Vous êtes sur la page 1sur 18

ASMA BRONCHIALE

A. Pengertian
Asma bronkhiale adalah penyakit jalan nafas obstruksi intermiten, refersibel di mana
trakea dan bronkie berespon secara hiperaktif terhadap stimulasi tertentu. (Smelzer
Suzanne :2002)
Asma Bronkial adalah penyakit pernafasan obstruktif yang ditandai oleh spame akut
otot polos bronkiolus. Hal ini menyebabkan obstruksi aliran udara dan penurunan
ventilasi alveolus. ( Huddak & Gallo, 1997 ).
Asma bronkiale adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan
bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan
nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah, baik secara spontan maupun
sebagai hasil pengobatan (Soeparman, 1990).
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa asma bronkhiale adalah gangguan
yang kompleks pada jalan nafas dari bronchial yang menyebabkan kesulitan paroksimal
aliran darah, terutama saat ekspirasi yang ditandai sesak nafas dan mengi atau
wheezing.
B. Etiologi
Menurut Somantri, banyak factor yang dapat memicu atau menyebabkan terjadinya
asam bronchial diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Allergen
Timbulnya bangkitan asma ditentukan pula kepekaan sseorang terhadap allergen di
lingkungan sekitarnya. Pada umumnya allergen penyebab asma dapat kita golongkan
menjadi allergen hirup dan allergen makanan.
a. Allergen hirup
1) Debu rumah
Debu rumah merupakan alergi penyebab penting pada asma.
2) Tungau debu rumah
Populasi tungau yang aling banyak ditemukan pada permukaan kasur karena
banyak mengandung serpihan kulit manusia yang merupakan makanan utama
tungau.
3) Bulu binatang
Alergi bulu dan kulit binatang rumah tangga seperti kusing dan anjing atau kuda
bila di desa, sering kali menjadi pencetus asma. Alergi tidak saja terjadi akibat
kontak langsung dengan binatang peliharaan tersebut tetapi juga akibat ludah,
bulu yang rontok dan tinjanya
4) Kapuk dan wol
Wol dan kapuk yang lama dan tidak pernah dibersihkan atau dijjemur akan
menampung bahan yang sangat bersifat alergenik.
5) Tepung sari bunga
55

Sangat berperan di negara empat musim, di Indonesia tidak pernah dilaporkan


adanya gejala alergi terhadap tepung sari ini.
b. Alergen tak hirup
1) Makanan
Penyebab allergen makanan terbesar adalah buah, ikan, susu, teor dan kacang
sehingga makanan ini perlu dihindari untuk penderita asma bronchial dengan
dugaan makanan sebagai penyebab.
2) Obat dan bahan kimia
Obat antiinflamasi non seroid seperti endometasin, ibuprofen, fenilbutazon, asam
mefenamat dan piroksikam dapat menjadi pencetus terutama bagi mereka yang
alergi terhadap asam salisilat.
3) Bahan iritan
Bau cat, hairspray, parfum, bahan kimia, asap rokok, udara dan air dingin.
Beberapa allergen dapat bertindak sebagai allergen terutama pollen. Beberapa
iritan seperti ozon dan bahan industri kimia dapat meningkatkan hipereaktivitas
bronkus dengan menimbulkan inflamasi.
2. Keletihan / olahraga / aktivitas jasmaniah yang berat
Sebagian besar pederita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktivitas
jasmani / olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma.
3. Stress atau ketegangan emosi
Factor emosi dapat mengakibatkan peningkatan aktivitas parasimpatis, baik perifer
maupun sentral, sehingga terjadi peningkatan aktivitas kolinergik yang mengakibatka
eksaserbasi asma.
4. Infeksi
Infeksi virus di daerah bronkus menimbulkan kerusakan epitel bronkus sehingga
memudahkan absorpsi dan pajangan allergen pada reseptor di epitel bronkus .
5. Genetic / keturunan
Dimana yang diturunkan adalah bakan alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana
cara penularannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasannya mempunyai
keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adannya bakan alergi ini penderita
sangat mudah terkena penyakit asma bronchial jika terpapar dengan factor pencetus.
Selain itu hipersensitifitas saluran pernapasannya juga bisa diturunkan.
6. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfer
yang mendadak dingin merupakan factor pemicu serangan asma.
7. Lingkungan kerja
Lingkungan kerja mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan
asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja misalnya orang yang bekerja
dilaboratorium hewan, industry tekstil, pabrik asbes, dan polisi lalu lintas.
8. Refluks gastroesofagus
Refluks isi lambung ke saluran nafas dapat memperberat asma pada penderita dan
merupakan salah satu penyebab asma nocturnal. Dapat juga terjadi reflek vagus yang
mengakibatkan konstriksi bronchus karen arangsangan saraf sensorik pada esophagus
bagian bawah.
56

C. Patofisiologi
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain alergen,
virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma dapat terjadi melalui
2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi
IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase
lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah
antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi.
Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada
interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila
seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat.
Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan
menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa
mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan
bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil,
sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus,dan spasme otot polos bronkiolus,
sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi
saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus
yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja
langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan
allergen dan bertahan selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu.
Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC)
merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma.
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen,
makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal
menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast
dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen
masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel
bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi
tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut
dan SO2. Pada keadaantersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung sarafeferen
vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnyaneuropeptid sensorik senyawa P,
neurokinin A dan CalcitoninGene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah
yangmenyebabkan

terjadinya

bronkokonstriksi,

edema

bronkus,

eksudasi

plasma,

hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-selinflamasi.


Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma,besarnya hipereaktivitas bronkus
tersebut dapat diukursecara tidak langsung, yang merupakan parameter objektifDiagnosis
dan

Tatalaksana

Asma

Bronkialberatnya

hipereaktivitas

bronkus.

Berbagai

cara

digunakanuntuk mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara laindengan uji provokasi


beban kerja, inhalasi udara dingin,inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik.
57

D. Gambaran Klinis
Pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis, sedangkan
pada waktu serangan tampak penderita bernapas cepat dan dalam, gelisah, duduk dengan
tangan menyangga ke depan serta otot- otot bantu pernapasan bekerja dengan keras.
Gejala asma yang klasik terdiri atas batuk, sesak dan mengi (wheezing) dan pada
sebagian penderita disertai rasa nyeri di dada. Gejala- gejala tersebut tidak selalu terdapat
bersama- sama. Ada enderita yang hanya batuk tanpa rasa sesak dan mengi saja sehingga ada
beberapa tingkat penderita asma sebagai berikut :
1. Tingkat pertama
Penderita asma yang secara klinis normal, tanpa kelainan pemeriksaan fisis maupun
fungsi parunya. Pada penderita ini timbul gejala asma bila ada factor pencetus baik
secara didapat, secara alamiah maupun dengan tes provokasi bronkial di laboratorium.
2. Tingkat dua
Penderita asma tanpa keluhan dan tanpa kelainan pada pemeriksaan fisisnya, tetapi
fungsi paru menunjukan tanda- tanda obstruksi jalan napas. Penderita golongan ini
banyak dijumpai terutama setelah sembuh dari serangan asmanya.
3. Tingkat ketiga
Penderita asma tanpa keluhan tetapi pada pemeriksaan fisis maupun pemeriksaan fungsi
paru menunjukan tanda obstruksi jalan napas. Penderita ini sudah sembuh dari serangan
asmanya, tetapi bila tidak meneruskan pengobatannya akan mudah mendapatkan
serangan asma kembali.
4. Tingkat keempat
Penderita asma yang paling sering dijumpai baik dalam praktek sehari- hari maupun di
rumah sakit. Penderita mengeluh sesak napas, batuk dan napas berbunyi. Pada
pemeriksaan fisis maupun pemeriksaan spirometry akan ditemukan tanda tanda
obstruksi jalan napas.
5. Tingkat kelima
Adalah status asmatikus, yaitu suatu keadaan darurat medis berupa serangan asma akut
yang berat bersifat refrakter sementara terhadap pengobatan yang lazim dilakukan.
Karena pada dasarnya asma merupakan penyakit obstruksi jalan napas yang reversible,
maka segala daya harus dikerahkan untuk mengatasi keadaan ini.
E. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Wawancara
1) Identitas
Pengajian mengenai nama, umur dan jenis kelamin perlu di kaji pada penyakit
status asthmatikus. Serangan asma pada usia dini memberikan implikasi bahwa
sangat mungkin terdapat status atopi. Sedangkan serangan pada usia dewasa
dimungkinkan adanya faktor non atopi. Alamat menggambarkan kondisi
lingkungan tempat klien berada, dapat mengetahui kemungkinan faktor pencetus
serangan asma. Status perkawinan, gangguan emosional yang timbul dalam
58

keluarga atau lingkungan merupakan faktor pencetus serangan asma, pekerjaan,


serta bangsa perlu juga digaji untuk mengetahui adanya pemaparan bahan
alergen. Hal lain yang perlu dikaji tentang : Tanggal MRS, Nomor Rekam Medik,
dan Diagnosa medis
2) Keluhan utama
Batuk batuk dan sesak napas
3) Riwayat penyakit sekarang
Klien dengan serangan asma datang mencari pertolongan dengan keluhan,
terutama sesak napas yang hebat dan mendadak kemudian diikuti dengan gejalagejala lain yaitu : Wheezing, Penggunaan otot bantu pernapasan, Kelelahan,
gangguan kesadaran, Sianosis serta perubahan tekanan darah. Perlu juga dikaji
kondisi awal terjadinya serangan.
4) Riwayat penyakit terdahulu
Penyakit yang pernah diderita pada masa-masa dahulu seperti infeksi saluran
napas atas, sakit tenggorokan, amandel, sinusitis, polip hidung. Riwayat serangan
asma frekuensi, waktu, alergen-alergen yang dicurigai sebagai pencetus serangan
serta riwayat pengobatan yang dilakukan untuk meringankan gejala asma
5) Riwayat penyakit keluarga
Pada klien dengan serangan status asthmatikus perlu dikaji tentang riwayat
penyakit asma atau penyakit alergi yang lain pada anggota keluarganya karena
hipersensitifitas pada penyakit asma ini lebih ditentukan oleh faktor genetik oleh
lingkungan,
6) Riwayat psikososial
Gangguan emosional sering dipandang sebagai salah satu pencetus bagi serangan
asma baik ganguan itu berasal dari rumah tangga, lingkungan sekitar sampai
lingkungan kerja. Seorang yang punya beban hidup yang berat berpotensial
terjadi serangan asma. yatim piatu, ketidakharmonisan hubungan dengan orang
lain sampai ketakutan tidak bisa menjalankan peranan seperti semula.
7) Pola fungsi kesehatan
- Pola resepsi dan tata laksana hidup sehat
Gejala asma dapat membatasi manusia untuk berperilaku hidup normal
sehingga klien dengan asma harus merubah gaya hidupnya sesuai kondisi
-

yang memungkinkan tidak terjadi serangan asma.


Pola nutrisi dan metabolisme
Perlu dikaji tentang status nutrisi klien meliputi, jumlah, frekuensi, dan
kesulitan-kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya. Serta pada klien sesak,
potensial sekali terjadinya kekurangan dalam memenuhi kebutuhan nutrisi,
hal ini karena dipsnea saat makan, laju metabolisme serta ansietas yang

dialami klien.
Pola eliminasi
59

Perlu dikaji tentang kebiasaan BAB dan BAK mencakup warna bentuk,
-

kosentrasi, frekuensi, jumlah serta kesulitan dalam melaksanakannya.


Pola tidur dan istirahat
Perlu dikaji tentang bagaimana tidur dan istirahat klien meliputi berapa lama
klien tidur dan istirahat. Serta berapa besar akibat kelelahan yang dialami
klien. Adanya wheezing, sesak dan ortopnea dapat mempengaruhi pola tidur

dan istirahat klien.


Pola aktifitas dan latihan
Perlu dikaji tentang aktifitas keseharian klien seperti olah raga, bekerja dan
aktifitas lainnya. Aktifitas fisik dapat terjadi faktor pencetus terjadinya asma

yang disebut dengan Exerase Induced Asthma.


Pola hubungan dan peran
Gejala asma sangat membatasi gejala klien untuk menjalani kehidupan secara
normal. Klien perlu menyesuaikan kondisinya dengan hubungan dan peran

klien baik dilingkungan rumah tangga, masyarakat ataupun lingkungan kerja.


Pola persepsi dan konsep diri
Perlu dikaji tentang persepsi klien tarhadap penyakitnya. Persepsi yang salah
dapat menghambat respon kooperatif pada diri klien. Cara memandang diri
yang salah juga akan menjadi stresor dalam kehidupan klien. Semakin
banyak stresor yang ada pada kehidupan klien dengan asma meningkatkan

kemungkinan serangan asma yang berulang.


Pola sensori dan kognitif
Kelainan pada pola persepsi dan kognitif akan mempengaruhi konsep diri
klien dan akhirnya mempengaruhi jumlah stresor yang dialami klien sehingga

kemungkinan terjadi serangan asma yang berulangpun akan semakin tinggi.


Pola reproduksi seksual
Reproduksi seksual merupakan kebutuhan dasar manusia, bila kebutuhan ini
tidak terpenuhi akan terjadi masalah dalam kehidupan klien. Masalah ini akan
menjadi stressor yang akan meningkatkan kemungkinan terjadinya serangan

asma.
Pola penangulangan stress
Stress dan ketegangan emosional merupakan faktor instrinsik pencetus
serangan asma maka perlu dikaji penyebab terjadinya stres. Frekuensi dan
pengaruh terhadap kehidupan klien serta cara penanggulangan terhadap

stresor.
Pola tata nilai dan kepercayaan

60

Kedekatan klien pada sesuatu yang ia yakini dunia percayai dapat


meningkatkan kekuatan jiwa klien. Keyakinan klien terhadap Tuhan Yang
Maha

Esa

serta

pendekatan

diri

pada-Nya

merupakan

metode

penanggulangan stres yang konstruktif


b. Pemeriksaan fisik pada pasien Asma Bronchiale
1) Status kesehatan umum
Perlu dikaji tentang kesadaran klien, kecemasan, gelisah, kelemahan suara bicara,
tekanan darah nadi, frekuensi pernapasan yang meningkatan, penggunaan otot-otot
pembantu pernapasan sianosis batuk dengan lendir lengket dan posisi istirahat klien
2) Integumen
Dikaji adanya permukaan yang kasar, kering, kelainan pigmentasi, turgor kulit,
kelembapan, mengelupas atau bersisik, perdarahan, pruritus, ensim, serta adanya
bekas atau tanda urtikaria atau dermatitis pada rambut di kaji warna rambut,
kelembaban dan kusam.
3) Kepala.
Dikaji tentang bentuk kepala, simetris adanya penonjolan, riwayat trauma, adanya
keluhan sakit kepala atau pusing, vertigo kejang ataupun hilang kesadaran.
4) Mata.
Adanya penurunan ketajaman penglihatan akan menambah stres yang dirasakan
klien. Serta riwayat penyakit mata lainya
5) Hidung
Adanya pernafasan menggunakan cuping hidung, rinitis alergi dan fungsi olfaktori .
6) Mulut dan laring
Dikaji adanya perdarahan pada gusi. Gangguan rasa menelan dan mengunyah, dan
sakit pada tenggorok serta sesak atau perubahan suara.
7) Leher
Dikaji adanya nyeri leher, kaku pada pergerakaan, pembesaran tiroid serta
penggunaan otot-otot pernafasan.
8) Thorak
a. Inspeksi
Dinding torak tampak mengembang, diafragma terdorong ke bawah disebabkan
oleh udara dalam paru-paru susah untuk dikeluarkan karena penyempitan jalan
nafas. Frekuensi pernafasan meningkat dan tampak penggunaan otot-otot
tambahan.
b. Palpasi.
Pada palpasi dikaji tentang kesimetrisan, ekspansi dan taktil fremitus. Pada asma,
paru-paru penderita normal karena yang menjadi masalah adalah jalan nafasnya
yang menyempit .
c. Perkusi
61

Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan diafragma


menjadi datar dan rendah disebabkan karena kontraksi otot polos yang
mengakibatkan penyempitan jalan nafas sehingga udara susah dikeluarkan dari
paru-paru .
d. Auskultasi.
Terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai dengan expirasi lebih dari 4
detik atau lebih dari 3x inspirasi, dengan bunyi pernafasan wheezing karena
sekresi mucus yang kental dalam lumen bronkhioulus dan spasme otot polos
bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat
meningkat
9) Kardiovaskuler.
Jantung dikaji adanya pembesaran jantung atau tidak, bising nafas dan hyperinflasi
suara jantung melemah. Tekanan darah dan nadi yang meningkat serta adanya pulsus
paradoksus.
10) Abdomen.
Perlu dikaji tentang bentuk, turgor, nyeri, serta tanda-tanda infeksi karena dapat
merangsang serangan asma frekwensi pernafasan, serta adanya konstipasi .
11) Ekstrimitas.
Dikaji adanya edema extremitas, tremor dan tanda-tanda infeksi pada extremitas
karena dapat merangsang serangan asma
c. Pemeriksaan Penunjang
Spirometer
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk
menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
FEC/FVC
Untuk mengetahui rasio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap tekanan
kapisitas vital (FVC), rasio menjadi menurun pada bronchitis dan asma.
Peak Flow Meter/PFM
Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut
digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena
pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis asma
diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer lebih
diutamakan dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu sensitif dibanding
FEV. untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran
napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE
dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak dapat melakukan
pemeriksaan FEV1.
Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB
62

Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan dengan
berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi
droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada
penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi
pada subyek alergi tanpa asma. Di samping itu, ukuran alergen dalam alam yang
terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari
2 um sampai 20 um, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi sebenarnya
kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes provokasi
nonspesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani,
inhalasi udara dingin atau kering, histamin, dan metakolin
X-ray dada/thorax
Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma
Pemeriksaan IgE
Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik
pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor
pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma.
Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara radioallergosorbent test
(RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada dermographism).
ABGs
Menunjukan proses penyakit kronik, sering kali PO2 menurun dan PCO2 normal
atau meningkat (bronchitis kronis dan emfisema). Sering kali menurun pada
asma dengan pH normal atau asidosis, alkalosis respiratori ringan sekunder
terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asma)
Darah komplit
Dapat menggambarkan adanya peningkatan eosinofil pada asma.
ECG
Deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi pada pasien dengan asma berat dan
atrial disaritmia/bronchitis.
2. Pathway
Factor pencetus

allergen

- bronco kontrisi

Stress
Cuaca

- edema
- hipereaksi kelenjar dan infiltrasi sel sel radang sal.
Napas

Kurang Pengetahuan
Obstruksi salrunan nafas
Kontraksi otot polos meningkat
Penyempitan jalan nafas
Konsentrasi O2 dalam darah menurun
Mucus di saluran napas

gelisah

ansietas

berlebih

3. hiposemia

Batuk bertambah berat


Wheezing
Sesak nafas

63

a. hiposemia
gangguan pertukaran gas
suplai darah dan O2 ke jantung Berkurang
tidak efektifnya jalan nafas

penurunan cardiac output


TD menurun
Kelemahan dan keletihan

Intoleransi aktivitas

Ketidakseimbangan
nutrisi < keb. Tubuh

penurunan masukan oral

3. Analisa data
Data Fokus
DS:

Etiologi
bronkospasme,
peningkatan

Klien mengeluh
kesulitan
mengeluarkan
sekret.

Problem
Bersihan jalan nafas

produksi tidak efektif.

sekret.

DO:

Klien terlihat
kesulitan
mengeluarkan sekret
karena sesak nafas
(dispnea).

Klien terlihat
menggunakan otot
bantu bantu
pernafasan saat
bernafas.

Bunyi nafas klien


abnormal, yaitu
adanya bunyi nafas
mengi (wheezing).

64

obstruksi jalan nafas, Gangguan


DS:

spasme bronchus.

Pertukaran

Gas

Klien mengeluh
sesak nafas saat
melakukan aktivitas.

DO:

Dispnea saat
melakukan aktivitas.

Kulit kien terlihat


kemerahan atau
sianosis.

Klien terlihat
bingung dan gelisah.

dispnea,
DS:

kelemahan, Perubahan

produksi
Klien mengeluh
merasa lemah, letih,
dan lesu.

nutrisi

sputum, kurang dari kebutuhan

mual/muntah

tubuh

DO:

BB klien 10-20%
atau lebih dibawah
BB ideal.

Lipatan kulit trisep


dan LILA < 60%
standar pengukuran.

Nyeri tekan otot.

Klien terlihat kurang


bergairah.

status
DS:

(serangan
Klien merasa

kesehatan Ansietas
asma

berulang)
65

berdebar-debar.

Klien mengeluh
malas makan

DO:

Nafas klien cepat


dan dangkal.

Frekuensi jantung
meningkat.

Tekanan darah
meningkat.

Klien terlihat
berkeringat.

Klien terlihat pucat


atau kemerahan.

Klien terlihat tremor.

ketidakseimbangan
DS:

antara

Klien mengeluh
sukar bergerak
karena sesak nafas

Intoleransi aktivitas

suplai dengan

kebutuhan

kebutuhan

oksigen

DO:

Klien terlihat pucat


dan sianosis.

Klien mengalami
dispnea.

Frekuensi
pernafasan
>24x/menit

Frekuensi nadi >


95x/menit.
Kurangnya informasi

DS:

Kurangnya
pengetahuan

Pasien mengatakan
66

kurang mengetahui
tentang penyakit
yang dideritanya
DO :

Pasien terlihat
bingung saat ditanya
tentang penyakitnya

4. Diagnose Keperawatan
1)
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasme,
2)

peningkatan produksi sekret.


Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas, spasme

3)

bronchus.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea,

4)
5)

kelemahan, produksi sputum, mual/muntah


Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dengan

6)

kebutuhan kebutuhan oksigen


Kurangnya Pengetahuan tentang proses penyakit berhubungan dengan kurangnya
informasi

5. Intervensi
1) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasme, peningkatan
produksi sekret.
Tujuan : Bersihan jalan nafas efektif tanpa adanya sumbatan pada jalan nafas
Kriteria evaluasi, pasien akan :
- Mempertahankan jalan nafas paten dengan evaluasi bunyi nafas jelas/bersih.
- Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas.
Intervensi :
a) Auskultasi bunyi nafas
Rasional : Beberapa derajat spasme bronchus terjadi dengan obstruksi jalan
nafas dan dapat dimanifestasikan dengan adanya bunyi nafas.
b) Kaji/pantau frekuensi nafas
Rasional : Tacipnea biasanya pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada
c)

penerimaan selama adanya proses infeksi.


Catat adanya/derajat dyspnea
Rasional : Disfungsi pernafasan adalah variabel yang tergantung pada tahap

kronis.
d) Beri posisi yang nyaman
Rasional : Peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi pernafasan.
e)
Pertahankan polusi lingkungan minimum
Rasional : Pencetus tipe reaksi alergi pernafasan yang dapat mentriger episode
f)

akut.
Dorong/bantu latihan nafas
Rasional : Memberikan pasien beberapa cara mengatasi dispnea.
67

g)

Observasi karakteristik batuk


Rasional : Batuk sebagai variabel adanya sumbatan jalan nafas bagian bawah.
h)
Pertahankan masukan cairan sesuai indikasi
Rasional : Hidrasi membantu mengencerkan sekret.
i)
Berikan obat sesuai indikasi
Rasional :Pengobatan yang akurat dapat mengurangi/menghi-langkan gejala.
2) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas, spasme
bronchus.
Tujuan
: Tidak terjadi kerusakan pertukaran gas.
Kriteria evaluasi, pasien akan :
- Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat dan bebas gejala
distress pernafasan.
- Berpartisipasi dalam program pengobatan dalam tingkat kemampuan/situasi.
Intervensi :
a) Kaji frekuensi dan kedalaman pernafasan
Rasional : Berguna dalam evaluasi derajat distress pernafasan.
b) Beri posisi yang nyaman
Rasional : Peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi pernafasan.
c) Kaji/awasi perubahan warna kulit dan membran mukosa
Rasional : Sianosis mengindikasikan beratnya hypoksemia.
d) Dorong pengeluaran sputum
Rasional : Sekret adalah penyebab utama gangguan pertukaran gas pada jalan
nafas kecil.
e) Auskultasi bunyi nafas
Rasional : Adanya bunyi nafas tambahan mengindikasikan spasme bronchus dan
tertahannya sekret.
f) Palpasi fremitus
Rasional : Penurunan getaran fibrasi diduga ada pengumpulan cairan.
g) Awasi tingkat kesadaran/status mental
Rasional : Gelisah dan anxietas adalah manifestasi umum pada hypoksia.
h) Awasi tanda-tanda vital
Rasional : Takikardia dan perubahan tekanan darah dapat menunjukkan efek
hipoksemia sistemik pada fungsi jantung.
i) Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.
Rasional : Untuk mencegah memburuknya hypoksia.
3) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea,
kelemahan, produksi sputum, mual/muntah
Tujuan
: Terjadi pemenuhan nutrisi yang adekuat/sesuai kebutuhan tubuh.
Kriteria evaluasi, pasien akan :
- Menunjukkan peningkatan berat badan menuju tujuan yang tepat.
- Menunjukkan perilaku/perubahan pola hidup untuk meningkatkan

atau

mempertahankan berat badan yang tepat.


Intervensi :
a)Kaji kebiasaan diet klien
Rasional : Pasien distress pernafasan akut sering anoreksia karena dispnea
peningkatan sekret atau pengaruh obat.
b)Auskultasi bunyi usus
Rasional : Penurunan bising usus menunjukkan penurunan motilitas gaster dan
kontipasi (komplikasi umum).
c)Berikan perawatan oral
Rasional : Rasa tak enak, bau dan penampilan adalah pencegah utama dari
nafsu makan.
68

d)Beri porsi makan kecil tapi sering


Rasional : Memenuhi kebutuhan nutrisi klien.
e)Timbang berat badan sesuai indikasi
Rasional : Untuk menentukan kebutuhan kalori.
f) Kolaborasi dengan ahli gizi/pendukung tim untuk memberikan makanan yang
mudah dicerna.
Rasional : Metode makan dan kebutuhan kalori didasarkan pada situasi
kebutuhan individu.
g)Kaji pemeriksaan laboratorium.
Rasional :Mengevaluasi/mengatasi kekurangan dan mengawasi keefektifan
nutrisi.
4) Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
Tujuan : pasien akan mengalami penurunan rasa ketakutan dan ansietas.
Intervensi :
a) Kaji tingkat kecemasan (ringan, sedang, berat).
Rasional : Dengan mengetahui tingkat kecemasan klien, sehingga memudahkan
tindakan selanjutnya.
b)
Berikan dorongan emosional.
Rasional : Dukungan yang baik memberikan semangat tinggi untuk menerima
keadaan penyakit yang dialami.
c)
Beri dorongan mengungkapkan ketakutan/masalah
Rasional : Mengungkapkan masalah yang dirasakan akan mengurangi beban
pikiran yang dirasakan
d) Jelaskan jenis prosedur dari pengobatan
Rasional : Penjelasan yang tepat dan memahami penyakitnya sehingga mau
bekerjasama dalam tindakan perawatan dan pengobatan.
e)
Beri dorongan spiritual
Rasional : Diharapkan kesabaran yang tinggi untuk menjalani perawatan dan
menyerahkan pada TYME atas kesembuhannya.
5) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dengan
kebutuhan kebutuhan oksigen
Tujuan: klien dapat melakukan aktifitas secara mandiri
Intevensi :
a)
Kaji aktifitas yang dilakukan klien
Rasional: mengetahui perkembangan aktivitas day living
b)
Latih klien untuk melakukan pergerakan aktif dna pasif
Rasional: supaya otot-otot tidak mengalami kekakuan
c)
Berikan dukungan pada klien dalam melakukan latihan secara teratur, seperti:
berjalan perlahan atau latihan lainnya.
Rasional: meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan suplai dan
d)

kebutuhan O2
Diskusikan dengan klien untuk rencana pengembangan latihanberdasarkan

status fungsi dasar


Rasional: untuk memberikan terapiyang sesuai pada status pasien saat ini
e) Anjurkan klien untuk konsultasi denan ahli terapi
Rasional: menentukan program latihan spesifik sesuai kemampuan klien

69

6) Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakitnya berhubungan dengan kurangnya


informasi
Tujuan :
Pengetahuan klien tentang proses penyakit menjadi bertambah.
Kriteria hasil :
Mencari tentang proses penyakit :
- Klien mengerti tentang definisi asma
- Klien mengerti tentang penyebab dan pencegahan dari asma
- Klien mengerti komplikasi dari asma
Intervensi :
a) Diskusikan aspek ketidak nyamanan dari penyakit, lamanya penyembuhan, dan
harapan kesembuhan.
Rasional : informasi dapat manaikkan koping dan membantu menurunkan ansietas
dan masalah berlebihan.
b) Berikan informasi dalam bentuk tertulis dan verbal.
Rasional : kelemahan dan depresi dapat mempengaruhi kemampuan untuk
mangasimilasi informasi atau mengikuti program medik.
c) Tekankan pentingnya melanjutkan batuk efektif atau latihan pernafasan.
Rasional : selama awal 6-8 minggu setelah pulang, pasien beresiko besar untuk
kambuh dari penyakitnya.
d) Identifikasi tanda atau gejala yang memerlukan pelaporan pemberi perawatan
kesehatan.
Rasional : upaya evaluasi dan intervensi tepat waktu dapat mencegah meminimalkan
komplikasi.
e) Buat langkah untuk meningkatkan kesehatan umum dan kesejahteraan, misalnya :
istirahat dan aktivitas seimbang, diet baik.

70

Rasional : menaikan pertahanan alamiah atau imunitas, membatasi terpajan pada


patogen.

6. Evaluasi yang diharapkan


Evaluasi yang dilakukan mengacu pada tujuan yang diharapkan :
a. Bersihan jalan nafas efektif tanpa adanya sumbatan pada jalan nafas
b. Tidak terjadi kerusakan pertukaran gas.
c. Terjadi pemenuhan nutrisi yang adekuat/sesuai kebutuhan tubuh.
d. Mengalami penurunan rasa ketakutan dan ansietas.
e. klien dapat melakukan aktifitas secara mandiri
f. Pengetahuan klien tentang proses penyakit menjadi bertambah
F. Komplikasi
1. Status Asmatikus
Status asmatikus adalah suatu serangan asma yang sangat berat, berlangsung dalam
beberapa jam smapai beberapa hari yang tidak memberikan perbaikan pada pengobatan
yang lazim dan dapat mengakibatkan kematian. Factor penyebab :
- Infeksi saluran nafas
- Pencetus serangan ( allergen, obat- obatan, infeksi)
- Kontraksi otot polos
- Edema mukosa
- Hipersekresi
2. Pneumotoraks
Terjadi disebabkan adanya kebocoran dibagian paru yang berisi udara melalui robekan
atau pecahnya pleura. Robekan ini akan berhubungan dengan bronchus.
3. Emfisema kronik
Adanya pengisian udara berlebih dengan obstruksi terjadi akibat dari obstruksi sebagian
yang mengenai suatu bronkus atau bronkiolus diaman pengeluaran udara dari dalam
alveolus menjadi lebih sukar dari pada pemasukannya.
4. Atelectasis
Sebab utama adalah penyumbatan sebuah broncus yang dapat disebabkan oleh gumpalan
lender, tumor atau benda asing yang terhisap ke dalam bronkus. Factor pencetus:
- Pembiusan/pembedahan
- Tirah baring jangka panjang tanpa pergantian posisi
- Pernafasan dangkal
- Penyakit paru- paru
5. Hipoksemia
Terjadi karena defisiensi oksigen pada tingkat jaringan akibatnya sel- sel tidak cukup
memperoleh oksigen sehingga metabolisme sel akan terganggu.

DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja, K. (1990) Asma Bronchiale, dikutip dari Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta : FK UI.
Brunner & Suddart (2002) Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah, Jakarta : AGC.
71

Crockett, A. (1997) Penanganan Asma dalam Penyakit Primer, Jakarta :


Hipocrates. Crompton, G. (1980) Diagnosis and Management of Respiratory Disease, Blacwell
Scientific Publication.
Doenges, M. E., Moorhouse, M. F. & Geissler, A. C. (2000) Rencana Asuhan Keperawatan,
Jakarta : EGC.
Guyton & Hall (1997) Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Jakarta : EGC.
Hudak & Gallo (1997) Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik, Volume 1, Jakarta : EGC.
Price, S & Wilson, L. M. (1995) Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Jakarta :
EGC.
Pullen, R. L. (1995) Pulmonary Disease, Philadelpia : Lea & Febiger. Rab, T. (1996) Ilmu
Penyakit Paru, Jakarta : Hipokrates. Rab, T. (1998) Agenda Gawat Darurat, Jakarta :
Hipokrates. Reeves, C. J., Roux, G & Lockhart, R. (1999) Keperawatan Medikal Bedah, Buku
Satu, Jakarta : Salemba Medika.
Staff Pengajar FK UI (1997) Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta :
Info Medika. Sundaru, H. (1995) Asma ; Apa dan Bagaimana Pengobatannya, Jakarta : FK UI.

72

Vous aimerez peut-être aussi