Vous êtes sur la page 1sur 13

ANALISIS SIKLUS HIDUP DESTINASI PARIWISATA BALI: KAJIAN EKONOMI

PARIWISATA TERHADAP DESTINASI


tourismbali.wordpress.com/2012/02/10/analisis-siklus-hidup-destinasi-pariwisata-bali-kajian-ekonomi-pariwisata-terhadap-destinasi/

By raiutama

ANALISIS SIKLUS HIDUP DESTINASI PARIWISATA BALI: KAJIAN EKONOMI PARIWISATA


TERHADAP DESTINASI
Oleh
I Gusti Bagus Rai Utama
Program S3 (Doktor) Pariwisata Universitas Udayana
Abstract

Tourist Area lifecyle analysis, and Indext of Irritation, used to know each destination on the destination life cycle phase, where the results of this
analysis will be used to formulate strategy management, marketing of destination based on five aspects namely: fairness, effectiveness,
efficiency, credibility and integration. Irritation Index analysis actually is periodic review of involving stakeholders in the formulation of sustainable
tourism development strategy. Policies will be very important thing to adapt from time-to time as destinations are like at a different phase and the
previous policy may no longer relevant to the current situation. On the other hand, a obligation to accommodate the entire input or opinions from
various stakeholder groups in terms of problem identification, legitimacy, participation and conflict resolution. Stakeholder framework has been
applied in combination with the tourist destination life cycle in order to analyze the stakeholders attitudes toward tourism and sustainable
development. Tanah Lot Tourism Object is a fact that a tourist attraction or a tourist destination will always change and require different
management strategies in harmony with the conditions of an object on the phase whether it actually was. While the attractions of Bali Botanical
Garden is a good example to explain the transfer function of an area into a tourist attraction which is felt to support the main functions of a
particular area related to aspects of economic values from tourism activities.
Keyword: Tourist Area lifecyle, Indext of Irritation, economic values, tourism activities

1.

Pendahuluan

Saat ini pariwisata seringkali dipersepsikan sebagai mesin penggerak ekonomi atau penghasil devisa bagi pembangunan ekonomi di suatu
negara, tanpa terkecuali di Afrika. Namun pada kenyataannya, pariwisata memiliki spektrum fundamental pembangunan yang lebih luas bagi
suatu negara. [1]Pariwisata internasional pada tahun 2004 mencapai kondisi tertinggi sepanjang sejarah dengan mencapai 763 juta orang dan
menghasilkan pengeluaran sebesar US$ 623 miliar. Kondisi tersebut meningkat 11% dari jumlah perjalanan tahun 2003 yang mencapai 690 juta
orang dengan jumlah pengeluaran US$ 524 miliar. Seiring dengan hal tersebut, diperkirakan jumlah perjalanan wisata dunia di tahun 2020 akan
menembus angka 1,6 miliar orang per tahun (UN-WTO, 2005) seperti nampak pada grafik.1 di bawah ini:

Grafik 1, [2]Tourism Vision 2020 UNWTO.

Melihat trend positif dari pertumbuhan pariwisata global, optimisasi pembangunan pariwisata sebagai sebuah alternatif pembangunan untuk
pengganti sektor agraris dan industri yang cenderung merusak sumber daya alamiah semakin mendapat sambutan yang lebih meyakinkan.
Munculnya isu pengelolaan pariwisata yang berkelanjutan adalah sebagai hal yang dinamis dalam skala industri secara makro melalui

1/13

pendekatan strategis dalam perencanaan dan pembangunan sebuah destinasi pariwisata. [3]Meskipun banyak anggapan bahwa pariwisata
adalah sebuah sektor pembangunan yang kurang merusak lingkungan dibandingkan dengan industri lainnya, namun jika kehadirannya dalam
skala luas akan menimbulkan kerusakan lingkungan fisik maupun sosial (Murphy dan Price dalam Theobald, 2004).
Melanjutkan konsep pembangunan berkelanjutan, Murphy dan Price (dalam Theobald, 2004) berpendapat bahwa ada hubungan antara
ekonomi dan lingkungan serta memiliki hubungan yang sangat erat. Kepentingan pariwisata dalam pembangunan berkelanjutan adalah logis
mengingat bahwa pariwisata adalah salah satu industri yang produknya menjual lingkungan, baik fisik dan manusia sebagai sebuah totalitas
produk. Penulis lainnya juga berpendapat bahwa integritas dan kelangsungan produk pariwisata telah membutuhkan perhatian utama sebagai
sebuah industri. Mereka berpendapat bahwa apa yang sekarang dilakukan dalam penelitian pariwisata dan kebijakan adalah upaya yang lebih
besar untuk menghubungkan kepentingan akademik dan pemerintah dalam mengejar kepentingan pengembangan pariwisata yang lebih
berkelanjutan dengan para pelakunya pada garis depan yakni praktisi industri dan wisatawan.
Sebenarnya pembangunan pariwisata merupakan konsep yang sedang berkembang, konsep siklus hidup pariwisata dan konsep daya dukung
saling terkait adalah cara yang baik dan dinamis untuk melihat kondisi dan perkembangan pariwisata. Konsep siklus hidup menunjukkan bahwa
daerah tujuan wisata senantiasa mengalami perubahan dari waktu ke waktu, dan kemajuannya dapat dilihat melalui tahapan-tahapan dari
pengenalan hingga penurunan. Dengan pengelolaan yang baik, pariwisata berperanan untuk memberdayakan sumber daya yang langka serta
menjadikan industri pariwisata dapat diperpanjang siklus hidupnya dan berkelanjutan (Theobald, 2004)
Masalah standar dalam industri pariwisata juga menjadi isu yang sangat menarik untuk diutarakan sebagai upaya untuk mewujudkan
pembangunan pariwisata yang bertanggungjawab dan berkelanjutan. Standar adalah dokumen yang menetapkan dasar, contoh atau prinsip
untuk menyesuaikan hal-hal yang terkait dengan unit pengukuran yang seragam. Standar dapat berupa kewajiban (misalnya, ditetapkan dalam
undang-undang) yang membahas pengembangan standar keberlanjutan dari usaha-usaha lokal untuk menciptakan perbaikan bisnis sebagai
bagian dari upaya persiapan bersaing pada industri pariwisata global. Proposisi yang ditetapkan pada pembahasan tentang standar adalah
bahwa penetapan standar dan sertifikasi adalah alat berharga untuk membantu membawa para pemangku kepentingan bersama-sama
menemukan sebuah kesepakatan bentuk penilaian yang bertanggungjawab. Sertifikasi adalah proses yang bertujuan untuk membantu
meningkatkan standar industri dan merupakan alat kebijakan untuk melakukan perbaikan secara sukarela di bawah lima aspek: keadilan,
efektivitas, efisiensi, kredibilitas dan integrasi (Theobald, 2004).
Dalam pengembangan strategi pariwisata dan kebijakan, otoritas yang bertanggung jawab, harus mempertimbangkan pandangan dari sejumlah
pemangku kepentingan termasuk industri, penduduk, kelompok khusus yang mewakili kepentingan lingkungan dan masyarakat, serta wisatawan
sendiri.
Pelibatan stakeholder dalam perumusan strategi pengembangan pariwisata yang berkelanjutan dan kebijakan mungkin menjadi hal yag sangat
penting untuk diperhatikan. Sebuah keharusan mengakomodasi seluruh masukan atau pendapat dari berbagai kelompok pemangku
kepentingan dalam hal identifikasi masalah, legitimasi, keterlibatan dan resolusi konflik. Kerangka stakeholder telah diterapkan dalam
hubungannya dengan siklus hidup daerah tujuan wisata dalam rangka menganalisis sikap terhadap pemangku kepentingan pariwisata dan
pembangunan berkelanjutan.
Di banyak negara-negara dunia maju, pertentangan tajam terjadi antara kelompok konservasionis dan industri pariwisata. Konservasionis
berpendapat bahwa lingkungan harus mendapatkan perlindungan dan pembatasan pada pertumbuhan pariwisata yang dramatis. Industri
Pariwisata di sisi lain berusaha untuk meningkatkan dan mengembangkan fasilitas baru untuk mewujudkan kepuasan wisatawan.
Lebih Lanjut, Hudson dan Miller (Theobald, 2004) mengeksplorasi hubungan antara pentingnya etika dalam pengembangan pariwisata
berkelanjutan dan mempertimbangkan bagaimana pemahaman tentang pendekatan etis dari para pejabat pariwisata di masa depan bisa
menguntungkan mereka secara efektif dalam mengelola industri di masa depan. Hudson dan Miller (Theobald, 2004) menyimpulkan bahwa
negara-negara maju mungkin akan mengalami tekanan besar untuk menetapkan hak atas alam agar penduduk lebih makmur dan oleh karena
itu menjadi lebih peduli dengan masalah estetika, namun, gerakan untuk perlindungan lingkungan tidak mungkin untuk dilanjutkan pada negaranegara yang kurang berkembang di mana isu-isu kelangsungan hidup lebih mendesak untuk dibicarakan dibandingkan isu-isu konservasi.

2.

Kajian Teoritis

Dalam pembangunan dan pengembangan pariwisata khususnya pengembangan kawasan wisata atau obyek wisata pada umumnya mengikuti
alur atau siklus kehidupan pariwisata yang lebih dikenal dengan Tourist Area Life Cycle (TLC) sehingga posisi pariwisata yang akan
dikembangkan dapat diketahui dengan baik dan selanjutnya dapat ditentukan program pembangunan, pemasaran, dan sasaran dari
pembangunan pariwisata tersebut dapat ditentukan dengan tepat.

2.1.

Tourist Area Lifecycle

Siklus hidup pariwisata pada umumnya mengacu pada konsep [4]TLC (Butlers 80, Tourist Area Lifecycle) yang dapat dijabarkan pada Grafik
2. (Hypothetical Evolution of a Tourist Area) sebagai berikut :

[5]Grafik 2. Hypothetical Evolution of a Tourist Area.


Source: Butler, R. W. 1980. The Concept of a Tourism Area Life Cycle of Evolution: Implications for Management of Resources. The Canadian
Geographer 24(1), p. 8.

Tahap 1. Penemuan (Exploration)

2/13

Potensi pariwisata berada pada tahapan identifikasi dan menunjukkan destinasi memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi daya tarik atau
destinasi wisata karena didukung oleh keindahan alam yang masih alami, daya tarik wisata alamiah masih sangat asli, pada sisi lainnya telah
ada kunjungan wisatawan dalam jumlah kecil dan mereka masih leluasa dapat bertemu dan berkomunikasi serta berinteraksi dengan penduduk
local. Karakteristik ini cukup untuk dijadikan alasan pengembangan sebuah kawasan menjadi sebuah destinasi atau daya tarik wisata.

Tahap 2. Pelibatan (Involvement)


Pada tahap pelibatan, masyarakat lokal mengambil inisiatif dengan menyediakan berbagai pelayanan jasa untuk para wisatawan yang mulai
menunjukkan tanda-tanda peningkatan dalam beberapa periode,. Masyarakat dan pemerintah local sudah mulai melakukan sosialiasi atau
periklanan dalam skala terbatas, pada musim atau bulan atau hari-hari tertentu misalnya pada liburan sekolah terjadi kunjungan wisatawan
dalam jumlah besar, dalam kondisi ini pemerintah local mengambil inisiatif untuk membangun infrastruktur pariwisata namun masih dalam skala
dan jumlah yang terbatas.

Tahap 3. Pengembangan (Development)


Pada tahapan ini, telah terjadi kunjungan wisatawan dalam jumlah besar dan pemerintah sudah berani mengundang investor nasional atau
internatsional untuk menanamkan modal di kawasan wisataw yang akan dikembangkan. Perusahaan asing (MNC) Multinational company[6])
telah beroperasi dan cenderung mengantikan perusahan local yang telah ada, artinya usaha kecil yang dikelola oleh penduduk local mulai
tersisih hal ini terjadi karena adanya tuntutan wisatawan global yang mengharapkan standar mutu yang lebih baik. Organisasi pariwisata mulai
terbentuk dan menjalankan fungsinya khususnya fungsi promotif yang dilakukan bersama-sama dengan pemerintah sehingga investor asing
mulai tertarik dan memilih destinasi yang ada sebagai tujuan investasinya.

Tahap. 4 Konsolidasi (consolidation)


Pada tahap ini, sektor pariwisata menunjukkan dominasi dalam struktur ekonomi pada suatu kawasan dan ada kecenderungan dominasi
jaringan international semakin kuat memegang peranannya pada kawasan wisataw atau destinasi tersebut. Kunjungan wisatawan masih
menunjukkan peningkatan yang cukup positif namun telah terjadi persaingan harga diantara perusahaan sejenis pada industri pariwisata pada
kawasan tersebut. Peranan pemerintah local mulai semakin berkurang sehingga diperlukan konsolidasi untuk melakukan re-organisasional, dan
balancing peran dan tugas antara sector pemerintah dan swasta.

Tahap. 5 Stagnasi (Stagnation)


Pada tahapan ini, angka kunjungan tertinggi telah tercapai dan beberapa periode menunjukkan angka yang cenderung stagnan. Walaupun
angka kunjungan masih relative tinggi namun destinasi sebenarnya tidak menarik lagi bagi wisatawan. Wisatawan yang masih datang adalah
mereka yang termasuk [7]repeater guest atau mereka yang tergolong wisatawan yang loyal dengan berbagai alasan. Program-program promosi
dilakukan dengan sangat intensif namun usaha untuk mendatangkan wisatawan atau pelanggan baru sangat sulit terjadi. Pengelolaan destinasi
melampui daya dukung sehingga terjadi hal-hal negative tentang destinasi seperti kerusakan lingkungan, maraknya tindakan kriminal,
persaingan harga yang tidak sehat pada industry pariwisata, dan telah terjadi degradasi budaya masyarakat lokal.

Tahapan. 6 Penurunan atau Peremajaan (Decline/Rejuvenation)


Setelah terjadi Stagnasi, ada dua kemungkinan bisa terjadi pada kelangsungan sebuah destinasi. Jika tidak dilakukan usaha-usaha keluar dari
tahap stagnasi, besar kemungkinan destinasi ditinggalkan oleh wisatawan dan mereka akan memilih destinasi lainnya yang dianggap lebih
menarik. Destinasi hanya dikunjungi oleh wisatawan domestik saja itupun hanya ramai pada akhir pekan dan hari liburan saja. Banyak fasilitas
wisata berubah fungsi menjadi fasilitas selain pariwisata. Jika Ingin Melanjutkan pariwisata?, perlu dilakukan pertimbangan dengan mengubah
pemanfaatan destinasi, mencoba menyasar pasar baru, mereposisi attraksi wisata ke bentuk lainnya yang lebih menarik. Jika Manajemen
Destinasi memiliki modal yang cukup?, atau ada pihak swasta yang tertarik untuk melakukan penyehatan seperti membangun atraksi manmade, usaha seperti itu dapat dilakukan, namun semua usaha belum menjamin terjadinya peremajaan.

2.2.

Index of Irritation

Untuk menentukan perkembangan sebuah destinasi dapat digunakan analisis [8]Index of Irritation yang terdiri dari empat tahapan atau fase
yakni: Euphoria, Apathy, annoyance, dan antagonism. Metode ini lebih mengarah pada analisis sosial yang mengukur dampak pariwisata dari
sisi sosial. Hasil dari analisis ini dapat mengukur perubahan perilaku masyarakat lokal terhadap kehadiran pariwisata di daerahnya.
(1) Phase Euphoria ditandai dengan temukannya potensi pariwisata kemudian pembangunan dilakukan, para investor datang menanamkan
modal dengan membangun berbagai fasilitas bisnis pendukung pariwisata, sementara wisatawan mulai berdatangan ke sebuah destinasi yang
sedang dibangun, namun perencanaan dan kontrol belum sepenuhnya berjalan dengan baik.
(2) Phase Apathy ditandai dengan adanya perencanaan terhadap destinasi khususnya berhubungan dengan aspek pemasaran termasuk
promosi pariwisata. Terjadinya hubungan antara penduduk local dengan penduduk luar dengan tujuan bisnis, sementara wisatawan yang datang

3/13

berusaha menemukan keistimewaan yang dimiki oleh destinasi namun tidak menemukannya.
(3) Phase berikutnya adalah Phase Annoyance dengan ditandai terjadinya kelesuan pada pengelolaan destinasi mulai terasa atau dapat
dikatakan mendekati titik jenuh. Para pemegang kebijakan mencari solusi dengan meningkatkan pembangunan infrastruktur tanpa berusaha
mengurangi jumlah wisatawan yang datang ke destinasi sehingga kedatangan wisatawan dianggap sudah mengganggu masyarakat local.
(4) Phase yang terakhir dalam analisis Index of Irriatation adalah Antagonism dimana masyarakat local merasa telah terjadi gesekan social
secara terbuka akibat kehadiran para wisatawan dan wisatawan dianggap sebagai penyebab dari segala permasalahan yang terjadi pada
sebuah destinasi. Perencanaan pada destinasi dilakukan dengan melakukan promosi untuk mengimbangi menurunnya citra destinasi.

3.

Metode Analisis

Data sekunder yang tersedia di sejumlah publikasi dan laporan penelitian, menjadi sumber data utama yang akan dianalisis. Sedangkan data
dan informasi yang telah dikumpulkan selanjutnya akan dianalisis dengan 2 (dua) alat analisis yakni TLC (Tourist Area Life Cycle), dan
Irritation Index. Hasil analisis selanjutnya dibandingkan dengan teori pendukung dan hasil penelitian sebelumnya yang memiliki kesamaan dan
kemiripan.

4.

Hasil Analisis dan Pembahasan

Pembahasan pada analisis ini menggunakan tiga sample obyek wisata dimana ketiga obyek wisata tersebut sedang diuji keberlanjutannya.
Dengan menggunakan dua pendekatan analisis yakni Tourist Area Lifecycle dan Irritation Index, berusaha membuat kajian dampak ekonomi
obyek terhadap pembangunan masyarakat local setempat. Obyek wisata yang dimaksud adalah: Obyek wisata Tanah Lot di Tabanan, dan
Obyek Wisata Kebun Raya Bedugul Bali di kawasan Bali tengah.

4.1.

Obyek Wisata Tanah Lot Tabanan

Pura Tanah Lot terletak di Pantai Selatan Pulau Bali tepatnya di wilayah Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Keberadaan
Pura Tanah Lot pada mulanya berhubungan erat dengan perjalanan Danghyang Nirartha atau Danghyang Dwijendra di Pulau Bali. Pura Tanah
Lot didirikan pada abad ke XV masehi oleh Danghyang Nirartha atau yang dikenal sebagai Empu Bawu Rawuh yang berasal dari Kerajaan
Majapahit di pulau Jawa. Saat ini, Pura Tanah Lot merupakan daya tarik utama bagi obyek wisata Tanah Lot, selain itu pula Tanah Lot memiliki
daya tarik matahari tenggelam (SunSet), dan Aktivitas upacara keagamaan pada hari-hari tertentu.
Gambar 2. Aktivitas Upacara pada Pura Tanah Lot
Sumber: http://www.balineseindonesia.blogspot.com
Sejak tanggal 1 Juli 2000 pengelolaan obyek wisata Tanah Lot ditangani oleh Desa Adat Beraban dengan membentuk Badan Pengelola Obyek
Wisata Tanah Lot (BPOWTL). Distribusi hasil pengelolaan Obyek Wisata Tanah Lot, berdasarkan surat perjanjian No. 01/HK/2000 tentang
kerjasama pengelolaan obyek wisata Tanah Lot yang ditandatangani oleh Nyoman Adiwiryatama selaku Bupati Tabanan, I Made Deka selaku
Bendesa Adat Beraban, I Gusti Gede Aryadi selaku pihak CV. Ary Jasa Wisata. Persentase yang disepakati bersama adalah sebesar (55%)
diserahkan kepada Pemda, CV. Ari Jasa Wisata memperoleh sebesar (15%), Desa Adat Beraban sebesar (20%), Pura Tanah Lot dan Pura
sekitarnya memperoleh sebesar (5%) dan sisanya (5%) dibagikan kepada Desa-Desa Adat se-Kecamatan Kediri. Persentase ini disepakati
(diberlakukan) sampai tahun 2011 (Desa Adat Beraban, 2010)
Retribusi dikenakan untuk setiap pengunjung adalah sebesar Rp. 5000 untuk anak-anak Lokal, dan sebesar Rp.7500 untuk Dewasa Lokal.
Sedangkan untuk wisatawan mancanegara dikenakan satu tariff yaitu Rp. 10.000 baik untuk wisatawan anak-anak ataupun dewasa yang sudah
termasuk asuransi. Retribusi parkir untuk kendaraan roda dua dikenakan biaya retribusi sebesar Rp. 2000 sedangkan kendaraan roda empat
dikenakan biaya sebesar Rp.5000, serta kendaraan roda enam sebesar Rp.10.000. Setiap pedagang yang memiliki kios dikenakan biaya
sebesar Rp. 1.200/hari dan untuk pedagang yang hanya menggunakan lapak, dikenakan biaya Rp. 750/hari (Observasi, 2010)

4.1.1.

1)

Kontribusi Objek Wisata Tanah Lot Terhadap Desa Adat Beraban

Kontribusi terhadap Pendapatan Desa

Saat ini Obyek Wisata Tanah Lot memiliki peranan yang sangat penting dalam kontribusinya terhadap pendapatan Desa Adat Beraban.
Kontribusi Obyek Wisata Tanah Lot untuk Desa Adat Beraban digunakan untuk pembangunan dan perawatan pura yang ada di Desa Beraban,
sehingga dapat meringankan beban masyarakat dalam dalam melaksanakan upacara agama. Perincian sumber-sumber pendapatan Desa Adat

4/13

Beraban dari sejak tahun 2005 sampai dengan 2009 dapat dilihat dalam table 1 berikut:

Tabel 1. Data Pendapatan Desa Adat Beraban Tahun 2005 2009

No

Sumber

Sumber :
Kantor
Bendesa
Beraban

Tahun
2005

2006

2007

2008

2009

Pendapatan Asli Desa Pakraman

577.181.249

1.145.427.071

1.473.695.623

1.903.580.558

2.475.818.395

Pendapatan Punia + Lainnya

106.599.400

84.909.491

152.550.000

225.347.110

70.250.000

Bantuan Pemerintah Atasan

28.000.000

45.000.000

45.000.000

73.400.000

55.000.000

711.780.649

1.275.336.562

1.671.245.623

2.202.327.668

2.601.068.395

Jumlah

Dari table 1
di atas,

memperlihatkan pendapatan dari hasil pengelolaan Obyek Wisata Tanah Lot sebesar 20% merupakan Pendapatan Asli desa Pekraman
Beraban dan merupakan komposisi terbesar pada beberapa sumber pendapatan desa adat Beraban.
Adapun Jumlah retribusi yang diperoleh obyek wisata Tanah Lot dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 disajikan dalam table 2. berikut:

Tabel 2. Hasil Pungutan Retribusi Obyek Wisata Tanah Lot Tahun 2005 2009

Keterangan

TAHUN
2005

2006

2007

2008

2009

4.387.139.700

9.547.884.950

12.143.674.400

14.676.335.150

17.333.327.100

442.554.300

397.712.500

495.389.700

600.050.300

714.068.600

Penghasilan Bersih

3.944.585.400

9.150.172.450

11.648.284.700

14.076.284.850

16.619.258.500

Biaya Operasional

1.479.920.000

2.665.000.000

3.939.075.153

3.939.075.153

4.082.528.507

Pendapatan Bersih

2.464.665.400

6.485.172.450

7.709.209.547

10.137.209.697

12.536.729.993

Biaya Promosi/ Pengembangan (15%)

972.775.868

1.156.381.432

1.520.581.455

1.880.509.499

Pendapatan Bersih

5.512.396.583

6.552.828.115

8.616.628.242

10.656.220.494

Penghasilan Kotor
Premi Asuransi

Distibusi:
Pemda Kabupaten Tabanan (55%)

1.355.565.970

3.031.818.120

3.604.055.463

4.739.145.533

5.860.921.272

CV. Arya Jasa (15%)

369.699.810

826.859.487

982.924.217

1.292.494.236

1.598.433.074

Desa Adat Beraban (20%)

492.933.080

1.102.479.317

1.310.565.623

1.723.325.648

2.131.244.099

Desa-Desa Adat Se Kec. Kediri (5%)

123.233.270

275.619.829

327.641.406

430.831.412

532.811.025

Pura Luhur Tanah Lot dan Sekitarnya (5%)

123.233.270

275.619.829

327.641.406

430.831.412

532.811.025

Sumber : Badan Operasional Obyek Wisata Tanah Lot

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa setiap tahun pendapatan retribusi yang didapat oleh Obyek Wisata Tanah Lot dan yang akhirnya diterima
oleh Desa Adat Beraban semakin meningkat dan retribusi dari Obyek Wisata Tanah Lot merupakan kontribusi sumber pendapatan terbesar
Desa Adat Beraban.

5/13

Analisisnya, jika dilihat dari konsepsi carrying capacity dengan asumsi tidak ada kenaikan harga tiket masuk dan retribusi lainnya, maka jika
dibandingkan dengan terjadinya peningkatan pendapatan asli Desa Beraban, maka dapat diperkirakan bahwa pengelolaan Obyek Wisata Tanah
Lot belum memperlihatkan adanya pengaturan jumlah pengunjung dan sangat dimungkinkkan pengelolaannya tanpa konsep carrying capacity.

2)

Kontribusi terhadap Penyerapan Tenaga Kerja

Tabel 3 dibawah, menunjukkan Jumlah penduduk Desa Beraban (Desa Dinas) sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 memperlihatkan
adanya peningkatan yang sangat berarti pada tahun 2009, hal ini sangat dimungkinkan adanya kaum pendatang dari sekitas Pulau Bali atau
kaum pendatang dari luar Bali untuk berusaha dan bekerja di sekitar Wilayah Desa Beraban.
Tabel 3. Jumlah Penduduk Desa Beraban Tahun 2005 2009
Sumber : BPS Kabupaten Tabanan
No

Tahun

Jumlah

Laki

Perempuan

Jumlah

Perubahan (%)

Keluarga

Pekerja badan operasional yang langsung diserap oleh


obyek wisata Tanah Lot adalah sebanyak 167 orang. Jadi
1
2005
1.449
2.726
2.735
5.461

secara sederhana dapat disimpulkan bahwa obyek


2
2006
1.456
2.763
2.771
5.534
1,34
wisata Tanah Lot telah memberikan kontribusi terhadap
penciptaan lapangan pekerjaan bagi Desa Beraban. Dan
3
2007
1.460
2.823
2.781
5.604
1,26
jumlah tenaga kerja yang diserap dari keseluruhan
pedagang tetap dan pedagang tidak tetap adalah 645
4
2008
1.465
2.845
2.805
5.650
0.82
orang. Dapat diketahui bahwa obyek wisata Tanah Lot
5
2009
1.625
2.938
3.034
5.972
5.70
secara langsung telah menyerap 812 orang tenaga kerja
(Kantor Bendesa Beraban, 2010). Sementara pedagang
yang ada di Obyek Wisata Tanah Lot sebanyak 528 pedagang (pedagang tetap dan pedagang tidak tetap). Persentase jumlah penduduk yang
bekerja di sektor wiraswasta/pedagang adalah 24% dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 607 orang.
Analisisnya, keberadaan Obyek Wisata Tanah Lot telah mampu melibatkan sebagian besar penduduk Desa Beraban dalam pengelolaan Obyek
Wisata baik secara langsung maupun tidak langsung.

3)

Kontribusi terhadap pembangunan fasilitas

Pengembangan objek Wisata Tanah Lot juga berdampak terhadap kondisi kepariwisataan di sekitar Obyek Wisata Tanah Lot itu sendiri. Oleh
karena fenomena itu, munculah beberapa hotel berbintang, villa, art shop, dan restoran di sekitar objek Wisata Tanah Lot yang tentunya berada
pada wilayah Desa Adat Beraban. Berikut disajikan pertambahan hotel, villa, pondok wisata, dan restoran yang ada di kawasan Desa Beraban
dari tahun 2005 sampai dengan 2009.

Tabel 4. Data Jumlah Hotel, Villa, Pondok Wisata, Restoran dan Artshop di Desa Braban Tahun 2005-2009

No

Tahun

Jumlah
Hotel

Villa

Pondok Wisata

Restoran

Art Shop

2005

341

2006

341

2007

341

2008

341

2009

341

Sumber : Kantor Desa Beraban

Jumlah art shop sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 menunjukkan jumlah yang tetap karena letak art shop telah diatur dengan baik

6/13

pada komplek tertentu dan diatur dalam bentuk lapak (stand). Sementara pembangunan restoran juga terkesan telah diatur dan dibatasi
pembangunanannya. Begitu juga dengan pembangunan hotel dan villa juga telah diatur dengan baik oleh pemda dan penguasa desa di wilayah
Desa Adat Beraban.
Analisisnya, berdasarkan data di atas, dapat diperkirakan bahwa pembangunan di Desa Beraban telah menerapkan tata wilayah dengan baik
minimal dengan pembatasan jumlah fasilitas pendukung yang sangat mungkin berdampak pada lingkungan fisik dan social.

4.1.2.

Posisi Obyek Wisata Tanah Lot berdasarkan Analisis Tourist Area Lifecycle

Konsolidasi (consolidation)

Obyek Wisata Tanah Lot berdasarkan Analisis Tourist Area Lifecycle berada pada phase Konsolidasi (consolidation)

Pada tahap ini, sektor pariwisata menunjukkan dominasi dalam struktur ekonomi pada suatu kawasan dan ada kecenderungan dominasi
jaringan international semakin kuat memegang peranannya pada kawasan wisataw atau destinasi tersebut. Kunjungan wisatawan masih
menunjukkan peningkatan yang cukup positif namun telah terjadi persaingan harga diantara perusahaan sejenis pada industri pariwisata pada
kawasan tersebut. Peranan pemerintah local mulai semakin berkurang sehingga diperlukan konsolidasi untuk melakukan re-organisasional, dan
balancing peran dan tugas antara sector pemerintah dan swasta.

Obyek Wisata Tanah Lot Perlu Melakukan Konsolidasi:


Fakta di lapangan menunjukkan bahwa: Pengelolan obyek Wisata Tanah Lot belum menerapkan manajemen Carrying Capacity sehingga
gesekan sangat mungkin terjadi pada wisatawan terhadap wisatawan yang lainnya untuk memperebutkan tempat-tempat tertentu agar dapat
menikmati atraksi utama dari Obyek Wisata Tanah Lot seperti pemandangan matahari tenggelam sunset (Observasi, 2011). Peningkatan
jumlah pengunjung tanpa memperhitungkan daya dukung akan cenderung memicu terjadinya kerusakan bagi lingkungan di sekitar obyek dan
mungkin juga bagi kerusakan aspek fisik dan non fisik Heritage Tanah Lot.
Paradoksi antara kepentingan ekonomi dan pelestarian heritage khususnya terhadap asset warisan budaya Pura Tanah Lot, benar-benat telah
terjadi pada beberapa bulan terakhir dan menunjukkan intensitas ketegangan yang semakin meningkat. Ketegangan berawal dari berakhirnya
masa kontrak kerjasama pengelolaan Tanah Lot antara Pemerintah Kabupaten Tabanan, CV Ari Jasa Wisata, dan Desa Adat Beraban yang
masa kontraknya berakhir pada 1 April 2011 (Bali Post, Juni 2011)
Sebagian besar warga Desa Adat beraban menginginkan pengelolaan Obyek Wisata Tanah Lot ditangani oleh Pemerintah Daerah Kabupaten
Tabanan dan Warga Desa Adat Beraban saja, sementara Pemerintah Kabupaten Tabanan tetap menginginkan komposisi pengelolaan yang
telah berjalan pada kontrak yang telah berakhir tetap berjalan untuk pengelolaan saat ini artinya tidak perlu ada perubahan, hanya dibuatkan
kontrak baru saja.
Usulan Warga Desa Adat Beraban yang berada pada tim perjuangan warga Beraban adalah, pengelolaan Tanah Lot hanya dikelola oleh Pemda
dan warga Desa Adat Beraban. Dengan komposisi pembagian hasil masing-masing Pemkab 50 persen, sisanya 50 persen bagi Desa Pekraman
Beraban. Khusus jatah Desa Beraban akan dibagi lagi dengan rincian, 70 persen Desa Pekraman Beraban dan pura Tanah Lot 30 persen. Jatah
70 persen bagi Desa Pakraman Beraban akan dibagi lagi ke sejumlah pura dan desa adat dengan komposisi, Desa Pekraman Beraban 80
persen, Pura Dangin Bingin 2,50 persen, Pura Bomo 1 persen dan Desa Adat se Kecamatan Kediri 16,5 persen. Sementara, jatah bagi Pura
Tanah Lot 30 persen akan dibagi lagi ke 8 lokasi pura, seperti Pura Tanah Lot, Pura Pakendungan, Pura Batu Bolong, Pura Jro Kandang, Pura
Penataran, Pura Enjung Galuh, Pura Batu Mejan dan Pura Hyang Api (Bali Post, Juni 2011).
Sementara, dari pihak Pemilik CV Ari Jasa Wisata, justru berpendapat lain, karena telah berjasa, harusnya tetap mendapat jatah dari Tanah Lot
karena. CV Ari Jasa Wisata merasa telah berjasa dengan dipercayainya, pihaknya mendapat bantuan dari Duta Besar Jerman dan Pemprov Bali
senilai Rp 81 juta untuk membangun wisata Tanah Lot. Setelah berjuang sendirian bertahun-tahun, Tanah Lot bisa dikenal dan mendulang
pendapatan bersih hingga Rp 12 miliar per tahun (Bali Post, Juni 2011).
Analisisnya, pengelolaan Obyek Wisata Tanah Lot telah membangkitkan hasrat bisnis warga Desa Beraban dan telah menimbulkan rasa
percaya diri bahwa mereka telah mampu untuk mengelola heritage tersebut secara mandiri tanpa campur tangan pihak swasta, sementara
pihak swasta (CV Ary Jasa Wisata) yang memang sejak berdirinya sudah bermotifkan bisnis, cenderung ingin melanjutkan klaim
keberhasilannya walaupun kontrak kerjasamanya telah berakhir. Implikasinya adalah, timbulnya gesekan dalam masyarakat yang mengarah
pada munculnya egoism kelompok, termasuk juga egoism kelompok masyarakat Desa Adat Beraban.
Pragmatisme Warga Desa Beraban cenderung mengarah pada hal-hal yang berbau material semata, sementara pertimbangan atas
kepentingan pelestarian Heritage serta Value atau nilai yang tersimpan Pura Tanah Lot tersebut masih sangat diragukan karena secara historis

7/13

Pura Tanah Lot adalah milik Masyarakat Bali bukan milik masyarakat Desa Adat Beraban Saja.

4.1.3.

Posisi Obyek Wisata Tanah Lot berdasarkan Analisis Irritation Index

Obyek Wusata Tanah Lot telah berada pada phase Annoyance dengan ditandai terjadinya kelesuan pada pengelolaan destinasi mulai terasa
atau dapat dikatakan mendekati titik jenuh. Para pemegang kebijakan mencari solusi dengan meningkatkan pembangunan infrastruktur tanpa
berusaha mengurangi jumlah wisatawan yang datang ke destinasi sehingga kedatangan wisatawan dianggap sudah mengganggu masyarakat
local.
Pengelolaan Obyek Wisata Tanah Lot telah berada pada phase Annoyance dengan ditandai terjadinya kelesuan pada pengelolaan destinasi,
mulai terasa atau dapat dikatakan mendekati titik jenuh, bahkan dapat dikatakan telah mendekati batas atas carrying capacity. Pengelolaan
Pura Tanah Lot sebagai Heritage telah mengalami perubahan atau komodifikasi fungsi yang berarti. Secara fisik keberadaan Pura Tanah Lot
sebagai daya tarik wisata telah mampu menggerakkan pembangunan fisik Desa Beraban secara keseluruhan namun perubahan perilaku
masyarakat yang diharapkan sebagai conserver (Pelestari) telah berubah menjadi Consumer (pengkonsumsi) dalam hal ini, mereka
mengkemas Pura Tanah Lot sebagai komoditas Obyek Wisata untuk mendapatkan keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya. Aspek
Pelestarian fisik telah berjalan dengan baik namun aspek pelestarian budaya beserta nilai yang terkandung pada Pura Tanah Lot sebagai
heritage yang merupakan milik warga Bali telah disabotase oleh Masyarakat Desa Adat Beraban hanya dengan alasan ekonomi semata.

4.2.

Kebun Raya Bedugul Bali

4.2.1.

Sejarah Kebun Raya

Sejarah berdirinya Kebun Raya Eka Karya Bali tidak dapat dipisahkan dari sejarah berdirinya Kebun Raya Bogor (KRB) yang bermula dari Prof.
Dr. C.G.C. Reinwardt, botanis asal Jerman yang berada di Indonesia pada awal abad ke-19. Ia menganggap eksplorasi tumbuhan dan masalah
pertanian juga merupakan tugasnya di Hindia Belanda. Kemudian ia menulis surat yang disampaikan kepada G.A.G.P. Baron van der Capellen,
Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia, memohon sebidang tanah untuk penelitian manfaat berbagai tumbuhan serta koleksi tanaman
yang bernilai ekonomi, berasal dari kawasan Indonesia dan mancanegara. Persisnya tanggal 18 Mei 1817 dilakukan pemancangan patok
pertama, kemudian tanggal tersebut menandai berdirinya Kebun Raya yang diberi nama Islands Plantentuin atau Hortus Botanicus Bogoriensis
seluas 47 hektar. Lokasinya berdampingan dengan Istana Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Bogor atau yang terkenal sekarang dengan
nama Istana Presiden Bogor. Melalui perjalanan yang panjang, sekarang luas Kebun Raya Bogor 87 hektar. Kebun Raya Bogor atau nama
lengkapnya Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, LIPI berada di bawah Kedeputian Ilmu Pengetahuan Ilmu Hayati-Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI). Kebun Raya Bogor merupakan pusat Kebun Raya yang membawahi 3 cabang Kebun Raya, yaitu Kebun Raya
Cibodas, Kebun Raya Purwodadi dan Kebun Raya Eka Karya Bali (LIPI, 2005)
Berdirinya Kebun Raya Eka Karya Bali berawal dari keinginan Prof. Ir. Kusnoto Setodiwiryo (Direktur Kebun Raya Indonesia Bogor) dan I Made
Taman (Kepala Lembaga Pelestarian dan Pengawetan Alam) untuk mengoleksi jenis-jenis tumbuhan dari seluruh dunia, mengoleksi jenis-jenis
tumbuhan Bali dan Nusa Tenggara, menyediakan fasilitas bagi kepentingan ilmu pengetahuan dan budaya, serta menyediakan wahana rekreasi
dan menjadikan salah satu objek wisata di Bali. Keinginan dan gagasan ini dimulai sejak tahun 1955 dengan mengadakan pendekatan kepada
Pemerintah Daerah Bali. Setelah melalui proses waktu yang cukup panjang, akhirnya mendapat tanggapan yang positip dari pejabat-pejabat
daerah seperti, Gubernur Sunda Kecil (Nusa Tenggara); Tengku Daud Syah, Residen Bali-Lombok; I Gusti Bagus Oka, Dewan Pemerintah
Daerah Bali; I Gusti Ngurah Sutedja, Kepala Bidang Pembangunan dan Ekonomi Dewan Pemerintah Bali; I Wayan Dangin, Dinas Pekerjaan
Umum Daerah Bali; I Ketut Mandra, Kepala Dinas Kehutanan; I Komang Tjoe dan Kepala Dinas Kehutanan Bali Selatan; I Nyoman Sulandra
(Sujana, 2002)
Pada tahun 1958 pejabat yang berwenang di Bali secara resmi menawarkan kepada Lembaga Pusat Penyelidikan Alam untuk mendirikan
kebun raya di Bali yang berfungsi sebagai lembaga ilmiah dan tempat rekreasi. Untuk mewujudkan tawaran tersebut, Direktur Lembaga Pusat
Penyelidikan Alam, Kepala Kebun Raya Bogor, Kepala Lembaga Pelestarian dan Pengawetan Alam, Kepala Pusat Penelitian Laut dan Direktur
Akademi Pertanian Bogor beserta beberapa mahasiswanya mengadakan peninjauan ke Bali (Sujana, 2002)
Keinginan pemerintah pusat untuk mendirikan kebun raya dengan areal meliputi danau Beratan tidak diijinkan oleh Pemerintah Daerah Bali
karena di areal tersebut telah terdapat pemukiman penduduk Candikuning yang sudah lama ada. Sebagai kesepakatan, lokasi kebun raya
ditetapkan pada hutan reboisasi Candikuning yang pada waktu itu sudah ditanami Altingia Exelsa, Manglitea Glauca, Syzigium Polanthum,
Toona Sureni dan Bischofia Javanica dengan luas 50 hektar. Lokasinya terletak di lereng sebelah timur Bukit Tapak, yang terletak pada
ketinggian 1.250 meter sampai dengan 1.450 meter dari permukaan laut, yang berbatasan langsung dengan cagar alam Batukaru (Sujana,
2002)
Kebun Raya Bali diresmikan oleh Prof. Ir. Kusnoto pada tanggal 15 Juli 1959, sebagai realisasi Surat Keputusan Kepala Daerah Tingkat I Bali
pada 19 Januari 1959. Nama Eka Karya diusulkan oleh I Made Taman, Kepala Lembaga Pelestarian dan Pengawetan Alam, sebagai salah
satu perintis Kebun Raya Bali (Sujana, 2002)

8/13

Untuk pertama kalinya ditanam beberapa jenis tanaman koleksi di sekitar wantilan seperti cemara pandak, cemara geseng, dan beberapa jenis
tanaman yang sengaja didatangkan dari Kebun Raya Cibodas dan Kebun Raya Bogor. Semua tanaman tersebut dapat tumbuh dengan baik
kecuali penanaman kayu merah (red wood) yang sangat terkenal di pantai barat Amerika mengalami kegagalan (mati pada tahun 1966).
Pemeliharaan kebun raya pada waktu itu dilakukan oleh 2 orang tenaga lapangan bantuan dari Pemerintah Daerah Bali yakni, I Gusti Made Puja
(pegawai Kehutanan) dan Nyoman Rampiag (Pegawai Pemda) dengan penanggungjawab Kepala Dinas Kehutanan Bali; I Komang Tjoe
(Sujana, 2002)
Pada tanggal 30 April 1976, Ketua LIPI meresmikan perluasan Kebun Raya Eka Karya Bali menjadi 129,20 hektar (Hasil pengukuran ulang
pada tahun 1993 luasnya diketahui 154,50 hektar) berupa kawasan hutan reboisasi Bukit Tapak, dengan status pengelolaan pinjam pakai dari
departemen kehutanan. Kebun Raya Eka Karya Bali merupakan salah satu unit pelaksana teknis balai pengembangan kebun raya dalam jajaran
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Sujana, 2002)

4.2.2. Tugas Pokok Kebun Raya Eka Karya

Kebun Raya Eka Karya Bali merupakan salah satu dari empat kebun raya yang berada di bawah naungan Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI). Adapun rencana induk pengembangan Kebun Raya Eka Karya yang disusun berdasarkan analisis kebutuhan dalam jangka
panjang tahunan adalah sebagai berikut, (1) Pengumpulan jenis-jenis Gymnospermae, yakni jenis-jenis tumbuhan berdaun jarum dari seluruh
dunia. (2) Pengumpulan jenis-jenis tumbuhan dari seluruh Bali dan Nusa Tengga yang habitat aslinya berasal dari daerah dataran tinggi basah.
(3) Rekreasi dan objek pariwisata di daerah Bali, disamping penyediaan fasilitas bagi kepentingan ilmu pengetahuan ilmiah. (4) Melakukan
kegiatan usaha tambahan untuk menunjang pembiayaan kebun raya (Sujana, 2002)
Kekayaan koleksi jenis tanaman pada empat kebun raya di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 4.1, dimana tercatat Kebun Raya Eka Karya
Bali menyimpan 20 koleksi Jenis tanaman, Kebun Raya Purwodadi menyimpan 48 koleksi jenis tanaman, Kebun Raya Cibodas menyimpan 55
kolekasi jenis tanaman dan yang terbanyak adalah Kebun Raya Bogor dengan jumlah koleksi sebanyak 177 jenis koleksi.
Gambar 4.1
Koleksi Tanaman Langka di Empat Kebun Raya di Indonesia
Sumber: IUCN Redlist Book 2001

Sedangkan tugas pokok yang diemban oleh Kebun Raya Eka Karya Bali adalah melakukan tugas inventarisasi, eksplorasi, dan
konservasi tumbuhan tropika yang mempunyai nilai ilmu pengetahuan dari kawasan dataran tinggi lembab. Untuk menyelenggarakan tugas
tersebut, Kebun Raya Eka Karya Bali mempunyai fungsi sebagai berikut, (1) melaksanakan inventarisasi berbagai jenis tumbuhan tropika yang
habitatnya dari dataran tinggi lembab, (2) melaksanakan ekplorasi jenis-jenis tumbuhan tropika yang habitatnya dari dataran tinggi lembab, (3)
melakukan konservasi terhadap tumbuhan tropika yang habitatnya dari dataran tinggi lembab yang mempunyai nilai ilmu pengetahuan dan
potensi ekonomi dalam rangka melestarikan sumber daya hayati (plasma nuftah) di bumi Indonesia, (4) melakukan pelayanan jasa ilmiah
dibidang arsitektur (lanscape) pertamanan serba ragam tanaman hias ( floracultural), introduksi dayaguna tumbuhan apresiasi masyarakan
terhadap alam lingkungan, dan (5) melakukan kegiatan tata usaha (Sujana, 2002)

Foto 4.1
Maskot Kebun Raya Eka Karya Kondisi Maret 2005
Sumber: Dokumentasi Penelitian, 2005

Foto 4.1 menampilkan Kebun Raya saat ini masih nampak asri, menawan, dan masih menyimpan keindahan alam sebagai atraksi wisata yang
menarik. Pohon-pohon langka, variasi tanaman masih terpelihara dengan baik, berarti pengelola Kebun Raya Eka Karya masih konsisten
dengan tugas-tugas yang diembannya.

4.2.3.

Pengelolaan Kebun Raya sebagai Obyek Wisata

Kebun Raya Eka Karya Bali semula hanyalah lembaga konservasi tumbuhan namun telah berkembang menjadi objek wisata (taman rekreasi)

9/13

yang menawan dan menarik, karena memadukan unsur keindahan alam, kelangkaan, dan keragaman jenis tanaman. Dengan melakukan
penelitian tentang wisatawan yang mengunjungi Kebun Raya Eka Karya Bali, diharapkan informasi tersebut akan berguna untuk pengembangan
taman atau kebun raya lainnya di Bali.
Untuk mengetahui lebih jelas (pemahaman empiris) mengenai kunjungan wisatawan yang berkunjung ke Kebun Raya Eka Karya Bali dapat
dilihat pada Tabel 1.2
Tabel 1.2
Kunjungan Wisatawan ke Kebun Raya Eka Karya Bali
Tahun 1998-2002.
Tahun

Jumlah (orang)

Perkembangan

1998

217.636

1999

211.172

-2.97%

2000

205.354

-2.76%

2001

270.117

31.54%

2002

17.894

-93.38%

Rata-rata

184.435

Sumber: Disparda Provinsi Bali (2003a), data diolah.

Tingkat kunjungan wisatawan ke Kebun Raya Eka Karya Bali (Tabel 1.2) dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2002 mengalami penurunan.
Namun demikian, jumlah kunjungan periode tersebut masih cukup tinggi dengan rata-rata 184.435 orang per tahun.
Sujana (2002) dalam penelitiannya tentang perumusan strategi pengelolaan objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali, menyarankan agar pihak
pengelola kebun raya Eka Karya melakukan strategi diversifikasi yang diarahkan untuk (1) Menata kembali kawasan ini, berupa: Penataan
lokasi kemah wisata, pembuatan jalan turun tebing, pendirian tempat berkemah, pengembangan daya guna flora dan fauna, pembudidayaan
tanaman air, arena bermain anak-anak, memperkaya koleksi tanamanan, membuat katalog tanaman, dukungan masyarakat sekitar berupa
penjualan souvenir. (2) Melakukan budidaya flora dan fauna berupa pengembangan produk yang dilakukan oleh seksi koleksi berupa: budidaya
flora tanaman air sehingga diharapkan dapat memberikan daya tarik lebih agar wisatawan tidak beralih ke objek lainnya. Budidaya fauna
khususnya binatang atau burung-burung yang telah ada, jenis serangga tertentu, dan juga binatang kera. (3) Menambah koleksi tanaman khas
Bali agar keunikannya semakin nampak berupa penambahan tanaman umbi-umbian (bumbu), tanaman obat, tanaman panca yadnya pada areal
khusus. (4) Menciptakan bentuk katalog baru, pembuatan taman supaya memberikan daya tarik unsur ilmiah, dengan nama latin serta bingkai
ukiran Bali. (5) Mempererat hubungan dan kerjasama dengan kelompok seni gong sebagai bentuk tanggungjawab sosial dengan masyarakat
lokal di daerah tujuan wisata yakni masyarakat Candikuning. (6) Melakukan kegiatan usaha tambahan seperti: membuat cinderamata khas
Kebun Raya Eka Karya, baju kaos bergambar wisatawan dengan latar Kebun Raya Eka Karya, mendirikan kios makanan dan minuman,
lapangan tenis dirawat lebih baik, penataan kembali gedung pertemuan, memperbanyak brosur sebagai media promosi.

4.2.4.

Posisi Obyek Kebun Raya Bali berdasarkan Analisis Tourist Area Lifecycle

Pengembangan (Development)

Obyek Kebun Raya Bali berdasarkan Analisis Tourist Area Lifecycle berada pada Pengembangan (Development).
Pada tahapan ini, telah terjadi kunjungan wisatawan dalam jumlah besar dan pemerintah sudah berani mengundang investor nasional atau
internatsional untuk menanamkan modal di kawasan wisataw yang akan dikembangkan. Perusahaan asing (MNC) Multinational company[9])
telah beroperasi dan cenderung mengantikan perusahan local yang telah ada, artinya usaha kecil yang dikelola oleh penduduk local mulai
tersisih hal ini terjadi karena adanya tuntutan wisatawan global yang mengharapkan standar mutu yang lebih baik. Organisasi pariwisata mulai
terbentuk dan menjalankan fungsinya khususnya fungsi promotif yang dilakukan bersama-sama dengan pemerintah sehingga investor asing
mulai tertarik dan memilih destinasi yang ada sebagai tujuan investasinya.
Phase Development ini merupakan diferensiasi fungsi kebun raya menjadi obyek wisata yang dirasakan mendatangkan manfaat ekonomi baik
bagi pengelola kebun raya, masyarakat sekitar obyek dan pendapatn pajak bagi pemerintah local. Hal senada juga dapat dilihat pada rencana
induk pengembangan Kebun Raya Eka Karya yang disusun berdasarkan analisis kebutuhan dalam jangka panjang tahunan adalah sebagai
berikut, (1) Pengumpulan jenis-jenis Gymnospermae, yakni jenis-jenis tumbuhan berdaun jarum dari seluruh dunia. (2) Pengumpulan jenis-jenis

10/13

tumbuhan dari seluruh Bali dan Nusa Tengga yang habitat aslinya berasal dari daerah dataran tinggi basah. (3) Rekreasi dan objek pariwisata di
daerah Bali, disamping penyediaan fasilitas bagi kepentingan ilmu pengetahuan ilmiah. (4) Melakukan kegiatan usaha tambahan untuk
menunjang pembiayaan kebun raya (Sujana, 2002). Artinya pengembangan Kebun Raya Bali sebagai obyek wisata sebenarnya untuk
menangkap peluang pasar yang semakin meningkat ditengah phase pembangunan Kebun Raya untuk mengemban fungsi utamanya karena
antara fungsi pengelolaan sebagai obyek wisata dirasakan dapat menopang pendanaan konservasi dan preservasi Kebun Raya Bali dalam
jangka pendek dan bahkan dalam jangka panjang.
Usaha-usaha pelibatan masyarakat lokal khususnya yang berhubungan penyediaan cinderamata, fasilitas makan dan minum terus dilakukan.
Pemberdayaan masyarakat lokal berupa pemberdayaan group tabuh kerawitan dan tari-tarian juga juga terus digalakkan.

4.2.5.

Posisi Obyek Kebun Raya Bali berdasarkan Analisis Irritation Index

Phase Euphoria ditandai dengan temukannya potensi pariwisata kemudian pembangunan dilakukan, para investor datang menanamkan modal
dengan membangun berbagai fasilitas bisnis pendukung pariwisata, sementara wisatawan mulai berdatangan ke sebuah destinasi yang sedang
dibangun, namun perencanaan dan kontrol belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Euphoria Kebun Raya Bali sebagai obyek wisata akan
terlihat khususnya pada hari-hari libur. Setiap hari libur, kebun raya bali rata-rata meningkat 4000% dari hari-hari biasanya artinya Kebun Raya
masih berada pada phase euphoria.

5.

Simpulan

Analisis Tourist Area lifecyle, dan Indext of Irritation, digunakan untuk menempatkan posisi masing-masing destinasi pada phase daur hidup
destinasi, dimana hasil analisis tersebut boleh digunakan untuk merumuskan strategi pengelolaan, pemasaran sebuah destinasi berdasarkan
lima aspek yakni: keadilan, efektivitas, efisiensi, kredibilitas dan integrasi (Theobald, 2004). Analisis tersebut sebenarnya meninjau kembali
kelayakan sebuah destinasi atau obyek wisata yang layak untuk membuat kebijakan melakukan perbaikan secara sukarela, di bawah lima
aspek: keadilan, efektivitas, efisiensi, kredibilitas, dan integrasi (Toth, 2002).
Khususnya analisis Irritation Index sebenarnya meninjau secara periodic tentang pelibatan stakeholder dalam perumusan strategi
pengembangan pariwisata secara berkelanjutan. Kebijakan mungkin menjadi hal yag sangat penting untuk diperhatikan dari waktu-kewaktu
karena sangat mungkin destinasi telah berada pada phase yang berbeda dan kebijakan sebelumnya mungkin tidak relevan lagi dengan situasi
saat ini. Pada sisi lainnya, sebuah keharusan untuk mengakomodasi seluruh masukan atau pendapat dari berbagai kelompok pemangku
kepentingan dalam hal identifikasi masalah, legitimasi, keterlibatan dan resolusi konflik. Kerangka stakeholder telah diterapkan dalam
hubungannya dengan siklus hidup daerah tujuan wisata dalam rangka menganalisis sikap terhadap pemangku kepentingan pariwisata dan
pembangunan berkelanjutan.
Obyek Wisata Tanah Lot adalah contoh nyata bahwa sebuah obyek wisata atau destinasi wisata senantiasa akan mengalami perubahan dan
memerlukan strategi pengelolaan yang berbeda sesuai dengan kondisi sebuah obyek pada phase apakah sebenarnya dia berada. Sementara
obyek wisata Kebun Raya Bali adalah sebuah contoh yang baik untuk menjelaskan adanya alih fungsi sebuah kawasan menjadi sebuah obyek
wisata yang dirasakan dapat menunjang fungsi utama dari sebuah kawasan khususnya yang berhubungan dengan aspek ekonomi yang
didapatkan dari aktivitas wisata.

Daftar Pusaka

A Door is Reopened to the Ivory Trade. (2011) U.S. News and World Report. 122: June 30, 1997 p4.

Alder, Joseph. (2011) Should Heads Keep Rolling in Africa?. Science 255/6 March, p1206-1207.

Badan Pusat Statistik. 2005. Data Kunjungan Wisatawan Mancanegara dan Nusantara yang langsung datang ke Bali. (Laporan) BPS Prov Bali.
Butler, R. W. 1980. The Concept of a Tourism Area Life Cycle of Evolution: Implications for Management of Resources. The Canadian
Geographer 24(1), p. 8.

Disparda. 2003a. Data Objek dan Daya Tarik Wisata tahun 2003 . Denpasar: Disparda Provinsi Bali.
Disparda. 2003b. BALI, Objek dan Daya Tarik Wisata tahun 2003. (Buku panduan pramuwisata). Denpasar: Disparda Provinsi Bali.
Gregorius. 2005. Perkaya Khazanah Wisata pada http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/5/19/pa2.htm

11/13

LIPI. 2005. Kebun Raya Bogor : Cikal Bakal Perpustakaan Indonesia pada http://www.lipi.go.id/www/www.cgi?cetak&1111211845
MSSRF 1998. Gulf of Mannar Marine Biosphere Reserve Programme. In: Biodiversity of Gulf of Mannar Marine Biosphere Reserve. pp. 1- 22.
MSSRF Proceeding no. 24.

MSSRF 1999. Gulf of Mannar: Project for promotion of alternative livelihood options for the poor in `the vicinity of the biosphere reserve. Project
document submitted to Ministry of Rural Development, Govt. of India and UNDP.

Panoramic photo of elephants is courtesy of Paul MacKenzies webcite: Elephant Information Repository

Photo of ivory tusks is copyright of World Wide Fund for Nature published in Conserving Africas Elephants: Current Issues and Priorities for
Action

Pura Tanah Lot is considered as Dang Kahyangan -One of the six main Bali temple, http://balineseindonesia.blogspot.com/2009/08/bali-travelto-puratanah-lot-temple.html

Sapta Nirwandar (2011) Pembangunan Sektor Pariwisata: Di Era Otonomi Daerah, di unduh pada 21 Maret 2011 pada
http://www.scribd.com/doc/35092726/440-1257-PEMBANGUNANSEKTORPARIWISATA1

Still in Business: The Ivory Trade in Asia, Seven Years After the CITES Ban (2011)
http://www.trafic.org/publications/summaries/summary_ivorytrade.htm

Sujana, I Wayan. 2002. Perumusan Strategi Pengelolaan Objek Wisata Kebun Raya Eka Karya Bali di Candikuning Baturiti Tabanan (Tesis)
Denpasar:Universitas Udayana.
Sugal, Cheri, Elephants of southern Africa must now pay their way. (2011) WorldWatch. Vol. 10, (September 1997) pp. 9.
Theobald, William F. (2010) Global Tourism Third edition: Amsterdam, Boston, Heidelberg, London, New York , Oxford, Paris , San Diego, San
Francisco, Singapore, Sydney. ButterworthHeinemann is an imprint of Elsevier

Toth, R. 2000. Implementing a Worldwide Sustainable Tourism Certification System. Alexandria, Va.: R.B. Toth Associates.
Tourism Vision 2020 UNWTO: pada http://pandeputusetiawan.wordpress.com

World Tourism Organization. 1999. <http://www.world-tourism.org/>;. Accessed September 16, 2003.


World Travel and Tourism. Council. 1996. Travel and Tourism. Press Release. Brussels, Belgium: WTTC.
United Nation-World Tourism Organization (2005), Tourism Highlight 2005, UN-WTO, Madrid.
[1]Tourism Highlight 2005, UN-WTO, Madrid
[2]Tourism Vision 2020 UNWTO.
[3] Although tourism is generally regarded as less destructive to the environment than most other industries, nevertheless, its sheer size and
widespread presence has already created negative physical and social environmental damage. Furthering the concept of sustainable
development, Murphy dan Price (dalam Theobald, 2004)
[4] Tourist Area Life Cycle (TLC)
[5] Butler, R. W. 1980. The Concept of a Tourism Area Life Cycle of Evolution: Implications for Management of Resources. The Canadian
Geographer 24(1), p. 8.

[6] Multinational company: Hotel Chain, Franchising, Tour agency, etc


[7] repeater guest adalah mereka yang tergolong wisatawan yang loyal dengan berbagai alasan

12/13

[8] Index of Irritation: Euphoria, Apathy, annoyance, dan antagonism


[9] Multinational company: Hotel Chain, Franchising, Tour agency, etc
About these ads

13/13

Vous aimerez peut-être aussi