Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
A. Pengertian
Asma bronkhiale adalah penyakit jalan nafas obstruksi intermiten, refersibel di mana
trakea dan bronkie berespon secara hiperaktif terhadap stimulasi tertentu. (Smelzer
Suzanne :2002)
Asma Bronkial adalah penyakit pernafasan obstruktif yang ditandai oleh spame akut
otot polos bronkiolus. Hal ini menyebabkan obstruksi aliran udara dan penurunan
ventilasi alveolus. ( Huddak & Gallo, 1997 ).
Asma bronkiale adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan
bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan
nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah, baik secara spontan maupun
sebagai hasil pengobatan (Soeparman, 1990).
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa asma bronkhiale adalah gangguan
yang kompleks pada jalan nafas dari bronchial yang menyebabkan kesulitan paroksimal
aliran darah, terutama saat ekspirasi yang ditandai sesak nafas dan mengi atau
wheezing.
B. Etiologi
Menurut Somantri, banyak factor yang dapat memicu atau menyebabkan terjadinya
asam bronchial diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Allergen
Timbulnya bangkitan asma ditentukan pula kepekaan sseorang terhadap allergen di
lingkungan sekitarnya. Pada umumnya allergen penyebab asma dapat kita golongkan
menjadi allergen hirup dan allergen makanan.
a. Allergen hirup
1) Debu rumah
Debu rumah merupakan alergi penyebab penting pada asma.
2) Tungau debu rumah
Populasi tungau yang aling banyak ditemukan pada permukaan kasur karena
banyak mengandung serpihan kulit manusia yang merupakan makanan utama
tungau.
3) Bulu binatang
Alergi bulu dan kulit binatang rumah tangga seperti kusing dan anjing atau kuda
bila di desa, sering kali menjadi pencetus asma. Alergi tidak saja terjadi akibat
kontak langsung dengan binatang peliharaan tersebut tetapi juga akibat ludah,
bulu yang rontok dan tinjanya
4) Kapuk dan wol
Wol dan kapuk yang lama dan tidak pernah dibersihkan atau dijjemur akan
menampung bahan yang sangat bersifat alergenik.
5) Tepung sari bunga
55
C. Patofisiologi
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain alergen,
virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma dapat terjadi melalui
2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi
IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase
lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah
antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi.
Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada
interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila
seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat.
Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan
menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa
mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan
bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil,
sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus,dan spasme otot polos bronkiolus,
sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi
saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus
yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja
langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan
allergen dan bertahan selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu.
Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC)
merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma.
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen,
makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal
menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast
dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen
masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel
bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi
tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut
dan SO2. Pada keadaantersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung sarafeferen
vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnyaneuropeptid sensorik senyawa P,
neurokinin A dan CalcitoninGene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah
yangmenyebabkan
terjadinya
bronkokonstriksi,
edema
bronkus,
eksudasi
plasma,
Tatalaksana
Asma
Bronkialberatnya
hipereaktivitas
bronkus.
Berbagai
cara
D. Gambaran Klinis
Pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis, sedangkan
pada waktu serangan tampak penderita bernapas cepat dan dalam, gelisah, duduk dengan
tangan menyangga ke depan serta otot- otot bantu pernapasan bekerja dengan keras.
Gejala asma yang klasik terdiri atas batuk, sesak dan mengi (wheezing) dan pada
sebagian penderita disertai rasa nyeri di dada. Gejala- gejala tersebut tidak selalu terdapat
bersama- sama. Ada enderita yang hanya batuk tanpa rasa sesak dan mengi saja sehingga ada
beberapa tingkat penderita asma sebagai berikut :
1. Tingkat pertama
Penderita asma yang secara klinis normal, tanpa kelainan pemeriksaan fisis maupun
fungsi parunya. Pada penderita ini timbul gejala asma bila ada factor pencetus baik
secara didapat, secara alamiah maupun dengan tes provokasi bronkial di laboratorium.
2. Tingkat dua
Penderita asma tanpa keluhan dan tanpa kelainan pada pemeriksaan fisisnya, tetapi
fungsi paru menunjukan tanda- tanda obstruksi jalan napas. Penderita golongan ini
banyak dijumpai terutama setelah sembuh dari serangan asmanya.
3. Tingkat ketiga
Penderita asma tanpa keluhan tetapi pada pemeriksaan fisis maupun pemeriksaan fungsi
paru menunjukan tanda obstruksi jalan napas. Penderita ini sudah sembuh dari serangan
asmanya, tetapi bila tidak meneruskan pengobatannya akan mudah mendapatkan
serangan asma kembali.
4. Tingkat keempat
Penderita asma yang paling sering dijumpai baik dalam praktek sehari- hari maupun di
rumah sakit. Penderita mengeluh sesak napas, batuk dan napas berbunyi. Pada
pemeriksaan fisis maupun pemeriksaan spirometry akan ditemukan tanda tanda
obstruksi jalan napas.
5. Tingkat kelima
Adalah status asmatikus, yaitu suatu keadaan darurat medis berupa serangan asma akut
yang berat bersifat refrakter sementara terhadap pengobatan yang lazim dilakukan.
Karena pada dasarnya asma merupakan penyakit obstruksi jalan napas yang reversible,
maka segala daya harus dikerahkan untuk mengatasi keadaan ini.
E. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Wawancara
1) Identitas
Pengajian mengenai nama, umur dan jenis kelamin perlu di kaji pada penyakit
status asthmatikus. Serangan asma pada usia dini memberikan implikasi bahwa
sangat mungkin terdapat status atopi. Sedangkan serangan pada usia dewasa
dimungkinkan adanya faktor non atopi. Alamat menggambarkan kondisi
lingkungan tempat klien berada, dapat mengetahui kemungkinan faktor pencetus
serangan asma. Status perkawinan, gangguan emosional yang timbul dalam
58
dialami klien.
Pola eliminasi
59
Perlu dikaji tentang kebiasaan BAB dan BAK mencakup warna bentuk,
-
asma.
Pola penangulangan stress
Stress dan ketegangan emosional merupakan faktor instrinsik pencetus
serangan asma maka perlu dikaji penyebab terjadinya stres. Frekuensi dan
pengaruh terhadap kehidupan klien serta cara penanggulangan terhadap
stresor.
Pola tata nilai dan kepercayaan
60
Esa
serta
pendekatan
diri
pada-Nya
merupakan
metode
Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan dengan
berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi
droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada
penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi
pada subyek alergi tanpa asma. Di samping itu, ukuran alergen dalam alam yang
terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari
2 um sampai 20 um, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi sebenarnya
kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes provokasi
nonspesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani,
inhalasi udara dingin atau kering, histamin, dan metakolin
X-ray dada/thorax
Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma
Pemeriksaan IgE
Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik
pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor
pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma.
Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara radioallergosorbent test
(RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada dermographism).
ABGs
Menunjukan proses penyakit kronik, sering kali PO2 menurun dan PCO2 normal
atau meningkat (bronchitis kronis dan emfisema). Sering kali menurun pada
asma dengan pH normal atau asidosis, alkalosis respiratori ringan sekunder
terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asma)
Darah komplit
Dapat menggambarkan adanya peningkatan eosinofil pada asma.
ECG
Deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi pada pasien dengan asma berat dan
atrial disaritmia/bronchitis.
2. Pathway
Factor pencetus
allergen
- bronco kontrisi
Stress
Cuaca
- edema
- hipereaksi kelenjar dan infiltrasi sel sel radang sal.
Napas
Kurang Pengetahuan
Obstruksi salrunan nafas
Kontraksi otot polos meningkat
Penyempitan jalan nafas
Konsentrasi O2 dalam darah menurun
Mucus di saluran napas
gelisah
ansietas
berlebih
3. hiposemia
63
a. hiposemia
gangguan pertukaran gas
suplai darah dan O2 ke jantung Berkurang
tidak efektifnya jalan nafas
Intoleransi aktivitas
Ketidakseimbangan
nutrisi < keb. Tubuh
3. Analisa data
Data Fokus
DS:
Etiologi
bronkospasme,
peningkatan
Klien mengeluh
kesulitan
mengeluarkan
sekret.
Problem
Bersihan jalan nafas
sekret.
DO:
Klien terlihat
kesulitan
mengeluarkan sekret
karena sesak nafas
(dispnea).
Klien terlihat
menggunakan otot
bantu bantu
pernafasan saat
bernafas.
64
spasme bronchus.
Pertukaran
Gas
Klien mengeluh
sesak nafas saat
melakukan aktivitas.
DO:
Dispnea saat
melakukan aktivitas.
Klien terlihat
bingung dan gelisah.
dispnea,
DS:
kelemahan, Perubahan
produksi
Klien mengeluh
merasa lemah, letih,
dan lesu.
nutrisi
mual/muntah
tubuh
DO:
BB klien 10-20%
atau lebih dibawah
BB ideal.
status
DS:
(serangan
Klien merasa
kesehatan Ansietas
asma
berulang)
65
berdebar-debar.
Klien mengeluh
malas makan
DO:
Frekuensi jantung
meningkat.
Tekanan darah
meningkat.
Klien terlihat
berkeringat.
ketidakseimbangan
DS:
antara
Klien mengeluh
sukar bergerak
karena sesak nafas
Intoleransi aktivitas
suplai dengan
kebutuhan
kebutuhan
oksigen
DO:
Klien mengalami
dispnea.
Frekuensi
pernafasan
>24x/menit
DS:
Kurangnya
pengetahuan
Pasien mengatakan
66
kurang mengetahui
tentang penyakit
yang dideritanya
DO :
Pasien terlihat
bingung saat ditanya
tentang penyakitnya
4. Diagnose Keperawatan
1)
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasme,
2)
3)
bronchus.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea,
4)
5)
6)
5. Intervensi
1) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasme, peningkatan
produksi sekret.
Tujuan : Bersihan jalan nafas efektif tanpa adanya sumbatan pada jalan nafas
Kriteria evaluasi, pasien akan :
- Mempertahankan jalan nafas paten dengan evaluasi bunyi nafas jelas/bersih.
- Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas.
Intervensi :
a) Auskultasi bunyi nafas
Rasional : Beberapa derajat spasme bronchus terjadi dengan obstruksi jalan
nafas dan dapat dimanifestasikan dengan adanya bunyi nafas.
b) Kaji/pantau frekuensi nafas
Rasional : Tacipnea biasanya pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada
c)
kronis.
d) Beri posisi yang nyaman
Rasional : Peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi pernafasan.
e)
Pertahankan polusi lingkungan minimum
Rasional : Pencetus tipe reaksi alergi pernafasan yang dapat mentriger episode
f)
akut.
Dorong/bantu latihan nafas
Rasional : Memberikan pasien beberapa cara mengatasi dispnea.
67
g)
atau
kebutuhan O2
Diskusikan dengan klien untuk rencana pengembangan latihanberdasarkan
69
70
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja, K. (1990) Asma Bronchiale, dikutip dari Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta : FK UI.
Brunner & Suddart (2002) Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah, Jakarta : AGC.
71
72