Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Sumber antropogenik
Kegiatan manusia dapat mengubah lingkungan hidup yang antara lain disebabkan
oleh perkembangan budaya, penggunaan ilmu dan teknologi, serta diiringi oleh
pola konsumsi yang berlebihan. Beberapa aktifitas manusia yang dapat
menimbulkan pencemaran udara antara lain aktifitas transportasi, pembangikit
listrik, proses pembakaran tidak sempurna, pembakaran bahan bakar baik
kegiatan industri maupun domestik, serta kegiatan industri dan pertambangan
(Seinfield, 1986; Depkes, 1994).
industri
seperti
penggilingan
dan
penyemprotan
dapat
Logam Pb merupakan salah satu logam beracun yang dapat masuk ke dalam
sistem biologis dan sangat membahayakan kesehatan manusia. Sumber utama Pb
di udara berasal dari pembakaran bahan bakar minyak (bensin). Tetramethyl lead
yang ditambahkan pada bensin merupakan upaya ekonomis dalam meningkatkan
angka oktana. Senyawa tersebut sebagian besar diemisikan sebagai oksida dalam
gas buangan.
g. Hidrogen sulfida (H2S)
Senyawa H2S bersifat tidak berwarna dan menimbulkan bau yang merangsang
(busuk). Gas H2S mempunyai konsentrasi alamiah 0,002-0,02 ppm. Gas ini
ditemukan pada gas vulkanik dan gas alam. Golongan industri yang menghasilkan
gas H2S antara lain: pengilangan minyak, rayon, penyamakan kulit, pabrik kertas,
destilator, dan penambangan biji besi.
h. Ammonia (NH3)
Ammonia (NH3) menimbulkan bau yang merangsang dan tidak berwarna.
Konsentrasi alamiah dari gas ini berkisar antara 6-20 ppm. Gas ini dihasilkan dari
aktivitas bakteri pembusuk dan kegiatan industri kimia pupuk.
i. Hidrokarbon (HC)
Secara alamiah, alam menghasilkan sekitar 85% dari seluruh hidrokarbon yang
ada di udara. Berbagai jenis hidrokarbon dihasilkan dari proses-proses biologis
yang terjadi pada tumbuhan baik di hutan maupun di tempat-tempat lain. Sampah
organik yang terurai secara biologis pada umumnya menghasilkan gas metan.
Namun demikian, sumber hidrokarbon yang berasal dari aktifitas manusia
merupakan jumlah terbesar, terutama pada daerah perkotaan (Depkes, 1994).
udara dan dampaknya pada kesehatan manusia terutama yang disebabkan oleh
partikulat (World Bank, 2003).
Gas
Cairan
Padatan
Buih/ foam
Sponge
Cairan
Fog,
spray
Emulsi
Gel
Padatan
Gas
Proses
pembentukan
Reaksi
kimia,
nucleation,
kondensasi, koagulasi, evaporasi dari
fog dan cloud droplets dimana telah
terjadi reaksi
Sulfat, nitrat, ammonium, ion
hidrogen, elemen karbon, senyawa
organik, (PAH, PNA), logam (Pb,
Cd,V, Ni, Cu, Zn, Mn, Fe), partikel
dalam air
Komposisi
Kelarutan
Sebagian
besar
mudah
larut,
Higroskopis
Sumber
Proses combustion batubara, minyak
bumi, bensin, diesel, kayu; produk
dari proses trasnformasi di atmosfer
dari NOx, SO2, dan senyawa organik;
proses yang membutuhkan suhu
tinggi (peleburan baja, dsb)
Jangka waktu di Beberapa hari hingga beberapa
udara
minggu
Daya jangkau
100-1000 km
(Sumber:US EPA dalam Fierro, 2000)
Partikel Kasar
Padatan dengan ukuran besar atau
droplet
Proses
mekanikal
(crushing,
grinding, abrasi), penguapan dari
sprays, suspensi debu
Fly ash dari batubara, debu tanah,
debu jalan, oksida logam, hancuran
dari suatu material (Si, Al,Ti, Fe),
CaCO3, NaCl, spora jamur, serbuk
sari, serbuk dari hewan atau
tumbuhan
Sebagian besar tidak mudah larut,
non-higroskopis
Debu
dari
industri,
debu
jalan/tanah, suspensi dari hasil
pengolahan tanah (pembajakan,
penambangan); sumber biologi;
sprays air laut; combustion
batubara dan minyak bumi
Beberapa menit hingga beberapa
jam
1 hingga 10 km
unsur natrium klorida dari garam laut. Partikel halus (fine particles) terdiri dari
sulfat, nitrat, ammonium, inorganik dan organik karbon, logam-logam berat
seperti timbal dan kadmium sebagai komposisi utama. Kandungan yang terdapat
dalam partikulat halus tersebut sebagian besar sebagai indikator proses yang
bersifat antropogenik (hasil aktifitas manusia) (Seinfield, 1986 dalam Health
Canada, 2005).
Studi mengenai komposisi kimia dari partikulat yang dilakukan di Mexico City
pada tahun 1997, menunjukkan bahwa sekitar 50% komposisi massa dari PM2,5
terdiri dari carbonaceous aerosol. Komposisi ini diperkirakan berasal dari proses
combustion. Sekitar 30% komposisi ini terdiri atas aerosol sekunder, dan 15%
terdiri atas materi geologi atau unsur tanah dan bebatuan. Sekitar 50% komposisi
PM10 terdiri atas materi geologi, 30% terdiri atas carbonaceous aerosol, dan
kurang dari 20 % terdiri atas aerosol sekunder (World Bank, 2003).
Komposisi kimia dari sebagian besar partikulat PM10 dan PM2,5 dapat
diklasifikasikan sebagai berikut (Chong, 2002):
1. Oksida logam
Oksida logam berasal dari batuan dan mineral yang terkandung dalam
bumi yang kemudian tersuspensi menjadi debu dan terbawa angin di
udara. Oksida logam yang paling banyak ditemukan adalah oksida
alumunium, silikon, kalsium, titanium, besi, dan logam lain dalam bentuk
oksida.
2. Sulfat dan nitrat
Sulfur/ belerang tersedia dalam bentuk ammonium sulfat, ammonium
bisulfat, dan asam sulfat. Senyawa ini mudah larut dalam air dan
umumnya termasuk ke dalam PM2,5, sedangkan nitrogen terutama berada
dalam bentuk senyawa ammonium nitrat.
3. Natrium klorida
Natrium klorida ditemukan sebagai partikulat terutama di daerah pantai
dan umumnya berupa partikel kasar (coarse particulate)
4. Natrium nitrat
alami primer. Sumber alami sekunder yaitu sumber yang membebaskan partikulat
ke udara dengan melibatkan reaksi-reaksi kimiawi dari sumber alami primer.
Contohnya adalah nitrogen oksida (NOx) yang dibebaskan dari tanah, VOCs
(Volatile Organic Compounds), ammonia, dan sulfur dioksida (SO2) yang
dibebaskan oleh tumbuhan (Health Canada, 2005) .
Sumber partikulat lain adalah sumber yang berasal dari kegiatan antropogenik
atau yang melibatkan aktifitas manusia. Sumber antropogenik ini juga dapat
menghasilkan partikulat primer dan sekunder, serta coarse maupun fine
particulates, misalnya gas-gas serta partikulat yang dihasilkan dari proses
pembakaran industri dan bahan bakar kendaraan bermotor (Health Canada, 2005).
Penjelasan mengenai sumber partikulat di udara dapat dilihat pada Tabel II.3.
Sekunder
karbon dari proses
biogenic VOCs
Nitrat dari NOx
alami
PM10
windblown
dust
sea salt spray
Serbuk sari,
spora
Antropogenik
Primer
Sekunder
Pembakaran bahan
bakar fosil
dari industri,
pemukiman,
kendaraan
(elemen karbon dan
karbon organik)
Elemen/senyawa
Tanah
Asap rokok
Cd
Kendaraan
Katalis mobil
Al
Kendaraan petroleum
Kendaraan diesel
Br, Pb
Serpihan ban
Zn
Jalan raya
Mn
Garam laut
Cl, Na
Industri baja/peleburan
Peleburan seng
Peleburan tembaga
Cu, P, Se
Peleburan pyrite
As, Cu
Insinerator
Pembakaran batubara
K, C volatil, elemental C
Kapur
Ca, Mg
yang kuat antara sumber asal pencemar dan elemen utama yang terkandung di
dalamnya. Korelasi tersebut dapat diperlihatkan oleh besarnya konsentrasi unsur
tertentu yang seharusnya ada atau dari kemunculan unsur-unsur tertentu sebagai
unsur utama kandungan partikulat dibandingkan dengan unsur lainnya. Proses
pengambilan keputusan terhadap masalah yang dikaitkan dengan adanya korelasi
antar variabel tersebut dapat dilakukan dengan berbagai metode. Salah satu
metode yang banyak digunakan adalah metode analisis faktor. Analisis faktor
merupakan suatu teknik reduksi data (Garson, 2007). Teknik ini merupakan
sekelompok prosedur untuk menyisihkan data yang melimpah dari suatu set
variabel-variabel yang berkorelasi dan merepresentasikan variabel-variabel
tersebut dengan variabel baru yang lebih kecil, yang disebut faktor (Mauliadi,
2005). Prinsip dasar analisis faktor didasarkan pada pengertian tentang variabel
dan faktor. Variabel adalah data atau kumpulan data yang bersifat independen dan
dapat memiliki korelasi baik antara data-data itu sendiri maupun antara kumpulan
data dengan faktor yang telah ditetapkan. Faktor adalah suatu kondisi ataupun
kesimpulan yang berisi beberapa variabel yang saling berhubungan dan muncul
secara bersamaan, untuk kemudian mendasari penetapannya (Mauliadi, 2005).
Penjelasan tentang analisis faktor ini dapat dilihat dalam Gambar II.1.
7 variabel
Faktor1
x1
x2
x3
Faktor2
x4
x5
x6
x7
Gambar II.1 Ilustrasi analisis faktor (Kachigan (1986) dalam Mauliadi , 2005)
Gambar II.1 tersebut menunjukkan tujuh variabel x1,x2,,x7 yang kemudian
dikelompokkan ke dalam dua kelompok terpisah. Variabel x1, x2, dan x3
I + 1n
128
I+
Persamaan reaksi di atas menunjukkan unsur stabil yang diiradiasi dengan sumber
neutron menghasilkan unsur radioaktif dan membebaskan sinar gamma (Susetyo,
1984).
Fasilitas iradiasi yang digunakan dalam metode INAA dalam penelitian ini adalah
reaktor atom. Bahan bakar suatu reaktor atom umumnya adalah uranium. Dalam
uranium terdapat dua isotop uatama yaitu
235
U dan
238
U. Inti
235
U apabila
menyerap neutron akan mengalami pembelahan menjadi dua inti baru dan
melepaskan 2 atau 3 neutron, reaksi inti yang terjadi adalah sebagai berikut
(Susetyo, 1984):
U + 01nZA11X + ZA22Y + 2atau301n
235
92
Wcuplikan =
Keterangan : W
(Cps)cuplikan
.Wstd (2.1)
(Cps) std
Cps
: Laju cacah
std
: standar
Seperti halnya metode pada umumnya, teknik INAA/ APN juga mempunyai
keunggulan dan kekurangan. Keunggulan dan kekurangan teknik INAA/ APN
dijabarkan sebagai berikut:
Keunggulan INAA:
1. Sensitif, analisis ini mempunyai kepekaan yang tinggi dan batas deteksi
yang rendah hingga mencapai nanogram.
2. Spesifik, dapat menganalisis unsur satu per satu.
3. Simultan, dapat menganalisis banyak unsur secara bersamaan.
4. Bebas kontaminasi laboratorium bila sudah diiradiasi
Kekurangan INAA:
1. Kontaminasi laboratorium sebelum proses iradiasi sangat berpengaruh
walaupun dalam jumlah kecil, sehingga harus dicegah seminimal
mungkin.
2. Memerlukan fasilitas reaktor nuklir.
3. Biaya yang mahal karena menggunakan teknologi tinggi.
4. Unsur dengan penampang lintang reaksi tinggi dapat menimbulkan efek
perisaian sendiri (self shilding) (Susetyo, 1984).
Absorption
Spectrophotometry
(AAS)
dikenal
juga
dengan
Pembentukan atom bebas dalam metode AAS dapat menggunakan tiga cara, yaitu
dengan menggunakan nyala campuran gas (flame-AAS); pemanasan oleh listrik
(electrothermal-AAS atau graphite furnace-AAS); dan pembentukan senyawa
hidrida yang diikuti pemanasan.
a. Flame-AAS
Atom yang terbentuk berasal dari proses pemanasan senyawa logam pada
suhu sekitar 17000C atau lebih. Campuran gas yang umum digunakan
adalah udara-asetilen (suhu nyala 1900-22000C, optimum untuk unsurunsur transisi seperti Cu, Pb, Cd, Zn, Fe, Mn, dan lain-lain),
nitrousoksida-asetilen (suhu nyala 2700-30000C, optimum untuk logam
refractory), atau udara-propan (suhu nyala 1700-19000C, optimum untuk
atom-atom alkali ).
b. Elektrothermal-AAS
Larutan sampel diinjeksikan ke dalam tabung grafit yang dipasang
diantara dua elektrode. Arus listrik kemudian dialirkan sehingga terjadi
peningkatan suhu dalam tabung grafit. Arus listrik diatur hingga suhu
mencapai 30000C. Pemanasan larutan sampel dilakukan dalam tiga tahap
yaitu tahap pengeringan, pengabuan, dan pengatoman.
c. Pembentukan senyawa hidrida
Sejauh ini pembentukan atom dengan senyawa hidrida berlaku untuk
unsur-unsur As, Se, dan Sb yang mudah membentuk senyawa hidrida
dalam bentuk gas bila dipanaskan pada suhu 8000C. Merkuri (Hg), proses
pembentukan atom dapat dengan menggunakan cara ini melalui reduksi
NaBH4 atau SnCl2 (LIPI, 2007).
Pembentukan atom bebas yang menggunakan flame-AAS dapat dicontohkan pada
pembentukan atom bebas unsur Pb dengan persamaan reaksi sebagai berikut
(LIPI, 2007):
Pb ( NO 3 ) 2 ( aq ) +
PbO ( s ) + NOx + O 2
panas
PbO ( s ) +
PbO ( l ) +
Pb ( g ) + Ox
panas
panas
Pb ( g ) +
Pb ( o )
panas
V
A
(2.2)
M adalah konsentrasi massa (g/m3), V adalah volume udara (m3), dan A adalah
luas area (cm2). Jika konsentrasi black carbon belum diketahui maka untuk
mengetahui kerapatan sampel dalam filter dapat dilihat dari transmisi cahaya yang
melewati filter. Edward (1983) dalam Cohen (2000), mengemukakan bahwa
transmisi cahaya yang melewati filter dapat dihitung dengan persamaan berikut:
I = I 0 exp[ D / 100]
(2.3)
Transmisi cahaya yang melewati filter kosong dilambangkan dengan I0, I adalah
transmisi cahaya pada filter yang mengandung black carbon, adalah koefisien
absorpsi dari panjang gelombang cahaya (m2/g). Black Carbon atau disebut juga
Elemental Carbon (EC) merupakan hasil terbanyak dari proses refraksi dan
polimerasi aerosol. Menurut Horvarth (1993) dalam Cohen (2000) black carbon
adalah komponen yang mempunyai kemampuan mengabsorbsi cahaya yang
tinggi di atmosfer. Jika diasumsikan bahwa semua cahaya diserap oleh black
carbon, maka persamaan (2.3) dapat di inversi sehingga diperoleh persamaan
kerapatan transimisi cahaya (T) pada elemental carbon (ECT) atau black carbon
dalam filter sebagai berikut (Cohen, 2000):
100 I
ECT (g / cm2 ) = ) ln 0
F I
(2.4)
Faktor koreksi F biasa diasumsikan sebesar 1,00, dan adalah koefisien absorpsi
massa dari EC (m2/g). Refleksi (R) cahaya adalah dua kali transmisi cahaya,
sehingga dapat diperoleh persamaan kerapatan refleksi cahaya pada elemental
carbon (ECR) sebagai berikut (Cohen, 2000):
100 Ro
EC R ( g / cm 2 ) =
ln
2 F R
(2.5)
Refleksi cahaya pada filter kosong dilambangkan sebagai R0 dan pada filter yang
mengandung sampel adalah R. Dengan demikian untuk mencari M (konsentrasi
black carbon) persamaan ECr dapat dimasukkan ke dalam persamaan dasar (2.2)
sehingga diperoleh persamaan konsentrasi black carbon sebagai berikut (Cohen,
2000):
EC ( g / m 3 ) =
A 100 Ro
ln
V 2 R
(2.6)
Pengukuran black carbon yang dilakukan di Australia oleh Cohen dari tahun
1995 hingga 1999 dan Ayers et al 1998 dalam Cohen (2000) menunjukkan bahwa
massa black carbon adalah sekitar 10-40% massa dari fine particles (PM 2,5).
volume alun nafas (tidal) (Guyton et. al, 1997). Frekuensi pernafasan normal kirakira sebanyak 12 kali per menit, sehingga rata-rata volume udara yang masuk ke
dalam paru-paru dalam keadaan normal adalah sekitar 6 liter/menit (Guyton et.al,
1997). Gambar II.2 memperlihatkan sistem pernafasan manusia.
Hidung
hidung terdiri atas bagian internal dan eksternal. Bagian eksternal terdiri atas
bagian atas dan bagian bawah. Bagian atas berfungsi untuk membentuk hidung
secara keseluruhan karena bagian ini tersusun atas tulang hidung., sedangkan
bagian bawah tersusun atas tulang rawan. Bagian dalam terletak pada tulang
wajah meliputi bagian dasar tulang tengkorak hingga langit-langit mulut.
Faring
Setelah melewati hidung dan rongga hidung, udara bergerak melewati faring.
Faring merupakan suatu rongga berbentuk pipa yang terletak pada bagian
belakang tulang tengkorak wajah, merupakan saluran menurun di belakang
rongga hidung, mulut, dan laring yang kemudian berhubungan dengan esofagus.
Faring tersusun atas tulang rangka dan dilapisi oleh membran mukosa. Fungsi
membran mukosa pada faring adalah melanjutkan proses pembersihan udara yang
telah dilakukan di rongga hidung (Hall et al., 1997).
Pada bagian bawah tenggorokan terdapat dua percabangan yaitu esofagus
(kerongkongan) di bagian belakang dan trakea di bagian depan. Makanan dari
mulut akan masuk ke dalam faring dan diteruskan ke esofagus, sedangkan udara
dan gas akan masuk ke dalam faring dari rongga hidung dan diteruskan menuju
trakea dan paru-paru. Pada bagian pangkal trakea terdapat katup epiglotis yang
berfungsi untuk mengatur agar makanan tidak masuk ke dalam trakea (Hall et al.,
1997).
Laring
Laring berfungsi untuk melanjutkan aliran udara dari faring menuju trakea.
Laring diliputi oleh membran mukosa dan silia yang dapat mengembalikan
partikel kembali ke faring. Fungsi lain dari laring dapat diibaratkan sebagai
penjaga trakea, yaitu mengontrol aliran udara dan mencegah material dan
bahan-bahan lain masuk ke dalam trakea kecuali udara (Hall et al., 1997).
Trakea
Trakea terletak pada bagian bawah laring, tepatnya pada bagian leher hingga
rongga dada. Bagian ujung bawah trakea terbagi menjadi dua cabang, yang
disebut bagian kiri dan kanan bronki.Trakea tersusun atas tulang-tulang rawan
yang berbentuk cincin. Dinding trakea dilapisi oleh membran mukosa dan silia
mencegah partikel yang dapat melewati mekanisme penyaringan dari bagian
rongga hidung hingga laring masuk ke dalam paru-paru (Hall et al., 1997) .
Bronki
Bronki merupakan percabangan dari trakea ke arah kiri dan kanan. Masingmasing bronki disebut bronkus, yang merupakan pintu masuk menuju paru-paru
bagian kiri atau bagian kanan. Bronkus kanan lebih lebar dan pendek
dibandingkan bronkus kiri. Hal inilah yang menyebabkan material yang masuk
bersama udara lebih banyak ditemukan di paru-paru kanan. Masing-masing
bronkus dibagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil hingga membentuk
cabang-cabang halus. Pada bagian yang lebih besar dari cabang-cabang bronkus
tersusun atas tulang rawan dan semakin menghilang pada ukuran cabang yang
paling kecil (Hall et al., 1997).
Paru-paru
Paru-paru manusia berjumlah dua buah, yaitu satu bagian kiri dan satu bagian
kanan rongga dada. Paru-paru kanan sedikit lebih besar dan tersusun atas tiga
lobus dibandingkan dengan paru-paru kiri yang tersusun atas dua lobus. Di dalam
paru-paru, bronkeolus bercabang-cabang membentuk saluran-saluran halus yang
Zona pernafasan
Zona pernafasan bukan merupakan bagian dari organ sistem pernafasan. Zona
pernafasan atau breathing zone dapat didefinisikan sebagai lokasi terjadinya
interaksi antara udara inspirasi, udara ekspirasi, serta udara ambien pada arah
horizontal maupun vertikal (Marr, 2004). Ilustrasi mengenai zona pernafasan
ditampilkan pada Gambar II.3.
.
Gambar II.3 menunjukkan bahwa pada zona pernafasan, terjadi interaksi antara
udara ambien dengan udara yang dihirup, serta udara yang dilepaskan dengan
udara ambien. Udara pada zona pernafasan adalah udara ambien yang dihirup dan
dapat mengandung berbagai macam material baik organik maupun anorganik,
atau mikroorganisme.
Efek suatu polutan terhadap fungsi organ terkadang tidak dapat langsung dilihat,
tergantung pada konsentrasi, lamanya paparan, dan frekuensi paparan. Faktorfaktor lain dapat menjadi pendukung terjadinya efek, namun dapat juga menjadi
faktor yang memperlambat terjadinya efek. Faktor-faktor tersebut dapat berupa
kondisi kesehatan seseorang, pola hidup, keadaan lingkungan dan lain sebagainya
(Soemirat, 2003).
Paparan pencemaran udara terhadap manusia akan mempengaruhi sistem
pernafasan dan selanjutnya dapat mempengaruhi fungsi fisiologis tubuh. Hal ini
terjadi karena manusia menghirup dan menghembuskan udara dari paru-paru
sekitar 10-20m3 setiap hari (Hinds, 1982). Ketika manusia bernafas maka akan
terjadi translokasi bahan pencemar yang berada dalam udara ke dalam pembuluh
darah alveoli. Darah membawa bahan pencemar kembali ke jantung dan dari
jantung beredar ke seluruh tubuh melalui aorta.
Bahan pencemar yang paling mempengaruhi kesehatan manusia adalah SO2, NOx,
ozon, CO, dan debu. Kelembaban relatif dalam saluran pernafasan biasanya
sekitar 100%. Sifat kelarutan SO2 dan H2SO4 dalam air tinggi, maka bahan ini
dapat meresap hampir ke seluruh dinding saluran pernafasan bagian atas, yaitu
rongga hidung, tenggorokan, dan laring. Sehingga efek paling sering terjadi pada
saluran pernafasan bagian atas. NOx dan O3 larut dalam air dengan kecepatan
lebih rendah, karena itu akan meresap pada saluran pernafasan bagian bawah
yaitu broncheoli dan alveoli (Depkes, 1994).
Penyakit pada sistem saluran pernafasan yang umum dikenal adalah Infeksi
Saluran Pernafasan Akut (ISPA). ISPA adalah penyakit yang menyerang saluran
pernafasan, mulai dari hidung sampai paru-paru. Penyebaran penyakit ini melalui
sistem inhalasi dan tidak bersifat genetis (Sudarwati, 2006). ISPA dikelompokkan
menjadi dua macam, yaitu ISPA atas dan ISPA bawah. Saluran pernafasan atas
dan saluran pernafasan bawah dipisahkan oleh epiglotis. Penyakit yang termasuk
ke dalam ISPA atas antara lain rhinitis, tonsilitis, faringitis, tonsilofaringitis, dan
difteri. Pneumonia dan broncopneumonia termasuk ke dalam golongan ISPA
bawah. Gejala yang ditimbulkan ISPA atas antara lain batuk, pilek, demam, sakit
menelan, dan lain sebagainya, sedangkan ISPA bawah umumnya ditandai dengan
sesak nafas (Sudarwati, 2006).
darah
membentuk
Carboksihaemoglobin
(CoHb)
sehingga
akan
nyeri dada kanan hingga terjadinya oedema paru-paru. Gejala klinis yang
diperlihatkan dapat berupa iritasi ringan, rasa terbakar dan nyeri pada
tenggorokan dan dada, batuk, dan nafas pendek (Depkes, 1994).
4. Oksidan (Ozon)
Gangguan kesehatan yang dapat ditimbulkan oleh keracunan ozon diantaranya
gangguan keseimbangan otot mata, gangguan penglihatan, gangguan adaptasi
ruang gelap, mulut kering, perubahan pada alat pengecap, gangguan konsentrasi/
berfikir, nyeri dada, lemah kaki dan tangan, susah tidur, dan batuk. Gangguan
kronis dapat menyebabkan penyakit paru-paru dan tumor paru.
5. Keracunan oleh debu
Pengaruh partikel padat maupun cair yang berada di udara sangat bergantung
kepada ukuran, konsentrasi, dan komposisi/ komponen kimiawi. Partikulat yang
terhirup bersama udara inspirasi ke dalam sistem pernafasan akan terdeposisi
dalam tiga bagian sistem respirasi berdasarkan anatominya. Bagian pertama yaitu
bagian extrathoracic (hidung dan mulut). Partikel yang berukuran >10m akan
terdeposit di rongga hidung karena tersaring oleh rambut-rambut halus di dalam
rongga hidung ini. Partikel, pada bagian ini dapat dikeluarkan kembali melalui
hembusan udara ekspirasi atau ketika bersin. Jika bernafas melalui mulut maka
kemungkinan partikulat akan terbawa hingga 65% dan masuk ke dalam sistem
gastrointestinal. Bagian kedua adalah bagian tracheobronchial. Partikulat yang
dapat masuk ke dalam bagian ini adalah yang berukuran 10m. Proses
pengeluaran partikulat di bagian ini dapat dilakukan oleh mekanisme tubuh
melalui pengeluaran dahak. Makin kecil diameter partikel maka makin jauh
masuk ke dalam saluran pernafasan. Partikel yang tertangkap oleh saluran yang
memiliki silia akan dilempar kembali ke tenggorokan dan akan dikeluarkan
bersama dahak (Depkes, 1994., Health Canada, 2005).
Partikel berukuran 2,5 m dapat terdeposit hingga paru-paru dan merusak
jaringan di dalamnya. Partikulat yang mudah terlarut akan menembus alveoli dan
ikut tersirkulasi ke seluruh tubuh bersama aliran darah. Alveoli tidak memiliki
silia, sehingga partikel yang mengendap pada alveoli akan menyerang jaringan
paru-paru. Partikel padatan seperti silika akan menyebabkan luka dan akhirnya
mengakibatkan fibrosis pada alveolar sehingga mengganggu pertukaran gas dan
elastisitas jaringan. (Hinds, 1982; Health Canada, 2005).
Partikel debu yang melayang dan terbawa angin akan menyebabkan iritasi pada
mata dan dapat menghalangi pandangan mata. Adanya serpihan logam beracun
yang terdapat dalam partikel di udara merupakan bahaya terbesar bagi kesehatan.
Umumnya udara yang tercemar hanya mengandung logam berbahaya sekitar
0.01% sampai 3% dari seluruh partikel di udara, namun logam tersebut bersifat
akumulatif dan kemungkinan dapat terjadi reaksi sinergistik pada jaringan tubuh.
Logam yang terkandung di udara dan masuk ke dalam tubuh lewat udara inspirasi
mempunyai pengaruh lebih besar dibandingkan dengan dosis yang sama jika
berasal dari makanan atau air minum (Depkes, 1994).
Selain gangguan pada fungsi penglihatan, gangguan lainnya adalah dapat
menimbulkan peradangan pada saluran pernafasan, iritasi kulit, radang paru-paru,
bahkan hingga kanker paru-paru. Salah satu kerusakan paru-paru akibat
menghirup udara yang mengandung respirable partikulat dapat mengakibatkan
penyakit pneumoconiosis (paru-paru berdebu) yaitu kerusakan pada sel-sel alveoli
dan bronkus yang kemudian diikuti oleh pembentukan jaringan ikat (fibrosis)
(Soemirat, 2003). Pengerasan pada jaringan paru-paru mengakibatkan paru-paru
tidak lagi dapat menjalankan fungsinya dalam pertukaran oksigen dan
karbondioksida yang seterusnya akan disalurkan ke seluruh tubuh untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme agar tubuh dapat berfungsi dengan baik. Jika
pasokan oksigen yang cukup tidak terpenuhi maka akan menimbulkan kerusakankerusakan jaringan dan organ-organ yang lain dan berujung pada kematian
(Soemirat, 2003).
Sumber Industri
Efek
Debu Alumunium
Fibrosis
Asbestos
Debu
Kanker paru-paru
Silika
Tambang,
Silicosis
quarry,
pertanian,
konstruksi
Sulfur-oksida
Iritasi
refrifgerasi
Talcum
Fibrosis
Ammonia
Iritasi
Tahun 1971 US EPA menetapkan standar pertama untuk materi partikulat dalam
National Ambient Air Quality Standard (NAAQS) dalam bentuk Total Suspended
Particulate (TSP). Tahun 1987 standar tersebut diganti dengan PM10 mengingat
sifat aerodinamiknya, yaitu sebesar 50 g/m3 untuk rata-rata tahunan dan sebesar
150 g/m3 untuk rata-rata 24 jam. Tahun 1997, setelah banyak penelitian
mengenai sifat aerodinamik PM2,5 yang berkaitan erat dengan angka mortalitas
dan morbiditas, maka ditetapkan standar untuk PM2,5 adalah sebesar 15 g/m3
untuk rata-rata tahunan, dan 65 g/m3 untuk rata-rata 24 jam (Fierro (2000), PPRI
No 41 Tahun 1999).
OSHA (The Occupational Safety and Health Administration) menetapkan baku
mutu yang berlaku di lingkungan kerja. Batas aman untuk total partikulat yang
bersifat umum (tidak diidentifikasikan khusus) selama 8 jam TWA (Time
Parameter
SO2
(Sulfur Dioksida)
CO
(Karbon Monoksida)
NO2
(Nitrogen Dioksida)
O3 (Oksidan)
HC (Hidrokarbon)
TSP (Debu)
Pb (Timah Hitam)
9.
10
11.
Fluor Indeks
12.
13.
Waktu Pengukuran
1 Jam
24 Jam
1 Thn
1 Jam
24 Jam
1 Thn
1 Jam
24 Jam
1 Thn
1 Jam
1 Thn
3 Jam
Baku Mutu
900 g/m3
365 g/m3
60 g/m3
30.000 g/m3
10.000 g/m3
400 g/m3
150 g/m3
100 g/m3
235 g/m3
50 g/m3
160 g/m3
24 Jam
24 Jam
1 Thn
24 Jam
1 Thn
24 Jam
1 Thn
30 hari
150 g/m3
65 g/m3
15 g/m3
230 g/m3
90 g/m3
2 g/m3
1 g/m3
10 Ton/km2/Bulan
(Pemukiman)
20 Ton/km2/Bulan (Industri)
3 g/m3
0,5 g/m3
40 g/100 cm2
dari kertas limed filter
150 g/m3
24 Jam
90 hari
30 hari
24 Jam
30 hari
1 mg SO3/100
cm3 Dari Lead
Peroksida
Penentuan baku mutu kualitas udara didasarkan pada efek dari parameter
pencemar terhadap kesehatan (Seinfield, 1986). Pengukuran parameter oksidaoksida sulfur menggunakan variabel utama rata-rata tahunan aritmatik dari rata-
rata harian (24 jam). Dalam menentukan nilai ambang batas oksida-oksida sulfur
(SOx) didasarkan pada hasil penelitian dan literatur yang menyebutkan bahwa
pada konsentrasi 0,2 ppm peningkatan angka kematian telah diamati (Soedomo,
1999).
Variabel yang diukur dalam penentuan konsentrasi CO di atmosfer adalah
konsentrasi rata-rata selama 8 jam, yang kemudian dirata-ratakan dalam satu
tahun. Efek yang membahayakan pada manusia telah diamati pada paparan CO
dengan konsentrasi 12 hingga 17 mg/m3 (10-15 ppm) selama 8 jam. Pengaruh
kesehatan ini terdiri atas tekanan fisiologikal, keracunan darah dan lain-lain. Pada
konsentrasi 8-14 ppm telah terbukti adanya kaitan paparan CO dengan
meningkatnya kematian penderita penyakit jantung (Soedomo, 1999).
Konsentrasi oksida nitrogen di udara diukur dalam variabel rata-rata tahunan dari
rata-rata konsentrasi harian (24 Jam). Pada konsentrasi di bawah 0,05 ppm, oksida
nitrogen tidak menimbulkan efek yang berbahaya bagi kesehatan. Paparan NOx di
atas konsentrasi 0,05 ppm akan menyebabkan kejadian gangguan pernafasan akut
(Soedomo, 1999).
Ozon merupakan senyawa paling dominan dari oksidan fotokimia. Variabel yang
digunakan untuk mengukur dampak oksidan ini adalah konsentrasi puncak harian
1 jam yang tidak boleh dilampaui satu kali dalam satu tahun. Konsentrasi
maksimum oksidan umumnya terjadi selepas tengah hari setelah kulminasi
matahari. Konsentrasi puncak harian ini mencerminkan efek akumulasi konversi
dan transformasi serta transport oksidan yang terjadi selama reaksi HC dan NOx.
Setelah mencapai puncaknya, konsentrasi oksidan akan menurun akibat transport
dan proses penyisihan atmosfer. Pada malam hari, konsentrasi oksidan mencapai
tingkat minimum harian. Karena itu konsentrasi oksidan dinyatakan dalam ratarata 1 jam. Konsentrasi alami ozon berkisar antara 30-45 ppb (Soedomo, 1999).
Variabel yang diukur dalam penentuan baku mutu partikulat/debu adalah
konsentrasi rata-rata harian (24 jam). Partikulat yang terukur merupakan
gabungan dari semua jenis partikel, padat dan cair yang dirata-ratakan dalam 24
jam. Masalah gangguan visibilitas dan kesehatan manusia akan mulai terlihat jika
konsentrasi partikulat di atmosfer telah mencapai 26 g/m3 (Soedomo, 1999).
Hidrokarbon dinyatakan sebagai hidrokarbon total (THC), dengan variabel
pengukuran adalah konsentrasi rata-rata tahunan dari rata-rata 3 jam harian (pukul
06.00 09.00). Dasar pengukuran tiga jam pada pagi hari adalah berkaitan
dengan pembentukan oksida fotokimia. Dalam periode tersebut, sumber utama
hidrokarbon yaitu kendaraan bermotor memberikan konsentrasi HC puncak di
atmosfer. Kehadiran sinar ultra violet merupakan salah satu faktor yang
menginisiasi reaksi konversi hidrokarbon dengan oksida-oksida nitrogen menjadi
ozon fotooksidan. Konsentrasi HC sebesar 0,15-0,25 ppm merupakan konsentrasi
yang memicu awal terbentuknya smog oksidan. Terbentuknya smog oksidan akan
mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan (Soedomo, 1999).