Vous êtes sur la page 1sur 16

Pendahuluan

Kemampuan penanganan jalan nafas perlu diketahui oleh setiap tenaga


medis. Memelihara jalan nafas penting untuk oksigenasi yang adekuat dan
ventilasi, bahkan dalam waktu yang singkat dapat menyelamatkan nyawa.
Angka kejadian gangguan nafas merupakan kejadian yang paling sering
dalam bidang pembiusan, diikuti dengan kelainan gigi. Tiga penyebab tersering
dari kegagalan jalan nafas adalah ventilasi yang tidak adekuat, intubasi osofageal
dan kesulitan pada saat intubasi trakea. Kesulitan dalam intubasi trakea
merupakan 17% dari cedera pada jalan nafas dan berakibat pada peningkatan
morbiditas dan mortalitas. Faktanya 28% dalam bidang pembiusan yang berakibat
kematian adalah ketidakmampuan untuk ventilasi atau intubasi.
Istilah jalan nafas sekarang ini digunakan untuk menunjukkan jalan
nafas bagian atas yang biasa didefinisikan sebagai jalur udara ekstrapulmoner,
yang terdiri dari rongga hidung, dan rongga mulut, faring, laring, trakea dan
bronkus. Kesulitan jalan nafas yaitu salah suatu keadaan yang menyebabkan
gangguan dalam pertukaran udara melalui masker, jalan nafas buatan atau
keduanya. Yang perlu diketahui sebelum tindakan pembiusan, ada potensi untuk
terjadi kesulitan jalan nafas maka dibuatlah klinik kesulitan jalan nafas guna
persiapan yang optimal, pemilihan ala, teknik dan partisipasi dari tenaga medis
yang berpengalaman untuk penanganan kesulitan jalan nafas.

Penilaian
Penilaian dari kesulitan jalan nafas pada pasien dimulai dengan riwayat
yang mudah dimengerti dan pemeriksaan fisik.
I.

Riwayat : bidang medis, bedah atau factor pembiusan dapat menjadi


indikasi kesulitan jalan nafas. Beberapa kondisi gangguan jalan nafas
dapat dilihat di tabel 1. Faktor pembiusan yang dapat menyebabkan
kesulitan jalan nafas adalah udema luka bakar, perdarahan, stenosis
trakea/osofageal, penekanan atau kebocoran, pneumotoraks atau aspirasi
dari isi lambung.

II.

Pemeriksaan umum, fisik dan regional :


a. Hidung : mencaricari massa dalam rongga hidung (seperti polip),
septum deviasi, dll.
b. Pembukaan mulut setidaknya 2 jari antara gigi seri atas dan bawah.
c. Gigi : gigi seri atas yang maju, gigi taring yang berlebihan atau
tidak, dapat menentukan adanya keterbatasan dalam penjajaran dari
mulut atau sumbu faring selama laringoskop, secara khusus diikuti
dengan dasar dari lidah yang besar, itu dapat menyebabkan
kesulitan selama laringoskopi langsung atau ventilasi dengan
kantong masker. Keadaan tidak ada gigi dalam beberapa kondisi,
dapat menyebabkan penjajaran sumbu lebih mudah tapi dapat juga
teradi sumbatan hipofaringeal oleh lidah.

d. Langit-langit : langit-langit yang melengkung atau panjang, serta


mulut sempit dapat menyebabkan kesulitan.
e. Penilaian kemampuan pasien untuk menonjolkan rahang bawah
melebihi gigi seri atas (prognatism.)
f. Pergerakan sendi temporo-mandibular : dapat menyebabkan
ankilosis/fibrosis, tumor, dll.
g. Pengukuran jarak submental (panjang hyomental/thyromental
idealnya berjarak diatas 6 cm).
h. Observasi leher pasien : leher yang pendek, leher tebal seringkali
diikuti dengan kesulitan intubasi. Setiap massa yang terdapat di
leher, ekstensi leher, pergerakan leher dan kemampuan untuk
menerima posisi penciuman harus diobservasi.
i. Adanya suara stridor atau trakeotomi sebelumnya

dapat

menyebabkan stenosis.
j. Setiap penyakit sistemik atau kongenital embutuhkan perhatian
khusus selama manajemen jalan nafas (mis. Kegagalan nafas,
penyakit arteri koronaria, akromegali, dll).
k. Pengkajian umum dapat memberikan informasi penting.
l. Infeksi dari jalan nafas (mis. Epiglottitis, abses, batuk, bronchitis,
pneumonia).
m. Kondisi fisik : kehamilan atau obesitas.
Penting untuk mengetahui kesulitan dalam ventilasi menggukan
masker seperti masker ventilasi yang terpenting. Beberapa factor
spesifik adalah (i) jenggot : kesulitan dalam menciptakan penguncian
menggunakan

masker/

mungkin

beberapa

abnormalitas

yang

mendasari seperti keganasan dari rahang, (ii) indeks massa tubuh :


pasien dengan IMT > 26 kgm dapat menyebabkan kesulitan untuk
ventilasi menggunakan masker, (iii) gigi tanggal : kesulitan untuk
menciptakan penguncian yang efektif, (iv) umur dan suara
mendengkur : pasien dengan umur diatas 55 tahun dengan riwayat
mendengkur kemungkinan diikuti dengan bermacam-macam derajat
dari sumbatan jalan nafas ketika tidur dan kesulitan dalam ventilasi
menggunakan masker, (v) perhiasan yang digunakan seperti tindik
pada bibir, lidah, pipi, dagu, alis dan telinga juga dapat menyebabkan
kesulitan dalam ventilasi menggunakan masker.

III. Test spesifik untuk pengkajian


A. Kriteria anatomi
1. Lidah relative/ukuran faring
Test mallampati : klasifikasi mallampati berhubungan dengan ukuran lidah
dengan ukuran faring. Tes ini dilakukan dalam posisi duduk, kepala dalam
posisi tegak lurus, mulut terbuka lebar dan lidah dijulurkan secara
maksimal. Pasien harus diam tidak bersuara sehingga tidak menyebabkan
kontraksi dan elevasi dari langit-langit lunak dapat menyebabkan kondisi
yang berbeda. Klasifikasi berdasarkan luas dari dasar lidah bisa digunakan
untuk melihat struktur faring yang dibagii menjadi 3 kelas:

Kelas I : digambarkan sebagai langit-langit mulut yang lunak, ; uvula, pilar


anterior dan posterior.
Kelas II : digambarkan sebagai langit-langit yang lunak, fauces dan uvula.
Kelas III : digambarkan sebagai langit-langit yang lunak dan dasar dari uvula.
Dalam Samsoon and Young modification (1987) dari klasifikasi mallampati, kelas
IV telah ditambahkan.
Kelas IV : hanya langit-langit yang keras yang terlihat, langit-langit lunak tidak
terlihat sama sekali.
Untuk menghindari positif palsu atau negatif palsu, test ini harus diulang
dua kali. Jika tidak memungkinkan untuk mengukur ukuran dari bagian posterior

lidah, dapat menilai kapasitas orofaring. Metode ini memberikan pengkajian


secara tidak langsung untuk mengevaluasi proporsionalitas. Jika dasar dari lidah
proporsional untuk orofaring, tandanya tidak ada lagi factor yang dapat
mengganggu. Pembukaan dari glottis tidak akan menyebabkan kesulitan. Disisi
lain tidak proporsionalnya dasar dari lidah yang menaungi laring dapat membuat
sudut diantaranya, untuk menghidari laring terpapar dari luar.

2. Ekstensi sendi atlanto occipital :


Untuk menilai posisi jalan nafas atau posisi untuk melakuakn intubasi
sejajar dengan mulut, faringeal dan sumbu laring dalam posisi lurus. Pasien
diminta untuk menegakkan kepala tegak lurus kedepan, kemudian pasien disuruh
untuk menadahkan kepala atas secara maksimal dan nilai sudutnya dimulai dari
permukaan gigi. Pengukuran dapat dilakukan dengan melihat saja atau
menggunakan alat ukur yang lebih akurat seperti goniometer. Setiap pengukuran
dapat dinilai melalui derajat :
Derajat I : >35
Derajat II : 22-34
Derajat III: 12-21
Derajat IV: <12
Sudut normal adalah 35 atau lebih

3. Jarak mandibular
a. Jarak Thyromental (tes patil): yaitu sebagai jarak dari mentum ke
thyroid saat leher pasien ekstensi penuh. Pengukuran ini membantu
untuk menilai seberapa mudah sudut sumbuh akan jatuh dalam
garis dengan sumbuh faring ketika sendi atlanto-occipital ekstensi.
Penjajaran dari dua sumbuh ini sangat sulit jika jarak thyromental

< 3 jari atau < 6 cm pada orang dewasa; 6-6,5 cm yaitu jarak yang
sulit untuk dilakukan intubasi, sementara >6,5cm adalah normal.
b. Jarak Sterno-mental : Savva(1948) memperkirakan jarak dari
suprasternal ke mentum kemungkinan ada hubungan dengan kelas
mallampati, penonjolan rahang serta jarak antara gigi seri atas dan
bawah, jarak thyromental. Diukur dengan cara kepala ekstensi
penuh dan mulut tertutup. Jika pengukuran <12 cm dapat
diperkirakan kesulitan dalam intubasi.
c. Jarak mandibulo-hyoid : pengukuran dari panjang mandibular dari
dagu (mental) ke hyoid harus setidaknya 4 cm atau berjarak 3 jari.
Ditemukan bahwa laringoskopi menjadi lebih sulit jika jarak
vertical antara mandibular dan tulang hyoid meningkat.

d. Jarak Inter-incisor : jarak antara gigi seri atas dan bawah.


Normalnya adalah 4.6 cm atau lebih; sementara > 3.8 cm
diperkirakan kesulitan dalam jalan nafas.
Wilson mengembangkan system skoring lain dengan mengambil 5 variabel
berat, kepala, leher dan pergerakan rahang, kemunduran mandibular, ada atau
tidaknya gigi. Skor dibuat antara 0 sampai 10. Mereka menemukan resiko
lebih tinggi akurasinya dari prediksi dengan proporsi yang lebih rendah dari
positif palsu.

Ame dkk membuat system skoring berbasis analisa multifaktorial. Bagian dari
indikator diatas oleh Wilson dkk, juga termasuk ada atau tidaknya patologis
jalan nafas. Sensitifitas dan spesifitas dari system ini adalah diatas 90%.
Penilaian jalan napas LEMON
Penilaian ini menilai nilai maksimal dari 10 poin dan dihitung dengan
menambahkan 1 poin dari setiap kriteria LEMON berikut ini:
L = Lihat secara eksternal (trauma pada wajah, gigi seri yang besar, jenggot
atau kumis, lidah yang besar.
E = Evaluasi aturan 3-3-2 (jarak gigi seri 3 jari, jarak hyoid-mental, jarak
thyroid ke mulut adalah 2 jari.
M = Mallampati (skor mallampati )
O = Obstruksi ( adanya kondisi seperti epiglottis, abses peritonsilar, trauma).
N = Neck (pergerakan leher terbatas)
Pasien dengan kesulitan intubasi mempunyai LEMON skor yang lebih tinggi.

B. Laringoskopi langsung dan fiberoptic bronkoskopi


Kesulitan dalam intubasi dapat diklasifikasi diikuti dengan gambaran selama
laringoskopi kedalam 4 derajat. Empat derajat dari laringoskopi digambarkan
oleh Cormack dan Lehane (1984).

Derajat I seluruh celah dari laring terlihat


Derajat II hanya bagian posterior dari celah laring terlihat
Derajat III hanya epiglottis yang terlihat
Derajat IV hanya langit-langit lunak yang terlihat
Derajat III dan IV merupakan kondisi yang sulit untuk intubasi.
Posisi yang optimal sejajar sudut mulut, faring, dan laring dicapai dengan
fleksi dan ekstensi dari leher pada sendi atlanto-occipital sangat penting.
C. Penilaian radiografi
1.

Dari film skeletal


x-ray cervical lateral dari pasien dengan kepala pada posisi tegak lurus

untuk mengukur :

i.

Jarak mandibulo-hyoid : peningkatan jarak mandibular-hyoid dapat

ii.

meningkatkan tingkat kesulitan dari laringoskopi.


Jarak atlanto-occipital : jarak atlanto-occipital merupakan faktor yang
utama dalam batas ekstensi dari kepala dan leher. Semakin panjang jarak
atlanto-occipital, semakin banyak daerah yang tersedia untuk pergerakan
kepala dimana sendi dengan sumbuh yang baik untuk laringoskopi dan

iii.

intubasi. Secara raadiologi ada penurunan ruang antara C1 dan occiput.


Hubungan dari sudut mandibular dan tulang hyoid dengan servikal
vertebra dan derajat laringoskopi : peningkatan dalam kesulitan pada
laringoskopi diobservasi ketika sudut mandibular ditujukan untuk lebih
keatas dan tulang hyoid lebih ke bawah, posisi dari mandibuka menjadi

iv.

sangat penting.
Dalamnya mandibular Anterior/posterior

White dan Kander (1975) telah menunjukkan bahwa jarak antara tulang
alveolus dibelakang molar 3 dan garis bawah dari mandibular merupakan
pengukuran penting untuk menilai kemudahan dalam laaringoskopi.
v. Jarak C1-C2
Ligament stylohoid ditandai dengan lipatan dari seluruh tulang hyoid
pada pemeriksaan radiologi. Laringoskopi menjadi sulit karena
ketidakmampuan untuk mengangkat epiglottis dari faring posterior dan
melekat dengan tulang hyoid oleh ligament hyo-epiglotis.
1. Floruoskopi untuk gambar dinamis (pergerakan tulang belakang, jalan
nafas atau cincin vascular).
2. Oesfagogram (inflamasi, benda asing, massa atau cincin vascular).
3. USG (penilaian dari massa mediastinum anterior, limfadenopati,
diferensiasi kista dari massa dan selulitis dari abses).
4. CT/MRI (kelainan kongenital, kompresi pada vaskularisasi jalan
nafas).
5. Intubasi video-optikal (mengombinasikan gambaran dari kemampuan
dengan penanganan dari alat intubasi).
D. Penilaian dari kesulitan jalan nafas pada penderita diabetes.
Penilaian dari kesulitan jalan nafas tidak sama pada penderita diabetes
dibandingkan dengan orang yang bukan penderita diabetes.
i. Palm print : pasien diminta untuk duduk; telapak tangan dan jari dari
tangan kanan diwarnai dengan tinta biru, pasien kemudian
menekan tangan pada kertas putih dan diletakan pada permukaan
keras. Dikategorikan sebagai :
Derajat 0 seluruh area falang dapat terlihat
Derajat 1 defisiensi dari area interphalang 4 dan 5
Derajat 2 defisiensi dari area interfalang 2 dan 5
Derajat 3 hanya ujung dari jari yang terlihat.
ii. Prayer sign: pasien diminta untuk menempelkan kedua telapak tangan
bersama:
Positive ketika ada jarak antara telapak tangan.
Negative tidak ada jarak antara telapak tangan.
E. Indikator kesulitan intubasi
Tanda klasik yang membuat operator kesulitan dalam intubasi dapat diringkas
sebagai berikut:
a. Fleksi-ekstensi yang kurang baik pada leher.

b. Rahang yang mundur dan adanya gigi yang maju.


c. jarak atlanto-occipital yang pendek, jarak antara C1 dan occiput yang
pendek.
d. Ukuran lidah yang besar berhubungan dengan perbandingan antara
panjang anterior dari lidah dan panjang dari dagu atau mandibula.
F. Enam standar dalam mengevaluasi jalan nafas
a. Kemampuan temporomandibular satu jari
b. Inspeksi dari mulut, orofaring klasifikasi mallampati- dua jari.
c. Pengukuran mento-hyoid (4cm) pada dewasa 3 jari
d. Pengukuran jaran dari dagu ke kelenjar tidoid (5-6 cm) empat jari.
e. Kemampuan untuk memfleksikan kepala ke dada, menjulurkan kepala
pada asendi atlanto-occipital dan memutar kepala, putar ke kiri dan ke
kanan (lima gerakan).
f. Simetris dari hidung dan passase hidung.

G. Pengkajian jalan nafas dengan cepat


1. Bisakah pasien membuka mulut lebar?
- Menilai pergerakan sendi temporomandibular
2. Bisakah pasien menjulurkan lidah?
- Inspeksi struktur dari mulut/faring.
3. Bisakah pasien memajukan rahang bawah?
- Mengindikasikan kemudahan dalam melakukan

manuver

laringoskopi.
4. Bisakah pasien menekuk kepala dan gerekan ke kiri dan ke kanan?
- Untuk menilai pergerakkan leher.
Untuk pergerakan sendi Atlanto-occipital, pasien diminta untuk
meletakkan dagu ke dada, dekap tangan dibelakang leher, tekan ke
bawah dan coba gerakan ke atas.

H. Pengkajian jalan nafas pada anak


Pengkajian lebih sulit pada pasien anak tidak seperti pada orang dewasa
yang dapat menilai riwayat sebelumnya dan pemeriksaan fisik yang lebih
mudah.
Riwayat: pertanyaan seputar tidur mendengkur, sulit bernafas, somnolent
pada siang hari, stridor, suara parau, pembedahan sebelumnya atau terapi
radiasi pada kepala dan leher. Informasi ini dapat mengindikasikan
hipoksemia dan hipertensi pulmonal. Riwayat harus terdiri dari pertanyaan
tentang tindakan anestesi sebelumnya yang dapat dihubungkan dengan
cedera pada orofaringeal, kerusakaan pada gigi, terbangun pada saat
intubasi trakea atau penundaan daari pembedahan karena masalah
pembiusan.
Pemeriksaan fisik: harus fokus pada kelainan wajah, kepala, leher dan
tulang belakang.
- Evaluasi ukuran dan bentuk kepala, evaluasi pada wajah; ukuran
dan simetris wajah dan mandibular, ada atau tidaknya kelainan
patologis sub-mandibula, ukuran lidah, bentuk dari palatum, gigi
-

seri yang maju, jarak dari gerakan sendi, kepala dan leher.
Ada atau tidaknya retraksi (suprasternal / sternal / infrasternal /

intercostal) harus dipikirkan ke arah obstruksi jalan nafas.


Suara pernafasan suara pada saat inspirasi mengindikasikan dari
obstruksi

pernafasan

ekstratorakal,

suara

pada

saat

menghembuskan nafas biasanya mengindikasikan lesi pada


intratorakal. Suara pada saat inspirasi dan ekspirasi biasanya
-

diakibatkan lessi pada jalur thorakal.


Pemeriksaan gas darah dan saturasi O2 penting untuk menilai

kemampuan pasien untuk mengkompensasi masalah jalan nafas.


Transkutan CO2 sangat membantu pada baru lahir dan anak-anak.

Banyak pemeriksa mempunyai kemampuan untuk membuat metode


untuk memprediksi kesulitan laringoskopi pada anak. Metode ini sudah dipelajari
pada orang dewasa dan diaplikasikan pada anak-anak.
Klasifikasi mallampati dan derajat Cormack dan lehane
Ukuran lidah terhadap rongga mulut dan faring dimana disebutkan di
klasifikasi mallampati dideskripsikan dan dijelaskan oleh Cammack dan Lehane

telah di teliti oleh Klopp dkk (1995). Klasifikasi mallampati bukan penentu dari
bentuk glottis selama laringoskopi pada pasien anak. Selain itu, klasifikasi
mallampati sering sulit dilakukan oleh karena tidak kooperatifnya bayi dan anak.
Jarak mandibular cocok untuk anak yang lebih besar. Nilai untuk thiromental,
hyomental dan mandibular horizontal tidak ada pada populasi anak. Pada kondisi
yang sulit ini para anestessiologi sering dihadapi pada kesulitan yang mungkin
dapat terjadinya kesulitan jalan nafas. Riwayat sebelumnya harus ditekankan
untuk persiapan untuk kesulitan jalan nafas.
Beberapa tes dapat dilakukan untuk menilai kesulitan jalan nafas pada
anak.
a. Radiografi untuk mengevaluasi nasofaring, faring, lesi subglotik dan
trakea.
b. CT scan dan MRI dapat mendeteksi atresia coanal, malformasi kelenjar
limfa dari leher, massa mediastinum dll.
c. Endoskopi langsung maupun tidak langsung dari jalan nafas atas maupun
bawah untuk penilaian fungsi dan diagnose dari nasofaring yang patologis,
supraglotik, glotik and area subglotik.
d. Fluoroskopi untuk menilai patologi seperti malasia jalan nafas tertuama
stridor, batuk dan disfagia.
e. USG untuk mengevaluasi fungsi dan penyakit jalan nafas, menilai
beberapa patologi.
f. Fungsi paru dipelajari dapar menilai informasi tentang passase jalan nafas.
Banyak kondisi medis, bedah dan sindrom kongenital diikuti dengan
kesulitan jalan nafas pada orang dewasa dan anak-anak. Teknik yang
digunakan untuk menilai jalan nafas sudah dipelajari pada orang dewasa.
Beberapa tes tersedia pada anak-anak. Teknik yang berguna pada dewasa
mungkin tidak dapat diaplikasikan pada bayi dan anak-anak dan tidak
kooperatifnya pasien untuk menggali informasi penting pada anak.

Kesimpulan

Tidak ada satu tes jalan nafas yang dapat menilai kesulitan jalan nafas. Oleh
karena itu harus dikombinasikan dengan beberapa tes. Baimanapun juga, pada
beberapa pasien dengan kesulitan jalan nafas sulit terdeteksi walaupun telah
dilakukan persiapan preoperative. Pada anestesiologi harus selalu siap dengan
berbagai cara dan latihan untuk penanganan jalan nafas pada kesulitan jalan nafas
yang tidak bisa diprediksi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Benumof JL. Definition and incidence of difficult airway. In : Benumof JL.


Editor. Airway management : Principles and practice. St Louis Mosby 1996: 121125 (Ch 6).
2. Mallampati SR, gatt SP, Gugino LD, Waraska B, Freidburger D, Liu PL. A
Clinical sign to predict difficult intubation; A prospective study. Can Anaesth Soc
J 1985; 32: 429-434.
3. Samsoon GLT, young JRB. Difficult tracheal intubation : a restrospective study.
Anasthesia 1987; 42: 487-490.
4. Mallammpati SR. Clinical assessment of airways. Anesthesiol CI N America
1995; 13(2): 301-306.
5. Banister FB, Mc Beth RG. Direct laryngoscopy and tracheal intubation. Lancet
1964; 2: 651.
6. Bellhouse CP, Dove C. criteria for estimating likelihood of difficulty of
endotracheal intubation with the Macintosh laryngoscope. Anaesth intensive care
1988; 16: 329.
7. Patil VU, Stehling LC, Zauder HL. Predicting the difficulty of intubation utilizing
an intubation guide. Anesthesiology, 1983; 10: 32.
8. Savva D. Prediction of difficult tracheal Intubation. Br J Anaesth 1994; 73: 149153.
9. Chou HC, Wu TL. Mandibulohyoid distance in difficult laryngoscopy. Br J
Anaesth 1993; 71: 335-9.
10. Wilson ME, spiegelhalter D, Robertson JA et al. Predicting difficult intubation.
Br J Anaesth 1988; 61: 211-16.
11. Arne J, Descoins P, Bresard D, Aries J, Fuseiardi J. A new clinical score to
predict difficult intubation. Br J Anaesth 1993; 70 (suppl) : A1.
12. Murphy MF, Walls RM. The difficult and failed airway. In : Manual of emergency
airway management. Chicago : Lipincott. Williams and Wilkins 2000: 31-9.
13. Reed MJ, Dunn MJG, McKeown DW. Can an airway assessment score predict
difficulty at intubation in the emergency department? Emerg Med J 2005; 22: 99102.
14. Cormack RS, Lehane J. Difficult tracheal intubation in obstetrics. Anaesthesia
1984; 39: 1105-1111.
15. Gillespie NA. Endotracheal anaesthesia. Ed.2, Madison Univ. of Wisconsin Press
1950.

16. Londy F, Norton ML. Radiologic techniques for evaluation and management of
the difficult airway. In; Norton ML, Brown ACD, eds; Atlas of the difficult
airway. St. Louis; Mosby Yearbook Inc 1991; 55-66.
17. Samra SK, Schork MA, Guinto FC. A study of radiologic imaging techniques and
airway grading to predict a difficult endotracheal intubation. J Clin Anesth 1995;
7: 373-379.
18. White A, Kander PL. Anatomical factors in difficult direct laryngoscopy. Br J
Anaesth 1975; 47: 468-73.
19. Reissell E, Orko R, Maunuksela EL Lindgren L. Predictability of difficult
laryngoscopy in patients with long term diabetes mellitus. Anaesthesia 1990; 45:
1024-1027.
20. Nadal JLY, Fernandez BA, Ecsobar IC et al. Palm print as a sensitive predictor of
difficult laryngoscopy in diabetics. Acta Anaesthesiol Scand 1998; 42: 199-203.
21. McLennan S, Yue D, Marsh M et al. The prevention and reversibility of tissue
non-enzymatic glycosylation in diabetes. Diabetic Medicine 1986; 3: 141-146.
22. Cass NM, James NR, Lines V. Difficult direct laryngoscopy complicating
intubation for anaesthesia. Br Med J 1956; 1: 488.
23. Brechner VL. Unusual problems in the management of airways. 1. Flexionextension mobility of the cervical spine. Anesth Analg 1968; 47: 362.
24. Block C and Brechner VL. Unusual problems in airways management II. The
influence of the temporo-mandibular joint, the mandible and associated structures
on endotracheal intubation. Curr Res Anesth 1971; 50: 114.
25. McIntyre JWR. Continuing medical education : The difficult endotracheal
intubation; A prospective study. Can Anaesth Soc J 1985; 32: 429
26. Kopp VJ, Bailey A, Valley RD et al. Utility of the Mallampati classification for
predicting difficult intubation in paediatric patients. Anesthesiology 1995; 83:
A1146.
27. Gregory GA, Riazi J. Classification and assessment of the difficult paediatric
airway. Anesth Cl N America 1998; 16(4): 725-741.

Suggested Reading
1. Clinical Anaesthesia; Paul G Barash 4th edition, 2001; Lippincott Williams and Wilkins.
2. General anaesthesia; Collins VJ, Vol.1 :3rd edition, 1993.
3. Anesthesiology Clinics of North America; Vol.16, Number 4, Dec 1998.

Vous aimerez peut-être aussi