Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Penilaian
Penilaian dari kesulitan jalan nafas pada pasien dimulai dengan riwayat
yang mudah dimengerti dan pemeriksaan fisik.
I.
II.
dapat
menyebabkan stenosis.
j. Setiap penyakit sistemik atau kongenital embutuhkan perhatian
khusus selama manajemen jalan nafas (mis. Kegagalan nafas,
penyakit arteri koronaria, akromegali, dll).
k. Pengkajian umum dapat memberikan informasi penting.
l. Infeksi dari jalan nafas (mis. Epiglottitis, abses, batuk, bronchitis,
pneumonia).
m. Kondisi fisik : kehamilan atau obesitas.
Penting untuk mengetahui kesulitan dalam ventilasi menggukan
masker seperti masker ventilasi yang terpenting. Beberapa factor
spesifik adalah (i) jenggot : kesulitan dalam menciptakan penguncian
menggunakan
masker/
mungkin
beberapa
abnormalitas
yang
3. Jarak mandibular
a. Jarak Thyromental (tes patil): yaitu sebagai jarak dari mentum ke
thyroid saat leher pasien ekstensi penuh. Pengukuran ini membantu
untuk menilai seberapa mudah sudut sumbuh akan jatuh dalam
garis dengan sumbuh faring ketika sendi atlanto-occipital ekstensi.
Penjajaran dari dua sumbuh ini sangat sulit jika jarak thyromental
< 3 jari atau < 6 cm pada orang dewasa; 6-6,5 cm yaitu jarak yang
sulit untuk dilakukan intubasi, sementara >6,5cm adalah normal.
b. Jarak Sterno-mental : Savva(1948) memperkirakan jarak dari
suprasternal ke mentum kemungkinan ada hubungan dengan kelas
mallampati, penonjolan rahang serta jarak antara gigi seri atas dan
bawah, jarak thyromental. Diukur dengan cara kepala ekstensi
penuh dan mulut tertutup. Jika pengukuran <12 cm dapat
diperkirakan kesulitan dalam intubasi.
c. Jarak mandibulo-hyoid : pengukuran dari panjang mandibular dari
dagu (mental) ke hyoid harus setidaknya 4 cm atau berjarak 3 jari.
Ditemukan bahwa laringoskopi menjadi lebih sulit jika jarak
vertical antara mandibular dan tulang hyoid meningkat.
Ame dkk membuat system skoring berbasis analisa multifaktorial. Bagian dari
indikator diatas oleh Wilson dkk, juga termasuk ada atau tidaknya patologis
jalan nafas. Sensitifitas dan spesifitas dari system ini adalah diatas 90%.
Penilaian jalan napas LEMON
Penilaian ini menilai nilai maksimal dari 10 poin dan dihitung dengan
menambahkan 1 poin dari setiap kriteria LEMON berikut ini:
L = Lihat secara eksternal (trauma pada wajah, gigi seri yang besar, jenggot
atau kumis, lidah yang besar.
E = Evaluasi aturan 3-3-2 (jarak gigi seri 3 jari, jarak hyoid-mental, jarak
thyroid ke mulut adalah 2 jari.
M = Mallampati (skor mallampati )
O = Obstruksi ( adanya kondisi seperti epiglottis, abses peritonsilar, trauma).
N = Neck (pergerakan leher terbatas)
Pasien dengan kesulitan intubasi mempunyai LEMON skor yang lebih tinggi.
untuk mengukur :
i.
ii.
iii.
iv.
sangat penting.
Dalamnya mandibular Anterior/posterior
White dan Kander (1975) telah menunjukkan bahwa jarak antara tulang
alveolus dibelakang molar 3 dan garis bawah dari mandibular merupakan
pengukuran penting untuk menilai kemudahan dalam laaringoskopi.
v. Jarak C1-C2
Ligament stylohoid ditandai dengan lipatan dari seluruh tulang hyoid
pada pemeriksaan radiologi. Laringoskopi menjadi sulit karena
ketidakmampuan untuk mengangkat epiglottis dari faring posterior dan
melekat dengan tulang hyoid oleh ligament hyo-epiglotis.
1. Floruoskopi untuk gambar dinamis (pergerakan tulang belakang, jalan
nafas atau cincin vascular).
2. Oesfagogram (inflamasi, benda asing, massa atau cincin vascular).
3. USG (penilaian dari massa mediastinum anterior, limfadenopati,
diferensiasi kista dari massa dan selulitis dari abses).
4. CT/MRI (kelainan kongenital, kompresi pada vaskularisasi jalan
nafas).
5. Intubasi video-optikal (mengombinasikan gambaran dari kemampuan
dengan penanganan dari alat intubasi).
D. Penilaian dari kesulitan jalan nafas pada penderita diabetes.
Penilaian dari kesulitan jalan nafas tidak sama pada penderita diabetes
dibandingkan dengan orang yang bukan penderita diabetes.
i. Palm print : pasien diminta untuk duduk; telapak tangan dan jari dari
tangan kanan diwarnai dengan tinta biru, pasien kemudian
menekan tangan pada kertas putih dan diletakan pada permukaan
keras. Dikategorikan sebagai :
Derajat 0 seluruh area falang dapat terlihat
Derajat 1 defisiensi dari area interphalang 4 dan 5
Derajat 2 defisiensi dari area interfalang 2 dan 5
Derajat 3 hanya ujung dari jari yang terlihat.
ii. Prayer sign: pasien diminta untuk menempelkan kedua telapak tangan
bersama:
Positive ketika ada jarak antara telapak tangan.
Negative tidak ada jarak antara telapak tangan.
E. Indikator kesulitan intubasi
Tanda klasik yang membuat operator kesulitan dalam intubasi dapat diringkas
sebagai berikut:
a. Fleksi-ekstensi yang kurang baik pada leher.
manuver
laringoskopi.
4. Bisakah pasien menekuk kepala dan gerekan ke kiri dan ke kanan?
- Untuk menilai pergerakkan leher.
Untuk pergerakan sendi Atlanto-occipital, pasien diminta untuk
meletakkan dagu ke dada, dekap tangan dibelakang leher, tekan ke
bawah dan coba gerakan ke atas.
seri yang maju, jarak dari gerakan sendi, kepala dan leher.
Ada atau tidaknya retraksi (suprasternal / sternal / infrasternal /
pernafasan
ekstratorakal,
suara
pada
saat
telah di teliti oleh Klopp dkk (1995). Klasifikasi mallampati bukan penentu dari
bentuk glottis selama laringoskopi pada pasien anak. Selain itu, klasifikasi
mallampati sering sulit dilakukan oleh karena tidak kooperatifnya bayi dan anak.
Jarak mandibular cocok untuk anak yang lebih besar. Nilai untuk thiromental,
hyomental dan mandibular horizontal tidak ada pada populasi anak. Pada kondisi
yang sulit ini para anestessiologi sering dihadapi pada kesulitan yang mungkin
dapat terjadinya kesulitan jalan nafas. Riwayat sebelumnya harus ditekankan
untuk persiapan untuk kesulitan jalan nafas.
Beberapa tes dapat dilakukan untuk menilai kesulitan jalan nafas pada
anak.
a. Radiografi untuk mengevaluasi nasofaring, faring, lesi subglotik dan
trakea.
b. CT scan dan MRI dapat mendeteksi atresia coanal, malformasi kelenjar
limfa dari leher, massa mediastinum dll.
c. Endoskopi langsung maupun tidak langsung dari jalan nafas atas maupun
bawah untuk penilaian fungsi dan diagnose dari nasofaring yang patologis,
supraglotik, glotik and area subglotik.
d. Fluoroskopi untuk menilai patologi seperti malasia jalan nafas tertuama
stridor, batuk dan disfagia.
e. USG untuk mengevaluasi fungsi dan penyakit jalan nafas, menilai
beberapa patologi.
f. Fungsi paru dipelajari dapar menilai informasi tentang passase jalan nafas.
Banyak kondisi medis, bedah dan sindrom kongenital diikuti dengan
kesulitan jalan nafas pada orang dewasa dan anak-anak. Teknik yang
digunakan untuk menilai jalan nafas sudah dipelajari pada orang dewasa.
Beberapa tes tersedia pada anak-anak. Teknik yang berguna pada dewasa
mungkin tidak dapat diaplikasikan pada bayi dan anak-anak dan tidak
kooperatifnya pasien untuk menggali informasi penting pada anak.
Kesimpulan
Tidak ada satu tes jalan nafas yang dapat menilai kesulitan jalan nafas. Oleh
karena itu harus dikombinasikan dengan beberapa tes. Baimanapun juga, pada
beberapa pasien dengan kesulitan jalan nafas sulit terdeteksi walaupun telah
dilakukan persiapan preoperative. Pada anestesiologi harus selalu siap dengan
berbagai cara dan latihan untuk penanganan jalan nafas pada kesulitan jalan nafas
yang tidak bisa diprediksi.
DAFTAR PUSTAKA
16. Londy F, Norton ML. Radiologic techniques for evaluation and management of
the difficult airway. In; Norton ML, Brown ACD, eds; Atlas of the difficult
airway. St. Louis; Mosby Yearbook Inc 1991; 55-66.
17. Samra SK, Schork MA, Guinto FC. A study of radiologic imaging techniques and
airway grading to predict a difficult endotracheal intubation. J Clin Anesth 1995;
7: 373-379.
18. White A, Kander PL. Anatomical factors in difficult direct laryngoscopy. Br J
Anaesth 1975; 47: 468-73.
19. Reissell E, Orko R, Maunuksela EL Lindgren L. Predictability of difficult
laryngoscopy in patients with long term diabetes mellitus. Anaesthesia 1990; 45:
1024-1027.
20. Nadal JLY, Fernandez BA, Ecsobar IC et al. Palm print as a sensitive predictor of
difficult laryngoscopy in diabetics. Acta Anaesthesiol Scand 1998; 42: 199-203.
21. McLennan S, Yue D, Marsh M et al. The prevention and reversibility of tissue
non-enzymatic glycosylation in diabetes. Diabetic Medicine 1986; 3: 141-146.
22. Cass NM, James NR, Lines V. Difficult direct laryngoscopy complicating
intubation for anaesthesia. Br Med J 1956; 1: 488.
23. Brechner VL. Unusual problems in the management of airways. 1. Flexionextension mobility of the cervical spine. Anesth Analg 1968; 47: 362.
24. Block C and Brechner VL. Unusual problems in airways management II. The
influence of the temporo-mandibular joint, the mandible and associated structures
on endotracheal intubation. Curr Res Anesth 1971; 50: 114.
25. McIntyre JWR. Continuing medical education : The difficult endotracheal
intubation; A prospective study. Can Anaesth Soc J 1985; 32: 429
26. Kopp VJ, Bailey A, Valley RD et al. Utility of the Mallampati classification for
predicting difficult intubation in paediatric patients. Anesthesiology 1995; 83:
A1146.
27. Gregory GA, Riazi J. Classification and assessment of the difficult paediatric
airway. Anesth Cl N America 1998; 16(4): 725-741.
Suggested Reading
1. Clinical Anaesthesia; Paul G Barash 4th edition, 2001; Lippincott Williams and Wilkins.
2. General anaesthesia; Collins VJ, Vol.1 :3rd edition, 1993.
3. Anesthesiology Clinics of North America; Vol.16, Number 4, Dec 1998.