Vous êtes sur la page 1sur 7

Aspek Hukum dalam Pelaksanaan Euthanasia

di Indonesia Maret 15, 2008


Posted by teknosehat in Bioetik & Biohukum, HUKUM KESEHATAN.
trackback
Aspek Hukum dalam Pelaksanaan Euthanasia di Indonesia
Billy N. <billy@hukum-kesehatan.web.id>
Setiap makhluk hidup, termasuk manusia, akan mengalami siklus kehidupan yang dimulai
dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya,
serta diakhiri dengan kematian.
Dari proses siklus kehidupan tersebut, kematian merupakan salah satu yang masih
mengandung misteri besar, & ilmu pengetahuan belum berhasil menguaknya.
Untuk dapat menentukan kematian seseorang sebagai individu diperlukan kriteria diagnostik
yang benar berdasarkan konsep diagnostik yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan adalah merupakan hak dari Tuhan. Tak
seorangpun yang berhak menundanya sedetikpun, termasuk mempercepat waktu kematian.
Tapi, bagaimana dengan hak pasien untuk mati guna menghentikan penderitaannya?
Hak pasien untuk mati, yang seringkali dikenal dengan istilah euthanasia, sudah kerap
dibicarakan oleh para ahli. Namun masalah ini akan terus menjadi bahan perdebatan,
terutama jika terjadi kasus-kasus menarik.
Adakah sesuatu yang istimewa yang membuat euthanasia selalu menarik untuk dibicarakan?
Para ahli agama, moral, medis, & hukum belum menemukan kata sepakat dalam menghadapi
keinginan pasien untuk mati guna menghentikan penderitaannya. Situasi ini menimbulkan
dilema bagi para dokter, apakah ia mempunyai hak hukum untuk mengakhiri hidup seorang
pasien atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, dengan dalih mengakhiri
penderitaan yang berkepanjangan, tanpa dokter itu sendiri menghadapi konsekuensi hukum.
Sudah barang tentu dalam hal ini dokter tersebut menghadapi konflik dalam batinnya.
Sebagai dampak dari kemajuan kemajuan ilmu & teknologi kedokteran (iptekdok), kecuali
manfaat, ternyata berdampak terhadap nilai-nilai etik/moral, agama, hukum, sosial, budaya,
& aspek lainnya.
Kemajuan iptekdok telah membuat kabur batas antara hidup & mati. Tidak jarang seseorang
yang telah berhenti pernapasannya & telah berhenti denyut jantungnya, berkat intervensi
medis misalnya alat bantu nafas (respirator), dapat bangkit kembali.
Kadang upaya penyelamatan berhasil sempurna tanpa cacat, tapi terkadang fungsi pernapasan
& jantung kembali normal, tanpa disertai pulihnya kesadaran, yang terkadang bersifat
permanen. Secara klinis dia tergolong hidup, tetapi secara sosial apa artinya? Dia hanya
bertahan hidup dengan bantuan berbagai alat medis.
Bantuan alat medis tersebut menjadi patokan penentuan kematian pasien tersebut.
Permasalahan penentuan saat kematian sangat penting bagi pengambilan keputusan baik oleh
dokter maupun keluarga pasien dalam kelanjutan pengobatan, apakah dilanjutkan atau
dihentikan. Dilanjutkan belum tentu membawa hasil, tetapi yang jelas menghabiskan materi,
sedangkan bila dihentikan pasti akan membawa ke fase kematian. Penghentian tindakan
medis tersebut merupakan salah satu bentuk dari euthanasia. Sampai saat ini, euthanasia
masih menimbulkan pro & kontra di masyarakat.
Mereka yang menyetujui tindakan euthanasia berpendapat bahwa euthanasia adalah suatu
tindakan yang dilakukan dengan persetujuan & dilakukan dengan tujuan utama menghentikan

penderitaan pasien. Prinsip kelompok ini adalah manusia tidak boleh dipaksa untuk
menderita. Dengan demikian, tujuan utama kelompok ini yaitu meringankan penderitaan
pasien dengan memperbaiki resiko hidupnya.
Kelompok yang kontra terhadap euthanasia berpendapat bahwa euthanasia merupakan
tindakan pembunuhan terselubung, karenanya bertentangan dengan kehendak Tuhan.
Kematian semata-mata adalah hak dari Tuhan, sehingga manusia sebagai makhluk ciptaan
Tuhan tidak mempunyai hak untuk menentukan kematiannya.
Menurut PP no.18/1981 pasal 1g menyebutkan bahwa: Meninggal dunia adalah keadaan
insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang, bahwa fungsi otak, pernapasan, &
atau denyut jantung seseorang telah berhenti. Definisi mati ini merupakan definisi yang
berlaku di Indonesia.
Mati itu sendiri sebetulnya dapat didefinisikan secara sederhana sebagai berhentinya
kehidupan secara permanen (permanent cessation of life). Hanya saja, untuk memahaminya
terlebih dahulu perlu memahami apa yang disebut hidup.
Para ahli sependapat jika definisi hidup adalah berfungsinya berbagai organ vital (paruparu,jantung, & otak) sebagai satu kesatuan yang utuh, ditandai oleh adanya konsumsi
oksigen. Dengan demikian definisi mati dapat diperjelas lagi menjadi berhentinya secara
permanen fungsi organ-organ vital sebagai satu kesatuan yang utuh, ditandai oleh berhentinya
konsumsi oksigen.
Meskipun euthanasia bukan merupakan istilah yuridis, namun mempunyai implikasi hukum
yang sangat luas, baik pidana maupun perdata. Pasal-pasal dalam KUHP menegaskan bahwa
euthanasia baik aktif maupun pasif tanpa permintaan adalah dilarang. Demikian pula dengan
euthanasia aktif dengan permintaan. Berikut adalah bunyi pasal-pasal dalam KUHP tersebut:
Pasal 338: Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain karena pembunuhan
biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Pasal 340: Barangsiapa dengan sengaja & direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa
orang lain, karena bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati
atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya duapuluh tahun.
Pasal 344: Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri,
yang disebutkannya dengan nyata & sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya
duabelas tahun.
Pasal 345: Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk bunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat tahun, kalau orang itu jadi bunuh diri.
Pasal 359: Menyebabkan matinya seseorang karena kesalahan atau kelalaian, dipidana
dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana kurungan selama-lamanya
satu tahun
Pada dewasa ini, para dokter & petugas kesehatan lain menghadapi sejumlah masalah dalam
bidang kesehatan yang cukup berat ditinjau dari sudut medis-etis-yuridis Dari semua masalah
yang ada itu. Euthanasia merupakan salah satu permasalahan yang menyulitkan bagi para
dokter & tenaga kesehatan. Mereka seringkali dihadapkan pada kasus di mana seorang pasien
menderita penyakit yang tidak dapat diobati lagi, misalnya kanker stadium lanjut, yang
seringkali menimbulkan penderitaan berat pada penderitanya. Pasien tersebut berulangkali
memohon dokter untuk mengakhiri hidupnya. Di sini yang dihadapi adalah kasus yang dapat
disebut euthanasia.
Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa tindakan perawatan medis yang tidak ada gunanya
seperti misalnya pada kasus pasien ini, secara yuridis dapat dianggap sebagai penganiayaan.
Tindakan di luar batas ilmu kedokteran dapat dikatakan di luar kompetensi dokter tersebut
untuk melakukan perawatan medis. Dengan kata lain, apabila suatu tindakan medis dianggap
tidak ada manfaatnya, maka dokter tidak lagi berkompeten melakukan perawatan medis, &

dapat dijerat hukum sesuai KUHP pasal 351 tentang penganiayaan,yang berbunyi:
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
Hubungan hukum dokter-pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata, yaitu pasal 1313,
1314, 1315, & 1319 KUHPer tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau
perjanjian. Pasal 1320 KUHPer menyebutkan bahwa untuk mengadakan perjanjian dituntut
izin berdasarkan kemauan bebas dari kedua belah pihak. Sehingga bila seorang dokter
melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien, secara hukum dapat dijerat Pasal 351
KUHP tentang penganiayaan.
Tindakan menghentikan perawatan medis yang dianggap tidak ada gunanya lagi, sebaiknya
dimaksudkan untuk mencegah tindakan medis yang tidak lagi merupakan kompetensinya, &
bukan maksud untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien.
Dengan kata lain, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia adalah memperpendek atau
mengakhiri penderitaan pasien & bukan mengakhiri hidup pasien. Ini sesuai dengan pendapat
Prof.Olga Lelacic yang mengatakan: Dalam kenyataan yang meminta dokter untuk
mengakhiri hidupnya, sebenarnya tidak ingin mati, tetapi ingin mengakhiri atau ingin lepas
dari penderitaan karena penyakitnya.
Pembahasan
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah, bagus, terhormat atau
gracefully and with dignity, & Thanatos yang berarti mati.
Jadi secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Sedangkan
secara harafiah, euthanasia tidak dapat diartikan sebagai pembunuhan atau upaya
menghilangkan nyawa seseorang.
Menurut Philo (50-20 SM), euthanasia berarti mati dengan tenang & baik, sedangkan
Suetonis penulis Romawi dalam bukunya Vita Caesarum mengatakan bahwa euthanasia
berarti mati cepat tanpa derita.
Masalah euthanasia biasanya dikaitkan dengan masalah bunuh diri. Dalam hukum pidana,
masalah bunuh diri yang perlu dibahas adalah apakah seseorang yang mencoba bunuh diri
atau membantu orang lain untuk melakukan bunuh diri itu dapat dipidana, karena dianggap
telah melakukan kejahatan?
Di beberapa Negara seperti Amerika Serikat, seseorang yang gagal melakukan bunuh diri
dapat dipidana. Juga di Israel, perbuatan percobaan bunuh diri merupakan perbuatan yang
dilarang & diancam pidana. Pernah ada amandemen agar larangan ini dicabut, tetapi
Prof.Amos Shapira berpendapat bahwa dengan konsep perbuatan percobaan bunuh diri
sebagai tindakan yang tidak terlarang, merupakan gerakan kearah diakuinya hak untuk mati.
Dilihat dari segi agama Samawi, euthanasia & bunuh diri merupakan perbuatan yang
terlarang. Sebab masalah kehidupan & kematian seseorang itu berasal dari Sang Pencipta
yaitu Tuhan. Jadi, perbuatan yang menjurus kepada tindakan penghentian hidup yang berasal
dari Tuhan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, oleh karenanya
tidak dibenarkan.
Apakah hak untuk mati dikenal di Indonesia? Indonesia melalui pasal 344 KUHP jelas tidak
mengenal hak untuk mati dengan bantuan orang lain. Banyak orang berpendapat bahwa hak
untuk mati adalah hak azasi manusia, hak yang mengalir dari hak untuk menentukan diri
sendiri (the right of self determination/TROS) sehingga penolakan atas pengakuan terhadap
hak atas mati, adalah pelanggaran terhadap hak azasi manusia yang tidak dapat disimpangi
oleh siapapun & menuntut penghargaan & pengertian yang penuh pada pelaksanaannya.
Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti:
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang & aman tanpa penderitaan, buat yang beriman

dengan nama Tuhan di bibir.


2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi obat
penenang.
3. Mengakhiri penderitaan & hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien
sendiri & keluarganya.
Dari penggolongan Euthanasia, yang paling praktis & mudah dimengerti adalah:
A. Euthanasia aktif, tindakan secara sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain
untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien. Merupakan tindakan yang dilarang,
kecuali di negara yang telah membolehkannya lewat peraturan perundangan.
B. Euthanasia pasif, dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan
bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien, misalnya menghentikan pemberian
infus, makanan lewat sonde, alat bantu nafas, atau menunda operasi.
C. Auto euthanasia, seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima
perawatan medis & dia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri
hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan).
Auto euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.
Karena masih banyak pertentangan mengenai definisi euthanasia, diajukan berbagai pendapat
sebagai berikut:
Voluntary euthanasia: Permohonan diajukan pasien karena, misalnya gangguan atau
penyakit jasmani yang dapat mengakibatkan kematian segera yang keadaannya diperburuk
oleh keadaan fisik & jiwa yang tidak menunjang.
Involuntary euthanasia: Keinginan yang diajukan pasien untuk mati tidak dapat dilakukan
karena, misalnya seseorang yang menderita sindroma Tay Sachs. Keputusan atau keinginan
untuk mati berada pada pihak orang tua atau yang bertanggung jawab.
Assisted suicide: Tindakan ini bersifat individual dalam keadaan & alasan tertentu untuk
menghilangkan rasa putus asa dengan bunuh diri.
Tindakan langsung menginduksi kematian. Alasan adalah meringankan penderitaan tanpa
izin individu yang bersangkutan & pihak yang berhak mewakili. Hal ini sebenarnya
pembunuhan, tapi dalam pengertian agak berbeda karena dilakukan atas dasar belas kasihan.
Sampai saat ini, kaidah non hukum yang manapun, baik agama, moral, & kesopanan
menentukan bahwa membantu orang lain mengakhiri hidupnya, meskipun atas permintaan
yang bersangkutan dengan nyata & sungguh-sungguh adalah perbuatan yang tidak baik. Di
Amerika Serikat, euthanasia lebih populer dengan istilah physician assisted suicide. Negara
yang telah memberlakukan euthanasia lewat undang-undang adalah Belanda & di negara
bagian Oregon-Amerika Serikat.
Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu, antara lain:
Orang yang ingin diakhiri hidupnya adalah orang yang benar-benar sedang sakit & tidak
dapat diobati, misalnya kanker.
Pasien berada dalam keadaan terminal, kemungkinan hidupnya kecil & tinggal menunggu
kematian.
Pasien harus menderita sakit yang amat sangat, sehingga penderitaannya hanya dapat
dikurangi dengan pemberian morfin.
Yang boleh melaksanakan bantuan pengakhiran hidup pasien, hanyalah dokter keluarga
yang merawat pasien & ada dasar penilaian dari dua orang dokter spesialis yang menentukan
dapat tidaknya dilaksanakan euthanasia.
Semua persyaratan itu harus dipenuhi, baru euthanasia dapat dilaksanakan.
Indonesia sebagai negara berasaskan Pancasila, dengan sila pertamanya Ketuhanan Yang
Mahaesa, tidak mungkin menerima tindakan euthanasia aktif.
Mengenai euthanasia pasif, merupakan suatu daerah kelabu karena memiliki nilai
bersifat ambigu yaitu di satu sisi bisa dianggap sebagai perbuatan amoral, tetapi di sisi lain

dapat dianggap sebagai perbuatan mulia karena dimaksudkan untuk tidak memperpanjang
atau berjalan secara alamiah.
Aspek Hukum
Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari sisi dokter sebagai pelaku
utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif & dianggap sebagai pembunuhan berencana,
atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter
selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang
dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut atas permintaan
pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan
sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak,
hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya
masih ingin hidup, & tidak menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita
tersebut, tanpa dijerat pasal-pasal dalam undang-undang dalam KUHP.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebenarnya telah cukup antisipasif dalam menghadapi
perkembangan iptekdok, antara lain dengan menyiapkan perangkat lunak berupa SK PB IDI
no.319/PB/4/88 mengenai Pernyataan Dokter Indonesia tentang Informed Consent.
Disebutkan di sana, manusia dewasa & sehat rohani berhak sepenuhnya menentukan apa
yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis
yang bertentangan dengan kemauan pasien, walau untuk kepentingan pasien itu sendiri.
Kemudian SK PB IDI no.336/PB/4/88 mengenai Pernyataan Dokter Indonesia tentang
Mati. Sayangnya SKPB IDI ini tidak atau belum tersosialisasikan dengan baik di kalangan
IDI sendiri maupun di kalangan pengelola rumah sakit. Sehingga, tiap dokter & rumah sakit
masih memiliki pandangan & kebijakan yang berlainan.
Apabila diperhatikan lebih lanjut, pasal 338, 340, & 344 KUHP, ketiganya mengandung
makna larangan untuk membunuh. Pasal 340 KUHP sebagai aturan khususnya, dengan
dimasukkannya unsur dengan rencana lebih dahulu, karenanya biasa dikatakan sebagai
pasal pembunuhan yang direncanakan atau pembunuhan berencana. Masalah euthanasia
dapat menyangkut dua aturan hukum, yakni pasal 338 & 344 KUHP. Dalam hal ini terdapat
apa yang disebut concursus idealis yang diatur dalam pasal 63 KUHP, yang menyebutkan
bahwa:
(1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan
hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat
ancaman pidana pokok yang paling berat.
(2) Jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum diatur pula dalam
aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.
Pasal 63 (2) KUHP ini mengandung asas lex specialis derogat legi generalis, yaitu peraturan
yang khusus akan mengalahkan peraturan yang sifatnya umum.
Aspek Hak Azasi
Hak azasi manusia (HAM) selalu dikaitkan dengan hak hidup, hak damai, & sebagainya. Tapi
tidak tercantum jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan
dengan pelanggaran HAM, terbukti dari aspek hukum euthanasia yang cenderung
menyalahkan tenaga medis dalam pelaksanaan euthanasia. Sebenarnya, dengan dianutnya hak
untuk hidup layak & sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk
mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan atau lebih jelas
lagi dari segala penderitaan yang hebat.
Aspek Ilmu Pengetahuan
Iptekdok dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk

mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara iptekdok hampir
tidak ada kemungkinan untuk mendapat kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan,
apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya?
Segala upaya yang dilakukan akan sia-sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu
kebohongan, karena di samping tidak membawa kesembuhan, keluarga yang lain akan
terseret dalam habisnya keuangan.
Aspek Agama
Kelahiran & kematian merupakan hak prerogatif Tuhan & bukan hak manusia sehingga tidak
ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek
umurnya sendiri. Atau dengan kata lain, meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa
seseorang menguasai dirinya sendiri, tapi sebenarnya ia bukan pemilik penuh atas dirinya.
Ada aturan-aturan tertentu yang harus kita patuhi & kita imani sebagai aturan Tuhan.
Jadi, meskipun seseorang memiliki dirinya sendiri, tetapi tetap saja ia tidak boleh membunuh
dirinya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli agama secara tegas melarang tindakan
euthanasia, apapun alasannya.
Dokter dapat dikategorikan melakukan dosa besar & melawan kehendak Tuhan dengan
memperpendek umur seseorang. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan
penuh penderitaan bahkan kadang-kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus
asa, & putus asa tidak berkenan di hadapan Tuhan.
Tetapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar, & tentunya sangat
tidak ingin mati, & tidak sedang dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan
dengan pernyataan agama yang satu ini.
Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha
medis dapat menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus ke dokter untuk berobat
mengatasi penyakitnya? Kalau memang umur berada di tangan Tuhan, bila memang belum
waktunya, ia tidak akan mati. Hal ini dapat diartikan sebagai upaya memperpanjang umur
atau menunda proses kematian. Jadi upaya medis dapat pula dipermasalahkan sebagai upaya
melawan kehendak Tuhan.
Pada kasus-kasus tertentu, hukum agama memang berjalin erat dengan hukum positif. Sebab
di dalam hukum agama juga terdapat dimensi-dimensi etik & moral yang juga bersifat publik.
Misalnya tentang perlindungan terhadap kehidupan, jiwa atau nyawa. Hal itu jelas merupakan
ketentuan yang sangat prinsip dalam agama. Dalam hukum positif manapun, prinsip itu juga
diakomodasi. Oleh sebab itu, ketika kita melakukan perlindungan terhadap nyawa atau jiwa
manusia, sebenarnya kita juga sedang menegakkan hukum agama, sekalipun wujud materinya
sudah berbentuk hukum positif atau hukum negara.
Kesimpulan
HAM yang terutama adalah hak untuk hidup, yang dimaksudkan untuk melindungi nyawa
seseorang terhadap tindakan sewenang-wenang dari orang lain. Oleh karena itu masalah
euthanasia yang didefinisikan sebagai kematian yang terjadi karena pertolongan dokter atas
permintaan sendiri atau keluarganya, atau tindakan dokter yang membiarkan saja pasien yang
sedang sakit tanpa menentu, dianggap pelanggaran terhadap hak untuk hidup milik pasien.
Tetapi dalam perkembangannya, di negara maju seperti Amerika Serikat, diakui pula adanya
hak untuk mati walaupun tidak mutlak. Dalam keadaan tertentu, euthanasia diperbolehkan
untuk dilakukan di Amerika Serikat. Namun di Indonesia, masalah euthanasia ini tetap
dilarang. Oleh karenanya, dikatakan bahwa masalah HAM bukanlah merupakan masalah
yuridis semata-mata, tetapi juga bersangkutan dengan masalah nilai-nilai etis & moral yang
ada di suatu masyarakat tertentu.
Sejak berlakunya KUHP sampai saat ini, belum ada kasus yang secara nyata terjadi di

Indonesia yang berkaitan dengan euthanasia seperti diatur dalam pasal 344 KUHP yang
sampai ke pengadilan. Hal ini mungkin disebabkan karena:
Bila memang benar terjadi di Indonesia, tetapi tidak pernah dilaporkan ke polisi, sehingga
sulit untuk pengusutan lebih lanjut.
Keluarga korban tidak tahu bahwa telah terjadi kematian sebagai euthanasia, karena
masyarakat Indonesia masih awam terhadap hokum, apalagi menyangkut euthanasia.
Alat-alat kedokteran di rumah sakit di Indonesia belum semodern di negara maju, &
kalaupun ada, masih terlalu mahal untuk dapat digunakan oleh masyarakat umum, sebagai
pencegah kematian seorang pasien secara teknis.
Di samping itu, dari hukum materilnya sendiri, yaitu pasal 344 KUHP, sulit untuk dipenuhi
unsur-unsurnya, sehingga bila terjadi kasus, maka akan sulit pembuktiannya.
Apapun alasannya, bila tindakan dilakukan dengan tujuan mengakhiri hidup seseorang maka
dapat digolongkan sebagai tindak pidana pembunuhan. Namun dalam hal euthanasia
hendaknya tidak secara gegabah memberikan penilaian, apalagi jenis & alasan euthanasia
yang bermacam-macam.
Perlu dipertimbangkan dengan seksama oleh penegak hukum tentang hal-hal yang
mempengaruhi emosi seorang dokter yang secara langsung berhadapan dengan pasien, antara
lain penderitaan pasien mengatasi penyakitnya, kondisi penyakit yang sudah stadium terminal
& tidak mungkin lagi diobati.
Oleh sebab itu, hukuman untuk tindakan euthanasia aktif yang pernah terjadi di Belanda
misalnya, hanya berupa hukuman percobaan yang sangat ringan. Bahkan pada beberapa
kasus nampak ada kecenderungan hakim untuk tidak menghukum pelaku euthanasia.
Dari uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa euthanasia di Indonesia tetap dilarang.
Larangan ini terdapat dalam pasal 344 KUHP yang masih berlaku hingga saat ini. Akan tetapi
perumusannya dapat menimbulkan kesulitan bagi para penegak hukum untuk menerapkannya
atau mengadakan penuntutan berdasarkan ketentuan tersebut.
Agar pasal 344 KUHP dapat diterapkan dalam praktik, maka sebaiknya dalam rangka ius
constituendum hukum pidana, bunyi pasal itu hendaknya dirumuskan kembali, berdasar
kenyataan yang yang terjadi & disesuaikan perkembangan di bidang medis.
(c)Hukum-Kesehatan.web.id

Vous aimerez peut-être aussi