Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
com
penularan AIDS terjadi melalui hubungan seksual," tegas Boyke yang juga
pengasuh rubrik konsultasi seks di majalah dan radio. Kalau tidak, mereka yang
kini remaja tidak bisa berbuat banyak saat memasuki usia produktif di abad XXI
mendatang.
Seperti dikutip Boyke, survai oleh WHO tentang pendidikan seks membuktikan,
pendidikan seks bisa mengurangi atau mencegah perilaku hubungan seks
sembarangan, yang berarti pula mengurangi tertularnya penyakit-penyakit akibat
hubungan seks bebas.
Disebutkan pula, pendidikan seks yang benar harus memasukkan unsur-unsur hak
azasi manusia. Juga nilai-nilai kultur dan agama diikutsertakan di dalamnya
sehingga akan merupakan pendidikan akhlak dan moral juga. Dengan itu
diharapkan angka perceraian yang berdampak kurang baik terhadap anak-anak pun
dapat dikurangi.
Hanya yang jadi soal hingga kini, "Pendidikan seks di Indonesia masih
mengundang kontroversi. Masih banyak anggota masyarakat yang belum
menyetujui pendidikan seks di rumah maupun di sekolah," tutur dr. Gerard Paat,
kolsultan keluarga RS Sint Carolus.
Sekalipun untuk tujuan pendidikan, anggapan tabu untuk berbicara soal seks masih
menancap dalam benak sebagian masyarakat. Akibatnya, anak-anak yang
berangkat remaja jarang yang mendapat bekal pengetahuan seks yang cukup dari
ortu (orang tua). Padahal tidak jarang para remaja sendiri yang berinisiatif
bertanya, tapi justru sering disambut dengan "kemarahan" ortu. "Boro-boro mau
ngejelasin soal seks, baru nanya sedikit aja, nyokap (ibu) sudah mbentak, 'Eh itu
tabu, jangan diomongin!'" aku seorang remaja putri.
Bahkan anak-anak yang kedua orang tuanya bekerja rata-rata kehilangan panutan.
"Orang tua yang mestinya menjadi tokoh panutan utama, justru kurang berperan
karena kesibukan mereka sendiri," kata dr. Paat, yang sejak akhir tahun 1960-an
memberikan penyuluhan seks di sekolah dan luar sekolah.
Film, buku, dan motel
Dampaknya tentu bisa ke mana-mana. Antara lain dalam memilih konsumsi
tontonan di TV yang masih berat dengan tayangan film barat dengan budaya dan
gaya hidup yang berbeda. Kehidupan dunia barat yang digambarkan dalam film
ataupun video, menurut Boyke, sering kali menunjukkan kehidupan seks bebas di
kalangan remaja. Tayangan serial macam Beverly Hills atau Bay Watch, Boyke
menyebut contoh, dengan bintang-bintang molek dan tampan itu mudah sekali
merasuk ke dalam benak remaja. Sehingga mereka bisa amat mudah meniru gaya
hidup muda-mudi dalam film itu.
"Justru ketika informasi seperti itu tidak bisa kita hindari, peranan orang tua untuk
memberikan pengertian yang benar pada anak-anak menjadi penting," tutur Boyke.
Minimnya pengetahuan seks masih ditambah lagi dengan mudahnya mendapatkan
prasarana untuk melakukan seks bebas seperti di motel, cottage, vila; alat
kontrasepsi; lebih mudanya rata-rata gadis mendapatkan haid (9 - 11 th); serta
tertundanya usia perkawinan. Semua itu juga faktor yang ikut mempengaruhi
remaja melakukan kegiatan seks bebas dan kumpul kebo.
Celakanya, "Remaja yang sudah terbiasa mengadakan hubungan seksual akan sulit
menghentikannya," jelas Paat. Itu bukan semata-mata karena faktor ketagihan, tapi
terutama akibat timbulnya persepsi bahwa melakukan hubungan seksual sudah
merupakan hal biasa.
Kalau itu sampai terjadi, ortu harus ikut bertanggung jawab. "Orang tualah yang
seharusnya pertama-tama memberikan pengetahuan seks bagi anak-anaknya.
Informasi seks dari teman, film, atau buku, yang hanya setengah-setengah tanpa
pengarahan, mudah menjerumuskan. Apalagi kalau si anak tidak tahu risiko
melakukan hubungan seksual pranikah," kata Boyke.
Menurut Paat, pendidikan seks pasif, karena tanpa komunikasi dua arah semacam
itu, sudah bisa mempengaruhi sikap serta perilaku seseorang. "Dalam pendidikan
seks anak tidak cukup hanya melihat dan mendengar sekali-dua kali, tapi harus
dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan," katanya. Sebab itu, pendidikan seks
hendaknya menjadi bagian penting dalam pendidikan di sekolah. Orang tua dan
pendidik wajib meluruskan informasi yang tidak benar disertai penjelasan risiko
perilaku seks yang salah.
Namun, pendidikan seks di sekolah mestinya hanya pelengkap pendidikan seks di
rumah. Bukan justru menjadi yang utama seperti terjadi selama ini, kendati
pendidikan seks di sekolah, menurut beberapa pengamat tadi, masih belum
optimal.
Pacaran jangan dilarang
Pemberian pengetahuan seks mesti di rumah dilakukan sejak dini dan dimulai
dengan perilaku keseharian anak-anak. Ketika masih anak-anak misalnya, berikan
pengertian kepada mereka agar tidak ke luar dari kamar mandi sambil telanjang,
menutup pintu kamar mandi ketika sedang mandi, mengetuk pintu terlebih dahulu
sebelum masuk kamar ortu.
Ketika sudah menginjak bangku SD, remaja putri khususnya, mesti sudah
dipersiapkan menghadapi masa akil balik. Pada usia sekitar 14 tahun, remaja putri
maupun putra rata-rata mulai ingin tahu segala sesuatu tentang lawan jenisnya. "Ini
merupakan proses pendewasaan diri, dan tak bisa dicegah," tegas Boyke. Di sinilah
ortu mesti mulai lebih sering mengadakan pendekatan dan memasukkan nilai-nilai
moral kepada anak.
Pada saat mereka mulai berpacaran di usia yang sudah cukup, kata Boyke, tak
perlu dilarang-larang. Berpacaran merupakan latihan pendewasaan dan
pematangan emosi. Dengan berpacaran mereka bisa merasakan rasa rindu atau rasa
memiliki, dan berlatih bagaimana harus ber-sharing dengan pasangan. Pada masa
ini orang tua remaja putri hendaknya berperan menjadi teman berdiskusi sambil
meneliti siapa pacarnya itu.
Dalam hal ini dibutuhkan komunikasi lebih terbuka antara ortu-anak. Melalui
komunikasi, yang acap kali banyak diabaikan peranannya, ortu dapat memasukkan
hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Misalnya, batas mereka boleh
bermesraan dan apa konsekuensinya kalau batas itu dilanggar. Kepercayaan dari
ortu akan membuat mereka lebih bertanggung jawab.
Di RT pun bisa
Pendidikan seks di sekolah, demikian Yulia dan Paat, hendaknya tidak terpisah
dari pendidikan pada umumnya, dan bersifat terpadu. Ia bisa dimasukkan ke dalam
pelajaran ilmu biologi, kesehatan, moral dan etika secara bertahap dan terus
menerus. Mereka juga mensyaratkan penekanan pada pendidikan moral, meski
tidak perlu sedetail pendidikan agama, agar pendidikan seks diterima murid
sebagai suatu ilmu yang tidak untuk dipraktekkan sebelum waktunya.
Sekali waktu penyuluhan seks juga perlu diadakan. Misalnya, soal menghadapi
masa haid dan mimpi basah bisa diberikan kepada anak kelas VI SD, proses
terjadinya bayi (spermatozoa bertemu dengan sel telur) mulai diberikan kepada
murid SLTP. Selanjutnya masalah kebebasan seks, alat kontrasepsi sampai
hubungan seks (bukan tekniknya) diberikan kepada anak SLTA.
Menurut Yulia, penjelasan tentang program pendidikan seks yang hendak
disampaikan kepada murid perlu juga diketahui orang tua murid. Maksudnya, agar
mereka bisa memberi jawaban dan tidak terkejut bila tiba-tiba si anak atau remaja
bertanya soal seks kepada mereka. "Karena, kadang-kadang ada anak yang dengan
begitu bangga bercerita tentang pengetahuan seks yang baru diberikan di sekolah,"
tutur Yulia.
Dr. Paat dan dr. Boyke saling berbeda pendapat dalam soal penyampaian informasi
tentang alat kontrasepsi. "Alat kontrasepsi macam kondom bukan rahasia lagi,
karena dapat dibeli di mana-mana. Yang penting, mereka diberi penjelasan bahwa
pemakaian sebelum menikah merupakan pelanggaran nilai-nilai moral dan agama,"
kata Paat. Sedangkan Boyke kurang setuju memperkenalkan pemakaiannya kepada
remaja, karena khawatir disalahgunakan.
Lebih tepat, kata Paat, kalau tema penyuluhan didasarkan pada pendekatan
pemecahan masalah (problem solving approach), yakni penyuluhan disertai
kesempatan berkonsultasi dengan guru, konsultan psikologi di sekolah, atau guru
agama. Pasalnya, masalah yang dihadapi setiap murid berbeda-beda.
Dalam hal ini Dra. Yulia menganggap penting peran guru bimbingan dan
penyuluhan (BP). Guru-guru ini tak cuma sebagai guru BP, tapi juga mesti tahu
soal pendidikan seks. "Kadang-kadang murid segan bertanya kepada orang tua.
Atau, pernah bertanya malah dimarahi bapak atau ibunya," jelas Yulia. Dengan
adanya kesempatan berkonsultasi, si anak bisa mengutarakan masalah pribadinya.
Selain di sekolah, "Di tingkat RT pun sebetulnya bisa sekali waktu
diselenggarakan ceramah tentang seks bagi para orang tua atau remaja dengan
bantuan dokter Puskesmas untuk mengisi kekosongan itu," kata Boyke.
Usul itu boleh juga. Bagaimanapun pendidikan seks bukan semata-mata tanggung
jawab orang tua dan pendidik, tetapi juga masyarakat
Sumber : Nanny Selamihardja & I Gede Agung Yudana (Intisari (Maret 1997))