Vous êtes sur la page 1sur 27

2.

Kematian Batang Otak

2.2.1

Definisi Mati Batang Otak


Walaupun mudah dimengerti sebagai suatu konsep, namun mendefinisikan

kematian otak dalam kata-kata adalah sulit. Pada panduan Australian and New
Zealand Intensive Care Society (ANZICS) yang dipublikasikan pada tahun 1993,
kematian otak didefinisikan sebagai berikut: Istilah kematian otak harus
digunakan untuk merujuk pada berhentinya semua fungsi otak secara ireversibel.
Kematian otak terjadi saat terjadi hilangnya kesadaran yang ireversibel, dan
hilangnya respon refleks batang otak dan fungsi pernapasan pusat secara
ireversibel, atau berhentinya aliran darah intrakranial secara ireversibel.1
Menurut kriteria komite ad hoc Harvard tahun 1968, kematian otak
didefinisikan oleh beberapa hal. Yang pertama, adanya otak yang tidak berfungsi
lagi secara permanen, yang ditentukan dengan tidak adanya resepsi dan respon
terhadap rangsang, tidak adanya pergerakan napas, dan tidak adanya refleksrefleks, yakni respon pupil terhadap cahaya terang, pergerakan okuler pada uji
penggelengan kepala dan uji kalori, refleks berkedip, aktivitas postural (misalnya
deserebrasi), refleks menelan, menguap, dan bersuara, refleks kornea, refleks
faring, refleks tendon dalam, dan respon terhadap rangsang plantar. Yang kedua
adalah data konfirmasi yakni EEG yang isoelektris. Kedua tes tersebut diulang 24
jam setelah tes pertama, tanpa adanya hipotermia (suhu < 32,2o C) atau pemberian
depresan sistem saraf pusat seperti barbiturat. Penentuan tersebut harus dilakukan
oleh seorang dokter. 1
Menurut Uniform Determination of Death Act, yang dikembangkan oleh
National Conference of Commissioners on Uniform State Laws, Presidents
Commission for the Study of Ethical Problems in Medicine and Biomedical and
Behavioral Research, seseorang dinyatakan mati otak apabila mengalami (1)
terhentinya fungsi sirkulasi dan respirasi secara ireversibel, dan (2) terhentinya
semua fungsi otak secara keseluruhan, termasuk batang otak, secara ireversibel.
Terhentinya fungsi sirkulasi dan respirasi dinilai dari tidak adanya denyut jantung
dan usaha napas, serta pemeriksaan EKG dan uji apnea. Terhentinya fungsi otak

dinilai dari adanya keadaan koma serta hilangnya fungsi batang otak berupa
absennya refleks - refleks.2
Menurut panduan yang digunakan di Amerika Serikat, kematian otak
didefinisikan sebagai hilangnya semua fungsi otak secara ireversibel, termasuk
batang otak. Tiga temuan penting dalam kematian otak adalah koma, hilangnya
refleks batang otak, dan apnea.1,2
Diagnosis kematian batang otak merupakan diagnosis klinis. Tidak
diperlukan pemeriksaan lain apabila pemeriksaan klinis (termasuk pemeriksaan
refleks batang otak dan tes apnea) dapat dilaksanakan secara adekuat. Apabila
temuan klinis yang sesuai dengan kriteria kematian batang otak atau pemeriksaan
konfirmatif yang mendukung diagnosis kematian batang otak tidak dapat
diperoleh, diagnosis kematian batang otak tidak dapat ditegakkan.3
2.2.2

Etiologi
Kematian otak ditandai dengan koma, apneu dan hilangnya semua refleks

batang otak. Diagnosis klinis ini pertama kali disampaikan dalam kepustakaan
kedokteran pada tahun 1959 dan kemudian digunakan dalam praktik kedokteran
pada dekade berikutnya pada bidang trauma klinis yang spesifik. Kebanyakan
kasus kematian dapat didiagnosis di tempat tidur pasien.
Penyebab umum kematian otak termasuk trauma, perdarahan intrakranial,
hipoksia, overdosis obat, tenggelam, tumor otak primer, meningitis, pembunuhan
dan bunuh diri. Dalam kepustakaan lain, hipoglikemia jangka panjang disebut
sebagai penyebab kematian otak.4
Penentuan kematian otak sangat tergantung dari gejala klinis dan hasil
laboratorium. Secara klinis, seseorang dinyatakan mati otak jika semua keadaan
berikut ditemukan:
1. Tidak ada respirasi spontan (tidak dapat menghirup napas sendiri).
2. Pupil dilatasi dan terfiksir (mata midriasis, tidak ada reaksi terhadap
cahaya).
3. Tidak ada respon terhadap stimulus noksius (rangsang nyeri tidak disertai
kedipan mata, tanpa mimik meringis, tanpa gerakan anggota tubuh
manapun).
2

4. Semua anggota tungkai flaksid (tidak ada pergerakan, tanpa tonus otot dan
hilangnya aktivitas refleks pada tangan ataupun kaki).
5. Tidak ada tanda-tanda aktivitas batang otak:
Bola mata terfiksasi dalam orbita.
Tidak ada refleks kornea.
Tidak ada respon terhadap tes-tes kalori.
Tidak ada refleks muntah atau batuk.
2.2.3

Patofisiologi
Patofisiologi penting terjadinya kematian otak adalah peningkatan hebat

tekanan intrakranial (TIK) yang disebabkan perdarahan atau edema otak. Jika TIK
meningkat mendekati tekanan darah arterial, kemudian tekanan perfusi serebral
(TPS) mendekati nol, maka perfusi serebral akan terhenti dan kematian otak
terjadi.5
Aliran darah normal yang melalui jaringan otak pada orang dewasa ratarata sekitar 50 sampai 60 mililiter per 100 gram otak per menit. Untuk seluruh
otak, yang kira-kira beratnya 12001400 gram terdapat 700 sampai 840 ml/menit.
Penghentian aliran darah ke otak secara total akan menyebabkan hilangnya
kesadaran dalam waktu 5 sampai 10 detik. Hal ini dapat terjadi karena tidak ada
pengiriman oksigen ke sel-sel otak yang kemudian langsung menghentikan
sebagian metabolismenya. Aliran darah ke otak yang terhenti untuk tiga menit
dapat menimbulkan perubahan-perubahan yang bersifat irreversibel. Sedikitnya
terdapat tiga faktor metabolik yang memberi pengaruh kuat terhadap pengaturan
aliran darah serebral. Ketiga faktor tersebut adalah konsentrasi karbon dioksida,
konsentrasi ion hidrogen dan konsentrasi oksigen. Peningkatan konsentrasi karbon
dioksida maupun ion hidrogen akan meningkatkan aliran darah serebral,
sedangkan penurunan konsentrasi oksigen akan meningkatkan aliran.1
Faktor-faktor iskemia dan nekrotik pada otak oleh karena kurangnya aliran
oksigen ke otak menyebabkan terganggunya fungsi dan struktur otak, baik itu
secara reversible dan ireversibel. Percobaan pada binatang menunjukkan aliran
darah otak dikatakan kritis apabila aliran darah otak 23/ml/100mg/menit (normal

55 ml/100mg/menit). Jika dalam waktu singkat aliran darah otak ditambahkan di


atas 23 ml, maka kerusakan fungsi otak dapat diperbaiki. Pengurangan aliran
darah otak di bawah 8-9 ml/100 mg/menit akan menyebabkan infark, tergantung
lamanya. Dikatakan hipoperfusi jika aliran darah otak di antara 8 dan 23 ml/100
mg/menit.6
Jika jumlah darah yang mengalir ke dalam otak regional tersumbat secara
parsial, maka daerah yang bersangkutan langsung menderita karena kekurangan
oksigen. Daerah tersebut dinamakan daerah iskemik. Di wilayah itu didapati: 1)
tekanan perfusi yang rendah, 2) PO2 turun, 3) CO2 dan asam laktat tertimbun.
Autoregulasi dan kelola vasomotor dalam daerah tersebut bekerja sama untuk
menanggulangi keadaan iskemik itu dengan mengadakan vasodilatasi maksimal.
Pada umumnya, hanya pada perbatasan daerah iskemik saja bisa dihasilkan
vasodilatasi kolateral, sehingga daerah perbatasan tersebut dapat diselamatkan
dari kematian. Tetapi pusat dari daerah iskemik tersebut tidak dapat teratasi oleh
mekanisme autoregulasi dan kelola vasomotor. Di situ akan berkembang proses
degenerasi yang ireversibel. Semua pembuluh darah dibagian pusat daerah
iskemik itu kehilangan tonus, sehinga berada dalam keadaan vasoparalisis.
Keadaan ini masih bisa diperbaiki, oleh karena sel-sel otot polos pembuluh darah
bisa bertahan dalam keadaan anoksik yang cukup lama. Tetapi sel-sel saraf daerah
iskemik itu tidak bisa tahan lama. Pembengkakan sel dengan pembengkakan
serabut saraf dan selubung mielinnya (udem serebri) merupakan reaksi degeneratif
dini. Kemudian disusul dengan diapedesis eritosit dan leukosit. Akhirnya sel-sel
saraf akan musnah. Yang pertama adalah gambaran yang sesuai dengan keadaan
iskemik dan yang terakhir adalah gambaran infark.7
Adapun pada hipoglikemia, mekanisme yang terjadi sifatnya umum.
Hipoglikemia jangka panjang menyebabkan kegagalan fungsi otak. Berbagai
mekanisme dikatakan terlibat dalam patogenesisnya, termasuk pelepasan glutamat
dan aktivasi reseptor glutamat neuron, produksi spesies oksigen reaktif, pelepasan
Zinc neuron, aktivasi poli (ADP-ribose) polymerase dan transisi permeabilitas
mitokondria.

2.2.4

Kriteria Mati Batang Otak


Pada tahun 1959 Mollaret dan Goulon memperkenalkan istilah coma de

pass (koma irreversibel) dalam menggambarkan 23 pasien koma dengan


hilangnya kesadaran, refleks batang otak, respirasi dan dengan hasil
elektroensefalogram yang mendatar. Pada tahun 1968, sebuah komite Ad hoc pada
Fakultas Kedokteran Harvard meninjau kembali defenisi kematian otak dan
kemudian diartikan sebagai koma ireversibel atau kematian otak adalah tidak
adanya respon terhadap stimulus, tidak ada gerakan napas, tidak adanya refleks
batang otak dan koma yang penyebabnya sudah diketahui, kondisi tersebut
menetap sekurang-kurangnya 6 sampai 24 jam.8
Pada tahun 1971 Mohandas dan Chou menggambarkan kerusakan batang
otak sebagai komponen penting dari kerusakan otak yang berat. Konferensi
perguruan tinggi Medical Royal dan fakultas-fakultas yang ada di dalamnya di
Kerajaan Inggris pada tahun 1976, menerbitkan sebuah pernyataan mengenai
diagnosis kematian otak dimana kematian otak diartikan sebagai hilangnya fungsi
batang otak secara lengkap dan ireversibel. Pernyataan ini memberikan pedoman
yang termasuk di dalamnya perbaikan dalam uji apnea dan memusatkan perhatian
pada batang otak sebagai pusat dari fungsi otak. Tanpa batang otak ini, tidak ada
kehidupan. Pada tahun 1981 komisi presiden untuk studi masalah etik dalam
kedokteran biomedis juga penelitian tentang perilaku menerbitkan pedomannya.
Dokumen tersebut merekomendasikan kegunaan tes konfirmasi untuk mengurangi
durasi waktu yang dibutuhkan untuk observasi dan merekomendasikan periode 24
jam bagi pasien dengan gangguan anoksia dan kemudian menyingkirkan syok
sebagai syarat untuk menentukan kematian otak. Akhir-akhir ini Akademi
Neurologi Amerika memberikan kasus berdasarkan bukti dan menyarankan
adanya pemeriksaan-pemeriksaan dalam praktek. Laporan ini secara spesifik
mengarah kepada adanya peralatan-peralatan pemeriksaan klinis dan tes
konfirmasi validitas serta adanya deskripsi tentang uji apnea dalam praktek.
Sehubungan dengan dibutuhkannya konsep kematian otak, maupun metode
terstruktur suatu diagnosis, beragam kriteria telah diterbitkan. Beberapa
diantaranya:

1. Kriteria Harvard
Kunci perkembangan diagnosis kematian otak diterbitkan Kriteria
Harvard, kunci diagnosis tersebut adalah:
Tidak bereaksi terhadap stimulus noksius yang intensif (unresponsive coma).
Hilangnya kemampuan bernapas spontan.
Hilangnya refleks batang otak dan spinal.
Hilangnya aktivitas postural seperti deserebrasi.
EEG datar.
Hipotermia dan pemakaian depresan seperti barbiturat harus disingkirkan.
Kemudian, temuan klinis dan EEG harus tetap saat evaluasi sekurang-kurangnya
24 jam kemudian.
2. Kriteria Minnesota
Pengalaman klinis dengan menggunakan kriteria Harvard yang disarankan
mungkin sangat terbatas. Hal ini menyebabkan Mohandes dan Chou
mengusulkan Kriteria Minnesota untuk kematian otak. Yang dihilangkan
dari kriteria ini adalah tidak dimasukkannya refleks spinalis dan aktivitas
EEG (elektroensefalograf dan masih dipandang sebagai sebuah pilihan
pemeriksaan untuk konfirmasi), elemen kunci kriteria Minnesota adalah:
Hilangnya respirasi spontan setelah masa 4 menit pemeriksaan.
Hilangnya refleks otak yang ditandai dengan: pupil dilatasi, hilangnya
refleks batuk, refleks kornea dan siliospinalis, hilangnya dolls eye
movement, hilangnya respon terhadap stimulus kalori dan hilangnya
refleks tonus leher.
Status penderita tidak berubah sekurang-kurangnya dalam 12 jam, dan
Proses patologis yang berperan dan dianggap tidak dapat diperbaiki.9
Pertimbangan utama dalam mendiagnosis kematian otak adalah sebagai
berikut: 1) Hilangnya fungsi serebral, 2) hilangnya fungsi batang otak termasuk
respirasi spontan, dan 3) bersifat ireversibel. Hilangnya fungsi serebral ditandai
dengan berkurangnya pergerakan spontan dan berkurangnya respon motorik dan

vokal terhadap seluruh rangsang visual, pendengaran dan kutaneus. Refleksrefleks spinalis mungkin saja ada.10
EEG merupakan indikator berharga dalam kematian serebral dan banyak
lembaga kesehatan yang memerlukan pembuktian Electro Cerebral Silence (ECS),
yang juga disebut EEG datar atau isoelektrik. Dikatakan EEG datar apabila tidak
ada perubahan potensial listrik melebihi 2 mikroVolt selama dua kali 30 menit
yang direkam setiap 6 jam. Perlu ditekankan bahwa tidak adanya respon serebral
dan EEG datar tidak selalu berarti kematian otak. Akan tetapi, keduanya dapat
terjadi dan bersifat reversible pada keadaan hipotermia dan intoksikasi obatobatan hipnotik-sedatif.10
Fungsi-fungsi batang otak dianggap tidak ada jika tidak terdapat reaksi
pupil terhadap cahaya, tidak terdapat refleks kornea, vertibulo-ocular, orofaringeal
atau trakea. Tidak ada respon deserebrasi terhadap stimulus noksius dan tidak ada
pernapasan spontan. Untuk kepentingan dalam praktek, apnea absolut dikatakan
terjadi pada pasien, jika pasien tersebut tidak melakukan usaha untuk menolak
penggunaan alat respirasi setidaknya selama 15 menit. Sebagai tes akhir, pasien
dapat dilepaskan dari respirator lebih lama (beberapa menit) untuk memastikan
bahwa PCO2 arteri meningkat di atas ambang untuk merangsang pernapasan
spontan.10
Jika hasil pemeriksaan memperlihatkan bahwa semua fungsi otak hilang,
maka pemeriksaan harus diulang dalam waktu 6 jam untuk memastikan bahwa
keadaan pasien bersifat ireversibel. Jika riwayat dan pengamatan komprehensif
yang sesuai terhadap prosedur penggunaan obat-obatan tidak ada, maka observasi
selama periode 72 jam mungkin dibutuhkan untuk memperoleh reversibilitas
walaupun jarang terjadi dalam praktek, studi perfusi serebral menunjukkan
terhentinya sirkulasi intrakranial secara sempurna menyebabkan terjadinya
kematian otak.10
2.2.5

Diagnosis dan Pemeriksaan


Diagnosis MBO barangkali merupakan diagnosis paling penting yang

pernah dibuat oleh dokter, karena bila telah dipastikan, normalnya ventilator akan
dilepaskan dari pasien dan henti jantung akan terjadi tidak lama kemudian. Jadi,

diagnosis ini merupakan ramalan yang terlaksana dengan sendirinya (self-ful


filling prophecy). Kebanyakan dokter yang merawat dapat membenarkan
dilepaskannya ventilator dari pasien, karena meneruskan ventilasi mekanis
memberikan stres bagi famili pasien dan staf perawatan. Selain itu, terapi yang
diteruskan secara tidak langsung menyatakan bahwa pemulihan masih
dimungkinkan dan memberi famili pasien harapan palsu. Namun ventilasi yang
diteruskan selama periode yang singkat sesudah diagnosis MBO memungkinkan
perolehan organ kualitas bagus untuk tujuan transplantasi dan seringkali
dilakukan.6
Penerimaan batang otak sebagai sumber kehidupan dan penghentian
ventilasi sebagai akibat diagnosis MBO potensial sulit bagi orang awam untuk
menerimanya. Bahkan lebih sulit lagi jika famili pasien melihat gerakan pasien
yang dinyatakan dokter timbul pada tingkat spinal dan tidak mengindikasikan
fungsi otak. Masyarakat di negara maju seperti Inggris sangat mempercayai dokter
dan biasanya tidak dijumpai kesulitan tatkala dibuat diagnosis MBO.
Sekarang ini sudah dapat diterima bahwa batang otak, dan bukan seluruh
otak, pengatur respirasi dan stabilitas kardiovaskular. Diyakini bahwa untuk
mendapatkan kesadaran harus ada kontinyuitas neuronal antara sistem saraf
periferal dan korteks. Bila batang otak yang menghubungkan keduanya mati,
kontinyuitas sistem yang diaktifkan oleh retikular terganggu dan tidak dapat
timbul kesadaran.
Diagnosis MBO dan petunjuknya dapat dilihat pada fatwa IDI tentang
MBO. Diagnosis MBO mempunyai dua komponen utama. Komponen pertama
terdiri dari pemenuhan prasyarat-prasyarat dan komponen kedua adalah tes klinik
fungsi batang otak.

a. Prasyarat.
Prasyarat-prasyarat dapat dilihat pada tabel 1. Pada hakekatnya sebelum
melakukan tes klinis, dokter harus menetapkan tanpa keraguan bahwa pasien
komatous dan bergantung pada ventilator dan mempunyai kondisi yang konsisten

dengan koma ireversibel dan hilangnya fungsi batang otak. Pasien dengan MBO
tidak dapat bernafas. Dokter-dokter yang tidak familiar dengan diagnosis MBO
kadang-kadang menyarankan dokter seniornya untuk melakukan testing pada
pasien yang tidak bergantung pada ventilator dengan cedera berat. Fenomena ini
menonjolkan tiga hal. Pertama dokter-dokter yang bekerja di ICU perlu lebih
dahulu mengkaji langkah-langkah untuk menegakkan diagnosis MBO sesuai
fatwa IDI yang memang belum tersosialisasikan dengan baik, agar jangan sampai
melewatkan langkah-langkah yang harus dijalani sebelum melakukan testing
arefleksia batang otak. Kedua adalah adanya kenyataan bahwa beberapa pasien
menderita cedera otak berat yang akhirnya inkompatibel dengan kehidupan yang
lama, namun kausa kematiannya bukanlah MBO. Beratnya cedera otak pada
pasien-pasien ini dapat mengindikasikan keputusan untuk menghentikan terapi
aktif atau membatasi terapi aktif. Keputusan penghentian atau limitasi terapi
individual untuk tiap pasien dan sangat kontras dengan diagnosis MBO yang
identik bagi semua pasien. Hal ketiga adalah perlunya tanpa keraguan
memantapkan diagnosis cedera otak ireversibel yang cukup untuk menyebabkan
koma apneik. Diagnosis yang kompatibel adalah cedera kepala, perdarahan
subarakhnoid, perdarahan intraserebral, tenggelam dan henti jantung. Penegakan
diagnosis memerlukan anamnesis yang cukup dan pemeriksaan klinis serta
investigasi (biasanya CT Scan). Kausa koma yang reversibel yang menyulitkan
diagnosis primer harus pula disingkirkan. Khususnya sedatif, analgetik dan
pelumpuh otot hendaknya disingkirkan, sebagai kausa ketidaksadaran atau
arefleksia. Pasien hendaknya mempunyai suhu sentral lebih dari 35C. Intoksikasi
obat, hipotermia, gangguan metabolik atau endokrin, semua dapat menyebabkan
perubahan berat pada fungsi batang otak, namun reversibel. MBO tidak boleh
dipertimbangkan bila terdapat kondisi-kondisi ini, baik sebagai penyebab koma
primer ataupun faktor penunjang.

Pemeriksaan klinis mati batang otak yaitu :


-

Tes diagnosis mati batang otak yaitu pemeriksaan klinis mati

batang otak yaitu Koma


Tidak ada respon motorik
Tidak ada respon pupil terhadap cahaya dan pupil berada di posisi

tengah dengan dilatasi (4-6 mm)


Tidak ada reflex kornea
Tidak ada reflex tersedak
Tidak ada respon kalorik
Tidak ada batuk sebagian respon terhadap suction trakea
Tidak ada reflex menghisap dan menutup mulut
Tidak ada usaha respirasi saat PaCO2 setinggi 60 mmHg atau 20
mmHg diatas nilai dasar normal

Elektrolit, gula darah dan gas darah arterial hendaknya diperiksa dan
gangguan yang cukup untuk menyebabkan koma hendaknya diatasi. Selain itu,
upaya yang sungguh-sungguh harus sudah dikerjakan untuk mengatasi efek-efek
edema serebri, hipoksia dan syok. Sebagai konsekuensi, untuk memenuhi
prasyarat-prasyarat, diperlukan waktu dan tidaklah biasa untuk menegakkan
diagnosis MBO sebelum 24 jam perawatan di rumah sakit. Seringkali pasien
sudah dirawat di rumah sakit jauh lebih lama.

10

CT Scan bermanfaat tidak saja untuk mengetahui kausa MBO, tetapi juga
untuk memperlihatkan efek herniasi lewat tentorium dan foramina magnum.
Kompresi arteri dan vena mengakibatkan edema sitotoksik dan tekanan
intrakranial dapat meningkat akibat terhalangnya drainase cairan serebrospinal
oleh sumbatan aquaduktus atau ruang subarakhnoid. Perubahanperubahan ini
menyebabkan herniasi berlanjut dan posisi otak menurun. Penurunan ini begitu
besar sehingga cabang-cabang arteri basilaris (yang mendarahi batang otak)
teregang dan mengakibatkan perdarahan intraparenkimal dan memperparah
edema. Interpretasi perubahanperubahan ini pada seksi aksial tradisional CT
Scan memerlukan pengalaman. Herniasi otak, bagi dokter nonradiologis, paling
mudah dilihat pada citra CT koronal. Dalam membuat diagnosis MBO kadangkadang dijumpai kesukaran (lihat tabel 2). Bila dokter yang bertugas masih raguragu mengenai: a) diagnosis primer, b) kausa disfungsi batang otak yang
reversibel (obat atau gangguan metabolik), c) kelengkapan tes klinis, maka
hendaknya jangan dibuat diagnosis MBO.

11

b. Tes klinis
Sebelum melakukan tes formal, kita harus memastikan bahwa pasien tidak
menunjukkan postur abnormal (deserebrasi dan dekortikasi) dan tidak mempunyai
refleks okulo-sefal aktif (fenomena mata kepala boneka) atau aktivitas kejang.
Bila ada salah satu gejala tersebut, pasti terjadi hantaran impuls saraf lewat batang
otak dan selanjutnya tes tidak diperlukan dan tidak tepat untuk dilakukan. Batang
otak berarti masih hidup. Tes formal fungsi batang otak dilaksanakan di samping
tempat tidur dan memerlukan demonstrasi apnea dalam keadaan hiperkarbia dan
tidak adanya refleks batang otak. Peralatan canggih tidak diperlukan selain
analisis gas darah. Tes ini sendiri mudah dilakukan, hanya memerlukan waktu
beberapa menit dan hasilnya jelas. Bila memang tanda-tanda fungsi batang otak
yang hilang di atas ada semua, maka hendaknya secara sistematis diperiksa 5
refleks batang otak (lihat tabel 3). Kelima refleks harus negatif sebelum diagnosis
MBO ditegakkan. Tes terhadap refleks-refleks batang otak dapat menilai integritas
fungsional batang otak dengan cara yang unik. Tidak ada daerah otak lainnya yang
dapat diperiksa sepenuhnya seperti ini. Ini menguntungkan karena konsep mati
yang baru secara tak langsung menyatakan bahwa semua yang berarti bagi
kehidupan manusia bergantung pada integritas jaringan yang hanya beberapa mm 3
ini. Tes ini mencari ada atau tidak ada respons, dan bukan gradasi fungsi. Ini
mudah dilakukan dan dapat dimengerti oleh setiap dokter atau perawat yang
terlatih. Ini tidak bergantung pada mesin, atau super spesialis.

12

Tes yang paling pokok untuk fungsi batang otak adalah tes untuk henti nafas (lihat
tabel 4).

Namun, apnea dan arefleksia saraf kranial juga terjadi pada keadaan
nonfatal lain seperti ensefalitis batang otak dan sindroma Guillain-Barre. Lagilagi perlu ditekankan bahwa tes-tes jangan dilakukan bila prasyarat-prasyarat
belum dipenuhi. Ini perlu diperhatikan agar jangan sampai terjadi kesalahan
prosedur sebab selalu ada saja laporan kasus yang menggambarkan keadaan yang
menyerupai MBO tetapi ternyata dapat pulih kembali. Bila setiap kasus didekati
secara sistematis, tidak akan terjadi kesalahan.
Untuk menegakkan diagnosis kematian otak, penggunaan serangkaian
protokol sertifikasi kematian otak cukup membantu. Daftar A, B, C dan D di
bawah ini dapat bermanfaat bagi dokter. Pada banyak kasus, semua daftar tersebut
semestinya

digunakan

secara

sistematik

untuk

menegakkan

ataupun

menyingkirkan diagnosis kematian otak. Bagaimana pun masih perlu untuk


memutuskan diagnosis lain, misalnya apakah suatu gangguan metabolik
mengacaukan diagnosis atau jika penyelidikan tambahan sudah memadai sehingga
memungkinkan adanya diagnosis lain.
Daftar A: Garis Besar
1.

Tanpa pergerakan spontan, kejang atau gerakan badan lainnya.

2.

Tanpa respon terhadap jenis rangsang nyeri apa pun (misalnya menggosok
sternum, penekanan pada kuku jari, penekanan dengan jarum) pada daerah
distribusi nervus kranialis.

3.

Hilangnya refleks-refleks batang otak.

13

4.

Pasien bernapas dengan napas bantuan. Uji apnea menunjukkan hilangnya


pernapasan spontan.

5.

Menyingkirkan kemungkinan keadaan eksaserbasi.

6.

Memastikan kondisi pasien akan kerusakan struktur otak yang tidak dapat
diperbaiki.

7.

Memastikan bahwa bukti-bukti klinis tidak berubah dengan peninjauan


kembali 2 sampai 24 jam kemudian.

Daftar B: Uji Terhadap Hilangnya Refleks-refleks Batang Otak


1.

Pupil terfiksasi dan dilatasi, tanpa respon langsung atau tidak langsung
terhadap cahaya. Pupil harus dalam ukuran menengah atau besar.
Penggunaan obat seperti atropin dan obat-obat lain yang menghambat respon
pupil terhadap cahaya dipastikan belum diberikan.

2.

Hilangnya refleks kornea.

3.

Hilangnya respon vestibulo-okuler terhadap rangsang air dingin (cold


calories). Gunakan minimal 120 mm air es dan posisi kepala 30 derajat
terhadap sumbu horizontal.

4.

Hilangnya refleks batuk.

5.

Hilangnya respon terhadap kateter yang ditempatkan dalam endotracheal


tube ke dalam trakea.

6.

Hilangnya fenomena dolls eye.

Daftar C: Uji Apnea


Langkah 1: Garis arterial, oximeter denyut nadi dan fasilitas untuk pengukuran
gas darah arteri.
Langkah 2: Atur ventilasi FI02 ke 1.0.
Langkah 3: Atur ventilasi jika perlu untuk memastikan PaCO 2 berada diantara 40
mmHg dan 50 mmHg.
Langkah 4: Gambar sampel ABG nomor 1.

14

Langkah 5: Mulai stopwatch, cabut ventilator dan masukkan oksigen sebanyak 6


liter/menit melalui kateter trakea untuk membantu mencegah hipoksia. Perhatikan
setiap gerakan yang memperlihatkan usaha untuk bernapas spontan.
Langkah 6: Setelah 6 menit, gambarkan sampel ABG nomor 2 dan sambungkan
kembali ventilator.
Langkah 7: Hitung peningkatan PaCO2 selama periode apnea. Peningkatan harus
lebih dari 10 mmHg dan tidak adanya usaha untuk bernapas spontan harus ada
pada uji apnea yang menunjukkan bahwa tidak ada aktivitas pernapasan spontan
yang terjadi.
Daftar D: Menyingkirkan Kemungkinan Kondisi Tambahan
1. Pengaruh obat-obatan depresan susunan saraf pusat (mis. barbiturat,
benzodiazepin, narkotik).
2. Hipotermia suhu rata-rata (mis. suhu esophagus, rektal) di bawah 32,2 derajat
Celcius (900 F).
3. Gangguan elektrolit (mis. hiponatremia, asidosis metabolik).
4.Lanjutan blokade neuromuskuler setelah pemberian agen penghambat
neuromuskuler (tinjau kembali daftar pemberian anestetik dan riwayat ICU;
periksa dengan stimulator saraf; balikkan efek agen tersebut dengan neostigmin).
Jika kriteria klinis kematian telah ditemukan, seseorang tidak dapat
ditetapkan mati otak hingga dokter memastikan tidak ada obat bius (mis.
kodein, domerol, morfin, kokain, heroin) dan tidak ada obat-obatan barbiturat
(mis. fenobarbital, sekobarbital, nembutal, amytal) yang telah diberikan 24 jam
sebelumnya dan bahwa kematian otak telah ditunjukkan melalui salah satu dari
studi diagnostik berikut:
1.

Angiogram serebral (injeksi larutan kontras ke dalam arteri leher untuk


melihat arteri di otak pada film X-ray), menunjukkan tidak ada penetrasi
larutan ke dalam arteri otak.

15

2.

Scan aliran darah serebral (scan kepala setelah injeksi substansi radioaktif
yang aman secara intravena) memperlihatkan tidak ada aliran darah di otak.

3.

Dua kali EEG (elektroensefalogram atau uji gelombang otak) pada interval
24 jam menunjukkan tidak ada aktivitas listrik dari otak, mis. EEG datar atau
isoelektrik.
Poin ketiga dari ketiga tes di atas paling banyak digunakan karena sangat
mudah dilakukan di tempat tidur pasien.

2.2.6

Langkah Penetapan Diagnosis Kematian Batang Otak

Langkah-langkah penetapan kematian batang otak meliputi hal-hal berikut11:


1. Evaluasi kasus koma
2. Memberikan penjelasan kepada keluarga mengenai kondisi terkini pasien
3. Penilaian klinis awal refleks batang otak
4. Periode interval observasi
a. Sampai dengan usia 2 bulan, periode interval observasi 48 jam
b. Usia lebih dari 2 bulan - < 1 tahun, periode interval observasi 24 jam
c. Usia lebih dari 1 tahun - < 18 tahun, periode interval observasi 12 jam
d. Usia 18 tahun ke atas, periode interval observasi berkisar 6 jam
5. Penilaian klinis ulang refleks batang otak
6. Tes apnea
7. Pemeriksaan konfirmatif apabila terdapat indikasi

16

8. Persiapan akomodasi yang sesuai


9. Sertifikasi kematian batang otak
10. Penghentian penyokong kardiorespirasi
Menegakkan diagnosis mati matang otak, meliputi tiga langkah, yaitu (1)
evaluasi etiologi dari cedera kepala berat dan mengekslusi penyebab reversible;
(2) penemuan klinis mati otak; (3) konfirmasi test. Tiga temuan klinis dalam
kematian otak adalah koma atau tidak adanya respon, absennya refleks batang
otak, dan apnea.12
-Koma atau tidak adanya respon.
Tidak ada respon pada rangsangan nyeri, dengan stimulasi nyeri pada
penekanan daerah supraorbita, sternum dan dasar kuku.
-Absennya refleks batang otak.
a. Pupil.
Pengujian terhadap refleks pupil dilakukan dengan menguji respon
terhadap cahaya yang terang. Kematian otak akan menunjukkan pupil yang
berbentuk bulat, oval, ataupun ireguler. Kebanyakan pupil pada pasien
yang mengalami kematian otak akan berada pada ukuran 4 hingga 6 mm,
namun ukuran dapat bervariasi dari 4 hingga 9 mm. Yang harus
diperhatikan dalam pengujian ini adalah bahwa banyak obat dapat
mempengaruhi ukuran pupil. Pemberian obat topikal di mata dan trauma
kornea atau bulbus okuli dapat menyebabkan abnormalitas ukuran pupil
dan menyebabkannya menjadi non reaktif.
b. Pergerakan okuler.
Gerakan okuler akan absen setelah dilakukan gerakan memutar kepala
da tes kalorik. Pengujian ini hanya dilaksanakan setelah dipastikan tidak
ada fraktur atau instabilitas dari servikal atau pada pasien dengan cedera
kepala. Pergerakan okuler dilihat dari dua reflex, yaitu reflex okulosefalik
dan tes kalori.

17

Reflex okulosefalik dirangsang dengan menggerakkan kepala secara


cepat dan tegas dari posisi tengah ke posisi 90 derajat kiri dan kanan, pada
orang normal akan menghasilkan deviasi mata ke arah berlawanan dengan
gerakan kepala. Pergerakan mata vertikal juga diuji dengan melakukan
fleksi leher. Pada kematian otak, tidak akan ditemukan adanya pembukaan
kelopak mata dan pergerakan mata vertikal dan horizontal.
Rangsangan kalori adalah suatu tes yang menggunakan perbedaan
temperatur untuk mendiagnosa adanya kerusakan saraf ke delapan. Jika
terjadi kematian batang otak, maka tidak akan muncul deviasi tonus dari
mata sebagai resfleks terhadap rangsangan yang diberikan. Posisi pasien
tidur terlentang, dengan kepala fleksi 30, atau duduk dengan kepala
ekstensi 60. Tes ini terdiri dari dua cara, yaitu tes kalori cara Kobrak dan
tes kalori bitermal. Untuk penegakan diagnosis mati otak, yang
direkomendasikan adalah tes kalori kobrak.
Tes kalori cara kobrak menggunakan spuit 5 atau 10 mL, ujung jarum
disambung dengan kateter. Perangsangan dilakukan dengan mengalirkan
air es (0C), sebanyak 5 mL selama 20 detik ke dalam liang
telinga.Sebagai akibatnya terjadi transfer panas dari telinga dalam yang
menimbulkan suatu arus konveksi dalam endolimfe. Hal ini menyebabkan
defleksi kupula dalam kanalis yang sebanding dengan gravitasi, dan
rangsangan serabut-serabut aferennya.Suatu cairan dingin yang dialirkan
ke liang telinga kanan akan menimbulkan nistagmus dengan fase lambat
ke kanan.
Tes kalori bitermal ditemukan oleh Dick & Hallpike. Pada cara ini
dipakai 2 macam air, dingin dan panas. Suhu air dingin adalah 30C,
sedangkan suhu air panas adalah 44C. Volume air yang dialirkan ke
dalam liang telinga masing-masing 250 mL, dalam waktu

40 detik

.Setelah air dialirkan, dicatat lama nistagmus yang timbul.Setelah liang


telinga kiri diperiksa dengan air dingin, diperiksa telinga kanan dengan air
dingin juga kemudian telinga kiri dialirkan air panas, lalu telinga
kanan.Pada tiap-tiap selesai pemeriksaan (telinga kiri atau kanan atau air

18

dingin atau air panas) pasien diistirahatkan selama 5 menit. Tes kalori
bitermal ini untuk melihat dan membandingkan fungsi vestibuler.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan tes kalori adalah
adanya obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan respon kalorik,
yakni sedatif, aminoglikosida, antidepresan trisiklik, antikolinergik, obat
antiepilepsi, dan agen kemoterapi. Setelah cedera kepala atau trauma
fasial, edema kelopak mata atau kemosis konjungtiva dapat menghambat
pergerakan bola mata. Bekuan darah atau serumen dapat juga mengurangi
respon kalorik, dan uji dilakukan ulang setelah pemeriksaan inspeksi
langsung

tympanum.

Fraktur

basal

dari

tulang

petrosus

dapat

menghilangkan respon kalorik secara unilateral dan dapat diidentifikasi


dengan prosesus mastoideus yang ekimosis.13
c. Sensasi fasial dan respon motor fasial
Refleks kornea harus diuji dengan swab tenggorok. Refleks kornea dan
refleks rahang harus negatif. Wajah yang mengernyit saat diberikan
rangsang nyeri dapat diuji dengan memberikan tekanan dalam dengan
obyek tumpul pada dasar kuku, tekanan pada daerah supraorbita, atau
tekanan

yang

dalam

pada

kedua

kondilus

setinggi

sendi

temporomandibuler.
Yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan ini adalah adanya trauma
fasial yang berat sehingga dapat mengganggu interpretasi refleks batang
otak.
d. Refleks faring dan trakhea
Respon tersedak, yang diuji dengan merangsang faring posterior
dengan laringoskop, harus absen. Tidak adanya refleks batuk pada suction
bronkhial juga harus tampak.
Dalam pemeriksaan ini, harus diperhatikan bahwa pada pasien yang
diintubasi secara oral, respon tersedak mungkin sulit untuk diamati.

19

Pemeriksaan reflex batang otak

Manifestasi berikut terkadang tampak dan tidak boleh diinterpretasikan


sebagai bukti fungsi batang otak:
a. Gerakan spontan ekstremitas selain dari respon fleksi atau ekstensi
patologis
b. Gerakan mirip bernafas (elevasi dan aduksi bahu, lengkungan
punggung, ekspansi interkosta tanpa volume tidal yang bermakna)
c. Berkeringat, kemerahan, takikardi
d. Tekanan darah normal tanpa dukungan farmakologis, atau
peningkatan mendadak tekanan darah
e. Tidak-adanya diabetes insipidus
f. Refleks tendo dalam, refleks abdominal superfisial, respon fleksi
triple
g. Refleks babinski
-Apnea
Pada uji apnea, harus diperhatikan beberapa kondisi sebelum dilakukannya
pengujian. Persyaratan-persyaratan berikut ini harus diperhatikan:
a. suhu inti 36,5o C
b. tekanan darah sistolik 90 mm Hg,

20

c. euvolemia (atau lebih baik apabila balans cairan positif selama 6 jam
sebelum pemeriksaan),
d. eukapnea (atau apabila PCO2 arteri 40 mm Hg), dan
e. normoksemia (atau apabila PO2 arteri 200 mm Hg).
Tahapan-tahapan dalam melakukan tes apnea adalah sebagai berikut:
a. Kondisi awal pasien adalah menggunakan ventilator, maka pasang
oksimetri, pre-oksigenasi dan observasi hingga syarat-syarat terpenuhi
Pre-oksigenasi bertujuan untuk mencapai PO2 arteri 200 mm
Hg
Pre-oksigenasi bertujuan untuk mengeliminasi tumpukan
nitrogen, akselerasi transport oksigen, dan mengurangi resiko
hipoksik akibat dilakukannya tes apnea.
Pre-oksigenasi dilakukan selama 30 menit atau sampai saat
syarat terpenuhi (PO2 arteri arteri 200 mm Hg)
b. Lepas ventilator
c. Pasang nasal kanul setinggi karina dan berikan O2 100% 6-8 lpm
d. Selama proses pemberian O2 6-8 lpm melalui nasal kanul, amati
dengan seksama pergerakan respirasi.
e. Setelah pemberian O2 6-8 lpm melalui nasal kanul selama 8-10 menit,
pasang kembali oxymetri untuk mengukur PO2 dan PCO2. Lalu
hubungkan kembali dengan ventilator.
f. Bila saat tes apnea tekanan darah sistolik menjadi 90 mm Hg, atau
oksimeter pulsa menunjukkan desaturasi, atau terjadi aritmia kardia,
segera ambil sampel darah, dan lakukan analisa gas darah arteri.
Pasien pun segera di hubungkan kembali dengan ventilator tanpa
harus menunggu 8-10 menit untuk meminimalisir terjadinya
komplikasi tes apnea.

Interpretasi hasil tes apnea adalah:


Tes apnea disebut positif jika tidak ada pergerakan respirasi dan kadar
PCO2 arteri 60mmHg (atau terjadi peningkatan PCO2 20mmHg
dari PCO2 awal untuk penderita dengan riwayat hiperkarbia).
Tes apnea disebut negatif bila teramati adanya gerakan respirasi.

21

Tes apnea disebut indeterminan apabila saat proses pemberian O2


kanul terjadi aritmia atau hipotensi dan hasil BGA menunjukkan
PCO2 < 60 mm Hg, atau peningkatannya < 20 mm Hg. Pada hasil ini
diperlukan tes konfirmasi untuk diagnosis mati batang otak.
Bila tidak ada pergerakan respirasi, PCO2 kurang dari 60 mm Hg, dan
tidak ada aritmia kardia atau hipotensi signifikan, tes dapat diulang 10
menit kemudian.14
Komplikasi yang dapat terjadi setelah dilakukannya tes apnea adalah:
Asidosis (63%)
Hipotensi (24%)
Aritmia kardiak (3%)

Tes Apnea

-Tes Konfirmasi
Diagnosis kematian batang otak merupakan diagnosis klinis. Tidak
diperlukan pemeriksaan lain apabila pemeriksaan klinis (termasuk pemeriksaan
22

refleks batang otak dan tes apnea) dapat dilaksanakan secara adekuat. Beberapa
pasien dengan kondisi tertentu seperti cedera servikal atau kranium, instabilitas
kardiovaskular, atau faktor lain yang menyulitkan dilakukannya pemeriksaan
klinis untuk menegakkan diagnosis kematian batang otak, perlu dilakukan tes
konfirmatif.14
Tes tambahan untuk konfirmasi kematian otak harus memenuhi kriteria berikut:
a. Tidak boleh ada positif palsu, sehingga saat tes mengkonfirmasi
adanya kematian otak, maka tidak boleh ada pasien yang sembuh atau
b.

memiliki potensi untuk sembuh.


Tes harus dapat berdiri sendiri dalam menegakkan apakah kematian

otak benar-benar terjadi atau tidak.


c. Tes tidak boleh dipengaruhi faktor yang dapat menyesatkan seperti
d.

efek obat atau gangguan metabolik.


Tes harus distandarisasi dalam hal teknologi, teknik, dan klasifikasi

hasilnya.
e. Tes harus dapat diperoleh secara umum, aman, dan dengan mudah
dilakukan.
Kondisi-kondisi berikut dapat mempengaruhi diagnosis klinis kematian
batang otak, sedemikian rupa sehingga hasil diagnosis tidak dapat dibuat dengan
pasti hanya berdasarkan pada alasan klinis sendiri. Pada keadaan ini pemeriksaan
konfirmatif direkomendasikan14:
a. Trauma spinal servikal berat atau trauma fasial berat
b. Kelainan pupil sebelumnya
c. Level toksis beberapa obat sedatif, aminoglikosida, antidepresan
trisiklik, antikolinergik, obat antiepilepsi, agen kemoterapi, atau agen
blokade neuromuskular
d. Sleep apnea atau penyakit paru berat yang mengakibatkan retensi
kronis CO2
Pemilihan tes konfirmatif yang akan dilakukan sangat tergantung pada
pertimbangan praktis, mencakup ketersediaan, kemanfaatan, dan kerugian yang
mungkin terjadi. Beberapa tes konfirmatif yang biasa dilakukan antara lain:14
a. Tes-tes tambahan yang ada saat ini terutama meliputi tes
elektrofisiologis

(elektroensefalografi,

potensial

pacuan

somatosensorik dan potensial pacuan pendengaran batang otak, dan


respon pacuan motorik),

23

b. Tes aliran darah otak (angiografi serebri empat vasa, tes kedokteran
nuklir aliran darah otak, Doppler transkranial, MRI, angiografi
resonansi magnetik, dan pemeriksaan CT),
c. Pemeriksaan lainnya seperti pemeriksaan metabolisme, pemeriksaan
oksigen vena jugularis, dan tes atropin.
Saat dilakukan secara kontinyu, pemantauan elektroensefalografi dapat
menunjukkan supresi tegangan secara umum, yang dapat menunjukkan pada
klinisi adanya kematian otak. Namun, EEG telalu anatomis, dan terbatas secara
fisilogis. EEG merekam aktivitas hanya dari lapisan korteks yan berada tepat di
bawah kulit kepala dan tidak merekam dari struktur subkorteks, seperti batang
otak atau thalamus, dan hanya memberikan cakupan yang terbatas dari permukaan
cembung otak besar. Lebih jauh lagi, tidak semua frekuensi EEG tertangkap
sehingga dapat memberikan hasil datar atau isoelektrik saat ada neuron yang
masih hidup di batang otak atau tempat lain. Hanya ada sedikit penelitian yang
menguji validitas dari EEG dalam kaitannya dengan kematian otak. EEG juga
memiliki kelemahan, dimana dapat terjadi gangguan dari faktor-faktor yang dapat
menyesatkan, seperti terjadinya gambaran yang datar atau isoelektris saat terjadi
overdosis barbiturat atau anestesi yang dalam, dimana keduanya merupakan
kondisi yang reversibel. Sehingga, pada tes EEG dapat terjadi positif palsu
maupun negatif palsu, membuat EEG menjadi suatu tes yang jauh dari ideal untuk
penentuan kematian otak.
Saat diperlukan konfirmasi untuk penentuan kematian otak, tes aliran
darah ke otak dianggap lebih tepat. Tes yang menunjukkan absennya aliran darah
ke otak umumnya diterima sebagai penegakan kematian otak yang memiliki
kepastian, karena konsep bahwa apabila otak tidak mendapatkan suplai darah
selama periode waktu tertentu akan mati sudah diyakini secara luas. Tentunya
kondisi hipotermia dan hipotensi transien yang reversibel harus disingkirkan.
Kematian otak dapat disertai dengan baik edema jaringan ataupun efek massa
yang menyebabkan tekanan intrakranial menjadi sama atau lebih dari tekanan
darah sistolik dan tekanan darah arteri rata-rata. Konsekuensinya, darah tidak
memasuki kompartemen intrakranial, atau hanya memasuki selama sistol,

24

mengakibatkan tidak terjadinya perfusi ke jaringan otak, sehingga menyebabkan


kematian sel neuron dan glia otak, tes aliran darah otak memberikan metode yang
dapat diterima dan dapat berdiri sendiri dalam menegakkan kematian otak. Tes
tersebut tidak disesatkan oleh obat, gangguan metabolik, atau hipotermia. Syarat
sebelumnya adalah bahwa tekanan darah sistemik harus adekuat, dimana pasien
tidak dalam kondisi syok. Tes aliran darah otak meliputi angiografi empat vasa
(karotis dan vertebral), TCD, MRI, dan MRA, angiografi CT, dan tes kedokteran
nuklir. Tes yang lebih akurat untuk perfusi lebih dipilih, yakni angiografi dan CT
emisi foton tunggal (SPECT), dibandingkan dengan pencitraan sirkulasi otak dua
dimensi.15
Tes perfusi jarang memberikan hasil negatif palsu, dimana ditemukan
perfusi struktur arteri atau vena pada pasien yang telah dikonfirmasi mengalami
kematian otak secara patologis dan klinis. Ini terutama terjadi pada kondisi
dimana tekanan intrakranial menurun akibat mekanisme dekompresi, seperti
kraniektomi dekompresif, fraktur tengkorak, pintasan ventrikuler atau anak
dengan tengkorak yang masih rapuh. Negatif palsu tersebut jarang terjadi. Harus
diingat bahwa adanya aliran darah tidak serta merta mengeksklusi kemungkinan
kematian otak. Harus diingat bahwa dalam melakukan tes konfirmasi kematian
otak, negatif palsu tidak lebih bermasalah daripada positif palsu, karena lebih
berbahaya apabila seseorang secara keliru dinyatakan mengalami kematian otak
daripada bila seseorang dinyatakan tidak mati otak padahal sesungguhnya telah
terjadi kematian otak.
Tes yang menjadi standar emas tes konfirmasi kematian otak adalah
angiografi serebral empat vasa. Tes ini invasive dan harus dilakukan dengan
memndahkan pasien ke departemen radiologi. Absennya pengisian darah
intrakranial dari arteri karotis interna atau vertebra harus didahului oleh tekanan
intrakranial yang melebihi tekanan darah arteri rata-rata.
2.2.7

Diferensial Diagnosis
Status vegetative menetap (Persistent Vegetative States). Keadaan ini

berbeda dengan mati otak. Fungsi batang otak masih baik. Pada PVS yang
diperkirakan hilang adalah fungsi neokortikal dari otak. Pasien masih dapat

25

bernafas spontan dan reflex-reflex masih ada. Pasien tidak sadarkan diri dengan
mata terbuka dan pupil melebar. Pada PVS kriteria Harvard tidak terpenuhi.
Pasien PVS masih hidup secara biologis, tetapi secara intelektual dan sosial sudah
mati. Kemungkinan pulih ke keadaan normal sangat sulit, hanya satu banding
seribu.
2.2.8

Tindakan terhadap Pasien Mati Batang Otak


Tidak ada lagi yang dapat dilakukan pada pasien dengan mati otak. Pasien

dengan mati otak adalah manusia yang sudah mati, Brain death is death. Mati
adalah kematian batang otak, sekalipun elektrokardiografi masih menunjukkan
ritme normal.
Jika semua kriteria mati otak sudah terpenuhi, maka ventilator dan alat
pendukung hidup lainnya dapat dilepas. Dengan begitu, dokter dan rumah sakit
tidak dituntut melakukan pembunuhan. Untuk negara dengan tindakan
transplantasi yang telah berkembang pesat, diagnosis mati otak diusahakan
secepat mungkin agar organ yang ada pada pasien tersebut dapat digunakan untuk
keperluan transplantasi calon resepien.

BAB III
KESIMPULAN
Mati Batang otak yaitu hilangnya semua fungsi otak secara irreversible, termasuk
batang otak. Tiga temuan penting dalam kematian otak adalah koma, hilangnya
reflex batang otak, dan apnea. Kepentingan merumuskan konsep mati batang otak
yaitu etika, kemanusiaan, manfaat dan transplantasi organ. Pemeriksaan klinis
mati batang otak yaitu :
1. Tes diagnosis mati batang otak yaitu pemeriksaan klinis mati batang otak yaitu
Koma
26

2. Tidak ada respon motorik


3. Tidak ada respon pupil terhadap cahaya dan pupil berada di posisi tengah
dengan dilatasi (4-6 mm)
4. Tidak ada reflex kornea
5. Tidak ada reflex tersedak
6. Tidak ada respon kalorik
7. Tidak ada batuk sebagia respon terhadap suction trakea
8. Tidak ada reflex menghisap dan menutup mulut
9. Tidak ada usaha respirasi saat PaCO2 setinggi 60 mmHg atau 20 mmHg diatas
nilai dasar normal
Yang berwenang menetukan mati batang otak yaitu tenaga medis yang
dimaksud terdiri dari sekurangkurangnya 3 (tiga) orang dokter yang kompeten
yaitu dokter umum, jika ada dokter spesialis anestesiologi atau saraf, yang
ditunjuk oleh komite medik. Keputusan ini dibuat dengan berita acara pengujian
dan pengambil keputusan. Diagnosis MBO harus dibuat di ruang ICU.

27

Vous aimerez peut-être aussi