Vous êtes sur la page 1sur 36

DISKUSI KASUS

ASMA BRONCHIAL

Oleh:
Yoga Mulia Pratama
G99142042

KEPANITERAAN KLINIK ILMU FARMASI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2016

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang ditandai
adanya mengi episodik, batuk dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan
saluran nafas, termasuk dalam kelompok penyakit saluran pernafasan kronik.
World Health Organization (WHO) memperkirakan 100-150 juta penduduk
dunia menderita asma. Bahkan jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah
hingga mencapai 180.000 orang setiap tahun. Sumber lain menyebutkan
bahwa pasien asma sudah mencapai 300 juta orang di seluruh dunia dan terus
meningkat selama 20 tahun belakangan ini. Apabila tidak dicegah dan
ditangani dengan baik, maka diperkirakan akan terjadi peningkatan prevalensi
yang lebih tinggi lagi pada masa akan datang serta mengganggu proses
tumbuh-kembang anak dan kualitas hidup pasien.
Asma memberi dampak negatif bagi pengidapnya seperti sering
menyebabkan anak tidak masuk sekolah, membatasi kegiatan olahraga serta
aktifitas seluruh keluarga, juga dapat merusak fungsi sistem saraf pusat,
menurunkan kualitas hidup penderitanya, dan menimbulkan masalah
pembiayaan. Selain itu, mortalitas asma relatif tinggi. WHO memperkirakan
terdapat 250.000 kematian akibat asma.
Asma dapat diderita seumur hidup sebagaimana penyakit alergi lainnya,
dan tidak dapat disembuhkan secara total. Upaya terbaik yang dapat dilakukan
untuk menanggulangi permasalahan asma hingga saat ini masih berupa upaya
penurunan frekuensi dan derajat serangan, sedangkan penatalaksanaan utama
adalah menghindari faktor penyebab.
B. Rumusan Masalah
Makalah ini membahas

tentang

patogenesis,

diagnosis

penatalaksanaan asma.
C. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan asma.

dan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Asma
Istilah asma berasal dari kata Yunani yang artinya terengah-engah dan
berarti serangan nafas pendek (Price, 1995). Nelson mendefinisikan asma
sebagai kumpulan tanda dan gejala wheezing (mengi) dan atau batuk dengan
karakteristik sebagai berikut; timbul secara episodik dan atau kronik,
cenderung pada malam hari/dini hari (nocturnal), musiman, adanya faktor
pencetus diantaranya aktivitas fisik dan bersifat reversibel baik secara
spontan maupun dengan penyumbatan, serta adanya riwayat asma atau atopi
lain pada pasien/keluarga, sedangkan sebab-sebab lain sudah disingkirkan
(Nelson, 1996).
Batasan asma yang lengkap yang dikeluarkan oleh Global Initiative for
Asthma (GINA) didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran
nafas dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan
limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan mengi
berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan dan batuk, khususnya pada malam
atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan
nafas yang luas namun bervariasi, yang sebagian bersifat reversibel baik
secara spontan maupun dengan pengobatan, inflamasi ini juga berhubungan
dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai rangsangan (GINA,
2006).
B. Epidemiologi Asma
Asma dapat timbul pada segala umur, dimana 30% penderita bergejala
pada umur 1 tahun, sedangkan 80-90% anak yang menderita asma gejala
pertamanya muncul sebelum umur 4-5 tahun. Sebagian besar anak yang
terkena kadang-kadang hanya mendapat serangan ringan sampai sedang, yang
relatif mudah ditangani. Sebagian kecil mengalami asma berat yang berlarut-

larut, biasanya lebih banyak yang terus menerus dari pada yang musiman. Hal
tersebut yang menjadikannya tidak mampu dan mengganggu kehadirannya di
sekolah, aktivitas bermain, dan fungsi dari hari ke hari (Sundaru, 2006).
Asma sudah dikenal sejak lama, tetapi prevalensi asma tinggi. Di Australia
prevalensi asma usia 8-11 tahun pada tahun 1982 sebesar 12,9% meningkat
menjadi 29,7% pada tahun 1992. Penelitian di Indonesia memberikan hasil
yang bervariasi antara 3%-8%, penelitian di Menado, Pelembang, Ujung
Pandang, dan Yogyakarta memberikan angka berturut-turut 7,99%; 8,08%;
17% dan 4,8% (Naning, 1991).
C. Faktor Risiko Asma Bronchial
Secara umum faktor risiko asma dibagi kedalam dua kelompok besar,
faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya atau berkembangnya asma
dan faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya eksaserbasi atau
serangan asma yang disebut trigger faktor atau faktor pencetus). Adapun
faktor risiko pencetus asma bronkial yaitu (PDPI, 2003):
1. Asap Rokok
Pembakaran tembakau sebagai sumber zat iritan dalam rumah yang
menghasilkan campuran gas yang komplek dan partikel-partikel
berbahaya. Lebih dari 4500 jenis kontaminan telah dideteksi dalam
tembakau, diantaranya hidrokarbon polisiklik, karbon monoksida, karbon
dioksida, nitrit oksida, nikotin, dan akrolein (GINA, 2006). Merokok dapat
menaikkan risiko berkembangnya asma karena pekerjaan pada pekerja
yang terpapar dengan beberapa sensitisasi di tempat bekerja. Namun hanya
sedikit bukti-bukti bahwa merokok aktif merupakan faktor risik
berkembangnya asma secara umum. Merokok dapat menaikkan risiko
berkembangnya asma karena pekerjaan pada pekerja yang terpapar dengan
beberapa sensitisasi di tempat bekerja. Namun hanya sedikit bukti-bukti
bahwa merokok aktif merupakan faktor risik berkembangnya asma secara
umum.

2. Tungau Debu Rumah


Asma bronchial disebabkan oleh masuknya suatu alergen misalnya
tungau debu rumah yang masuk ke dalam saluran nafas seseorang
sehingga merangsang terjadinya reaksi hipersentitivitas tipe I. Tungau
debu rumah ukurannya 0,1 - 0,3 mm dan lebar 0,2 mm, terdapat di tempattempat atau benda-benda yang banyak mengandung debu. Misalnya debu
yang berasal dari karpet dan jok kursi, terutama yang berbulu tebal dan
lama tidak dibersihkan, juga dari tumpukan koran-koran, buku-buku,
pakaian lama (Danusaputro, 2000).
3. Jenis Kelamin
Jumlah kejadian asma pada anak laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan
perempuan. Perbedaan jenis kelamin pada kekerapan asma bervariasi, tergantung
usia dan mungkin disebabkan oleh perbedaan karakter biologi. Peningkatan risiko
pada anak laki-laki mungkin disebabkan semakin sempitnya saluran pernapasan,
peningkatan pita suara, dan mungkin terjadi peningkatan IgE pada laki-laki yang
cenderung membatasi respon bernapas. Didukung oleh adanya hipotesis dari
observasi yang menunjukkan tidak ada perbedaan ratio diameter saluran udara
laki-laki dan perempuan setelah berumur 10 tahun, mungkin disebabkan
perubahan ukuran rongga dada yang terjadi pada masa puber laki-laki dan tidak
pada perempuan. Predisposisi perempuan yang mengalami asma lebih tinggi pada
laki-laki mulai ketika masa puber, sehingga prevalensi asma pada anak yang
semula laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan mengalami perubahan dimana
nilai prevalensi pada perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki. Aspirin lebih
sering menyebabkan asma pada perempuan (GINA, 2006).

4. Binatang Piaraan
Binatang peliharaan yang berbulu seperti anjing, kucing, hamster,
burung dapat menjadi sumber alergen inhalan. Sumber penyebab asma
adalah alergen protein yang ditemukan pada bulu binatang di bagian muka
dan ekskresi. Alergen tersebut memiliki ukuran yang sangat kecil (sekitar
3-4 mikron) dan dapat terbang di udara sehingga menyebabkan serangan
asma, terutama dari burung dan hewan menyusui. Untuk menghindari
alergen asma dari binatang peliharaan, tindakan yang dapat dilakukan
adalah:

a. Buatkan rumah untuk binatang peliharaan di halaman rumah, jangan


biarkan binatang tersebut masuk dalam rumah,
b. Jangan biarkan binatang tersebut berada dalam rumah,
c. Mandikan anjing dan kucing setiap minggunya.
5. Jenis Makanan
Beberapa makanan penyebab alergi makanan seperti susu sapi, ikan
laut, kacang, berbagai buah-buahan seperti tomat, strawberry, mangga,
durian berperan menjadi penyebab asma). Makanan produk industri
dengan pewarna buatan misal: (tartazine), pengawet (metabisulfit), vetsin
(monosodum glutamat-MSG) juga bisa memicu asma. Penderita asma
berisiko mengalami reaksi anafilaksis akibat alergi makanan fatal yang
dapat mengancam jiwa. Makanan yang terutama sering mengakibatkan
reaksi yang fatal tersebut adalah kacang, ikan laut dan telur). Alergi
makanan seringkali tidak terdiagnosis sebagai salah satu pencetus asma
meskipun penelitian membuktikan alergi makanan sebagai pencetus
bronkokontriksi pada 2% - 5% anak dengan asma (Handayani, 2004).
6. Perabot Rumah Tangga
Bahan polutan indoor dalam ruangan meliputi bahan pencemar
biologis

(virus,

bakteri,

jamur),

formadehyde,

volatile

organic

coumpounds (VOC), combustion products (CO1, NO2, SO2) yang


biasanya berasal dari asap rokok dan asap dapur. Sumber polutan VOC
berasal dari semprotan serangga, cat, pembersih, kosmetik, Hairspray,
deodorant, pewangi ruangan, segala sesuatu yang disemprotkan dengan
aerosol sebagai propelan dan pengencer (solvent) seperti thinner. Sumber
formaldehid dalam ruangan adalah bahan bangunan, insulasi, furnitur,
karpet. Paparan polutan formaldehid dapat mengakibatkan terjadinya
iritasi pada mata dan saluran pernapasan bagian atas. Partikel debu,
khususnya respilable dust disamping menyebabkan ketidaknyamanan juga
dapat menyebabkan reaksi peradangan paru (GINA, 2006).
7. Perubahan Cuaca

Kondisi cuaca yang berlawanan seperti temperatur dingin, tingginya


kelembaban dapat menyebabkan asma lebih parah, epidemik yang dapat
membuat asma menjadi lebih parah berhubungan dengan badai dan
meningkatnya konsentrasi partikel alergenik. Dimana partikel tersebut
dapat menyapu pollen sehingga terbawa oleh air dan udara. Perubahan
tekanan atmosfer dan suhu memperburuk asma sesak nafas dan
pengeluaran lendir yang berlebihan. Ini umum terjadi ketika kelembaban
tinggi, hujan, badai selama musim dingin. Udara yang kering dan dingin
menyebabkan sesak di saluran pernafasan.
8. Riwayat Penyakit Keluarga
Risiko orang tua dengan asma mempunyai anak dengan asma adalah tiga kali
lipat lebih tinggi jika riwayat keluarga dengan asma disertai dengan salah satu
atopi). Predisposisi keluarga untuk mendapatkan penyakit asma yaitu kalau anak
dengan satu orangtua yang terkena mempunyai risiko menderita asma 25%,
risiko bertambah menjadi sekitar 50% jika kedua orang tua asmatik. Asma tidak
selalu ada pada kembar monozigot, labilitas bronkokontriksi pada olahraga ada
pada kembar identik, tetapi tidak pada kembar dizigot. Faktor ibu ternyata lebih
kuat menurunkan asma dibanding dengan bapak. Orang tua asma kemungkinan
8-16 kali menurunkan asma dibandingkan dengan orang tua yang tidak asma,
terlebih lagi bila anak alergi terhadap tungau debu rumah. R.I Ehlich
menginformasikan bahwa riwayat keluarga mempunyai hubungan yang
bermakna (Sundaru, 2006).

9. Lingkungan termasuk lingkungan kerja


10. Psikologis
D. Patofisiologi Asma Bronchial
Obstruksi saluran nafas pada asma merupakan kombinasi spasme otot
bronkus, sumbatan mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi
bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran nafas
menyempit pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat
terjadinya obtruksi terjebak tidak bisa diekspirasi, selanjutnya terjadi
peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional (KRF), dan pasien
akan bernafas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT).

Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran nafas tetap terbuka dan
pertukaaran gas berjalan lancar (Sundaru, 2006).
Gangguan yang berupa obstruksi saluran nafas dapat dinilai secara
obyektif dengan Volume Ekspirasi Paksa (VEP) atau Arus Puncak Ekspirasi
(APE). Sedangkan penurunan Kapasitas Vital Paksa (KVP) menggambarkan
derajat hiperinflasi paru. Penyempitan saluran nafas dapat terjadi baik pada di
saluran nafas yang besar, sedang maupun yang kecil. Gejala mengi
menandakan ada penyempitan di saluran nafas besar (Sundaru, 2006).
Manifestasi penyumbatan jalan nafas pada asma disebabkan oleh
bronkokontriksi, hipersekresi mukus, edema mukosa, infiltrasi seluler, dan
deskuamasi sel epitel serta sel radang. Berbagai rangsangan alergi dan
rangsangan nonspesifik, akan adanya jalan nafas yang hiperaktif, mencetuskan
respon bronkokontriksi dan radang. Rangsangan ini meliputi alergen yang
dihirup (tungau debu, tepungsari, sari kedelai, dan protein minyak jarak),
protein sayuran lainnya, infeksi virus, asap rokok, polutan udara, bau busuk,
obat-obatan (metabisulfit), udara dingin, dan olah raga (Sundaru, 2006).
Patologi asma berat adalah bronkokontriksi, hipertrofi otot polos bronkus,
hipertropi kelenjar mukosa, edema mukosa, infiltrasi sel radang (eosinofil,
neutrofil, basofil, makrofag), dan deskuamasi. Tanda-tanda patognomosis
adalah krisis kristal Charcot-leyden (lisofosfolipase membran eosinofil), spiral
Cursch-mann (silinder mukosa bronchial), dan benda-benda Creola (sel epitel
terkelupas) (Sundaru, 2006).
Penyumbatan paling berat adalah selama ekspirasi karena jalan nafas
intratoraks biasanya menjadi lebih kecil selama ekspirasi. Penyumbatan jalan
nafas difus, penyumbatan ini tidak seragam di seluruh paru. Atelektasis
segmental atau subsegmental dapat terjadi, memperburuk ketidakseimbangan
ventilasi dan perfusi. Hiperventilasi menyebabkan penurunan kelenturan,
dengan akibat kerja pernafasan bertambah. Kenaikan tekanan transpulmuner
yang diperlukan untuk ekspirasi melalui jalan nafas yang tersumbat, dapat
menyebabkan penyempitan lebih lanjut, atau penutupan dini (prematur)

beberapa jalan nafas total selama ekspirasi, dengan demikian menaikkan risiko
pneumotoraks (Sundaru, 2006).
E. Etiologi Asma Bronchial
Asma merupakan gangguan kompleks yang melibatkan faktor autonom,
imunologis, infeksi, endokrin dan psikologis dalam berbagai tingkat pada
berbagai individu. Aktivitas bronkokontriktor neural diperantarai oleh bagian
kolinergik sistem saraf otonom. Ujung sensoris vagus pada epitel jalan nafas,
disebut reseptor batuk atau iritan, tergantung pada lokasinya, mencetuskan
refleks arkus cabang aferens, yang pada ujung eferens merangsang kontraksi
otot polos bronkus. Neurotransmisi peptida intestinal vasoaktif (PIV) memulai
relaksasi otot polos bronkus. Neurotramnisi peptida vasoaktif merupakan
suatu neuropeptida dominan yang dilibatkan pada terbukanya jalan nafas
(Sundaru, 2006).
Faktor imunologi penderita asma ekstrinsik atau alergi, terjadi setelah
pemaparan terhadap faktor lingkungan seperti debu rumah, tepung sari dan
ketombe. Bentuk asma inilah yang paling sering ditemukan pada usia 2 tahun
pertama dan pada orang dewasa (asma yang timbul lambat), disebut intrinsik
(Sundaru, 2006).
Faktor endokrin menyebabkan asma lebih buruk dalam hubungannya
dengan kehamilan dan mentruasi atau pada saat wanita menopause, dan asma
membaik pada beberapa anak saat pubertas. Faktor psikologis emosi dapat
memicu gejala-gejala pada beberapa anak dan dewasa yang berpenyakit asma,
tetapi emosional atau sifat-sifat perilaku yang dijumpai pada anak asma lebih
sering dari pada anak dengan penyakit kronis lainnya (Sundaru, 2006).

F. Klasifikasi Asma Bronchial

Tabel 1. Klasifikasi asma bronchial berdasarkan Konsensus PDPI 2003


Derajat
Asma
Intermitten

Gejala

Gejala Malam

Gejala <1x/minggu 2x sebulan


Tanpa gejala diluar
serangan
Serangan singkat

Persisten
Ringan

Gejala >1x/minggu >2x sebulan


tapi <1x/hari

Persisten
Sedang

Gejala setiap hari


Serangan
mengganggu
aktivitas dan tidur
Membutuhkan
bronkodilator tiap
hari
Gejala terus
menerus
Sering kambuh
Aktivitas fisik
terbatas

Persisten
Berat

>1x seminggu

Sering

Faal Paru
VEP1 80% nilai
prediksi
APE 80% nilai
terbaik
Variability APE
<20%
VEP1 80% nilai
prediksi
APE 80% nilai
terbaik
Variability APE
20%-30%
VEP1 60-80%
nilai prediksi
APE
60-80%
nilai terbaik
Variability APE
>30%
VEP1 <60%
nilai prediksi
APE <60% nilai
terbaik
Variability APE
>30%

G. Diagnosis Asma Bronchial


Studi epidemiologi menunjukkan asma underdiagnosed di seluruh dunia,
disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan
beratnya penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik
sehingga penderita tidak merasa perlu ke dokter. Diagnosis asma didasari oleh
gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa
berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang

baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan


jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru,
akan lebih meningkatkan nilai diagnostik (PDPI, 2003).
1. Riwayat penyakit / gejala :
a.
b.
c.
d.
e.

Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan


Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
Respons terhadap pemberian bronkodilator (PDPI, 2003).

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :

a.
b.
c.
d.

Riwayat keluarga (atopi)


Riwayat alergi / atopi
Penyakit lain yang memberatkan
Perkembangan penyakit dan pengobatan (PDPI, 2003).

2. Pemeriksaan fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani
dapat normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering
ditemukan adalah mengi pada auskultasi. Pada sebagian penderita,
auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada pengukuran objektif
(faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Pada keadaan serangan,
kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi dapat
menyumbat saluran napas; maka sebagai kompensasi penderita bernapas
pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran
napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda
klinis berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi. Pada serangan ringan,
mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Walaupun demikian
mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat,
tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara,
takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas (PDPI, 2003)..
3. Pemeriksaan faal paru
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi
mengenai asmanya, demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam
menilai dispnea dan mengi; sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif
yaitu faal paru antara lain untuk menyamakan persepsi dokter dan

penderita, dan parameter objektif menilai berat asma. Pengukuran faal


paru digunakan untuk menilai (PDPI, 2003):
a. obstruksi jalan napas
b. reversibiliti kelainan faal paru
c. variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-ponsif
jalan napas
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang
telah diterima secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah
pemeriksaan spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE) (PDPI, 2003).
a. Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan
kapasiti vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa
melalui prosedur yang standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung
kepada kemampuan penderita sehingga dibutuhkan instruksi operator
yang jelas dan kooperasi penderita. Untuk mendapatkan nilai yang
akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan
acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/
KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi (PDPI, 2003).
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :

Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75%

atau VEP1 < 80% nilai prediksi.


Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 15% secara spontan, atau
setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah
pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian
kortikosteroid (inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat

membantu diagnosis asma


Menilai derajat berat asma
b. Arus Puncak Ekspirasi (APE)
Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau
pemeriksaan yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory
flow meter (PEF meter) yang relatif sangat murah, mudah dibawa,
terbuat dari plastik dan mungkin tersedia di berbagai tingkat layanan

kesehatan termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat darurat. Alat


PEF meter relatif mudah digunakan/ dipahami baik oleh dokter
maupun penderita, sebaiknya digunakan penderita di rumah seharihari untuk memantau kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE
dengan ekspirasi paksa membutuhkan koperasi penderita dan instruksi
yang jelas (PDPI, 2003).
Manfaat APE dalam diagnosis asma:

Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE 15% setelah inhalasi


bronkodilator (uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14

hari, atau respons terapi kortikosteroid (inhalasi/ oral , 2 minggu)


Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan
variabiliti APE harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat
digunakan menilai derajat berat penyakit (lihat klasifikasi)
Nilai APE tidak selalu berkorelasi dengan parameter pengukuran faal

paru lain, di samping itu APE juga tidak selalu berkorelasi dengan derajat
berat obstruksi. Oleh karenanya

pengukuran nilai APE sebaiknya

dibandingkan dengan nilai terbaik sebelumnya, bukan nilai prediksi normal;


kecuali tidak diketahui nilai terbaik penderita yang bersangkutan (PDPI,
2003).
Cara pemeriksaan variabiliti APE harian adalah sebagai berikut:
Diukur pagi hari untuk mendapatkan nilai terendah, dan malam hari
untuk mendapatkan nilai tertinggi. Rata-rata APE harian dapat diperoleh
melalui 2 cara (PDPI, 2003):

Bila

sedang

menggunakan

bronkodilator,

diambil

variasi/

perbedaan nilai APE pagi hari sebelum bronkodilator dan nilai


APE malam hari sebelumnya sesudah bronkodilator. Perbedaan
nilai pagi sebelum bronkodilator dan malam sebelumnya sesudah
bronkodilator menunjukkan persentase rata-rata nilai APE harian.
Nilai > 20% dipertimbangkan sebagai asma.
APE malam - APE pagi
Variabiliti harian = -------------------------------------------- x 100 %
1/2 (APE malam + APE pagi)

Metode lain untuk menetapkan variabiliti APE adalah nilai


terendah APE pagi sebelum bronkodilator selama pengamatan 2
minggu, dinyatakan dengan persentase dari nilai terbaik (nilai

tertinggi APE malam hari) (PDPI, 2003).


4. Pemeriksaan penunjang lain
a. Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma.
Pada penderita dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya
dilakukan uji provokasi bronkus . Pemeriksaan uji provokasi bronkus
mempunyai sensitiviti yang tinggi tetapi spesifisiti rendah, artinya
hasil negatif dapat menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi
hasil positif tidak selalu berarti bahwa penderita tersebut asma. Hasil
positif dapat terjadi pada penyakit lain seperti rinitis alergik, berbagai
gangguan

dengan

penyempitan

jalan

napas

seperti

PPOK,

bronkiektasis dan fibrosis kistik (PDPI, 2003).


b. Pengukuran Status Alergi
Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui
pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut
mempunyai nilai kecil untuk mendiagnosis asma, tetapi membantu
mengidentifikasi faktor risiko/ pencetus sehingga dapat dilaksanakan
kontrol lingkungan dalam penatalaksanaan (PDPI, 2003).
Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi,
umumnya dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan
cara yang tepat untuk diagnosis atopi, tetapi juga dapat menghasilkan
positif maupun negatif palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan
alergen yang relevan dan hubungannya dengan gejala harus selalu
dilakukan. Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit
tidak dapat dilakukan (antara lain dermatophagoism, dermatitis/
kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit, dan lain-lain). Pemeriksaan
kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/ atopi
(PDPI, 2003).

H. Diagnosis Banding
Diagnosis banding asma antara lain sbb :
1. Dewasa (PDPI, 2003).
a. Penyakit Paru Obstruksi Kronik
Pada PPOK sesak bersifat irreversibel, terjadi pada usia 40 tahun
keatas dan biasanya dengan riwayat paparan zat alergen dalam watu
yang cukup lama.
b. Bronkitis kronik
Keluhan sesak nafas disertai dengan batuk produktif yang terus
menerus selama 3 bulan dalam 2 tahun berturut turut.
c. Gagal Jantung Kongestif
Sesak biasanya hilang timbul dan kumat-kumatan. Keluhan sesak
biasanya terjadi setelah melakukan aktivitas. Selain itu sesak nafas
juga terjadi pada saat tidur telentang sehingga pasien akan merasa
lebih nyaman jika tidur mnggunakan 2-3 buah bantal.
d. Obstruksi mekanis (misal tumor)
Keluhan sesak biasanya bertahan lama. Hal ini disebabkan karena
adanya penyempitan permanen dari saluran pernafasan. Bunyi mengi
juga akan terdengar setiap saat.
2. Anak (PDPI, 2003).

a. Benda asing di saluran napas


Keluhan sesak disertai dengan riwayat tertelan benda asing.
Setelah benda asing berhasil dikeluarkan maka keluhan sesak akan
hilang secara permanen.
b. Laringotrakeomalasia
Laringotrakeomalasia adalah kelainan yang disebabkan oleh
melemahnya struktur supraglotis dan dinding trakea, sehingga terjadi
kolaps dan obstruksi saluran napas yang menimbulkan gejala utama
berupa stridor. Kelainan ini dapat hadir sebagai laringomalasia atau
trakeomalasia saja.
c. Tumor
Keluhan sesak biasanya juga bertahan lama sama seperti tumor
pada dewasa. Hal ini disebabkan karena adanya penyempitan

permanen dari saluran pernafasan. Bunyi mengi juga akan terdengar


setiap saat.
d. Bronkiolitis
Merupakan infeksi virus pada bronkiolus dan biasanya menyerang
anak dibawah usia 2 tahun
I. Penatalaksanaan Asma Bronchial
Tujuan penatalaksanaan asma:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma


Mencegah eksaserbasi akut
Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
Menghindari efek samping obat
Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
Mencegah kematian karena asma (PDPI, 2003).
Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma

dikatakan terkontrol bila :


1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
2. Tidak ada keterbatasan aktiviti termasuk exercise
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis b2 kerja singkat) minimal (idealnya
4.
5.
6.
7.

tidak diperlukan)
Variasi harian APE kurang dari 20%
Nilai APE normal atau mendekati normal
Efek samping obat minimal (tidak ada)
Tidak ada kunjungan ke unit gawat darurat (PDPI, 2003).
Tujuan penatalaksanaan tersebut merefleksikan pemahaman bahwa asma

adalah gangguan kronik progresif dalam hal inflamasi kronik jalan napas yang
menimbulkan hiperesponsif dan obstruksi jalan napas yang bersifat
episodik.Sehingga

penatalaksanaan

asma

dilakukan

melalui

berbagai

pendekatan yang dapat dilaksanakan (applicable), mempunyai manfaat, aman


dan dari segi harga terjangkau (PDPI, 2003).
Program penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen :
1.
2.
3.
4.
5.

Edukasi
Menilai dan monitor berat asma secara berkala
Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
Menetapkan pengobatan pada serangan akut

6. Kontrol secara teratur


7. Pola hidup sehat (PDPI, 2003).
Pengobatan berdasarkan derajat berat asma
1. Asma Intermiten
Termasuk pula dalam asma intermiten penderita alergi dengan pajanan
alergen, asmanya kambuh tetapi di luar itu bebas gejala dan faal paru
normal. Demikian pula penderita exercise induced asthma atau kambuh
hanya bila beraktivitas tetapi di luar pajanan pencetus tersebut gejala tidak
ada dan faal paru normal (PDPI, 2003).
Serangan berat umumnya jarang pada asma intermiten walaupun
mungkin terjadi. Bila terjadi serangan berat pada asma intermiten,
selanjutnya penderita diobati sebagai asma persisten sedang (PDPI, 2003).
Pengobatan yang lazim adalah agonis beta-2 kerja singkat hanya jika
dibutuhkan, atau sebelum exercise pada exercise-induced asthma, dengan
alternatif kromolin atau leukotriene modifiers; atau setelah pajanan alergen
dengan alternatif kromolin. Bila terjadi serangan, obat pilihan agonis beta2 kerja singkat inhalasi, alternatif agonis beta-2 kerja singkat oral,
kombinasi teofilin kerja singkat dan agonis beta-2 kerja singkat oral atau
antikolinergik inhalasi. Jika dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali
seminggu selama 3 bulan, maka sebaiknya penderita diperlakukan sebagai
asma persisten ringan (PDPI, 2003).
2. Asma Persisten Ringan
Penderita asma persisten ringan membutuhkan obat pengontrol setiap
hari untuk mengontrol asmanya dan mencegah agar asmanya tidak
bertambah berat sehingga terapi utama pada asma persisten ringan adalah
antiinflamasi setiap hari dengan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah.
Dosis yang dianjurkan 200-400 ug BD/ hari atau 100-250 ug FP/hari atau
ekivalennya, diberikan sekaligus atau terbagi 2 kali sehari (PDPI, 2003).
Terapi lain adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat inhalasi)
jika dibutuhkan sebagai pelega, sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari.
Bila penderita membutuhkan pelega/ bronkodilator lebih dari 4x/ sehari,

pertimbangkan kemungkinan beratnya asma meningkat menjadi tahapan


berikutnya (PDPI, 2003).
3. Asma Persisten Sedang
Penderita dalam asma persisten sedang membutuhkan obat pengontrol
setiap hari untuk mencapai asma terkontrol dan mempertahankannya.
Idealnya pengontrol adalah kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400800 ug BD/ hari atau 250-500 ug FP/ hari atau ekivalennya) terbagi dalam
2 dosis dan agonis beta-2 kerja lama 2 kali sehari. Jika penderita hanya
mendapatkan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah ( 400 ug BD atau
ekivalennya) dan belum terkontrol; maka harus ditambahkan agonis beta-2
kerja lama inhalasi atau alternatifnya. Jika masih belum terkontrol, dosis
glukokortikosteroid inhalasi dapat dinaikkan. Dianjurkan menggunakan
alat bantu/ spacer pada inhalasi bentuk IDT/MDI atau kombinasi dalam
satu kemasan (fix combination) agar lebih mudah (PDPI, 2003).
Terapi lain adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat inhalasi)
jika dibutuhkan, tetapi sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari. Alternatif
agonis beta-2 kerja singkat inhalasi sebagai pelega adalah agonis beta-2
kerja singkat oral, atau kombinasi oral teofilin kerja singkat dan agonis
beta-2 kerja singkat. Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila
penderita telah menggunakan teofilin lepas lambat sebagai pengontrol
(PDPI, 2003).
4. Asma Persisten Berat
Tujuan terapi pada keadaan ini adalah mencapai kondisi sebaik
mungkin, gejala seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal
mungkin, faal paru (APE) mencapai nilai terbaik, variabiliti APE
seminimal mungkin dan efek samping obat seminimal mungkin. Untuk
mencapai hal tersebut umumnya membutuhkan beberapa obat pengontrol
tidak cukup hanya satu pengontrol. Terapi utama adalah kombinasi
inhalasi glukokortikosteroid dosis tinggi (> 800 ug BD/ hari

atau

ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama 2 kali sehari. Kadangkala

kontrol lebih tercapai dengan pemberian glukokortikosteroid inhalasi


terbagi 4 kali sehari daripada 2 kali sehari (PDPI, 2003).
Teofilin lepas lambat, agonis beta-2 kerja lama oral dan leukotriene
modifiers dapat sebagai alternatif agonis beta-2 kerja lama inhalasi dalam
perannya sebagai kombinasi dengan glukokortikosteroid inhalasi, tetapi
juga dapat sebagai tambahan terapi selain kombinasi terapi yang lazim
(glukokortikosteroid inhalasi dan agonis beta-2 kerja lama inhalasi). Jika
sangat dibutuhkan, maka dapat diberikan glukokortikosteroid oral dengan
dosis seminimal mungkin, dianjurkan sekaligus single dose pagi hari untuk
mengurangi efek samping. Pemberian budesonid secara nebulisasi pada
pengobatan jangka lama untuk mencapai dosis tinggi glukokortikosteroid
inhalasi adalah menghasilkan efek samping sistemik yang sama dengan
pemberian oral, padahal harganya jauh lebih mahal dan menimbulkan efek
samping lokal seperti sakit tenggorok/ mulut. Sehngga tidak dianjurkan
untuk memberikan glukokortikosteroid nebulisasi pada asma di luar
serangan/ stabil atau sebagai penatalaksanaan jangka panjang (PDPI,
2003).
Indikator asma tidak terkontrol
1. Asma malam, terbangun malam hari karena gejala-gejala asma
2. Kunjungan ke darurat gawat, ke dokter karena serangan akut
3. Kebutuhan obat pelega meningkat (bukan akibat infeksi pernapasan, atau
exercise-induced asthma) (PDPI, 2003).
Pertimbangkan beberapa hal seperti kekerapan/ frekuensi tanda-tanda
(indikator) tersebut di atas, alasan/ kemungkinan lain, penilaian dokter; maka
tetapkan langkah terapi, apakah perlu ditingkatkan atau tidak. Alasan /
kemungkinan asma tidak terkontrol :
1. Teknik inhalasi : Evaluasi teknik inhalasi penderita
2. Kepatuhan : Tanyakan kapan dan berapa banyak penderita menggunakan
obat-obatan asma
3. Lingkungan : Tanyakan penderita, adakah perubahan di
lingkungan penderita atau lingkungan tidak terkontrol

sekitar

4. Konkomitan penyakit saluran napas yang memperberat seperti sinusitis,


bronkitis dan lain-lain
Bila semua baik pertimbangkan alternatif diagnosis lain (PDPI, 2003).

Pengobatan sesuai berat serangan asma


Tabel 2. Pengobatan sesuai berat serangan asma
Berat Asma

Medikasi Pengontrol
Harian
Intermitten
-----Persisten Ringan Glukokortikosteroid
inhalasi (200-400 ug
BD/hari
atau
ekivalennya)
Persisten
Sedang

Kombinasi inhalasi
glukokortikosteroid
(400-800 ug BD/hari
atau
ekivalennya)
dan agonis beta-2
kerja lama

Alternatif/Pilihan
Lain
------Teofilin
lepas
lambat
Kromolin
Leukotriene
Modifiers
Glukokortikostero
id inhalasi (400800 ug BD atau
ekivalennya)
ditambah Teofilin
lepas lambat atau

Alternatif
Lain
-----------

Ditambah
agonis beta-2
kerja
lama
oral, atau

Ditambah
teofilin lepas
Glukokortikostero lambat
id inhalasi (400800 ug BD atau
ekivalennya)
ditambah agonis
beta-2 kerja lama
oral, atau
Glukokortikostero
id inhalasi dosis

tinggi (>800 ug
BD
atau
ekivalennya) atau

Persisten Berat

Glukokortikostero
id inhalasi (400800 ug BD atau
ekivalennya)
ditambah
leukotriene
modifiers
Kombinasi inhalasi Prednisolon/
glukokortikosteroid
metilprednisolon
(> 800 ug BD atau
oral selang sehari
ekivalennya) dan
10 mg
agonis beta-2 kerja
ditambah agonis
lama, ditambah 1 di
beta-2 kerja lama
bawah ini:
oral,
ditambah
- teofilin lepas
teofilin
lepas
lambat
lambat
- leukotriene
modifiers
- glukokortikosteroid
oral

Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila
dibutuhkan, tidak melebihi 3-4 kali sehari.
Semua tahapan : Bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling
tidak 3 bulan, kemudian turunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal
mungkin dengan kondisi asma tetap terkontrol (PDPI, 2003).

Penatalaksanaan Asma Eksaserbasi


Initial Assesment
Riwayat, pem.fisik (auskultasi, penggunaan otot bantu nafas, HR, RR, FEV1 atau PEF,
Saturasi Oksigen
Initial Treatment
Oksigen smapai saturasi oksigen >90%, inhalasi 2-agonist kerja cepat (1jam), sistemik
glukokortikosteroid, sedatif di kontraindikasikan
Re-Assesment setelah 1 jam
Pem.fisik (auskultasi, penggunaan otot bantu nafas, HR, RR, FEV1 atau PEF, Saturasi O2

Kriteria episode moderate (sedang) :


- PEF 60-80% nilai prediksi/terbaik
- Tes Fisik : Gejala moderate,
penggunaan otot bantu nafas
Treatment
- O2
- Inhalasi 2-agonist+antikolinergik tiap
jam
- Oral glukokortikosteroid
- Lanjutkan selama 1-3 jam

Kriteria episode severe (berat)


- PEF <60% nilai prediksi/terbaik
- Gejala berat timbul pada waktu istirahat
- Riwayat faktor resiko yang mendekati
asma lanjut
Treatment
- O2
- Inhalasi 2-agonist+antikolinergik tiap
jam
- Sistemik glukokortikosteroid
- Injeksi IV magnesium

Re-Assesment setelah 1 jam


Respon baik :
- PEF >70%
- SO2 >90%
- Tidak ada distress
pernafasan
Perubahan : kriteria
pulang
- PEF >60%
- Obat oral/inhalasi
- Lanjutkan 2agonist
- Pertimbangkan oral
glukokortikosteroid
- Pertimbangkan
kombinasi inhalasi
- Edukasi

Respon inkomplit (1-2


jam):
- Gejala ringan-sedang
- PEF<60%
- SO2 tidak ada perubahan
Acute care setting:
- O2
- Inhalasi 2agonist+antikolinergik
- IV magnesium
- Monitor PEF, SO2, nadi
Re-Assesment
Perbaikan

Respon buruk (1-2 jam):


- PEF<30%
- PCO2>45mmHg
- PO2<60mmHg
Intensive Care (ICU) :
- O2
- Inhalasi 2agonist+antikolinergik
- Pertimbangkan IV 2agonist
- Pertimbangkan IV
teofilin
- Intubasi dan ventilasi
mekanik
Respon buruk : ICU
Respon inkomplit dalam 612 jam : pertimbangkan ICU

(GINA, 2010).

Glukokortikosteroid inhalasi yang dapat digunakan pada penanganan


Asma
1. Dewasa
Tabel 3. Glukokortikoid inhalasi untuk dewasa
Obat
Beclomethasone
dipropionate

CFC
Beclomethasone
dipropionate

HFA
Budesonide
Ciclesonide
Flunisolide
Fluticazone
propionate
Mumetasone
fuoat
Triamcinolone
acetonide

Dosis Harian
Rendah (g)

Dosis Harian
Sedang (g)

Dosis Harian
Tinggi (g)

200-500

>500-1000

>1000-2000

100-250

>250-500

>500-1000

200-400
80-160
500-1000

>400-800
>160-320
>1000-2000

>8--0-1680
>320-1280
>2000

100-250

>250-500

>500-1000

200

400

>800

400-1000

>1000-2000

>2000

2. Anak-anak
Tabel 4. Glukokortikoid inhalasi untuk anak-anak
Obat
Beclomethasone
dipropionate
Budesonide
Budesenide neb
Ciclesonide
Flunisolide
Fluticazone
propionate
Mumetasone
fuoat
Triamcinolone
acetonide

Dosis Harian
Rendah (g)

Dosis Harian
Sedang (g)

Dosis Harian
Tinggi (g)

100-200

>200-400

>400

100-200
250-500
80-160
500-750

>200-400
>500-1000
>160-320
>750-1250

>400
>1000
>320
>1250

100-200

>200-500

>500

100

>200

>400

400-800

>800-1200

>1200
(GINA, 2010).

Kriteria rawat inap dan pemulangan pasien asma


Pasien dengan nilai FEV1 atau PEF pada pre-treatment kurang dari 20%
atau pasien dengan nilai FEV1 atau PEF pada post-treatment kurang dari 40%
merupakan indikasi untuk dilakukan rawat inap pada pasien asma. Pada pasien
dengan nilai FEV1 atau PEF pada post-treatment antara 40-60% dapat
dipulangkan namun dengan syarat harus diawasi secara adekuat. Sedangkan
pasien dengan nilai FEV1 atau PEF pada post-treatment lebih dari 60% dapat
langsung dipulangkan (GINA, 2010).
Klasifikasi berat serangan asma akut
Tabel 5. Klasifikasi berat serangan asma akut
Gejala dan
Tanda
Sesak napas
Posisi
Cara
berbicara
Kesadaran

Berat Serangan Asma


Ringan
Sedang
Berat
Berjalan
Dapat tidur
telentang
1 kalimat
Mungkin
gelisah

RR

<20x/menit

Nadi

<100x/meni
t

Pulsus
paradoksus
Otot bantu
napas dan
retraksi
suprasterna
l
Mengi
APE

10 mmHg
-

Akhir
ekspirasi
paksa
> 80 %

Berbicara
Duduk
Beberapa
kata
Gelisah

Istirahat
Duduk
membungkuk
Kata demi
kata
Gelisah

Keadaan
Mengancam
jiwa
-

>30x/menit

Mengantuk,
gelisah,
kesadaran
menurun
-

>120x menit

Bradikardia

+
>25 mmHg
+

Kelelahan otot
Torakoabdomi
nal paradoksal

Akhir
ekspirasi

Inspirasi dan
ekspirasi

Silent chest

60-80 %

< 60%

2030x/menit
100120x
/menit
+/- 10-20
mmHg
+

PaO2

> 80 mmHg

PaCO2

< 45 mmHg

SaO2

> 95 %

80-60
mmHg
< 45
mmHg
91-95 %

< 60 mmHg

> 45 mmHg

< 90 %

(PDPI, 2003)

Rencana pengobatan serangan asma berdasarkan berat serangan dan


tempat pengobatan
Tabel 6. Rencana pengobatan asma
Serangan
RINGAN
Aktivitas normal
Berbicara satu kalimat
dalam satu nafas
Nadi < 100x/menit
APE > 80%
SEDANG
Jalan jarak jauh
timbulkan gejala
Bicara beberapa kata
dalam satu kali nafas
Nadi 100-120 x/ menit
APE 60-80 %

BERAT
Sesak saat istirahat
Berbicara kata perkata
dalam satu nafas
Nadi >120 x/menit
APE <60 % atau 100
l/detik

Pengobatan
Terbaik :
Inhalasi agonis -2
Alternatif :
Kombinasi oral agins 2 dan teofilin

Tempat Pengobatan
Di rumah

Terbaik:
Nebulisasi agonis -2
tiap 4 jam
Alternatif :
-Agonis -2 subkutan
-Aminofilin IV
-Adrenalin 1/1000 0,3
ml SK

UGD/RS
Klinik
Praktek dokter
Puskesmas

Oksigen bila mungkin


Kortikosteroid sistemik
Terbaik :
Nebulisasi agonis -2
tiap 4 jam
Alternnatif :
-Agonis -2 SK/IV
-Adrenalin 1/1000 0,3
ml SK

Di praktek
dokter/klinik/puskesmas

UGD/RS
Klinik

Aminofilin bolus
dilanjutkan drip
Oksigen
Kortikosteroid IV
MENGANCAM
JIWA

Seperti serangan akut

UGD/RS

Kesadaran
berubah/menurun
Gelisah
Sianosis
Gagal nafas

berat
Pertimbangkan intubasi
dan ventilasi mekanis

ICU

(PDPI, 2003).
J. Prognosis Asma Bronchial
Sulit untuk meramalkan prognosis dari asma bronkial yang tidak disertai
komplikasi. Hal ini akan tergantung pula dari umur, pengobatan, lama
observasi dan definisi. Prognosis selanjutnya ditentukan banyak faktor. Dari
kepustakaan didapatkan bahwa asma pada anak menetap sampai dewasa
sekitar 26% - 78% (Suyono, 2006).
Umumnya, lebih muda umur permulaan timbulnya asma, prognosis lebih
baik, kecuali kalau mulai pada umur kurang dari 2 tahun. Adanya riwayat
dermatitis atopik yang kemudian disusul dengan rinitis alergik, akan
memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk menetapnya asma sampai
usia dewasa. Asma yang mulai timbul pada usia lanjut biasanya berat dan
sukar ditanggulangi. Smith menemukan 50% dari penderitanya mulai
menderita asma sewaktu anak. Karena itu asma pada anak harus diobati dan
jangan ditunggu serta diharapkan akan hilang sendiri. Komplikasi pada asma
terutama infeksi dan dapat pula mengakibatkan kematian (Suyono,2006).

BAB III
ILUSTRASI KASUS
A. Identitas Pasien
Nama

: Nn. A

Umur

: 23 tahun

Jenis Kelamin

: Wanita

Pekerjaan

: mahasiswa

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama : Sesak nafas
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Penderita mengeluhkan sesak nafas yang memberat sejak 2 jam
sebelum masuk rumah sakit. Sehari sebelumnya, pasien sudah merasa
sesak nafas, tetapi dapat ditahan dan minum obat sesak nafas yang dibeli
sendiri di toko obat. Penderita datang ke RS karena sesak nafas tidak dapat
ditahan lagi oleh penderita. Penderita mulai mengeluhkan merasa sesak
nafas sejak 3 hari terakhir karena tugas-tugasnya yang banyak. Penderita
mengeluhkan sesak memberat terutama malam hari terlebih saat udara
dingin. Pada saat sesak penderita mengeluhkan suara ngik-ngik saat
bernafas.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit serupa
: (+) sejak 10 tahun
Riwayat alergi
: (+), udara dingin
Riwayat sakit darah tinggi
: disangkal
Riwayat sakit gula
: disangkal
4. Riwayat Keluarga
Riwayat penyakit serupa
: (+) ibu dan nenek
Riwayat alergi
: disangkal
Riwayat sakit darah tinggi
: disangkal
Riwayat sakit gula
: disangkal
5. Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok
: disangkal
Riwayat minuman keras : disangkal
Riwayat batuk lama
: disangkal

6. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien adalah seorang wanita berusia 23 tahun dan belum menikah.
Pasien merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Pasien tinggal
bersama ayah, ibu dan ketiga saudaranya. Pasien merupakan mahasiswa
dan belum bekerja. Pasien berobat dengan fasilitas BPJS.
C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum

Sakit sedang, compos mentis, sesak nafas

Tanda Vital

Tensi : 120/ 80 mmHg


Nadi : 100 x/ menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup
Frekuensi Respirasi : 30 x/menit

Kepala

Suhu : 36,8 0C
Bentuk mesocephal, rambut warna hitam, uban

Mata

(-), mudah rontok (-), luka (-)


Mata cekung (-/-), konjunctiva pucat (-/-), SI(-/-),
perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil isokor dengan
diameter (3 mm/3 mm), reflek cahaya (+/+), edema

Telinga

palpebra (-/-), strabismus (-/-)


Membran timpani intak, sekret (-), darah (-), nyeri tekan

Hidung

mastoid (-), nyeri tekan tragus (-), Berdenging(-)


Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-), fungsi

Mulut

penghidu baik
Sianosis (-), gusi berdarah (-), bibir kering (-), pucat (-),

Leher

lidah tifoid (-),stomatitis (-), luka pada sudut bibir (-)


JVP R+2cm (tidak meningkat), trakea di tengah, simetris,
pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran limfonodi

Thorax

cervical (-), leher kaku (-), distensi vena-vena leher (-)


Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada kanan =
kiri, retraksi intercostal

(-),pernafasan torakoabdominal,

sela iga melebar (-), pembesaran KGB axilla (-/-), atropi m


pectoralis (-)
Jantung :
Inspeksi
Palpasi
Perkusi

Iktus kordis tidak tampak


Iktus kordis tidak kuat angkat
Batas jantung kanan atas : SIC II linea sternalis dextra

Batas jantung kanan bawah : SIC IV linea parasternalis


dekstra
Batas jantung kiri atas : SIC II linea parasternalis sinistra
Batas jantung kiri bawah : SIC V 1 cm medial linea
medioklavicularis sinistra
Pinggang jantung : SIC II-III parasternalis sinistra
Auskultasi

konfigurasi jantung kesan tidak melebar


HR : kali/menit reguler. Bunyi jantung I-II, bising (-),
gallop (-).

Pulmo :
Inspeksi

Normochest, simetris, sela iga melebar (-), iga mendatar


(-). Pengembangan dada kanan = kiri, sela iga melebar,

Palpasi

retraksi intercostal (-)


Simetris. Pergerakan dada ka = ki, penanjakan dada ka = ki,

Perkusi
Auskultasi

fremitus raba kanan = kiri


sonor / sonor
Suara dasar vesikuler intensitas normal, suara tambahan

Punggung

wheezing (+/+) di seluruh lapangan paru


kifosis (-), lordosis (-), skoliosis (-), nyeri ketok
kostovertebra (-),

Abdomen :
Inspeksi

Dinding perut lebih besar dari dinding thorak, distended (-),

Auscultasi
Perkusi
Palpasi
Genitourinaria

venektasi (-), sikatrik (-), stria (-), caput medusae (-)


Peristaltik (+) normal
Timpani
Supel,nyeri tekan (-)
Ulkus (-), sekret (-), tanda-tanda radang (-)

Ekstremitas

Akral dingin
_
_
_
_

D. PLANNING
Pemeriksaan spirometri
E. ASSESMENT

Odem
_
_

_
_

Asma akut sedang pada asma persisten ringan pada asma tidak terkontrol
F. PENATALAKSANAAN
Tujuan
1.
Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2.

Mencegah exaserbasi akut

3.

Meningkatkan dan mempertahankan faal paru

Terapi
1. Saat Serangan
a.

Pemberian O2 2L/menit dengan kanul nasal

b.

Pemberian nebulizer Berotec (fenoterol) : Atrovent (ipratropium


bromide)= 1 ml : 0.25 ml

2. Obat Rawat jalan


a. Berotec inhaler 1-2 x puff II (jika sesak)
b. Pulmicort inhaler 200mcg 1 x puff I

Resep
R/ Berotec inhaler 100 mcg fl No.I
S prn (3-4) dd puff II
R/ Pulmicort turbuhaler 200 mcg fl No. I
S 1 dd puff 1
Pro: Nn. A ( 23 th)

BAB IV
PEMBAHASAN OBAT
1. Berotec
Kandungan
Fenoterol HBr
Farmakodinamik dan farmakokinetik
Fenoterol merupakan golongan agonis beta-2. Termasuk golongan ini
adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan prokaterol yang telah beredar di
Indonesia. Mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang cepat. Pemberian dapat
secara inhalasi atau oral, pemberian inhalasi mempunyai onset yang lebih
cepat dan efek samping minimal/ tidak ada. Mekanisme kerja sebagaimana
agonis beta-2 yaitu relaksasi otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan
mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan modulasi
penglepasan mediator dari sel mast. Merupakan terapi pilihan pada serangan
akut dan sangat bermanfaat sebagai praterapi pada exercise-induced asthma
(bukti A). Penggunaan agonis beta-2 kerja singkat direkomendasikan bila
diperlukan untuk mengatasi gejala. Kebutuhan yang meningkat atau bahkan
setiap hari adalah petanda perburukan asma dan menunjukkan perlunya terapi
antiinflamasi. Demikian pula, gagal melegakan jalan napas segera atau
respons tidak memuaskan dengan agonis beta-2 kerja singkat saat serangan
asma adalah petanda dibutuhkannya glukokortikosteroid oral
Kemasan
Inhaler 100 mcg/semprot x 200 semprot x 10 ml x 1
Dosis
Episode asma akut 1x semprot, jika belum ada perbaikan setelah 5 menit,
berikan dosis ke 2. jika serangan asma tidak dapat teratasi dengan 2 semprot,
dosis mungkin perlu ditambah. Pencegahan asma yang dipicu oleh ativitas
fisik 1-2 semprot, maks: 8 semprot/hari.
Indikasi
Asma bronkial, bronkitis obstruktif, emfisema, asma disebabkan suatu
gerakan olahraga dan kelainan bronkopulmonari
Kontra Indikasi
Kardiomiopati obstruksi hipertrofi, takiaritmia

Efek Samping
Tremor halus pada otot rangka, gugup, sakit kepala, pusing, takikardi,
palpitasi, batuk, iritasi lokal; mual, muntah, berkeringat, otot lemah, mialgia,
kram otot, hipokalemia
Perhatian
DM yang tak terkontrol, infark miokard yang belum lama terjadi, penyakit
jantung organik atau vaskular yang berat, hipertiroid. Hamil trimester 1,
laktasi.
2. Pulmicort
Glukokortikosteroid inhalasi dalah medikasi jangka panjang yang paling
efektif untuk mengontrol asma. Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan
steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif
jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan dan
memperbaiki kualiti hidup. Steroid inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan
asma persisten (ringan sampai berat). Steroid inhalasi ditoleransi dengan baik
dan aman pada dosis yang direkomendasikan.
Kandungan
Budesonide
Farmakodinamik dan farmakokinetik
Beberapa glukokortikosteroid berbeda potensi dan bioavailibiti setelah
inhalasi, pada tabel 11 dapat dilihat kesamaan potensi dari beberapa
glukokortikosteroid berdasarkan perbedaan tersebut. Kurva dosis-respons
steroid inhalasi adalah relatif datar, yang berarti meningkatkan dosis steroid
tidak akan banyak menghasilkan manfaat untuk mengontrol asma (gejala, faal
paru, hiperesponsif jalan napas), tetapi bahkan meningkatkan risiko efek
samping. Sehingga, apabila dengan steroid inhalasi tidak dapat mencapai asma
terkontrol (walau dosis sudah sesuai dengan derajat berat asma) maka
dianjurkan

untuk

menambahkan

obat

pengontrol

lainnya

daripada

meningkatkan dosis steroid inhalasi tersebut (bukti A)


Kemasan
Turbuhaler 200 mcg/semprot x 100 semprot
Dosis
Rendah: 200-400 mcg/ hari, sedang: 400-800 mcg/hari, berat >800 mcg
Indikasi
Asma bronkial
Kontra Indikasi

Hipersensitifitas terhadap kortikosteroid


Efek Samping
Efek samping steroid inhalasi adalah efek samping lokal seperti
kandidiasis orofaring, disfonia dan batuk karena iritasi saluran napas atas.
Semua efek samping tersebut dapat dicegah dengan penggunaan spacer, atau
mencuci mulut dengan berkumur-kumur dan membuang keluar setelah
inhalasi. Absorpsi sistemik tidak dapat dielakkan, terjadi melalui absorpsi obat
di paru. Risiko terjadi efek samping sistemik bergantung kepada dosis dan
potensi obat yang berkaitan dengan biovailibiliti, absorpsi di usus,
metabolisme di hati (first-pass metabolism), waktu paruh berkaitan dengan
absorpsi di paru dan usus; sehingga masing-masing obat steroid inhalasi
berbeda kemungkinannya untuk menimbulkan efek sistemik. Penelitian
menunjukkan budesonid dan flutikason propionate mempunyai efek sistemik
yang rendah dibandingkan beklometason dipropionat dan triamsinolon. Risiko
efek sistemik juga bergantung sistem penghantaran. Penggunaan spacer dapat
menurunkan bioavailabiliti sistemik dan mengurangi efek samping sistemik
untuk semua glukokortikosteroid inhalasi. Tidak ada data yang menunjukkan
terjadi tuberkulosis paru pada penderita asma malnutrisi dengan steroid
inhalasi, atau terjadi gangguan metabolisme kalsium dan densiti tulang.

BAB V
PENUTUP

Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia.
Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktiviti, akan tetapi dapat
bersifat menetap dan mengganggu aktiviti bahkan kegiatan harian. Produktiviti
menurun akibat mangkir kerja atau sekolah, dan dapat menimbulkan disability
(kecacatan), sehingga menambah penurunan produktiviti serta menurunkan kualiti
hidup. Penatalaksanaan asma didasarkan pada klasifikasi berat serangan asma.

DAFTAR PUSTAKA

Amu FA, Yunus F. Asma Pra Mentruasi, Departemen Pulmonologi Respirasi,


FKUI-RS Persahabatan. Jakarta, Respir Indo Vol:26 No1, 1 Januari 2006 ;
28.
Chilmonczyk BA. Assosiation between exposure to Environmental Tobacco
Smoke and Exacerbations of Asthma in Children, N.Eng J.Med 1993;
328;1665-1669.
Danusaputro H. Ilmu Penyakit Paru, 2000 ; 197 209.
GINA (Global Initiative for Asthma); Pocket Guide for Asthma Management and
Prevension In Children. www. Ginaasthma.org.2006.
GINA (Global Initiative for Asthma); Pocket Guide for Asthma Management and
Prevension In Children. www. Ginaasthma.org.2010.
Handayani D, Wiyono WH, Faisal Y. Penatalaksanaan Alergi Makanan. J.Respir
Indo 2004 ;24(3) 133-44.
Naning R. Prevalensi Asma pada murid Sekolah Dasar di Kotamadya
Yogyakarta, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FK UGM, RSUP Dr. sarjito,
Yogyakarta 1991.
Nelson WE. Ilmu Kesehatan Anak.Terjemahan Wahab S. Vol I: Jakarta. Penerbit
EGC. 1996:775.
Konsensus PDPI. 2003. Asma Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. Jakarta:PDPI
Price AS, Alih Bahasa anugrah PatofisiologiProses-proses Penyakit, EGC, 1995 ;
689.
Sundaru H, Sukamto, Asma Bronkial, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakulas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, juni 2006 ; 247.
Suyono. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: FKUI

Vous aimerez peut-être aussi