
d. Implementasi
e. Evaluasi

BAB III
KASUS
A. Pengkajian
Pengkajian Keperawatan
Nama Perawat

: Heni Andriyani

Tanggal Pengkajian

: 12 Juli 2016

Jam Pengkajian

: 10.20 WIB

1. Biodata :
Klien
Nama

: Tn. S

Usia

: 61 tahun

Agama

: Islam

yang

berat,

anemia,

leukopenia,

Pendidikan

: SMA

Pekerjaan

: Supir

Status Pernikahan

: Belum menikah

Alamat

: BPSTW Giri Sarangan Pakem Sleman Yogyakarta

Penanggung Jawab
Nama

Usia

Agama

Pendidikan

Pekerjaan

Status Pernikahan

Alamat

Hubungan dengan klien

2. Keluhan utama :
Sering pegal-pegal serta nyeri persendian
3. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Penyakit Sekarang :
Klien Tn S 61 tahun mengatakan mengalami pegen-pegel serta nyeri pada pesendian,
klien klien di beri obat Declofenac 2x1.
b. Riwayat Penyakit Dahulu :
Klien pernah mengalami penyakit Stroke tetapi tidak pernah dirawat inap di RS
c. Riwayat Penyakit Keluarga :
Klien mengatakan didalam keluarga tidak riwayat tekanan darah tinggi serta tidak
ada yang memiliki riwayat diabetes melitus
4. Asuhan Keperawatan
1) Pengkajian Pola GORDON
A. Pola Persepsi Kesehatan dan Pemeliharaan Kesehatan

Subjektif : Klien mengatakan sekarang klien merasa sedikit kurang sehat karena
badanya sering pegal-pegal serta terkadang nyeri pada daerah persendian. Klien
mengatakan bisa mengatasi hal hal yang mempengaruhi kesehatannya dengan
cara istrahat sejenak dan melakukan aktivitas jalan-jalan. Klien mengatakan cara
mengatasi penyakitnya selain beristirahat klien juga mengonsumsi obat Diclofenac
2 kali sehari pagi dan malam. Klien jarang memeriksa keadaannya ke poli yang di
buka setiap selasa. Klien mengonsumsi makanan sesuai yang di berikan dari panti.
Klien mengatakan pernah mengalami stroke ringan tetapi tidak sampai dirawat di
RS. Klien mengatakan tidak punya alergi terhadap makanan apapun.

Objektif :
Hasil observasi menunjukkan rambut beruban dan kotor, kulit kering, tidak
menggunakan gigi palsu serta ada karies gigi, klien jarang mandi dan mengganti
pakaian.
A. Pola Nutrisi Metabolik
Subyektif: Klien mengatakan klien di beri makan nasi sebanyak 3 kali dalam sehari,
jenisnya nasi dan sayur. Klien mengatakan makanan kesukaannya adalah makanan
bersantan. Nafsu makan klien baik, dan tidak ada gangguan. Klien mengatakan tidak
ada kesulitan makan seperti nyeri menelan, mual, kembung, sulit menelan. Klien
mengatakan hanya memakan yang diberikan oleh panti saja Berat badan klien normal
dalam 3 bulan terakhir stabil, BB klien 67 kg.
Obyektif:
Hasil observasi menunjukkan rambut terlihat kotor, konjungtiva tidak anemis, sklera
putih, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening, tidak ada tanda-tanda dehidrasi,
kemampuan mengunyah keras, dan klien tidak menggunakan gigi palsu. tidak terlihat
edema dan klien dapat melakukan perubahan posisi atau ambulasi.
B. Pola Eliminasi
Subyektif: Klien mengatakan dalam sehari klien BAB 1 kali saat pagi hari, dengan
konsistensi padat lunak dan berwarna kuning. Klien mengatakan tidak ada kesulitan
saat BAB. Klien mengatakan tidak menggunakan obat pencahar. Klien mengatakan
dalam sehari klien BAK 6 kali. Klien tidak mengeluarkan BAK saat batuk, bersin atau
tertawa.

Obyektif:
Hasil observasi menunjukkan: tidak ada ascites, klien tidak terlihat memegang
perutnya. Klien BAB kurang lebih 6 kali sehari.
C. Pola Aktivitas dan Latihan
Subyektif: Klien mengatakan selalu mengikuti senam yang diadakan oleh panti setiap
pagi, klien juga melakukan aktivitas beres-beres panti ketika ada jadwalnya saja. Klien
juga mengatakan aktivitasnya hanya jalan-jalan keliling panti kalau bosan kalau tidak
bosan hanya tiduran saja atau nonton TV saja. klien tidak menggunakan alat bantu saat
klien beraktivitas. Klien juga tidak mengalami gangguan keseimbangan. Klien
mengatakan tidak merasakan sesak dan lemah.
Obyektif:
Hasil observasi menunjukkan klien tidak memerlukan alat bantu untuk beraktivitas,
indeks KATZ A (mandiri untuk 6 aktivitas), lingkungan aman untuk aktivitas,
kekuatan otot 5/5, ROM aktif kanan dan kiri, tidak ada tanda-tanda sianosis, dan
takikardi. Tidak ada dispneu, ekstremitas hangat, lansia mampu pindah tempat secara
mandiri.
D. Pola Istirahat-Tidur
Subyektif: Klien mengatakan merasa segar ketika bangun pagi. Klien mengatakan
malam klien tidur jam 12 sampai jam 5 pagi, dan pada siang hari klien jarang tidur
siang hanya jika kalau ngantuk saja. Klien mengatakan saat tidur klien nyanyak dan
tidak terbangun. Klien tidak mengalami gangguan tidur.
Obyektif:
Hasil observasi menunjukkan: tidak ada tanda-tanda kurang tidur, klien tidak
menggunakan obat tidur, tidak ada tanda dan gejala kurang tidur seperti lingkar mata
yang kehitaman.
E. Pola Kognitif-Perceptual
Subyektif: Klien mengatakan tidak menggunakan alat bantu pendengaran. Klien
mengatakan tidak ada gangguan pada pendengaran, penciuman, penglihatan,
pengecapan, dan perabaan. Klien mengatakan sangat gampang lupa. Klien tidak
mengalami disorientasi tempat dan waktu, klien menyabutkan dengan benar tempat
dan waktu. Klien mengambil keputusan secara mandiri tanpa di bantu. Klien tidak ada
gangguan dalam konsentrasi. Klien kooperatif dan tidak gelisah. Klien mempunyai
riwayat sroke.
Obyektif:

MMSE : 24 (normal), fungsi persepsi sensori baik, hasil SPMSQ = 8 (fungsi mental
utuh)
F. Pola Persepsi Diri-Konsep Diri
Subyektif : Klien mengatakan untuk mengatasi kekawatirannya dengan cara berdoa.
Klien berpostur tubuh bungkuk, tinggi, kontak mata bagus, klien berpenampilan
sedikit kotor dan tidak begitu rapi. Klien selalu berpikiran positif terhadap dirinya.
Klien mengatakan tidak takut mati tapi klien takut sakit.
Objektif:
TD: 130/80 mmHg, lansia tidak terlihat pasif
G. Pola Peran Hubungan
Subyektif: Klien selalu mengikuti senam lansia yang diadakan dilingkungan BPSTW.
Hubungan.

Klien sering mengikuti kegiatan di BPSTW seperti senam, kerajian,

dendang ria, dan acara keagamaan.


Obyektif:
Hasil interaksi menunjukkan: klien aktif berinteraksi dengan lingkungannya dan tidak
ada tanda-tanda hambatan interaksi sosial
H. Pola Seksual Reproduksi
Subyektif:
Klien tidak menikah, tetapi klien mengatakan ia sudah menikah dan memiliki anak
dan istri di batam.
I. Pola Koping-Toleransi Stress
Subyektif: status emosi klien stabil. Upaya klien untuk mengatasi strees yang dialami
dengan cara menonton TV atau jalan-jalan di sekitar panti.
Obyektif :
Afek sesuai, status emosi stabil
J. Pola Nilai-Kepercayaan
Subyektif: Klien beragama Islam. Klien jarang sholat 5 waktu tetapi Klien selalu
melakukan sholat jumat dimasjid BPSTW. Budaya yang dianut klien adalah budaya
jawa. Klien mengatakan tidak cemas dengan keadaannya saat ini dan menyerahkan
semua yang terbaik ada pada TUHAN, klien menganggap semua sudah diatur oleh
Yang Maha Kuasa. Klien tidak marah pada tuhan karena sakit. Klien tidak mengalami
kesulitan saat melakukan ibadah
Obyektif:
Hasil observasi menunjukkan: klien mempunyai sajadah, peci.

Analisa Data
No.
Data Fokus
Problem
1.
DS :
Nyeri
Klien mengatakan sekarang klien merasa sedikit
Akut
kurang sehat karena sering merasa pegel-pegel serta
nyeri sendi..Klien mengatakan bisa mengatasi hal
hal yang mempengaruhi kesehatannya dengan cara

istrahat sejenak saat nyeri timbul atau pegel-pegel


badannya

timbul

selain

istrahat

klien

juga

mengonsumsi obat Dicloflenac 2 kali sehari pagi


dan malam apabila nyerinya timbul saja.
P : Saat aktivitas
Q: Seperti tertindih dan dicengkeram
R : di persendian kaki dan daerah sekitar bahu
S:3
T : selama 10-20 menit
DO
TTVTD : 130/90mmHg, Nadi : 72x/menit, RR :
21x/menit, Suhu : 36,3 0C.
Hasil pemeriksaan asam urat 10,18
2.

DS :
DO :
Pasien tampak kotor
Pakaian pasien tampak tidak rapi
Pasien tercium bau
Kuku pasien tampak kotor
Ada karang gigi

Defisit perawatan diri :


Mandi

PLANNING
DX KEPERAWATAN

NOC

NIC

Kode

Diagnosa

Kode

Hasil

Kode

Hasil

00134

Nyeri Akut

3016

Kepuasan
Klien:
Manajemen
Nyeri

1400

Manajemen Nyeri

00108

Defisit
perawatan
diri :
Mandi

0305

Perawatan diri 1801


: Kebersihan

Bantuan perawatan
diri :
Mandi/kebersihan

IMPLEMENTASI DAN EVALUASI


No

Tang

Dx

gal

13/7

Jam

Implementasi

Evaluasi

13:14

Nyeri Akut

S:

2016

Nama
/TTD
Heni

Nyeri terkontrol (Agak puas)

Efek samping obat terpantau


(Cukup puas)

Tingkat nyeri dipantau secara


regular (Agak puas)

Mengambil tindakan untuk


member kenyamanan (agak
puas)

Mempertimbangkan pilihan
untuk manajemen nyeri (Agak
puas)

O:

Mempertimbangkan pilihan
individu (Cukup puas)

Pendekatan-pendekatan
preventif digunakan manajemen

Defisit perawatan diri


: Mandi

nyeri (Cukup puas)

Informasi disediakan untuk


mengurangi nyeri (Cukup puas)

Informasi diberikan untuk


mengelola obat-obatan (cukup
puas)

A : Intervensi belum tercapai


P : Lanjut Intervensi
2

13/7

13:14

Heni

2016

S:

Mencuci tangan (Cukup


terganggu)

Membersihkan telinga (Cukup


terganggu)

Mempertahankan kebersihan
mulut ( sangat terganggu)

Mengeramas rambut (sangat


terganggu)

Memperhatikan kuku kaki


(sangat terganggu)

Meperhatikan kuku jari tangan


(sangat terganggu)

O:

Mempertahankan Penampilan
yang rapi (cukup terganggu)

Mempertahankan kebersihan
tubuh (Sangat terganggu)

A : Intervensi belum tercapai


P : Lanjut intervensi

Heni

IMPLEMENTASI DAN EVALUASI


No

Tang

Dx

gal

14/7

Jam

Implementasi

Evaluasi

13:14

Nyeri Akut

S:

2016

Nama
/TTD
Heni

Nyeri terkontrol (cukup puas


puas)

Efek samping obat terpantau


(Cukup puas)

Tingkat nyeri dipantau secara


regular (cukup puas)

Mengambil tindakan untuk


member kenyamanan (Cukup
puas)

Mempertimbangkan pilihan
untuk manajemen nyeri (Cukup
puas)

O:

Mempertimbangkan pilihan
individu (Cukup puas)

Pendekatan-pendekatan

Defisit perawatan diri

preventif digunakan manajemen

: Mandi

nyeri (Cukup puas)

Informasi disediakan untuk


mengurangi nyeri (Cukup puas)

Informasi diberikan untuk


mengelola obat-obatan (cukup
puas)

A : Intervensi tercapai
2

13/7

13:14

P : Intervensi dihentikan

Heni

2016

S:

Mencuci tangan (Cukup


terganggu)

Membersihkan telinga (Cukup


terganggu)

Mempertahankan kebersihan
mulut (Sangat terganggu)

Mengeramas rambut (sangat


terganggu)

Memperhatikan kuku kaki


(sangat terganggu)

Meperhatikan kuku jari tangan


(sangat terganggu)

O:

Mempertahankan Penampilan
yang rapi (cukup terganggu)

Mempertahankan kebersihan
tubuh (sangat terganggu)

A : Intervensi belum tercapai


P : Lanjut intervensi

IMPLEMENTASI DAN EVALUASI

Heni

No

Tang

Dx

gal

15/7

Jam

Implementasi

Evaluasi

09:14

Defisit perawatan diri

S:

: Mandi

2016

Nama
/TTD
Heni

Mencuci tangan (Cukup


terganggu)

Membersihkan telinga (cukup


terganggu)

Mempertahankan kebersihan
mulut (sangat terganggu)

Mengeramas rambut (sangat


terganggu)

Memperhatikan kuku kaki


(sangat terganggu)

Meperhatikan kuku jari tangan


(sangat terganggu)

O:

Mempertahankan Penampilan
yang rapi (cukup terganggu)

Mempertahankan kebersihan
tubuh (Sangat terganggu)

A : Intervensi belum tercapai


P : Lanjut intervensi

13/7
2016

13:14

Heni

Heni

DAFTAR PUSTAKA
Afif, Emir. 2010. Makalah Penyakit Gout , ( Online ), ( http://x-emriust89.blogspot.com /
2010/03/makalah-penyakit-gout.html, diakses pada tanggal 2 Mei 2013 )
Corwin, Elizabeth J.2009. Buku Saku Patofisiologi, Edisi 3. Jakarta: EGC.
Kee, Joyce LeFever. 2008. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik, Edisi 6
Cetakan I. Jakarta: EGC.

Misnadiarly. 2009. Rematik, Asam Urat, Hiperurisemia, dan Arthritis Gout. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Nurarif; Kusuma. 2013. Aplikasi NANDA, NIC-NOC. Yogyakarta: Mediaction.
Pearce, Evelyn C. 2010. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Internapublishing.
Pranaji, Diah Krisnatuti, dkk. 2007. Perencanaan Menu untuk Penderita Asam Urat. Jakarta:
Niaga Swadaya.
Stanley dan Beare. 2007. Buku Ajar Keperawatan Gerontik ed. 2, Alih bahasa Juniarti dan
Kurnianingsih. EGC. Jakarta.
Syamsuhidayat dan Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC.
Tim Redaksi VitaHealth. 2007. Asam Urat, Informasi Lengkap untuk Penderita dan
Keluarganya. Jakarta: Gramedia Pus

Vous aimerez peut-être aussi