Vous êtes sur la page 1sur 35

BAB I

PENDAHULUAN
Demam

tifoid adalah penyakit infeksi sistemik yang bersifat akut

disebabkan oleh Salmonella typhi (S. typhi),

1-3

yang merupakan bakteri gram

negatif.4 Penyakit demam tifoid ini merupakan penyakit yang sering terjadi di
negara berkembang dan menyebabkan angka morbiditas dan mortalitas yang
tinggi pada semua usia.5,6

Insiden tertinggi didapati pada kelompok umur 5

sampai 15 tahun. Kasus demam tifoid di Indonesia angkanya mencapai 900.000


kasus per tahun dengan jumlah kematian sebanyak 20 000 orang.1
Transmisi penyakit ini adalah melalui fekal dan oral yang biasanya
terdapat dalam makanan dan air yang terkontaminasi dengan feses. 1,6 Biasanya
penyakit ini dijumpai didaerah yang padat penduduk dengan sanitasi yang jelek
dan sumber air yang tidak bersih. 6 Karakteristik dari demam tifoid ini adalah
demam dan nyeri perut. Rasa tidak nyaman di perut dan konstipasi juga sering
terjadi, diare terkadang bisa muncul sebagai salah satu gejala klinis.7
Standar emas untuk diagnosis demam tifoid adalah kultur darah atau
aspirasi sumsum tulang.1,4

Selain kultur darah dan cairan aspirasi sum-sum

tulang, kultur juga bisa berasal dari cairan tubuh lainnya seperti cairan duodenum,
urin atau feses.4,5 Tes serologi telah digunakan untuk diagnosis selama lebih dari
100 tahun. Tes Widal dikembangkan pada tahun 1896 untuk mendeteksi anti S
serotipe Typhi antibodi.4,5,8 Saat ini telah tersedia 3 jenis tes serologi untuk
mendiagnosis infeksi akut S. typhi yang lebih praktis dan cepat diantaranya Multi
test Dip-S-Ticks, Tubex, dan Typhidot.9 Tubex merupakan alat diagnostik yang
paling cepat untuk mendiagnosis demam tifoid,9 dan memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan yang lain.9-12
Salah satu obat pilihan untuk demam tifoid adalah kloramfenikol, 3,13 yang
telah digunakan selama lebih dari 40 tahun.4 Ampisilin memberikan respon
perbaikan klinis yang kurang apabila dibandingkan dengan kloramfenikol.
Kombinasi trimetoprim sulfametoksazol (TMP-SMZ) juga memberikan hasil
yang kurang baik dibandingkan kloramfenikol3. Saat ini dilaporkan telah banyak

kasus

demam

tifoid

yang

resisten

terhadap

ampisillin,

kloramfenikol,

sulfonamide, trimetoprim, streptomisin, dan tetrasiklin.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau Typhoid fever.
Demam tifoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran
pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai
gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.14
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella
paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif, tidak
membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan rambut
getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di
dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan,
pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi. 14
II.2 Etiologi
Salmonella typhi sama dengan Salmonela yang lain adalah bakteri gram
negatif, yang mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif
anaerob.15
Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu:
1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman.
Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin.
Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau fili dari
kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap
formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat melindungi
kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan
pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin. 15

Gambar 1. Gambaran mikroskopis Salmonella typhi16

Tabel 1. . Klasifikasi Salmonella typhi16

II.3 Epidemiologi
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di berbagai
negara sedang berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia ini
sangat sukar ditentukan, sebab penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan
spectrum klinisnya sangat luas. Diperkirakan angka kejadian dari 150 kasus/100.000
orang setiap tahun di Amerika Selatan dan 900 kasus/100.000 orang setiap tahun di
Asia. Umur penderita yang terkena demam tifoid di Indonesia (daerah endemis)
dilaporkan antara usia 3 sampai 19 tahun mencapai 91% kasus. Angka yang kurang
lebih sama juga dilaporkan dari Amerika selatan. 3
Salmonella typhi dapat hidup dalam tubuh manusia (manusia sebagai natural
reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengeksresikannya
melalui sekret saluran nafas, urin dan tinja dalam jangka waktu yang sangat
bervariasi. Salmonela typhi yang berada diluar tubuh manusia dapat hidup untuk
beberapa minggu apabila berada di dalam air, es, debu atau kotoran yang kering
maupun pada pakaian. Akan tetapi S.typhi hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu
pada raw sewage, dan mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (temperatur
63oC).17
Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui minuman atau
makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa
kuman, biasanya keluar bersama-sama dengan tinja (melalui rute oral fekal=jalur oro-

fekal). Dapat juga terjadi transmisi melalui transplasental dari seorang ibu hamil yang
berada pada kondisi bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan juga terjadinya
transmisi orofekal dari seorang ibu pembawa kuman pada saat proses kelahirannya
kepada bayinya dan sumber kuman berasal dari laboratorium penelitian. 3

II.4 Patogenesis
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia
melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh
asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak. Bila
respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan menembus
sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia
kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. 16
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya
dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening
mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama
yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama
hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian
berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam
sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan
disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik, seperti demam, malaise,
mialgia, sakit kepala dan sakit perut. 16

Gambar 2. Patogenesis Demam Tifoid 18


Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal itu terbukti
dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan
limulus. Diduga endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi makrofag di dalam
hati, limpa, folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk
memproduksi sitokin dan zat zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat
menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum
tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologik. 3
Pada demam tifoid terjadi respon imun humoral maupun selular baik di tingkat
lokal (gastrointestinal) maupun sistemik. Akan tetapi bagaimana mekanisme
imunologik ini dalam menimbulkan

kekebalan maupun eliminasi terhadap

Salmonella typhi tidak diketahui dengan pasti. Diperkirakan bahwa imunitas seluler
lebih berperan.3
II.5 Gejala Klinis

Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding
dengan penderita dewasa. Masa inkubasi demam tifoid 5 sampai 40 hari dengan

rata-rata antara 10 sampai 14 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi,
dari gejala klinis ringan dan tidak memerlukan perawatan khusus sampai dengan
berat sehingga harus dirawat. Variasi gejala ini disebabkan faktor galur
Salmonella, status nutrisi dan imunologik pejamu serta lama sakit dirumahnya. 3,16
Setelah masa inkubasi maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak
enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat.
Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu: 16
a. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat
febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh
berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan
meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus
berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh beraangsurangsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.16 Pada era pemakaian
antibiotik belum seperti pada saat ini, penampilan demam pada kasus demam
tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step ladder temperature chart yang ditandai
dengan demam timbul insidius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan
mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam akan
bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam turun secara perlahan, kecuali bila
terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak maka demam akan
menetap.3

Gambar 3. Perjalanan penyakit demam typhoid18


b. Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecahpecah (ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor di bagian tengahnya (coated
tongue) dengan ujung dan tepi lidahnya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada
abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan
limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi,
akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare. Pada beberapa kasus
dijumpai

gejala

nausea,

anoreksia,

malaise,

nyeri

perut

dan

radang

tenggorokan.3,16
c. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun, yaitu apatis sampai somnolen.
Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah 16. Pada kasus yang berat penderita dapat
datang dengan kondisi yang toksik/sakit berat bahkan datang dengan syok
hipovolemik sebagai akibat kurang masuknya cairan dan makanan.3
d. Gejala lain

Rose spot dapat dijumpai pada penderita tifoid, yaitu suatu ruam
makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 2 sampai 4 um seringkali
dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang
kulit putih, jarang terjadi pada anak Indonesia. Bronchitis dan bradikardia relatif
juga dapat dijumpai pada penderita demam tifoid tapi dalam persentase yang
sangat sedikit.3

Gambar 4. Persentase gambaran klinis pada demam tifoid18


II.6 Sumber Penularan (Reservoir)
Penularan penyakit demam tifoid oleh basil Salmonella typhi ke manusia
melalui makanan dan minuman yang telah tercemar oleh feses atau urin dari
penderita tifoid.
Ada dua sumber penularan Salmonella typhi, yaitu :
1. Penderita Demam Tifoid
Yang menjadi sumber utama infeksi adalah manusia yang selalu
mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit, baik ketika ia sedang
menderita sakit maupun yang sedang dalam penyembuhan. Pada masa
penyembuhan penderita pada umumnya masih mengandung bibit penyakit di
dalam kandung empedu dan ginjalnya. Sehingga penderita seperti ini masih dapat
menjadi sumber penularan bagi orang lain yang sehat.16

10

2. Karier Demam Tifoid.


Penderita tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau urin)
mengandung Salmonella typhi setelah satu tahun pasca demam tifoid, tanpa
disertai gejala klinis. Pada penderita demam tifoid yang telah sembuh setelah 2
sampai 3 bulan masih dapat ditemukan kuman Salmonella typhi di feces atau urin.
Penderita ini disebut karier pasca penyembuhan.
Pada demam tifoid sumber infeksi dari karier kronis adalah kandung
empedu dan ginjal (infeksi kronis, batu atau kelainan anatomi). Oleh karena itu
apabila terapi medika-mentosa dengan obat anti tifoid gagal, harus dilakukan
operasi untuk menghilangkan batu atau memperbaiki kelainan anatominya.16
Karier dapat dibagi dalam beberapa jenis:
a. Healthy carrier (inapparent) adalah mereka yang dalam riwayat hidupnya tidak
pernah menampakkan menderita penyakit tersebut secara klinis akan tetapi
mengandung unsur penyebab yang dapat menular pada orang lain, seperti pada
penyakit poliomyelitis, hepatitis B dan meningococcus.
b. Incubatory carrier (masa tunas) adalah mereka yang masih dalam masa tunas,
tetapi telah mempunyai potensi untuk menularkan penyakit/ sebagai sumber
penularan, seperti pada penyakit cacar air, campak dan pada virus hepatitis.
c. Convalescent carrier (baru sembuh klinis) adalah mereka yang baru sembuh
dari penyakit menulat tertentu, tetapi masih merupakan sumber penularan
penyakit tersebut untuk masa tertentu, yang masa penularannya kemungkinan
hanya sampai tiga bulan umpamanya kelompok salmonella, hepatitis B dan
pada dipteri.
d. Chronis carrier (menahun) merupakan sumber penularan yang cukup lama
seperti pada penyakit tifus abdominalis dan pada hepatitis B.15
Gambaran darah tepi
Anemia normokrom normositik terjadi sebagai akibat perdarahan usus
atau supresi pada sumsum tulang dengan jumlah leukosit rendah, namun jarang
dibawah 3.000 /uL3. Apabila terjadi abses piogenik maka jumlah leukosit dapat

11

meningkat mencapai 20.000 sampai 25.000/uL3. Trombositopenia sering


dijumpai, kadang kadang berlangsung beberapa minggu.3
II. 7 Diagnosis
Untuk mendiagnosis demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium.
Ada beberapa metode untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid, yaitu :
a. Diagnosis klinik
Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala klinis yang khas
pada demam tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama dapat juga ditemukan pada
penyakit lain. Diagnosis klinis demam tifoid sering kali terlewatkan karena pada
penyakit dengan demam beberapa hari tidak diperkirakan kemungkinan diagnosis
demam tifoid.16
b. Diagnosis mikrobiologik/pembiakan kuman
Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik dan lebih
dari 90% penderita yang tidak diobati, kultur darahnya positip dalam minggu
pertama. Hasil ini menurun drastis setelah pemakaian obat antibiotika, dimana hasil
positip

menjadi

40%.

Meskipun

demikian

kultur

sum-sum

tulang

tetap

memperlihatkan hasil yang tinggi yaitu 90% positip. Pada minggu-minggu


selanjutnya hasil kultur darah menurun, tetapi kultur urin meningkat yaitu 85% dan
25% berturut-turut positip pada minggu ke-3 dan ke-4. Organisme dalam tinja masih
dapat ditemukan selama 3 bulan dari 90% penderita dan kira-kira 3% penderita tetap
mengeluarkan kuman Salmonella typhi dalam tinjanya untuk jangka waktu yang
lama.17

12

Gambar 5. Skema pemeriksaan laboratorium pada demam typhoid 15

Pada pemeriksaan laboratorium tidak ada yang spesifik, tetapi bisa


didapatkan leukopenia, trombositopenia, dan anemia ringan.6 Standar emas untuk
diagnosis demam tifoid adalah kultur darah atau aspirasi sumsum tulang. 1,4 Kultur
darah memiliki sensitivitas yang rendah yaitu hanya 40% sampai 60% saja bila
dibandingkan dengan kultur aspirasi sumsum tulang yaitu lebih dari 80%. Selain
kultur cairan aspirasi sumsum tulang dan darah, kultur juga bisa berasal dari
cairan tubuh lainnya seperti cairan duodenum, atau bisa juga kultur feses. 4,5
Kultur darah dapat dilakukan pada dua minggu pertama sakit, bila dilakukan pada
minggu berikutnya hasil yang didapat kemungkinan lebih kecil.3 Kultur feses bisa
dilakukan pada fase akut demam tifoid,1 tetapi kemungkinan keberhasilannya
kecil.3
c. Diagnosis serologik
1. Uji Widal

13

Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam serum
penderita demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella typhi dan pada
orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid.
Antigen yang digunakan pada uij Widal adalah suspensi Salmonella typhi
yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita demam
tifoid.16,19
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang
ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar
pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang
aktif, titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang
waktu paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2
sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid. 20,21
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :
a. Titer O yang tinggi (>160) menunjukkan adanya infeksi akut
b. Titer H yang tinggi (>160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau pernah
menderita infeksi
c. Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.17
Beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal antara lain :
1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Penderita
a. Keadaan umum gizi penderita
Gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
b. Waktu pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Aglutinin baru dijumnpai dalam darah setelah penderita mengalami sakit
selama satu minggu dan mencapai puncaknya pada minggu kelima atau
keenam sakit.
c. Pengobatan dini dengan antibiotik
Pemberian

antibiotik

dengan

obat

antimikroba

dapat

menghambat

pembentukan antibodi.
d. Penyakit-penyakit tertentu

14

Pada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid tidak terjadi


pembentukan antibodi, misalnya pada penderita leukemia dan karsinoma
lanjut.
e. Pemakaian obat imunosupresif atau kortikosteroid dapat menghambat
pembentukan antibodi.
f. Vaksinasi
Pada orang yang divaksinasi demam tifoid, titer aglutinin O dan H
meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun,
sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh
karena itu titer aglutinin H pada seseorang yang pernah divaksinasi kurang
mempunyai nilai diagnostik.
g. Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya
Keadaan ini dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun titer
aglutininnya rendah. Di daerah endemik demam tifoid dapat dijumpai aglutinin
pada orang-orang yang sehat.17
2. Faktor-faktor teknis
a. Aglutinasi silang
Karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang
sama, maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat juga menimbulkan reaksi
aglutinasi pada spesies lain. Oleh karena itu spesies Salmonella penyebab infeksi
tidak dapat ditentukan dengan uji widal.
b. Konsentrasi suspensi antigen
Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada uji widal akan mempengaruhi
hasilnya.
c. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen dari strain lain. 17

Pemeriksaan serologi telah digunakan untuk diagnosis demam tifoid


selama lebih dari 100 tahun.4 Pemeriksaan Widal dikembangkan pada 1896 oleh
Felix Widal. Pemeriksaan Widal ini adalah berdasarkan penglihatan makroskopik
dari serum, yaitu reaksi aglutinasi antara lipopolisakarida somatik antigen O S.
typhi (TO) dan flagella antigen H (TH). 1,5,6,8

Biasanya antibodi O muncul pada

hari ke-6 sampai 8 dan antibodi H muncul pada hari 10 sampai 12 setelah onset
penyakit.1,6,9 Pemeriksaan Widal merupakan metode diagnostik yang mudah,

15

murah dan sederhana terutama untuk daerah berkembang. Pemeriksaan Widal


yang dilakukan didaerah dengan prevalensi rendah, hasilnya dikatakan positif bila
titer H dan titer O 1:80,8 sedangkan didaerah yang endemis hasil tes Widal
dikatakan positif bila titer O 1:320 dan titer H 1:640. 5 Penelitian di Tanzania
Afrika, mendapatkan bahwa pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas 75% dan
spesifisitas 98%.8 Sementara sebuah review menyatakan bahwa diagnosis yang
berdasarkan pemeriksaan Widal seringkali tidak akurat, hasil yang positif palsu
atau negatif palsu sering terjadi. Hal ini disebabkan karena tingginya variabilitas
dan standarisasi pembacaan hasil21. Idealnya pemeriksaan Widal seharusnya
dilakukan dua kali yaitu pada fase akut dan fase konvalesen untuk mendeteksi
peningkatan titer aglutinasi.9
2. Uji Enzym-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
a. Uji ELISA untuk melacak antibodi terhadap antigen Salmonella typhi.
Prinsip dasar uji ELISA yang dipakai umumnya uji ELISA tidak langsung.
Antibodi yang dilacak dengan uji ELISA ini tergantung dari jenis antigen yang
dipakai.16
b. Uji ELISA untuk melacak Salmonella typhi
Deteksi antigen spesifik dari Salmonella typhi dalam spesimen klinik (darah
atau urine) secara teoritis dapat menegakkan diagnosis demam tifoid secara dini dan
cepat. Uji ELISA yang sering dipakai untuk melacak adanya antigen Salmonella typhi
dalam spesimen klinis, yaitu double antibody sandwich ELISA. Pemeriksaan ini dapat
menentukan adanya antibody IgM maupun IgG spesifik pada pasien demam tifoid,
dan antigen deteksi yang digunakan adalah ekstrak sel S.typhi hasil pemurnian.
Antigen dipisahkan dari berbagai struktur subselular organism, antara lain adalah:
Lipopolisakarida (LPS), Outer Membran Protein (OMP), Flagella (d-H) dan kapsul
(virulence [Vi] antigen).19
Keterbatasan teknik ELISA selain memerlukan multi tahapan prosedur
sehingga tidak praktis, ELISA juga butuh berbagai peralatan, instrument reader dan
sumber listrik, dimana instrument dan enzim konjugat sebagai reagen masih sangat
mahal disamping itu hasilnya juga tidak dapat diharapkan segera (rapid) karena
membutuhkan waktu rata rata > 1 jam.19

16

3. Hibridisasi dengan pelacakan DNA


Dasar reaksi hibridisasi adalah kemampuan molekul asam nukleat rantai
tunggal untuk mendeteksi dan membentuk ikatan hidrogen (hibridisasi) dengan
asam

nukleat

rantai

tunggal

yang

mengandung

urutan

asam

nukleat

komplementernya. Reaksi hibridisasi merupakan reaksi kinetik yang efisien dan


dapat mendeteksi asam nukleat dalam jumlah yang sangat kecil dan dalam waktu
yang pendek.19
Teknik hibridisasi mempunyai sensitifitas yang tinggi, tapi

masalah

sensitifitas masih belum terpecahkan. Karena ternyata DNA probe tidak cukup
sensitif untuk mendeteksi kuman S.typhi dalam darah yang berjumlah sangat
rendah. Cut-off DNA probe adalah 500 bakteri/mL sedangkan spesimen pasien
umumnya hanya 10 sampai 15 kuman. Disamping itu cara tersebut masih
dianggap terlalu lama, karena memerlukan biakan selama semalam untuk
menunbuhkan koloni sebelum diidentifikasi.19
4. Polimerase Chain Reaction (PCR)
Metode PCR merupakan pengenbangan dari metode DNA probe guna
menggantikan prosedur biakan semalam tersebut. Prinsipnya adalah melakukan
perbanyakan DNA target secara in vitro dengan menggunakan enzim DNA
polymerase didalam alat thermocycler melalui siklus yang berulang-ulang,
sehingga dihasilkan berjuta juta rantai DNA baru yang serupa dengan DNA yang
dilacak. Diperkirakan bahwa uji PCR dapat melacak sampai sedikitnya 10 sel
S.typhi dan waktunya lebih baik dibandingkan dengan kultur, begitu pula
hasilnya.19
Kelemahan metode PCR ini adalah mudah terkontaminasi, baik dari
peralatan maupun ruangan di sekitarnya yang dapat mengakibatkan positif palsu.
Untuk saat ini baik DNA probe maupun PCR bahan dan materialnya masih cukup
mahal dan belum dapat dipakai untuk pelayanan kesehatan secara luas (terbatas
untuk penelitian).19
5. TUBEX
Sebagai respon terhadap kebutuhan alat diagnostik yang cepat dan dapat
dipercaya, saat ini telah dikembangkan beberapa pemeriksaan sebagai pengganti

17

pemeriksaan Widal, pemeriksaan tersebut diantaranya adalah Multi test Dip-STicks, Tubex dan Typhidot. Multi test Dip-S-Ticks merupakan alat pemeriksaan
untuk lima bakteri patogen, termasuk S.typhi. Alat pemeriksaannya berbentuk stik
yang dapat mendeteksi anti-O, anti-H, anti-Vi, antibody IgM, atau IgG yang
berada pada serum, plasma, atau whole blood yang mengandung heparin.9 Tubex
merupakan alat pemeriksaan pewarnaan semikuantitatif yang menggunakan
partikel aglutinasi, alat ini banyak digunakan di daerah endemis, 9,22 cara
pemeriksaannya sederhana dan cepat. 6,9,23
Tubex dapat mendeteksi
S.typhi).19,23

adanya antibodi IgM O9 (khusus untuk

Hasil Tubex dikatakan positif bila nilainya 4, sesuai dengan

petunjuk yang diberikan oleh perusahan yang memproduksi alat tersebut. 24


Kelemahan dari Tubex yang menggunakan reaksi pewarnaan adalah sulitnya
melakukan interpretasi hasil dari hemolisa sampel, Tubex juga bisa menimbulkan
hasil yang positif palsu pada pasien yang baru terinfeki S.enterica serotipe
Enteridis.9 Selain Tubex alat

pemeriksaan serologi cepat lainnya adalah

Typhidot, yang telah dikembangkan di Malaysia, pemeriksaan ini dapat


mendeteksi antibodi spesifik IgM dan IgG yang menyerang antigen S.typhi.6
Deteksi adanya IgM menunjukkan terjadi fase akut dari tifoid, hal ini terjadi pada
fase awal infeksi.23 IgG terdeteksi setelah beberapa hari timbul penyakit, 9 tetapi
bila terdeteksi keduanya yaitu IgG dan IgM, maka hal ini menunjukkan bahwa
tifoid terjadi pada fase pertengahan infeksi.23 Sebuah studi di Vietnam
mendapatkan bahwa kedua alat pemeriksaan yang cepat dan sederhana ini yaitu
Tubex dan Typhidot memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pemeriksaan Widal. Tubex memiliki sensitivitas 79% dan
spesifisitas 89%, Typhidot sensitivitas 78% dan spesifisitas 98%, sedangkan
pemeriksaan Widal sensitivitas 64% spesifisitasnya 76%. Studi ini juga
mendapatkan sensitivitas Typhidot lebih tinggi pada masa onset awal penyakit, hal
ini disebabkan karena IgM lebih mudah terdeteksi oleh Typhidot pada awal sakit.9
Studi yang dilakukan di Afrika untuk menilai sensitivitas dan spesifisitas Tubex
dibandingkan dengan pemeriksaan standar emas yaitu kultur darah, mendaptkan
hasil sensitivitas 79% dan spesifisitas 89% .12

18

Gambar 6. Respon antibodi Salmonella typhi dengan Tubex


II. 8 Penatalaksanaan
Kloramfenikol merupakan salah satu obat pilihan untuk demam tifoid.
Obat ini bersifat bakteriostatik. Dia dapat mengikat 50S subunit dari ribosom dan
menghambat sintesa protein bakteri. Obat ini memiliki spektrum yang luas, dapat
menyerang bakteri gram positif dan gram negatif termasuk bakteri anaerob dan
ricketsia. Kloramfenikol baik diabsorbsi secara oral dan juga tersedia dalam
bentuk intravena. Kloramfenikol dimetabolisme didalam hati.13,25

19

Kloramfenikol diberikan dengan dosis 100 mg/kg BB/ hari dibagi dalam
empat kali pemberian.3 Studi yang dilakukan di Malaysia terhadap anak-anak
yang menderita demam tifoid mendapatkan 97% anak tersebut sembuh, setelah
diobati dengan kloramfenikol dosis 40.5 mg/kg BB/hari untuk neonatus, dan 75.5
mg/kg BB/hari untuk anak-anak, dosis dibagi dalam empat kali pemberian selama
14 hari.25 Saat ini diketahui ada beberapa negara yang telah mengalami resisten
terhadap kloramfenikol untuk pengobatan demam tifoid,1 diantaranya adalah
Kairo dan India.26,27 Alternatif lain untuk pengobatan demam tifoid adalah
pemberian sefalosporin generasi ketiga seperti seftriakson 100 mg/kg/hari dalam 1
atau 2 dosis, atau sefotaksim 150-200 mg/kg/hr dalam 3-4 dosis. Efikasi kuinolon
baik tetapi tidak dianjurkan untuk anak. Sefiksim oral 10-15 mg/kgBB/hari
selama 10 hari dapat diberikan sebagai terapi untuk demam tifoid.3
II.9 Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, yaitu :
1. Komplikasi Intestinal
a. Perdarahan Usus
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan
minor yang tidak membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat
terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut
darurat

bedah

ditegakkan

bila

terdapat

perdarahan

sebanyak

ml/kgBB/jam.17
b. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya
timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu
pertama. Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut
yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian
meyebar ke seluruh perut. Tanda perforasi lainnya adalah muntah, nyeri
pada perabaan abdomen, defance muskulare, hilangnya keredupan hepar
dan tanda tanda peritonitis lain, nadi cepat, tekanan darah turun dan

20

bahkan sampai syok. Beberapa kasus perforasi usus halus mempunyai


manifestasi klinis yang tidak jelas.3,17
2. Komplikasi Ekstraintestinal
Dilaporkan pada kasus dengan komplikasi neuropsikiatri. Sebagian besar
bermanifestasi gangguan kesadaran, disorientasi, delirium, obtundasi, stupor
bahkan koma. Beberapa penulis mengaitkan manifestasi klinis neuropsikiatri
dengan prognosis buruk. Penyakit neurologi lain adalah thrombosis serebral,
afasia, ataksia sereberal akut, tuli, mielitis transversal, neuritis perifer maupun
cranial, meningitis, ensefalomielitis, sindrom Guillain Barre.3
Dari berbagai penyulit neurologik yang terjadi, jarang dilaporkan gejala
sisa yang permanen (sekuele). Miokarditis dapat timbul dengan manifestasi klinis
berupa aritmia, perubahan gelombang ST dan gelombang T pada pemeriksaan
elektrokardiografi (EKG), syok kardiogenik, infiltrasi lemak maupun nekrosis
pada jantung. Hepatitis tifosa asimtomatik dapat dijumpai pada kasus demam
tifoid dengan ditandai peningkatan kadar transaminase yang tidak mencolok.
Ikterus dengan atau tanpa disertai kenaikan kadar transaminase, maupun
kolesistitis akut juga dapat dijumpai, sedang kolesistitis kronik yang terjadi pada
penderita setelah mengalami demam tifoid dapat dikaitkan dengan adanya batu
empedu dan fenomena pembawa kuman.3,17
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi
melalui urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis bahkan pielonefritis
dapat menjadi penyulit pada demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai,
sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal
maupun sindroma nefrotik mempunyai prognosis yang buruk. Pneumonia sebagai
penyulit sering dijumpai pada demam tifoid. Keadaan ini dapat ditimbulkan oleh
kuman Salmonella typhi, namun seringkali sebagai akibat infeksi sekunder oleh
kuman lain. Penyulit yang dapat dijumpai adalah trombositopenia, koagulasi
intravaskular diseminata, Hemolitic uremic syndrome (HUS), fokal infeksi
dibeberapa lokasi lokasi sebagai akibat bakteremia misalnya infeksi pada tulang,
otak, hati, limpa, otot, kelenjar ludah dan persendian.3

21

Relaps yang didapat pada 5 sampai 10% kasus demam tifoid saat era
preantibiotik, sekarang lebih jarang ditemukan. Apabila terjadi relaps, demam
timbul kembali seminggu setelah penghentian antibiotik. Namun pernah juga
dilaporkan relaps timbul saat stadium konvalesens, saat pasien tidak demam akan
tetapi gejala lain masih jelas dan masih dalam proses pengobatan antibiotik. Pada
umumnya relaps lebih ringan dibandingkan gejala demam tifoid sebelumnya.17
II.10 Pencegahan
Pencegahan dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan perjalanan
penyakit, yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier.
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang
sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Pencegahan
primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari
strain Salmonella typhi yang dilemahkan. Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin
tifoid, yaitu:
a. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang
diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini
kontraindikasi pada wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang mengkonsumsi
antibiotik . Lama proteksi 5 tahun.
b. Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni, K
vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol
preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 12 tahun 0,25 ml dan anak 1 5
tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek samping
adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada tempat suntikan.
Kontraindikasi demam,hamil dan riwayat demam pada pemberian pertama.
c. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan
secara intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi pada hipersensitif,
hamil, menyusui, sedang demam dan anak umur 2 tahun. Indikasi vaksinasi

22

adalah bila hendak mengunjungi daerah endemik, orang yang terpapar dengan
penderita karier tifoid dan petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan.3,17
Mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh, memberikan
pendidikan kesehatan untuk menerapkan prilaku hidup bersih dan sehat dengan
cara budaya cuci tangan yang benar dengan memakai sabun, peningkatan higiene
makanan dan minuman berupa menggunakan cara-cara yang cermat dan bersih
dalam pengolahan dan penyajian makanan, sejak awal pengolahan, pendinginan
sampai penyajian untuk dimakan, dan perbaikan sanitasi lingkungan.14
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit
secara dini dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat.

Untuk

mendiagnosis demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium.


Pencegahan sekunder dapat berupa :
a. Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui penigkatan usaha
surveilans tifoid.
b. Perawatan umum dan nutrisi.21
Penderita demam tifoid, dengan gambaran klinis jelas sebaiknya dirawat di
rumah sakit atau sarana kesehatan lain yang ada fasilitas perawatan. Penderita
yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah komplikasi,
terutama perdarahan dan perforasi. Bila klinis berat, penderita harus istirahat total.
Bila penyakit membaik, maka dilakukan mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan
pulihnya kekuatan penderita. Nutrisi pada penderita demam tifoid dengan
pemberian cairan dan diet.
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun
parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada
komplikasi penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus
mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Sedangkan diet harus
mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah serat untuk

23

mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita tifoid biasanya


diklasifikasikan atas : diet cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa.3
c. Pemberian anti mikroba (antibiotik)
Anti mikroba (antibiotik) segera diberikan bila diagnosa telah dibuat.
Kloramfenikol masih menjadi pilihan pertama, berdasarkan efikasi dan harga.
Kekurangannya adalah jangka waktu pemberiannya yang lama, serta cukup sering
menimbulkan karier dan relaps.
Kloramfenikol tidak boleh diberikan pada wanita hamil, terutama pada
trimester III karena dapat menyebabkan partus prematur, serta janin mati dalam
kandungan. Oleh karena itu obat yang paling aman diberikan pada wanita hamil
adalah ampisilin atau amoksilin.3
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi
keparahan akibat komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit
demam tifoid sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat, sehingga imunitas
tubuh tetap terjaga dan dapat terhindar dari infeksi ulang demam tifoid.
Pada penderita demam tifoid yang carier perlu dilakukan pemerikasaan
laboratorium pasca penyembuhan untuk mengetahui kuman masih ada atau tidak.3
II.11 Prognosis
Prognosis pada penderita demam tifoid cukup baik apabila pasien datang
pada tahap awal dan belum disertai dengan munculnya komplikasi komplikasi
yang dapat menyulitkan pengobatan demam tifoid.

24

BAB III
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
No. RM
Tanggal Masuk
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Agama
Alamat

: 047341
: 19 Juli 2016
: Ny. N
: 34 tahun
: Perempuan
: Islam
: Jl.Temusai, Bunga Raya

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Demam sejak 1 minggu ini
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke RSUD Siak dengan keluhan demam terus-menerus
sejak 1 minggu ini. Pasien juga merasa menggigil (+), mual (-),
muntah (+) 5x. Muntah berisi makanan. BAB (+) normal, BAK (+)
normal.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat Hipertensi
: disangkal
- Riwayat Diabetes Melitus
: disangkal
- Riwayat Asma
: disangkal
- Riwayat Penyakit Jantung
: disangkal
- Riwayat Alergi Obat
: disangkal
- Riwayat Gastritis
: disangkal
- Riwayat penyakit selama kehamilan: disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
-

Riwayat Hipertensi
Riwayat Diabetes Melitus
Riwayat Asma
Riwayat Penyakit Jantung

: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal

Riwayat Pengobatan
(-)
Riwayat Psikososial
Riwayat Alergi Obat/Makanan
Os suka beli makanan diluar

25

III.

PEMERIKSAAN FISIK
Status internus

Keadaan Umum

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Composmentis Cooperatif

Tanda Vital

Tekanan Darah

: 130/70 mmHg

Nadi

: 88 x / menit

Pernapasan

: 20 x / menit, teratur

Suhu

: 37,6 0C

Mata : mata cekung (-/-), konjungtiva palpebra anemis (-/-),


sklera ikterik (-/-)

Telinga: discharge (-/-)

Hidung

Mulut : sianosis (-), bibir kering (+), lidah kotor (+)

Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thorak :
Cor

: discharge (-/-), napas cuping hidung (-/-)

: BJ I, II reguler, bising (-)


konfigurasi jantung dalam batas normal

Pulmo

: SD vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen

: bising usus (+) , nyeri tekan epigastrium (-)

Ekstremitas

:
Superior
-/-

Inferior
-/-

-/-

-/-

Refleks Fisiologis

+N/+N

+N/+N

Refleks Patologis

-/-

-/-

Edema
Akral dingin

IV.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

26

Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 19 Juli 2016
Darah Rutin
Hb
: 10,6 gr/dL
Ht
: 30,8 %
Leukosit
: 14.500 mm3
Trombosit
: 266.000 mm3
Uji Widal
Titer O

: 1/320

Titer H

: 1/320

Uji Malaria

: (-)

V. RESUME ANAMNESIS
Pasien datang ke RSUD Siak dengan keluhan demam terus-menerus sejak 1
minggu ini. Pasien juga merasa menggigil (+), mual (-), muntah (+) 5x. Muntah
berisi makanan. BAB (+) normal, BAK (+) normal. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan bibir kering (+), lidah kotor (+), os sering membeli makanan diluar.
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan leukosit 14.500 mm3 dan pemeriksaan
penunjang didapatkan uji widal (+), titer O = 1/320 dan titer H 1/320. Uji malaria
(-).
VI.

DIAGNOSA KERJA
Typhoid fever

VII.

PENATALAKSANAAN
IVFD RL 30 ggt/i
Inj. Radin 2 x 1 amp
Inj. Ondansetron 2 x 1 amp
Inj. Ceftriaxone 2 x 1gr
Paracetamol tab 3 x 500 mg

VIII. PROGNOSIS
Quo Ad Visam

: dubia ad bonam

27

Quo Ad Sanam
Quo Ad fungionam

: dubia ad bonam
: dubia ad bonam

XI. FOLLOW UP
Tanggal Subject
Objective
Assesment
Selasa, Demam (+), nyeri TD : 120/80 mmHg Thypoid
19

Juli perut (+), sakit T : 39,3 0C

2016

fever

kepala (-), pusing RR : 20 x/i


(+),

mual

Planning
1. IVFD RL 30
ggt/i
2. Inj. Radin 2 x

(-), HR : 60 x/i

1 amp

muntah (+).

3. Inj.
Ondansetron
2 x 1 amp
4. Inj.
Ceftriaxone 2
x 1gr
5. Paracetamol
tab 3 x 500
mg
Rabu,
20
2016

Demam (+), nyeri TD : 90/60 mmHg

Juli perut (+), sakit T : 36,4 C


kepala (-), pusing RR : 22 x/i
(+),

mual

muntah (+).

(-), HR : 81 x/i

Thypoid
fever

1. IVFD RL 30
ggt/i
2. Inj. Radin 2 x
1 amp
3. Inj.
Ondansetron
2 x 1 amp
4. Inj.
Ceftriaxone 2
x 1gr

28

5. Paracetamol
tab 3 x 500
mg
Kamis,
21

Demam (+), nyeri TD : 120/80 mmHg Thypoid

Juli perut (+), sakit T : 36,5 C

2016

fever

kepala (-), pusing RR : 20 x/i


(+),

mual

1. IVFD RL 30
ggt/i
2. Inj. Radin 2 x

(-), HR : 80 x/i

1 amp

muntah (+).

3. Inj.
Ondansetron
2 x 1 amp
4. Inj.
Ceftriaxone 2
x 1gr
5. Paracetamol
tab 3 x 500
mg
Jumat,
22
2016

Demam (-), nyeri TD : 100/60 mmHg Thypoid

Juli perut

(-),

sakit T : 36,2 C

Pasien boleh pulang

fever

kepala (-), pusing RR : 20 x/i


-),

mual

(-), HR : 80 x/i

muntah (-).

29

BAB IV
ANALISIS KASUS
Pasien datang ke RSUD Siak dengan keluhan demam terus-menerus sejak
1 minggu ini. Pasien juga merasa menggigil (+), mual (-), muntah (+) 5x.
Muntah berisi makanan. BAB (+) normal, BAK (+) normal. Pada pemeriksaan
fisik ditemukan bibir kering (+), lidah kotor (+), os sering membeli makanan
diluar. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan leukosit 14.500 mm3 dan
pemeriksaan penunjang didapatkan uji widal (+), titer O = 1/320 dan titer H
1/320. Uji malaria (-).
Pada kasus ini, pasien didiagnosis dengan demam tifoid karena pada
pasien ditemukan adanya demam yang terus menerus lebih kurang 1 minggu ini,
adanya keluhan mual dan muntah (+), pada pemeriksaan fisik ditemukan lidah

30

kotor (+), bibir kering (+), os mengaku juga sering membeli makanan diluar. Pada
pemeriksaan penunjang ditemukan leukositosis yaitu leukosit 14.500 mm3, uji
widal titer O 1/320 dan titer H 1/320. Demam typhoid merupakan penyakit infeksi
sistemik akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan pendukung lainnya,
pada pasien ini seharusnya dilakukan pemeriksaan TUBEX untuk menunjang
penegakan diagnosis pada penderita demam tifoid dengan sensitifitas dan
spesifisitas yang cukup baik. Terlebih pada umumnya penduduk siak merupakan
penderita incubatory carrier yaitu pasien sudah tersensitisasi dengan air sungai
siak yang tercemar dengan Salmonella typhii, sehingga pada uji widal dapat
positif palsu sehingga dianggap kurang spesifik untuk mendiagosis demam
thypoid.
Terapi yang diberikan adalah pemberian makan dan cairan yang cukup,
antibiotik, dan edukasi untuk menjaga higienitas. Pada pasien diberikan terapi
IVFD RL 30 ggt/i, Inj. Radin 2 x 1 amp, Inj. Ondansetron 2 x 1 amp, Inj.
Ceftriaxone 2 x 1gr, paracetamol tab 3 x 500 mg. IVFD RL untuk rehidrasi
kebutuhan cairan pasien. Injeksi radin (ranitidine hcl) untuk menetralisir asam
lambung. Injeksi ondansetron untuk mengatasi muntah. Injeksi ceftriaxone
sebagai antibiotik untuk membunuh kuman S. tyhpii. Seharusnya pada pasien ini
diberikan antibiotik kloramfenikol, karena kloramfenikol merupakan obat pilihan
pertama pada demam thypoid. Untuk menghindari terjangkit penyakit demam
tifoid

diperlukan

pencegahan

terhadap

infeksi

demam

tifoid

dengan

memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang baik dan dengan pemberian
vaksinasi terhadap penyakit tifoid.

31

BAB V
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Background document: the diagnosis,
treatment and prevention of typhoid fever. Switzerland: WHO; 2003
2. Shetty N. Infection in the returning traveler. Dalam: Shetty N, Tang JW,
Andrews J, penyunting. Infectious disease: pathogenesis, prevention, and
case studies. Malaysia: Blackwell Publishing, 2009. h.531-2
3. Soedarmo SPS, Garna H, Hadinegoro, Satari HI. Demam tifoid. Dalam:
Soedarmo SPS, Garna H, Hadinegoro, Satari HI, penyunting. Buku ajar
infeksi & pediatri tropis. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia,
2012.h.338-45

32

4. Sanchez-Vargas FM, Abu-El-Haija MA, Gmez-Duarte OG. Salmonella


infection: an update on epidemiology, management, and prevention. Travel
Med Infect Dis. 2011; 9:263-77
5. Thielman NM, Crump JA, Guerrant RL. Enteric fever and other causes of
abdominal symptoms with fever. Dalam: Mandell GL, Bennett JE, Dolin
R, penyunting. Principles and practice of infectious diseases. Edisi tujuh.
Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier, 2010. h.1399-1409
6. Schwartz E. Typhoid and paratyphoid fever. Dalam: Schwartz E,
penyunting. Tropical diseases in travelers. Edisi pertama. Singapore:
Blackwell Publishing, 2009. h.144-51
7. Freedman DO. Infections in returning travelers. Dalam: Mandell GL,
Bennett JE, Dolin R, penyunting. Principles and practice of infectious
diseases. Edisi tujuh. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier, 2010.
h.4019-28
8. Ley B, Mtove G, Thriemer K, Amos B, Von Seidlein L, Hendriksen I, dkk.
Evaluation of the Widal tube agglutination test for the diagnosis of typhoid
fever among children admitted to a rural hospital in Tanzania and a
comparison with previous studies. BMC Infect Dis. 2010; 10:1-9
9. Olsen SJ, Pruckler J, Bibb W, My Thanh NT, My Trinh T, Minh NT, dkk.
Evaluation of rapid diagnostic tests for typhoid fever. J Clin Microbiol.
2004; 42:1885-89
10. Kawano RL. Leano SA, Agdamag DMA. Comparison of serological test
kits for diagnosis of typhoid fever in the Philippines. J Clin Microbiol.
2007; 45:246-7
11. House D, Wain J, Ho VA, Diep TS, Chinh NT, Bay PV, dkk. Serology of
typhoid fever in an area of endemicity and its relevance to diagnosis. J
Clin Microbiol. 2001; 39:1002-7
12. Ley B, Thriemer K, Ame SM, Mtove G, Von Seidlein L , Amos B, dkk.
Assessment and comparative analysis of a rapid diagnostic test (Tubex )
for the diagnosis of typhoid fever among hospitalized children in rural
Tanzania. BMC Infect Dis. 2011; 11:1-6
13. Shetty N, Aorons E, Andrews J. General principles of antimicrobial
chemotherapy.

Dalam: Shetty N, Tang JW, Andrews J, penyunting.

33

Infectious disease: pathogenesis, prevention, and case studies. Malaysia:


Blackwell Publishing, 2009. h.124-56
14. Behrman RE, Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan VC. Typhoid fever.
Nelson textbook of pediatrics, edisi ke-14, Philadelphia: WB Saunders Co,
1992.h.731-4
15. Butler T. Typhoid fever. Dalam: Warren KS, Mahmoud AF, penyunting.
Tropical and geographical medicine, edisi ke-2. New York: Mc Graw-Hill
Information Services Co, 1990. H.753-7
16. Hayani CH, Pickering LK. Salmonella infections. Dalam: Feigin RD,
Cherry JD, penyunting. Textbook of pediatric infectious diseases, edisi ke3, Tokyo: WB Saunders Co, 1992.h.620-33
17. Hoffman SL. Typhoid fever. Dalam: Strickland GT, penyunting. Hunters
tropical medicine, edisi ke-7. Philadelphia: WB Saunders Co, 1991.h.34458
18. James S. Mechanism of pathogenesis of salmonellae: Linking in vitro,
Animal and Human studies. Diunduh dari www.jifsan.com diakses tanggal
10 April 2013
19. Inforamsi produk TUBEX TF Rapid typhoid detection. Diagnose tifoid
definitive semi kuantitatif dengan metode IMBI. Jakarta: PT Pacific
Biotekindo Intralab, 2011
20. Khan MI, Ochiai RL, Soofi SB, Von Seidlein L, Khan MJ, Sahito SM,
dkk. Risk factors associated with typhoid fever in children aged 2-16 years
in Karachi, Pakistan. Epidemiol Infect. 2012; 140:665-72
21. Olopenia LA, King AL. Widal agglutination test 100 years later: still
plaqued by controversy. Postgrad Med J. 2000; 76:80-4
22. Tam FCH, Ling TKW, Wong KT, Leung DTM, Chan RCY, Lim PL. The
Tubex test detects not only typhoid-specific antibodies but also soluble
antigens and whole bacteria. J Med Microbiol. 2008; 57:316-23
23. Ismail TF. Rapid diagnosis of typhoid fever. Indian J Med Res, 2006;
123:489-91
24. Keddy KH, Sooka A, Letsoalo ME, Chaignat CL, Morrissey AB, dkk.
Sensitivity and specificity of typhoid fever rapid antibody tests for
laboratory diagnosis at two sub-Saharan African sites. Bull World Health
Organ. 2011; 89:640-7

34

25. Ismail R, The LK, Choo EK. Chloramphenicol in children: dose, plasma
levels and clinical effects. Ann Trop Paediatr, 1998; 18:123-8
26. Hammad OM, Hifnawy T, Omran D, El Tantawi MA, Girgis NI.
Ceftriaxone versus chloramphenicol for treatment of acute typhoid fever.
Life Sci. 2011; 8:100-4
27. Achla P, Grover SS, Bhatia R, Khare S. Sensitivity index of antimicrobial
agents as a simple solution for multidrug resistance in Salmonella typhi.
Indian J Med Res. 2005; 121:185-9

35

Vous aimerez peut-être aussi