Vous êtes sur la page 1sur 13

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN


DENGAN DIAGNOSA MEDIS THYMOMA

OLEH:
MAHASISWA B17

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2016

TINJAUAN TEORI THYMOMA

1. Definisi
Thymoma adalah tumor yang berasal dari epitel kelenjar thymus. Thymus
adalah organ yang berperan dalam system imun dengan memproduksi sel T. Thimus
memiliki dua tipe sel, yaitu epithelial dan limfolitik. Thymoma dapat timbul pada
kedua sel tersebut, yang dapat tumbuh jinak (non invasive) atau ganas (invasive).
Thymoma biasanya simptomatik pada waktu didiagnosis. Seperti pada massa
mediastinum lain, thymoma bisa timbul dengan gejala yang berhubungan dengan efek
massa local, yang mencakup nyeri dada, dispnoe, hemoptisis, batuk dan gejala yang
berhubungan dengan obstruksi vena cava superior.
Kejadian paling sering thymoma ditemukan pada usia dewasa (usia 40 50
tahun), jarang terjadi pada anak-anak. Tidak terdapat prevalensi jenis kelamin, suku
bangsa atau geografis. Malignitas ditentukan oleh pertumbuhan infiltrate didalam
organ-organ sekelilingnya. Thymoma kebanyakan berhubungan dengan myasthenia
gravis.
2. Etiologi
Penyebab thymoma tidak diketahui. Seperti kita ketahui kanker terjadi ketika
mekanisme normal yang mengontrol pertumbuhan sel terganggu, karena sel terus
menerus tumbuh tanpa berhenti. Hal ini disebabkan karena kerusakan pada DNA sel.
Demikian pula nampaknya yang terjadi pada thymoma, yaitu keadaan dimana
kelenjar thymus yang seharusnya tidak tumbuh lagi, malah menjadi semakin terus
membesar.
3. Patofisiologi
Tymoma maligna berasal dari epitel kelenjar tymus yang mengalami
pembesaran terus menerus. Malignitas ditentukan oleh pertumbuhan infiltrate didalam
organ-organ sekelilingnya. Metastase biasanya terjadi pada organ sekitar (paru, hati,
vena cava, dsb).

4. Manifestasi Klinis
Kelenjar thymus berada dibelakang tulang dada dan didepan trachea, esophagus,
jantung dan sebagian besar pembuluh darah yang menuju dan dari jantung. Karena
lokasi ini, menyebabkan thymoma akan membuat penekanan pada berbagai organ ini.
Apabila penekanan tidak terjadi, gejala inilah yang akan muncul :
-

Batuk

Nyeri dada saat bernafas dalam

Nafas pendek

Susah menelan

Wheezing

Suara serak

Pembesaran kelenjar limfe pada leher atau diatas tulang selangka

Banyak pasien dengan thymoma tidak merasakan gejala apa-apa tetapi baru diketahui
setelah terjadi pembengkakan diatas tulang dada. Satu dari tiga pesien dengan
thymoma, didiagnosa dengan myasthenia gravis.
5. Klasifikasi
Thymoma diklasifikasikan menjadi 6 subtipe secara histologis (tipe A, AB, B1, B2,
B3 dan C) berdasarkan sel epithelial neoplastik dan bersama dengan rasio limfositsel epitel. Tipe A terdiri dari sel-sel spindle, tipe AB merupakan campuran selsel
spindle dan limfosit, tipe B1 bila ditemukan sel limfosit lebih banyak dari sel
epithelial, tipe B2 merupakan campuran sel limfosit dan sel epithelial, tipe B3 bila
predominan sel-sel epithelial dan tipe C merupakan thymic carcinoma. 1
Stage dari Timoma:
1.

Stage I : belum invasi ke sekitar

2.

Stage II : invasi s/d pleura mediastinalis

3.

Stage III : invasi s/d pericardium

4.

Stage IV : Limphogen / hematogen

6. Komplikasi
1. Obstruksi trachea
2.

Sindrom Vena Cava Superior

3.

Invasi vascular dan catastrophic hemorrhage, dan

4.

Rupture esofagus

7. Pemeriksaan Penunjang
Imaging berperan untuk diagnosis awal dan penentuan stage thymoma dengan
memperhatikan invasi lokal dan perluasan/penyebaran penyakit. Imaging juga
dilakukan pada pasien untuk mendeteksi adanya kekambuhan (recurrent) atau tidak
dari neoplasma tersebut.
Pembesaran thymus nonneoplastik tidak boleh keliru dengan thymoma.
Thymus yang normal pada anak-anak muda dan hiperplasi thymus mungkin
menyerupai massa mediastinum. Thymus yang normal pada dewasa tidak terlihat
pada radiografi thorax, tetapi mungkin akan terlihat berbentuk segitiga pada CT atau
MRI imaging dan paling baik dilihat setinggi arcus aorta. Karakteristik hiperplasi
thymus pada CT berupa pembesaran thymus yang diffuse dan simetris dengan batas
yang licin (smooth) dan bentuknya seperti thymus normal. Kadang-kadang hiperplasi
thymus berubah dari thymus yang normal, manifestasinya sebagai massa thymus yang
focal dan tetap uptake fluoro-2-deoxy-D-glukosa (FDG) seperti thymoma. Untuk
membedakan pembesaran thymus nonneoplastik dengan thymoma tidak bisa dengan
pemeriksaan CT atau MRI konvensional imaging, MR imaging chemical shift dengan
in-phase dan out-of-phase gradient echo dapat membantu. Teknik ini membantu untuk
identifikasi infiltrasi lemak yang normal atau thymus hiperplasi, yang tidak seperti
gambaran thymoma dengan penurunan signal homogen pada out-of-phase relatif ke
in-phase images.
Secara radiologi, thymoma mempunyai gambaran khas unilateral, massa
mediastinum antero-superior, batas tegas, tepi licin, lobulated, bisa mendorong
jantung/pembuluh darah besar ke posterior dan lokasi bisa di mana saja dari thoracic
inlet sampai cardiophrenic angle. Thymoma mungkin menyebabkan penebalan tepi
anterior atau mungkin kelihatan sebagai nodul atau massa di region retrosternal pada
radiografi thorax. Tanda radiografi pada penyakit yang sudah lanjut berupa batas yang
irregular dengan paru di dekatnya dan elevasi hemidiafragma karena keterlibatan
nervus phrenicus. Nodul pleura merupakan indikasi adanya pleural metastasis (stage
IVa).
CT merupakan modalitas imaging terpilih untuk evaluasi thymoma dan dapat
membantu membedakan thymoma dengan abnormalitas mediastinum anterior yang

lain, meskipun radiasinya relatif besar. Limfadenopathy mediastinum yang luas, effusi
pleura dan pulmonal metastasis adalah karakteristik lebih dari proses neoplastik yang
lain dari thymoma. Gambaran khas thymoma berupa massa di mediastinum anterosuperior, ukuran 1 cm - 10 cm (rerata 5 cm) dengan kontur licin (batas jelas), round
atau lobulated yang secara karakteristik berasal dari satu lobus dari thymus dan
homogen. Keterlibatan mediastinum bilateral dapat juga muncul. Bahan kontras IV
sebaiknya diberikan bila tidak ada kontra indikasi, evaluasi pembuluh darah penting
untuk staging. Pada pemeriksaan CT scan nonkontras, thymoma biasanya akan
tampak seperti massa dengan densitas soft-tissue (40 HU 60 HU). Setelah
pemberian bahan kontras akan tampak enhancement homogen yang merupakan
karakteristik untuk thymoma, meskipun heterogen juga bisa tampak pada 1/3 kasus
thymoma oleh karena sudah terdapat nekrosis, perubahan kistik ataupun perdarahan.
Tumor dapat sebagian atau seluruhnya tertutup lemak dan kalsifikasi juga mungkin
tampak, bisa punctate, linear sepanjang kapsul atau coarse. Kalsifikasi thymoma yang
paling banyak ditemukan adalah bentuk foci kecil-kecil, kalsifikasi yang massif
adalah bentuk yang tidak umum dan bila ditemukan maka disebut kalsifikasi
dystrophic.
Hal penting pada penilaian dengan CT yaitu menentukan invasi lokal tumor,
karena berhubungan dengan prognosis dan pendekatan terapi yang akan
digunakan/diterapkan.
MRI mungkin lebih sensitif untuk massa thymus yang kecil dibanding dengan
CT. Meskipun peran MRI untuk identifikasi dan penentuan staging thymoma terbatas,
tetapi masih dipilih untuk diagnosis thymoma. Gambaran MRI thymoma yaitu akan
tampak isointens atau hiperintens dibanding muskulus pada T1, tampak hiperintens
dibanding muskulus dan isointens dengan fat di sekitarnya pada T2. Hal ini akan
menyulitkan untuk membedakan thymoma dengan jaringan lemak di sekitarnya.
Teknik fat-supression membantu pada keadaan ini. Pasien-pasien yang kontraindikasi
bahan kontras iodium (pada CT), bisa evaluasi pembuluh darah/kemungkinan invasi
dengan menggunakan MRI baik dengan material kontras maupun tidak. MRI dapat
digunakan untuk identifikasi ketebalan dinding pada cystic thymoma. Keuntungan
MRI yaitu tanpa radiasi dan dapat investigasi keterlibatan pembuluh darah sedang
kerugiannya memerlukan waktu yang lama dan kurang baik untuk investigasi
parenkim paru.

Thymoma mungkin menyebabkan invasi ke vaskuler, pleura atau meluas ke


pericardial. Tanda langsung (direct sign) perluasan ke vaskuler berupa kontur lumen
pembuluh darah yang irregular, obliterasi vaskuler dan endoluminal soft tissue yang
mungkin meluas ke chamber jantung. Gambaran CT, bila terjadi perluasan ke pleura
disebut drop metastase, yaitu berupa satu atau lebih nodul pleura atau massa yang bisa
licin, noduler atau diffuse dan hampir selalu ipsilateral. Effusi pleura tidak biasa
tampak pada pleural metastasis.
8. Penatalaksanaan
Pilihan pengobatan timoma berdasarkan stage dan hispatologi timoma yang
didapat. Bedah adalah pilihan terapi untuk timoma stage I, II, dan III dengan jenis
bedah yang dilakukan reseksi komplit. Pada kasus dengan kegawatan respiratori,
kardiologi, atau sisitem saluran cerna, dapatdilakukan De bulking untuk membuang
tumor sebanyak mungkin sehingga kegawatan dapat teratasi dan segera diikuti
dengan radiasi pascabedah (adjuvan radioterapi).
Kemoterapi dapat diberikan pada semua stage misalnya stage I, II, dan III
yang tidak mungkin dilakukan pembedahan. Kemoterapi adjuvan untuk timoma
stage III yang dibedah diberikan 2 minggu pascabedah dan syarat-syarat kemoterapi
telah terpenuhi.
Kemoterapi diberikan setiap 4 minggu (28 hari) dan maksimal 6 siklus dengan
evaluasi setelah pemberian 2 siklus. Kombinasi kemoterapi dan terapi diberikan
secara sekuensial karena tingginya efek samping masing-masing tindakana. Paduan
obat kemoterapi untuk timoma ada beberapa. Antara lain cisplatin + doxorubicin +
cyclophosphamide. Atau rejimen cisplatin + etoposide (PE), rejiman etoposide +
ifosfamid +cisplatin (VIP) atau doxorubicin + cisplatin + vincristin +
cyclophosphamide (ADOC).

ASKEP TEORI THYMOMA DAN VENTILATOR

A. Pengkajian
1. Identitas
Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: biasanya tindakan dilakukan
pada usia produktif atau usia kurang dari 60 tahun.
2. Riwayat sakit dan kesehatan
a. Keluhan utama
b. Riwayat penyakit saat ini
Penderita miastenia gravis didasarkan pada riwayat dan presentasi klinis. Riwayat
kelemahan otot setelah aktivitas dan pemulihan kekuatan parsial setelah istirahat
sangatlah menunjukkan miastenia gravis, pasien mungkin mengeluh kelemahan
setelah melakukan pekerjaan fisik yang sederhana. Riwayat adanya jatuhnya
kelopak mata pada pandangan atas dapat menjadi signifikan, juga bukti tentang
kelemahan otot.
c. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat adanya faktor penyebab, kondisi yang menyebabkan ketidakadekuatan
ventilasi, sebagai contoh:

Syok.

Penyakit kronos, cidera intrakranial, atau obat-obatan yang menekan berat


sistem saraf pusat.

Penyakit yang merusak otot-otot pernafasan (meastina gravis, polineuritis,


polimielitis).

Trauma dada.

Penyakit paru (emboli paru, PPOM)

d. Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Tingkat kecemasan:
Kecemasan pada pasien dengan menggunakan Ventilator dapat terjadi akibat
tindakan inkubasi, penggunaan Ventilator dan kebisingan yang dihasilkan oleh alatalat disekitar pasien.

Pola komunikasi (hambatan dalam komunikasi): gangguan komunikasi pada pasien


yang menggunakan Ventilator dapat terjadi akibat tindakan inkubasi.
Spiritual Kebutuhan dalam melakukan ibadah atau dukungan keluarga dalam doa
kepada Tuhan YME sangat dibutuhkan selama sakit / pemasangan ventilator
dengan tujuan mengurangi kecemasan atau rasa takut yang berlebihan.
e. Pemeriksaan fisik
Komponen-komonen pada pemeriksaan fisik adalah :
B 1 :Breathing (Pernafasan/Respirasi)
Pola napas : Dinilai kecepatan, irama, dan kualitas.
Bunyi napas: Bunyi napas normal; Vesikuler, broncho vesikuler.
Penurunan atau hilangnya bunyi napas dapat menunjukan adanya
atelektasis, pnemotorak atau fibrosis pada pleura. Rales (merupakan
tanda awal adanya CHF. emphysema) merupakan bunyi yang
dihasilkan oleh aliran udara yang melalui sekresi di dalam
trakeobronkial dan alveoli. Ronchi (dapat terjadi akibat penurunan
diameter saluran napas dan peningkatan usaha napas)
Bentuk dada : Perubahan diameter anterior - posterior (AP) menunjukan
adanya Chronic Obstructive Pulmonary Diseases (COPD)
Ekspansi dada : Dinilai penuh / tidak penuh, dan kesimetrisannya.
Ketidaksimetrisan mungkin menunjukan adanya atelektasis, lesi pada paru,
obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga, pnemotoraks, atau penempatan
endotrakeal dan tube trakeostomi yang kurang tepat.
Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai : Retraksi dari otot-otot
interkostal, substrernal, pernapasan abdomen, dan respirasi paradoks (retraksi
abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat terjadi jika otot-otot interkostal
tidak mampu menggerakan dinding dada.
Sputum.
Sputum yang keluar harus dinilai warnanya, jumlah dan konsistensinya.
Mukoid sputum biasa terjadi pada bronkitis kronik dan astma bronkiale;
sputum yang purulen (kuning hijau) biasa terjadi pada pnemonia,
brokhiektasis, brokhitis akut; sputum yang mengandung darah dapat
menunjukan adanya edema paru, TBC, dan kanker paru.
Selang oksigen

Endotrakeal tube, Nasopharingeal tube, diperhatikan panjangnya tube yang


berada di luar.
Parameter pada ventilator
Volume Tidal
Normal : 10 - 15 cc/kg BB.
Perubahan pada uduma fidal menunjukan adanya perubahan status ventilasi
penurunan volume tidal secara mendadak menunjukan adanya penurunan
ventilasi alveolar, yang akan meningkat PCO2. Sedangkan peningkatan
volume tidal secara mendadak menunjukan adanya peningkatan ventilasi
alveolar yang akan menurunkan PCO2.
Kapasitas Vital : Normal 50 - 60 cc / kg BB
Minute Ventilasi
Forced expiratory volume
Peak inspiratory pressure.
B 2 : Bleeding : Kardiovaskuler
1.

Irama jantung : Frekuensi .........x/m, reguler atau irreguler

2.

Distensi Vena Jugularis

3.

Tekanan Darah : Hipotensi dapat terjadi akibat dari penggunaan

ventilator
4.

Bunyi jantung : Dihasilkan oleh aktivitas katup jantung.

S1 : Terdengar saat kontraksi jantung / sistol ventrikel. Terjadi akibat


penutupan katup

mitral dan trikuspid.

S2 : Terdengar saat akhir kotraksi ventrikel. Terjadi akibat penutupan katup


pulmonal dan katup aorta.
S3 : Dikenal dengan ventrikuler gallop, manandakan adanya dilatasi
ventrikel.
Murmur : terdengar akibat adanya arus turbulansi darah. Biasanya terdengar
pada pasien gangguan katup atau CHF.
1. Pengisian kapiler : normal kurang dari 3 detik
2. Nadi perifer : ada / tidak dan kualitasnya harus diperiksa.
Aritmia dapat terjadi akibat adanya hipoksia miokardial.

3. PMI (Point of Maximal Impuls): Diameter normal 2 cm, pada


interkostal ke lima kiri pada garis midklavikula. Pergeseran lokasi
menunjukan adanya pembesaran ventrikel pasien hipoksemia
kronis.
4. Edema : Dikaji lokasi dan derajatnya.
B 3 : Brain : Persyarafan/Neurologik
1. Tingkat kesadaran
Penurunan tingkat kesadaran pada pasien dengan Ventilator dapat terjadi
akibat penurunan PCO2 yang menyebabkan vasokontriksi cerebral.
Akibatnya akan menurunkan sirkulasi cerebral.
Untuk menilai tingkat kesadaran dapat digunakan suatu skala pengkuran
yang disebut dengan Glasgow Coma Scale (GCS).
GCS memungkinkan untuk menilai secara obyektif respon pasien
terhadap lingkungan. Komponen yang dinilai adalah : Respon terbaik buka
mata, respon motorik, dan respon verbal. Nilai kesadaran pasien adalah
jumlah nilai-nilai dari ketiga komponen tersebut. Seperti terlihat pada tabel
berikut.
2.

Orientasi terhadap orang, tempat, dan waktu

3.

Sensorik- motorik pada ekstremitas.

4.

Refleks pupil :
Reaksi terhadap cahaya (kanan dan kiri)
Ukuran pupil (kanan dan kiri; 2-6mm)
Dilatasi pupil dapat disebabkan oleh : stress/takut, cedera neurologis
penggunaan atropta, adrenalin, dan kokain. Dilatasi pupil pada pasien yang
menggunakan Ventilator dapat terjadi akibat hipoksia cerebral.
Kontraksi pupil dapat disebabkan oleh kerusakan batang otak, penggunaan
narkotik, heroin.

B 4 : Bladder Perkemihan Eliminasi Uri/Genitourinaria


Kateter urin
Urine : warna, jumlah, dan karakteristik urine, termasuk berat jenis urine.
Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat
menurunnya perfusi pada ginjal.
Distesi kandung kemih

B 5 : Bowel : Pencernaan Eliminasi Alvi/Gastrointestinal


Rongga mulut
Penilaian pada mulut adalah ada tidaknya lesi pada mulut atau perubahan pada
lidah dapat menunjukan adanya dehidarsi.
Bising usus
Ada atau tidaknya dan kualitas bising usus harus dikaji sebelum melakukan
palpasi abdomen. Bising usus dapat terjadi pada paralitik ileus dan peritonitis.
Lakukan observasi bising usus selama 2 menit. Penurunan motilitas usus
dapat terjadi akibat tertelannya udara yang berasal dari sekitar selang
endotrakeal dan nasotrakeal.
Distensi abdomen
Dapat disebabkan oleh penumpukan cairan. Asites dapat diketahui dengan
memeriksa adanya gelombang air pada abdomen. Distensi abdomen dapat juga
terjadi akibat perdarahan yang disebabkan karena penggunaan IPPV. Penyebab
lain perdarahan saluran cerna pada pasien dengan Ventilator adalah stres,
hipersekresi gaster, penggunaan steroid yang berlebihan, kurangnya terapi
antasid, dan kurangnya pemasukan makanan.
Nyeri
Dapat menunjukan adanya perdarahan gastriintestinal
Pengeluaran dari NGT : jumlah dan warnanya
Mual dan muntah.
B 6 : Bone : Tulang Otot - Integumen
Warna kulit, suhu, kelembaban, dan turgor kulit.
Adanya perubahan warna kulit; warna kebiruan menunjukan adanya sianosis
(ujung kuku, ekstremitas, telinga, hidung, bibir dan membran mukosa). Pucat
pada wajah dan membran mukosa dapat berhubungan dengan rendahnya kadar
haemoglobin atau shok. Pucat, sianosis pada pasien yang menggunakan
ventilator dapat terjadi akibat adanya hipoksemia. Jaundice (warna kuning)
pada pasien yang menggunakan Ventilator dapat terjadi akibatpenurunan aliran
darah portal akibat dari penggunaan FRC dalam jangka waktu lama.
Pada pasien dengan kulit gelap, perubahan warna tersebut tidak begitu jelas
terlihat,. Warna kemerahan pada kulit dapat menunjukan adanya demam,
infeksi. Pada pasien yang menggunkan ventilator, infeksi dapat terjadi akibat
gangguan pembersihan jalan napas dan suktion yang tidak steril.

Integritas kulit
Perlu dikaji adanya lesi, dan dekubitus
B. Diagnosa keperawatan
1. Bersihan jalan napas tidak efektif
2. Gangguan pertukaran gas
3. Pola napas tidak efektif
C. Intervensi
1. Bersihan jalan napas tidak efektif
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 8x24 jam, tidak ada gangguan pada
bersihan jalan napas.
Kriteria Hasil:
1. RR Normal = 16 20x /m
2. Tidak ada batuk darah, tidak ada sekret
3. Tidak ada suara napas tambahan: ronchi, crackless, dll
Suara napas = vesikuler
Intervensi:
1. Pertahankan posisi pasien trendelenburg atau posisi kepala lebih rendah dari posisi
kaki
2. Kaji irama napas pasien, apakah cepat dan dalam, apakah kusmaul, ataukah
termasuk normal atau tidak, dokumentasikan temuan
3. Kaji suara napas, dokumentasikan temuan
4. Kaji kebutuhan oksigen pasien, dokumentasikan temuan
5. Kolaborasikan pemberian terapi oksigen yang sesuai dengan kebutuhan pasien
6. Kolaborasikan pemberian terapi koagulan
2. Gangguan pertukaran gas
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 8x24 jam, pertukaran gas tidak
terganggu.
Kritera Hasil:
1. Pasien menunjukkan peningkatan ventilasi dan oksigenasi, dengan indikator
BGA normal (pH 7,35-7,45, pCO2 35-45 mmHg, TCO2 23-30 mmol/l, pO2 802.
3.
4.

100 mmHg, BE -3,5-2,0, HCO3- 22-26 mmol/l)


Pasien tidak gaduh-gelisah, kesadaran tidak terganggu, GCS = E4 V5 M6
Pasien tidak mengalami sianosis, CRT <2 detik, tidak ada tanda-tanda kebiruan di
bibir atau di permukaan kuku
TTV dan pernapasan dalam batas normal :
TD = 100 130 / 70 90 mmHg
N = 60 100x /m
S = 360 C 37,50 C
RR = 16-20x/menit

Intervensi
1. Pertahankan posisi pasien trendelenburg: posisi kepala lebih rendah dari posisi kaki
2. Kaji irama napas pasien, apakah cepat dan dalam, apakah kusmaul, ataukah
termasuk normal atau tidak, dokumentasikan temuan
3. Kaji suara napas, dokumentasikan temuan
4. Kaji kebutuhan oksigen pasien dg saturasim dokumentasikan temuan
5. Kolaborasikan pemberian terapi oksigen yang sesuai dg kebutuhan pasien
6. Kolaborasikan untuk melakukan pemeriksaan BGA
7. Anjurkan pasien untuk tidak banyak melakukan aktivitas, sehingga dapat berfokus
pada kebutuhan pemenuhan istirahat.
3. Pola napas tidak efektif
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 8x24 jam, intoleransi aktivitas
teratasi.
Kriteria Hasil:
1.
TTV dan pernapasan dalam batas normal :
TD = 100 130 / 70 90 mmHg
N = 60 100x /m
S = 360 C 37,50 C
RR = 16-20x/menit
2.
Hb meningkat dan mencapai rentang normal : 10 g /dl
Pasien tidak tampak lemah, konjungtiva tidak anemis
Intervensi
1. Kaji TTV, termasuk inspeksi konjungtiva dan Hb.
2. Bantu pasien dalam pemenuhan ADL.
3. Tingkatkan keterlibatan keluarga dalam pemenuhan ADL pasien.
4. Berikan terapi latihan ambulasi untuk pasien sesuai kemampuan dan batas
toleransi aktivitas: miring kanan kiri.
5. Kolaborasikan pemberian obat anti perdarahan dan transfusi darah.
6. Kolaborasikan pemberian terapi oksigen.

Vous aimerez peut-être aussi