Vous êtes sur la page 1sur 19

Abstrak

Dunia modern dewasa ini ditandai dengan berbagai kemajuan dan perkembangan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi, khususnya dalam bidang Teknologi Reproduksi. Tentu saja, laju
perkembangannya mempengaruhi sikap dan cara pandang manusia terhadap dunia dan segala
isinya. Teknologi di bidang reproduksi ini menawarkan berbagai cara untuk mendapatkan anak
secara aseksual, tanpa persetubuhan seorang pria dan wanita, salah satunya ialah teknik kloning.
Keberhasilan teknik kloning ini menerapkan ilmu dan teknologinya mulai dari makhluk hidup
yang paling rendah hingga lahirnya seorang anak manusia bernama Eve sungguh
menggemparkan hati masyarakat dunia, termasuk Gereja Katolik.
Berbagai reaksi, pandangan dan pendapat muncul atas masalah etis teknik kloning. Pihak yang
mendukungnya akan bersikap antusias menyambut sumbangan dan manfaat teknik ini.
Sementara pihak yang menolaknya, terutama Gereja Katolik, memandangnya sebagai suatu
permasalahan besar. Alasan mendasar ialah teknologi reproduksi secara kloning ini menjadikan
manusia sebagai obyek kemajuan teknologi. Dengan demikian, keluhuran martabat hidup
manusia disangkal. Gereja Katolik dengan tegas mengatakan bahwa satu-satunya pintu dan dasar
prokreasi manusia ialah hanya lewat persetubuhan antara seorang pria dan seorang wanita yang
telah mengikatkan diri dalam sakramen perkawinan.
Sekilas tentang Teknologi Reproduksi[1]
Teknologi Reproduksi adalah suatu teknologi yang bertujuan menciptakan manusia secara
aseksual untuk membantu pasangan-pasangan yang tidak mempunyai anak karena terhalang
berbagai masalah terkait dengan reproduksi. Teknologi reproduksi menawarkan empat cara
mendapatkan anak tanpa melalui persetubuhan seorang pria dan wanita, yakni:
Pertama, Pembenihan Buatan (Artificial Insemination), yakni pengadaan anak dengan
memasukkan sperma ke dalam rahim wanita yang sedang subur. Teknik ini ada tiga jenis:
Pertama, AIH (Artificial Insemination by Husband), yakni pembenihan yang bersifat homolog.
Artinya, sperma berasal dari suami yang telah mengikatkan diri dalam perkawinan dengan
istrinya. Kedua, AID (Artificial Insemination by Donor), yakni pembenihan yang bersifat
heterolog. Artinya, sperma berasal dari pendonor sperma. Ketiga, Pembenihan Campuran antara
AIH dengan AID.
Kedua, Program Bayi Tabung (In Vitro Fertilization), yakni teknik pengadaan anak dengan cara
penggabungan sperma dan sel telur di dalam beberapa tabung yang berisi cairan makanan sampai
menjadi embrio-embrio. Setelah disortir, dua atau tiga embrio yang paling bagus dimasukkan ke
dalam rahim ibu pemberi sel telur dengan harapan seorang anak yang sehat akan lahir.
Ketiga, Ectogenesis, yakni pengadaan anak dengan cara pembuahan dan pengembangan janin
dalam tabung. Tahapannya ialah embrio yang baik yakni hasil pembuahan dalam tabung
fertilasi dipindahkan ke dalam tabung yang lebih besar dan canggih, yang kemudian berfungsi
sebagai rahim buatan.

Keempat, Kloning, yakni teknik reproduksi aseksual, di mana terjadi penciptaan


individu/manusia di luar rahim induknya. Gen individu/manusia tersebut merupakan salinan
identik dari gen induk/manusia sebelumnya. Ada dua tipe kloning yaitu kloning terapeutik dan
kloning reproduktif. Perbedaan di antara keduanya terletak pada tujuan kedua tipe kloning ini.
I. KLONING MANUSIA
1. Pengertian dan Sejarah Perkembangan Kloning
1.1 Terminologi dan Pengertian Kloning[2]
Secara hurufiah, Kloning berasal dari kata klon, klonos (bahasa Yunani), yang berarti
kecambah, tunas, cabang, ranting muda.[3] Dalam bahasa Inggris, istilah kloning dipakai
dalam beberapa bentuk kata, yaitu clone (kata kerja: mengklon), cloner (kata benda: orang yang
mengklon), clonal (kata sifat: bersifat kloniah) dan clonally (kata keterangan: secara kloniah).[4]
Secara umum, kata kloning dipakai dalam bidang yang menunjukkan cara reproduksi aseksual,
misalnya cara reproduksi sel dengan membelah diri, menanam singkong dengan stek. Ada juga
yang memakai kata kloning sebagai proses yang disebut dengan twinning (kembar), yakni
apabila sebuah sel telur yang dibuahi oleh sel sperma dan dalam perkembangannya memecahkan
diri menjadi dua embrio atau lebih. Dalam bioetika, istilah kloning dipakai secara umum untuk
memperlihatkan berbagai macam prosedur yang menghasilkan genetik yang sama persis dengan
induk biologisnya, semacam fotocopy[5].
Dengan demikian, kloning dapat didefinisikan sebagai bentuk proses secara aseksual untuk
memproduksikan dua atau lebih individu/makhluk hidup yang identik secara genetik. Secara
mendetail, kloning dapat dibedakan dalam dua bentuk[6], yakni Jenis pertama ialah
penggandaan satu embrio dalam stadium dini sejak awal melalui pembagian sel tunggal menjadi
kembar dengan bentuk identik. Jenis kedua ialah pertukaran inti sel sebuah sel telur dengan inti
sel seekor hewan yang telah dewasa. Telur /embrio yang ditangani sedemikian akan dipindahkan
dalam uterus induk dan di sana bertumbuh kembang. Artinya, dalam sel tunggal, dikeluarkan sel
genetik yang dapat ditukar dengan sel genetik lain. Setiap sel telur mempunyai satu set
kromosom, namun setiap sel tubuh mempunyai dua set kromosom. Melalui manipulasi ini, sel
telur memperoleh banyak kromosom, yang sebenarnya diperoleh pada saat sel telur dibuahi.
1.2 Sejarah Perkembangan Kloning[7]
Sejarah perkembangan kloning ini sebenarnya telah dikenal sekitar tahun 1930-an, yakni kloning
pada tumbuhan. Teknik kloning pada tumbuhan ini dilakukan dengan menempelkan pucuk
ranting pohon induk ke calon batang-batang bawah, misalnya dengan sistem penyetekan atau
pencangkokan. Selanjutnya, muncul teknik yang menggunakan kultur jaringan. Teknik ini
menggunakan sel-sel yang berasal dari jaringan tanaman dewasa seperti pucuk daun atau akar,
kemudian dibiakkan pada medium biak tertentu. Hasilnya ialah sel-sel yang tidak terdeferensiasi.
Selanjutnya, apabila sel-sel tersebut dibiakkan pada medium yang mengandung hormon-hormon
dari tanaman tertentu, maka akan menghasilkan anak tanaman yang lengkap dengan akar, batang
dan daun. Pada tahun 1952, Robert Briggs dan Thomas King berhasil mengadakan penelitian

tentang kemungkinan penerapan teknik kloning pertama pada hewan, yakni berupa kloning dari
sel kecobong; selanjutnya, pada bukan Agustus 1975, Dr. John Gurdon, ilmuwan Amerika,
berhasil mengklon katak dari sel-sel kecebong.
Perkembangan demi perkembangan semakin menuju tingkat yang lebih tinggi. Pada 23 Februari
1997 ketika Dr. Ian Wilmut, dkk, peneliti dari Roslin Institute di Edinburg, Skotlandia,
mengumumkan bahwa ia telah berhasil mengklon dari sebuah sel biri-biri dewasa, yang
diberinya nama Dolly. Tanggal 24 Juli 1997, Ilmuwan Inggris juga berhasil mengklon seekor
domba, yang diberi nama Polly.[8] Keberhasilan pengklonan Polly lebih canggih dibandingkan
dengan pengklonan pada Dolly, sebab proses kloning pada Polly dilakukan dengan
menambahkan gen manusia di dalamnya. Dari segi medis, kloning hewan sangat bermanfaat
untuk penyediaan hewan trans-genik.
Antusiasme sekaligus was-was atas peristiwa yang lebih mengejutkan lagi semakin mencapai
puncaknya. Klon pertama manusia dirancang pada November 1998 oleh American Cell
Technologies, yang berasal dari sel kaki manusia dan sebuah sel lembu yang DNA-nya
dipindahkan. Setelah 12 hari, klon ini rusak.[9] Pada bulan November 2001 ketika para peneliti
Advanced Cell Technology berhasil mengkloning embrio manusia. Pada bulan April 2002
diumumkan bahwa janin hasil embrio kloning tersebut telah memasuki umur dua bulan dalam
kandungan. Sayang, tidak dipublikasikan kelanjutan dari eksperimen tersebut. Akhirnya, dunia
kembali dikejutkan dengan berita yang dikeluarkan oleh Clonaid, sebuah lembaga bioteknologi
di Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa telah lahir seorang anak manusia hasil teknik
kloning, yang diberi nama Eve. Berita selanjutnya tentang Eve, atau pun informasi sejenisnya
hingga kini masih belum diberitakan.[10]
2. Teknik Kloning[11]
2.1 Embryo Splitting (Pembelahan Embrio).
Teknik ini berasal dari embrio hasil pembuahan sel telur dan sel sperma. Apabila embrio berada
pada tahap di mana embrio sudah berumur hingga tiga hari, terdiri 2-8 sel dan masih belum
menempel pada dinding rahim, maka masing-masing sel akan menjadi individu. Individuindividu yang berasal dari cara ini akan memiliki kesamaan genetis kendati tidak memiliki
kesamaan dengan induknya. Embryo Splitting ini dikembangkan dengan tujuan: pertama,
menyediakan sejumlah embrio untuk ditanam di dalam rahim. Hal ini menjadi solusi manakala
embrio yang sudah ditanam sebelumnya di dalam rahim mengalami kegagalan, maka si wanita
tidak harus menjalani seluruh proses perawatan untuk mendapatkan sel telur. Kedua, untuk
mendapatkan dua atau lebih embrio yang kembar-identik supaya salah satunya bisa digunakan
untuk penyelidikan kemungkinan penyimpangan genetis dan memperbaikinya pada embrio
lainnya. Proses Embryo Splitting ini terjadi pada anak kembar yang berasal dari satu sel telur.
2.2 Recombinant DNA Technology (Gene Kloning).
Gene Kloning merupakan penggabungan antara gen yang akan diklon dengan vektor (bisa
dengan Plasmide, bacteriophage, Yeast Artificial Cosmide, dan sebagainya). Kemudian, DNA
baru ini diletakkan dalam organisme yang cocok, misalnya Escherrichia Coli yakni bakteri yang

ada dalam pencernaan manusia. Gen-vektor itu akan tumbuh dengan multiplikasi di dalam
organisme itu sehingga menjadi banyak dan terjadilah kloning sel, yakni sel-sel yang mempunyai
kesamaan secara genetis. Recombinant DNA Technology ini sudah lama dilakukan untuk
memproduksikan bahan farmasi kedokteran.
2.3 Somatic Cell Nuclear Transfer.
Somatic Cell Nuclear Transfer ini dilakukan dengan mengambil inti sel somatis dari sebuah
obyek biologis yang sudah dewasa, lalu ditanamkan ke dalam sebuah sel telur yang sudah
dibuang inti selnya. Selanjutnya, pertumbuhannya dalam medium dirangsang dengan aliran
listrik, sebagaimana biasanya terjadi dalam pembuahan biasa. Kemudian embrio itu dimasukkan
ke dalam rahim wanita yang sudah dipersiapkan untuk menerima dan memperkembangkan
embrio kloning itu.
3. Beberapa Keuntungan dari Tujuan Pengembangan Kloning Manusia
3.1 Tujuan Kloning Manusia
Sebagai reproduksi aseksual, dalam teknik kloning ini terjadi penciptaan manusia yang memiliki
gen yang berupa salinan identik dari gen manusia yang menjadi donornya. Manusia yang
dilahirkan persis sama dengan induknya. Ada dua tipe kloning manusia[12]. Kloning tipe
pertama adalah Kloning Terapeutik, yang melibatkan sel-sel kloning dari seorang dewasa.
Kloning ini digunakan untuk pengobatan dan juga area aktif riset, yakni guna penelitian ilmiah.
Kloning tipe kedua yakni Kloning Reproduktif, yang melahirkan manusia yang dikloning. Selain
itu, ada juga kloning tipe lain, yaitu Replacement Kloning, yang berupa gabungan antara Kloning
Terapeutik dan Kloning Reproduktif. Artinya, bagian-bagian tubuh yang rusak atau tidak
berfungsi lagi dikloning dengan disertai pencangkokan seluruh atau sebagian dari otak manusia.
Semula diadakan kloning dengan maksud terapeutik. Setelah itu, beberapa stem sel embrio
diambil dan dikembangkan untuk membuahkan penggandaan jaringan sel.
Perbedaan dari kedua tipe kloning manusia di atas dapat ditinjau dari tujuan tipe-tipe kloning itu
sendiri. Tujuan dari Kloning Terapeutik adalah untuk memperoleh embrio sintetis atau
kelompok sel dan untuk mengambil sel induk tanpa implantasi embrio dari rahim ibu.
Sedangkan tujuan dari Kloning Reproduktif adalah untuk memperoleh keturunan manusia dan
untuk merencanakan teknik yang lebih efektif untuk produksi prokreasi dengan bantuan.
3.2 Beberapa Keuntungan dari Tujuan Pengembangan Kloning Manusia[13]
3.2.1 Sebagai Solusi atas Permasalahan Reproduksi
Dewasa ini, banyak pasangan yang secara medis sulit mendapatkan keturunan. Kehadiran dan
sumbangan dari berbagai teknologi reproduksi, khususnya teknik kloning manusia dipandang
sebagai alternatif untuk mendapatkan keturunan bagi pasangan yang secara medis tidak mungkin
mendapatkan keturunan. Para Feminis Ekstrem dan Wanita Karier bisa mendapatkan anak tanpa
campur tangan laki-laki. Kaum Homoseksual (Gay dan Lesbian) dapat memiliki anak tanpa
harus mempunyai pasangan jenis kelamin lain.

3.2.2 Produksi Organ Tubuh Untuk Transplantasi.


Masalah fenomenal dalam bidang kesehatan dewasa ini ialah kekurangan suplai transplantasi
organ. Kekurangan suplai transplantasi organ tersebut mengakibatkan banyak orang meninggal
dunia karena salah satu organ/jaringan pada tubuhnya rusak/sudah mati dan tidak berfungsi lagi.
Kloning dipandang sebagai salah satu alternatif yang memungkinkan untuk suplai anggota tubuh.
Usaha mendapatkan organ transplantasi, para ahli mencoba mengembangkan kemungkinan
kloning untuk mendapatkan bayi tanpa kepala. Tujuannya ialah dengan tiadanya kepala (otak),
organ tubuh dari manusia hasil kloning tersebut dapat digunakan sebagai sumbangan
transplantasi organ tubuh. Misalnya saja, orang tua bisa mengklon dirinya dengan harapan bahwa
anak hasil kloning ini bisa mendonorkan bagian tubuhnya untuk menyelamatkan anak yang sakit
itu, karena anak hasil kloning itu tidak jauh berbeda secara genetis dengan anak yang
membutuhkan suplai organ tersebut.
3.2.3 Menciptakan Manusia Unggul
Anak yang cerdas dan pintar, tampan atau cantik, dan berbagai keunggulan dan keutamaan
lainnya merupakan dambaan setiap orang tua. Kebanyakan orang tua menempuh berbagai usaha
untuk tercapainya impian tersebut, misalnya melakukan pre natal diagnosis, yakni pemeriksaan
kesehatan dan jenis kelamin bayi yang masih di dalam kandungan. Dengan pemeriksaan ini,
orang tua sudah mengetahui tentang si bayi sebelum lahir, entah sehat atau cacat; apakah bayi
mempunyai penyimpangan atau kerusakan gen secara genetis, dan sebagainya. Adalah suatu
kenyataan bahwa dewasa ini masih terdapat orang tua yang tega melakukan tindakan aborsi
hanya karena impian tersebut tidak tercapai. Dengan demikian, bayi yang dilahirkan adalah
hanya bayi yang unggul dan berjenis kelamin yang sesuai dengan harapan sang orang tua,
sementara yang lain digugurkan.
Genotip bakat seseorang seperti manusia berintelektual tinggi, pemusik hebat, pengusaha sukses
dapat diduplikat dan diproduksi lewat teknik kloning, bahkan dapat diturunkan pada generasi
berikutnya. Singkatnya, teknik kloning dapat menciptakan kombinasi genetik terbaik pada
spesies manusia.
3.2.4 Menyediakan Bahan Riset
Teknik kloning dapat digunakan juga untuk menyediakan bahan-bahan penelitian, misalnya
penelitian tentang awal kehidupan bayi pada saat di dalam rahim. Untuk memenuhi kebutuhan
penelitian itu, para ahli kekurangan bahan dan sarana untuk itu, misalnya saja, di samping
adanya undang-undang tentang batasan atau larangan penggunaan janin sebagai bahan riset, juga
banyak orang tua, khususnya kaum ibu tidak rela kalau janinnya dijadikan sebagai obyek
penelitian.
Melalui teknik kloning ini, kendala yang dialami para peneliti bisa diatasi dengan menyediakan
suplai bahan riset yang lumayan memadai. Lewat teknik tertentu, Kloning dapat menghasilkan
embrio dari sel orang lain tanpa diketahui dan merasa kehilangan. Embrio yang memiliki
identitas biologi yang sama dengan induknya, akan mempermudah analisis dan koreksi genetika

serta dapat diterapkan pada bayi yang masih di dalam rahim sehingga akan lahir bayi yang bebas
dari penyakit keturunan.
3.2.5 Menghindarkan Penyakit
Di dalam sel manusia terkandung banyak sekali struktur yang sangat kecil dan berada di luar
nukleus (mitokondria). Mitokondria tersebut mengandung DNA, yakni mitokondria
Deoxyribounucleid Acids (mtDNA) tersendiri dan dapat bereproduksi di dalam sel. Oleh karena
itu, keabnormalan gen yang terkandung di dalam sel orang tua sangat memungkinkan untuk
diwariskan kepada anak yang akan dilahirkan secara alamiah. Secara alamiah, anak yang lahir
akan mewarisi penyakit orang tuanya. Di samping keabnormalan gen orang tua, penyakit
keturunan juga dapat disebabkan oleh abnormalitas mtDNA yang ada di dalam mitokondria
orang tua, khususnya yang berasal dari si ibu yang mengandung dan melahirkannya. Baik sel
telur maupun sel sperma masing-masing mengandung mitokondria. Pada saat terjadinya
fertilisasi, mitokondria sel sperma tidak masuk ke dalam sel telur, melainkan hanyalah
nukleusnya saja yang melebur dengan sel telur. Maka, yang bisa menurunkan penyakit kelainan
gen mitokondria ialah hanya ibu.[14]
Kedua masalah penyakit keturunan ini dapat diatasi lewat teknik kloning. Caranya ialah dengan
membuang mitokondria dari sel telur yang mengalami abnormalitas gen, baru kemudian nukleus
dari sel sperma dimasukkan/dileburkan ke dalam sel telur yang sehat.
3.2.6 Seleksi Jenis Kelamin
Dengan teknik kloning, Keinginan dan harapan orang tua untuk mendapatkan seorang anak yang
berjenis kelamin tertentu, misalnya seorang anak laki-laki atau seorang anak perempuan, dapat
terpenuhi sesuai dengan keinginannya. Kalau ingin mendapatkan seorang anak laki-laki maka
yang diklon ialah si ayah, sebab laki-laki hanya mengandung kromosom XY. Sebaliknya, kalau
ingin mendapatkan seorang anak perempuan, maka yang diklon ialah si ibu, sebab perempuan
hanya mengandung kromosom XX.[15]
3.2.7 Immortalitas dan Bisnis[16]
Dalam sejarah, banyak manusia yang berkeinginan untuk mengabadikan dirinya lewat karyakarya yang spektakuler, misalnya dengan tulisan-tulisan bermakna. Dewasa ini pun banyak orang
bercita-cita untuk mengabadikan dirinya, bahkan seluruh jiwa dan raganya. Harapan manusia itu
dapat terpenuhi lewat teknologi kloning, yakni dengan mengkloning dirinya. Dengan cara
demikianlah ia mengabadikan seluruh dirinya dalam manusia hasil kloning dirinya.
Selain unsur immortalitas, manusia dapat melakukan bisnis besar-besaran lewat teknologi
reproduksi secara kloning, seperti halnya dalam bidang IVF (bayi tabung). Seiring dengan
program IVF, tumbuh juga klinik jasa penyedia sel telur (bank sel telur) bagi orang yang tidak
mempunyai sel telur atau orang yang menginginkan anak seperti yang diharapkannya. Donor sel
telur mulai dipakai pada tahun 1984. Selain bank sel telur, Perusahaan yang bergerak dalam jasa
bank sperma juga menjadi lahan bisnis yang cukup besar labanya. Mereka menawarkan jasa
untuk membekukan sperma dan dipakai untuk membuahi ovum istrinya, atau malah dijual untuk

orang yang membutuhkannya entah untuk menciptakan manusia baru atau untuk keperluan
bahan riset.
II. SIKAP GEREJA KATOLIK ATAS KLONING MANUSIA
1. Pengantar
Dengan akal budinya, manusia dapat memproduksi manusia lain dengan mengolah gen manusia.
Berhadapan dengan teknik kloning manusia sebagai teknologi reproduksi, apakah dibenarkan
kalau kemajuan teknologi menghasilkan dan/atau menggunakan embrio manusia untuk
menyiapkan sel-sel induk embrio? Bukankah embrio itu sesosok pribadi yang berhak hidup dan
semestinya dihormati? Bukankah tindakan ini bertentangan dengan hak dasar Allah sebagai
Pencipta?
Gereja Katolik tetap tidak menerima prosedur obyektivisasi manusia, sebab manusia adalah
subjek dalam dirinya yang tidak pernah boleh diobjekkan. Hingga kini, Kode Etik Internasional
menolak kloning manusia karena prosedur yang ditempuh tidak menghargai manusia sebagai
manusia yang seharusnya dikandung dalam rahim seorang ibu.[17]
Ajaran Kristiani mengajarkan bahwa Allah adalah Pencipta langit dan bumi, segala isinya, baik
yang kelihatan maupun yang tak kelihatan. Orang kristiani mengimani bahwa manusia adalah
ciptaan yang paling mulia di antara segala ciptaan. Manusia adalah citra wajah Allah.
2. Beberapa Masalah Etis dari Tujuan Pengembangan Kloning Manusia[18]
Bersamaan dengan berbagai manfaat/keuntungan yang disumbangkannya kepada manusia,
teknologi kloning manusia juga mendatangkan masalah etis. Pengobjekan manusia dalam
teknologi kloning ini mengakibatkan pengingkaran terhadap martabat manusia dan penyangkalan
terhadap prokreasi manusia. Beberapa masalah etis dari pengembangan kloning manusia ini
ialah:
2.1 Pengingkaran terhadap Martabat Hidup Manusia
2.1.1 Hilangnya identitas diri dan keunikan individu sebagai manusia
Untuk menerapkan ilmu dan teknologinya, teknik kloning memandang manusia tidak lebih
daripada sekadar obyek dan sarana penelitian. Manusia diciptakan dan diprogram sedemikian
rupa seturut keinginan dan selera si pengklonnya, baik dalam segi fisik (misalnya manusia
bermata biru, hidung mancung, dan sebagainya) maupun dari segi psikis (misalnya manusia yang
tanpa rasa menyesal diprogram sedemikian rupa sehingga menjadi pembunuh berdarah dingin,
dan sebagainya). Apa jadinya manusia hasil kloning ini? Identitas diri dan keunikannya sebagai
manusia hilang direnggut oleh si pembuatnya.[19]
Secara biologis, setiap manusia memiliki keunikan genom alamiahnya sendiri. Identitas biologis
inilah yang membentuk identitas seseorang sebagai manusia yang bebas dan unik. Sebaliknya,
teknik kloning menghancurkan identitas diri dan keunikan manusia. Orang tidak lagi

menyebutnya manusia yang unik sebab ia mempunyai kembaran identik, yakni orang yang
menjadi donornya. Baginya, dunia bukan suatu surprise, karena ia dapat mengetahui nasib dan
masa depannya dalam diri induknya/kembarnya.
2.1.2 Masalah teknis dan risiko kesehatan penggunaan sel-sel induk hasil kloning
Sampai saat ini, teknik yang dipakai dalam kloning sangat tidak efektif. Hal itu dikemukakan
oleh DR. Ian Wilmut sendiri dalam sebuah konferensi tentang kloning binatang yang
berlangsung bulan Juli 1997. Dari percobaan yang menghasilkan Dolly itu ia mengungkapkan
bahwa ovum yang dipakainya berjumlah 434 buah, sementara ovum lainnya gugur dalam proses
operasionalnya.[20] Inilah keterbatasan teknologi.
Kerusakan atau deviasi yang salah dari gen manusia yang berjumlah ratusan ribu itu bisa
mengakibatkan cacat atau penyakit keturunan yang menjadi penderitaannya seumur hidup.
Risiko dan cacat dalam kloning masih sangat besar sehingga tidak sebanding dengan penyakit
yang akan dihindari dari kloning itu. Berdasarkan pengalaman DR. Ian Wilmut di atas, maka
apabila teknik ini diterapkan pada manusia, besar kemungkinan akan terjadi banyak pengorbanan
embrio manusia. Karena itu, risiko yang sangat besar akan dialami oleh manusia kloning itu
sendiri.
2.1.3 Ketidakadilan Sosial
Dewasa ini, kesenjangan antara si kaya dengan si miskin semakin mewarnai kehidupan
bermasyarakat. Dengan kemajuan di bidang kloning manusia ini, kesenjangan itu sungguh
semakin ditampakkan. Dalam hal untuk mendapatkan anak, setiap manusia memiliki hak yang
sama. Akan tetapi dengan biaya yang begitu besar dalam operasional kloning manusia,
kesempatan tersebut terbatas hanya bagi orang kaya saja. Selain itu, uang yang dihamburkan
untuk menciptakan manusia kloning merupakan ungkapan kecongkakan hati kebutaan hati
manusia terhadap begitu banyak anak-anak terlantar yang tidak mempunyai perlindungan dan
penghidupan yang layak.
2.2 Penyangkalan Terhadap Prokreasi Manusia
2.2.1 Masalah Prokreasi
Secara alamiah, setiap manusia mempunyai hak untuk dikandung secara natural. Anak yang lahir
secara natural mendapatkan faktor keturunan dari percampuran gen kedua orang tuanya, yakni
23 kromosom dari ibunya dan 23 kromosom dari ayahnya. Sebaliknya, faktor keturunan dalam
teknik kloning jauh lebih sedikit dibandingkan dengan anak yang lahir dari persetubuhan orang
tuanya. Peniadaan peran orang tua langsung dalam prokreasi manusia ini menyebabkan si anak
tidak mendapatkan percampuran genetis sama sekali. Ia hanya memiliki faktor keturunan yang
persis sama dengan induknya, sehingga penyakit keturunan induknya menjadi penyakit
keturunan si anak dan sudah pasti tidak akan mendapatkan perbaikan gen. Kendati sudah ada
rekayasa genetika, namun kerusakan dan kesalahan genetis yang belum diketahui masih jauh
lebih banyak daripada yang bisa diperbaiki.

Selain itu, anak hasil kloning mengalami kerentanan terhadap mutasi dan kesalahan dalam
pembelahan sel serta penyakit genetis yang disebabkan oleh faktor lingkungan, misalnya
sindrom Herniske-korsakoff. Sindrom ini menyebabkan kehilangan enzim transketolase (yakni
enzim yang mengatur atau memfilter vitamin B1 ke dalam otak) dalam sel-selnya, sehingga
menimbulkan kegilaan bagi manusia kloning tersebut. Lebih parah lagi, teknik kloning ini
membuka lebar-lebar jalan terjadinya erosi kehidupan keluarga. Anak yang lahir dari kloning
akan menjumpai kesulitan dalam relasi kekeluargaan. Identitas dan statusnya sebagai anak
menjadi tidak jelas; Dia itu anak siapa? Secara genetis, sangatlah mungkin bahwa yang
melahirkannya ialah kakeknya (ayah dari orang yang mengangkatnya sebagai anak), atau
kembarnya. Mungkin juga ia diklon dari dua wanita yang berbeda, kemudian diimplantasikan
dalam rahim wanita yang berbeda pula, dan kemudian diasuh (karena wanita itu yang
memesannya) oleh wanita lain lagi.
2.2.2 Perendahan Martabat Wanita
Dalam kloning, terjadi degradasi harkat dan martabat wanita. Wanita yang adalah Eva, ibu dari
semua kehidupan, dipandang sebagai obyek biologis yang menjadi penyedia sel telur dan tempat
penitipan embrio atau sebagai sarana atau alat laboratorium tempat percobaan-percobaan
dilangsungkan. Dengan kata lain, menggunakan manusia dalam penelitian untuk ambisi ilmiah
adalah pelanggaran berat terhadap perhatian dan cinta kasih, yang seharusnya diberikan
seseorang terhadap pribadi lain.[21]
3. Sikap Gereja Katolik Atas Kloning Manusia
3.1 Martabat Hidup Manusia di Hadapan Allah
3.1.1 Martabat Embrio Manusia
Hidup manusia tidak hanya dilihat pada saat manusia sudah dewasa, tetapi kehidupan manusia
sudah ada sejak selesainya proses pembuahan. Hal itu ditandakan dengan adanya gerakan,
kemampuan untuk berkembang biak, tumbuh dan berkembang. Ada tiga pendapat yang berbeda
tentang saat kapan mulainya hidup seorang manusia[22], yaitu: pertama, Hidup seorang manusia
sudah dimulai sejak terbentuknya sel pertama hasil pertemuan sperma suami dan sel telur istri.
Kedua, Hidup seorang manusia baru mulai sekitar 11 hari setelah pembuahan, yakni ketika mulai
muncul individualitas yang jelas, ketika kumpulan sel-sel itu tidak mungkin lagi terpisah menjadi
beberapa anak kembar. Ketiga, hidup khas manusia baru muncul ketika embrio berusia sekitar
20-40 hari, yakni bila embrio itu sudah berhasil membentuk otak dalam dirinya.
Di antara ketiga pendapat tersebut, kebanyakan tenaga medis mengikuti pendapat pertama.
Alasannya ialah: a). Mampu berkembang dengan kekuatan sendiri, yakni dengan membelah diri
secara terus-menerus (potensi kembar), sambil berjalan menuju rahim ibunya; b). Sel yang hidup
itu sudah dapat dikatakan manusia karena memuat jumlah kromosom yang biasa termuat dalam
sel-sel manusia yang normal, yakni 46 kromosom (23 kromosom ayah + 23 kromosom ibu) yang
terdiri dari 44 kromosom otosom pembawa watak dan 2 kromosom penentu jenis kelamin. Sel
pertama itu pun sudah memiliki jenis kelamin.

Sebagai kesimpulan sementara, Gereja Katolik menghormati dan melindungi hidup manusia
sejak pembuahan. Pandangan ini sekurang-kurangnya sebagai prinsip umum dan yang paling
aman, hingga akhirnya muncul pandangan yang benar tentang saat mulainya hidup seorang
manusia.
3.1.2 Hidup sebagai Nilai Dasar yang Tertinggi dan Hak Azasi
Hidup sebagai nilai dasar yang tertinggi mengandung makna bahwa hidup merupakan syarat
utama bagi nilai-nilai lainnya.[23] Artinya, hanya lewat hidup, manusia dapat menikmati nilainilai lain dalam kehidupannya. Pernyataan sedunia tentang Hak Asasi Manusia dan Kongregasi
Ajaran Iman menyatakan bahwa hak pertama dan dasariah bagi manusia adalah hak untuk hidup.
Hidup manusia harus diperjuangkan, dihormati dan dilindungi terhadap bentuk baru seranganserangan yang melawan martabat manusia yang muncul dari kemajuan ilmiah dan teknologi.[24]
3.1.3 Manusia sebagai Citra Allah
Dalam Kej 1:27 dikemukakan maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya,
menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.
Atas kehendak-Nya sendiri, Allah menciptakan manusia secitra dengan-Nya. Penciptaan manusia
menurut citra Allah merupakan dasar, harkat dan martabat manusia. Manusia ambil bagian dalam
martabat Allah. Maka, kehidupan manusia itu selayaknya harus dihormati dan dijunjung tinggi
sebagai citra Allah dan Bait Roh Kudus. Karena itu, manusia memiliki jiwa yang bersifat rohani
dan kekal abadi.[25]
Tujuan penciptaan manusia seturut citra Allah adalah supaya manusia itu beranak cucu,
bertambah banyak, memenuhi bumi dan ikut serta membangun dunia (Kej 1:28). Tugas
perutusan manusia itu berasal dari kuasa Allah itu sendiri. Artinya, manusia ambil bagian dalam
kuasa Allah. karena itu, manusia sepenuhnya tergantung dari kuasa Allah. Manusia ditugaskan
oleh Allah untuk menghargai, menjunjung tinggi martabat sesamanya manusia dan mencintai
anugerah Allah yang begitu mulia itu, yakni Hidup.[26]
Allah mengutus Putra Tunggal-Nya, Yesus Kristus ke dunia untuk menyelamatkan manusia dari
dosa-dosanya. Yesus menebus manusia lewat sengsara, wafat dan bangkit pada hari ketiga.
Dengan pengorbanan Yesus ini, manusia menjadi ciptaan baru, menjadi milik Allah sendiri dan
menjadi Bait Roh Kudus (bdk. I Kor 6:19). Pemahaman yang baik dan benar akan pengertian ini
mendorong manusia untuk menghargai hidup manusia dan tidak mengorbankannya lewat
kemajuan IPTEK dalam teknologi reproduksi.
Konsili Vatikan II 1965, melalui dokumen Gaudium et Spes, mengungkapkan bahwa segala
sesuatu harus diarahkan kepada manusia sebagai pusat dan puncaknya, sebab manusia ditetapkan
oleh Allah menjadi tuan atas semua makhluk di dunia ini (GS 12). Oleh karena itu, tolak ukur
moral kegiatan manusia ialah bahwa kegiatan itu harus sesuai dengan rencana dan kehendak
Allah, mendukung kesejahteraan masyarakat, dan memungkinkan manusia mewujudkan
panggilannya seutuhnya.[27]
3.2 Perkawinan Sebagai Dasar Prokreasi Manusia Yang Sah

3.2.1 Dasar Biblis atas Hakikat Perkawinan[28]


Gereja katolik mengakui perkawinan sebagai sakramen, yakni tanda kehadiran Allah dalam
kehidupan manusia, yang secara konkret diperlihatkan lewat cinta masing-masing pasangan
dalam kehidupan berkeluarga. Dalam Gereja Katolik, perkawinan mempunyai tiga tujuan[29]
penting, yaitu: Pertama, Untuk memperoleh keturunan. Kedua, Sebagai persatuan erat suamiistri. Ketiga, Pemenuhan kebutuhan seksual secara benar.
Tradisi ini didasarkan pada Kitab Suci, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Teks-teks
biblis tersebut, antara lain: Pertama, Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada
mereka: Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu,
berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang
merayap di bumi (Kej 1:28). Kedua, Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka lakilaki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu
dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi
dua, melainkan satu (Mrk 10:6-8). Sehubungan dengan tujuan perkawinan sebagai pemenuhan
kebutuhan seksual secara benar, Rasul Paulus memberikan pandangannya tentang perkawinan
bahwa perkawinan juga merupakan sarana pemenuhan kebutuhan seksual itu (bdk I Kor 7:5).
3.2.2 Ajaran Vatikan tentang Makna Perkawinan
Hidup manusia sejak awal adalah kudus karena dihubungkan langsung dengan Allah, Sang
Pencipta sebagai pemilik hidup. Tak seorang pun berhak merusak atau menghancurkan hidup
anak manusia. Anugerah hidup ini diaktualisasikan dalam hubungan perkawinan, yaitu
persetubuhan suami dan istri. Adalah immoral bila menghasilkan embrio manusia untuk
dijadikan sebagai bahan uji coba, sebab keluhuran harkat dan martabat manusia haruslah dihargai
dan dihormati dalam dunia medis. Manusia tidak pernah boleh diinstrumenalisasi.[30]
Oleh karena itu, pada tahun 1987, Kongregasi untuk Ajaran Iman mengeluarkan Ajaran
Mengenai Asal Mula Hidup Manusia dan Martabat Prokreasi. Dokumen ini tertuju pada etika
tentang berbagai bentuk teknologi reproduksi. Ajaran ini mendasarkan kesimpulankesimpulannya pada sejumlah prinsip. Salah satu prinsip itu mengungkapkan bahwa satu-satunya
konteks yang pantas secara etis untuk prokreasi manusia adalah perkawinan yang hanya
melibatkan suami dan istri saja.[31]
Teknik kloning merupakan tindakan yang berlawanan dengan kesatuan dalam perkawinan,
martabat pasangan suami-istri, panggilan untuk menjadi orang tua yang pantas dan dengan hak
anak untuk diakui dan dilahirkan di dunia ini dalam dan dari perkawinan. Teknologi kloning
menyangkal hubungan erat antara makna kesatuan seksual suami-istri dalam perkawinan (Mrk
10:6-8) dengan makna prokreasi manusia, yakni keterbukaan pada kehadiran anak.[32]
Paus Yohanes Paulus II dalam Ensiklik Evangelium Vitae 1995 mengungkapkan keberatan
Gereja Katolik terhadap penggunaan teknologi canggih pada prokreasi manusia, termasuk teknik
kloning manusia[33]. Beliau mengatakan:

Pelbagai teknik pengadaan keturunan yang tampaknya seolah-olah melayani kehidupan,


sebenarnya membuka pintu bagi ancaman-ancaman baru terhadap kehidupan. Dari sudut moral,
teknik-teknik itu tidak dapat dibenarkan, karena teknologi tersebut memungkinkan terjadinya
prokreasi tanpa hubungan seks antara suami dan istri yang sah.[34]
III. PENUTUP
1. Rangkuman Umum
Kemajuan dan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam bidang teknologi
reproduksi, khususnya menyangkut teknologi kloning adalah suatu fenomena dilematis.
Fenomena dilematis itu tampak dalam sikap, pandangan dan pernyataan pro-kontra terhadap
teknologi kloning itu. Di satu sisi, kloning merupakan cerminan keingintahuan manusia untuk
mengenal rahasia alam semesta ini dan ekspresi kebebasan manusia atas akal budi yang
dianugerahkan Allah kepadanya. Teknik kloning menyumbangkan berbagai manfaat bagi
manusia. Di sisi lain, teknologi kloning menjadikan manusia sebagai obyek dan budak IPTEK.
Martabat hidup manusia dan hakikat perkawinan dikorbankan dan diinjak-injak oleh kerakusan
manusia untuk memajukan penemuan-penemuan spektakuler. Lebih dari itu, kloning
menimbulkan bencana yang melanda berbagai sektor kehidupan manusia, entah menyangkut
personal atau kolektif, baik dalam aspek hidup bermasyarakat maupun aspek religiositas.
Pada dasarnya, kloning merupakan instrumentalisasi. Manusia diobjekkan dan dijadikan sebagai
sarana uji coba untuk memajukan laju perkembangan IPTEK. Originalitas martabat dan hak
hidupnya sebagai pribadi dilecehkan. Kloning manusia memiskinkan manusia karena hanya
berasal dari satu gen saja. Kesuksesan teknik kloning menciptakan manusia tanpa percampuran
gen pria dan wanita dan tanpa melalui persetubuhan membuktikan bahwa gen manusia begitu
terbatas. Dengan demikian, kloning melawan secara fundamental persatuan antara pria dan
wanita dalam melahirkan seorang anak manusia di dunia ini.[35]
Berhadapan dengan kasus teknologi reproduksi ini, termasuk di dalamnya teknik kloning
manusia, Gereja Katolik bersikap tegas dan tanpa kompromi menolaknya. Alasan penolakan
Gereja katolik terhadap teknik kloning manusia ini ialah: Pertama, menyangkut martabat hidup
manusia; Kedua, menyangkut hakikat perkawinan. Gereja Katolik tidak membiarkan kedua hal
ini diinjak-injak oleh kecongkakan dan kerakusan manusia dalam memajukan IPTEK. Iman
Gereja Katolik menandaskan bahwa manusia adalah puncak (Kej 1:1-2:4a) dan pusat (Kej 2:4b25) segala ciptaan Allah.
2. Refleksi Kritis terhadap Pengadaan Manusia Secara Kloniah
2.1 Hidup Sebagai Anugerah
Hidup merupakan anugerah Tuhan yang amat berharga dan bernilai. Hidup manusia berasal
Allah. Hidup itu Karya-Nya, gambar dan meterai-Nya, keikutsertaan dalam nafas kehidupanNya. Oleh karena itu Allah satu-satunya Tuhan hidup itu; manusia tidak dapat
memperlakukannya sesuka hatinya[36]. Hidup manusia luhur dan tidak ada sesuatu pun yang
bisa menggantikan dan memberikan hidup (Mrk 8:37). Agar manusia hidup, Allah memberikan

dan menjamin segala hal bagi kelangsungan hidup manusia (Mat 6:25-32). Ini mengungkapkan
bahwa manusia tergantung secara total kepada penyelenggaraan Allah. Oleh karena itu, setiap
umat manusia dipanggil untuk memelihara dan melindungi kehidupan manusia sebagai salah
satu ungkapan rasa syukur atas anugerah tersebut.
2.2 Manusia Diciptakan Oleh Allah[37]
Nilai tubuh manusia didasarkan pada iman bahwa Tuhanlah yang menciptakan tubuh manusia.
Allah menciptakan manusia sebagai Citra-Nya dan memberikan kepada manusia martabat yang
lebih tinggi daripada makhluk ciptaan lainnya. Karya penebusan yang dilakukan Allah, melalui
dan dalam Putra-Nya Yesus Kristus, terhadap manusia menunjukkan besarnya cinta Allah bagi
manusia. Penebusan itu tidak hanya ditujukan bagi jiwa melainkan bagi manusia dalam
totalitasnya. Hal ini menunjukkan bahwa manusia sangat berharga di mata Tuhan. Dalam
peristiwa penebusan itu, Allah sendiri menjadi daging/manusia (roh 1:14). Sabda yang telah
menjadi daging menyingkapkan nilai tubuh manusia, yang pada masa eskatologis turut
dibangkitkan (I Kor 15:43; Kol 3:4; Flp 3:20).
( Tngni Zai)
DAFTAR PUSTAKA
Chang, William. Bioetika: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Daulay, Saleh Partaonan dan Maratua Siregar. Kloning dalam Persepktif Islam: Mencari solusi
Ideal Relasi Sains dan Agama. Jakarta: Teraju, 2005.
Dokumen Konsili Vatikan II. Diterjemahkan oleh R. Hardawiryana. Jakarta: Dokumentasi dan
Penerangan KWI, 1993.
Go, Piet. Hidup dan Kesehatan. Malang: STFT Widya Sasana, 1984.
Hadiwardoyo, Al. Purwa. Moral dan Masalahnya. Yogyakarta: Kanisius, 1990.
-. 7 Masalah Sosial Aktual: Sikap Gereja Katolik. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Higgins, Gregory C. 8 Dilema Moral Zaman ini: Di Pihak Manakah Anda?. Yogyakarta:
Kanisius, 2006.
Kusmaryanto, C.B. Problem Etis Kloning Manusia. Jakarta; Gramedia, 2001.
Mushoffa, Aziz dan Imam Musbikin. Kloning Manusia Abad XXI: Antara Harapan, Tantangan
dan Pertentangan. Yogyakarta: Forum Study HIMANDA, 2001.
Paus Yohanes Paulus II. Ensiklik Evangelium Vitae (Injil tentang Kehidupan). (Seri Dokumen
Gerejawi no. 41). Diterjemahkan oleh R. Hardawiryana. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan
KWI, 1995.

Peschke, Karl-Heinz. Etika Kristiani: Kewajiban moral dalam Hidup Pribadi, Jilid III (Judul
asli: Christliche Ethik, Spezielle Moraltheologie). Diterjemahkan oleh Alex Armanjaya, Yosef
M. Florisan, G. Kirchberger. Ledalero: Seminari Tinggi Ledalero-Maumere, 2005.

[1] A.P. Hadiwardoyo, Moral dan Masalahnya (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 30-34; bdk.
William Chang, Bioetika: Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 107-115;
[Penempatan poin no. 6 pada bab I ini merupakan inisiatif dari penulis dengan pertimbangan dan
masukan dari teman-teman mahasiswa.]
[2] William Chang, Bioetika, hlm. 113.
[3] William Chang, Bioetika, hlm. 113-114.
[4] C.B. Kusmaryanto, Problem Etis Kloning Manusia, (Jakarta: Gramedia, 2001), hlm. 1.
[5] C.B. Kusmaryanto, Problem Etis Kloning Manusia, hlm. 1-2; bdk. William Chang,
Bioetika, hlm. 116.
[6] William Chang, Bioetika, hlm. 113-114; bdk. K.H. Peschke, Etika Kristiani: Kewajiban
moral dalam Hidup Pribadi, jilid III (Judul asli: Christliche Ethik, Spezielle Moraltheologie),
diterjemahkan oleh Alex Armanjaya, et al., (Ledalero: Seminari Tinggi Ledalero-Maumere,
2005), hlm. 110-111.
[7] C.B. Kusmaryanto, Problem Etis Kloning Manusia, hlm. 1-2; bdk. A.P. Hadiwardoyo, 7
Masalah Sosial Aktual: Sikap Gereja Katolik, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 71-72.
[8] A. Mushoffa dan I. Musbikin, Kloning Manusia Abad XXI: Antara Harapan, Tantangan dan
Pertentangan (Yogyakarta: Forum Study HIMANDA,2001), hlm. 67-71. [Lihat S.P. Daulay dan
M. Siregar. Kloning dalam Persepktif Islam: Mencari solusi Ideal Relasi Sains dan Agama
(Jakarta: Teraju, 2005), hlm. 36-42.]
[9] William Chang, Bioetika, hlm.115.
[10] S.P. Daulay dan M. Siregar. Kloning dalam Persepktif Islam, hlm. 36-42; [Lihat A.
Mushoffa dan I. Musbikin, Kloning Manusia Abad XXI, hlm. 67-71.]
[11] C.B. Kusmaryanto, Problem Etis Kloning Manusia, hlm. 2-4.
[12] William Chang, Bioetika, hlm. 114-115.
[13] C.B. Kusmaryanto, Problem Etis Kloning Manusia, hlm. 21-32.
[14] C.B. Kusmaryanto, Problem Etis Kloning Manusia, hlm. 21-22.

[15] C.B. Kusmaryanto, Problem Etis Kloning Manusia,hlm. 25-26.


[16] Bdk. William Chang, Bioetika, hlm. 117-119.
[17] William Chang, Bioetika, hlm. 117-118.
[18] C.B. Kusmaryanto, Problem Etis Kloning Manusia, hlm. 33-63.
[19] K.H. Peschke, Etika Kristiani, hlm. 111.
[20] A. Mushoffa dan I. Musbikin, Kloning Manusia Abad XXI, hlm. 69-70.
[21] K.H. Peschke, Etika Kristiani, hlm. 252-257.
[22] A.P. Hadiwardoyo, Moral dan Masalahnya, hlm. 23-25; bdk. K.H. Peschke, Etika
Kristiani, hlm. 147-153.
[23] Paus Yohanes Paulus II, Ensiklik Evangelium Vitae 1995 (EV:Injil tentang Kehidupan) (Seri
Dokumen Gerejawi no. 41), diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan
Penerangan KWI, 1996), no. 2, (Untuk selanjutnya, disingkat EV diikuti nomor)
[24] EV 4.
[25] GS 14.
[26] EV 42.
[27] GS 35.
[28] Piet Go, Hidup dan Kesehatan (Malang: STFT Widya Sasana, 1984), hlm. 11-24.
[29] K.H. Peschke, Etika Kristiani, hlm. 326-330.
[30] William Chang, Bioetika, hlm. 113.
[31] G. C. Higgins, 8 Dilema Moral Zaman ini: Di Pihak Manakah Anda? (Yogyakarta:
Kanisius, 2006), hlm. 39.
[32] G. C. Higgins, 8 Dilema Moral Zaman ini, hlm. 40.
[33] A.P. Hadiwardoyo, 7 Masalah, hlm. 76-77.
[34] EV 14.
[35] William Chang, Bioetika, hlm. 116-117.

[36] EV 33.
[37] Piet Go, Hidup dan Kesehatan.., hlm. 33-34.

Rate this:

2 Votes

Bagikan:

Facebook

Twitter

Google

Email

Print

Related
MENGAPA GEREJA KATOLIK MELARANG ABORSI?In "Moral"
PANDANGAN GEREJA KATOLIK TERHADAP PERANGIn "Moral"
PANDANGAN GEREJA KATOLIK TERHADAP EUTANASIAIn "Moral"
aborsigereja dan aborsilarangan aborsi

Published by andosipayung
saya seorang eks biarawan kapusin yang studi filsafat dan teologi di STFT St. Yohannes. Apa
yang saya post di sini, kebanyakan adalah tugas-tugas matakuliah. Saya bukan seorang yang

sudah demikian ahli, tapi saya masih belajar. Segala masukan saya akan terima dengan senang
hati. salam. Pace e Bene. View all posts by andosipayung

Post navigation
Previous: Previous post: PANDANGAN GEREJA KATOLIK TERHADAP EUTANASIA
Next: Next post: MENGAPA GEREJA KATOLIK MELARANG ABORSI?

Leave a Reply

Beranda

Moral

Filsafat

Teologi

Liturgi

Spiritualitas

Kotbah/Renungan

Katekese

Varia

Simalungun

Lirik Lagu Batak

Beranda

Moral

Filsafat

Teologi

Liturgi

Spiritualitas

Kotbah/Renungan

Katekese

Varia

Simalungun

Lirik Lagu Batak

Cari
Search for:

Tulisan

1 (1)

Filsafat (10)

Lirik Lagu Batak (3)

Moral (12)

Pastoral (1)

Simalungun (3)

Teologi (13)
o Katekese (2)
o Kotbah/Renungan (1)
o Liturgi (2)
o Spiritualitas (2)

Varia (6)

Kalender Liturgi Gereja Katolik


imankatolik.or.id

Kalender bulan ini

Start here

About me

Arsip
Arsip

Vous aimerez peut-être aussi