Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Agung Rondonuwu
102010396
A4
Pendahuluan
Saluran napas dapat mengalami obstruksi akut. Obstruksi bisa terjadi pada saluran napas
bagian atas, tengah, atau bawah. Pada saluran napas bagian bawah obstruksi bisa terjadi oleh
karena penyakit asma dan PPOK.
Asma merupakan keadaaan inflamasi kronis yang menyebabkan obstruksi saluran pernapasan
reversible misalnya seperti asma bronchial. Asma bronkial merupakan suatu penyakit yang
1
ditandai oleh tanggap reaksi yang meningkat dari trachea dan bronki terhadap berbagai
macam rangsangan yang manifestasinya berupa kesukaran bernapas, karena penyempitan
yang menyeluruh dari saluran napas. Penyempitan ini bersifat dinamis dan derajat
penyempitannya dapat berubah-ubah, baik secara spontan maupun karena pemberian obatobatan. Kelainan dasarnya, tampaknya suatu perubahan status imunologis si penderita.
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Inspeksi
-
Palpasi
-
Perkusi
-
Auskultasi
-
Vesicular: suara napas pokok yang lembut dengan frekuensi rendah dimana fase
inspirasi langsung diikuti dengan fase ekspirasi tanpa diselingi jeda, dengan
perbandingan 3:1
Bronkovesikular: suara napas pokok dengan intensitas dan frekuensi yang sedang, di
amna fase ekspias menjadi lebih panjang sehingga hampir menyamai fase inspirasi
ekspirasi menjadi lebih panjang dari fase inspirasi dan diantaranya diselingi jeda.
Trakeal: suara napas yang sangat keras dan kasar, dapat didengarkan pada daerah
trakea.
Amforik: suara napas yang didapatkan bila terdapat cavitas besar yang letaknya
perifer dan berhubungan dengan bronkus, terdengar seperti tiupan dalam botol
kosong.
Ronki basah: suara napas terputus-putus, bersifat nonmusical, dan biasanya terdengar
pada saat inspirasi akibat udara yang melewati cairan dalam saluran napas.
Ronki kering: suara napas continue, yang bersifat musical, denga frekuensi yang
relative rendah, terjadi karena udara mengalir melalui saluran napas yang menyempit.
Wheezing adalah ronki kering yang frekuensinya tinggi dan panjang yang biasanya
digoyang-goyangkan.
Pneumothorax click: bunyi yang bersifat ritmik dan sikron dengan saat kontraksi
jantung, terjadi bila didapatkan adanya udara diantara kedua lapisan pleura yang
menyelimuti jantung.4,6
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:
- Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi
-
Serous
1. Jernih dan encer, pada edema paru akut
2. Berbusa, kemerahan, pada alveolar cell cancer
Mukoid
1. Jernih keabu-abuan, pada bronchitis kronik
2. Putih kental, pada asma
Purulen
1. Kuning, pada pneumonia
2. Kehijauan, pada bronkietasis, abses paru
Rusty
Kuning tua/coklat/merah-kecoklatan seperti warna karat, pada pneumococcal
pneumonia dan edema paru
2. Pemeriksaan darah
- Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi
-
LDH.
Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas
15.000/mm3
dimana
menandakan
terdapatnya
suatu
infeksi.
Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan
dari Ig E pada waktu serangan dan menurun pada waktu
bebas dari serangan.
Pemeriksaan radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu
serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni
radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta
diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka
kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:
-
akan bertambah.
Bila terdapat komplikasi
pada paru
Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan
empisema
(COPD),
maka
Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP 1/ KVP < 75% atau VEP 1 < 80%
nilai prediksi.
Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 15% secara spontan, atau setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari,
atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat
membantu diagnosis asma
Diagnosis banding
Bronkiektasis
Bronkiektasis merupakan dilatasi bronkus yang biasanya disertai bronkitis kronik. Kira-kira
50% terjadi bilateral dan kebanyakan mengenai lobus inferior. Kurang lebih separuh dari
penderita sudah dihinggapi sebelum usia tiga tahun. Sering mulai dari bronkitis, dan
pneumonia, dan penyakit anak seperti batuk rejan. Bronkiektasis juga sering terlihat sebagai
akibat atau yang menyertai penyakit TBC paru, distal dari tumor, stenosis bronkus atau
infeksi bronkus yang akut atau kronik.
Pada foto rontgen bronkogram tampak pelebaran bronkus yang berbentuk silinder atau
kantung dengan penimbunan sekret. Secara mikroskopis terlihat perubahan bentuk mukosa
bronkus, yang menonjol ialah tidak terdapat silia. Yang jelas terlihatialah pelebaran cabang
pembuluh darah arteri bronkialis sebagai akibat radang.
Pasien dengan bronkiektasis biasanya menderita batuk produktif, kadang batuk darah, dan
biasanya sesak napas selama bertahun-tahun. Terutama orang tua, dapat terjadi hemoptisis
dan sering dijumpai jari gada. Diagnosis dipastikan dengan bronkografi.
Sebagaimana diketahui keluhan dan gejala gagal jantung,edema paru dan syok sering
dicetuskan oleh adanya berbagai faktor pencetus. Hal ini penting diidentifikasi terutama yang
bersifat reversibel karena prognosis akan menjadi lebih baik.5
Etiologi
Empat hal penting pada kejadian asthma bronchiale ialah:
1. Kira-kira separuh penderita menderita alergi terhadap berbagai bahan yang diisap atau
ditelan, misalnya debu, serbuk tumbuh-tumbuhan, bulu binatang, bahan makanan
tertentu, dll. Keadaan alergi ini dapat dibuktikan dengan percobaan kulit (skin test).
Spasme bronkus itu dianggap merupakan reaksi alergi. Bentuk asma semacam ini
dinamai bentuk ekstrinsik.
2. Bentuk intrinsik yang tidak menunjukkan skin test positif terhadap berbagai alergen.
3. Faktor herediter memegang peranan penting, karena lebih dari separuh penderita
mempunyai sanak keluarga yang juga menderita berbagai-bagai bentuk penyakit
alergik.
4. Beberapa faktor lain yang penting dan dapat merangsang timbulnya serangan spasme
ialah tekanan emosionil, mengisap asap atau debu atau rangsang (iritans) lain dan
keadaan terlalu lelah.7
Faktor pencetus:
1. Individu yang atopi (punya riwayat dermatitis atopi/ rhinitis alergik)
2. Infeksi saluran napas: Influenza
3. Pemajanan terhadap allergen: tungau, debu rumah, bulu hewan, serbuk sari
4. Pemajanan terhadap iritan: polusi udara, asap rokok, parfum
5. Kegiatan fisik: lari
6. Psikis: takut, marah, sedih, frustasi
7. Obat-obatan: AINS, beta-bloker
8. Lingkungan kerja: uap zat kimia
9. Pengawet makanan: sulfit
10. Lain-lain: kehamilan, haid, sinusitis
Epidemiologi
Asma bronkial merupakan penyakit respiratorik kronik yang tersering dijumpai pada anak.
Asma dapat muncul pada usia berapa saja, mulai dari balita, prasekolah, sekolah atau remaja.
Prevalensi di dunia berkisar antara 4-30%, sedangkan di Indonesia sekitar 10% pada anak
usia sekolah dasar dan 6,7% pada anak usia sekolah menengah. Sebanyak 10-15% anak lakilaki dan 7-10% anak wanita dapat menderita asma pada suatu saat selama masa kanak-kanak.
9
Sebelum pubertas sekitar dua kali anak laki-laki yang lebih banyak terkena daripada anak
wanita dan insiden menurut jenis kelamin sama.7
Patofisiologi
Triger (pemicu) yang berbeda-beda dapat menyebabkan eksaserbasi asma oleh karena
inflamasi saluran napas atau bronkospasme akut atau keduanya. Sesuatu yang dapat memicu
serangan asma ini sangat bervariasi antara satu individu dengan individu yang lain dan dari
satu waktu ke waktu yang lain. Beberapa hal di antaranya adalah alergen, polusi udara,
infeksi saluran napas, kecapaian, perubahan cuaca, makanan, obat, atau ekspresi emosi yang
berlebihan. Faktor lain yang kemungkinan dapat menyebabkan eksaserbasi ini adalah rinitis,
sinusitis bakterial, poliposis, menstruasi, refluks gastro esopageal dan kehamilan. Mekanisme
keterbatasan aliran udara yang bersifat akut ini bervariasi sesuai dengan rangsangan. Alergen
akan memicu terjadinya bronkokontriksi akibat dari pelepasan Ig-E dependent dari mast sel
saluran pernapasan dari mediator, termasuk di antaranya histamin, prostaglandin, leukotrin
sehingga akan terjadi kontraksi otot polos. Keterbatasan aliran udara yang bersifat akut ini
kemungkinan juga terjadi oleh karena saluran pernapasan pada pasien asma sangat hiper
responsif terhadap bermacam-macam jenis rangsangan. Pada khasus asma akut mekanisme
yang menyebabkan bronkokonstriksi terdiri dari kombinasi antara pelepasan mediator sel
inflamasi dan rangsangan yang bersifat lokal atau refleks saraf pusat. Akibatnya keterbatasan
aliran udara timbul oleh karena adanya pembengkakan dinding saluran napas dengan atau
tanpa kontraksi otot polos. Peningkatan permeabilitas dan kebocoran mikrovaskular berperan
terhadap penebalan dan pembengkakan pada sisi luar otot polos saluran pernapasan.
Penyempitan saluran pernapasan yang bersifat progresif yang disebabkan oleh inflamasi
saluran pernapasan dan atau peningkatan tonus otot polos bronkioler merupakan gejala
serangan asma akut dan berperan terhadap peningkatan resistensi aliran, hiperinflasi
pulmoner dan ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi (V/Q). Apabila tidak dilakukan
koreksi terhadap obstruksi saluran pernapasan im, akan terjadi gagal napas yang merupakan
konsekuensi dari peningkatan kerja pernapasan, inefisiensi pertukaran gas dan kelelahan otototot pernapasan. Interaksi kardiopulmoner dan sistem kerja paru sehubungan dengan
obstruksi saluran napas.
10
Obstruksi aliran udara merupakan gangguan fisiologis terpenting pada asma akut. Gangguan
ini akan menghambat aliran udara selama inspirasi dan ekspirasi dan dapat dinilai dengan tes
fungsi paru yang sederhana seperti peak expiratory flow rate (PEFR) dan FEV (Forced
expiration volume). Ketika terjadi obstruksi aliran udara saat ekspirasi yang relatif cukup
berat akan menyebabkan pertukaran aliran udara yang kecil untuk mencegah kembalinya
tekanan alveolar terhadap tekanan atmosfer maka akan terjadi hiperinflasi dinamik. Besarnya
hiperinflasi dapat dinilai dengan derajat penurunan kapasitas cadangan fungsional dan
volume cadangan. Fenomena ini dapat pula terlihat pada foto toraks, yang memperlihatkan
gambaran volume paru yang membesar dan diafragma yang mendatar.
Hiperinflasi dinamik terutama berhubungan dengan peningkatan aktivitas otot pernapasan,
mungkin sangat berpengaruh terhadap tampilan kardiovaskular. Hiperinflasi paru akan
meningkatkan after load pada ventrikel kanan oleh karena peningkatan efek kompresi
langsung terhadap pembuluh darah paru.2
Gejala klinis
Penyakit asma mempunyai manifestasi fisiologis berbentuk penyempitan yang meluas pada
saluran udara pernafasan yang dapat sembuh spontan atau sembuh dengan terapi. Penyakit ini
brsifat episodik dengan eksaserbasi akut yang diselingi oleh periode tanpa gejala.
Keluhan utama penderita asma adalah sesak napas mendadak disertai inspirasi yang lebih
pendek dibandingkan dengan fase ekspirasi dan diikuti oleh bunyi mengi (wheezing), batuk
yang disertai serangan sesak napas yang kumat-kumatan. Pada beberapa penderita asma
keluhan tersebut dapat ringan, sedang atau berat dan sesak napas penderita timbul mendadak,
dirasakan makin lama makin meningkat atau tiba-tiba menjadi berat. Hal ini sering terjadi
terutama pada penderita dengan rhinitis alergika atau radang saluran napas bagian atas.
Sedangkan pada sebagian besar penderita keluhan utama ialah sukar bernapas disertai rasa
tidak enak di daerah retrosternal.6
Komplikasi
Pneumotoraks
Pneumomediatinum
Emfisema subkutis
Atelektasis
11
Aspergilosis
Bronkopulmoner alergik
Gagal nafas
Bronchitis
Fraktur iga
Penatalaksanaan
Target pengobatan asma meliputi beberapa hal, di antaranya adalah menjaga saturasi oksigen
arteri tetap adekuat dengan oksigenasi, membebaskan obstruksi saluran pernapasan dengan
pemberian bronkodilatator inhlasi kerja cepat (2-agonis dan anti kolinergik) dan mengurangi
inflamasi saluran pernapasan serta mencegah kekambuhan dengan pemberian kortikosteroid
sistemik yang lebih awal.
Oksigen
Karena kondisi hipoksemia dihasilkan oleh ketidakseimbangan V/Q, hal ini biasanya dapat
terkoreksi dengan pemberian oksigen 1-3 L/menit dengan kanul nasal atau masker. Meskipun
demikian,
penggunaan
oksigen
dengan
aliran
cepat
tidak
membahayakan
dan
direkomendasikan pada semua pasien dengan asma akut. Target pemberian oksigen ini adalah
dapat mempertahankan SpO2 pada kisaran lebih dari 92%.
2 agonis
Inhalasi 2 agonis kerja pendek merupakan obat pilihan untuk pengobatan asma akut. Onset
aksi obat tadi cepat dan efek sampingnya bisa ditoleransi. Salbutamol merupakan obat yang
banyak dipakai di instalasi gawat darurat (IGD). Onset aksi obat ini sekitar 5 menit dengan
lama aksi sekitar 6 jam. Obat lain yang juga sering digunakan adalah metaproterenol,
terbutalin dan fenoterol. Obat dengan aksi kerja panjang tidak direkomendasikan, untuk
pengobatan kegawatdaruratan. Levalbuterol mempunyai efiksasi yang lebih baik dan lebih
toksik yang minimal dibandingkan dengan albuterol racemik. Pemberian ephineprin sub
kutan jarang dilakukan oleh karena memicu timbulnya efek samping pada jantung. Obat ini
hanya berfungsi sebagai cadangan saat pasien tidak mendapatkan keuntungan dengan
pemakaian obat secara inhalasi.
12
Antikolinergik
Penggunaan antikolinergik berdasarkan asumsi terdapatnya peningkatan tonus vagal saluran
pernapasan pada pasien asma akut, tetapi efeknya tidak sebaik 2 agonis. Penggunaan
ipratropium bromida (IB) secara inhlasi digunakan sebagai bronkho dilator awal pada pasien
asma akut. Kombinasi pemberian IB dan 2 agonis diindikasikan sebagai terapi pertama
pada pasien dewasa dengan eksaserbasi asma berat. Dosis 4x semprot (80mg) tiap 10 menit
dengan MDI atau 500 mg setiap 20 menit dengan nebulizer akan lebih efektif.
Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid secara sistemik harus diberikan pada penatalaksanaan kecuali kalau
derajat eksaserbasinya ringan. Agen ini tidak bersifat bronkodilatator tetapi secara ekstrem
sangat efektif menurunkan inflamasi pada saluran napas. Pemberian hidrokortison 800mg
atau 160 mg metilprednisolon dalam 4 dosis terbagi setiap harinya, umumnya sudah
memberikan efek yang adekuat pada kebanyakan pasien.
Teofilin
Penggunaan teofilin sebagai obat monoterapi, efektivitasnya tidak sebaik obat golongan 2
agonis. Pemberian aminophilin dikombinasi dengan 2 agonis per inhalasi, tidak
memberikan manfaat yang bermakna. Pemberian obat ini malah akan meningkatkan efek
samping seperti tremor, mual, cemas dan taki aritmia. Berdasarkan beberapa hasil penelitian
akhirnya dibuat kesepakatan dan keputusan untuk tidak merekomendasikan pemberian
teofilin secara rutin untuk pengobatan asma akut. Obat ini boleh digunakan hanya jika pasien
tidak respon dengan terapi standar. Pada kasus ini pemberian loading doses 6mg/ kg dan
diberikan dalam waktu >30 menit dilanjutkan secara per infus dengan dosis 0,5 mg/kg BB/
jam. Kadar teofilin dalam darah yang direkomendasikan berkisar antara 8-12 mg/ml.
Magnesium sulfat
Penggunaan obat ini untuk asma akut pertama kali dilaporkan oleh dokter negara Uruguay
pada tahun 1936. Mekanisme obat ini kemungkinan melalui hambatan kontraksi otot polos
akibat kanal kalsium terblokir oleh magnesium. Obat ini murah dan aman. Dosis yang biasa
diberikan 1,2 2g intravena, diberikan dalam waktu > 20menit. Dari hasil penelitian secara
meta analisis, pemberian obat ini pada pasien asma akut tidak dianjurkan untuk diberikan
secara rutin. Pemberian obat ini secara per inhalasi tidak memberikan efek yang bermakna.
Penelitian akhir melaporkan bahwa pemberian magnesium sulfat secara intravena hanya akan
memperbaiki fungsi paru jika diberikan sebagai obat tambahan pada obat yang telah
13
ditentukan sebagai standar terapi (nebulizer 2 agonis dan kortikosteroid intravena) pada
pasien dengan FEV < 20% prediksi.
Heliox
Serangan asma akut dapat menyebabkan turbulensi aliran udara. Turbulensi aliran udara ini
dapat dikurangi pemberian gas yang mempunyai densitas lebih rendah serta mempunyai
viskositas yang lebih tinggi dari udara. Heliox (Helium dan Oksigen) merupakan campuran
gas yang dapat diberikan pada pasien asma akut untuk mengurangi turbulensi aliran udara.
Beberapa penelitian melaporkan bahwa pemberian gas heliox sebagai terapi tambahan pada
terapi standar untuk kasus asma akut tidak lebih efektif dalam hal perbaikan fungsi paru bila
dibandingkan dengan oksigen atau udara.
Antagonis Leukotrin
Ada beberapa penelitian yang dilakukan untuk menguji efektivitas penggunaan obat ini. Pada
suatu penelitian, pemberian dua macam obat zafirlukast secara oral (20 mg dan 160 mg) pada
pasien asma akut yang datang ke IGD, memperlihatkan adanya perbaikan fungsi paru dan
skor sesak napasnya menjadi berkurang. Pada pasien asma akut refrakter yang sudah
mendapatkan terapi 2 agonis, pemberian montelukast intra vena akan meningkatkan FEV
secara cepat meskipun perubahannya hanya sedikit bila dibandingkan dengan plasebo.2
Pencegahan
Semua serangan penyakit asma harus dicegah. Serangan penyakit asma dapat dicegah jika
faktor pemicunya diketahui dan bisa dihindari. Serangan yang dipicu oleh olah raga bisa
dihindari dengan meminum obat sebelum melakukan olah raga.
Ada usaha-usaha pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah datangnya serangan
penyakit asma, antara lain :
1. Menjaga kesehatan
2. Menjaga kebersihan lingkungan
3. Menghindarkan faktor pencetus serangan penyakit asma
4. Menggunakan obat-obat antipenyakit asma
Prognosis
14
Asma harus di tangani dengan baik karena merupakan penyakit kronis. Dengan penanganan
yang baik, asma bronkial ini dapat dikendalikan. Tetapi jika penanganannya buruk, maka
akan menghasilkan prognosis yang buruk.
Kesimpulan
Perempuan berusia 28 tahun itu menderita asma bronkial. Dilihat dari gejala-gejala khas dari
asma bronkial seperti sesak napas saat kedaan dingin dan berdebu, batuk berdahak, dan juga
adanya pemeriksan wheezing yang positif. Asma bronkial tersebut harus dapat dibedakan
dengan penyakit obstruktif paru lainnya seperti bronkitis kronik, emfisema, bronkiektasis,
juga Chronic Heart Failure. Dengan penanganan yang tepat asma sebenarnya dapat
dikendalikan. Namun penyakit ini cukup berbahaya jika pengendaliannya tidak sesuai dan
tidak tepat.
Daftar Pustaka
1. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6.
Alih bahasa, Brahm Pendit. Jakarta: EGC; 2005. h. 1336-7
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jilid 3. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009. h. 2495-506
3. Sjamsuhidajat R, Jong W. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC; 2004. h. 9112.
4. Mangunnegoro H, Widjaja A, Sutoyo DS, Yunus F, Pradjnaparamita, Eddy Suryanto.
Asma pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di indonesia. Jakarta: Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia; 2004. h. 1-12
5. Ghanie A. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 5, jilid II. Jakarta: FKUI; 2009.
h.1596-7
6. Masjoer A, Savitri R, Seetiowulan W, Triyanti K, Wardhani WI. Kapita selekta
kedokteran. Edisi 3. Jakarta : Media Aesculapius; 2001. h. 472-85
7. Himawan S. Patologi. Jakarta: Bagian Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 1973. h. 157-60
15