Vous êtes sur la page 1sur 22

PENANGANAN KONSERVATIF TRAUMA KAPITIS

Afdalia Narjianti, Happy Handaruwati


A. DEFINISI
Trauma Kapitis adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik
secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada
gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat
temporer atau permanen. Menurut Brain Injury Association of America,
cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital
ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari
luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.(1,2)
B. EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya
diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal
sebelum tiba di rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80%
dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera
kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB).
Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara
15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 45%-53% dari
insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya
disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi. Data
epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit
di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penerita rawat inap, terdapat

60%-70% dengan CKR, 15%-20%, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka
kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan
untuk CKR tidak ada yang meninggal.(2,3)
C. KLASIFIKASI (4-6)
Cedera kepala bisa diklasifikasikan atas berbagai hal. Untuk
kegunaan praktis, tiga jenis klasifikasi akan sangat berguna, yaitu berdasar
mekanisme, tingkat beratnya cedera kepala serta berdasar morfologi.
1. Berdasarkan mekanisme
a. Cedera kepala tumpul, dapat disebabkan oleh kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh atau pukulan benda tumpul.
b. Cedera kepala tembus (penetrasi), disebabkan luka tembak atau
pukulan benda tumpul.
2. Berdasarkan beratnya
a. Ringan (GCS 14-15)
b. Sedang (GCS 9-13)
c. Berat (GCS 3-8)
3. Berdasarkan morfologi
a. Fraktur tengkorak
1) Kranium: Linear atau stelata, depressed atau nondepressed, dan
terbuka atau tertutup
2) Basis: dengan atau tanpa kebocoran CNS dan dengan atau tanpa
paresis N. VII
b. Lesi intrakranial
1) Fokal
a) Epidural
Hematoma epidural biasanya disebabkan oleh robeknya arteri
meningea media. Sekitar 75% kasus demikian berkaitan
dengan fraktur kranium. Perjalanan klinis klasik (pada
sepertiga kasus), mula-mula kehilangan kesadaran sejenak
(konkusi) kemudian melalui interval bebas gejala (lusid), yang
diikuti oleh penurunan kesadaran sekunder ketika hematoma
2

epidural membesar. Darah dalam rongga espidural akan


menggelembung keluar (konveks) pada CT Scan karena
keterbatasan rongga akibat perlekatan yang erat dengan
duramater pada sutura cranium. Progresi ke herniasi dan
kematian dapat terjadi cepat karena perdarahan berasal dari
arteri.
b) Subdural
Hematoma subdural biasanya berasal dari sumber vena,
dengan pengumpulan darah dalam rongga antara duramater
dan membran subaraknoid. CT Scan memperlihatkan bentuk
hematoma yang kresentik (bulan sabit) sepanjang konveksitas
hemisfer serebri. Pasien usia lanjut dan alkoholik terutama
yang mudah terhadap perdarahan subdural; pada pasien ini,
hematoma besar dapat disebabkan oleh benturan kuat atau
cedera akselerasi/deselerasi (cedera whiplash)
c) Intraserebral
Hematoma intraserebral adalah perdarahan yang terjadi dalam
jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya
laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan
pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan
otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis
dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi
benturan (coup) atau pada sisi lainnya (countercoup). Defisit
neurologis yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung
pada lokasi dan luas perdarahan.
3

c. Difusa: komosio ringan, komosio klasik, dan cedera aksonal difusa


D. ANATOMI (7)
1. Kulit Kepala (Scalp)
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut scalp yaitu:
a. Skin atau kulit
b. Connective tissue atau jaringan penyambung
c. Aponeurosis atau galea apeneurotika yaitu jaringan kulit yang
menghubungkan langsung dengan tengkorak
d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
e. Perikarnium
Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi
perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak
kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita dewasa yang
cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu lama untuk
mengeluarkannya.

Gambar 1. Lapisan pada kulit kepala. (Dikutip dari kepustakaan 7)


2. Tulang Tengkorak
4

Tulang tengkorak atau cranium terdiri dari kalvarioum dan basis


kranii, di region temporal tulang tipis, namun disini dilapisi oleh otot
temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata dan tidak teratur sehingga
cedera pada kepala dapat menyebabkan kerusakan pada bagian dasar otak
yang bergerak akibat cedera akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak
dasar dibagi atas tiga fosa yaitu anterior, media dan posterior. Fosa
anterior adalah tempat lobus frontalis, fosa media tempat lobus
temporalis dan fosa posterior adalah ruang bagi batang otak bawah dan
serebelum.
3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak, terdiri dari tiga
lapisan yaitu: duramater, araknoid dan piamater. Duramater adalah
selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat
dengan tabula interna atau bagian dalam cranium. Duramater tidak
melekat dengan lapisan di bawahnya (araknoid), terdapat ruang subdural.
Pada cedera kepala, pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak
menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging
veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural.
Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan tabula interna
tengkorak, jadi terletak di ruang epidural. Yang paling sering mengalami
cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis
(fosa media). Di bawah duramater terdapat araknoid yang merupakan
lapisan kedua dan tembus pandang. Lapisan yang ketiga adalah piamater
yang melekat erat pada permukaan korteks serebri. Cairan serebrospinal
5

bersirkulasi diantara selaput araknoid dan piamater dalam ruang sub


araknoid.

Gambar 2. Selaput Otak. (Dikutip dari kepustakaan 7)


4. Otak
Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum dan batang otak.
Serebrum terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks
serebri (lipatan duramater yang berada di inferior sinus sagitalis
superior). Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut
sebagai hemisfer dominan.
Lobus frontalis berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan
pada sisi dominan mengandung pusat ekspresi bicara (area bicara
motorik). Lobus parietalis berhubungan dengan orientasi ruang dan
fungsi sendorik. Lobus temporalis mengatur fungsi memori tertentu.
Lobus occipitalis berukuran lebih kecil dan berfungsi dalam penglihatan.
Batang otak terdiri dari mesensefalon, pons dan medula oblongata.
Mesensefalon dan pons bagian atas berisi system aktivasi retikulasi yang
berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata
berada pusat vital kerdioreseptik yang terus memanjang sampai medulla
6

spinalis di bawahnya. Serebelum bertanggung jawab dalam fungsi


koordinasi

dan

keseimbangan

terletak

dalam

fosa

posterior,

berh8ubungan dengan medulla spinalis batang otak dan kedua hemisfer


serebri.

Gambar 3. Otak (Dikutip dari kepustakaan 7)


5. Cairan serebrospinal dihasilkan oleh pleksus khororoideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 30 ml.jam. pleksus khorideus terletak di
ventrikel lateralis baik kanan maupun kiri, mengalir melalui foramen
monro ke dalam ventrikel tiga. Selanjutnya melalui akuaduktus dari
sylvius menuju ventrikel ke empat, selanjutnya keluar dari sistem menuju
ventrikel ke empat, selanjutnya keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke
ruang subaraknoid yang berada diseluruh permukaan otak dan medulla
spinalis. CSS akan diserap ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio
araknoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalan
CSS dapat menyumbat granulasio araknoid sehingga mengganggu

penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan tekanan intra cranial


(hidrosefalus komunikans).
6. Tentorium
Tentorium serebelli membagi ruang tengkorak menjadi supratentorial dan
infratentorial. Mesensefalon menghubungkan hemisfer serebri dengan
batang otak berjalan melalui celah lebar tentorium, dan saraf ini dapat
tertekan pada keadaan herniasi otak yang umumnya diakibatkan oleh
adanya massa supratentorial atau edema otak. Bagian otak yang sering
terjadi herniasi melalui insisura tentorial adalah sisi medial lobus
temporalis yang disebut girus unkus. Herniasi unkus menyebabkan juga
penekanan traktus piramidalis yang berjalan pada otak tengah. Dilatasi
pupil ipsilateral disertai hemiplegia kontralateral dikenal sebagai sindrom
klasik herniasi tentoral. Jadi, umumnya perdarahan intrakranial terdapat
pada sisi yang sama dengan sisi pupil yang berdilatasi, walaupun tidak
selalu.
E. FISIOLOGI (3)
1. Tekanan Intrakranial
Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat mengakibatkan
tekanan intrakranial yang selanjutnya akan mengganggu fungsi otak yang
akhirnya berdampak buruk terhadap kesudahan penderita. Dan tekanan
intrakranial

yang

tinggi

dapat

menimbulkan

konsekuensi

yang

mengganggu fungsi otak dan tentunya mempengaruhi pula kesembuhan


penderita. Jadi, kenaikan tekanan intrakranial (TIK) tidak hanya
merupakan indikasi adanya masalah serius dalam otak tetapi justru sering
merupakan masalah utamanya. TIK normal pada saat istirahat kira-kira
8

10 mmHg (136 mmH2O), TIK lebih tinggi dari 20 mHg dianggap tidak
normal dan TIK lebih dari 40 mmHg termasuk dalam kenaikan TIK berat.
Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala, semakin buruk prognosisnya.
2. Doktrin Monro-Kellie
Adalah suatu konsep sederhana yang dapat menerangkan pengertian
dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial
selalu konstan, karena rongga cranium pada dasarnya merupakan rongga
yang tidak mungkin mekar. TIK yang normal tidak berarti tidak adanya
lesi masa intrakrnial, karena TIK umumnya tetap dalam batas normal
sampai kondisi penderita mencapai titik dekompensasi dan memasuki
fase ekspansional kurva tekanan-volume. Nilai TIK sendiri tidak dapat
menunjukkan kedudukan pada garis datar kurva berapa banyak volume
lesi masanya.
3. Aliran Darah Otak (ADO)
ADO normal ke dalam otak kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak per
menit. Bila ADO menurun sampai 20-25 ml/100 gr/menit maka aktivitas
EEG akan hilang dan pada ADO 5 ml/100 gr/ menit sel-sel otak
mengalami kematian dan terjadi kerusakan menetap. Pada penderita nontrauma, fenomena autoregulasi mempertahankan ADO pada tingkat yang
konstan apabila tekanan arteri rata-rata 50-160 mmHg. Bila tekanan arteri
rata-rata dibawah 50 mmHg. ADO menurun curam dan bila tekanan arteri
rata-rata di atas 160 mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh darah otak dan
ADO meningkat. Mekanisme autoregulasi sering mengalami gangguan
pada penderita cedera kepala. Akibatnya, penderita-penderita tersebut
sangat rentan terhadap cedera otak sekunder karena iskemia sebagai
9

akibat hipotensi yang tiba-tiba. Sekali mekanisme kompensasi tidak


bekerja dan terjadi kenaikan eksponensial TIK, perfusi otak sangat
berkurang, terutama penderita yang mengalami hipotensi. Karenanya bila
terdapat hematoma intra cranial, haruslah dikeluarkan sedini mungkin
dan tekanan darah yang adekuat tetap harus dipertahankan.
F. PATOFISIOLOGI (1,4)
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap
yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera
pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan
benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses
akselerasi-deselerasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera kepala dapat
terjadi peristiwa coup dan countercoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh
adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi
coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi
yang disebut countercoup. Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala
bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma.
Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak
(substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari
muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak
membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari
benturan (countercoup).(1,4)
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses
patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer,

10

berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia,


peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.(1,4)
G. PEMERIKSAAN KLINIS
Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi
anamnesis,

pemeriksaan

fisik

umum,

pemeriksaan

neurologis

dan

pemeriksaan radiologis. Pada anamnesis informasi penting yang harus


ditanyakan adalah mekanisme trauma. Pada pemeriksaan fisik secara lengkap
dapat dilakukan bersamaan dengan secondary survey. Pemeriksaan meliputi
tanda vital dan system organ. Penilaian GCS awal saat penderita datang ke
rumah sakit sangat penting untuk menilai derajat kegawatan cedera kepala.
Pemeriksaan neurologis, selain pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih
dalam, mencakup pemeriksaan fungsi batang otak, saraf cranial, fungsi
motorik, fungsi sensorik, dan refleks-refleks.(4,8)
Radiografi kranium, untuk mencari adanya fraktur, jika pasien mengalami
gangguan kesadaran sementara atau persisten setelah cedera, adanya tanda
fisik eksternal yang menunjukkan fraktur pada basis kranii, fraktur fasialis,
atau tanda neurologis fokal lainnya. Fraktur cranium pada region
temporoparietal pada pasien yang tidak sadar menunjukkan kemungkinan
hematoma ekstradural, yang disebabkan oleh robekan arteri meningea
media.CT Scan cranial segera dilakukan jika terjadi penurunan tingkat
kesadaran atau jika terdapat fraktur kranium yang disertai kebingungan,
kejang, atau tanda neurologis fokal.(4,8)
H. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal penderita cedera kepala pada dasarnya
memiliki tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera
11

kepala sekunder serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin


sehingga

dapat

membantu

penyembuhan

sel-sel

otak

yang

sakit.

Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada tingkat keparahannya, berupa


cedera kepala ringan, sedang, atau berat. Prinsip penanganan awal meliputi
survey primer dan survey sekunder. Dalam penatalaksanaan survey primer
hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway, breathing, circulation,
disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada
penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survey primer
sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah
hemoestatis otak.(4,9)
1. Pedoman Resusitasi dan Penilaian Awal(4,10)
a. Menilai jalan napas
Bersihkan jalan napas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi palsu,
pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang
kolar servikal, pasang guedel bila dapat ditolerir. Jika cedera orofasial
mengganggu jalan napas, maka pasien harus diintubasi.
b. Menilai pernapasan
Tentukan apakah pasien bernapas spontan atau tidak. Jika tidak, beri
oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien bernapas spontan,
selidiki dan atasi cedera dada berat seperti pneumotoraks,
pneumotoraks tensif, hemopneumotoraks. Pasang oksimeter nadi, jika
tersedia, dengan tujuan menjaga saturasi oksigen minimum 95%. Jika
jalan napas pasien tidak terlindung bahkan terancam atau memperoleh
oksigen yang adekuat (PaO2 > 95 mmHg dan PaCO 2 < 40 mmHg

12

serta saturasi O2 > 95%) atau muntah maka pasien harus diintubasi
serta diventilasi oleh ahli anestesi.
c. Menilai sirkulasi
Otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua
perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus
adanya cedera intraabdomen atau dada. Ukur dan catat frekuensi
denyut jantung dan tekanan darah, pasang alat pemantau dan EKG
bila tersedia. Pasang jalur intravena yang besar, ambil darah vena
untuk pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum, elektrolit, glukosa,
analisis gas darah arteri. Berikan larutan koloid. Sedangkan larutan
kristaloid

(dekstrosa)

menimbulkan

eksaserbasi

edema

otak

pascacedera kepala. Keadaan hipotensi, hipoksia, dan hiperkapnia


memperburuk cedera kepala.
d. Obat kejang
Kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus
diobati. Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahanperlahan dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak
berhasil dapat diberikan fenition 15 mg/kgBB diberikan intravena
perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 10 mg/menit.
e. Menilai tingkat keparahan
1) Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah)
a) Skor skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, atentif, dan
b)
c)
d)
e)

orientatif)
Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya konkusi)
Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit

kepala
f) Tidak adanya kriteria cedera sedang-berat
13

2) Cedera kepala sedang (kelompok resiko sedang)


a) Skor skala koma Glasgow 9-14 (konfusi, letargi atau stupor)
b) Konkusi
c) amnesia pasca-trauma
d) muntah
e) tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle, mata rabun,
hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebrospinal),
kejang
3) Cedera kepala berat (kelompok resiko berat)
a) Skor skala koma Glasgow 3-8 (koma)
b) Penurunan derajat kesadaran secara progresif
c) Tanda neurologis fokalCedera kepala penetrasi atau teraba
fraktur depresi cranium
2. Pedoman Penatalaksanaan(4)
a. Pada semua pasien dengan cedera kepala dan/atau leher, lakukan foto
vertebra servikal (proyeksi antero-posterior, lateral, dan odontoid), kolar
servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal
C1-C7 normal.
b. Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan
prosedur berikut:
1) Pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCl 0,9%) atau
larutan Ringer laktat: cairan isotonis lebih efektif menggantivolume
intravaskulardaripada cairan hipotonis, dan larutan ini tidak
menambah edema serebri.
2) Lakukan pemeriksaan: hematokrit, periksa darah perifer lengkap,
trombosit, kimia darah: glukosa, ureum dan kreatinin, masa
protrombin atau masa tromboplastin parsial, skrining toksikologi dan
alkohol bila perlu.
c. Lakukan CT Scan dengan jendela tulang: foto rontgen kepala tidak
diperlukan jika CT Scan dilakukan, karena CT Scan ini lebih sensitif
14

untuk mendeteksi fraktur. Pasien dengan cedera kepala ringan, sedang,


atau berat, harus dievaluasi adanya:
1) Hematoma epidural
2) Darah dalam subaraknoid dan intraventrikel
3) Kontusio dan perdarahan jaringan otak
4) Edema serebri
5) Obliterasi sisterna perimesensefalik
6) Pergeseran garis tengah
7) Fraktur cranium, cairan dalam sinus, dan pneumosefalus
d. Pada pasien yang koma (GCS < 8) atau pasien dengan tanda-tanda
herniasi, lakukan tindakan berikut ini:
1) Elevasi kepala 30o
2) Hiperventilasi: intubasi dan berikan ventilasi mandatorikintermiten
dengan kecepatan 16-20 kali/menit dengan volume tidal 10-12 ml/kg.
atur tekanan CO2 sampai 28-32 mmHg. Hipokapnia berat (pCO2 < 25
mmHg) harus dihindari sebab dapat menyebabkan vasokontriksi dan
iskemia serebri.
3) Berikan manitol 20% 1 g/kg intravena dalam 20-30 menit. Dosis
ulangan dapat diberikan 4-6 jam kemudian yaitu sebesar dosis
semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam pertama.
4) Pasang kateter Foley
5) Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi (hematoma epidural
yang besar. Hematoma subdural, cedera kepala terbuka, dan fraktur
impresi > 1 diploe).
3. Penatalaksanaan Khusus (4,11,12)
a. Cedera kepala ringan
Pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan ke rumah
tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan bila memenuhi kriteria
berikut:
1) Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya
berjalan) dalam batas normal
2) Foto servikal jelas normal
15

3) Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien


selama 24 jam pertama, dengan instruksi untuk segera kembali ke
bagian gawat darurat jika timbul gejala perburukan.
Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit.
Indikasi rawat antara lain Amnesia postraumatika jelas (lebih dari 1 jam) ,
riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit) , penurunan tingkat
kesadaran, nyeri kepala sedang hingga berat, intoksikasi alkohol atau obat,
fraktur tengkorak, kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea, cedera
penyerta

yang

jelas,

tidak

punya

orang

serumah

yang

dapat

dipertanggungjawabkan, dan CT scan abnormal


b. Cedera kepala sedang
Pasien yang menderita konkusi otak (komosio serebri), dengan GCS 15
(sadar penuh, orientasi baik dan mengikuti perintah) dan CT Scan
normal, tidak perlu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk
observasi di rumah, meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah,
pusing, atau amnesia. Resiko timbulnya lesi intrakranial lanjut yang
bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah minimal.
c. Cedera kepala berat
Setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan segera pada
pasien ini adalah apakan terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera
(hematoma intrakranial yang besar). Jika ada indikasi, harus segera
dikonsulkan ke bedah saraf untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan
cedera kepala berat seyogyanya dilakukan di unit rawat intensif.
Walaupun sedikit sekali yang dapat dilakukan untuk kerusakan primer
16

akibat cedera, tetapi setidaknya dapat mengurangi kerusakan otak


skeunder akibat hipoksia, hipotensi, atau tekanan intrakranial yang
meningkat.
1) Penilaian ulang jalan napas dan ventilasi: umumnya, pasien dengan
stupor atau koma (tidak dapat mengikuti perintah karena derajat
kesadaran menurun) harus diintubasi untuk proteksi jalan napas.
Jika tidak ada bukti tekanan intrakranial meninggi, parameter
ventilasi harus diatur sampai pCO 2 40 mmHg dan pO2 90-100
mmHg.
2) Monitor tekanan darah: jika pasien memperlihatkan ketidakstabilan
hemodinamik (hipotensi atau hipertensi), pemauntauan paling baik
dilakukan dengan kateter arteri. Karena autoregulasi sering
terganggu pada cedera kepala akut, maka tekanan arteri rata-rata
harus dipertahankan untuk menghindari hipotensi (<70 mmHg) dan
hipertensi (>130 mmHg). Hipotensi dapat menyebabkan iskemia
otak sedangkan hipertensi dapat mengeksaserbasi serebri.
3) Pemasangan alat monitor tekanan intrakranial pada pasien dengan
skor GCS < 8, bila memungkinkan.
4) Penatalaksanaan cairan: hanya larutan isotonis (salin normal atau
larutan Ringer laktat) yang diberikan kepada pasien dengan cedera
kepala karena air bebas tambahan dalam salin 0,45% atau dekstrosa
5% dalam air (D5W) dapat menimbulkan eksaserbasi edema
serebri.
5) Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respon hipermetabolik
dan katabolik, dengan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal.
17

Pemberian makanan enteral melalui pipa nasogastrik atau


nasoduodenal harus diberikan sesegera mungkin (biasanya hari
keuda perawatan).
6) Temperatur badan: demam (temperature > 101o F) mengeksaserbasi
cedera otak dan harus diobati secara agresif dengan asetaminofen
atau kompres dingin. Pengobatan penyebab (antibiotic) diberikan
bila perlu.
7) Antikejang: feniton 15-20 mg/kgBB bolus intravena, kemudian 300
mg/hari intravena mengurangi frekuensi kejang pascatrauma dini
(minggu pertama) dari 14% menjadi 4% pada pasien dengan
perdarahan intrakranial traumatic. Pemberian fenitoin tidak
mencegah timbulnya epilepsy pasca trauma di kemudian hari. Jika
pasien tidak menderita kejang, fenitoin harus dihentikan setelah 710 hari. Kadar fenitoin harus dipantau ketat karena kadar subterapi
sering disebabkan hipermetabolisme fenitoin.
8) Steroid: steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien
dengan cedera kepala dan dapat meningkatkan resiko infeksi,
hiperglikemi, dan komplikasi lain. Untuk itu, steroid hanya dipakai
sebagai

pengobatan

terakhir

pada

herniasi

serebri

akut

(deksametason 10 mg intravena setiap 4-6 jam selama 48-72 jam).


9) Profilaksis thrombosis vena dalam: sepatu bot kompresif pneumatic
dipakai pada pasien yang tidak bergerak untuk mencegah terjadinya
thrombosis vena dalam pada eksterimtas bawah dan resiko yang
berkaitan dengan tromboemboli paru. Heparin 5.000 unit subkutan
setiap 12 jam dapat diberikan 72 jam setelah cedera pada pasien
18

dengan imobilisasi lama, bahkan dengan adanya perdarahan


intrakranial.
10) Profilaksis ulkus peptik: pasien dengan ventilasi mekanis atau
koagulopati memiliki resiko ulserasi stress gastric yang meningkat
dan harus mendapat ranitidine 50 mg intravena setiap 8 jam atau
sukralfat 1 gram per oral setiap 6 jam atau H 2 antagonis lain atau
inhibitor proton.
11) Antibiotik: penggunaan antibiotic rutin untuk profilaksis pada
pasien dengan cedera kepala terbuka masih controversial. Golongan
penisilin dapat mengurangi resiko meningitis pneumokok pada
pasien dengan otorea, rinorea cairan serebrospinal atau udara
intrakranial tetapi dapat meningkatkan resiko infeksi dengan
organism yang lebih virulen.
12) CT Scan lanjutan: umumnya, scan otak lanjutan harus dilakukan 24
jam setelah cedera awal pada pasien dengan perdarahan intrakranial
untuk menilai perdarahan yang progresif atau yang timbul
belakangan. Namun, biaya menjadi kendala penghambat.
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk
memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang
dilakukan dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena,
hiperventilasi, pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitrat dan
antikonvulsan. Pada penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan
tindakan operatif. Indikadi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi
klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum
digunakan panduan sebagai berikut:
19

1) Volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentoral


atau lebih dari 20 cc di daerah infratentoral
2) Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta
gejala dan tanda fokal neurologis semakin berat
3) Terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
4) Pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
5) Terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg
6) Terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
7) Terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
8) Terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis
4. Indikasi Operasi Penderita Trauma Kapitis(1)
a. EDH (Epidural Hematom)
1) Perdarahan > 40 cc dengan midline shifting pada daerah temporal
frontal/parietal/ dengan tanda-tanda penekanan batang otak masih
baik.
2) > 30 cc pada daerah fossa posterior dengan tanda-tanda penekanan
batang otak atau hidrosefalus dengan fungsi batang otak masih baik.
3) EDH progresif
b. SDH (Subdural Hematom)
1) SDH luas (> 40 cc / >5 mm) dengan GCS > 6, fungsi batang otak
masih baik.
2) SDH tipis dengan penurunan kesadaran bukan indikasi operasi
3) SDH dengan edema serebri / kontusio serebri disertai midline shift
dengan fungsi batang otak masih baik.
c. ICH (Perdarahan Intraserebral) pasca trauma
1) Penurunan kesadaran progresif
2) Hipertensi dan bradikardi dan tanda-tanda gangguan napas
3)
4)
5)
6)
7)

(Cushing reflex).
Perburukan deficit neurologis fokal.
Fraktur impresi melebihi satu diploe
Fraktur kranii dengan laserasi serebri
Fraktur kranii terbuka (pencegahan infeksi intrakranial)
Edema serebri berat yang disertai tanda peningkatan TIK,

dipertimbangkan operasi dekompresi.


I. PROGNOSIS
20

Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar,


terutama pada pasien dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah
sakit memiliki nilai prognostik yang besar: skor pasien 3-4 memiliki
kemungkinan meningkatkan 85% atau tetap dalam kondisi vegetative hanya
5-10%. Sindrom pascakonkusi berhubungan dengan sindrom kronis nyeri
kepala, keletihan, pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan
perubahan kepribadian yang berkembang pada banyak pasien setelah cedera
kepala. Sering kali bertumpang-tindih dengan gejala depresi.(5)

21

DAFTAR PUSTAKA
1. Wilkinson I, Lennox G. Essential Neurology. 4th Ed. Massachusetts:
Blackwell Publishing; 2005. P.55-66
2. Haberland C. Clinical Neuropathology. New York: Demos Medical
Publishing; 2007. P.261-9
3. Andrews PJD. Traumatic Brain Injury. In: Hughes RAC, editor. Neurogical
Emergencies. 4th Ed. London: BMJ Books; 2003.p.34-61.
4. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI; 2000. hal.3-8
5. Corwin EJ. Buku Saku Patofisiologi. Edisi 3; 2009. Hal.244-7.
6. Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press; 2008. Hal.255-7
7. Wibowo DS, Paryana W. Anatomi Tubuh Manusia. Elsefier: Graha Ilmu
Publishing; 2009. Hal.463-99
8. Ginsberg L. Lecture Notes Neurologi. Edisi 8. Jakarta: Erlangga; 2007.
Hal.114-6
9. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Early Management of Patients
with a Head Injury. Edinburgh: NHS; 2009. P.1-40
10. NSW. Initial Management of Closed Head Injury in Adults. 2nd Ed. North
Sydney: NSW; 2011. P.8-9
11. Ainsworth CR, Geibel J. Head Trauma Treatment & Management. [online]
2015.

[cited

12

March

2016]

Available

from:

http://emedicine.medscape.com /article/433855-treatment
12. Haddad SH, Arabi YM. Critical Care Management of Severe Traumatic Brain
Injury in Adults.; 2012. Scandinavian Journal of Trauma, Resucitation &
Emergency Medicine

22

Vous aimerez peut-être aussi