Vous êtes sur la page 1sur 10

FAKTOR RISIKO KEMATIAN RESUSITASI DINI PADA SEPSIS BERAT DAN SYOK

SEPSIS DI UNIT GAWAT DARURAT

Abstrak
Tujuan : tujuan dari penelitian ini ialah mengidentifikasi faktor risiko yang berhubungan
dengan kematian di rumah sakit diantara pasien gawat darurat dengan sepsis berat dan
syok sepsis yang ditatalaksana dengan protokol resusitasi dini.
Metode : penelitian ini merupakan studi restrospektif, observasi kohort di departemen gawat
darurat. Kami meneliti sebanyak 411 pasien dewasa dengan sepsis berat dan kadar laktat
4 mmol.L (n=203) atau syok sepsis (n=208) yang mendapat protokol resusitasi dari tahun
2005 hingga 2009. Variabel departemen gawat darurat, kultur mikrobiologi, dan hasil di
rumah sakit diperoleh dari rekam medis. Regresi multivariabel digunakan untuk
mengidentifikasi faktor independen yang berhubungan dengan kematian di rumah sakit.
Hasil : usia rata-rata ialah 59.5 16.3 tahun; 57% adalah laki-laki. Rerata laktat 4.8 mmol/L
(35-6.7), sebesar 54% hasil kultur positif, dan 27% mendapat vasopresor di UGD. 105 (26%)
pasien meninggal di rumah sakit. Usia, riwayat keganasan aktif, pasien DNR, demam,
hipoglikemia, dan intubasi secara independen berhubungan dengan pengingkatan kematian
di rumah sakit. Lactate clearance dan diabetes berhubungan dengan penurunan risiko
kematian di rumah sakit.
Kesimpulan : kami mengidentifikasi sejumlah faktor yang berhubungan dengan kematian di
rumah sakit pada pasien gawat darurat dengan sepsis berat atau syok sepsis meskipun
penatalaksanaan dengan protokol resusitasi dini. Penemuan ini memberikan gambaran
penatalaksanaan dini sepsis yang dapat menjadi target untuk intervensi dikemudian hari.

Pendahuluan
Meskipun telah terdapat kemajuan selama beberapa dekade terakhir dan setengah dari
jumlah pasien sepsis berat dan syok septik telah mendapat resusitasi, kematian di rumah
sakit pada pasien-pasien tersebut di UGD tetap di atas 20% dibandingkan dengan infark
miokard dengan ST elevasi sebesar 10% dan 15% pada syok hemoragik akibat trauma.
Perhatian pada peningkatan kualitas deteksi dini, pemberian antimikroba, dan optimalisasi
hemodinamik memberikan hasil yang lebih baik pada sepsis berat dan syok sepsis dari

waktu ke waktu. Apa yang harus dijawab saat ini ialah mengapa 1 dari 5 pasien tetap
meninggal sebelum keluar dari rumah sakit.
Meskipun sejumlah studi terbaru telah mengidentifikasi faktor individu yang terkait dengan
kematian pasien di UGD dengan sepsis berat atau syok sepsis, terdapat kekurangan dari
evaluasi penelitian dimana faktor-faktor ini secara independen prediktif terhadap kematian
ketika diperiksa bersamaan. Secara khusus tidak ada penelitian sebelumnya yang menilai
variabel pada populasi pasien kritis di UGD dengan sepsis berat atau syok sepsis yang di
tatalaksana dengan protokol resusitasi dini.

Selanjutnya terdapat skor prognostik sepsis yang menggabungkan sejumlah besar variabel
seperti kematian di UGD dan predisposis, infeksi, respon, dan kegagalan organ yang
berasal terutama dari populasi dengan ketajaman rendah dan secara signifikan kurang
akurat pada pasien dengan sepsis berat atau syok sepsis. Mengidentifikasi faktor yang
berhubungan dengan hasil yang buruk dapat membantu untuk mengurangi angka kematian
dalam populasi berisiko.
Tujuan kami ialah untuk mengidentifikasi faktor risiko kematian independen pada pasien
UGD dengan sepsis berat atau syok sepsis yang mendapat protokol resusitasi dini.

Bahan dan metode


2.1 Rancangan penelitian dan populasi
Penelitian ini merupakan studi retrospektif, observasi kohort pasien yang dirawat melalui
UGD dengan sepsis berat dan syok sepsis di Rumah Sakit Pennsylvania dari 1 Januari 2005
sampai dengan 31 Desember 2009. Studi ini telah disetujui oleh Lembaga Pengkajian
Universitas Pennsylvania dengan informed consent.
Rumah Sakit Universitas Pennsylvania memiliki sekitar 800 tempat tidur, pusat perawatan
tersier dengan 40 tempat tidur di UGD yang melayani sekitar 65.000 sampai 70.000 pasien
pertahun. Di tahun 2004 UGD mulai gencar melakukan skrining pasien sepsis berat atau
syok sepsis yang memenuhi syarat dilakukannya protokol resusitasi awal dan menjalankan
algoritma perawatan yang komprehensif berdasarkan studi River dkk.

Pasien yang memenuhi syarat dilakukannya protokol resusitasi ialah jika mereka datang ke
UGD dengan sepsis berat dan kadar laktat serum 4.0 mmol/L atau syok sepsis. Sepsis
berat didefinisika sebagai dugaan sumber infeksi, terdapat 2 atau lebih kriteria SIRS, dan
terdapat disfungsi organ akut. Syok sepsis didefinisikan sebagai hipotensi arterial (tekanan
darah sistolik < 90 mmHg) meskipun diberikan cairan resusitasi yang adekuat (N 1500 mL)
atau menggunakan vasopresor. Walaupun kriteria ini direkomendasikan untuk dimasukkan
ke dalam algoritma penatalaksanaan, dokter dapat melakukan protokol resusitasi pada
pasien yang terbukti memiliki infeksi berat ditambah dengan disfungsi organ atau syok tetapi
tidak tepat sesuai dengan definisi (yaitu kriteria SIRS kurang dari 2, disfungsi organ atau
hipotensi tidak memenuhi kriteria yang telah dipublikasi).
Asisten penelitian mengidentifikasi data UGD dari rekam medis secara retrospektif pada
semua pasien yang mendapat resusitasi awal untuk sepsis berat atau syok sepsis. Kami
memasukkan semua pasien yang memiliki data 2 dari 3 tujuan terapi (tekanan vena sentral
(CVP), tekanan arteri rata-rata (MAP), dan central venous oxygen saturation (ScvO2)) yang
tercatat di grafik. Pasien dikeluarkan jika secara bersamaan terdapat keadaan trauma,
kehamilan, infark miokard akut yang membutuhkan revaskularisasi segera; mengabaikan
saran medis; dipindahkan ke institusi lain; atau sebelumnya telah terdaftar dalam penelitian
ini.

2.2 Pengumpulan data


Data berikut ini dicatat dari rekam medis elektronik di UGD: sosiodemografi, komorbid, triase
dan perburukan tanda vital; nilai laboratorium; sumber infeksi; terapi (cairan intravena, agen
antibiotik, vasopresor, dan lain-lain); nilai CVP, MAP, dan ScvO2 setelah resusitasi awal
(awal, terendah, tertinggi, dan nilai sasaran/ yang tercapai); dan disposisi.
Data kultur mikroba, lama perawatan, dan mortalitas telah dirangkum dari rekam medis.
Informasi telah tercatat dalam formulir pengumpulan data standart yang dirancang dengan
definisi eksplisit variabel penelitian. Lima penyidik terlatih untuk studi hipotesis (BCD, AA,
MEM, SCS, dan DFG) dilakukan abstraksi data, dengan konflik apapun yang diselesaikan
oleh komite ad hoc minimal 2 dari 5 peneliti . Tidak ada reliabilitas antar penilai resmi
dilakukan ; Namun , abstraksi data diverifikasi untuk keakuratan dan kelengkapan oleh
penyidik kedua untuk sekitar 30 % dari semua ulasan grafik.

2.3 Definisi
Hasil primer ialah mortalitas di rumah sakit. Kriteria SIRS didefinisikan berdasakran Bone
dkk. Disfungsi organ didefinisikan berdasarkan kriteria internasional dengan penyesuaian
yang dibuat berdasarkan ketersediaan data di UGD. Secara berurutan penilaian skor gagal
organ dihitung dari nilai terburuk termasuk variabel yang diperoleh selama berada di UGD,
dengan substitusi rasio S/F (rasio persentasi saturasi tekanan oksimetri dengan fraksi
oksigen) untuk rasio PaO2/FiO2 di komponen paru seperti yang dijelaskan oleh
Pandharipande dkk dengan satu penyesuaian.
Hasil kultur mikroba didefinisikan berdasarkan rekomendasi Centers for Disease Control.
Antibiotik yang tepat didefinisikan hanya di kalangan pasien dengan hasil kultur positif.
Waktu pemberian antibiotik diukur pada semua pasien pada pemberian awal agen
antimikroba pertama, maksimal 24 jam. Untuk pasien dengan data ketepatan penggunaan
antibiotik, mereka yang mendapat antibiotik yang tidak tepat di UGD diberi nilai maksimum
waktu.
Nilai CVP, MAP, dan ScvO2 diperoleh dari rekam medis setelah protokol resusitasi, dibatasi
oleh waktu pemberian vasopresor atau pengukuran pertama baik CVP atau ScvO2. Nilai
MAP yang tinggi atau rendah menggambarkan nilai tersebut diperoleh setelah inisiasi
protokol resusitasi. Nilai target untuk 3 pengukuran merupakan nilai pertama yang diperoleh
dalam rentang yang diinginkan (CVP 8 mmHg/ 12 jika diintubasi, MAP 65 mmHg,
ScvO2 antara 70% dan 89%). Jika nilai yang diperoleh selama di UGD berubah menjadi
kisaran diluar yang diinginkan, target nilai sebelumnya dihilangkan. Jika kemudian nilai yang
diperoleh tidak berada di dalam kisaran yang diinginkan, target tersebut dianggap tidak
tercapai. Namun jika berikutnya nilai yang diperolah berada di kisaran yang diinginkan, nilai
ini dianggap mendekati target. Proses ini berlangsung hingga pasien keluar dari UGD.
Lactate clearance didefinisikan sebagai presentasi perubahan dari kadar laktat vena ke
kadar laktat berikutnya yang di peroleh di UGD. Pengukuran ulang serum laktat sangat
dianjurkan dalam protokol perawatan. Waktu pengukuran ulang tidak memiliki ketentuan
baku; dengan demikian nilai lactate clearance merupakan perubahan selama periode waktu
yang bervariasi. Protokol resusitasi berlangsung selama berada di UGD.
2.4 Analisa statistik
Untuk analisis deskriptif , data kontinu dinyatakan sebagai mean standar deviasi jika
terdistribusi normal ; jika tidak , dinyatakan sebagai median ( kisaran interkuartil [ IQR ] ) .
variabel kategori disajikan sebagai jumlah dan persentase . Uji t Student untuk distribusi

normal dan Wilcoxon rank - sum test digunakan untuk membandingkan variabel kontinu . uji
2 atau metode Fisher yang tepat digunakan untuk data kategori.
Regresi logistik multivariabel dilakukan untuk mengidentifikasi variabel independen terkait
dengan kematian di rumah sakit. Secara bertahap metode seleksi mundur digunakan.
Variabel signifikan pada P b 0,2 dalam perbandingan univariat dimasukkan ke dalam model.
Untuk menghindari masuknya informasi yang sama beberapa kali, variabel tunggal dipilih
ketika satu atau lebih variabel berdasarkan data yang identik. Pengukuran dikotom
kegagalan organ berdasarkan nilai laboratorium jika keduanya memenuhi syarat. Total skor
SOF termasuk dalam model, sedangkan skor SOFA organ individu tertentu tidak. Penilaian
formal untuk multikolinearitas dilakukan dengan menggunakan analisis faktor varians inflasi.
Tidak ada variabel , khususnya termasuk skor total SOFA dan tindakan individu disfungsi
organ yang digunakan untuk perhitungan , menunjukkan statistik varians faktor inflasi N10 ,
yang merupakan indikasi dari collinearity. Sebuah daftar variabel individu masuk ke dalam
model regresi logistik disediakan ( Content tambahan , Lampiran 3 ) . Faktor signifikan pada
P b .05were dipertahankan dalam model akhir . Tidak ada variabel dipaksa ke dalam model .
Untuk elemen data dengan nilai-nilai N5 % hilang dan untuk semua nilai yang hilang dari
CVP , MAP , atau ScvO2 pencapaian tujuan atau izin laktat , variabel dummy imputasi
dilakukan. Untuk elemen data dengan jumlah kecil dari pengamatan , regresi logistik yang
tepat digunakan . The Hosmer dan Lemeshow goodness -of - fit test digunakan untuk
menilai kelayakan model . STATA v . 12.1 software ( Stata Datacorp , College Station , TX )
digunakan untuk semua analisis statistik.
3. Hasil
Kami melibatkan 411 pasien dalam penelitian, 203 (49%) dengan sepsis berat dan kadar
laktat 4.0 mmol/L dan 208 (51%) dengan syok sepsis. 306 pasien (74%) bertahan hingga
keluar dari rumah sakit, sedangkan 105 (26%) pasien menderita di rumah sakit. Lama rawat
inap di rumah sakit rata-rata 9 hari (IQR, 2-10). Rerata skor SOFA pada semua populasi 6.3
3.1.
Sosio demografi, laboratorium, dan karakteristik klinis populasi penelitian tercantum dalam
tabel 1. Pasien yang meninggal cenderung usia tua; memiliki prevalensi kondisi komorbid
yang besar termasuk kanker aktif, sirosis, dan riwayat do not resuscitate (DNR) , tetapi
prevalensi diabetes rendah; kurang mungkin untuk menjadi demam; dan memiliki prevalensi
hipoglikemia dan azotemia yang besar. Pasien yang meninggal juga memiliki frekuensi yang
besar dan terdapat kegagalan organ yang luas terutama neurologik, pulmo, dan koagulasi.

Tabel 2 menampilkan data infeksi dan mikrobiologi. Diantara semua data kohort, infeksi
pernapasan (30%) dan genitourinari (26%) menjadi sumber infeksi tersering, 78%
merupakan infeksi yang didapat di komunitas, dan 54% menunjukkan hasil kultur positif.
Kultur asites yang positif berkaitan dengan kematian di rumah sakit.
Tabel 3 menunjukkan informasi resusitasi dan terapi di UGD. 79% pasien mendapat terapi
antibitoik yang sesuai berdasarkan hasil kultur, 19% diintubasi di UGD, dan 27% mendapat
agen vasopresor. Sebagian besar pasien memiliki data nilai target CVP (94%), MAP (97%),
dan ScvO2 (83%), serta lactate clearance (93%). Pasien yang meninggal mendapat terapi
cairan intravena yang sedikit dalam 6 jam pertama, lebih memungkinkan untuk dilakukan
intubasi, pemasangan CVP dan pengukuran laktat, dan mencapai penurunan lactate
clearance dibandingkan dengan pasien yang selamat.
Tabel 4 menampilkan hasil analisis regresi multivariabel. Semua faktor yang signifikan dalam
perbandingan univariat P < 0,2 dan termasuk dalam analisis regresi terdaftar. Sebanyak 378
dari 411 pasien memiliki data lengkap untuk semua variabel tersebut dan dimasukkan dalam
model. Usia , kanker aktif , diabetes , status DNR di UGD, suhu tidak pernah > 100.4 F ,
glukosa <60 mg / dL , intubasi , dan lactate clearance secara independen terkait dengan
kematian di rumah sakit .
4. Diskusi
Meskipun dengan protokol resusitasi awal yang baik, sepsis berat dan syok sepsis masih
menjadi keadaan yang mematikan yang ditemukan di UGD. Kami mengidentifikasi sejumlah
faktor spesifik yang secara independen berhubungan dengan kematian di rumah sakit
diantara populasi pasien tersebut yang diterapi dengan resusitasi awal, yang memberikan
gambaran penatalaksanaan awal sepsis yang dapat menajdi target intervensi di masa
depan. Secara intuitif, bertambahnya usia dan status DNR berhubungan dengan kematian
seperti yang terlihat pada beberapa penelitian sebelumnya. Kami juga menemukan bahwa
riwayat keganasan secara independen berhubungan dengan kematian. Meskipun hal ini
juga tidak benar-benar berubah, hal ini penting pada populasi sepsis berat atau pasien syok
sepsis dimana intervensi spesifik dapat memperbaiki hasil yang buruk. Penyatuan yang
lebih sistematik pada strategi resusitasi keganasan spesifik dalam managemen awal dan
penelitian lanjut pada intervensi di dalam populasi yang rentan diperlukan.
Meskipun pasien dengan sepsis sering menunjukkan keadaan hipertermia dan hiperglikemia
sebagai

akibat

dari

sirkulasi

mediator

inflamasi

dan

hormon

stres,

hasil

kami

memperlihatkan hipoglikemi dan keadaan tidak demam di UGD berhubungan dengan hasil
yang buruk diantara pasien dengan sepsis berat.
Penelitian sebelumnya di unit perawatan intensif telah mencatat temuan serupa, tetapi hal
ini tidak dijelaskan dalam populasi yang ada di UGD. Kedua temuan ini dapat menunjukkan
sepsis yang diindudksi oleh kegagalan metabolik atau mungkin lebih sering terjadi diantara
pasien lanjut usia atau pasien yang sangat lemah yang akan meninggal. Selain itu, dokter
mungkin tidak mengenali kelainan-kelainan ini di UGD sebaga tanda sepsis berat dan dapat
tidak berespon dengan peningkatan intensitas resusitasi. Apakah intervensi dini untuk
kontrol suhu tubuh dan mengembalikan keadaan euglikemi akan mempengaruhi hasil,
masih belum jelas.
Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa gagal napas dengan kebutuhan intubasi di UGD
berhubungan dengan kematian, sebaliknya gagal jantung atau keadaan syok tidak
berhubungan. Tidak seperti penelitian dalam jumlah besar yang fokus pada optimalisasi
fungsi jantung di awal sepsis berat dan syok septik, sedikit penelitian yang mengevaluasi
pengobatan gagal napas pada sepsis di UGD. Berbagai mekanisme mungkin berkontribusi
terhadap gagal napas dan perlu ventilasi mekanik pada sepsis: hipoksemia disebabkan oleh
infeksi paru atau inflamasi; meningkatnya kebutuhan ventilator berhubungan dengan
hipoperfusi jaringan, asidosis laktat, dan peningkatan kebutuhan metabolik; atau sepsis
berhubungan dengan ensefalopati dan hipotensi sistemik yang menyebabkan menurunnya
kesadaran. Meskipun pemulihan status volume intravaskular dan optimalisasi perfusi
jaringan melalui resusitasi dapat menetralkan beberapa efek, faktanya gagal napas masih
berhubungan dengan kematian di populasi kami yang mendapat optimalisasi kardiovaskular
menunjukkan bahwa upaya lebih lanjut untuk mengoptimalisasi fungsi paru dapat
memberikan hasil yang baik.
Dari semua hasil akhir resusitasi pada sepsis, pencapaian lactate clearance menunjukkan
hubungan yang paling konsisten dengan hasil yang lebih baik dalam literatur, yang disalin
dalam hasil kami. Meskipun Nguyen dkk diawal melaporkan batasan 10% clearance dalam
6 jam pertama protokol terapi sepsis berat dan syok sepsis di UGD, penelitian lebih lanjut
menunjukkan penurunan kadar laktat atau bahkan kadar laktat normal dengan resusitasi
awal berhubungan dengan perbaikan hasil. Hasil kami mendukung hipotesa, dengan
menunjukkan rerata lactate clearance 51% sedangkan pasien yang tidak selamat mencapai
24%. Temuan ini menunjukkan populasi pasien dengan respon awal optimalisasi
hemodinamik yang mungkin bermanfaat dari intervensi resusitasi, pendekatan yang saat ini
diselidiki di UGD.

Temuan kami bahwa diabetes melitus merupakan faktor independen yang berhubungan
dengan penurunan risiko kematian di rumah sakit diantara pasien dengan sepsis berat atau
syok sepsis merupakan kali pertama yang dilaporkan dalam literatur. Meskipun terdapat
data preklinik mengenai hubungan diabetes dengan gangguan imun bawaan dan humoral
serta peningkatan kerentanan terhadap infeksi tertentu, studi epidemiologi dengan skala
besar termasuk pasien dengan pneumonia, sepsi, atau infeksi yang terkait diagnosis
menunjukkan hasil yang bertentangan dengan kematian. Studi klinis secara spesifik
memeriksa pasien dengan sepsis berat atau syok sepsis diketahui tidak memiliki hubungan
antara diabetes dan peningkatan insiden kematian ketika faktor lain dapat dikendalikan.
Menariknya, hal ini dan laporan lain mencatat bentuk yang berbeda dari disfungsi organ
diantara pasien dengan diabetes, dengan peningkatan risiko gagal ginjal tetapi frekuensi
sindrom distres respirasi akut menurun. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk
memperbaiki penelitian kami dan meneliti mekanisme penyebab yang potensial.
Beberapa faktor yang sebelumnya berkaitan dengan kematian pasien di UGD dengan
sepsis berat atau syok sepsis tidak signifikan dalam hasil penelitian kami. Waktu pemberian
antibiotik sebelumnya telah dikaitkan dengan kematian pasien sepsis berat di UGD. Hasil
penelitian kami menunjukkan kecenderungan waktu yang singkat untuk pemberian antibiotik
diantara penderita; namun efeknya tetap tidak signifikan dalam analisis multivariabel,
mungkin karena pemberian antibiotik berlangsung sangat cepat di seluruh populasi
penelitian. Selain itu, kami menganalisa waktu pemberian antibiorik sebagai variabel
kontinu, sedangkan penelitian sebelumnya menemukan hubungan yang signifikan dengan
angka kematian yang pada individu sangat cepat (< 1 jam). Hasil kami juga tidak
menemukan hubungan antara antibiotik yang sesuai dengan kematian. Penelitian
sebelumnya menunjukkan agen antimikroba yang tidak seharusnya diberikan kepada pasien
UGD dengan bakteremia berkaitan dengan penurunan kematian di rumah sakit. Hasil ini ,
serta yang lain berasal dari kohort ICU sepsis , terbatas namun oleh sebagian besar
penggunaan antibiotik spektrum sempit dan kurangnya simultan agresif hemodinamik
resusitasi [ 50 ] . Akhirnya , kami simpulkan bahwa pengukuran agregat disfungsi organ
seperti skor SOFA secara independen terkait dengan kematian seperti yang ditunjukkan
oleh studi sebelumnya , yang tidak dikonfirmasi oleh temuan kami. Penderita yang tidak
selamat memiliki skor SOFA lebih tinggi dibandingkan univariat, tetapi al ii tidak lagi
dipertahankan setelah analisis multivariabel. Penelitian lebih lanjut sebaiknya meneliti
disfungsi multiorgan karena masih menjadi penyebab utama kematian diantara pasien yang
dirawat ICU dengan sepsis berat dan syok sepsis.

Dua studi sebelumnya pasien UGD dengan sepsis berat atau syok septik telah diteliti relatif
signifikan dari beberapa faktor risiko di rumah sakit atau 28 hari kematian. Giannazzo dkk
meneliti berbagai variabel yang diidentifikasi dengan pencarian literatur pada populasi 90
pasien dengan 28 hari kematian 525, diantaranya hanya 6% yang di rawat di ICU dan
menemukan usia > 80 tahun, penggunaan insulin, gagal ginjal akut, dan laktat > 5 mmol/L
dikaitkan dengan mortalitas. Sivayoham dkk menganalisis data variabel diantara 641 pasien
sepsis di UGD yang dirawat di ICU dan menemukan bahwa usia, serum albumin, dan rasio
normal internasional merupakan faktor independen yang berhubungan dengan kematian di
rumah sakit. Temuan mereka terbatas , bagaimanapun, dengan sejumlah besar data yang
hilang dan kurangnya detail pada yang menerima terapi diarahkan pada tujuan awal dan
sampai sejauh mana itu dilaksanakan . Dibandingkan dengan laporan-laporan ini , penelitian
kami mencakup seperangkat data yang komprehensif dari populasi yang lebih besar dari
pasien sakit parah yang semua diperlakukan dengan awal resusitasi. Temuan kami memiliki
beberapa keterbatasan penting. Ini adalah studi tunggal pusat dari sebuah rumah sakit
perawatan tersier dengan frekuensi tinggi dari pasien dengan kanker, sirosis, atau
transplantasi organ. Selain itu, UGD kami memiliki mapan, protokol, pendekatan agresif
untuk awal resusitasi sepsis. Oleh karena itu, hasil kami mungkin tidak dapat digeneralisasi
untuk populasi pasien berbeda yang menerima perlakuan yang kurang intensif. Kami juga
menemukan bahwa sedikit lebih sedikit pasien yang menerima resusitasi protocolized yang
terdaftar di tahun kemudian penelitian dan pasien dalam penelitian kemudian tahun
cenderung lebih sakit (rata-rata skor SOFA lebih tinggi) dibandingkan pasien termasuk
fromearlier dalam masa studi. Hal ini mungkin mencerminkan bias seleksi yang terjadi dari
waktu ke waktu dalam UGD kami sebagai dokter menjadi lebih lancar dengan dini,
pengobatan agresif pasien sepsis. protokol resusitasi kami juga didasarkan pada tujuan
diarahkan pendekatan terapi awal tradisional, yang baru-baru ditunjukkan untuk tidak
menurunkan angka kematian vs perawatan standar dalam 3 percobaan menonjol. Kami
tidak menemukan hubungan antara nilai-nilai CVP atau ScvO2 dan kematian, aspek utama
dari protokol Rivers dipertanyakan oleh studi ini, menunjukkan bahwa faktor kami
mengidentifikasi harus tetap berlaku untuk populasi masa diobati tanpa target-target
tertentu.
Ada beberapa keterbatasan tambahan yang terkait dengan desain penelitian kami.
Mengingat proses pengumpulan data retrospektif, kita bisa kehilangan data pada variabel
tertentu yang mungkin berhubungan dengan kematian, seperti status rumah jompo atau
paparan antibiotik sebelum. Selain itu, CVP, MAP, dan data ScvO2 kami mengandalkan
koleksi retrospektif dari nilai-nilai yang tercatat dalam rekam medis, yang mungkin tidak
seakurat jika nilai-nilai dikumpulkan prospektif mengingat dokumentasi yang dapat

menghambat selama perawatan dari sumber daya yang intensif sakit kritis pasien di UGD.
Dimasukkannya sejumlah besar variabel kandidat comparedwith ukuran populasi penelitian
kami dan jumlah kejadian hasil mungkin telah mengurangi akurasi dan presisi dari hasil
regresi multivariabel. Idealnya, penelitian kami akan telah dilakukan pada ukuran sampel
yang lebih besar.
Akhirnya dan yang paling penting, asosiasi dengan kematian tidak langsung berarti sebabakibat. Hasil diidentifikasi di sini harus menjadi hipotesis untuk studi intervensi masa depan
yang bertujuan untuk menurunkan angka kematian dari sepsis berat dan syok septik di ED.
Kesimpulannya , kita mengidentifikasi sejumlah faktor yang terkait dengan kematian rumah
sakit antara patientswith sepsis berat atau syok septik meskipun penerimaan awal resusitasi
di UGD . Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk prospektif memvalidasi temuan ini dan
kemudian mengidentifikasi dan menguji strategi pengobatan baru yang ditargetkan pada
tanda tersebut keparahan penyakit.

Vous aimerez peut-être aussi